You are on page 1of 42

LAPORAN KASUS

A. Keluhan Utama
II. Pasien tampak kaku sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.

A. Riwayat Penyakit Sekarang


- Pasien datang ke IGD pada tanggal 8 agustus diantar oleh keluarga.
Pasien tampak kaku sejak 4 hari yang lalu.
- Pasien tidak bisa tidur sejak 3 hari SMRS. Sebelumnya pasien tidak
pernah mengalami gangguan pada tidur.
- Pasien tidak mau makan dan minum
- Pasien juga mengeluhkan sakit perut
- Sulit berjalan sejak 3 hari ini.
- Pasien sebelumnya dirawat di RSJ selama 2 bulan, baru 6 hari yang lalu
keluar RSJ . selama pulang di RSJ pasien tidak menkonsumsi obat karna
obat ketinggalan di travel.
- Pasien tidak ingat nama obat yg dibawa pulang.
- Pasien mandi 2 kali sehari, dan dapat menjaga kebersihan diri sendiri.
- Suasana perasaan pasien dalam 2 hari terakhir senang karena sudah
merasa tidak kaku lagi dan sudah mau makan.

B. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat Gangguan Psikiatri
- Pasien pernah dirawat di RSJ HB sanin padang karna mengkonsumsi
obat dextrometorpan.
- Pasien mengatakan rutin mengonsumsi obat Aditusin sejak 2 minggu
RSJ. Dalam satu hari sampai 20 butir, siang 10 butir, dan malam 10
butir. Pasien berhenti minum obat 3 hari SMRS karena obatnya
disembunyikan.. Pasien mengatakan saat itu emosinya semakin tidak
terkendali, tidak bisa tidur, dan badan terasa panas terbakar. Pasien juga

1
merasa dirinya seperti dirasuki, seperti ada yang berniat mengguna-
gunai dan berbuat jahat padanya.
- Pasien tidak ada mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya
dantidak ada melihat bayangan yang tidak dapat dilihat orang lain.
- Keluhan yang dialami pasien tersebut tidak pernah pasien rasakan lagi
sejak dirawat. Pasien mengatakan sudah dapat mengendalikan emosi.
- Sebelum dirawat, pasien tidak ada mengalami perasaan sedih
berlebihan maupun gembira berlebihan, hal ini disebabkan saat
meminum obat Aditusin pasien merasa tenang dan segala masalah tidak
lagi dipikirkan.
b. Kondisi Medik Umum
- Tidak ada keluhan medik umum.
- Pasien tidak ada riwayat kejang.
- Pasien tidak ada riwayat trauma kepala dalam 3 bulan terakhir
sebelum muncul gejala.
c. Penggunaan Zat Psikoaktif dan Alkohol
- Pasien riwayat penyalahgunaan obat-obatan sejak tahun 2014.
Pasien mengonsumsi obat tersebut untuk penenang dimana
awalnya di ajak teman-temannya agar lebih nyaman saat bekerja.
Pasien mengatakan, saat menggunakan obat tersebut merasa
tenang, masalah-masalah tidak terpikirkan, bekerja lebih nyaman,
lebih bersemangat dan merasa lebih percaya diri. Pertama kali
yang dikonsumsi pasien adalah obat dextrometropan merk SF,
dalam satu hari 10-15 butir. Efek samping yang dirasakan adalah
pasien tidak bisa tidur, tidak nafsu makan, dan susah buang air
besar. Pasien berhenti minum obat pada tahun 2015, kemudian
kembali penyalahgunaan obat-obatan dengan obat Aditusin pada
tahun 2016 sejak 1 bulan SMRS, rutin dikonsumsi setiap hari
sejak 2 minggu SMRS 15-20 butir. Pasien mengonsumsi obat
tersebut karena kembali bekerja buruh bangunan untuk manambah

2
penghasilan, dimana saat itu pasien membutuhkan uang untuk
bertahan hidup. Saat mengonsumsi obat ini, pasien merasa lebih
nyaman, karena tidak ada efek samping seperti tidak bisa tidur,
dan nafsu makan pasien baik. Pasien memiliki keinginan untuk
menambah dosis obat yang diminum karena efeknya dirasa
berkurang, namun masih berusaha maksimal 20 butir sehari.
Semua obat-obatan tersebut pasien dapatkan dari membeli sendiri
di apotik. Pasien tidak pernah mengonsumsi obat-obatan jenis lain
ataupun berupa obat suntik.
- Pasien riwayat minum alkohol sejak 8 tahun yang lalu, yakni
berupa tuak dan bir, dimana satu kali minum sampai 3 Liter atau
sampai tertidur. Pasien minum sekitar 2 kali dalam satu bulan.
Pasien sudah berhenti minum sejak 2 tahun yang lalu.

C. Masa Dewasa
a. Riwayat Pendidikan
Riwayat pendidikan terakhir pasien adalah sampai kelas V Sekolah
Dasar (SD).
b. Agama
Pasien bergama Islam, pasien selalu menjalankan shalat.
c. Aktivitas Sosial
Hubungan sosialnya dengan masyarakat cukup baik. Pasien cukup
sering berinteraksi dengan lingkungannya. Pasien sudah tidak tinggal
sama keluarga

d. Situasi Kehidupan Sekarang


Pasien tinggal sama teman satu kampungnya. Pasien sudah tidak tinggal
sama keluarga. Keluarga tinggal dibandung.

3
e. Riwayat Hukum
Pasien tidak pernah berurusan dengan hukum dan pihak yang berwajib.
f. Riwayat Psikoseksual
Pasien mengenal lawan jenis sejak remaja dan beberapa kali berpacaran.
Pasien tidak pernah melakukan seks diluar nikah.
g. Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupannya
Pasien menyadari dirinya sakit dan penyebab sakitnya yang diakibatkan
penyalahgunaan obat-obatan.
h. Impian, Fantasi, dan Nilai-nilai
Dulu saat remaja pasien pernah bercita-cita menjadi tentara.

III. 3.4 STATUS MENTAL


IV.
A. Deskripsi Umum
- Penampilan
Pasien seorang laki-laki berpenampilan kurang rapi, cukup bersih, dan
sesuai usia.

- Perilaku dan Aktivitas Motorik


Perilaku pasien dan aktivitas motorik pasien tenang selama proses
wawancara, pasien terbuka terhadap pewawancara, pasien menangis
saat menceritakan tentang ayahnya yang telah meninggal dan ibunya
yang sakit stroke.
- Sikap Terhadap Pemeriksa
Pasien bersikap kooperatif terhadap pemeriksa selama wawancara.
Pasien menerangkan dan menjawab pertanyaan dengan baik.
B. Mood dan Afek
Mood : Hipotimia
Afek : Terbatas
Keserasian : Afek dan mood Serasi

4
C. Pembicaraan
Pembicaraan spontan, nada cukup rendah, dan artikulasi jelas.
D. Gangguan Persepsi
Tidak ada gangguan persepsi.
E. Pikiran
Proses dan Bentuk Pikir : Koheren
Isi Pikir : Terdapat waham kejaran  pasien merasa seperti dirasuki
dimana ia berpikir hal tersebut terjadi akibat ada yang mau mengguna-gunai
dan menjahatinya.

F. Sensorium dan Kognisi


Kesadaran : Compos Mentis , GCS = 15
Orientasi :
- Waktu : Baik, pasien dapat membedakan waktu pagi, siang,
dan malam
- Tempat : Baik, pasien dapat mengetahui bahwa ia Berada di
RSJ HB Saanin Padang dan tahu dirawat dibagian kejiwaan.
- Orang : Baik, pasien mengenali pemeriksa, beberapa
Perawat dan teman-temannya dibangsal yang sama.

