Geologi

Ir. Kumala Hardjawidjaksana, MSc.
SEJARAH PENYELIDIKAN
GEOLOGI KELAUTAN INDONESIA
Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan

Sejarah Penyelidikan
Geologi Kelautan Indonesia
Ir. Kumala Hardjawidjaksana MSc.
Editor: Irfan Khosirun
2015
iv
Sejarah Penyelidikan Geologi Kelautan Indonesia
Penulis : Ir. Kumala Hardjawidjaksana MSc.

Editor : Irfan Khosirun & Ervan Abu Nangim
Penata Letak : Irfan Khosirun
Desain Sampul : Kabamedia
Cetakan Pertama : April 2015
ISBN :

Jl. Dr. Junjunan N0. 236 Bandung. 40174
Dilarang mengutip, memperbanyak dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi

buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Hak Cipta © 2015 pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan
Sejarah Penyelidikan Geologi Kelautan Indonesia v
Pengantar
P
usat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan
(P3GL) resmi didirikan pada tanggal 6 Maret 1984 dengan
tugas utama melanjutkan dan memperluas kegiatan
pemetaan dan inventarisasi data geologi di wilayah laut Indonesia.
Secara kelembagaan, P3GL sebenarnya sudah dibentuk pada
tahun 1978 sebagai bentuk pengembangan dari Seksi Geologi Marin
di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G), Direktorat
Jenderal Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan
Energi.
Sejak P3G dibentuk, kegiatan penyelidikan geologi kelautan di
Indonesia mulai berkembang pesat. Berbagai pelayaran di seluruh
perairan Indonesia terselenggara baik melalui program kerjasama
internasional maupun kegiatan mandiri.
Buku Sejarah Penyelidikan Geologi Kelautan Indonesia ini disusun
untuk merangkai catatan kegiatan penyelidikan yang sesungguhnya
telah berlangsung lebih dari 100 tahun. Sejak abad 19, berbagai
negara telah memulai kegiatan penelitian kelautan yang memberikan
sumbangsih berupa pijakan dasar ilmu kelautan dan geologi kelautan
yang hingga saat ini terus berkembang. Serangkaian ekspedisi
untuk tujuan penelitian tersebut berlangsung di Indonesia sehingga
wilayah perairan Indonesia turut kontribusi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang geologi kelautan.
Mudah-mudahan melalui buku ini para saintis P3GL dapat
memahami penyelidikan yang telah dilakukan dan mampu mengadopsi
apa yang telah dilakukan selama ini. Indonesia banyak sekali menjalin
kerjasama internasional untuk program penyelidikan geologi kelautan
di wilayah perairan Indonesia. Kegiatan tersebut memberikan banyak
manfaat bagi Indonesia dan pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, penulis berharap rekaman berbagai penyelidikan geologi
vi
kelautan ini dapat menginspirasi pembaca untuk melakukan berbagai

terobosan di bidang penyelidikan geologi kelautan di masa mendatang.
Buku ini terdiri dari enam bab yang disusun berdasarkan tahapan
sejarah Indonesia sebagai negara dan kelembagaan geologi kelautan
di Indonesia, yaitu P3GL.
Bab 1 Penyelidikan Geologi Kelautan Sebelum Kemerdekaaan,
merangkum kegiatan pionir penyelidikan geologi kelautan di Indonesia
yang dilakukan oleh peneliti dari berbagai negara. Beberapa diantaranya
tercatat sebagai penyelidikan paling bersejarah, seperti Ekspedisi
Challenger atau Ekspedisi Snellius I.
Bab 2 Perairan Indonesia, berisi paparan mengenai karakteristik
perairan laut Indonesia, sumbangan Indonesia kepada dunia melalui
Deklarasi Djuanda yang menjadikan Indonesia dalam satu lingkupan
wilayah perairan yang utuh, serta konvensi hukum laut internasional
yang menjadi salah satu landasan pentingnya kegiatan penyelidikan
geologi kelautan.
Bab 3 Penyelidikan Geologi Kelautan Pasca Kemerdekaan Hingga
Tahun 1983, rangkuman berbagai ekspedisi geologi kelautan yang
berlangsung sejak Indonesia merdeka hingga lembaga penelitian
yang menangani penyelidikan geologi kelautan di Indonesia terbentuk,
yaitu P3GL. Pada kurun ini penyelidikan geologi kelautan di Indonesia
mayoritas terselenggara atas program kerjasama internasional.
Bab 4 Berdirinya P3GL dan Kerjasama Luar Negeri. Berisi sejarah
organisasi sebelum P3GL dan pembentukan Pusat Pengembangan
Geologi Kelautan dan kegiatan penyelidikan geologi kelautan yang
terbatas hanya kegiatan penyelidikan geologi wilayah pantai dan
kerjasama luar negeri.
Bab 5 Kemandirian Program Kelautan Indonesia, merupakan
rangkuman ekspedisi yang merupakan program penyelidikan atas
inisiatif sendiri dan kebanyakan sudah menggunakan sarana dan
prasana milik Indonesia. Seperti penyelidikan dan pemetaan geologi
kelautan dengan menggunakan Kapal Peneliti Geomarin I dan Geomarin
III, serta kegiatan kerjasama penelitian dengan instansi dalam negeri
Sejarah Penyelidikan Geologi Kelautan Indonesia vii
maupun luar negeri.

Bab 6 Peluang dan Tantangan Geologi Kelautan Indonesia,
berisi tantangan dan kendala yang sedang dan akan dihadapi oleh
Indonesia di bidang geologi kelautan. Peningkatan kapasitas sumber
daya manusia, peralatan, dan penguasaan Iptek merupakan kunci
keberhasilan program-program penyelidikan geologi kelautan Indonesia
di masa mendatang.
Mudah-mudahan kehadiran buku ini dapat memberikan manfaat
bagi keberlangsungan dan kemajuan penyelidikan geologi kelautan
di Indonesia. Sebagai negara maritim, Indonesia berpeluang menjadi
negara yang memiliki sumbangsih signifikan bagi perkembangan
geologi kelautan, baik dipandang dari aspek ilmu pengetahuan maupun
pemanfaatan nyata untuk kemajuan bersama.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada P3GL yang telah
memfasilitasi penyusunan buku ini serta rekan-rekan peneliti yang
sebagian catatan laporannya terangkum dalam buku ini.
Selamat membaca,
Bandung, Maret 2015

Ir. Kumala Hardjawidjaksana MSc.
viii
Daftar Isi
Pengantarv
Bab 1 Penyelidikan Geologi Kelautan Sebelum Kemerdekaan 1

Ekspedisi Challenger�� 4
Ekspedisi Gazelle�� 6
Ekspedisi Valdivia �� 7
Ekspedisi Siboga�� 8
Ekspedisi Snellius I�� 10
Ekspedisi Vening Meinesz ��11
Bab 2 Perairan Indonesia 15

Karakteristik Wilayah Laut Indonesia�� 16
Sumbangan Indonesia kepada Kelautan Dunia Melalui Deklarasi Djuanda�� 16
Konvensi Hukum Laut Internasional dan Kesempatan Indonesia Melakukan
Klaim Landas Kontinen�� 19
Bab 3 Penyelidikan Geologi Kelautan Pasca Kemerdekaan

Hingga Tahun 1983 23
R.V. Pioneer (USA)�� 26
Operasi Baruna I�� 26
Penyelidikan Geologi Kelautan Pertama dengan CCOP �� 27
Penyelidikan Bersama di Perairan Kalimantan�� 27
Penyelidikan di Perairan Kepulauan Natuna�� 27
Survey Geologi dan Geofisika Menggunakan R.V Chain�� 28
Program Kerjasama Skala Besar dengan Lembaga Internasional SEATAR-
IDOE-CCOP-IOC�� 28
Penyelidikan Geologi dan Geofisika di Perairan Selat Malaka�� 31
Ekspedisi Indopac�� 31
Sejarah Penyelidikan Geologi Kelautan Indonesia ix
Ekspedisi Mariana�� 34
Ekspedisi MARA�� 34
Ekspedisi R.V. Sonne�� 34
Ekspedisi Kapal Riset Seismic Resolution (PAC I, II, dan III)�� 36
Ekspedisi RAMA �� 38
Ekspedisi R.V. Corindon�� 40
Ekspedisi SINTA�� 41
Bab 4 Berdirinya P3GL dan Kerjasama Luar Negeri 45

Sejarah Organisasi Sebelum P3GL�� 46
Pembentukan Pusat Pengembangan Geologi Kelautan�� 47
Kegiatan Penyelidikan dan Pemetaan Geologi Kelautan �� 51
Penyelidikan Geologi Kelautan Regional Skala 1 : 1.000.000�� 52
Penyelidikan Geologi Wilayah Pantai�� 54
Penyelidikan Gaya Berat Dasar Laut�� 56
Aplikasi Data dan Informasi Geologi Kelautan Bagi Kegiatan
Pembangunan. �� 57
Kerja Sama Luar Negeri Pusat Pengembangan Geologi Kelautan�� 59
Kerja Sama Bilateral�� 60
Kerja Sama Multilateral�� 70
Bab 5 Kemandirian Program Kelautan Nasional 75

Pemetaan Geologi Dasar Laut Bersistem Skala 1 : 250.000�� 76
Ekspedisi SHIVA�� 80
Ekspedisi Mentawai�� 84
Ekspedisi Selatan Jawa Barat�� 86
Ekspedisi Bone�� 87
Ekspedisi Timor�� 89
Ekspedisi Sumba-Sawu �� 90
Ekspedisi Toraja�� 91
x
Ekspedisi Geobandut�� 93
BIRPS�� 95
Ekspedisi Gesinos �� 97
Ekpedisi Sumenta II�� 99
Ekspedisi Salawati-Hasaram�� 100
Ekspedisi AGSO�� 102
Ekspedisi Gorontalo – Hasaram�� 104
Pelayaran Banda (Banda Sea II)�� 105
Ekspedisi Moyo�� 107
Ekspedisi Natuna�� 107
Ekspedisi Barat �� 109
Pelayaran MODEC II��113
Ekspedisi GINCO I (Sonne 137)��115
Ekspedisi IMAGES IV��117
Pelayaran Daeyang��119
Penyelidikan Selat Sunda (RV Yokosuka)�� 121
Ekpedisi ICOMAR�� 123
Ekpedisi IASSHA �� 124
Ekspedisi INSTANT�� 126
Ekspedisi Kombamin (Bandamin 3)�� 130
Ekspedisi Andaman (RV Natsuhima)�� 132
Survei Klaim Landas Kontinen Indonesia �� 135
Ekspedisi Core IT�� 137
Ekspedisi VITAL�� 140
Survei dan Penelitian Potensi Migas di Cekungan Gorontalo �� 142
Survei dan Penelitian Potensi Migas di Lepas Pantai Utara Jawa Timur�� 145
. tudy Potensi Geo-Risk Sepanjang Zona Konvergen Aktif (Seacause I dan II)
S
�� 147
Survei Potensi Hidrokarbon Sepanjang Zone Konvergen Aktif di Lepas Pantai
Barat Sumatera�� 149
Sejarah Penyelidikan Geologi Kelautan Indonesia xi
Survei Potensi Kebencanaan “PreTI-Gap” di Perairan Mentawai�� 155

Survei Pra-Tsunami: Studi Seismik Dalam�� 158
Deteksi Gunung Bawah Laut Di Barat Bengkulu�� 159
Ekspedisi Monocir 2�� 160
Ekspedisi INDEX SATAL�� 161
ATSEA 2010�� 164
Pemetaan Geologi dan Geofisika Kelautan Bersistem
Ekspedisi MAJA�� 165
Ekspedisi Widya Nusantara�� 167
Ekspedisi Benthic�� 168
Pemetaan Landas Kontinen di Perairan Utara Papua�� 171
Bab 6 Strategi dan Peluang Geologi Kelautan di Wilayah

Perairan Indonesia 175
Kondisi Kini dan Masa Depan Sumberdaya Kelautan �� 176
Visi dan Strategi Pengelolaan Sumberdaya Mineral dan Energi di Wilayah
Perairan �� 178
Harapan dan Tantangan untuk Mengembangan Kelautan di Indonesia �� 180
Strategi Jangka Panjang untuk Pengembangan “Kelautan” IBT �� 181
Kesimpulan�� 183
Daftar Acuan 195
Riwayat Hidup Penulis 205

BAB 1
Penyelidikan Geologi
Kelautan Sebelum
Kemerdekaan
2 Penyelidikan Geologi Kelautan Sebelum Kemerdekaan
A
ktivitas penelitian geologi kelautan di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari semaraknya kegiatan eksplorasi
yang dilakukan oleh bangsa Eropa pada abad 19. Saat
itu manusia sudah menguasai teknologi pelayaran jarak jauh yang
lebih baik dibandingkan abad sebelumnya. Beberapa pelayaran yang
semula merupakan misi pencarian tempat-tempat baru di seluruh
penjuru bumi, pada pertengahan abad 19 mulai diarahkan pada misi
penelitian kelautan.
Berbagai ekspedisi yang dilakukan pada kurun ini telah memberikan
fondasi ilmu kelautan yang terus digunakan hingga saat ini. Perairan
Indonesia juga menjadi salah satu wilayah lintasan penelitian karena
pada saat itu fokus ekspedisi yang dilakukan beberapa negara adalah
wilayah Pasifik.
Berikut adalah daftar ekspedisi kelautan yang berlangsung sejak
abad ke-18 oleh beberapa negara.
Tabel 1.1. Ekspedisi Kelautan Sejak Abad ke-18

Pemimpin Kapal Kebangsaan Tahun
Ekspedisi
De Bouganville Boudeuse and Etoile Perancis 1768
James Cook Endeavour Inggris 1770
Dentrecasteaux Recherche and Perancis 1793 - 1794

d’Auribeau Esperance
Baudin Geographe and Perancis 1800 - 1804

Nauraliste and
Casaurina
De Feycinet Uranie and Perancis 1817 - 1820

Physicienne
Duperry Coquille Perancis 1822 - 1825
De Bouganville Jr. Thetis and Esperance Perancis 1824 - 1826
Kolff Dourga Belanda 1825 - 1826
Dumont d’Irvile Astrolabe Perancis 1826 - 1829

Sejarah Penyelidikan Geologi Kelautan Indonesia 3
Pemimpin Kapal Kebangsaan Tahun

Ekspedisi
Fitzrov Adventure and Inggris 1826 - 1836
Beagle
Steenboom Triton and Iris Belanda 1828
Laplace Favorite Perancis 1830 - 1832
Laplace Artemise Perancis 1837 - 1840
Dumont d’Urville Astrolabe and Zele Perancis 1837 - 1840
Belche Sulphur Inggris 1837 - 1842
Tidak diketahui Samarang Inggris 1843 - 1846
von Wullerstorf- Novara Austria 1858

Urbair
Siedenburg Cachelot Belanda 1858
Bullock Serpent Inggris 1863
Wyville Thomson Challenger Inggris 1875
Von Schleinitz Gazelle Jerman 1875
Tidak diketahui Borneo Belanda 1881
Barker Enterprise Amerika 1883
Jewel Essex Amerika 1886
Tidak diketahui Flying Fish Inggris 1886 - 1887
Aldrich Egeria Inggris 1887 - 1888
Tidak diketahui Recorder Inggris 1888
Tidak diketahui Benkoelen Belanda 1889
Vereker Rambler Inggris 1890
Tidak diketahui Banda Belanda 1896
Chun Valdivia Jerman 1898 - 1899
Weber Siboga Belanda 1899 - 1900

Ekspedisi Challenger
Ekspedisi Challenger adalah ekspedisi besar pertama yang
dilakukan untuk mengungkap misteri bawah laut. Pada era Victorian,
ekspedisi ini kurang lebih setara dengan misi penerbangan Apollo ke
bulan di abad 20. Ekspedisi Challenger merupakan kegiatan penyelidikan
ilmiah yang memberikan dampak signifikan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan kelautan di dunia.
Pelayaran yang menggunakan kapal HMS Challenger ini
berlangsung mulai tahun 1872 hingga 1876 dan menghasilkan banyak
sekali penemuan yang menjadi tonggak dasar ilmu oseanografi.
Ekspedisi Challenger dipimpin oleh Kapten George Nares. HMS
Challenger berangkat dari Portsmouth, Inggris, pada 21 Desember
1872. Tim yang terlibat terdiri dari 21 orang peneliti dan 216 anak buah
kapal. Tetapi pada akhir perjalannya pada tahun 1876, hanya tersisa
Gambar 1.1. Kapal HMS Challenger yang Digunakan pada Saat Ekspedisi Challenger
1872 – 1876 (en.wikipedia.org/wiki/Challenger_expedition)
144 orang karena ada yang meninggal di tengah-tengah ekspedisi,

mundur dari ekspedisi, ditinggalkan di tengah perjalanan karena sakit,
dan dipulangkan.
Selama empat tahun melakukan penyelidikan, HMS Challenger
telah menempuh kurang lebih 130.000 km dan melintasi hampir seluruh
belahan dunia. Ekspedisi Challenger mulai melintasi Indonesia bagian
Timur pada tahun 1874.
Sekitar bulan September 1874, Kapal HMS Challenger melewati
Laut Banda dan sempat berlabuh di Pulau Banda. Kemudian pada
Oktober 1874, kapal mencapai Amboina (Kepulauan Ambon) dan
melanjutkan perjalannya ke Pulau Ternate. Selepas dari Ternate, HMS
Challenger melanjutkan perjalannya ke Filipina melewati laut Celebes
(Sulawesi).
Tujuan ekspedisi yang diprakarsai oleh Kerajaan Inggris ini adalah:
• Melakukan penyelidikan kondisi fisik laut dalam, seperti
kedalaman, temperatur, dan arus laut.
• Melakukan penyelidikan komposisi kimia air laut pada berbagai
kedalaman, mulai dari permukaan laut hingga dasar laut.
• Menentukan karakter fisik dan kimia dari sampel yang diambil
dari dasar laut.
• Melakukan penyelidikan distribusi makhluk hidup pada berbagai
kedalaman di dasar laut.
Gambar 1.2. Lintasan yang Dilalui oleh HMS Challenger Mulai Desember 1872 hingga
Mei 1976 (en.wikipedia.org/wiki/Challenger_expedition).
Untuk mencapai tujuan tersebut, pada Ekspedisi Challenger

para peneliti menggunakan metoda pemeruman (echosounding),
pengambilan contoh sedimen permukaan dasar laut, pengukuran
salinitas, dan temperatur air laut. Oleh karena itu, Ekspedisi Challenger
merupakan ekspedisi yang sangat berarti bagi pengetahuan oseanografi
dan geologi kelautan di perairan Indonesia Timur.
Ekspedisi Gazelle
Mengikuti jejak Ekspedisi Challenger, angkatan Laut Jerman
melakukan ekspedisi selama dua tahun dengan rute mengelilingi bumi
mengunakan SMS Gazelle. Ekspedisi yang dimulai pada tahun 1874
ini juga melewati wilayah perairan Indonesia. Selain mengambil data
permukaan laut, pelayaran ini juga meneliti arus, kedalaman laut, dan
mengumpulkan sampel zoologi dan botani dari laut dan garis pantai.
Ekspedisi yang dipimpin oleh Georg Balthazar von Neumayer ini
awalnya ingin melihat lintasan planet Venus melewati matahari.
Tujuannya adalah agar dapat mengetahui jarak antar objek di tata
Gambar 1.3. Kapal SMS Gazelle yang Digunakan pada Ekspedisi Gazelle. (de.wikipedia.
org/wiki/SMS_Gazelle_(1859))
surya bimasakti. Namun pada perjalanannya, Neumayer ingin

mengembangkan cakupan ekspedisi lebih dari sekedar itu. Maka
penelitian oseanografis pun dilakukan selama perjalanannya.
Jalur pelayaran yang dilalui adalah dari Kerguelen sampai
Mauritius. Pada rute ini, tepatnya di Montevideo, Gazelle bertemu
dengan Challenger yang saat itu juga sedang berlayar. Lalu mereka
bekerjasama untuk mengatur rute agar lebih banyak kawasan Atlantik
yang dilalui.
Ekspedisi Valdivia
Ekspedisi Valdivia dilaksanakan pada tahun 1899. Dipimpin oleh
Carl Chun, seorang marine biologist yang sangat tertarik dengan
kehidupan bawah laut. Carl Chun termotivasi dan merasa perlu
meneruskan penelitian penelitian Challenger. Maka ia mengajukan
dana untuk penelitian bawah laut Jerman yang pertama. Kaisar Jerman
terakhir, Wilhelm II, menyambut ide ini dan memberi Carl Chun dana
Gambar 1.4. Kapal Valdivia Milik Jerman. (blog.biodiversitylibrary.org)