Daya Ingat :
- Daya ingat jangka panjang
Baik, pasien bisa mengingat tanggal lahir dan usia pasien dan bisa
menceritakan kehidupan masa kecilnya
- Daya ingat jangka sedang
Baik, pasien bisa mengingat seluruh perjalanan penyakitnya dan tahu
kapan pasien mulai dirawat
- Daya ingat jangka pendek
Baik, pasien bisa mengingat apa yang pasien makan tadi pagi
- Daya ingat segera

5
Baik, pasien dapat menyebutkan 5 angka tidak berurutan secara yang
diberikan pemeriksa secara baik dan benar.
Konsentrasi dan Perhatian :
Baik, pasien dapat berkonsentrasi dan perhatian saat melakukan wawancara.
Kemampuan membaca dan menulis :
Baik, pasien dapat membaca dan menulis sesuai perintah pemeriksa.
Kemampuan visuospasial :
Baik, pasien dapat menggambarkan gambar 2 buah persegi lima
berdampingan sesuai perintah pemeriksa.
Pikiran Abstrak :
Baik, pasien dapat menyebutkan persamaan diantara 2 buah benda seperti
persamaan “bulan” dan “bola”
Intelegensia dan Kemampuan Informasi :
Baik, sesuai dengan tingkat pendidikannya

G. Kemampuan Pengendalian Impuls


Saat wawancara, kemampuan pengendalian impuls tidak terganggu

H. Daya Nilai dan Tilikan


- Daya nilai sosial dan uji daya nilai
Daya Nilai Sosial : Baik, pasien mengikuti kegiatan gotong
royong dan senam dibangsal
Uji Daya Nilai : Baik
- Penilaian Realita (RTA)
Terganggu
- Tilikan
Derajat 6 : Menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya disertai
motivasi untuk mencapai perbaikan.
I. Taraf Dapat Dipercaya
Pasien dapat dipercaya

6
3.5 PEMERIKSAAN DIAGNOSITIK LEBIH LANJUT
Status Interna
- Keadaan Umum : Baik
- Kesadaran : Compos mentis cooperatif
- Status Gizi : Cukup
- Tanda-tanda vital
a. Tekan Darah : 100/60 mmhg
b. Frekuensi Nadi : 80 x/menit
c. Frekuensi Nafas : 20 x/menit
d. Suhu : 36,50C
Status Neurologis
- Tanda meningeal : Kaku kuduk (-), brudzinki (-), kernig sign (-)
- Nervus I-XII : Tidak ada kelainan
- Peningkatan TIK : Tidak Ada
- Reflek Fisiologis
a. KPR : (++)
b. APR : (++)
c. Bisep : (++)
d. Trisep : (++)
- Refleks Patologis
a. Babinski : (-)
b. Gordon : (-)
c. Chaddok : (-)
d. Scheffer : (-)
e. Hoffman : (-)
Motorik
555 555
555 555
Sensorik : Baik

7
- Tanda efek Ekstrapiramidal
a. Tremor : Tidak ada
b. Akatisia : Tidak ada
c. Bradikinesia : Tidak ada
d. Cara Berjalan : Normal
e. Keseimbangan : Tidak ada
f. Rigiditas : Tidak ada

3.6 FORMULA DIAGNOSTIK

Berdasarkan pemeriksaan, pada pasien ditemukan riwayat gejala dan perilaku


yang bermakna menimbulkan penderitaan maupun hendaya dalam kehidupan
pasien. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasien mengalami gangguan
jiwa.

Aksis I
Berdasarkan anamnesis riwayat penyakit medis, pasien tidak pernah
mengalami trauma kepala yang dapat menimbulkan disfungsi otak sebelum
menunjukan gangguan jiwa. Pasien juga tidak ada riwayat kejang. Oleh karena
itu, gangguan mental organik dapat disingkirkan (F00-09).
Pada pasien terdapat riwayat penggunaan obat Aditusin dalam dosis tinggi.
Aditusin mengandung klorfeniramin maleat (CTM) dan dextrometrophan yang
merupakan obat turunan Codein yang merupakan golongan opioid lemah. Pada
pasien ditemukan adanya gangguan perilaku berupa mengamuk, merusak barang-
barang dan melukai pamannya dengan gunting, dimana perilaku ini muncul satu
hari SMRS karena pasien tidak mengonsumsi obat tersebut, setelah sebelumnya
mengonsumsi dalam dosis besar selama 2 minggu. Pasien merasakan tubuhnya
panas seperti terbakar dan tidak bisa tidur. Selain itu, juga ditemukan gejala

8
waham kejar, dimana pasien merasa dirasuki karena menganggap ada yang
berusaha mengguna-gunai dan menjahatinya. Oleh karena itu, pada pasien
memenuhi kriteria diagnosa gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan
opioida (F11). Berdasarkan hasil anamnesa, didapatkan pasien memenuhi 3 dari 6
kriteria sindrom ketergantungan berupa adanya keinginan yang kuat yang
memaksa untuk menggunakan zat psikoaktif, kesulitan dalam mengendalikan
perilaku menggunakan zat termasuk sejak mulainya usaha penghentian atau pada
tingkat sedang menggunakan, serta terbukti adanya toleransi berupa peningkatan
dosis yang diperlukan guna memperoleh efek yang sama, sehingga pasien
memenuhi kriteria diagnosis F11.2.

Aksis II
Tidak ada diagnosa.
Aksis III
Tidak ada diagnosis

Aksis IV
Axis IV pada kasus pasien ini adalah masalah ekonomi. Pasien
menggunakan Aditusin dikarenakan kembali bekerja sebagai pengamen untuk
menambah penghasilan guna membeli obat-obatan dan perawatan ibunya yang
sedang sakit. Tujuan utama pasien menggunakan obat tersebut adalah sebagai
penenang dan suara lebih bagus saat bernyanyi.
Selain itu juga terdapat masalah lingkungan sosial, dimana pasien awal
mulanya mengetahui tentang penggunaan Dextrometrropan dan Aditusin dari
ajakan teman-temannya yang sesama pengamen.
Masalah lainnya adalah primary support group. Ayah kandung pasien
telah meninggal dunia, dimana pasien sering sedih saat mengingat ayahnya
terutama saat memasuki Hari Raya. Pasien sendiri merupakan penanggung jawab

9
keuangan keluarga, sehingga menjadi beban baginya saat ibunya sakit. Pasien
juga telah bercerai dan sangat jarang bertemu anaknya.
Aksis V
Penilaian Global Assesment of Functioning (GAF) Scale pada pasien adalah
80-71, gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam soaial,
pekerjaan, sekolah, dll.

Formulasi Multiaksial
Aksis I : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan opioid
dengan sindroma ketergantungan (F11.2) yaitu Aditusin.
Aksis II : Tidak ada diagnosis
Aksis III : Tidak ada diagnosis
Aksis IV : Masalah Ekonomi, lingkungan sosial, dan primary support
group.
Aksis V : Global Assesment of Functiong (GAF) Scale = 80-71

3.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Anjuran pemeriksaan :
- Laboratorium darah
o Darah rutin : Hemoglobin, hematokrit, leukosit dan trombosit
o Kimia klinik :
 Faal hepar : SGOT/SGPT
 Faal ginjal : Ureum, creatinin
- Pemeriksaan urine
o Narkoba : Opiates (OPI)

- Pemeriksaan Psikiatri Tambahan


Tidak dilakukan pemeriksaan tambahan terhadap pasien.

10
3.8 PENATALAKSANAAN

A. Abstinensi Aditusin
B. Farmakoterapi
a. Antipsikotik generasi II : Risperidon diberikan 2 kali sehari 1 mg per
oral. Dosis risperidon dapat ditingkatkan, diturunkan ataupun
dikombinasi dengan obat antipsikotik lainnya sesuai pantauan gejala
klinis pasien.
b. Golongan Benzodiazepine : Lorazepam 1 kali sehari 2 mg per oral.
C. Psikoterapi
a. Kepada pasien
- Psikoterapi Suportif
Yaitu berupa psikoterapi individual, terapi perilaku dan terapi
kognitif-perilaku, dan latihan keterampilan sosial. Memberikan
empati dan optimistic kepada pasien. Membantu pasien
mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya.
- Psikoedukasi
Membantu pasien untuk mengetahui lebih banyak tentang
gangguan yang dideritanya, serta memberikan edukasi mengenai
penyalahgunaan obat-obatan yang telah dilakukan pasien.
b. Kepada keluarga
- Memberikan penjelasan yang bersifat komunikatif, infornative,
dan edukatif tentang penyakit pasien (penyabab, gejala, dan
hubungan antar gejala dan perilaku, perjalan penyakit serta
prognosis). Pada akhirnya diharapkan keluarga bisa mendukung
proses penyembuhan.
- Memberikan penjelasan mengenai terapi yang diberikan pada
pasien (kegunaan obat terhadap gejala pasien dan efek samping
yang mungkin timbul pada pengobatan). Selain itu juga

11
ditekankan pentingnya pasien control dan minum obat secara
teratur.

Kurva Perjalanan Penyakit

12
3.9 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Qou ad bonam : dubia ad bonam
Qou ad Sanation : dubai ad bonam
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Definisi
Istilah gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa merupakan
istilah resmi yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnostik

13
Gangguan Jiwa). Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa adalah
sindrom atau pola perilaku, atau psikologik seseorang, yang secara klinik cukup
bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau
hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari
manusia. 1
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat adalah gangguan yang
bervariasi luas dan berbeda keparahannya, mulai dari intoksikasi tanpa komplikasi,
merugikan sampai gangguan psikotik yang jelas serta demensia yang disebabkan
oleh penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau tanpa resep dokter).1

2.2. Epidemiologi
Berdasarkan hasil penelitian BNN bekerjasama dengan Puslitkes UI tahun
2011 diketahui bahwa angka prevalensi penyalahguna Narkoba (narkotika dan bahan
adiktif) telah mencapai sebesar 2,2% dari total populasi penduduk (berusia 10-60
tahun) atau sekitar 3,8 s/d 4,3 juta orang. hal ini mengalami peningkatan sebesar
0,21% bila dibandingkan tahun 2008 (1,99%) atau sekitar 3,3 juta orang.2
Antara 153 – 300 juta jiwa atau sebesar 3,4%-6,6% penyalahguna Narkoba
dunia usia 15-64 tahun pernah mengkonsumsi Narkoba sekali dalam setahun, di
mana hampir 12% (15,5 juta jiwa sampai dengan 38,6 juta jiwa) dari pengguna
adalah pecandu berat.2
Perkiraan produksi opium meningkat dari 4.700 ton tahun 2010 menjadi
7.000 ton tahun 2011. Sedang produksi Kokain meningkat dari 13,3 juta ton tahun
2010 menjadi 19,7 juta ton tahun 2011. Peningkatan barang sitaan methamphetamine
meningkat dari 31 ton tahun 2008 menjadi 45 ton tahun 2009 atau dengan
peningkatan sebesar 45%.2
Dari sisi jenis narkotika, ganja menduduki peringkat pertama yang
disalahgunakan di tingkat global dengan angka prevalensi 2,3% dan 2,9% per tahun
dari total populasi penduduk usia 15-64 tahun. Sementara peringkat kedua, diikuti
dengan kokain dengan angka prevalensi sebesar 15%-19% per tahun. ATS

14
menduduki peringkat ketiga, sebagai Narkoba yang disalahgunakan dengan estimasi
sebesar 3,7 juta jiwa s/d 52,9 juta jiwa usia 15-64 thn.2
Suatu survei yang belum lama dilakukan telah menemukan bahwa prevelensi
seumur hidup dari suatu diagnosis penyalahgunaan atas ketergantungan zat diantara
populasi di Amerika Serikat yang berusia lebih dari 18 tahun adalah 16,7 %.
Pervelensi seumur hidup penyalahgunaan alkhol 13,8 % dan untuk non alkhol 6.2%3
Jenis kelamin : laki secara signifikan lebih tinggi dibandingkan wanita untuk
penggunaan zat. 3
Ras dan etnik : kelompok kulit hitam secara bermakna lebih tinggi
dibandingkan kulit putih. 3
Kepadatan populasi. Penduduk didaerah metropolitan yang besar paling
mungkina menggunakan zat gelap dalam bulan terakhir dan penduduk daerah
nonmetropolitan adalah paling kecil dan kemungkinanya melakukan hal yang sama..3

2.3. Klasifikasi
Berdasarkan PPDGJ III, gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat
psikoaktif terbagi menjadi:1
- F10 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol
- F11 Gangguan mental dan perilaku akibat gangguan opioida
- F12 Gangguan mental dan perilaku akibat kanabinoida
- F13 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedative atau
hipnotika
- F14 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
- F15 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia lain
termasuk kafein
- F16 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan penggunaan
halusinogenika
- F17 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan tembakau
- F18 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah
menguap

15
- F19 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multiple dan
penggunaan zat psikoaktif lainnya

Tabel 2.1 Zat yang Berhubungan dengan Ganguan Akibat Penggunaan Zat 3
Zat Efek prilaku Efek fisik Temuan Terapi
laboratorium
Opiat dan opioid: Euforia, Miosis, priritus, Ditemukan
Untuk penghentian
opium, morfin, menganuk mual, dalam darah
secara bertahap
heroin, anoreksia, bradikardia, sampai 24
methadone 5-10 mg
meperidine, penurunan konstipasi, jejak jam setelah
tiap 6 jam selama
methadone, dorongan jarum dilengan , dosis terakhir
24 jam, selanjutnya
pentazocine seksual, tungakai, bokong turunkan dosis
hipoaktivitas, selam 10 hari, untuk
perubahan overdosis naloxone
kepribadian 0,4 mg IM setiap 20
unit untuk 3 dosis
pertahankan jalan
napas berikan O2
Amfetamin dan Terjaga banyak Midriasis, Dalam darah Untuk agitasi
simpatomimetik bicara, euforia tremor, dan urine diazevam IM atau
lain termasuk hiperaktivitas, takikardi, peroral 5-10 mg
kokain agresivitas, hipertensi, tiap 3 jam untuk
agitasi, penurunan berat asamkan
kecendrungan badan urinetakirmikatkan
paranoid, sekresi
impotensi, urunedengan menga
halusinasi lihat praponolol 10-20
dan raba mgperpral tiap 4
jam. Vitamin c 0,5
g empat kali peroral
dapat mening

Depresan Mengantuk, Diaforesis, Ditemukan Untuk barbiturat


metaqualonesistem konfusi tidak kejang, ataksia, dalam darah gunakan 30 mg
saraf pusat arbiurat ada perhatian hipotensi, cairan
delirium, miosis phenobarbital untuk
setiap 100 mg
babrbituratdiberikan
dalam dosis terbagi
setiap 6 jam dan
selanjutnya
turunkan sebesar 20

16
persen tiap selang
sehari dapat juga
memberikan
diazepam untuk
mengantikan
barbiturat yang
disalah gunakan
berikan 10 mg tiap
2-4 jam selama 24
jam selanjutkya
turunkan dosis
untuk
benzodiazepin
secara bertahab tiap
selang sehari
selama periode 10
hari
Nitrogen oksida Euforia, Ataksia , Tidak ada Hipoksia diobati
mengantuk, analgesia, dengan in Halasi o2
konfusi depresi
pernapasan,
hipotensi
Alkhol Pertimbangan Nistagmus, Kadar darah Untuk delirium:
buruk, banyak muka antara 100 diazepam (valium)
bicara, agresi, kemerahan, dan 200 5-10 mg atau
gangguan ataksia bicara mg/dl peroral tiap 3 jam,
atensi, cadel vitamin b kompleks
anamnesia im, hidrasi untuk
halusinasi s:
haloperidol 1-4 mg
tiap 6 jam im atau
peroral
Halusinigen: Lama 8-12 jam Midriasis, Tidak ada Dukungan
LSD(lysergic acid dengan ataksia, emosional untuk
detylamide) flashback konjungtiva agitasi ringan
psilocybin(jamur) setelah hiperemis, diazepam 10 mIM
mescaline(peyote), abstinensi, takikjardi, atau peroral tiap 2
DMT, DOM atau halusinasi lihat, hipertensi jam untuk dosis,
STP< MDA ide paranoid, unuk agitasi parah
perasaan haloperidol 1-5 mg
pencapaian dan im dan ulangi tiap 6
kekuatan yang jam seperlunya.
palsu, Mungkin perlu
kecendrungan melanjutkan dengan

17
bunuh diri atau haloperidol 1-2 mg
membunuh sehari peroral selam
depersonalisasi, bebrapa minggu
derealisasi untuk mencegah
sindrom flasback.
Phenotiazine dpat
digunakan hanya
pada LSD.
Perhatian
phneotiazine dapat
menimbulkan hasil
yang mematikan
jika digunakan
gengan halusinogen
lain, terutama jika
dicampur dengan
strychinine atau
alkohiol belladona.
Penocylidine(PCP) Lama 8-12 jam, Nistagmus, Ditemukan Phenotiazine
halusinasi,nide midriasis,ataksia, dalam urine dikontraindikasikan
paranoid, mood akikardi, sampai 5 hari selama minggu
abil, asosiasi hipertensi setelah ingesti pertama setelah
longgar, ingesti untuk
katatonia, waham kekerasan
prilaku haloperidol 1-5 mg
kekerasan, im atau peroral tiap
kejang 2-4 jam sampai
pasien tenang

Selain itu, setiap gangguan mental dan perilaku akibat zat juga ditambahkan
dengan kode empat dan lima karakter untuk menentukan kondisi klinisnya:1

F1x.0 Intoksikasi akut


.00 Tanpa Komplikasi
.01 dengan trauma atau cedera tubuh lainnya
.02 dengan komplikasi medis lainnya
.03 dengan delirium
.04 dengan distorsi persepsi
.05 dengan koma

18
.06 dengan konvulsi
.07 intoksikasi patologis
F1x.1 Penggunaan yang merugikan (harmful use)
F1x.2 Sindrom Ketergantungan
.20 kini abstinen
.21 kini abstinen tetapi dalam lingkungan terlindung
22 kini dalam oengawasan klinis dengan terapi pemeliharaan atau dengan
pengobatan zat Pengganti (ketergantungan terkendali)
.23 kini abstinen, tetapi sedang dalam terapi dengan obat aversif atau
penyekat
.24 kini sedang menggunakan zat (ketergantungan aktif)
.25 penggunaan berkelanjutan
.26 penggunaan episodik
F1x.3 Keadaan putus zat
.30 tanpa komplikasi
.31 Dengan konvulsi
F1x.4 Keadaan putus zat dengan delirium
.40 tanpa konvulsi
.41 dengan konvulsi
F1x.5 Gangguan Psikotik
.50 lir-skizofrenia (schizophrenia like)
.51 predominan waham
.52 predominan halusinasi
.53 predominan polimorfik
.54 predominan gejala depresi
.55 predominan gejala manic
.56 campuran
F1x.6 Sindrom Amnesik
F1x.7 Gangguan psikotik residual atau onset lambat
.70 kilas balik (flash back)