untuk penelitiannya.
Tujuan ekspedisi ini adalah mengumpulkan sebanyak mungkin
sampel biologis dengan fokus pada cara adaptasi organisme terhadap
kondisi ekstrim lingkungan yang mereka tempati. Dengan demikian
ekspedisi ini menghasilkan banyak studi tentang organ penghasil
cahaya yang dimiliki hewan pada berbagai kedalaman laut.
Kapal Valdivia berangkat pada 31 Juli 1898 dan melalui 268 titik di
Pantai Barat Afrika Selatan, Teluk Guinea, laut Antartika, kemudian ke
Samudera Hindia termasuk Indonesia.
Mereka menempuh 32.000 mil laut dan mendapat spesimen yang
luar biasa banyak, sampai-sampai penemuan-penemuan mereka baru
tuntas diterbitkan setelah 40 tahun setelah ekspedisi selesai. Hasil
penelitian ini dipublikasikan dalam buku yang terdiri dari 24 volume
dengan tajuk Wissenschaftliche Ergebnisse der Deutschen Tiefsee-
Expedition auf dem Dampfer “Valdivia” 1898-1899 (Scientific results of
the German deep-sea expedition on the steamer “Valdivia” 1898-1899).
Ekspedisi Siboga
Ekspedisi Siboga adalah ekspedisi zoologis dan hidrografis Belanda
ke wilayah Hindia Belanda (Indonesia kini). Pelayaran berlangsung
mulai dari Maret 1899 hingga Februari 1900. Salah satu tempat yang
dituju Ekspedisi Siboga perairan Maluku.
Pemimpin Ekspedisi Siboga adalah Max Wilhelm Carl Weber.
Nama dari pemimpin ekspedisi ini kemudian diabadikan sebagai nama
cekungan laut terdalam di Laut Banda, yaitu Weber Deep. Peserta lain
adalah istrinya Anna Weber-van Bosse; seorang zoolog asisten pertama
Jan Versluys, zoolog dan asisten kedua Hugo Nierstrasz; fisikawan A.
Schmidt; dan kartograf J.W. Huysmans. Kapten ekspedisi ini, Gustaaf
Tydeman yang sekaligus bertugas melakukan pengukuran batimetri.
Kapal Siboga berangkat dari Amsterdam pada 16 Desember 1898
dan tiba di Jakarta pada 7 Februari 1899. Kemudian, Siboga berlayar
ke Surabaya pada 11 Februari 1899 dan di kota ini bersiap melakukan
Gambar 1.5. Para Peneliti yang Tengah Melakukan Penyelidikan pada Ekspedisi Siboga.
(en.wikipedia.org/wiki/Siboga_Expedition)
ekspedisi ilmiah.
Peneliti kemudian berangkat dari Surabaya pada 7 Maret 1899
selama hampir setahun. Mereka kembali kembali pada 26 Februari
1900. Peneliti pulang dengan mendapat hasil observasi biologis,
fisiokemikal, dan etnografis.
Penelitian ini berfokus pada pengambilan sampel organisme marin
di kedalaman dan faktor fisiokemikal pada lingkungan bawah laut,
terutama pada Bali basin yang mengalir di bagian barat Laut Flores
yang mencapai kedalaman 1500 m.
Studi tentang koral dilakukan di area yang bertepatan dengan
berdiamnya kapal di malam hari. Area penelitian koral tersebut adalah
di pantai timur Jawa, area Djangkar dan Batjulmati, kemudian pantai
selatan Pulau Kangean.
Peserta ekspedisi Siboga juga meneliti kawasan Selat Lombok
untuk mengkonfirmasi penelitian R. Wallace tentang area tersebut.
Ekspedisi ini menemukan perbedaan profil dasar laut yang sangat
beragam di perairan ini. Data dari Ekspedisi Siboga ini bersama
dengan data yang dikumpulkan oleh Ekspedisi Snellius I (1929-1930)
memberikan dasar pengertian tentang keadaan Perairan Indonesia
pada umumnya, terutama dipandang dari sudut biologi, oseanografi,

dan geologi lautnya.
Gambar 1.6. Jalur yang Dilalui pada Ekspedisi Siboga. (en.wikipedia.org/wiki/Siboga_Expedition)
Ekspedisi Snellius I
Pada tahun 1929-1930, Pemerintah Belanda melakukan Ekspedisi
Snellius I yang bertujuan untuk mengetahui kedalaman laut, sifat
fisika, kimia, biologi, geologi, dan meteorologi di perairan Indonesia
Timur. Ekspedisi ini menggunakan Kapal Riset Willerbrord Snellius (id.
wikipedia.org/wiki/Ekspedisi_Snellius) dipimpin oleh K.M. Van Weel
yang juga sebagai Ketua Departemen Oseanografi dan Meteorologi
Maritim dari Institute Meteorologi Kerajaan Belanda (KNMI) , ditemani
beberapa peneliti seperti H. Boschma, Ph. H. Kuenen, A. Boelman, H.
C. Hamaker dan H. J. Hardon. Penelitian ini berlangsung dari 27 Juli
1929 sampai 25 November 1930. Daerah yang diteliti mencakup 3 juta
kilometer persegi. Hasil dari penyelidikan Snellius I ini telah memberikan
pemahaman dasar tentang pengetahuan kelautan, umumnya untuk
wilayah Indonesia Bagian Timur. Hasil tersebut diterbitkan dalam bentuk

buku yakni Wetenschappelijke Uitskomsten der Snellium-Expeditiel,
yang disusun oleh E.J. Breill-Leiden, terdiri dari 6 jilid dan 12 bab.
Salah satu anggota tim Ekspedisi Snellius I, yaitu Ph. H. Kuenen,
seorang geologist kelautan terkenal, menyumbangkan wawasan yang
lebih baik tentang geologi cekungan laut di Indonesia Bagian Timur dan
menetapkan Palung Banda sebagai bagian laut yang terdalam di Hindia
dengan kedalaman lebih dari 7400 meter. Selain itu, Ekspedisi Snellius
I ini juga memberikan sumbangsih signifikan bagi pengembangan
disiplin ilmu geologi kelautan.
Ekspedisi Vening Meinesz

Ekspedisi Vening Meinesz merupakan salah satu penyelidikan
lainnya di wilayah perairan Indonesia telah memberikan suatu kontribusi
penting sebagai landasan terhadap pemahaman ciri-ciri struktur regional
dari busur kepulauan. Pelayaran ini dipimpin oleh Felix Andries Vening
Meinesz. Pada 1927, 1929, dan 1930, peneliti ini melakukan penelitian
dengan menggunakan kapal selam yang tujuannya menentukan bentuk
pasti geoid dan bumi.
Salah satu penemuan yang mengagumkan dan penting adalah
penggunaan alat yang dapat mengukur gravitasi di dalam laut. Selain
itu, ia juga memperoleh penemuan adanya anomali gaya berat negatif
yang melengkung sepanjang 8.000 km sejajar dengan busur kepulauan
Indonesia. Fenomena tersebut telah dijadikan konsep dasar penafsiran
tektonik dan struktur wilayah Indonesia yang sekarang dikenal sebagai
konsep tektonik lempeng.
Peneliti ini telah mendapat banyak penghargaan berupa penggunaan
namanya sebagai gravimeter, fungsi matematika yang digunakan
dalam geodesi, medali yang diberikan European Geophysical Society/
European Geosciences Union, sekolah riset di Utrecht University,
bahkan menjadi salah satu nama kawah di bulan.
Bab 2
Perairan Indonesia
16 Perairan Indonesia
Karakteristik Wilayah Laut Indonesia
I
ndonesia terletak di garis khatulistiwa Asia - Pasifik pada posisi
92°BT sampai dengan 141°BT dan 7°20’ LU sampai dengan 14°
LS. Sebagai negara kepulauan, Indonesia menempati posisi
yang strategis karena memiliki wilayah laut yang luas dan terletak pada
posisi silang yang menghubungkan dua benua (Asia dan Australia)
serta dua samudera (Hindia dan Pasifik).
Bentuk kepulauan Indonesia saat ini merupakan hasil interaksi antar
lempeng, yang mulai terjadi puluhan juta tahun yang lalu (Hamilton,
1979).
Gambar 2.1. Lempeng yang mengapit indonesia. (ekobudiarta.files.wordpress.

com/2012/08/lempeng-yang-mengapit-indonesia1.png)
Lempeng Indo-Australia bergerak relatif ke arah utara menunjam

ke bawah lempeng benua Eurasia yang relatif diam dan stabil. Hal ini
menghasikan bentukan morfologi dasar laut yang beragam.
Dari arah timur, lempeng Samudera Pasifik bergerak relatif ke arah
barat, menunjam ke bawah lempeng benua Eurasia. Proses tektonik
ini menghasilkan rupa morfologi yang tidak kalah kompleks, terlebih
dengan adanya pemekaran lantai samudera dan pertemuan antar
lempeng membentuk beragam rupa morfologi. Salah satu yang paling
menonjol adalah di perairan Banda.
Sumbangan Indonesia kepada Kelautan

Dunia Melalui Deklarasi Djuanda
Pengakuan kepada Indonesia sebagai negara kepulauan secara
internasional merupakan perjuangan yang panjang. Berdasarkan
sistem Ordonansi Kolonial 1939 Territoriale Zee en Meritieme Kringen
Ordonnantie (Staatsblad Tahun 1939 No. 442), laut teritorial didefinisikan
hanya 3 mil laut mengelilingi tiap-tiap pulau. Adapun di luar 3 mil laut
dinyatakan sebagai laut bebas.
Deklarasi Djuanda dicetuskan pada 31 Desember 1957 oleh
Perdana Menteri Indonesia saat itu, Djuanda Kartawidjaja. Deklarasi
ini menyatakan kepada dunia Indonesia sebagai Negara Kepulauan
yang menyatukan laut antara pulau-pulau dengan daratannya sebagai
satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Deklarasi
Djuanda 1957 kemudian menghapus Sistem Ordonansi Kolonial 1939.
Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957,
menyatakan:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang
mempunyai corak tersendiri.
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah
merupakan satu kesatuan.
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah
belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut
mengandung suatu tujuan:
1. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik
Indonesia yang utuh dan bulat
2. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan
azas negara Kepulauan
3. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih
menjamin keamanan dan keselamatan NKRI
Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/

PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik
Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250
km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia

tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, deklarasi ini pada tahun
1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum
laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of
The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali
dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982
bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Deklarasi Djuanda memuat istilah Wawasan Nusantara
(archipelagic state principle), yaitu memandang laut merupakan satu
keutuhan wilayah dengan darat, udara, dasar laut dan tanah di
bawahnya, serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya tidak
boleh di pisah-pisahkan. Laut bukan lagi sebagai pemisah, tetapi
sebagai pemersatu wilayah perairan Indonesia. Konsep ini menjelaskan
bahwa laut nusantara adalah wilayah kedaulatan mutlak Negara
Kesatuan Republik Indonesia. (id.wikipedia.org/wiki/deklarasi_
djoeanda)
Gambar 2.2. Peta Batas Laut Wilayah Indonesia Berdasarkan TZMKO 1939 (sebelum
Deklarasi Djuanda) (saripedia.files.wordpress.com/2012/12/peta_indonesia_1939.
jpg)
Cara pandang terhadap wilayah perairan kepulauan melalui

Deklarasi Djuanda ini memberikan keuntungan bagi seluruh negara
kepulauan di seluruh dunia. Dengan demikian, arti penting Deklarasi
Djuanda bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga bagi dunia yang
kelak diatur dalam konvensi hukum laut internasional.
Gambar 2.3. Peta Laut Indonesia Setelah Deklarasi Djuanda (saripedia.files.

wordpress.com/2012/12/peta_indonesia_1939.jpg)
Konvensi Hukum Laut Internasional dan

Kesempatan Indonesia Melakukan Klaim
Landas Kontinen
Pada tahun 1959, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk
United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN)
melalui Resolusi UN Economic and Social Council (UN-ECOSOC),
tanggal 23 April 1959, 31 Mei 1968, dan 4 Mei 1974. Rosolusi ini
mengajukan pembakuan nama unsur geografi, baik pada tingkat
nasional maupun internasional. Pembakuan ini kemudian dilaporkan
melalui UN Conference of Standarization of Geographical Names
(UNCSGN) yang diselenggarakan setiap 5 tahun yang mulai sejak
tahun 1967 di Geneva.
Dalam rangka meratifikasi UNCLOS 1982 (United Nation Convention
on the Law of the Sea), Indonesia kemudian menindaklanjutinya dengan
menerbitkan UU No. 17 tahun 1985. Sejak itu dunia internasional
mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic state,
UNCLOS 1982, pasal 46). Selanjutnya, dibentuk tiga Kelompok Kerja

(Working Groups) yang akan melakukan aktivitas pemberian nama
geografi, yaitu:
1. Kelompok Kerja dalam toponimi nama-nama pulau, dilakukan
oleh Departemen Kelautan dan Perikanan,
2. Kelompok Kerja dalam toponimi morfologi dasar laut, dilakukan
oleh Puslitbang Geologi Kelautan,
3. Kelompok Kerja dalam file data digital toponimi, dilakukan oleh
Bakosurtanal.
Negara kepulauan Indonesia mempunyai luas laut teritorial

mencapai 3,1 juta km2 dan luas wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
mencapai 2,7 juta km2 dengan garis pantai sepanjang lebih kurang
81.000 km (garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada), serta
jumlah pulau sebanyak 17.504 yang mengandung kekayaan laut hayati
dan non-hayati yang melimpah. Laut dalam suatu negara kepulauan
memiliki peran yang sangat strategis, karena lautan beserta dengan
pulau-pulau dan wujud alamiah lainnya merupakan suatu kesatuan
geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki (Archipelagic State, UNCLOS
1982, pasal 46).
Batas landas kontinen Indonesia secara umum ditetapkan dalam
UU No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, sedangkan
menyangkut batasnya diatur dalam UU No. 17 tahun 1985 tentang
Pengesahan UNCLOS (diatur dalam part VI Article 76 UNCLOS-82).
Konvensi Hukum Laut International (UNCLOS) 1982 memberikan
kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap
wilayah landas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis
pangkal, dari jarak 200 mil laut yang telah ditetapkan. Penambahan
batas landas kontinen hingga 350 mil laut dapat dilakukan jika memenuhi
persyaratan seperti yang tertera dalam aturan tersebut. Sehubungan
dengan konvensi ini, Indonesia berupaya untuk melakukan pengumpulan
data dan pengkajian terhadap kemungkinan untuk dapat melakukan
submisi (submission) ke PBB mengenai batas landas kontinen
Indonesia di luar 200 mil laut.
Berdasarkan hasil studi sementara oleh Tim Kajian Landas

Kontinen pada tahun 2005, terdapat tiga lokasi di mana Indonesia
memiliki prospek untuk melaksanakan submisi landas kontinen di luar
200 mil yaitu, di sebelah barat Aceh, selatan P. Sumba dan utara P.
Papua.
Gambar 2.4. Informasi Tentang Batas Landas Kontinen, Garis 200 Mil Laut dan
350 Mil Laut dari Garis Pangkal, yang Menunjukkan Kontinental Margin Masih
Berada di Dalam Jarak 200 mil Laut serta Lokasi dari Tiga Daerah Prospek untuk
Submisi Landas Kontinen di luar 200 Mil Laut. (Djajadihardja dkk., 2006)
Bab 3
Penyelidikan Geologi
Kelautan Pasca
Kemerdekaan Hingga Tahun
1983
24 Penyelidikan Geologi Kelautan Pasca Kemerdekaan
P
enyelidikan geologi kelautan pasca kemerdekaan Indonesia
masih terbatas pada penelitian kerja sama Pemerintah
Indonesia dengan Institut/Badan dari luar negeri.
Sebagian besar dari kegiatan penyelidikan terpusat di wilayah
Indonesia Bagian Barat, meliputi perairan Selat Malaka, Paparan Sunda
bagian utara, Pulau Nias, Laut Cina Selatan, serta perairan Indonesia
Bagian Timur, khususnya Kawasan Busur Banda.
Tabel 3.1.
Daftar Kegiatan Penyelidikan Geologi Kelautan di Indonesia Sejak Tahun 1967
s.d 1983
No Tahun Kapal Peneliti Ekspedisi Program Daerah Laut
1 1964 KM Baruna Operasi Baruna P3G, LIPI, Perairan Maluku

I KOTI
2 1966 - KM Baruna Operasi Baruna P3G, LIPI, Samudera

1967 II KOTI Indonesia, Perairan
Indonesia Tmur
3 1967 Sagitair (CGG – - Unesco / PT. Perairan Bangka

Perancis) Timah dan Belitong
4 1967 Burujulasad - CCOP Laut Cina Selatan

(Indonesia)
5 1969 Jalanidhi - Unesco / LIPI Perairan Natuna

(Indonesia)
6 1975 -sda- - Geol.Map. Busur Kepulauan

Divission /GSI Banda
7 1970 M.V. Freed More - Mobil Oil Laut Jawa
8 1975 Thomas Eurydice Leg 5 IDOE/SIO Samudera Hindia

Washington (SIO,
USA)
9 1975 - Ekspedisi LON-LIPI, dan Perairan Maluku

Rumphius II Unesco.
10 1975 - - Ekspedisi Universitas Pulau Seram dan

1976 Seram London Pulau Ambon
11 1976 -sda- Indopac Leg 7 SEATAR / Laut Maluku,

USCS Banda, dan Arafura
12 1976 -sda- Indopac Leg 8 SEATAR / SIO Laut Banda

13 1977 -sda- Indopac Leg 10 SEATAR / Laut Maluku

USCS
14 1977 -sda- Indopac Leg 14 SEATAR / SIO Perairan Padang-

Jawa, Perairan
Banda – Biak
15 1979 -sda- Mariana Leg 9 SEATAR / Laut Sulawesi dan

USCS Maluku
16 1980 -sda- Rama Leg 5 SEATAR / SIO Bitung – Padang,

Samudera Hindia
17 1980 -sda- Rama Leg 6 SEATAR / SIO Nias, Samudera

Hindia
18 1981 -sda- Rama Leg 12 SEATAR / Bagian Timur Busur

USCS Sunda
19 1976 Atlantis II All Leg 12 SEATAR / Laut Timor dan Laut

WHOI Banda
20 1976 -sda- All Leg 13 ” Laut Banda dan

Selat Makassar
21 1976 -sda- All Leg 14 “ Samudera Hindia,

Darwin – Singapura
22 1977 Valdivia (Jerman Leg VA-16 “ Laut Sawu

Barat)
23 1976 Osa-Falcon - UNDP / BGR Selat Maluku
24 1979 ? - UNDP / BGR / Selat Maluku

PT Timah
25 1980 Dabo - UNDP / BGR / Offshore Riau

PT Timah
26 1980 Resolution PAC Leg 1 IFP Total – Laut Flores, Sawu,

(Perancis) C.F.P dan Banda
27 1981 Sonne (Jerman Leg 16-C1 & C2 BGR Laut Arafura – Selat
Barat) Makassar
28 1980 Le Coriolis Corindon II CNEXO, Selat Makassar

(Perancis) LPGN-LIPI,
P3G
29 1981 -sda- Corindon III CNEXO, Laut Flores dan

LPGN-LIPI, Makassar
P3G.
30 1981 Resolution PAC Leg III FP Total – Banggai-Sula, Buru,

C.F.P. Seram, Misool
31 1982 Le Coriolis Corindon VII LPGN-LIPI,

P3G, Perancis
32 1983 Le Coriolis Corindon IX LPGN-LIPI,

P3G, Perancis
33 1983 Le Coriolis Corindon CNEXO/ Perairan Bangka

RISTER
34 1983 Kana Keoki SINTA USCS/USA Laut Banda
Berikut ini gambaran beberapa pelayaran-pelayaran tersebut.
R.V. Pioneer (USA)

Pada tahun 1964, R.V. Pioneer (USA) melakukan ekspedisi di
Samudera Hindia, Selat Sunda, Selat Malaka, Lombok, Selat Makassar,
serta bagian timur dari Laut Jawa. Ekspedisi ini memperoleh data
batimetri, gaya berat, magnetik, dan penampang seismik.
Operasi Baruna I
Pada tahun 1964 LIPI beserta lembaga dan beberapa universitas
di Indonesia ikut serta dalam kegiatan Operasi Baruna yang
diselenggarakan oleh Komando Operasi Tertinggi (KOTI), yang
Panglimanya adalah Jenderal Ahmad Yani. Operasi inii merupakan
program penelitian kelautan nasional besar-besaran yang pertama
kali dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri, yang juga diikuti oleh tim
Jepang.
Lebih kurang 200 orang berpartisipasi dalam Operasi Baruna
tersebut, termasuk peneliti, teknisi dan tim pengamanan dari Kipam