19
.71 gangguan kepribadian atau perilaku
.72 gangguan afektif residual
.73 demensia
.74 hendaya kognitif menetap lainnya
.75 gangguan psikotik onset lambat
F1x.8 Gangguan mental dan perilaku lainnya
F1x.9 Gangguan mental dan perilaku YTT

2.3.1. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Opioid


1. Opioid
Kata opium berasal dari bahasa Yunani yang berarti jus; jus yang berasal dari
bunga opium merupakan sumber dari 20 jenis alkaloid opium. Istilah narcotic
berasal dari bahasa Yunani yang artinya adalah stupor dan sejak lama telah
digunakan untuk menyatakan analgesik yang memiliki sifat seperti morphine. Opioid
dapat menghasilkan kondisi analgesia tanpa menghilangkan sensasi sentuhan,
proprioseptif, maupun kesadaran. Klasifikasi yang biasa digunakan untuk opioid
antara lain: agonis opioid, agonis-antagonis opioid, dan antagonis opioid.4

a. Hubungan Antara Struktur dan Aktivitas


Alkaloid opium dapat dibagi menjadi dua kelas yakni: phenanthrene dan
benzylisoquinolone. Alkaloid phenantrene yang dapat ditemukan pada opium antara
lain morphine, codeine, dan thebaine. Alkaloid benzylisoquinolone yang ada pada
opium, yang merupakan jenis alkaloid dengan aktivitas opioid yang lemah, antara
lain papaverine dan noscapine.4

b. Opioid Semisintetik
Opioid semisintetik berasal dari molekul morphine yang kemudian
dimodifikasi secara relatif sederhana. Sebagai contoh, substitusi sebuah gugus methyl
dengan sebuah gugus hydroxyl pada karbon 3 dapat menghasilkan senyawa

20
methylmorphine (codeine). Penggantian gugus asetyl pada karbon 3 dan 6 akan
menghasilkan senyawa diacetylmorphine (heroin). 4

c. Opioid Sintetik
Opioid sintetik mengandung inti phenanthrene dari morphine namun inti
tersebut disintesis dengan menggunakan alat, tidak berasal dari modifikasi morphine.
Derivat morphine (levorphanol), derivat methadone, derivat benzomorphan
(petazocaine), dan derivat phenylpiperidine (meperidine, fentanyl) merupakan contoh
kelompok snyawa opioid sintetik.4
Fentanyl, sulfentanyl, alfentanil, dan remifentanil merupakan jenis opioid
semisintetik yang sering digunakan dalam anestesia umum pada pembedahan
jantung. Ada perbedaan farmakokinetika dan farmakodinamika di antara semua obat-
obatan tersebut. Perbedaan utama tersebut terletak pada potensi dan laju ekuilibrasi
antara plasma dan efek obat (biophase).4

d. Mekanisme Kerja
Opioid bertindak sebagai suatu agonis pada sterotipik reseptor opioid di
neuron presinaptik dan postsinaptik sistem saraf pusat/SSP (terutama di batang otak
dan sumsum tulang belakang/spinal cord) serta di luar SSP pada jaringan periferal.
Kondisi hiperalgesik inflamasi kemungkinan besar berkaitan erat dengan aksi opioid
antinociceptive. Mekanisme aksi periferal ini kemungkinan besar diaktivasi pada
neuron aferen primer. Normalnya, reseptor opioid yang samaakan diaktivasi oleh tiga
buah ligan reseptor peptida endogen yang dikenal sebagai enkephalins, endorphins,
dan dynorphins. Ketiga ligan endogen ini memiliki aksi yang menyerupai opioid
dengan cara berikatan dengan reseptor opioid sehingga dapat menimbulkan aktivasi
sistem modulasi nyeri (antinociceptive).4
Efek utama aktivasi reseptor opioid adalah menurunkan neurotransmisi.
Penurunan neurotrasnmisi ini dapat terjadi karena adanya penghambatan pelepasan
neurotransmiter presinaptik (acetylcholine, dopamine, norepinephrine, substance P),
dan terkadang juga terjadi penghambatan bangkitan aktivitas di post-synaptic.

21
Depresi transmisi kolinergik pada SSP yang diakibatkan oleh inhibisi pelepasan
acetyl-choline dari ujung saraf memainkan peranan penting dalam menimbulkan efek
analgesia dan beberapa efek samping dari obat-obatan agonis opioid. Opioid tidak
mempengaruhi tingkat respon pada ujung saraf aferen terhadap stimulasi noxious.
Opioid juga tidak mengganggu konduksi impuls saraf di sepanjang saraf perifer.4

d. Reseptor Opioid
Reseptor opioid diklasifikasikan menjadi tiga buah reseptor yakni mu, delta,
dan kappa. Reseptor opioid ini berasal dari gugus senyawa reseptor berpasangan
guanine (G), dan senyawa ini dapat ditemukan pada 80% reseptor yang ada di dalam
tubuh manusia, termasuk untuk reseptor muskarinik, adrenergik, gamma-butyric
acid, dan somatostatin. 4

e. Penyebab Banyaknya Penggunaan Opioid


Ketergantungan opioid tidak terbatas pada kelas sosioekonomi rendah,
walaupun insidensi ketergantungan opoid adalah lebih tinggi pada kelompok tersebut
dibandingkan kelas sosioekonomi yang lebih tinggi. Berbagai factor sosial yang
berhubungan dengan kemiskinan perkotaan kemunginan berperan dalam
ketergantungan opioid. Kira-kira 50% pemakai heroin di perkotaan adalah anak-anak
dari orangtua tunggal atau orangtua yang bercerai dan dari keluarga di mana
sekurangnya satu orang anggotanya memiliki gangguan berhubungan zat. Anak-anak
dari lingkungan tersebut adalah berada pada resiko tinggi untuk mengalami
ketergantungan opioid, khususnya jika mereka juga menunjukkan masalah perilaku
di sekolah atau tanda lain gangguan konduksi.3
Beberapa perilaku konsisten tampaknya menonjol pada remaja dengan
ketergantungan opioid. Pola tersebut telah dinamakan sindrom perilaku heroin
(heroin behavior syndrome): depresi yang mendasari, sering merupakan tipe tergitasi
dan seringkali disertai dengan gejala kecemasan; kompulsivitas yang diekspresikan
oleh orientasi pasir-regresif; rasa takut akan kegagalan ; pemakaian heroin sebagai
obat antiansietas untuk menutupi perasaan rendah diri, ketidakberdayaan, dan agresi;
strategi menghadapi masalah yang terbatas dan toleransi frustasi yang rendah,

22
disertai dengan perlunya pemuasan segera; kepekaan terhadap tersedianya obat,
dengan suatu kesadaran tajam tentang hubungan antara perasaan yang baik dengan
menggunakan obat; perasaan ketidakmampuan perilaku yang diatasi oleh control
sementara terhadap situasi kehidupan dengan menggunakan obat; gangguan
hubungan sosial dan interpersonal dengan teman sebaya yang dipertahankan oleh
pengalaman penggunaan zat bersama-sama.3

Gambar 2.1 Etiologi penyalahgunaan zat


f. Komorbiditas (Diagnosis Ganda)
Kira-kira 90 persen orang dengan ketergantungan opioid mempunyai suatu
diagnosis psikiatrik tambahan. Diagnosis osikiatrik komorbid yang paling sering
adalah gangguan depresif berat, gangguan berhubungan alkohol, gangguan depresif
berat, gangguan kepribadian antsosial, dan gangguan kecemasan. Kira-kira 15 persen
orang dengan ketergantungtan opioid mencoba untuk melakukan bunuh diri
sekurangnya satu kal.3

23
g. Teori Psikoanalitis
Dalam literatur psikoanalitis perilaku kecanduan narkotik digambarkan dalam
istilah fiksasi libidinal, dengan regresi ke tingkat perkembangan psikoseksual
pregenital, oral, atau bahkan ke tingkat perkembangan psikoseksual yang lebih lama.
Perlunya menjelaskan hubungan penyalahgunaan obat, mekanisme pertahanan,
pengendalian impuls, gangguan afektif, dan mekanisme adaptif menyebabkan
pergeseran dari rumusan psikoseksual kepada rumusan yang menekankan psikologi
ego. Patologi ego yang serius sering kali dipikirkan berhubungan dengan
penyalahgunaan zat dan dianggap indikatif untuk gangguan perkembangan yang
jelas. Masalah hubungan antara ego dan afek timbul sebagai kunci pemecahan
kesulitan.3