(Marinir). Dalam operasi ini dipergunakan tiga buah kapal, yaitu KR.
Jalanidhi dari MIPI. KM. Djadajat dari Dirjen Pelayaran, Departemen
Perhubungan, dan KR 1. Tamrau dari AL. Pelayaran dilaksanakan dari
9 Mei s/d 27 Juli 1964 dimulai dari bagian timur Pulau Madura sampai
ke Irian, dengan pusat kegiatan disekitar Laut Banda dan Laut Arafura.
Bidang yang diteliti antara lain biologi laut, oseanografi, perikanan,
geologi, vulkanologi, dan meteorologi. Hasil yang diperoleh selama
ekspedisi ini adalah batimetri, seismik dan contoh sedimen laut.
Operasi Baruna kemudian dilanjutkan dengan penyelengaraan
Operasi Baruna II dan III di bawah koordinasi Djawatan Hidrografi AL.
Operasi Baruna II dilaksanakan dari 20 November 1966 s/d 18 Februari
1967 dengan KRI. Burudjulasad dan dari l0 April s/d Juni 1967 dengan
KR. Jalanidhi. Operasi Baruna III dilaksanakan dari Maret s/d April 1970
dengan menggunakan KR. Jalanidhi (Soemodihardjo, dkk., 2005).
Penyelidikan Geologi Kelautan Pertama

dengan CCOP
Pada tahun 1966, dilaksanakan penyelidikan geologi kelautan
yang diprakarsai oleh Committee for Coordination of Joint Prospecting
of Mineral Resources in Asia Offshore Areas (CCOP). Saat ini lembaga
tersebut bernama Coordinating Committee for Geoscience Programmes
in East and Southeast Asia yang berkedudukan di Bangkok Thailand.
Penyelidikan ini dilaksanakan sebagai hasil kerjasama antara
Indonesia (PT Tambang Timah dan Direktorat Geologi) dengan
Perancis. Penyelidikan ini telah menemukan endapan timah di perairan
Pulau Bangka dan Belitung, pada daerah seluas 10.000 km2. Metoda
penyelidikan yang digunakan adalah seismik refleksi dan pemboran
dasar laut di 17 lokasi.
Penyelidikan Bersama di Perairan

Kalimantan
Pada tahun 1968, dilakukan penyelidikan bersama antara Indonesia
dengan University of Tokyo dan UNESCO mengenai geologi kelautan
di perairan Kalimantan dan Semenanjung Malaya. Penelitian yang
dilakukan meliputi pekerjaan pengambilan contoh sedimen dasar laut
dan magnet.
Penyelidikan di Perairan Kepulauan

Natuna
Pada kurun 1969-1971, penyeldikan geologi dan geofisika kelautan
dilakukan di perairan Kepulauan Natuna. Penyelidikan ini merupakan
kerja sama antara Imperial College London, Jawatan Hidrografi
Angkatan Laut Indonesia, Universitas Malaya, UNESCO, dan LIPI
dengan menggunakan Kapal Jalanidhi milik Angkatan Laut Republik
Indonesia.
Survey Geologi dan Geofisika

Menggunakan R.V Chain
Pada tahun yang sama (1969 - 1971) survei geologi dan geofisika
kelautan dilakukan di Laut Jawa dan paparan sekitarnya dengan
menggunakan R.V. Chain milik Lembaga Oseanografi Woods Hole AS.
Sekitar 7.400 km panjang lintasan geofisika dijalani dengan mengambil
data yang sebagian besar diantaranya mencakup penampang seismik,
magnet, dan gaya berat.
Program Kerjasama Skala Besar dengan

Lembaga Internasional SEATAR-IDOE-
CCOP-IOC
Pada tahun 1975, program kerja sama berskala besar telah
dilaksanakan antara pihak Indonesia dengan badan kerja sama
Internasional, dalam hal ini adalah Program The East Asia International
Decade of Ocean Exploration (IDOE). Pada masa itu, Direktorat Geologi
mulai memegang peranan penting sebagai instansi pendamping bagi
instansi asing, khususnya dalam program yang disebut Studies of East
Asian Tectonics and Resources (SEATAR). Program SEATAR
memusatkan perhatian pada masalah sistem Busur Sunda, Banda,
dan Filipina. (CCOP, 1981)
Gambar 3.1. Peta Lokasi Transek SEATAR di Asia Tenggara (Katili, 1989).
Pelayaran ini merupakan tindak lanjut dari workshop pada 1973

di Bangkok yang memutuskan untuk mengkonsentrasikan penelitian
pada enam transect yaitu:
1. Burma - composite transect di utara Thailand
2. Laut Andaman - Teluk Thailand
3. Sumatra – Semenanjung Malaysia – Paparan Sunda
4. Timor – Banda
5. Marianas – Filipina
6. Selatan Jepang – Semenanjung Korea
Terdapat empat tambahan transect sebagai berikut: Jawa-

Kalimantan, Sulu-Sulawesi-Laut Maluku, New-Guinea, dan Laut
Bismarck-Laut Solomon.
Hasil pelayaran dipublikasikan dalam ‘Metallogenesis, hydrocarbons
and tectonic patterns in eastern Asia’ (CCOP-IOC, 1974).
Tujuan utama dari program ini adalah mengenal struktur tektonik
utama dari elemen struktur dari Asia Tenggara. Termasuk juga
mempelajari implikasi dari pengendapan mineral dan kerangka cekungan
sedimentasi dalam hubungannya dengan proses pengakumulasian
hidrokarbon. Program SEATAR ini mulai direalisasi tahun 1976, yaitu
dengan pelayaran R.V. Thomas Washington (Scripps Institution of
Oceanographic), R.V. Atlantis II (Wood Hole Oceanographic Institution).
(Anonim, 1977a)
Hasil dari pelayaran ini telah memberikan pemahaman tektonik
dan asal usul Cekungan Banda dan Sula yang mana Cekungan Banda
berasal dari Lautan Hindia dan Cekungan Sula berasal dari Lautan
Pasifik atau Lempeng Molucca (Bowin et. al. 1980).
Data daerah ini juga didukung oleh Ekspedisi INDOPAC, Scripps
Institution of Oceanography, dan R.V. Vema dari Lamont Doherty
Geophysical of Observatory (LDGO) yang telah dipublikasikan oleh
Hamilton pada 1979.
Sebagai kelanjutan program perdana SEATAR pada tahun 1976,
setahun berikutnya, yaitu pada 1977, dilakukan penyelidikan geofisika
Gambar 3.2. Lintasan Kapal RV Atlantis II dan RV Thomas Washington (Bowin et.al.,
1980).
kelautan dengan menggunakan kapal peneliti Valdivia milik Jerman

Barat. Penyelidikan ini merupakan kerjasama ilmiah antara para peneliti
Australia, Indonesia, dan Jerman Barat. (Anonim, 1977b)
Tujuan penyelidikan ini adalah untuk mengetahui struktur kerak
dan sedimen antara Pulau Sawu, Pulau Sumba, dan Pulau Flores.
Selain itu penelitian juga ditujukan untuk mengetahui asal mula
Cekungan Makassar, Laut Sulawesi, dan Laut Sulu. Sejalan dengan
itu pula dilakukan perekaman di stasiun darat yang dilaksanakan oleh
Universitas Flinders Australia dan Direktorat Geologi.
Penyelidikan Geologi dan Geofisika di

Perairan Selat Malaka
Pada tahun 1976, penyelidikan geologi dan geofisika kelautan untuk
mengetahui potensi mineral berat dilakukan di perairan Selat Malaka.
Penyelidikan ini atas dasar prakarsa CCOP bekerjasama dengan
Republik Federasi Jerman, Republik Indonesia (Direktorat Geologi),
dan Malaysia. Penyelidikan yang dilaksanakan adalah seismik, magnet,
contoh sedimen dasar laut, dan side scan sonar.
Ekspedisi Indopac
Ekspedisi Indopac merupakan penyelidikan yang dilakukan untuk
mengetahui sirkulasi laut dalam serta kondisi dasar laut di belahan barat
Samudra Pasifik. Ekspedisi ini sesungguhnya sudah direncanakan
sejak tahun 1973 di Bangkok yang pada saat itu mengajukan program
kerjasama penyelidikan geologi dan geofisika di sepanjang Samudera
Pasifik, mulai dari Korea, Philipina, Indonesia dan Burma. Usulan
inilah yang berikutnya dikenal dengan program SEATAR (Studies of
East Asia Tectonics and Resources) yang berfokus pada penyelidikan
geologi dan geofisika untuk keperluan pencarian sumberdaya mineral
dan hidrokarbon.
Ekspedisi yang menggunakan kapal R.V. Thomas Washington ini
terdiri dari 16 leg. Penyelidikan yang melalui wilayah perairan Indonesia
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Leg 7 dan 8 memotong Laut Sulawesi, Laut Maluku, Cekungan
Banda, dan Arafura
2. Leg 10 berlangsung pada 31 Januari – 23 Februari 1977.
Pelayaran ini mengambil rute Bitung, Laut Maluku, Laut Jawa,
Singapura. Diikuti oleh perwakilan Indonesia yakni Rab Sukamto,
Pinatun Manalu, MSc, dan Mayor Nurwadji (Sukamto, 1977).
3. Leg 13 melalui Lautan Hindi, Perairan Nias, dan Perairan antara
Nias dan Sumatera.
4. Leg 14 berlangsung pada 27 April – 10 Mei 1977. Pelayaran

ini mengambil rute Padang menuju Biak. Diikuti oleh perwakilan
Indonesia yakni B. Dwiyanto. (Dwiyanto, 1977)
Gambar 3.3. Rute Pelayaran RV Thomas Washington pada Ekspedisi Mariana 9,

dan Indopac 7 dan 10. (Silver et.al., 1983)
Aktivitas yang dilakukan pada Leg 10 adalah dredging, peninjauan

pada beberapa singkapan di Pulau Mayu dan Pulau Tidore, pembuatan
profil pantul, pembuatan profil bias, pengukuran gaya-berat bebas
udara, pengukuran kedalaman laut, dan pengukuran magnetik.
Sedangkan pada leg 14 dilakukan penelitian geofisika menggunakan
peralatan airgun, magnetik, dan gravitymeter. Selain itu diambil pula
sampel sedimen dengan penginti isap (piston coring) dan penginti gaya
berat (gravity coring).
Gambar 3.4. Dokumentasi Foto Peralatan yang Digunakan pada Ekspedisi

Indopac. (A) Laboratorium Utama; (B) Echosounder 3,5 Khz; (C) Proton
Precession Magnetometer. (Sukamto, 1977)
Ekspedisi Mariana
Pada tahun 1979 dilakukan penyelidikan geologi dan geofisika
kelautan di Laut Banda, Cekungan Maluku, dan zona subduksi di
sekitarnya. Pelayaran ini dinamakan Ekspedisi Mariana dengan
menggunakan R.V. Thomas Washington. Perairan Indonesia yang
terliput oleh studi ini adalah Laut Sulawesi, Maluku, dan Laut Banda
Utara. Metoda yang digunakan dalam penyelidikan tersebut adalah
pengukuran gaya berat, seismik refleksi, magnet, dan batimetri.
(Anonim, 1981a)
Ekspedisi MARA
Tahun 1980, berlangsung Pelayaran Mara menggunakan R.V.
Thomas Washington. Pelayaran ini dikoordinir oleh University of
California San Diego, USA, bekerjasama dengan P3G. Penyelidikan
yang dilakukan adalah pengukuran seismik refleksi, gravity, magnetic,
dan sediment sampling di zona tumbukan Laut Maluku, utara Papua,
dan tepian Sulawesi. (Anonim, 1981b)
Ekspedisi R.V. Sonne

Januari 1981, R.V. Sonne berlayar dibawah koordinasi Departemen
Pertambangan Jerman Barat, bekerjasama dengan P3G dan LGPN-
LIPI. Pelayaran ini juga merupakan bagian dari program SEATAR, kali
ini bertujuan melakukan penyelidikan seismik refleksi dan refraksi di
Cekungan Aru (SO-16C1) dan Selat Makassar (SO-16C2).
Pelayaran ini bertujuan mempelajari proses-proses tektonik pada
tepian aktif tipe benturan (collision) antara pulau-pulau Tanimbar
dan Aru/Laut Arafura. Hasil dari penelitian ini ditampilkan di Jurnal
Geologisches Jarbuch terbitan Hannover oleh Hans Ulrich Schluter
dan Jurgen Fritsch pada 1985.
Gambar 3.5. Jalur Pelayaran RV Sonne 16-C (Schluter and Fritsch, 1985)
Sebanyak tiga belas lintasan penyelidikan telah dilakukan pada

kedua daerah ini dan menghasilkan sejumlah data baru meliputi 2.884
km penampang batimetri, kemagnetan, dan gaya berat; 1.415 km
digital dan analog seismik pantul; dan 9 stasiun sonobouy seismik bias.
Hasil dari ekspedisi ini diketahui sedimen yang sangat tebal di
Cekungan Aru dan pola struktur yang berkembang.
Gambar 3.6. Peta Tektonik Lokasi Pelayaran Sonne 16-C (Schluter and
Fritsch, 1985)
Ekspedisi Kapal Riset Seismic

Resolution (PAC I, II, dan III)
Institut Francais Du Petrole (IFP), Perancis, telah melakukan tiga
rangkaian pelayaran penelitian geofisika di Perairan Indonesia Timur
dengan menggunakan kapal Riset Resolution yang dikoordinir oleh
Total Indonesia (Perancis).
Masing-masing pelayaran penelitian diberi sandi PAC I (24
November -19 Desember 1980), PAC II (Februari-Maret 1981), dan
PAC III (April – Mei 1981).
Maksud dan tujuan PAC I adalah untuk studi struktur tepian tenggara
Paparan Sunda sepanjang Cekungan Bali dan Flores, serta struktur
busur muka Sumba. PAC II untuk studi struktur tepian Paparan Sunda
di Laut Flores yang berhubungan dengan Sulawesi dan studi evolusi
cekungan Makasar Utara dan Selatan. PAC III untuk studi tektonik
daerah Laut Banda. P3G hanya mendapat kesempatan mengikuti PAC
I dan III.
Gambar 3.7. Peta Lintasan PAC I dan PAC III (Anonim, 1981a)
Pada ekspedisi dilakukan penyelidikan seismik multichannel

di Cekungan Bali, sekitar Sumba, Selat Makassar, dan di sekitar
Halmahera.
Ekspedisi RAMA
Rama Leg 6, merupakan kelanjutan Program IDOE/SEATAR dari
Transek Sumatera yang dilaksanakan dari 1 – 13 Oktober 1980 di
Perairan Barat Sumatera Tengah.
Program ini merupakan kerjasama Scripps Institution of
Oceanographic Univeristy California, Amerika (SIO), Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi (P3G) dan Lembaga Geologi dan
Pertambangan Nasional (LGPN). Tujuannya adalah untuk menyelidiki
struktur, stratigrafi, dan evolusi tektonik daerah cekungan busur muka
(fore arc basin) Sumatera Tengah, serta studi sedimentasi daerah
lereng palung bagian bawah (lower trench slope).
Penelitian ini menggunakan echosounder 3,5 kHz, kemagnetan,
Gambar 3.8. Peta Lintasan Rama Leg 6 (Anonim, 1981a)
gaya berat, seismik pantul bersaluran banyak dengan menerapkan

metoda expanding spread profilling (ESP), seismik pantul bias dan
constant offset profilling (COP) seismik pantul bias.
Peneliti menggunakan dua kapal R.V. Thomas Washington merekam
dengan daya 24 streamer dan K.M. Samudra yang melepaskan bahan
peledak yang dikorelasi dengan sumur eksplorasi Panjang, Suma,
Singkep, Telaga, dan Lokota.
Penelitian di area perairan Banda memang menarik, karena

lokasinya yang bisa jadi merupakan trapped marginal basin.
Penyelidikan untuk memastikan hal ini dilakukan diantaranya melalui
Ekspedisi Rama.
Tahun 1982, pelayaran berlangsung dan dikoordinir oleh University
of California Santa Cruz & San Diego, USA. Para peneliti melakukan
penyelidikan seismik refleksi rinci di daerah sepanjang Laut Banda-
Laut Bali, di sekitar P. Sumba.
Gambar 3.9. K.M. Samudera (dokumentasi Puslit Oseanodrafi-LIPI, Soemodihardjo, dkk.,

2005).
Ekspedisi ini menggunakan kapal R.V. Thomas Washington milik

Scripps Institution of Oceanographic (SIO). Pelayaran ini menghasilkan
data berupa seismik refleksi, gravitasi, magnetik, dan batimeri.
Peneliti seperti Eli Silver menggunakan data dari pelayaran ini
untuk mengetahui lapisan struktur dorongan busur Wetar. Penelitian ini
menginterpretasi seismik refleksi untuk mengetahui hubungan antara
tektonik dan sedimentasi yang terjadi sepanjang bagian selatan palung
Banda, yang terhampar mulai dari timur Flores sampai timur laut Wetar.
Gambar 3.14. Jalur pelayaran RAMA 12. (Anonim, 1981a)
Ekspedisi R.V. Corindon

R.V. Le Coriolis sudah beberapa kali melakukan pelayaran di
Indonesia. Kapal Riset milik Perancis ini melakukan penyelidikan pada
1978 untuk pertama kali di Selat Makassar dengan nama Ekspedisi
Corindon I antara P3G dan CNECO (Perancis) yang bertujuan
mengetahui jenis sedimen dan biologi laut. Kemudian pelayaran
selanjutnya di Laut Banda (Corindon III) dan Corindon VI yang
dilaporkan oleh F. Robach dan Lericolais, 1984 tentang pemanfaatan
teknik magnetik untuk eksplorasi timah.
Kemudian studi korelasi antara kemagnetan dengan properti
seismik juga dilakukan pada pelayaran dengan tajuk Corindon VII.
Peneliti yaitu G. Lericolais menggunakan High Resolution Seismic
Reflection dan kemudian mengkorelasikan hasilnya.
Penelitian-penelitian ini menghasilkan temuan penting yang
salah satunya adalah didefinisikannya kelurusan magnet (magnetic
lineations) di Laut Banda.

Gambar 3.10. Ilustrasi Teknik Magnetik untuk Eksplorasi Logam. (Robach and
Lericolais, 1984)
Ekspedisi SINTA
Tahun 1983, dilakukan ekspedisi SINTA menggunakan R.V.
Kana Keoki yang dikoordinir oleh University of California, Santa Cruz
bekerjasama dengan Hawai Institute of Geophysics (HIG), Cornell
University, Chelsea University, dan P3G. Tujuan kerjasama ini adalah
untuk mempelajari tektonika benturan (collision tectonics) di Indonesia
bagian timur.
Peneliti membagi penyelidikan ke dalam dua kegiatan. Kegiatan
SINTA I terpusat pada kemas struktur dangkal daerah busur muka,
yaitu wilayah selatan Pulau Sumba sampai barat daya Pulau Timor,
dan daerah busur belakang, yaitu bagian utara gunung-gunung api
Flores sampai ke Pulau Bali di arah baratnya.
Sedangkan kegiatan SINTA II terpusat pada penyelidikan pada
umur, kemas struktur, dan asal usul (origin) Laut Banda. Pada kegiatan
ini peneliti menambah areal penelitian sampai ke daerah di antara
Pulau Sumba dan Sawu.
Gambar 3.11. Lintasan dan Seismik Refleksi Lokasi Ekspedisi Sinta I. (Karig et.al.,
1987)
Gambar 3.12. Lokasi Penyelidikan Ekspedisi SINTA II pada Tahun 1983

(Prasetyo, 1983)
Penyelidikan ini menggunakan metode Multibeam “SeaMARC II”,

pengambilan sedimen (coring) dan batuan (dredged rock samples)
di Laut Banda, Cekungan Flores, dan Selatan Sumba. Pelayaran ini
telah membuat suatu rekor, di mana baru pertama kalinya contoh
batuan dapat diambil dari dasar laut Banda; dan untuk pertama kalinya
dilakukan survei dan teknologi “Swath Mapping SeaMARC II”.
Gambar 3.13. Foto Mosaic dari SeaMARC II (Dwiyanto, 1983)

Bab 4
Berdirinya P3GL dan
Kerjasama Luar Negeri
48 Berdirinya P3GL dan Kerjasama Luar Negeri
Sejarah Organisasi Sebelum P3GL
I
ndonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
dan memiliki laut seluas 2/3 dari luas wilayah Indonesia,
maka sangatlah wajar bagi bangsa dan negara Indonesia
mengembangkan dan meningkatkan penyelidikan dan pemetaan
geologi kelautan (termasuk geofisika kelautan) untuk mendukung
pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Menanggapi tantangan tersebut perlu adanya suatu Pusat
Pengembangan yang tugasnya mengembangkan dan menghimpun
data sumber daya kelautan. Data ini meliputi berbagai jenis mineral
pantai dan lepas pantai, baik dalam bentuk peta, atlas digital, maupun
database. Melalui Pusat Pengembangan tersebut pemakai atau
investor akan mudah melihat berbagai potensi sumber daya mineral
kelautan Indonesia.
Perjalanan terbentuknya Pusat Pengembangan ini memang
panjang dan sangat terkait dengan situasi dan kondisi Indonesia saat
itu.
Pada awal masa kemerdekaan RI, perhatian pada aspek
pertambangan dan geologi masih terbatas, apalagi terhadap aspek
geologi kelautan. Hal ini dapat dilihat dari Jawatan Tambang dan
Geologi hanya ditangani oleh 4 orang tenaga inti, yaitu 2 orang asisten
geologi, seorang pemimpin laboratorium kimia, dan seorang pejabat
tata usaha.
Sejalan dengan situasi pada masa itu, kedudukan kantor pusat
berpindah-pindah dari Bandung - Tasikmalaya - Magelang - Yogyakarta.
Walaupun demikian, struktur organisasi dapat dikatakan lengkap.
Kecuali laboratorium kimia dan paleontologi yang bersifat darurat,
praktis sehari-hari tidak mempunyai kegiatan tetap.
Pada saat itu kegiatan penyelidikan geologi kelautan di Indonesia
belum dilaksanakan. Penyelidikan geologi kelautan di Indonesia
baru dimulai lagi sejak awal tahun 1960-an dan masih terbatas pada
penelitian kerjasama dengan luar negeri.
Pembentukan Pusat Pengembangan

Geologi Kelautan
Pada tahun 1984 Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL)
dibentuk. PPGL merupakan pengembangan dari Seksi Geologi Marin
di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G), Direktorat
Jenderal Pertambangan Umum yang sekarang telah berubah nama
menjadi Pusat Survei Geologi, Badan Geologi.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi bertugas melakukan
kegiatan penyelidikan geologi kelautan ditangani oleh Seksi Geologi
Marin. Sejak saat itu penyelidikan geologi kelautan di Indonesia
berkembang sangat pesat. Berbagai kegiatan penelitian telah
dilaksanakan melalui kerjasama luar negeri, diantaranya: Kerjasama
penyelidikan yang dilakukan melalui program SEATAR (Studies
of East Asia Tectonics and Resources), IOC (Intergovernmental
Oceanographic Commission), dan CCOP (Committee for Coordination
for Joint Prospecting of Mineral Resources in Asian Offshore Areas)
dan IDOE (International Decade of Ocean Exploration).
Berbagai kerjasama tersebut yang telah memberikan dampak
yang sangat positif dalam pengembangan kegiatan geologi/geofisika
kelautan di Indonesia. Dalam tahap kerjasama internasional ini,
beberapa geologiawan Indonesia telah mendapatkan kesempatan
untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang berhubungan
dengan disiplin Geologi Kelautan. Banyak geologiawan yang
sebelumnya belum pernah mengikuti pelayaran ilmiah mulai mengenal
pekerjaan di laut, bahkan beberapa diantaranya mendapatkan
pendidikan formal dalam disiplin ilmu geologi kelautan di beberapa
perguruan tinggi di luar negeri.
Pada perkembangan selanjutnya atas inisiatif Prof. DR. J. A. Katili
(Dirjen Pertambangan Umum) dan Drs. H. M. S. Hartono (Kepala
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi/P3G dan Kepala PPGL
pertama) Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL) didirikan
di bawah Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral.
Peresmiannya dilakukan pada tanggal 6 Maret 1984 berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1092 Tahun

1984 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertambangan
dan Energi, PPGL dapat berdiri.
PPGL didirikan dengan tugas utama untuk melanjutkan dan
memperluas kegiatan pemetaan dan inventarisasi data geologi yang
dilaksanakan oleh P3G ke arah laut. Pengembangan tersebut dilakukan
mengingat data-data geologi kelautan Indonesia lebih banyak berasal
dari lembaga penelitian asing, di samping metodologi survei geologi
kelautan yang sangat padat teknologi dan padat biaya dibandingkan
dengan kegiatan survei dan pemetaan geologi di darat.
Upaya mendukung pengembangan ini diantaranya dengan
peningkatan status sebagai seksi (eselon IV) di P3G langsung
dinaikkan menjadi Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (eselon
II) melalui Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi tahun 1984,
bersama-sama dengan Puslitbang Geologi, Direktorat Sumber Daya
Mineral, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Direktorat Vulkanologi di
Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral.
Sejak didirikan, Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL)
telah mengambil berbagai prakarsa dan peran dalam berbagai
kegiatan pemetaan dan penyelidikan geologi dan geofisika kelautan
bagi upaya pemanfaatan kawasan pantai dan lepas pantai, terutama
yang erat kaitannya dengan pendayagunaan sumber daya kawasan
pantai, laut dan dasar laut dalam wilayah yurisdiksi nasional sampai
batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Kegiatan pemetaan dan
penyelidikan geologi dan geofisika yang dilaksanakan makin diarahkan
bagi penyediaan data dan informasi dan inventarisasi potensi sumber
daya mineral dan energi serta geoteknik lainnya di kawasan pantai dan
lepas pantai.
Kantor Pusat Pengembangan Geologi Kelautan memiliki fasilitas
ruang kerja seluas 4.000 m2 di atas tanah seluas 27.484 m2 di Jalan
Dr. Junjunan 236 Bandung. Sedangkan Kantor Sarana dan Operasi
Kelautan terletak seluas 40.000 m2 di Pantai Pegambiran, Kalijaga
Cirebon.
Perkembangan selanjutnya terdapat beberapa perubahan struktural
pada organisasi pemerintahan yang berpengaruh terhadap penamaan

dan posisi dari Pusat Pengembangan Geologi Kelautan.
Pada 1992 melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral No. 1748, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya
Mineral. Tidak berubah nama demikian pula Direktorat dan Pusat
dibawahnya masih menggunakan nomenklatur yang sama. Pada
perubahan ini tidak ada perubahan pada nama PPGL.
Tahun 2001, PPGL mengalami perubahan menjadi Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi Kelautan. Sesuai dengan SK Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1915 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Pada keputusan tersebut terjadi beberapa perubahan sebagai
berikut:
• Direktorat Jenderal Pertambangan Umum digabung dengan
Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral dan
dibentuk Badan Litbang ESDM dan Badan Diklat ESDM.
• Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral,
mengkoordinir: Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral,
Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, Direktorat Teknik
Mineral dan Batubara, Direktorat Tata Lingkungan Geologi &
Kawasan Pertambangan, Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi
• Badan Litbang ESDM mengkoordinir: Puslitbang Geologi,
Puslitbang Geologi Kelautan, Puslitbangtek Migas ”Lemigas”,
Puslitbang Tekmira, Puslitbangtek Energi dan Ketenagalistrikan.
• Badan Diklat ESDM mengkoordinir: Pusdiklat Geologi, Pusdiklat
Migas, Pusdiklat Tekmira, Pusdiklat Energi dan Ketenagalistrikan
Kemudian, pada tahun 2005 sesuai dengan Peraturan Menteri

Energi dan Sumber Daya Mineral No. 0030, dibentuk Direktorat
Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi dan Badan Geologi.
Beberapa Unit eselon II mengalami reposisi dan perubahan
nomenklatur, menjadi:
o Badan Geologi, mengkoordinir: Pusat Survei Geologi

(sebelumnya Puslitbang Geologi), Pusat Sumber Daya
Geologi (sebelumnya Direktorat Inventarisasi Sumber Daya
Mineral), Pusat Lingkungan Geologi (sebelumnya Direktorat
Tata Lingkungan Geologi & Kawasan Pertambangan), Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (sebelumnya
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi)
o Badan Litbang ESDM mengkoordinir: Puslitbang Geologi
Kelautan, Puslitbangtek Migas ”Lemigas”, Puslitbang Tekmira,
Puslitbangtek Ketenagalistrikan dan Energi Baru Terbarukan.
o Badan Diklat ESDM mengkoordinir: Pusdiklat Geologi,
Pusdiklat Tekmira, Pusdiklat Migas, Pusdiklat Ketenagalistrikan
dan Energi Baru Terbarukan.
Tugas Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan dari

tahun ke tahun tidak mengalami banyak perubahan. Berdasarkan pada
Peraturan Menteri No. 0030/2005, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi Kelautan mempunyai tugas menyelenggarakan penelitian
dan pengembangan bidang geologi kelautan. Kemudian Berdasarkan
Peraturan Menteri no. 18/2010, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi Kelautan mempunyai tugas melaksanakan penelitian,
pengembangan, perekayasaan, pengkajian, survei dan pemetaan
bidang geologi kelautan.
Kegiatan litbang P3GL saat ini terfokus pada:
o Pemetaan, pengembangan dan pengkayaan data geologi dan
cekungan migas (pengembangan konsepsi geologi)
o Pemetaan cekungan sedimenter dan tektonik di wilayah frontier
o Pengembangan dan pengkayaan data untuk WK migas
o Pemetaan dan identifikasi potensi energi baru dan terbarukan
o Pemetaan/inventarisasi data dan pembangunan pilot plant
energi laut
o Pemetaan potensi gas biogenik estuari dan rawa
o Pemetaan potensi methan hidrat
o Pemetaan dan identifikasi potensi mineral dasar laut
o Pemetaan dan identifikasi mineral sulfida dasar laut

o Pemetaan dan identifikasi mineral plaser dan mineral
jarang
o Studi dan inventarisasi data untuk mendukung pembangunan

dan pengembangan infrastruktur laut dan pantai
o Inventarisasi data geologi/oseanografi dan studi untuk
pengembangan wilayah
o Pemetaan, identifikasi dan studi daerah rawan lingkungan dan
bencana geologi
Kegiatan Penyelidikan dan Pemetaan

Geologi Kelautan
Sejak berdirinya PPGL pada tahun 1984 sampai saat ini, kegiatan
penyelidikan dan pemetaan yang dilakukan telah menyelesaikan tugas
pokok sesuai dengan perencanaan. Dalam melaksanakan kegiatannya,
telah dilakukan inventarisasi potensi sumber daya mineral dan aspek
pengembangan wilayah serta kegiatan pelayanan kepada masyarakat.
Kegiatan tersebut merupakan suatu upaya untuk lebih mengoptimasikan
sumber daya yang dimiliki.
Pada awalnya kegiatan penyelidikan dan pemetaan geologi
kelautan PPGL dilakukan kegiatan kompilasi / penyelidikan geologi
kelautan regional skala 1:1.000.000, penyelidikan geologi wilayah
pantai, penyelidikan gaya berat dasar laut, dan aplikasi data dan
informasi geologi kelautan bagi kegiatan pembangunan. Pemetaan
geologi dasar laut bersistem skala 1: 250.000 dimulai pada tahun 1990
yang akan dijelaskan pada “Bab 5 Kemandirian Program Kelautan
Nasional”.
Penyelidikan Geologi Kelautan Regional Skala 1 :

1.000.000
Penyelidikan Geologi Regional dimaksudkan untuk mengetahui
pola struktur dan geografi dasar laut antara daerah tepian dan cekungan
serta untuk mengetahui proses-proses geodinamika yang berperan
dalam pembentukan tersebut.
Latar belakang yang mendorong kegiatan ini adalah:
1. Telah tersedianya data yang diperoleh oleh perusahaan-
perusahaan asing atau penyelidikan yang dilakukan oleh
instansi kelautan asing, tetapi masih sulit untuk menghimpun
dan menyiapkan informasi geologi dan geofisika kelautan
untuk berbagai kebutuhan (disertasi, usulan penyelidikan
dan acuan penyelidikan)
2. Data atau informasi geologi dan geofisika yang telah
dipublikasikan berupa gambar atau ilustrasi umumnya
berukuran kecil, sehingga sulit untuk penggunaannya kembali
dengan ketelitian tinggi.
Kegiatan pada penyelidikan ini berupa Pengembangan Sistem

Informasi Digital Kelautan Regional; melalui Kompilasi Peta Digital,
Kompilasi Peta Geologi Regional skala 1 : 1000.000 dan kerja sama
penelitian luar negeri maupun kerjasama dalam program Panitia
Kelautan nasional.
Produk dari kegiatan ini berupa buku Atlas Digital maupun lembar
peta yang jenisnya mirip dengan kegiatan pemetaan bersistem, hanya
berbeda dalam skala yaitu peta lintasan penelitian, peta batimetri, peta
anomali bouguer, peta anomali free air, peta anomali magnetik, peta
elemen tektonik, peta pusat gempa bumi dan solusi mekanisme bidang
sesar, dan peta geologi dasar laut. Hasil yang telah diperoleh dari
kegiatan ini sampai saat ini telah menyelesaikan sebanyak 25 lembar
peta dari target keseluruhan sebanyak 28 lembar.
Gambar 4.1. Peta Indeks Kompilasi Geologi Regional Skala 1:1.000.000.
Gambar 4.2. Peta Geologi Dasar Laut Perairan Kepulauan Aru dan Sekitarnya Skala
1:1.000.000 (Hardjawidjaksana dan Kristanto, 1994)
Penyelidikan Geologi Wilayah Pantai

Penyelidikan Geologi Wilayah Pantai, diarahkan untuk menunjang
pengelolaan dan pelestarian lingkungan pantai dan lepas pantai di
seluruh Indonesia, terutama yang erat kaitannya dengan pengembangan
wilayah di pusat-pusat pertumbuhan pembangunan, baik regional
maupun nasional. Kegiatan penyelidikan dan pemetaan sumber daya
mineral dan energi serta pengembangan wilayah tersebut diharapkan
dapat menjadi suatu referensi data perencanaan suatu daerah bagi
instansi pengguna data.
Peralatan yang dipergunakan dalam penyelidikan ini terbatas pada
peralatan geologi dan geofisika kelautan yang berasal dari P3G yaitu
trisponder Delnorte 542, EDM, Theodolit , echo sounder Raytheon De
719 cm, unibom EG-G model 230-1, sparkerarray EG-G model 267A,
recorder EPC model 3200S, pemercontoh comot, dan penginti gaya
berat (gravity core).
Gambar 4.3. Peta Indeks Lokasi Pemetaan Geologi Wilayah Pantai dari Tahun 1984
s.d 2008.
Produk dari penyelidikan geologi wilayah pantai adalah

menghasilkan peta-peta:
1. Topografi dan drainase. peta ini memberikan gambaran

topografi daerah pantai dan pola aliran sungai yang bermuara
di kawasan pantai tersebut. Disamping itu juga memuat daerah-
daerah yang mempunyai potensi bencana banjir;
2. Batimetri; peta ini memberikan gambaran topografi dasar
laut relatif lebih teliti dibandingkan pada pemetaan bersistem.
Kedalaman laut yang diperoleh umumnya dikoreksi dengan
pasang surut hasil pengamatan langsung saat penyelidikan;
3. Arus permukaan dan angin; peta ini memberikan gambaran
arus permukaan yang dibangkitkan oleh angin. Arah arus
tersebut sangat tergantung pada musim. Untuk mendapatkan
gambaran tersebut digunakan data angin tahunan (minimum
10 tahun) dari Stasiun Meteorologi yang terdekat dari lokasi
penyelidikan;
4. Bentang alam geologi; peta ini menggambarkan daerah-daerah
pantai yang kemungkinan berpotensi mengalami bencana alam
yang diakibatkan oleh sifat geologi yang dimiliki oleh daerah
tersebut, misalnya: longsoran, amblesaan dan lain sebagainya;
5. Pemukiman dan transportasi; peta ini memuat pemanfaatan
daerah kawasan pantai yang digunakan sebagai pemukiman
dan jaringan transportasi baik di darat maupun di laut;
6. Sumber daya mineral dan energi; peta ini menggambarkan
adanya prospek mineral dan energi maupun material konstruksi.
7. Sebaran sedimen permukaan dasar laut; Peta ini
menggambarkan sebaran satuan sedimen di permukaan dasar
laut di wilayah pantai berdasarkan hasil analisis besar butir.
8. Karakteristik pantai; Peta ini memuat jenis karakter pantai, jenis
sedimen dan morfologi pantai serta proses dinamika pantainya,
termasuk perubahan garis pantai berupa abrasi dan akresi yang
diakibatkan oleh aksi gelombang laut, angin dan sedimen yang
ditranportasikan oleh sungai.
9. Penataan dan pengembangan wilayah pantai; Peta ini
menggambarkan peruntukan kawasan pantai untuk pertanian,
perikanan, hutan lindung dan perkebunan berdasarkan data
kemiringan lereng dan jenis litologinya serta pemanfaatan
kawasan untuk jenis tanaman dan budi daya lainnya
Penyelidikan geologi wilayah pantai pada awalnya dilaksanakan

pada daerah daerah Pantai Utara Jawa (Pantura Jawa), beberapa
lokasi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara
Barat dengan menggunakan kapal nelayan di daerah penyelidikan.
Hasil penyelidikan geologi wlayah pantai tersebut dituangkan
dalam peta potensi dan evaluasi geologi wilayah pantai.
Saat ini penyelidikan geologi wilayah pantai dikaitkan dengan sumber
daya mineral dasar laut, kebencanaan dan lingkungan pantai di wilayah
Indonesia Timur dan pulau-pulau kecil bagian terdepan wilayah Indonesia.
Gambar 4.4. Peta Potensi dan Evaluasi Geologi Wilayah Pantai Pelabuhan Ratu
(Hardjawidjaksana, 1996)
Penyelidikan Gaya Berat Dasar Laut

Penyelidikan gaya berat dasar laut juga merupakan tugas pokok
PPGL, mengingat keberadaan data gaya berat dasar laut sangat kurang
padahal peranannya sangat penting, baik ditinjau dari ilmu kebumian
maupun eksplorasi.
Kegiatan ini tidak dapat dijadikan satu dengan pemetaan
bersistem karena kondisi pengoperasiannya yang berbeda. Produk
yang dihasilkan berupa Peta Free Air dan Anomali Bouguer dengan
menggunakan peralatan Gravity Lacoste & Romberg G 862.
Hasil yang diperoleh hingga saat ini hanya 2 lokasi dari rencana 5
lokasi, yaitu perairan Jepara (Jawa Tengah) dan Teluk Banten (Banten)
dengan skala 1:50.000 karena kegiatan ini baru dimulai pada tahun
anggaran 1999.
Gambar 4.5. Pengukuran Gaya Berat dengan Lacoste & Romberg G. 862.
(Hadikusumo, 1988)
Aplikasi Data dan Informasi Geologi Kelautan Bagi

Kegiatan Pembangunan.
Aplikasi dan keterkaitan data dan informasi Geologi Kelautan
bagi pembangunan nasional adalah:
1. Eksplorasi Sumber daya Mineral, ditekankan pada
pencarian mineral letakan (emas, timah dan perak), mineral
berat (magnetit, ilmenit, hematit, zircon, dll), dan bahan
golongan C (pasir dan kerikil) untuk konstruksi.
2. Rekayasa dan Konstruksi, berkaitan dengan kegiatan
pembangunan tapak konstruksi bangunan jembatan,
dermaga, bangunan pantai dan infrastrukstur wilayah
pantai. Pada dasarnya merupakan gabungan dari unsur
geologi, geofisika, geoteknik bawah permukaan, hidro-
oseanografi serta digitasi topografi, batimetri, pemodelan dan
perencanaan konstruksi pantai dan lepas pantai.
3. Pengembangan Wilayah, berkaitan dengan pengembangan
wilayah pantai untuk pemukiman, industri dan perluasan kota
didasarkan pada karakteristik pengamatan wilayah yang
dikaitkan dengan geologi pantai dan lepas pantai terutama
yang dipengaruhi oleh unsur darat dan dinamika air laut.
Data dan informasi demikian dipergunakan oleh pemerintah
daerah dan dunia usaha.
4. Pengembangan Lingkungan, berkaitan dengan hasil
kegiatan industri strategis pantai, mencakup aspek kualitas
wilayah pantai dan lepas pantai.
5. Perencanaan Teknis, berkaitan dengan perencanaan bagi
kegiatan rekayasa dan konstruksi dan daya dukung wilayah.
Aplikasi data dan informasi geologi yang telah dimanfaatkan adalah

kerja sama dengan berbagai instansi pemerintah, BUMN dan swasta,
antara lain dengan PT Timah, Perusahaan Penambangan Pasir Lepas
Pantai, Pemerintah Daerah, Bakosurtanal, dan instansi terkait lainnya.
Kegiatan penyelidikan geologi yang dimanfaatkan dalam program

kerjasama antar instansi pemerintah antara lain: penyelidikan geologi
untuk pengembangan Pulau Batam, Jembatan Jawa-Madura, Jembatan
Jawa-Sumatera, Pipa/kabel bawah laut Jawa-Bali, pendangkalan
pelabuhan di Teluk Kendari, dan Bengkulu, serta mitigasi dan
penyelidikan bencana gempa bumi tsunami di Flores.
Gambar 4.6. Peta Lokasi Kegiatan MREP (Susilo, dkk., 1997)
Di samping itu, PPGL - Bakosurtanal telah melaksanakan kerja

sama penyelidikan tematik kelautan terintegrasi (Marine Resources
Evaluation and Planning (MREP) Project) di daerah Selat Madura,
Ambon, Kalimantan Timur, Menado, Biak, Selat Bangka, Bali, dan
Timor.
Kerja Sama Luar Negeri Pusat

Pengembangan Geologi Kelautan
Kegiatan kerjasama luar negeri di PPGL dikelompokan menjadi 2
yaitu: kerja sama bilateral dan kerja sama multilateral.
Pada bagian berikut disajikan beberapa kegiatan penyelidikan yang
dilakukan berdasarkan program kerjasama internasional. Beberapa

kegiatan ekspedisi akan dibahas kembali pada bab berikutnya
(Kemandian Program Kelautan Nasional).
Gambar 4.7. Lokasi Penelitian Kerjasama Luar Negeri PPGL. (Hardjawidjaksana, 1998)
Kerja Sama Bilateral
Inggris
Ekspedisi Gloria Mengunakan Kapal Riset Charles Darwin