2.3.2. Penyalahgunaan Dextrometorfan


Dekstrometorfan (DXM) adalah zat aktif dalam bentuk serbuk berwarna
putih, yang berkhasiat sebagai antitusif atau penekan batuk. Zat aktif ini selain
banyak digunakan pada obat batuk tunggal juga digunakan pada obat flu kombinasi
dengan zat aktif lain seperti fenilefrin, paracetamol, dan klorfeniramin maleat. Obat
yang mengandung dekstrometorfan tersedia di pasar dalam berbagai bentuk sediaan
seperti sirup, tablet, spray, dan lozenges. 5
Ada beberapa alasan mengapa dekstrometorfan banyak disalahgunakan,
diantaranya adalah:5
- Desktrometorfan mudah didapat. Dekstrometorfan merupakan yang dapat
diperoleh secara bebas baik di apotek maupun di warung-warung.
Dekstrometorfan yang disalahgunakan umumnya dalam bentuk sediaan
tablet, karena dalam bentuk tablet dapat diperoleh dosis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bentuk sediaan lain seperti sirup.
- Harga dekstrometorfan relatif murah. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 092/Menkes/ SK/II/2012 tentang Harga Eceran
Tertinggi Obat Generik Tahun 2012, harga eceran tertinggi Desktrometorfan

24
HBr tablet 15 mg dengan kemasan kotak isi 10 x 10 tablet adalah Rp. 14.850,.
Dekstrometorfan HBr tablet 15 mg dengan kemasan botol isi 1000 tablet,
harga eceran tertingginya adalah Rp. 53.406,-. Jadi rata-rata harga eceran
tertinggi untuk 1 tablet Dekstrometorfan HBr adalah Rp. 50,- hingga Rp.
150,-.
- Persepsi masyarakat bahwa obat bebas itu aman, karena dekstrometorfan
dapat dibeli secara bebas sebagai obat batuk, sehingga banyak orang
beranggapan bahwa penyalahgunaan dekstrometorfan relatif lebih aman
dibandingkan dengan obat golongan narkotika atau psikotropika yang
regulasinya lebih ketat.
Anggapan masyarakat bahwa Dekstrometorfan aman karena saat ini di
Indonesia statusnya sebagai Obat Bebas, perlu dipikirkan kembali, karena legal status
Dekstrometorfan sebenarnya tidak selalu demikian. Bila kita lihat sejarahnya, status
penggolongan Dekstrometorfan pada Surat Keputusan Direktorat Jenderal
Kefarmasian No. 2669/Dir.Jend/SK/68 tahun 1968, Dekstrometorfan HBr
digolongkan sebagai obat keras. Kemudian pada Surat Keputusan Menteri Kesehatan
No. 9548/A/SK/71 tahun 1971 disebutkan bahwa sediaan-sediaan yang mengandung
dekstrometorfan HBr tidak lebih dari 16 mg tiap takaran digolongkan sebagai Obat
Bebas Terbatas. Lalu pada Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 2500/Menkes/
SK/XII/2011 tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2011 menyebutkan bahwa
dekstrometorfan tablet 15mg dan sirup 10 mg/5 ml merupakan obat yang termasuk
dalam DOEN 2011. Dapat disimpulkan bahwa walaupun Dekstrometorfan banyak
dijual di berbagai tempat, namun dosis penggunaannya memang telah dibatasi dan
tidak tepat jika digunakan melebihi dosis yang dianjurkan, dan mengingat statusnya
pernah sebagai Obat Keras, maka tetap perlu kehati-hatian dan tidak serta merta
menganggapnya aman. Di negara lain legal status Dekstrometorfan juga bervariasi,
ada yang menggolongkannya sebagai produk Over the Counter (OTC) atau Obat
Bebas, seperti Kanada, ada juga yang memasukkan sebagai obat yang hanya
diperoleh dengan resep (Presciption Only Medicines) atau Obat Keras, ada juga yang
menggolongkan sebagai obat yang Pharmacy Medicines (hanya dapat dibeli di apotik

25
dengan penjelasan/informasi dari apoteker) atau Obat Bebas Terbatas. Di Singapura
misalnya, Dekstrometorfan hanya bisa didapatkan dengan resep dokter.5

a. Mekanisme Penyalahgunaan Dekstrometorfan


Dekstrometorfan adalah dekstroisomer dari kodein analog metorfan.
dekstrometorfan tidak bekerja pada reseptor opioid tipe mu dan delta seperti jenis
levoisomer, tetapi bekerja pada reseptor tipe sigma. Dekstrometorfan memiliki efek
halusinogen. Zat yang memiliki peran dalam mengakibatkan efek halusinogen ini
adalah metabolit aktif dari dekstrometorfan yaitu dekstrorfan (3-hydroxy-17-
methylmorphinan). Dekstrorfan dapat terikat dengan afinitas lemah dengan reseptor
opioid tipe sigma dan terikat dengan afinitas kuat dengan reseptor NMDA (N-
methylD-aspartate). (Klein et al., 1989; Murray et al., 1984); (Franklin et al., 1992).
Dextrorfan bekerja sebagai antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang
akan memproduksi efek yang sama dengan efek dari ketamin maupun fenisiklidin
(PCP). Hal inilah yang menyebabkan orang menggunakan dekstrometorfan untuk
mendapatkan efek yang mirip dengan penggunaan ketamin. Ketamin sendiri adalah
obat yang digunakan sebagai anestetik umum. 5
Akumulasi dekstrorfan dapat mengakibatkan efek psikotropik. Efek yang
muncul dibagi dalam 4 tingkatan: 5
1. Dosis 100 – 200mg, timbul efek stimulasi ringan
2. Dosis 200 – 400mg, timbul efek euforia dan halusinasi
3. Dosis 300 – 600mg, timbul efek perubahan pada penglihatan dan kehilangan
koordinasi motorik
4. Dosis 500 – 1500mg, timbul efek sedasi disosiatif

b. Efek Penyalahgunaan Dekstrometorfan


Dosis lazim dekstrometorfan hidrobromida untuk dewasa dan anak diatas 12
tahun adalah 10mg - 20mg tiap 4 jam atau 30mg tiap 6 - 8 jam, dan tidak lebih dari
120mg dalam satu hari. Pada penggunaan dengan dosis lazim efek samping yang

26
pernah muncul seperti mengantuk, pusing, nausea, gangguan pencernaan, kesulitan
dalam berkonsentrasi dan rasa kering pada mulut dan tenggorok.5
Pada kasus penyalahgunaan, dosis yang digunakan biasanya jauh lebih besar
daripada dosis lazim. Pada dosis 5-10 kali lebih besar dari dosis yang lazim, efek
samping yang timbul menyerupai efek samping yang diamati pada penggunaan
ketamin atau PCP, dan efek ini meliputi: kebingungan, keadaan seperti mimpi, rasa
kehilangan identitas pribadi, gangguan bicara dan pergerakan, disorientasi, keadaan
pingsan, mengantuk.5
Toksisitas bromida akut dapat terjadi pada kasus penyalahgunaan
dekstrometorfan HBr meskipun sangat jarang dan sedikit disebutkan dalam literatur.
Biasanya toksisitas bromida terjadi ketika kadar bromida pada serum lebih besar
daripada 50-100 mg/dl. Toksisitas akut dapat dihubungkan dengan adanya depresi
sistem saraf pusat, hipotensi, dan takikardia. Konsumsi kronis dapat mengakibatkan
sindrom “bromism”, yang ditandai dengan adanya perubahan perilaku, iritabilitas,
dan letargi. Tidak ada antidot khusus untuk menangani toksisitas bromida. Untuk
menangani kasus keracunan bromida biasanya digunakan metode hidrasi dengan
menggunakan larutan saline untuk mendorong ekskresi melalui urin, dan pada kasus
yang parah digunakan metode hemodialisis. 5
Pemberian bersama dekstrometorfan dengan obat dari golongan inhibitor
Monoamin Oksidase (MAOI) seperti moklobemid dan isoniazid, dapat menyebabkan
sindrom serotonin, yaitu keadaan dimana terjadi perubahan status mental,
hiperaktifitas saraf otonom dan abnormalitas saraf otot (neuromuscular). Meskipun
demikian, keadaan ini tidak selalu muncul pada orang yang mengkonsumsi kedua
obat tersebut.5
Jika obat batuk dan obat flu yang mengandung dekstrometorfan dikonsumsi
dengan jumlah 5- 10 kali dosis lazimnya maka dapat terjadi peningkatan toksisitas
bahan tambahan dan atau bahan aktif kombinasi lainnya. Kombinasi dekstrometorfan
dengan guaifenesin dosis tinggi dapat menyebabkan mual yang hebat dan muntah.
Sedangkan kombinasi dengan klorfeniramin dapat menyebabkan rasa terbakar pada
kulit, midriasis, takikardia, delirium, gangguan pernafasan, syncope dan kejang.