Tahun 1988, pihak Inggris telah mengkoordinir pelayaran
R.V. Charles Darwin. Pelayaran ini juga untuk pertama kalinya
mengaplikasikan teknologi pemetaan dasar laut ”GLORIA” yang
mampu mencitra dasar laut dengan total cakupan +100 m, dan
single channel seismic reflection data.
Sebagian besar dari daerah penyelidikan berlokasi di
Indonesia Timur, mulai dari Laut Sawu, Laut Banda, dan Lautan
Pasifik yang terletak di utara Papua. Tujuan pelayaran ini adalah
untuk mengetahui morfologi dan struktur geologi bawah

laut di daerah forearc dan subduction zone.
Gambar 4.8. Lokasi Ekspedisi Gloria. (Masson et.al., 1991)
Gambar 4.9. Interpretasi Data GLORIA pada Area antara Alor dan Wetar
(Masson et.al., 1991).
Hasil dari ekspedisi ini diketahui zona kontak antara lempeng

dan deformasi kompresi yang terletak pada Java trench menerus
ke arah Timor Through. Selain itu dijumpai mud diapir di selatan
Laut Sawu dan di utara Pulau Wetar, gunung api bawah laut
berumur Holosen, dan yang lebih tua (Banda Sea Mount).
Belanda
Ekpedisi Snellius II
Gambar 4.10. Peta Lintasan R.V. Tyro G1-G6 dalam Ekspedisi Snellius II. (van
Hinte and Hartono, 1989).
Ekspedisi Snellius II diselenggarakan bersama antara

Indonesia dengan Belanda. Pihak Indonesia dikoordinasikan
oleh LIPI sedangkan pihak Belanda oleh The Netherland Council
of Oceanic Research. Ekspedisi ini merupakan kegiatan ilmiah
terpadu berbagai disiplin ilmu.
Tema-tema Ekspedisi Snellius II:
Tema 1: Penelitian Geologi dan Geofisika Busur Banda dan
daerah sekitarnya
Tema 2: Pembaruan massa air di cekungan laut dalam
Tema 3: Sistem pelagik

Tema 4: Terumbu Karang
Tema 5: Pengaruh sungai (Bengawan Solo, Brantas, dan Porong)
terhadap laut.
Pelayaran dilaksanakan dengan R.V. Tyro pada tahun
1984-1985. Aktivitas penyelidikan meliputi kegiatan geologi,
hidrografi, dan oseaografi. Dalam ekspedisi ini PPGL telah
berperan sebagai koordinator Indonesia untuk tema “Geologi
Kelautan” yang dipimpin oleh H.M.S. Hartono selaku Kepala
Pusat Pengembangan Geologi Kelautan.
Ekspedisi ini berlangsung atas kerjasama dengan Vrije
University of Amsterdam untuk mengetahui Geodinamika
Indonesia Bagian Timur yang dilakukan di laut Banda. Kegiatan
ini dilanjutkan dengan Program Post Snellius II (1990 dan 1992)
untuk mengetahui tatanan geologi dan tektonik di Pulau Sumba.
Gambar 4.11. Sketsa Struktur Berdasarkan Hasil dari Ekspedisi Snellius II.
(Jongsma, et.al., 1989)
Ekspedisi ini memiliki dua tujuan besar. Pertama adalah

menambah perbendaharaan data geologi kelautan yang berguna
untuk rekonstruksi geologi regional.Tujuan kedua adalah untuk
mengetahui potensi sumber daya mineral dan minyak bumi
Indonesia bagian timur.
Gambar 4.12. Peta Batimetri Hasil Ekspedisi Snellius II. (Jongsma et.al., 1989)
Hasil Tema 1 yang menonjol adalah dalam bidang eksplorasi

minyak bumi, eksplorasi mineral, pengelolaan lingkungan lepas
pantai, dan yang menyangkut bencana alam seperti letusan
gunung api dan gempa bumi.
Penelitian ini menghasilkan lebih dari 300 contoh inti bor
dasar laut. Hasil lainnya adalah rekaman ribuan kilometer profil
akustik, magnetik, dan gaya berat. Hasil berupa tes geoteknik,
plankton, dan catatan sifat-sifat fisika, dan kimia air laut juga
telah didapatkan. Terdapat 26 peneliti dari Indonesia yang
ikut meneliti hasil pelayaran tersebut. Penelitian ini juga telah
membantu lima diantara peneliti itu mendapat gelar Ph.D.
Gambar 4.13. Partisipan Eskpedisi Snellius II dari PPGL tampak Purnomo Kridoharto,
Nasrun (alm). Mimin Karmini dan Budiman sedang melakukan kegiatan. (Dewi, 2006)
Penemuan yang sangat signifikan adalah adanya indikasi

sumber daya mineral dasar laut dan hidrokarbon di Indonesia
bagian timur; pola struktur geologi yang berkembang di selatan
Pulau Papua yaitu perpotongan sesar Tarera Aiduna dan
subduction zone, yang kemudian diberi nama “Snellius Triple
Junction”; dan penemuan morfologi baru berupa cekungan
yang terdapat di antara P. Gorong dan Seram Trough, yang
kemudian di beri nama “Hartono Trough” Hasil penemuan ini
dapat mendukung konsep geotektonik (Tektonik Lempeng) di
daerah Indonesia Timur. Beberapa hasil Ekspedisi Snellius II
yang diperoleh disimpan di PPGL Bandung.
Perancis
Pelayaran R.V Jean Charcot (Selat Sunda) dan R.V Coriolis

(Selat Makassar/ Corindon II)
Tahun 1985, Perancis mengadakan dua pelayaran dengan
R.V. Jean Charcot di Selat Sunda (Krakatau Cruise), dan
pada 1980 R.V. Coriolis di Selat Makassar (Corindon II) untuk
mengetahui struktur dasar laut dan batimetri.
Inisiatif Krakatau Cruise pada 1985 diawali sejak kunjungan
MM. Le Pichon, J. Dubois, V. Renard dan J. Recy ke Indonesia.
Tujuan dari penyelidikan ini adalah untuk memahami pola
tektonik secara umum daerah Selat Sunda dan mitigasi bencana
alam dengan metoda penelitian on land tectonics, neo tectonics,
seismotectonics, marine geology and geophisics, dan insitu
stress measurement. (Navire Oceanographique, 1985)
Dalam penyelidikan ini juga menggunakan data ekspedisi
Corindon IX 1983 di Krakatau berupa data magnetik dan gravity.
Beberapa lintasan refraksi menggunakan airgun sebagai
sumbernya dan juga ocean bottom seismograph (OBS) di
pergunakan selama Krakatau Cruise.
Pada cruise yang kedua bernama GeoIndon dilaksanakan
pengukuran heatflow untuk mengetahui adanya opening dari
suatu graben yang hasilnya diketahui adanya anomali positif

dari heatflow pada sumbu graben.
CNEXO – Perancis mengadakan penyelidikan di perairan
Selat Makassar dengan menggunakan kapal riset Perancis “Le
Coriolis”. Penyelidikan ini merupakan kerjasama antara CNEXO
– Perancis dan Departemen Riset dan Teknologi, dengan sandi
Pelayaran Corindon, suatu akronim dari kapal riset Perancis Le
Coriolis dan Indonesia.
Sejumlah peneliti Indonesia dari Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi (P3G), Lembaga Geologi dan
Pertambangan Nasional (LGPN-LIPI), Lembaga Oseanologi
Nasional (LON-LIPO), PPTM-LEMIGAS, dan Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengikuti pelayaran ini. P3G
mendapatkan kesempatan pada pelayaran penelitian Corindon
II.
Corindon II merupakan program sedimen dan biologi
yang bertujuan mempelajari endapan sedimen permukaan,
inventerisasi fauna, khususnya Molluska, Echinoderma, dan
ikan Crustacea menurut kedalaman dan tipe sedimentasinya.
Tim peneliti terdiri dari 2 orang ilmuwan dan 3 biologi awan dari
ORSTOM de Noumea, serta 5 orang peneliti dari Indonesia.
Jenis pekerjaan penyelidikan yang dilakukan adalah
pengintian (coring) pada kedalaman 200m dan 500m, dredging
dan grabing dari kedalaman 20m sampai dengan 2.000m dari
arah Kalimantan ke Sulawesi, pengukuran suhu dan salinitas
air permukaan laut serta permukaan dasar laut. Semua contoh
coring tersebut dianalisa di Laboratorium CFP di Bordeaux,
Perancis. Analisis meliputi penentuan lempung dengan difraksi
X-Ray, mikropaleontologi, dan isotope carbon. Contoh dredging
dianalisa di Laboratorium ORSTOM de Noumea, yang meliputi
analisi granulometri, kandungan kalsium, nitrogen dan karbon,
serta juga unsur utama kimia. (Anonim, 1981a)
Ekspedisi GeoBandut I (K.R. Baruna Jaya III)

Merupakan program INSU-DGGMR. Kegiatan ini
dilaksanakan di laut Banda Utara guna memberikan kontribusi
penting sehubungan dengan adanya kontroversi tentang evolusi
dan terjadinya Laut Banda Utara.
Program Shiva (K.R. Baruna Jaya I)

Merupakan kerja sama dengan lembaga Centre des Faibles
Radio Active (CFR/CNRS) untuk meneliti paleoenvironment,
paleo-climatology, dan tephra-chronology di Laut Jawa, Laut
Banda, dan Samudera Hindia.
Barat Cruise (K.R. Baruna Jaya I)

Merupakan kelanjutan dari penelitian SHIVA tahun 1994
yang dilaksanakan di Samudera Hindia atau bagian barat Pulau
Sumatera.
Hyperhumid Modern Sedimentation

Kerja sama dengan University Paris SUD IX tahun 1996-
1997 yang bertujuan untuk mengetahui paleoklimatik, sumber
daya mineral, dan pola sedimentasi di Kalimantan Barat. Saintis
yang telibat adalah DR. Frederich Baltzer (University Paris SUD
IX) dan Ir. Duddly A. S. Ranawidjaja (PPGL).
Jepang
Ekspedisi Natsushima
Pada tahun 1986, dilaksanakan penyelidikan geofisika
kelautan di Samudera Hindia (Selatan Jawa) yang bekerjasama
dengan Pemerintah Jepang. Ekspedisi yang dikenal dengan
Ekspedisi Natsushima ini menggunakan metoda seismik dan
pemantauan dasar laut. Pada ekspedisi ini digunakan juga kapal
selam Sinkai 2000 dan Ocean Bottom Seismograph. Metode
seismik yang digunakan adalah multi-channel seismic reflection

dan single-channel seismic reflection.
Gambar 4.14. Batimetri dan Seismik Bagian Timur dari Area yang Disurvei.
(Kishimoto, et.al., 1987)
Gambar 4.15. Kapal Selam Sinkai 2000 yang Dipakai pada Ekspedisi
Natsushima (Jamstec)
Penyelidikan ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas

gempabumi dasar laut dan geodinamika Samudera Hindia
dengan metoda geofisika dan Ocean Bottom Seismograph.
Selain itu, penyelidikan ini juga dimaksudkan untuk mengetahui
kondisi geologi dan morfologi dasar laut di daerah fore arc basin
Selatan Pulau Jawa.
Jerman
Ekspedisi Tambora
Ekspedisi Tambora (1986) menggunakan wahana kapal
riset Sonne yang mengelilingi P. Sumbawa dan Teluk Saleh. Dari
ekspedisi ini, Ir. Ahmad Masduki dan Nafrizal Sikumbang MSc
mendapat kesempatan pelatihan dalam bidang Nannoplangton
di Hamburg University.
Tujuan ekspedisi ini adalah untuk mengetahui global radiation,
global changes, dan regional chemistry (paleovocanology) di
sekitar dasar laut Flores dan Teluk Saleh.
Gambar 4.16. Lokasi Pengambilan Contoh Sedimen Permukaan yang Dilakukan di

Perairan Sumba Menggunakan Kapal R/V Sonne 45B (Masduki dan Sikumbang,
1986)
Gambar 4.17. Jalur Perjalanan Penelitian Kapal R/V Sonne 25 September – 15

Oktober 1986 (Masduki dan Sikumbang, 1986)
Kerja Sama Multilateral

Kerja sama dengan badan atau organisasi internasional yang
dilakukan oleh PPGL adalah:
A. Coordinating Committee for Geoscience Programmes in
East and Southeast Asia (CCOP)
Kerja sama ini dirasakan manfaatnya terutama dalam
bidang: pelatihan di Jepang, Korea Selatan, China, Vietnam,
Philipina, dan Thailand, juga pemanfaatan tenaga ahli serta
bantuan peralatan. Kerja sama dan bantuan luar negeri ini
masih diperlukan untuk masa mendatang yang tentunya dengan
memperhatikan kemandirian secara bertahap.
Beberapa kegiatan kerja sama dengan CCOP dalam
bidang coastal and marine geology yang telah dilaksanakan di
Indonesia yaitu:
• Workshop on Digital Compilation Geological Mapping
Programme (DCGM Phase II), di Bandung - Juli 1997.
• Workshop on Coastal; and Nearshore Geological /

Oceanographical Assessment of Jakarta Bay: A Basis for
Coastal Zone management and Development, di Jakarta
– Juni 1997.
• Penyusunan pangkalan data geologi dan geofisika Teluk
Jakarta yang merupakan program Coastplan Indonesia
dan CCOP.
• Keikutsertaan dalam berbagai training: Seismic Sequence
Stratigraphy, Shallow Seismic Reflection Profile from the
Waters of East and Southeast Asia, dan Coastal Geology
and Geohazards.
• 2nd DelSEA II Workshop on Coastal Erosion and
Geological Assessment of Delta Areas in Southeast and
East Asia (CCOP – AIST/GSJ – MGI), Desember 2007.
• 2nd DelSEA II Workshop on Coastal Geological Hazards
(CCOP – AIST/GSJ –MGI), Maret 2014.
B. UNESCO - IOC (Intergovernmental Oceanographic

Commission) dengan melaksanakan pelatihan Sea Level
Changes di Pakistan dan Indonesia.
C. IGCP 235 / 236 (International Geological Correlation

Programme) yang bertujuan merekonstruksi
paleooseanografi di kawasan perairan Asia-pasific.
D. CCOP UNDP Project RAS /81/ 120

Sebagai bagian dari program riset MGI, dilakukan beberapa
survei geofisika marin yang dilakukan di wilayah antara Sumatera
dan Kalimantan. Program ini merupakan hasil kerjasama dengan
UNDP Project RAS/81/120 “Technical Support for Regional
Offshore Prospecting in East Asia.”
Dari UNDP terdapat dua personil yang ikut serta yaitu DR.
John Ringis dan J. Cheong Chow Fat. Sedangkan peserta dari
Indonesia adalah 13 orang. Secara lebih detil, MGI melibatkan

11 orang, salah satunya adalah Subaktian Lubis selaku Chief
Scientist, Ditjen Komunikasi Laut satu orang, yakni Antonius
Budiono, dan dari militer satu orang yakni Mayor Adityawarman.
Peneliti berangkat dengan menggunakan MV Mitra II yang
menelusuri area di arah timur dari Kepulauan Riau dan barat
dari Kalimantan. Peneliti berlayar dari Jakarta pada 24 Juni dan
kembali ke Jakarta pada 26 Juli 1986.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendapat data
regional, terutama data stratigrafi urutan sedimen dan pola
utama batuan. Kemudian juga untuk menandai wilayah yang
memiliki potensi ekonomis berupa mineral berat. Tujuan lainnya
adalah untuk mengumpulkan informasi tentang potensi bahaya
geologis di area yang diteliti.
Gambar 4.18. Lokasi survei geofisika di Laut Natuna UNDP/CCOP-MGI. (Dwiyanto,

dkk., 1987)
Secara pendidikan, pelayaran ini membekali personil MGI

yang ikut terjun dengan pengalaman riset multidisplin terkait
survei geologi marin termasuk pengolahan data yang didapat.
Peneliti menggunakan beberapa metode dalam
mengumpulkan data diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Profiling seismik refleksi secara terus menerus dengan

multi electrode high resolution spark ray. Metode ini telah
menghasilkan 400km garis profil seismik.
2. Side scan sonar untuk pemetaan geologis dasar laut.
Metode ini menghasilkan 80 km profil morfologi dasar
laut.
3. Echosounding.
4. Base station magnetometer.
5. Satellite navigation system. Garis survey sepanjang 600
km dibuat melalui sistem navigasi ini.
6. Proton precision magnetometer untuk menentukan fitur
sesungguhnya dari sedimen.
7. Sampling permukaan dasar laut dengan grab sampler.
Bab 5
Kemandirian Program
Kelautan Nasional
80 Kemandirian Program Kelautan Nasional
S
ejak tahun 1990 sampai saat ini merupakan tahap
kemandirian dari program kelautan Nasional. Pada kurun
waktu ini, pakar geologi kelautan Indonesia sudah berhasil
menjadi tuan rumah di negara sendiri. Perkembangan penyelidikan
geologi kelautan sejak awal tahun 1990 didukung oleh adanya kapal
peneliti GEOMARIN I (milik PPGL) dan Baruna Jaya I, II, dan III yang
dikelola oleh Badan Penelitian dan Pengkajian Teknologi (BPPT).
Beberapa ekspedisi geologi dan geofisika kelautan yang
dilaksanakan atas kerja sama PPGL dengan BPPT antara lain adalah
Ekspedisi Bone (1990), Sawu (1990), Timor (1990), Toraja (1991),
dan RUT tahun 1995. Walaupun demikian, program kerja sama luar
negeri selama kurun waktu tersebut tetap berjalan diantaranya adalah
Ekspedisi SHIVA (1990), BARAT (1991), GeoBandut (1991), BIRPS
(1991), ST-93/AGSO (1993-1994). Data-data penelitian tersebut
sebagian besar disimpan di Pusat Pengembangan Geologi Kelautan,
dan di berbagai instansi terkait lainnya.
Pemetaan Geologi Dasar Laut Bersistem

Skala 1 : 250.000
Pemetaan geologi dasar laut yang dilaksanakan oleh PPGL
merupakan suatu upaya untuk melokalisir potensi sumber daya mineral
dan energi serta pengembangan wilayah. Kegiatan pemetaan sejak
tahun 1990 diprioritaskan di kawasan Barat Indonesia (Laut Jawa,
Selat Sunda, Selat Karimata, dan Selat Malaka) dengan menggunakan
Kapal Geomarin I. Konsentrasi penelitian ke kawasan Barat
Indonesia didasarkan pada pertimbangan keterbatasan kemampuan
dan keandalan prasarana yang dimiliki PPGL. Di samping itu,
kawasan tersebut merupakan daerah yang mengalami pertumbuhan
pembangunan sangat cepat akibat perkembangan pembangunan
dari negara tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia. Saat ini kegiatan
pemetaan geologi kelautan skala 1:250.000 dilaksanakan di Indonesia
Bagian Timur menggunakan kapal peneliti Geomarin III.
Gambar 5.1. Para Peneliti Sedang Melakukan Survei Mengggunakan Kapal

Geomarin I
Produk dari kegiatan pemetaan bersistem ini adalah berbagai jenis

peta dengan skala 1 : 250.000, diantaranya:
1. Peta Batimetri; peta ini memberikan gambaran topografi

permukaan dasar laut, kedalaman garis kontur merupakan
kedalaman dasar laut terhadap surut rata-rata, kegunaan peta
ini untuk membantu menganalisis geologi daerah tersebut dan
tidak dapat digunakan sebagai peta pelayaran.
2. Peta Sebaran Sedimen Permukaan Dasar Laut; peta ini
memberi gambaran sebaran tekstur sedimen permukaan dasar
laut. Peta ini dibuat berdasarkan contoh sedimen permukaan
yang diperoleh dari penginti gaya berat (gravity core),
pemercontoh comot (grab sampler) dan penginti isap (Piston
Core). Untuk contoh dari penginti jatuh bebas yang dianalisis
bagian atasnya saja (10 cm). Besar butir dari hasil analisis
ayakan kemudian dinamai berdasarkan klasifikasi Folk (1980).
Sebagai contoh, pada peta tertera simbol SC (Sandy Clay)
artinya pada daerah tersebut sedimen permukaannya didominasi

(> 50%) sedimen berukuran lempung dan sedikit berukuran
pasir.
Gambar 5.2. Peta Sebaran Tekstur Sedimen Permukaan Dasar Laut Perairan Jakarta.
(Hardjawidjaksana, dkk.,1992)
3. Peta Isopach Sedimen Resen; peta ini memberikan gambaran

ketebalan lapisan sedimen yang ditafsirkan berumur resen
(paling muda). Data ini diperoleh dari hasil analisis rekaman
seismik pantul dangkal. Peta jenis ini akan sangat membantu
untuk memperkirakan besarnya cadangan maupun strategi
pengerukan.
4. Peta Anomali Magnet Total; peta ini menunjukkan anomali
magnet total, setelah data yang diperoleh dari lapangan dikoreksi
nagnet regional (IGRF). Peta ini dapat memberikan gambaran
daerah-daerah yang kemungkinan mempunyai prospek mineral
berat atau adanya cekungan dari batuan dasar.
5. Peta Geologi Bawah Permukaan Dasar Laut (Sub-Marine

Geological Map); peta ini merupakan gabungan dari hasil
analisis semua metoda yang digunakan dalam penyelidikan.
Dalam peta ini semua unsur geologi ditampilkan, diantaranya
struktur geologi, jenis litologi, longsoran dan lain sebagainya.
Gambar 5.3. Offshore Mineral Resources Map of Indonesia. (Hardjawidjaksana et.al.,

2008)
Kegiatan pemetaan geologi dasar laut bersistem dimulai sejak

diluncurkannya Kapal Peneliti Geomarin I (Maret 1990) di Indonesia
Bagian Barat yang kemudian dilanjutkan dengan kapal peneliti
Geomarin III di Indonesia Bagian Timur sejak tahun 2003.
Hasil dari pemetaan geologi dasar laut bersistem dan kegiatan
kompilasi telah dituangkan dalam bentuk peta yaitu:
1. Peta Sebaran Sedimen Permukaan Dasar Laut
2. Peta Anomali Magnet Total
3. Peta Gelogi Dasar Laut
4. Peta Ketebalan Sedimen Kuarter
5. Peta penampang litologi Inti dan Batuan Dasar Laut
6. Peta Kandungan Mineral berat

7. Peta Anomali Gaya Berat Indonesia
8. Peta Batimetri Indonesia
9. Peta Fisiografi Indonesia
10. Peta Offshore Mineral Resources Indonesia
11. Peta Sebaran dan Propinsi Mineral Berat Laut Banda dan
Sekitarnya
12. Peta Struktur dan Solusi Mekanisme Bidang Patahan.
Gambar 5.4. Status Pemetaan Geologi Sistematik Skala 1:250.000
Ekspedisi SHIVA
Pada 1990, CSNR dan GENAVIR dari Perancis, BPPT dan PPGL
dari Indonesia melakukan kerjasama pelayaran penelitian Sedimentlogy,
Hydrology of the Indian Ocean, and Volcanic of the Indonesian Arc
(SHIVA). Pelayaran yang diikuti oleh 19 orang ini dipimpin oleh Francois
Guicard dari CNSR-CEA selaku Chief Scientist. PPGL sendiri mengirim
6 orang untuk terjun di penelitian ini. Pada ekspedisi SHIVA ini Co Chief
Scientist dari Indonesia adalah Kumala Hardjawidjaksana.
Penelitian yang menggunakan kapal Baruna Jaya I ini bermaksud
memperoleh data kegiatan gunung api di busur Kepulauan Indonesia.