27
Penyalahgunaan dalam bentuk sirup, memiliki kecenderungan yang lebih tinggi
untuk menimbulkan gangguan pada saluran pencernaan karena larutan tersebut
mengandung etanol sebagai pelarutnya.5

c. Pencegahan
Tenaga kesehatan memiliki peranan penting dalam pencegahan
penyalahgunaan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat saat pembelian obat
dekstrometorfan. Selain itu diperlukan komunikasi dan edukasi kepada remaja
tentang risiko penyalahgunaan dekstrometorfan. Komunikasi dan edukasi ini selain
dilakukan pada remaja juga sebaiknya dilakukan pada para orangtua supaya dapat
berperan aktif dalam pencegahan penyalahgunaan dekstrometorfan pada anak remaja
mereka.5
Untuk menghindari penggunaan yang salah dari obat dekstrometorfan pada
anak-anak maka para orang tua harus memperhatikan penyimpanan obat di
lemari/kotak penyimpanan obat. Lemari penyimpanan obat diletakkan pada tempat
dimana anak-anak tidak dapat menjangkaunya. 5

2.4. Diagnosis
- Dalam PPDGJ 3, digunakan sistem kode untuk membuat formasi diagnosanya
seperti berikut:
o Zat yang digunakan = karakter ke 2 dan 3
o Keadaan klinis = karakter ke 4 dan 5
(misalnya, F10.03 = Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alcohol,
intoksikasi akut dengan delirium)
- Dalam melakukan Identifikasi dari zat psikoaktif yang digunakan dapat
dilakukan berdasarkan data laporan individu, analisis objektif dari spesimen urin,
darah, dan sebagainya dan bukti lain (adanya sampel obat yang ditemukan pada
pasien, tanda dan gejala klinis, atau dari laporan pihak ketiga).

28
- Dalam mencari bukti dapat diandalkan perihal adanya penggunaan akhir-akhir
ini atau saat ini, namun data ini mempunyai keterbatasan terhadap penggunaan
zat di masa lalu atau tingkat penggunaan saat ini.
- Banyak pengguna obat menggunakan lebih dari satu jenis obat, namun bila
mungkin, diagnosis gangguan harus diklasifikasi sesuai dengan zat tunggal
(kategori dan zat) yang paling penting yang digunakannya (yang menyebabkan
gangguan yang nyata), sedangkan kode F19 (gangguan akibat penggunaan obat
multiple) hanya digunakan bila pola penggunaan zat psikoaktif benar-benar
kacau dan sembarangan atau berbagai obat bercampur baur.
- Penyalahgunaan obat lain selain zat psikoaktif, seperti pencahar atau aspirin,
harus diberi kode F55. –(penyalahgunaan zat yang tidak menyebabkan
ketergantungan), dengan karakter ke 4 menunjukkan jenis zat tersebut.
- Kasus gangguan mental (terutama delirium pada usia lanjut) akibat zat
pssikoaktif, tetapi tanpa salah satu gangguan dalam blok ini (misalnya,
penggunaan yang merugikan atau sindrom ketergantungan) harus dimaksudkan
dalam kode F00-F09. Bila keadaan delirium bertumpang tindih dengan suatu
gangguan dalam blok ini, maka harus diberi kode F1x.3 atau F1x.4.
- Tingkat keterlibatan alcohol dapat ditunjukkan dengan menggunakan kode
tambahan dari Bab XX ICD: Y90 (ditetapkan dari kadar alcohol dalam darah)
atau Y91 (ditetapkan dari kadar alkhol dalam darah) atau Y91 (ditetapkan
dengan derajat intoksikasinya)

DSM-IV menyebutkan ketergantungan zat ditandai oleh adanya sekurangnya


satu gejala spesifik yang menyatakan bahwa penggunaan zat telah mempengaruhi
kehidupan seseorang (tabel 12,1-8). Seseorang tidak dapat memenuhi diagnosis
penyalahgunaan zat unuk suatu zat tertentu jika tidak pernah memenuhi kriteria
untuk ketergantungan zat yang sama.

Tabel 2.2 Kriteria diagnostik untuk penyalahgunaan zat 3


A. Pola penggunaan zat maladaptif yang menyebabkan gangguan atau

29
penderitaan yang bermakna secara klinis seperti yang ditunjukan oleh satu
atau lebih hal berikut terjadi dalam periode 12 bulan:
1) Penggunaan zat rekuren yang menyebabkan kegagalan untuk
memanuhi kewajiban utama dalam pekerjaan sekolah atau rumah
(membolos berulang kali, kinerja pekerjaan yang buruk berhubungan
dengan penggunaan zat , penelantaran anak atau rumah tangga
2) Penggunaan zat rekuren dalam situasi yang berbahaya secara fisik
(mengemudikan kendaraan atau menjalankan mesin saat terganggu
oleh penggunaan zat)
3) Masalah hukum yang berhubugan dengan zat yang berulangkali
(penahan karena gangguan tingkah laku yang berhubungan dengan
zat)
4) Pemakaian zat yang diteruskan walaupun memiliki asalah sosial atau
interpersonal yang menetap atau rekurenkarena efek zat( misalnya
bertengkar dengan pasangan tentang akibat intoksiksi, perkalehian
fisik)
B. Gejala diatas tidak pernah memenuhi kriteria ketergantungan zat untuk kelas
ini

a. F1x.0 Intoksikasi Akut


Pedoman Diagnostik
- Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan: tingkat dosis zat yang digunakan
(dose-dependent), individu dengan kondisi organic tertentu yang
mendasarinya (misalnya insufisiensi ginjal atau hati) yang dalam dosis kecil
dapat menyebabkan efek intoksikasi berat yang tidak proporsional
- Disinhibasi yang ada hubungannya dengan konteks social perlu
dipertimbangkan (misalnya disinhibisi perilaku pada pesta atau upacara
upacara keagamaan)
- Intoksikasi akut merupakan suatu kondisi peralihan yang timbul akibat
penggunaan alkohol atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan

30
kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek atau perilaku, atau fungsi dan
respons psikopatofisiologis lainnya.
o Intensitas intoksikasinya berkurang dengan berlalunya waktu dan pada
akhirnya efeknya menghilang bila tidak terjadi penggunaan zat lagi.
Dengan demikian orang tersebut akan kembali ke kondisi semula,
kecuali jika ada jaringan yang rusak atau terjadi komplikasi lainnya.

Kode lima karakter berikut digunakan untuk menunjukkan apakah intoksikasi


akut itu disertai dengan suatu komplikasi:
F1x.00 Tanpa Komplikasi
F1x.01 Dengan trauma atau cedera tubuh lainnya
F1x.02 Dengan komplikasi medis lainnya
F1x.03 Dengan delirium
F1x.04 Dengan distorsi persepsi
F1x.05 Dengan Koma
F1x.06 Dengan Konvulsi
F1x.07 Intoksikasi patologis
- Hanya pada penggunaan alkohol
- Onset secara tiba-tiba dengan agresi dan sering berupa perilaku tindakan
kekerasan yang tidak khas bagi individu tersebut saat ia bebas alkohol
- Biasanya timbul segera setelah minum sejumlah alkohol yang pada
kebanyakan orang tidak akan menimbulkan intoksikasi

b. F1x.1 Penggunaan Yang Merugikan


Pedoman Diagnostik
- Adanya pola penggunaan zat psikoaktif yang merusak kesehatan, yang dapat
berupa fisik (seperti pada kasus hepatitis karena menggunakan obat melalui
suntikan diri sendiri) atau mental (misalnya episode gangguan depresi
skunder karena konsumsi berat alkohol)

31
- Pola penggunaan yang merugikan sering dikecama oleh pihak lain dan
seringkali disertai berbagai konsekuensi sosial yang tidak diinginkan
- Tidak ada sindrom ketergantungan (F1x.2), gangguan psikotik (F1x.5) atau
bentuk spesifik lain dari gangguan yang berkaitan dengan penggunaan obat
atau alkohol.

c. F1x.2 Sindrom Ketergantungan


Pedoman Diagnostik
- Diagnosis ketergantungan yang pasti ditegakkan jika ditemukan 3 atau lebih
gejala dibawah ini dialami dalam masa 1 tahun sebelumnya:
a) Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi)
untuk menggunakan zat psikoaktif
b) Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat, termasuk
sejak mulainya, usaha penghentian, atau pada tingkat sedang
menggunakan;
c) Keadaan putus zat secara fisiologis (lihat F1x.3 atau F1x.4) ketika
pengehntian penggunaan zat atau pengurangan, terbukti dengan
adanya gejala putus zat yang khas, atau orang tersebut menggunakan
zat atau golongan zat yang sejenis dengan tujuan untuk
menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala putus zat.
d) Terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif
yang diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya
diperoleh dengan dosis lebih rendah (contoh yang jelas dapat
ditemukan pada individu dengan ketergantungan alkohol dan opiat
yang dosis hariannya dapat mencapai taraf yang dapat membuat tak
berdaya atau mematikan bagi pengguna pemula;
e) Secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minat lain
disebabkan penggunaan zat psikoaktif, meningkatnya jumlah waktu
yang diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk
pulih dari akibatnya;

32
f) Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang
merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum
alkohol berlebihan, keadaan depresi sebagai akibat dari suatu periode
penggunaan zat yang berat, atau hendaya fungsi kognitif berkaitan
dengan penggunaan zat; upaya perlu diadakan untuk memastikan
bahwa pengguna zat sungguh-sungguh, atau dapat diandalkan, sadar
akan hakekat dan besarnya bahaya.