Kegiatan gunung api yang diteliti meliputi fluktuasi gerakan lithosphere,
kecepatan subduksi, peluang munculnya bahaya gunung api, dan
pola sedimentasi endapan permukaan dasar laut yang muncul akibat
kegiatan gunung api tersebut.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
• Urutan stratigrafi hasil kegiatan vulkanik berupa adanya lapisan
tepra dalam sedimen pelagik.
• Dinamika erupsi gunung api dan arah angin purba yang didapat
dari studi ukuran butir gelas vulkanik.
• Evolusi kimia dari sumber magma. Hal ini dapat menjadi
sumber informasi tentang peluang bahaya gunung api di masa
mendatang. Informasi bahaya tersebut dapat disimpulkan dari
variasi lapisan sedimen dalam piston core yang didapat dari
kedalaman yang berbeda.
• Karakteristik kimia, yang dapat memberikan gambaran akurat
tentang sejarah hasil aktivitas gunung api tertentu berikut juga
daerah penyebaran hasil erupsi tersebut.
• Gambaran kondisi iklim purba (paleoclimatic) yang didapat dari
analisa kandungan plankton pada sedimen.
• Kandungan oksigen dan isotop karbon yang terdapat
dalam foraminifera. Data ini dapat menjadi landasan untuk
merekonstruksi model sirkulasi laut di Lautan Hindia
• Umur dari erupsi yang didapat dari metode paleomagnetik.
Pelayaran yang berlangsung selama 31 hari ini dilaksanakan

melalui dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada 20 Januari sampai 4
Februari 1990. Pelayaran berawal dari Jakarta ke Lautan Hindia untuk
melakukan percobaan tegangan kabel di sekitar Palung Jawa dan
pengambilan contoh sedimen di Outer Arc Ridge sebelah tenggara P.
Enggano. Setelah kembali dari melakukan percobaan, pada 24 Januari
1990 tim peneliti berangkat menempuh tahap pertama pelayaran.
Rute tahap pertama ini bermula dari Jakarta menuju laut Jawa, Flores,
Banda, Palung Timor, Laut Sawu, dan Kupang.
Gambar 5.5. Lokasi Pengambilan Sampel dan Lintasan Ekspedisi Shiva

(Hardjawidjaksana dkk., 1990).
Setelah melalui tahap pertama, peneliti melanjutkan perjalanan

tahap kedua yang berlangsung dari 6 - 20 Februari 1990. Pada tahap
kedua ini menempuh rute dari Kupang, menuju Laut Sawu, Lautan
Hindia, kemudian mengelilingi P. Enggano untuk kembali ke Jakarta
melalui Selat Sunda.
Selama perjalanan peneliti telah mendatangi 48 lokasi dan 46
diantaranya berhasil diambil sampel sedimennya.
Metode untuk mendapat data, dilakukan melalui beberapa tahap
mulai dari Penentuan Posisi, Echo Sounding, Pengambilan contoh
sedimen, lalu analisa magnetic susceptibility.
Peneliti menggunakan navigasi satelit yang dikonfirmasi dengan
pembacaan posisi kapal (dead reckoning) untuk menentukan posisi
kapal. Setelah posisi kapal tepat, peneliti melakukan echosounding
untuk mengetahui keadaan morfologi dasar laut yang menjadi dasar
untuk pengambilan contoh sedimen. Peneliti lalu mengambil contoh
sedimen menggunakan piston core sepanjang 11 meter. Setelah
sedimen didapat, peneliti kemudian menganalisa kandungan mineral
magnetiknya (magnetic susceptibility), analisa besar butir terhadap gelas
vulkanik, mikrofauna, kandungan mineral, unsur kimia, paleomagnetic,
serta variasi oksigen, dan karbon isotop dalam foraminifera.
Gambar 5.6. Aktivitas Peneliti di Atas Kapal (Hardjawidjaksana dkk.,

1990).
Kendala yang dihadapi dalam ekspedisi ini adalah putusnya kabel

sling hingga alat piston core terjatuh ke dasar laut sedalam 47 m pada
lokasi SHI9002, koordinat 534˚ 1915 dan 108˚05 099E.
Gambar 5.7. Peralatan Penelitian Magnetic Susceptibility

(Hardjawidjaksana dkk., 1990).
Ekspedisi Mentawai
Pada 1990 Indonesia dan Perancis melakukan ekspedisi
Mentawai yang dilaksanakan di Selat Sunda dan Sumatera Barat
dengan menggunakan Kapal Baruna Jaya III. Penelitian ini merupakan
kerjasama Indonesia dengan French-Indonesia Committee for
Cooperation in Oceanology.
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mempelajari struktur Palung Busur muka Sumatera dan peluang
adanya hubungan antara segmentasi busur muka dengan
subduksi Lempeng India.
2. Mempelajari komplek vulkanik Krakatau untuk mencegah
terjadinya kembali letusan seperti pada 1883 dan memahami
bentukan tektoniknya.
Tim peneliti gabungan dari Indonesia dan Perancis terlibat dalam

pelayaran ini. Indonesia mengirimkan 13 orang, sedangkan tim dari
Perancis 16 orang.
Gambar 5.8. Lintasan Ekspedisi Mentawai (Diament, 1990).
Pelayaran terbagi ke dalam dua leg. Leg pertama berlangsung

pada 21 September sampai 9 Oktober 1990, mengambil tempat di
Palung Busur muka Sumatera. Pada leg ini peneliti mendapatkan 53
profil seismik, batimeri, gravity, dan magnetik.

Kemudian leg dua berlangsung dari 9 – 15 Oktober 1990 dan
berlokasi di Komplek Vulkanik Krakatau. Leg ini menghasilkan seismik
beresolusi tinggi dan pengambilan data batimetri bagian dalam komplek
Krakatau pada siang hari, dan batimetri bagian luar pada malam hari.
Pada leg ini tidak dilakukan pengukuran gravitasi dasar laut karena
arus yang terlalu deras dan peneliti khawatir hal ini akan merusak
gravimeter.
Total data seismik yang didapat sebanyak 4.965,2 km. dalam
ekspedisi ini berdasarkan data seismik diketahui adanya sesar strike
slip di daerah fore arc basin yang kemudian diberi nama Mentawai
Fault.
Ekspedisi Selatan Jawa Barat
Gambar 5.9. Lintasan Ekspedisi Selatan Jawa Barat (Syaefudin dkk, 1993).
Perairan Selatan Jawa Barat menjadi lokasi pelayaran kapal

Baruna Jaya III pada Oktober 1990. Pelayaran tersebut menjadi tempat
penyelidikan yang bertujuan mengkaji daerah pertemuan antara
konvergen miring dan normal dari sudut geodinamika. Tujuan lainnya
adalah mengkaji pola pengendapan dan geometrik struktur serta
mengkaji kemungkinan potensi hidrokarbon.
Terdapat 11 lintasan seismik yang diteliti diberi kode Jabar I sampai
Jabar XI. Dimana pada lintasan tersebut dilakukan survei batimetri,
seismik refleksi, dan magnetik.
Penelitian dipimpin oleh Dr. Ir. Komar Karta dari Lemigas. Dengan
total tim peneliti sejumlah 19 orang dari Lemigas, BPPT, PPGL,
Dishidros, dan UI.
Ekspedisi Bone
Pada 1990, BPPT dan PPGL melakukan kerjasama pelayaran
penelitian Geologi dan Geofisika Kelautan di perairan Teluk Bone. Pelayaran
yang diikuti oleh 23 orang ini dipimpin oleh Ir. Kumala Hardjawidjaksana
M.Sc sebagai Ketua Peneliti.
Penelitian yang menggunakan kapal Baruna Jaya III ini memiliki
tiga maksud. Pertama untuk memperjelas proses-proses struktur dan
sedimentologi pada cekungan sedimentasi yang berada zona tumbukan
busur kepulauan dengan kontinen mikro. Kedua, untuk memahami
perkembangan geologi pada kawasan barat Cekungan Banda. Dan ketiga,
untuk mendapat informasi geologi sepanjang teluk dan tepian Teluk Bone.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui:
• Asal usul, evolusi struktur, dan sedimentasi daerah Cekungan
Bone hingga ke bagian baratdaya Cekungan Wetar.
• Hubungan antara proses deformasi di zona tumbukan dan
sedimentasi di cekungan yang berkembang di dekatnya.
• Pengaruh pola struktur di tepian cekungan (basin margin)
terhadap cekungan itu sendiri.
• Hubungan struktur antara Cekungan Bone dengan Cekungan
Flores di barat daya dan Cekungan Wetar di tenggaranya.

• Kemungkinan potensi sumber daya mineral dan minyak bumi.
• Distribusi sedimen yang dikontrol oleh sumber dari komplek
tumbukan, komplek batuan sekis, dan busur gunung api tua.
• Studi penenggelaman cekungan (basin subsidence) dengan
kemungkinan terjadinya pematangan hidrokarbon.
• Pengaruh struktur, tektonik, sedimentasi, dan stabilitas lereng
terhadap kemungkinan bencana geologi
Gambar 5.10. Lokasi Pengambilan Sampel pada Ekspedisi

Bone.(Hardjawidjaksana., 1990).
Pelayaran yang berlangsung pada 3 – 18 Desember 1990 ini

mengambil sampel di 23 lokasi dari 45 lokasi yang direncanakan.
Dalam perencanaan metode

penelitian yang dipakai adalah
penentuan posisi menggunakan
navigasi satelit dan dibantu
radar, echosounding di lokasi
pengambilan sampel, mengetahui
bentuk permukaan dasar laut
peneliti menggunakan seismik
refleksi untuk menentukan seismik
stratigrafi, termasuk variasinya.
Seismik stratigrafi diperlukan
untuk perbandingan dengan
cekungan lain seperti Selat
Makassar, Cekungan Wetar, dan
Cekungan Flores. Namun dalam
Gambar 5.11. Peneliti Sedang Memasang
pelaksanaan di lapangan terdapat Peralatan Gravity Core.
kendala peralatan seismik refleksi
tidak dapat dioperasikan karena kerusakan satu buah chip dalam alat
rekam seismik. Namun demikian kegiatan penelitian tetap berjalan.
Kemudian, pengambilan contoh sedimen permukaan dilakukan
menggunakan piston core dan gravity core. Kemudian dilakukan analisis
kandungan emas mineral berat, emas, mineral lempung, analisis besar
butir, mikrofauna, unsur kimia, kalsimetri, X ray radiografi, keteknikan,
sayatan poles, dan SEM.
Ekspedisi Timor
Palung Timor menjadi area penelitian yang menarik karena memiliki
beberapa kelebihan. Pertama area ini merupakan lokasi tumbukan
antara kerak Benua Australia dan busur Vulkanik Banda yang usianya
masih muda sehingga bisa menjadi pembanding bagi lokasi tumbukan
yang lebih tua. Kedua, tumbukan yang tidak serupa dari tepian kerak
Benua Australia membentuk Cekungan Bonaparte yang berpotensi

hidrokarbon.
Melihat kondisi ini, pada 24 Desember 1990 sampai 5 Januari
1991 PPGL dan BPPT melakukan survei yang dipimpin oleh Djoko
Idriastomo. Tim berangkat dari Ujung Pandang menuju Teluk Bone
untuk melakukan satu lintasan seismik. Atas permohonan Kumala
Hardjawidjaksana kepada Djoko Indriastomo, Kapal Baruna Jaya
III kemudian beranjak menuju sebelah timur Timor untuk melakukan
survei.
Survei ini bertujuan untuk menemukan lapisan yang berpotensi
hidrokarbon pada lapisan block faulting tumbukan kerak Benua Australia.
Selain itu, penyelidikan ini juga ditujukan untuk memetakan sistem
sesar transform yang turut menyebabkan terbentuknya cekungan pull
apart dan munculnya perbedaan sistem akrasi.
Gambar 5.12. Teknonik di sekitar Timor yang menjadi lokasi pelayaran penelitian Palung
Timor. (Indriastomo, 1991 dan Syaefudin dkk, 1993).
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penentuan

posisi, seismik refleksi, dan echosounding. Tim melakukan penentuan
posisi menggunakan GPS kemudian setelah posisi tepat tim melakukan
seismik refleksi dan echo sounding.
Penelitian ini menemukan bahwa tumbukan antara tepian utara
kerak Benua Australia dan Busur Banda masih aktif. Hal yang serupa
juga didapat di Palung Timor selatan Pulau Roti. Kemudian, ditemukan
juga bahwa sedimen yang menutupi cekungan Bonaparte di sisi barat
Celah Timor cukup tebal. Saat diteliti, lapisan block faulting yang
terbentuk tidak dapat diamati pada penampang seismik yang dihasilkan.
Namun, mengingat intensitas sesarnya cukup tinggi, potensi lokasi ini
menghasilkan hidrokarbon perlu diteliti kembali
Ekspedisi Sumba-Sawu
Ekspedisi Sawu berlangsung di Laut Sawu pada Maret 1991.
Kapal Baruna Jaya III yang digunakan pada ekspedisi ini berangkat
dari Tanjung Priok Jakarta pada 15 Maret 1991 dan kembali tanggal 31
Maret 1991 di pelabuhan yang sama. Ekspedisi ini melibatkan Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dinas Hidro-Oceanografi
(DISHIDROS), PPGL, dan Universitas Pajajaran (UNPAD).
Tujuan survei adalah melakukan studi dan menentukan komposisi,
karakter, dan distribusi sedimen permukaan dasar laut serta memetakan
karakteristik struktur cekungan Sawu. Untuk itu, peneliti melakukan
beberapa jenis survey sebagai berikut: batimetri, survei seismik refleksi,
pengukuran heat flow, dan pengambilan contoh sedimen (coring).
Gambar 5.13. Peta Lintasan Ekspedisi Sumba-Sawu (Syaefudin dkk, 1993).
Ekspedisi Toraja
Ekpedisi Toraja berlangsung pada 26 Juni sampai 17 Juli 1991.
Penyelidikan ini menggunakan kapal Baruna Jaya III dan dipimpin oleh
Hardi Prasetyo selaku Chief Scientist. Tujuan ekspedisi Toraja adalah
untuk melihat potensi hidrokarbon selain untuk mengetahui kondisi
tektonik dan geologi dari lokasi yang didatangi.
Tim peneliti berlayar melalui bagian tenggara sistem tepian paparan
Sunda. Wilayah ini meliputi Laut Bali-Lombok, tepian Kangean-
Sepajang, tepian Kalimantan Selatan (Spermonde Platform), Doang
Platform, Selat Makassar Selatan, dan tepian barat laut Sulawesi.
Penyelidikan yang dilakukan antara lain seismik refleksi
menggunakan air gun, pengukuran magnetik, batimetri menggunakan
echosounder, penentuan posisi menggunakan GPS. Pada ekspedisi ini
juga menjadi awal penggunaan Geographic Information System yang
masih baru pada saat itu.
Penelitian ini menghasilkan 28 lintasan, baik seismik refleksi,
batimetri, maupun magnetik. Hasil penelitian bermanfaat sebagai
tambahan database geologi dan geofisika di zona transisi Indonesia

Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. Hal ini tentu juga memberi
gambaran lebih lengkap tentang tatanan tektonik yang berkaitan
dengan penyebab terpisahnya transisi Indonesia Bagian Barat dan
Indonesia Bagian Timur.
Gambar 5.14. Lintasan Ekspedisi Toraja I (Prasetyo, 1991)
Selain itu, pelayaran ini telah mengidentifikasi beberapa elemen

geologi yang berhubungan dengan peluang adanya akumulasi
hidrokarbon. Lebih jauh lagi ditemukan peluang adanya rembesan
minyak bumi.
Pada ekspedisi TORAJA I, kapal Baruna Jaya III berlayar
melalui area West–East Backard Transition Zona (WEIBTZ). Nama
ini digunakan untuk menyebut area di antara Makassar dan Flores,
meliputi Bali, Lombok, perbatasan Doang, area timur Selat Makassar
Selatan, dan Spermonde.
Gambar 5.15. Interpretasi Seismik Refleksi Line T-15, Daerah Doang Spermonde
(Prasetyo, 1992)
Ekspedisi Geobandut
Progam Kelautan Nasional yang diamanatkan pada PPGL dan
BPPT dilaksanakan salah satunya dengan melakukan pelayaran
penelitian Geologi Laut Banda Utara (Geobandut). Dimana PPGL dan
BPPT bekerjasama dengan Perancis (CNRS, GENAVIR, Universitas
Brest, dan IFREMER).
Penelitian yang memakan waktu 25 hari ini dilakukan menggunakan
Kapal Penelitian Baruna Jaya III. Tim peneliti yang terlibat sejumlah 27
orang dengan partisipan dari Indonesia dan Perancis.
Pelayaran ini terdiri dari dua leg. Leg pertama berlangsung dari
21 – 26 Desember 1991 dengan rute dari Jakarta menuju Kendari.
Leg kedua berlangsung dari 2 – 14 Januari 1992 dengan rute Kendari
menuju Jakarta.
Tim peneliti mengunjungi Laut Banda Utara dengan tujuan
untuk mengetahui asal dan evolusi Laut Banda Utara. Hal ini dicapai
dengan menentukan batas kerak dan mikrokontinen pada setiap
tepian kontinental di sekitar Laut Banda Utara. Kemudian dengan
mengidentifikasi umur dan asal dari Laut Banda Utara.
Gambar 5.16. Lokasi Ekspedisi Geobandut (Anonim, 1992)..
Gambar 5.17. Kerangka Struktur Laut Banda Utara (Sarmili, 1992).

Ada empat aktivitas utama yang dilakukan pada penelitian ini,

yaitu penentuan posisi menggunakan GPS; pemetaan batimetri
menggunakan echosounder; seismik pantul, namun kegiatan ini urung
digunakan karena alat mengalami kerusakan sehingga tidak dapat
digunakan; dan dredging, yakni pengerukan batuan dengan bantuan
alat penggerak standar dan tensionmeter. Aktivitas lain berupa analisis
terhadap sampel juga dilakukan. Analisis tersebut sebagian besar
dilakukan di Perancis.
BIRPS
Pada tahun 1992, PPGL bekerjasama dengan British Institution
Reflection Profiling Syndicate (BIRPS) melaksanakan survey kelautan
dengan teknologi Deep Seismic Profiling (DSP). Penerapan teknologi
ini merupakan yang pertama di Indonesia dan Asia Tenggara. Aplikasi
teknologi ini diharapkan dapat memecahkan beberapa masalah yang
berhubungan dengan geodinamika zona tumbukan antara Busur Banda
dan tepian Benua Australia.
DSP adalah sistem pencitraan yang menyerupai sistem seismik
refleksi digital multichannel yang umumnya digunakan oleh industri
migas dalam eksplorasi. Kelebihan metode ini adalah DPS dapat
mencakup bagian dalam bumi hingga mencapai 100 km.
Survey DSP di Indonesia bagian timur dilakukan pada 1-18
Februari 1992 dengan menggunakan kapal Seismik GECO KAPPA
milik konsorsium perusahaan jasa industri migas GECO (Norwegia),
PRAKLA (Jerman), dan SCHLUMBERGER (Perancis). Pelayaran ini
menghasilkan total 760 km rekaman DSP multichannel, yang terdiri
dari tiga lintasan.
Lintasan DSP-API (timur ke barat) berlokasi di Laut Banda, sebelah
selatan Gunung Api. Lintasan DSP-TIMOR (barat laut-tenggara) dimulai
dari Laut Banda, punggungan Busur Gunung Api Wetar, cekungan
Busur muka Wetar, punggungan busur luar Timor-Leti, Palung Timor,
lereng Benua Australia, dan berakhir di Paparan Australia. Lintasan
DSP-DAMAR (sejajar DSP-TIMOR) mulai dari Paparan Australia,

lereng Benua Australia, Palung Timor, punggungan busur luar Lukor-
Sermata, cekungan busur muka Sermata, punggungan Gunung Api
Damar, dan berakhir di Laut Banda.
Gambar 5.18. Lintasan Ekspedisi BIRPS (Snyder et.al., 1996).
Survey DSP ini memberikan beberapa manfaat bagi perkembangan

geologi kelautan di Indonesia. Pertama, merupakan inovasi dalam
penerapan teknologi baru di dunia pemetaan. Kedua, menjadi wahana
pembelajaran bagi sumberdaya manusia dalam mengaplikasikan
teknologi baru. Ketiga, hasil yang didapat lebih akurat dan memberi
banyak informasi tentang proses geodinamika zona tumbukan Busur
Banda dengan tepian Benua Australia. Keempat, memberi kontribusi
terhadap tambahan database nasional geologi dan geofisika kawasan
Indonesia Bagian Timur.
Gambar 5.19. Kapal Riset GECO KAPPA (Prasetyo dkk., 1992)
Ekspedisi Gesinos
The Geology of the Transition of Normal Oblique Subduction
(Gesinos) merupakan penelitian yang bertujuan mencari data geologi
untuk mengetahui struktur geologi pada daerah dimana sesar Sumatera
berakhir, serta bagaimana pengaruh konfigurasi tektonik dan ekstensi
pada prisma akresi di zona transisi.
Tim peneliti dipimpin oleh Dr. Ir. Sugiarta Wirasantosa dari LIPI.
Sejumlah 22 peneliti dari BPPT, LIPI, PPGL, UGM, dan ITB peneliti
berangkat dari Jakarta menggunakan Kapal Baruna Jaya III pada
Maret 1993 menuju perairan selatan Jawa Barat. Mereka melakukan
batimetri, seismik refleksi, dan pengambilan sampel dasar laut.
Hasilnya adalah sesar normal dengan kemiringan ke arah selatan di
sebelah barat Pulau Panaitan. Pada bagian yang turun dijumpai struktur
menyerupai graben yang pada bagian tengahnya menampakkan
tektonik kompresif. Selain itu ada kenampakan deformasi kecil di atas
prisma akresi pada daerah barat. Sedangkan ke arah timur berkembang

secara normal dan sedimen penutupnya mengalami deformasi kuat.
Hasil lain menunjukkan adanya perbedaan konfigurasi struktur antara
zona akresi di daerah transisi dan di bagian timur daerah penelitian
yang dianggap sebagai daerah subduksi.
Gambar 5.20. Peta Lintasan Gesinos (Syaefudin dkk., 1993).
Ekpedisi Sumenta II
Awalnya ekspedisi ini direncanakan sebagai ekspedisi Andaman di
bawah arahan Vincent Renard dari Ifremer Perancis. Perkembangan
selanjutnya ekspedisi ini diubah namanya menjadi Ekspedisi Sumenta
II karena masih merupakan kelanjutan dari program Mentawai dan
Sumenta I. (Karta and Malod, 1992)
Tujuan pelayaran ini adalah untuk mendapat data tentang tektonik
di perbatasan Sumatera. Lokasi ini menarik karena merupakan
wilayah terjadinya subduksi akibat dari pergerakan Lempeng India-
Australia dengan Lempeng Asia. Di mana pergerakan ini menghasilkan

subduksi menyerong (oblique). Bentuk subduksi seperti ini memberi
dampak signifikan pada perbatasan lempeng aktif. Pada wilayah
Sumatera, subduksi ini menghasilkan beberapa patahan. Pergerakan
patahan akibat subduksi ini kemudian menjadi obyek penelitian pada
pelayaran Sumenta II. Dengan memahami proses pergerakan patahan
dapat diketahui struktur Pulau Sumatera dan pengaruhnya terhadap
deformasi patahan tersebut.
Tim peneliti terdiri dari 19 orang perwakilan Indonesia, 12 perwakilan
Perancis, dan 29 awak kapal. Chief Scientist dari Indonesia adalah
Komar Karta sedangkan dari Perancis adalah Jacques André Malod.
Pelayaran yang berlangsung dari 27 Agustus sampai 30 September
1992 ini terdiri dari 4 leg dan berhasil mendapatkan 5.047 km profil
seismik. Selain itu dilakukan juga pengambilan data berupa batimetri
dan dredging.
Gambar 5.21. Rute Ekspedisi SUMENTA II LEG IV (Syaefudin,

dkk., 1993).
Gambar 5.22. Sketsa Geodinamika Zona Subduksi Sumatera.(Malod and Kemal, 1994).
Ekspedisi Salawati-Hasaram
Pelayaran penelitian Salawati – Hasaram bertujuan
mengembangkan model tektonik perairan Indonesia salah satunya
dilakukan pada wilayah Salawati – Seram, Irian Jaya. Selain itu
pelayaran juga bertujuan menghubungkan batas-batas Cekungan
Halmahera Selatan, Seram, dan Salawati.
Penelitian dipimpin oleh Dr. Ir. Komar Karta dari Lemigas. Tim yang
beliau pimpin berjumlah 19 orang dengan asal organisasi yang berbeda
yaitu BPPT, Lemigas, PPGL, ITB, dan Unpad. Mereka melakukan
pengambilan data heat flow, batimetri, dan coring.
Heat flow diambil pada dua lokasi dimana lokasi yang berada di
sekitar komplek volkanik menunjukkan hasil lebih besar. Peta batimetri
menunjukkan adanya dugaan jalur sesar dimana blok selatan relatif
naik terhadap blok utara.
Selain itu ada pula dugaan jalur tektonik ke arah tenggara-timur
laut (North Buru-Salawati Tectonized Zone) yang didasari adanya
trend menerus pada wilayah itu. Sedangkan data coring menghasilkan
inti yang secara megaskopis berupa batulempung, batupasir, dan

batugamping.
Gambar 5.23. Peta Lintasan Ekspedisi Salawati – Hasaram (Syaefudin, dkk., 1993).
Ekspedisi AGSO
Australian Geological Survey Organization (AGSO) melakukan
penelitian dengan nomor 116 di Laut Timor pada 1993. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mendapatkan data seismik dalam yang berkualitas
tinggi dan data geofisika lain di sekitar Joint Development Zone (JDZ)
Indonesia – Australia yang berada di kawasan Laut Timor. Pelayaran ini
merupakan bagian dari program yang dilaksanakan AGSO yang ingin
mengetahui arsitektur struktural perbatasan barat laut Australia dan
pengaruh dari struktur itu terhadap lokasi, migrasi, dan penampungan
hidrokarbon di kawasan tersebut.
Peneliti dari Indonesia adalah H. Prasetyo yang bergabung
dengan 16 peneliti AGSO, 14 peneliti dari Australian Maritime Safety
Authority (AMSA), dan seorang peneliti NOPEC. Mereka berangkat

menggunakan kapal penelitian R.V. Rig Seismic dari Darwin, Australia.
Gambar 5.24. Peta Structural Framework Regional Grid Pengambilan Data

AGSO Survey 116. (Struckmeyer et.el., 1993).
Penelitian ini menghasilkan data dari 16 garis seismik dengan total

3.595 km dengan rata-rata 119 km per hari. Data yang didapat berupa
seismik, batimetri, gravitasi, dan magnetik.
Gambar 5.25. Hasil Pengukuran Seismic yang Menunjukkan Struktur

Graben (Struckmeyer et.el., 1993).
Gambar 5.26. Regional Grid Pengambilan Data AGSO Survey 116. (Struckmeyer et.el.,
1993).
Ekspedisi Gorontalo – Hasaram

PPGL pada Februari–Maret 1992 melakukan survei geologi dan
geofisika laut di kawasan Teluk Tomini, Gorontalo. Penelitian ini dipimpin
oleh Dipl. Geol. Supriyadi dari PPGL yang memimpin tim berjumlah 18
orang dari BPPT, PPGL, ITB, dan Unpad. Tim berangkat dari Jakarta
melalui Manado untuk menuju ke lokasi pengambilan data.
Penelitian yang menggunakan Kapal Baruna jaya III ini bertujuan
untuk menentukan karakter dan distribusi sedimen permukaan laut,
inventarisir potensi sumber daya alam non hayati, studi potensi bencana
alam geologi dan kestabilan lereng, juga pemetaan struktur dangkal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedalaman Teluk Gorontalo
bagian dalam berkisar antara 200-700m dengan pengecualian di
di sebelah barat dan utara yang mencapai rentang 1000-1500m.
Sedangkan pada bagian luar semakin ke timur semakin dalam. Di timur
Gunung Una-Una kedalamannya sekitar 1200 m, di bagian luar teluk

mencapai 4000 m.
Gambar 5.27. Peta Lokasi Penyelidikan Ekspedisi Gorontalo - Hasaram

(Syaefudin, dkk., 1993).
Pelayaran Banda (Banda Sea II)

Pada 1993, Perancis dan Indonesia bekerjasama dalam Proyek
Geodinamika dan Sumberdaya Mineral di Indonesia Bagian Timur.
Pada aspek kelautan, proyek ini meneliti beberapa bagian dari tepian
Banda. Peneliti yang terjun pada pelayaran ini berjumlah 32 orang,
dengan 14 diantaranya berasal dari Indonesia. Dari Indonesia kepala
tim dipegang oleh L. Sarmili M.Sc sedangkan Perancis menunjuk J. P
Rehault sebagai chief scientist.

Tujuan dari penelitian ini adalah:
• Mendapatkan gambaran tektonik dan geodinamika yang baru.
• Mencari lokasi dan membuktikan proses bukaan pada
punggungan Banda.
• Mencari tatanan geologi dari barat ke timur yaitu dari Cekungan
Aru sampai Cekungan Weber dan Laut Banda.
• Meneliti bagaimana terjadinya punggung vulkanik bawah laut di
Cekungan Wetar.
Penelitian ini berlangsung selama 40 hari yang terbagi menjad tiga

leg.
Leg pertama dilakukan di antara punggungan Sinta dan lereng
Tukang Besi pada 2 – 11 november 1993. Pada leg ini peneliti melakukan
batimetri dan dredging.
Leg kedua melalui rute yang melintasi wilayah barat laut sampai ke
tenggara Laut Banda Selatan. Rute ini memotong punggungan Banda,
lalu menuju Cekungan Weber, kemudian menyusuri tepian sepanjang
Busur Banda bagian utara yang banyak memiliki gunung api aktif, lalu
ke arah selatan Pulau Seram. Pada leg ini peneliti melakukan batimetri,
magnetik, dan dredging. Leg kedua ini berlangsung pada 11 – 23
November 1993.
Leg terakhir memotong punggungan Banda dari timur laut ke barat
daya sampai ke Cekungan Wetar. Perjalanan ini berlangsung dari 26
November sampai 6 Desember 1993. Peneliti melakukan batimetri dan
dredging pada leg ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah penentuan posisi, seismik
pantul, magnetik, dredging, dan batimetri. Penentuan posisi kapal pada
saat pengambilan sampel menggunakan GPS. Pada beberapa titik,
peneliti menembakkan watergun untuk kepentingan seismik pantul.
Seismik pantul ini bertujuan untuk mengetahui penampang lapisan
sedimen. Kemudian, sensor magnetometer digunakan oleh peneliti
untuk mengetahui medan magnet yang terdapat pada batuan. Peneliti
menggunakan heavy dredge untuk mengeruk (dregding) batuan keras

yang diduga sebagai batuan alas (basement rocks). Peneliti juga
merekam kedalaman laut sebagai dasar pembuatan peta batimetri
menggunakan echosounder.
Gambar 5.28. Peta Lintasan Banda Sea II (Sarmili, 1993).
Ekspedisi Moyo
Ekspedisi Pulau Moyo (Sumbawa) berlangsung dari tanggal
17 September hingga 7 Oktober 1993, merupakan ekspedisi lintas
sektoral yang mencakup bebagai bidang kegiatan seperti hidrografi,
oseanografi, biologi laut, biologi darat, radioaktivitas nuklir, geologi,
penginderaan jauh, dan sosial ekonomi.
Tujuan utama ekspedisi ini adalah untuk melaksanakan
inventarisasi sumberdaya alam di Pulau Moyo dan perairan sekitarnya.
Ekspedisi ini dilaksanakan dengan dukungan Kapal Riset Baruna
Jaya II, Mengikut sertakan 150 ilmuwan dan teknisi, yang berasal dari
berbagai lembaga riset seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapaan Teknologi (BPPT), Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Batan
Tenaga Atom Nasional (BATAN), Balai Penelitian Perikanan Laut, dan
Dinas Hidrografi Angkatan Laut dan berbagai univers itas di Indonesia.
(Soemodihardjo dkk., 2005)
Ekspedisi Natuna
Gambar 5.29. Lokasi Penyelidikan Natuna 1994. (Kurnio, dkk.,

1994).
Penyelidikan di Natuna pada Februari 1994 merupakan

penyelidikan dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya III pada
1994 yang bertujuan untuk memahami kondisi geologi dan tektonik
kawasan Natuna. Selain itu juga untuk penanganan sumberdaya alam

non-hayati pada ZEE.
Peneliti sejumlah 21 orang menaiki kapal Baruna jaya III untuk
menelusuri lintasan yang telah ditentukan. Lintasan ini meliputi wilayah
timur laut Cekungan Natuna Timur (East Natuna Basin). Penyelidikan
dipusatkan pada lereng benua dasar laut (submarine-continental slope).
Ekspedisi ini disamping mempunyai sasaran utama untuk lebih
memahami kondisi geologi dan tektonik kawasan Natuna juga memiliki
sasaran strategis dalam aspek sumber daya alam hayati pada Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Terdapat dua tahap pada pelayaran ini. Tahap pertama adalah
penyelidikan geologi marin sedangkan tahap kedua adalah geofisika
marin.
Pada tahap pertama dilakukan survei batimetri dan pengambilan
contoh-contoh dasar laut dengan dredging pada 7 titik. Dredging yang
dilakukan mendapat sampel berupa lempung karbonatan, lumpur,
terumbu, dan batu pasir kuarsa. Peta batimetri sepanjang lintasan yaitu
2.170 km telah didapat pada tahap ini. Contoh sedimen dan batuan juga
dianalisis besar butirnya, kandungan karbonatnya, mikropaleontologi,
petrologi, dan radiometrinya.
Tahap kedua dilakukan dengan menggunakan seismik refleksi
dangkal dan geomagnetik.
Ekspedisi Barat
Gambar 5.30. Anggota Tim Ekspedisi Barat Tengah Berfoto Bersama di Kapal Baruna
Jaya I (Hardjawidjaksana, dkk., 1995).
Kerjasama antara Indonesia dengan Perancis kembali terjalin pada

1994 melalui ekspedisi Barat. PPGL dan BPPT bersama CEA-CNRS
dari Perancis melakukan perjalanan selama 34 hari dengan kapal
Baruna Jaya I. Penelitian ini dipimpin oleh Ir. K. Hardjawidjaksana
M.Sc selaku Chief Scientist dan Francois Guichard sebagai Co-Chief
Scientist dari CEA-CNRS, yang memimpin 27 orang tim peneliti yang
terlibat. Dari jumlah tersebut 15 diantaranya berasal dari Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang kegiatan
gunung api di busur Kepulauan Indonesia. Aspek yang dikaji adalah
fluktuasi pergerakan lithosfera dan kecepatan penujaman, bahaya
gunung api, pola sedimentasi endapan permukaan dasar laut, dan
evolusi alur laut antara Samudera Hindia dan Pasifik.
Gambar 5.31. Peta Lintasan Pemeruman dan Seismik 3,5 KHz di

Sekitar G. Anak Krakatau (Hardjawidjaksana, dkk., 1995).
Tujuan utama penelitian ini untuk mengetahui:

• Urutan stratigrafi hasil kegiatan vulkanik berupa adanya lapisan
tepra dalam sedimen pelagik.
• Dinamika erupsi gunung api dan arah angin purba yang didapat
dari studi ukuran butir gelas vulkanik.
• Evolusi kimia dari sumber magma. Hal ini dapat menjadi
sumber informasi tentang peluang bahaya gunung api di masa
mendatang. Informasi bahaya tersebut dapat disimpulkan dari
variasi lapisan sedimen dalam piston core yang didapat dari
kedalaman yang berbeda.
• Karakteristik kimia, yang dapat memberikan gambaran akurat

tentang sejarah hasil aktivitas gunung api tertentu berikut juga
daerah penyebaran hasil erupsi tersebut.
• Gambaran kondisi iklim purba (paleoclimatic) yang didapat dari
analisa kandungan plankton pada sedimen.
• Kandungan oksigen dan isotop karbon yang terdapat dalam
foraminifera. Dimana data ini dapat menjadi landasan
merekonstruksi model sirkulasi laut di Lautan Hindia.
• Umur dari erupsi yang didapat dari metode paleomagnetik.
• Mengetahui dinamika hasil erupsi dan penyebaran aliran
piroklastika dan jatuhan debu yang terjadi pada saat letusan
gunung Krakatau pada 1883.
• Mempelajari bentuk morfologi hummocks di bagian utara
Gunung Krakatau secara rinci untuk mengetahui sumber dan
proses pengendapan seluruh erupsi.
Perjalanan yang berlangsung dari 9 April 1994 sampai 12 Mei 1994

ini terbagi menjadi tiga leg pelayaran. Leg pertama (9 – 16 April 1994)
menempuh rute dari Jakarta ke Padang, melalui Selat Sunda (komplek
Gunung Krakatau). Leg kedua (19 – 30 April 1994) dimulai dari Padang
menuju Laut Andaman Selatan dan kembali ke Padang. Leg ketiga (2
– 12 Mei 1994) berlanjut dari Padang ke Jakarta melalui Selat Sunda
dan Teluk Semangko.
Metode untuk mendapat data, dilakukan melalui beberapa tahap
mulai dari Penentuan Posisi, Echo Sounding (Honey ELAC Tipe LAZ
4700 dan ELAC STG 721 digitizer) serta 3,5 kHz bottom penetration
system model 515 Hipact, Pengambilan contoh sedimen, lalu analisa
magnetic susceptibility. Peneliti menggunakan navigasi Global
Positioning System untuk menentukan posisi kapal. Setelah posisi kapal
tepat, peneliti melakukan echosounding untuk mengetahui keadaan
morfologi dasar laut dan urutan sedimen yang menjadi dasar untuk
pengambilan contoh sedimen. Peneliti lalu mengambil contoh sedimen
dengan menggunakan piston core sepanjang 18 meter dan 10 meter.
Setelah sedimen didapat, peneliti kemudian menganalisis kandungan
mineral magnetiknya (magnetic susceptibility).
Gambar 5.32. Peta Lokasi Pengambilan Contoh Sedimen Dasar Laut

(Barat Cruise Leg 1, 2, dan 3) (Hardjawidjaksana, dkk., 1995)
Selain kandungan mineral magnetiknya terdapat beberapa analisis

lain, yaitu:
• Analisis besar butir, untuk mengetahui ukuran besar butir
sedimen permukaan dasar laut. Analisa ini menggunakan
saringan -2 sampai -9.
• Analisis sayatan pipih (smear slide) untuk mengetahui jenis
sedimen dan kandungannya secara mikroskopis.
• Analisis mineral berat. Peneliti melakukan penyelidikan untuk
mengetahui jenis-jenis mineral berat yang terkandung dalam
sedimen dasar laut.
• Analisis mikrofauna. Peneliti menggunakan ayakan pembuka
100 mesh untuk mengetahui kandingan mikrofosil dan ostracoda.
• Analisis unsur kimia.
• Analisis suseptibilitas magnetik.