Diagnosis sindrom ketergantungan dapat ditentukan lebih lanjut dengan kode


lima karakter berikut:
F1x.20 Kini abstinen
F1x.21 Kini abstinen, tetapi dalam suatu lingkungan yang terlindung (seperti dalam
rumah sakit, komuniti terapeutik, lembaga permasyarakatan, dll)
F1x.22 Kini dalam pengawasan klinis dengan terapi pemeliharaan atau dengan
pengobatan zat pengganti (ketergantungan terkendali) misalnya dengan
methadone, penggunaan “nicotine gum” atau “nicotine patch”)
F1x.24 Kini abstinen, tetapi sedang dalam terapi aversif atau penyekat (misalnya
nalxtrone atau disulfiram)
F1x.25 Penggunaan berkelanjutan
F1x.26 Penggunaan episodic (dipsomania)

d. F1x.3 Keadaan Putus Zat


Pedoman Diagnostik
- Keadaan putus zat merupakan salah satu indicator dari sindrom
ketergantungan dan diagnosis sindrom ketergantungan zat harus turut
dipertimbangkan
- Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini
merupakan alas an rujukan dan cukup parah sampai memerlukan perhatian
medis secara khusus

33
- Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Gangguan
psikologis (misalnya anxietas, depresi dan gangguan tidur) merupakan
gambaran umum dari keadaan putus zat ini.
Yang khas ialah pasien akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda
dengan meneruskan penggunaan zat.

Diagnosis keadaan putus zat dapat ditentukan lebih lanjut dengan


menggunakan kode lima karakter berikut:
F1x.30 Tanpa komplikasi
F1x.31 Dengan konvulsi

e. F1x.4 Keadaan putus zat dan delirium


Pedoman diagnostik:
- Suatu keadaan putus zat (F1x.3) disertai komplikasi delirium (lihat kriteria
delirium pada F0.5).
- Termasuk: delirium, tremens, yang merupakan akibat dari putus alkohol
secara absolut atau relative pada pengguna yang ketergantungan berat dengan
riwayat penggunaan yang lama.Onset biasanya terjadi sesudah putus alkohol.
Keadaan gaduh gelisah toksik (confusional state) yang berlangsung singkat
adakalanya dapat membahayakan jiwa, yang disertai gangguaan somatic.
- Gejala prodromal khas berupa: insomnia, gemetar dan ketakutan. Onset dapat
didahului oleh kejang setelah putus obat.
Trias yang klasik dari gejalanya adalah:
- Kesaran berkabut dan kebinggungan
- Halussinasi dan ilusi yang hidup (vivit) yang mengenai salah satu
panca indra ( sensori modality).
- Tremor berat.
Biasanya ditemukan waham agitasi, insomnia atau siklus tidur yang terbalik dan
aktivitas otonom yang berlebihan.

34
Diagnosis keadaaan putus zat dan delirium dapat ditentukan dengan
penggunaan kode 5 karakter berikut:
F1x.40 Tanpakonvulsi
F1x.41 Dengan konvulsi

f. F1x.5 Gangguan Psikotik


Pedoman Diagnostik
- Gangguan psikotik yang terjadi selama atau segera atau sesudah penggunaan
zat psikoaktif (biasanya dalam waktu 48jam) bukan merupakan manifestasi
dari keadaan putus zat dari delirium atau suatu onset lambat. Gangguan
psikotik onset lambat (dengan onset lebih dari 2 minggu setelah penggunaan
zat) dimasukan dalam F1x.75.
- Gangguan psikotik yang disebabkan oleh zat psikoaktif dapat tampil dengan
pola yang bervariasi. Variasi ini akan dipengaruhi oleh zat yang digunakan
dan keperibadian pengguna zat pada penggunaan obat stimulant, seperti
kokain dan amfetamin, gangguan psikotik yang diinduksi oleh obat
umumnya berhubungan erat dengan tingginya dosis dan atau pengunaan zat
yang berkepanjangan diagnosis gangguan psikotik jangan hanya ditegakkan
berdasarkan distorsi persepsi atau pengalaman halusinasi bila zat yang
digunakan ialah halusinogenika primer ( misalnya lisergide (LSD),
meskalin, kanabis dosis tinggi ) perlu dipertimbangkan kemungkinan
diagnosis intoksikasi akut (F1x.0).

Diagnosis Banding:
- Gangguan mental lain yang dicetuskan dan diberatkan oleh penggunaan zat
psikoaktif, misalnya skizofrenia, gangguan afektif, gangguan kepribadian
paranoid.
Diagnosis suatu keadaan psikotik dapat ditentukan lebih lanjut dengan kode
lima karakter berikut:

35
F1x.50 Lir-skizofrenia (schizophrenic-like)
F1x.51 predominan waham
F1x.52 Predominan halusinasi (termasuk halusinasi alkoholik)
F1x.53 Predominan polimorfik
F1x.54 Predominan gejala depresi
F1x.55 predominan gejala manic
F1x.56 Campuran

g. F1x.6 Sindrom Amnestik


Pedoman Diagnostik
- Sindrom amnesik yang disebabkan oleh zat psikoaktif harus memenuhi
kriteria umum untuk sindrom amnesik organic (F04)
- Syarat utama untuk menentukan diagnosis adalah:
a) Gangguan daya ingat jangka pendek (“recent memory”, dalam
mempeelajari hal baru); gangguan sensasi waktu (“time sense”,
menyusun kembal urutan kronologis, meninjau kembali urutan
kronologis, meninjau kejadian yang berulang menjadi satu
peristiwa, dll);
b) Tidak ada gangguan daya ingat segera (immediate recall), tidak ada
gangguan kesadaran, dan tidak ada gangguan kognitif secara
umum.
c) Adanya riwayat atau bukti yang objektif dari penggunaan alkohol
atau zat yang kronis (terutama dengan dosis tinggi)

Diagnosis Banding:
- Sindrom amnesik organic non-alkoholik (F04)
- Sindrom organic lain yang meliputi gangguan daya ingat yang jelas (F00-
F03; F05)
- Gangguan depresif (F31-F33)

36
h. F1x.7 Gangguan Psikotik Residual atau Onset Lambat
Pedoman Diagnostik
- Onset dari gangguan harus secara langsung berkaitan dengan penggunaan
alkohol atau zat psikoaktif
- Gangguan fungsi kognitif afek, afek, kepribadian, atau perilaku yang
disebabkan oleh alkohol atau zat psikoaktif yang berlangsung melampaui
jangka waktu khasiat psikoaktifnya (efek residual zat tersebut terbukti secara
jelas)
o Gangguan tersebut harus memperlihatkan suatu perubahan atau
kelebihan yang jelas dari fungsi sebelumya yang normal
- Gangguan ini harus dibedakan dari kondisi yang berhubungan dengan
peristiwa putus zat (F1x.3 dan F1x.4). Pada kondisi tertentu dan untuk zat
tertentu, fenomena putus zat dapat terjadi beberapa hari atau minggu sesudah
zat dihentikan penggunaanya.

Diagnosis Banding:
- Gangguan mental yang sudah ada terselubung oleh penggunaan zat dan yang
muncul kembali setelah pengaruh zat tersebut menghilang (misalnya anxietas
fobik, gangguan depresi, skizofrenia atau gangguan skizotipal)
- Gangguan psikotik akut dan sementara (F23)
- Cedera organic dan retardasi mental ringan atau sedang (F70-F71) yang
terdapat bersama dengan penyalahgunaan psikoaktif.
Kelompok diagnostik ini dapat dibagi lebih lanjut dengan menggunakan kode lima
kakrakter berikut:
F1x.70 Kilas Balik (flashback)
- Dapat dibedakan dari gangguan psikotik, sebagian karena sifat episodiknya,
sering berlangsung dalam waktuu sangat singkat (dalam hitungan detik
sampai menit) dan oleh gambaran duplikasi dari pengalaman sebelumnya
yang berhubungan dengan oenggunaan zat.
F1x.71 Gangguan Kepribadian atau Perilaku

37
- Memenuhi kriteria untuk gangguan kepribadian organic
F1x.72 Gangguan Afektif Residual
- Memenuhi kriteria untuk gangguan afektif organik (F06.3)
F1x.73 Demensia
- Memenuhi kriteria umum untuk demensia (F00-F09)
F1x.74 Hendaya Kognitif Menetap Lainnya
- Suatu kategori residual untuk gangguan dengan hendaya kognitif yang
menetap, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk sindrom amnesik yang
disebabkan oleh zat psikoaktif (F1x.6) atau demensia (F1x.73)
F1x.75 Gangguan Psikotik Onset Lambat

i. F1x.8 Gangguan Mental dan Perilaku Lainnya


- Kategori untuk semua gangguan sebagai akiibat penggunaan zat psikoaktif
yang dapat diidentifikasi berperan langsung pada gangguan tersebut, tetapi
yang tidak memenuhi kriteria untuk dimasukkan dalam salah satu gangguan
yang telah disebutkan di atas.

j. F1x.9 Gangguan Mental dan Perilaku YTT


- Kategori untuk yang tidak tergolongkan

2.5 Pengobatan
Terdapat dua tujuan utama pengobatan. Tujuan pertama adalah abstinensi dari
zat, walaupun beberapa orang mampu untuk mengubah dari penggunaan abusisf
menjadi pola penggunaan yang sedang, meerka adalah pengecualian dari sebagian
besar dimana abstensi adalah satu satunya cara untuk pengendalian masalah.3

38
Tujuan kedua adalah kesehatan fisik pskiatrik, dan psikososial dari pasien.
Kerusakan bermakna sering kali terjadi pada sistem pendukung pasien selama
periode penyalahgunaan zat yang lama. Pasien akan berhasil menghentikan pola
penyalahgunaan zat dengan dukungan pskososial yang kuat. 3
Pendekatan pengobatan awal penyalahgunaan zat mungkin dilakukan dalam
lingkungan rawat inap atau rawat jalan. Walaupun lingkungan rawat jalan lebih
bersifat alami, rawat inap juga diindikasikan pada adanya gejala medis atau pskiatrik
yang parah, suatu riwayat gagalnya pengobatan rawat jalan, tidak adanya dukungan
psikososial atau riwayat penggunaan lama. Setelah awal periode detoksifikasi pasien
memerlukan periode rehabilitasi.3

2.6 Psikoterapi
Peran psikoterapi dalam ketergantungan alkohol sangat kontervesi, tetapi
beerapa pasien yang tidak dapat atau tidak mampu memanfaatkan alkohol
anonymous (AA) mungkin memerlukan intervensi psikoterapeutik. Ketergantungan
alkohiol adalah suatu gangguan yang sangat heterogen, dan orang dengan gangguan
harus selalu dilibatkan dalam pencernaan pengobatan. Walaupun tidak sifat
kepribadian yang spesifik dihubungan dengan alkohol, klinisi telah mengobservasi
bahwa alkhol dapat berfungsi sebagai penganti struktur fisiologis yang hilang dan
berperan mengembalikan rasa harga diri pada pasien. Bagi beberapa pasien
pskioterapi dan alcoholic anonymous bekerja secara sinergis membantu pasien
mencapai abstinensi dan psikoterapi membantu menghadapi faktor psiologis dan
interpersonal yang menyebabkan keteganggan dalam kehiduopan mereka. 2
Interpretasi psikoanalisi awal dari penyalahgunaan zat tentang suatu regresi
stadium oral dari perkembangan pskikososial sekarang telah diganti oleh pandangan
bahwa sebagian sebagian besar penyalahgunaan zat adalah adaptif dan defensif
bukanya regresif. Keadaan regresif mungkin sesungguhnya dibalikan dengan
penggunaan zat karena zat memperkuat pertahanan yang melemah terhadp afek yang
kuat, seperti rasa malu dan kemarahan. Selain itu mereka dengan ketergantungan zat
cendrung menyebabkan defisit bermakna dalam perawatan diri sendiri, yang

39
disebabkan dari perkembangan gangguan yang awal yang berperan gangguan
internalisasi orangtua. Sebagai akibatnya mereka dengan ketergantungan zat akan
sulit untuk menengkan diri mereka sendiri dan untuk mengatur pengendalian impuls
dan harga diri. 3
Penelitian metodologi aktif telah menunjukan baha penambahan psikoterapi
pada keseluruhan rencana pengobatan pada mereka dengan ketergantungan opoid
menghasilkan manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan pada pengobatan tanpa
psikoterapi. Pasien dengan gejala pskiatrik yang bermana membuat sedikit atau tidak
menghasilkan kemajuan dengan konseling saja tetapi merupakan calon yang paling
baik untk psikoterapi dan mendapatkan manfaat yang paling banyak darinya . tetapi
absitinensi dari salah gunakan adalah persyaratan dalam menghadapi gangguan
pskiatrik dasar.3

BAB IV

40
ANALISA KASUS

Seorang pasien laki-laki, Tn.MY, 24 tahun, datang ke IGD RSJ HB Saanin


Padang pada tanggal 14 Juli 2016 diantar oleh keluarga dan polisi dengan keluhan
utama gaduh gelisah sejak 3 hari yang lalu SMRS.
Dari anamnesia didapatkan pasien gaduh gelisah sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit (SMRS). Pasien tidak bisa mengendalikan diri, seperti orang kesurupan,
berbicara sendiri, serta berteriak-teriak. Pasien sebelumnya rutin mengonsumsi obat
Aditusin dalam satu hari 15-20 butir dalam 2 minggu terakhir. Paman pasien
melarang pasien mengonsumsi obat tersebut dan memarahinya. Pasien pun menjadi
semakin marah, mengamuk dan bertengkar dengan pamannya satu hari SMRS,
pasien menyerang pamannya dengan gunting menyebabkan luka pada paha
pamannya. Pasien juga merusak barang-barang dirumah dan memecahkan kaca
lemari. Pasien mengatakan saat itu emosinya semakin tidak terkendali, tidak bisa
tidur, dan badan terasa panas terbakar. Pasien juga merasa dirinya seperti dirasuki,
seperti ada yang berniat mengguna-gunai dan berbuat jahat padanya. Suasana
perasaan pasien dalam 3 hari terakhir senang karena sudah merasa tenang
dibandingkan sebelum dirawat. Namun pasien merasa bosan di bangsal dan
merindukan keluarga. Sebelum dirawat, pasien tidak ada mengalami perasaan sedih
berlebihan maupun gembira berlebihan, hal ini disebabkan saat meminum obat
Aditusin pasien merasa tenang dan segala masalah tidak lagi dipikirkan.
Pasien baru pertama kalinya mengalami gaduh gelisah seperti ini dan untuk
pertama kalinya dirawat.Pasien riwayat penyalahgunaan obat dextrometrofan sejak
tahun 2008. Pasien mengatakan, saat menggunakan obat tersebut merasa tenang,
masalah-masalah tidak terpikirkan, bernyanyi saat mengamen lebih nyaman, lebih
bersemangat dan merasa lebih percaya diri. Pasien berhenti minum obat pada tahun
2011, kemudian kembali penyalahgunaan obat-obatan dengan obat Aditusin pada
tahun 2016 sejak 1 bulan SMRS, rutin dikonsumsi setiap hari sejak 2 minggu SMRS
15-20 butir. Pasien mengonsumsi obat tersebut karena kembali bekerja mengamen
untuk manambah penghasilan.

41
Berdasarkan PPDGJ III dan DSM IV, pada pasien didapatkan adanya
gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat, yaitu aditusin yang
mengandung dextrometrofan sebagai golongan opioid lemah, sehingga axis I
memenuhi F11. Selain itu, juga terdapat gejala psikotik berupa waham kejar, pasien
merasa seperti dirasuki dimana ia berpikir hal tersebut terjadi akibat ada yang mau
mengguna-gunai dan menjahatinya. Pada pasien tidak ada gangguan persepsi, mood
hipotimia, afek terbatas dan RTA terganggu. Axis II dan III tidak ada diagnosa. Axis
IV meliputi masalah ekonomi, lingkungan sosial, dan primary support group. Axis V
memenuhi GAF Scale 80-71.
Rencana anjuran pemeriksaan pada pasien adalah laboratorium darah rutin :
Hemoglobin, hematokrit, leukosit dan trombosit, kimia klinik : faal hepar
SGOT/SGPT dan faal ginjal ureum dan creatinin, serta pemeriksaan urine : Opiates
(OPI).
Penatalaksanaan pada pasien tersebut adalah abstinensi Aditusin, farmakoterapi
dan nonfarmakoterapi. Pada farmakoterapi diberikan APG II : Risperidone 2 x 1 mg
dan Lorazepam 1x2 mg. Nonfarmakoterapi mencakup psikoterapi individual, terapi
perilaku dan terapi kognitif-perilaku, dan latihan keterampilan sosial, psikoedukasi,
serta psikoterapi keluarga.

42

You might also like