• Analisis petrologi.
• Analisis kadar karbonat. Peneliti menggunakan HCl untuk
mengetahui kadar karbonat dalam sedimen dasar laut.
Peneliti mengunjungi 12 lokasi pengambilan contoh sedimen dasar

laut pada leg 1, 20 lokasi pada leg 2, dan 22 lokasi pada leg 3.
Gambar 5.33. Alat Bottom Penetration (Hardjawidjaksana, dkk., 1995).
Pelayaran MODEC II
Program MODEC I merupakan hasil kerjasama antara Indonesia
(ITB, BPPT, MGI), Perancis (URA 1759, CAIRS, University of Marie
Currie) dan Filipina (Mines and Geosciences Bureau). Program ini
menggunakan R.V L’Atalante (IFREMER) yang berlayar pada April–
Mei 1994.
Pelayaran MODEC I ini memiliki tema umum meneliti tahap akhir
menutupnya cekungan tepian (marginal basin), tumbukan menyerong
(oblique collision), pembentukan batas lempeng (plate bundary) yang
baru, akrasi kerak, dan pemisahan busur gunung api sepanjang tepian
aktif.
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari morfologi dari zona

tumbukan menyerong antara busur kepulauan Halmahera (atau
Filipina) dengan Busur Sangihe yang terbentuk pada zona penipisan
tepian benua Eurasia.
Gambar 5.34. Jalur Pelayaran pada Ekspedisi MODEC (Rangin, et.al., 1996).
Penelitian ini melakukan pemetaan swath, gravity, magnetic, dan

single channel seismic survey dan dual multibeam echosounder yang
menggambarkan batimetri dan morfologi dasar laut. Pengambilan data
ini dilakukan di bagian utara Laut Maluku. Metode tersebut digunakan
untuk mencapai tujuan penelitian, yaitu diketahuinya bagaimana
zona tumbukan antara Laut Maluku berubah dari berbentuk frontal ke
melengkung, setelah kerak laut dari Laut Maluku seluruhnya terobduksi
ke perbatasan antara kedua busur yang bertumbukan.
Ekspedisi GINCO I (Sonne 137)

RV Sonne melakukan pelayaran 137 pada 1998 yang melintasi Busur
Sunda, Lepas Pantai Sumatera, Jawa, dan Selat Sunda. Pelayaran
ini merupakan investigasi geosaintifik terhadap zona konvergen aktif
antara timur Eurasia dengan lempeng Indo-Australia. Pelayaran
yang diberi nama GINCO I ini diprakarsai oleh Bundesanstalt Für
Geowissenschaften Und Rohstofee (BGR) dari Jerman, bekerjasama
dengan Indonesia.
Pelayaran ini menghasilkan 5.500 km data magnetik, gravitasi, dan
profil batimetri. Lebih dari 4.400 km diantaranya merupakan data multi-
channel seismik.
Gambar 5.35. Peta Tektonis Regional Anomali Magnetik di Lautan Hindia dan Sekitarnya.
(Susilohadi, 2008)
Tujuan pelayaran ini adalah:

1. Meneliti struktur dan usia baji akresi, tinggian busur luar, dan
palung busur muka lepas pantai Sumatera dan Jawa. Penekanan
khusus pada penelitian proses evolusi Selat Sunda dan wilayah
Krakatau.
2. Meneliti perbedaan deformasi tektonik antara subduksi
menyerong (oblique) di Sumatera, dengan frontal di Jawa.
3. Mencari retakan permukaan laut pada baji akresi.
4. Mendefinisikan urutan seismik, ketebalan, dan usia sedimen
palung busur muka sebagai landasan asesmen hidrokarbon
selanjutnya.
5. Identifikasi kemunculan Bottom Simulating Reflector (BSR)
yang menandai adanya hidrasi gas.
Tim peneliti diantaranya adalah Schülter, Prexl, Gaedicke, Roeser,

Schreckenberger, Meyer, Ehrhardt, Jürgen, Behain, Bonemann,
Reichert. Penelitian ini menjadi tesis dari salah satu peneliti yaitu Darius
Behain.
Mereka melakukan pengambilan data dengan multichannel
reflection seismics, pengukuran data magnetik, pengukuran data
gravitasi, dan pemetaan batimetri.
Gambar 5.36. Peta lintasan Ekspedisi Ginco I (Schluter, et.al., 2001)

Ekspedisi IMAGES IV
Ekspedisi IMAGES IV merupakan bagian dari program International
Marine Global Changes Study (IMAGES), yaitu program pengeboran
untuk mengambil contoh sedimen dasar laut di Indonesia.
Pelayaran yang menggunakan kapal Marion Dufresne ini berlangsung
dari 18 Juni – 16 Juli 1998. Kapal ini memiliki kemampuan unik dalam
mengambil contoh sedimen menggunakan giant piston core dan dikelola
oleh French Institute for Polar Research and Technology (IFRTP).
Gambar 5.37. Kapal Peneliti Marion Dufresne.
Ekspedisi IMAGES IV ini terselenggara atas kerjasama Indonesia

yang diwakili LIPI dan Perancis. Tim ekspedisi ini berjumlah 41 orang
yang berasal dari Indonesia, Perancis, Australia, Amerika, Belgia, dan
Marocco. Tim dari Indonesia berjumlah 8 orang. Adapun partisipan dari
PPGL adalah Dra. Mimin Karmini dan Dra. Kresna Tri Dewi MSc.
Untuk menuntaskan misi penyelidikan, aktivitas yang dilakukan

meliputi pengeboran (coring), pengerukan (dredging), dan pengambilan
contoh air menggunakan alat CTD.
Selama pelayaran dilakukan coring yang memperoleh 29 contoh
sedimen dari 24 lokasi sepanjang jalur pelayaran yaitu Selat Sunda,
Samudera Hindia, Selat Makassar, Laut Flores, Laut Timor dan Laut
Banda. Dari contoh sedimen tersebut, Indonesia mendapatkan sampel
permukaan (bagian top piston core) dan tiga buah sampel sedimen
(panjang 25 – 36m) dari Cekungan Makassar bagian Selatan dan Utara
serta Laut Timor.
Gambar 5.38. Lokasi pelayaran IMAGES IV.( Karmini and Dewi, 1998).
Survey batimetri dilakukan terlebih dahulu untuk memperoleh

lokasi dredging yang paling tepat. Hasilnya, pada ekspedisi ini telah
dilaksanakan dredging di tiga tempat yaitu di sekitar gunung api bawah
laut antara P. Buru dan P. Seram, 40 km di sebelah selatan Ambon, dan
di Pisang Ridge (sebelah selatan Ambon).
Pelayaran Daeyang
Gambar 5.39. Kapal Penelitian Onnuri Milik Korea Selatan. (Kristanto, 2001)
Pada tahun 2001, Korea Ocean Research and Development

Institute (KORDI) melakukan investigasi multidisiplin pada perairan
Indonesia, tepatnya di Biak. Pelayaran yang menggunakan Kapal
Penelitian Onnuri ini bergerak dari Korea menuju ke selatan melintasi
Laut Filipina, terus sampai ke perairan Biak. Pada pelayaran yang
diikuti 16 orang ini, terdapat dua orang wakil dari Indonesia, yaitu Nur
Adi Kristanto dan Huala Maruli Tambun.
Tujuan dari pelayaran yang dinamai Pelayaran Daeyang ini adalah
sebagai berikut:
1. Menemukan lokasi pembiakan dan migrasi jenis ikan tertentu.
2. Memahami pola sirkulasi laut tengah di Laut Filipina dan Jeram
Kuroshio.
3. Memahami pergerakan lempeng Laut Filipina relatif terhadap
Lempeng Caroline.
4. Menyelidiki keberadaan aktivitas hidrotermal terkait dengan
aktivitas tektonik dan magmatik pada bagian selatan Laut
Filipina.
Adapun penelitian di perairan Biak, tepatnya di Palung Ayu,

bertujuan untuk memenuhi tujuan ketiga dan keempat tersebut di atas.
Metode yang digunakan pada ekspedisi ini cukup beragam, antara
lain adalah:
1. Sampling larva ikan.
2. Penempatan pelampung ARGO.
3. Observasi CTD Oseanografis Fisis.
4. Pengambilan sampling inti dan analisis biologis
5. Pengerukan sampel batuan.
6. Sampling dengan inti piston.
7. Survei lini seismologis.
8. Pemetaan batimetri.
9. Survei potensi magnetik dan gravitasi.
Hasilnya yang diperoleh dari Ekspedisi Daeyang adalah ternyata

tidak ditemukan adanya bukti aktivitas hidrotermal maupun bukti
pergerakan lempeng.
Penyelidikan Selat Sunda (RV Yokosuka)

Pada tahun 2001, BPPT dan Japan Marine Science and Technology
Center bekerjasama untuk melakukan penelitian biologi, geologi, dan
geofisika daerah Selat Sunda. Penelitian yang dilakukan pada 26 Januari
sampai 8 Februari 2001 tersebut diikuti oleh 47 orang, 5 diantaranya
dari Indonesia (PPG, BPPT, UI, dan TNI) dengan menggunakan R.V
Yokosuka.
Penelitian ini merupakan tindak lanjut dari penyelidikan geologi
dan geofisika regional BPPT dengan Federal Instutite for Geoscience
and Natural Resources (BGR – Jerman) RV Sonne pada 1999.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan living
marine biology di laut dalam, pencarian potensi methane vent sebagai
penghasil gas metana, dan perkembangan struktur geologi di perairan

lepas pantai selatan Jawa Barat.
Penelitian ini menggunakan deep tow camera untuk merekam
aktivitas bawah laut. Alat ini kemudian dihubungkan dengan small
dredge, sea beam, marine gravitymeter, dan marine magnetometer.
Deep tow camera menghasilkan 15 rekaman bawah laut. Data
dari sea beam diolah yang kemudian menghasilkan peta batimetri.
Hasil dredging menunjukkan pecahan cangkang Acarax Sp yang
menunjukkan beberapa daerah telah mengalami rembesan gas
metana. Hasil olah data marine magnetometer menunjukkan adanya
depresi yang berasosiasi dengan thrust fault sehingga mengakibatkan
peningkatan kedalaman pada bagian selatan Ujung Kulon dan selatan
Selat Sunda.
Gambar 5.41. Peta Batimetri Pantai Selatan - Jawa Barat (Rahardiawan, 2001).
Penemuan baru pada penelitian ini adalah Patahan Sumatera yang

diperkirakan berhenti membelok ke arah selatan ternyata masih terus
bergerak ke arah Banten dan Jawa Barat. Kemudian adanya penamaan
baru terhadap tinggian (bank) dan pertemuan patahan antara Sumatera
Fault dan Ujung Kulon Fault (triple junction) di selatan Jawa yang diberi
nama Banten Bank dan Banten Triple Junction
Ekpedisi ICOMAR
Ekspedisi Icomar yang merupakan kegiatan riset yang dilakukan
oleh beberapa instansi di Indonesia (PPPGL, ITB, Lapan, Bakosurtanal,
LIPI, Universitas Mulawarman) dan lembaga riset di Belanda yang
difokuskan pada penelitian lingkungan di sekitar Delta Mahakam dan
Delta Berau, Kalimantan Timur. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendapatkan berbagai data yang berkaitan dengan lingkungan sekitar
Delta Mahakam dan Delta Berau yang dianggap masih dalam kondisi
bagus. Salah satu topik yang berkaitan dengan PPGL adalah coastal
dynamics, delta, and the environmental changes.
Gambar 5.42. Kegiatan Pengambilan Sampel Moluska di Sekitar Delta Mahakam

dan Delta Berau (2001). Tampak Duddy Ranawijaya dan Dr. Simon Troelstra
(Dewi, 2006)
Pada penelitian pilot phase (2001), Kresna Tri Dewi, Duddy

Ranawijaya, dan Rina Zuraida mendapat kesempatan ke lapangan
dengan Dr. Simon Troelstra untuk sampling moluska.
Ekpedisi IASSHA
Kapal Baruna Jaya VIII kembali berlayar pada 29 Agustus sampai
11 September 2003. Kali ini survei yang dilakukan adalah menyelidiki
aktivitas hidrotermal bawah laut di Sulawesi Utara. Pelayaran bertajuk
IASSHA ini membawa 24 saintis dan teknisi, 17 berasal dari LIPI dan
DKP, sedangkan 7 dari Australia. Tim peneliti dipimpin oleh Haryadi
Permana bersama Tim McConachy, keduanya selaku Co Chief
Scientist.
Pelayaran IASSHA 2003 merupakan kelanjutan dari Pelayaran
IASSHA 2001 dan IASSHA 2002. Pelayaran ini adalah program
kolaboratif antara CSIRO Australia dengan konsorsium organisasi
Indonesia termasuk Departemen Kelautan dan Perikanan, LIPI, P3GL,
dan beberapa universitas. Pelayaran ini memiliki tiga tujuan. Pertama
adalah untuk membentuk kolaborasi riset produktif antar lembaga
mengenai aktivitas hidrotermal dasar laut dan deposit mineral.
Kedua adalah untuk melatih ilmuwan Indonesia tentang teknologi
perkapalan cost-effective yang digunakan dalam survei mineral
dasar laut, dan pemrosesan hasilnya. Ketiga adalah melaksanakan
survei reconnaissance untuk deposit mineral bawah laut dan aktivitas
hidrotermal di perairan Indonesia.
Pelayaran ini terdiri dari satu leg. Dengan menempuh rute menuju
Makassar pada 29 Agustus dan kembali ke Jakarta pada 11 September
2003. Terdapat lima titik yang menjadi lokasi penelitian yaitu P, Q, R,
S, dan Naung. Pada lokasi tersebut dilakukan echosounding, dredging,
CTD/Hydrocast dan camera video tows. Beberapa analisa seperti
gas chromatograph juga di lakukan langsung di atas kapal, sehingga
penentuan keberadaan metana di air laut dapat dikonfirmasi segera.
Hal ini membantu sekali dalam menentukan prioritas operasi.
Pelayaran ini menemukan gunung api bawah laut yang baru

di utara Busur Sangihe, yaitu di bagian barat Pulau Kawio. Gunung
ini muncul mencapai 1860 m dari dasar laut yang dalamnya 4300 m
dan menunjukkan kegiatan magmatic dan hydrohermal aktif. Gunung
dengan bentuk kerucut diberi nama Anak Kawio.
Gambar 5.43. Rute Pelayaran IASSHA 2003. (Greenfield and Hananto, 2003)
Gambar 5.44. Beberapa Hasil Penyelidikan (McConachy et.al., 2004).
Ekspedisi INSTANT
Ekspedisi INSTANT (International Nusantara STratification ANd
Transport) bertujuan untuk mengetahui aliran masa air dari Samudera
Pasifik menuju Samudera Hindia yang melalui perairan Indonesia dan
berguna untuk memprakirakan variabilitas iklim, seperti El Nino dan La
Nina serta Asian-Australian Monsoon. Diikuti oleh 6 lembaga penelitian
kelautan terkenal di dunia : Lamont-Doherty Earth Observatory (LDEO-
USA), Scripps Institution of Oceanography (SIO-USA), Commonwealth
Scientific & Indrustrial Research Organization (CSIRO-Australia),

Laboratoire d’Oceanographie DYnamique et de Climatologie (LODYC-
Perancis), Royal Netherlands Institute for Sea Research (NIOZ-
Belanda) dan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP-Indonesia).
Film dokumentasi ini direkam oleh tim dari CSIRO, dipimpin oleh
Dr. Susan Wijffels. Ekspedesi dilakukan dari tahun 2003 sampai tahun
2007 dengan menggunakan Kapal Riset (KR) Baruna Jaya (BJ) VIII
dan KR. Baruna Jaya (BJ) I.
Dokumentasi ini dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat secara luas tentang pentingnya aktifitas
penelitian di laut dalam rangka untuk memahami alam dan mejaga
planet bumi.
Aktifitas yang dilakukan adalah memasang dan megangkat
tambatan (mooring) alat akuisisi data oseanografi di laut, di Selat
Makassar, Pintasan Lifamatola, Selat Lombok, Selat Ombai, dan di
Pintasan Timor.
Selain para peneliti dari BRKP, ekspedisi ini juga diikuti oleh
beberapa dosen dan para mahasiswa Oseanografi dan Kelautan
dari berbagai perguruan tinggi dari luar maupun dalam negeri seperti
Columbia Universituy, UCSD, University de Paris VI, UTAS, ITB,
IPB,UNRI,UNHAS, UNDIP, UGM, UNSRAT, UNBRAW, UH, UNHAL,
Univ.Khairun, UNIPA.
El Nino da La Nina adalah salah satu variabilitas iklim yang
berpengaruh sampai ke Indonesia. Salah satu dampak dari fenomena
ini adalah kemarau panjang atau sebaliknya, curah hujan yang berlebih.
Kedua peristiwa ini dapat dilihat melalui beberapa indikator:
1. Anomali temperatur permukaan laut (SST Anomali). El Nino
terjadi jika temperatur permukaan laut di kawasan tropis timur
Lautan Pasifik meningkat setidaknya 20˚ dalam 12 bulan dan
ada anomali temperatur minimal +10˚ dalam rentang lebih dari 3
bulan.
2. Indeks Osilasi Selatan (IOS) yaitu perbedaan tekanan udara
di Lautan Pasifik Selatan dan Lautan India. IOS yang ekstrim
negatif berhubungan dengan El Nino.

3. Elevasi permukaan laut (sea surface topography). Turunnya rata-
rata elevasi permukaan laut di Pantai Mindanao dan Halmahera
berkaitan dengan peristiwa El Nino.
4. Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Semakin besar angkutan masa
air oleh Arlindo maka siklus El Nino akan makin terhambat.
Gambar 5.45. Indonesia Berada di Persimpangan Strategis Pengukuran Arus Laut

(www.p3sdlp.litbang.kkp.go.id/../194)
Pada indikator Arlindo ada beberapa poin penting:

1. Pada kondisi normal, elevasi muka air rata-rata di Papua Utara
dan Halmahera lebih tinggi dari di Lautan Hindia, khususnya
pantai barat Sumatera dan Selatan Jawa sampai Sumbawa.
Kondisi ini membuat Arlindo cenderung menguat. Pada saat
terjadi El Nino, elevasi muka air rata-rata di bagian barat Lautan
Pasifik turun, sehingga Arlindo melemah. Maka apabila Arlindo
melemah kemungkinan akan terjadi El Nino.
2. Variabilitas suhu permukaan laut di perairan Indonesia terutama

di bagian timur diperkirakan akan mengikuti Arlindo, pada saat
El Nino suhunya akan turun dan saat La Nina suhunya akan
lebih tinggi daripada periode El Nino.
Melihat kondisi ini negara-negara seperti Indonesia, Amerika

Serikat, Australia, Belanda, dan Perancis membuat kesepakatan
untuk menjalankan program Internasional Nusantara Stratification And
Transport (INSTANT). Tujuan program tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menentukan profil kecepatan arus dari Arlindo.
2. Mengetahui karakteristik tahunan, musiman, dan antar-musim
dari transport Arlindo.
3. Mempelajari kapasitas dari Arlindo di lautan Indonesia, dari
sumbernya di Pasifik menuju Samudera Hindia.
4. Merancang strategi monitoring Arlindo berjangka panjang yang
relatif hemat.
Dengan demikian manfaat yang diperoleh dari program Instant ini
antara lain:
1. Perhitungan masa air yang akurat akan merepresentasikan
Arlindo yang tepat dalam memodelkan iklim.
2. Meningkatkan kemampuan model untuk menstimulasi dan
meprakirakan variabilitas iklim.
3. Meningkatkan prakiraan El Nino dan La Nina serta Asian-
Australian Monsoon.
4. Meningkatkan pemahaman tentang proses yang mendukung
stok ikan dengan menghitung pengaruh dari ocean mixing dan
sea-air fluxes yang berpengaruh (Flores dan Banda).
5. Meningkatkan prakiraan migrasi ikan, banjir, dan kebakaran
hutan.
Kegiatan utama pada penelitian ini ada dua. Pertama adalah
ekspedisi kelautan untuk pemasangan dan pengangkatan tambatan alat
akusisi data oseanografi di laut, yang terbagi atas tahap pemasangan
(deployment) yang dilakukan pada 2003-2004, tahap pergantian

(rotation) yang dilakukan pada 2004, dan tahap pengangkatan kembali
(recovery) cruise yang dilakukan pad atahun 2006-2007. Kedua adalah
pengembangan kapasitas riset melalui pemberian kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan di tingkat pascasarjana di Amerika Serikat,
Australia, Belanda, dan Perancis, juga pelatihan singkat di pusat
penelitian kelautan terkenal di seluruh dunia.
Ekspedisi Kombamin (Bandamin 3)
Gambar 5.46. Kapal Riset Baruna Jaya III yang Digunakan pada Ekspedisi Kombamin.
(Halbach et.al., 2004 dan Sarmili, 2004)
Ekspedisi Kombamin merupakan pelayaran kerjasama antara

Jerman dan Indonesia di bidang geologi kelautan yang diwakili oleh
P3GL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan LIPI. Pelayaran
berlangsung mulai tanggal 1 s.d 17 Agustus 2004 menggunakan kapal
Baruna Jaya VIII. Pelayaran ini bertujuan untuk mengetahui submarine
hydrothermalism di Banda Selatan/Laut Flores.
Kegiatan penelitian ini dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Peter Halbach dari
FU Berlin Jerman dan koordinator peneliti dari Indonesia adalah Lili

Sarmili M.Sc (P3GL).
Ekspedisi Kombamin ini merupakan kelanjutan dari Ekspedisi
Bandamin I yang berlangsung pada 2001. Ekspedisi Kombamin fokus
pada recent to sub recent hydrothermal di dasar laut Flores, Cekungan
Wetar, yang berada di Indonesia bagian timur.
Peralatan yang digunakan selama ekspedisi ini adalah high
resolution hydrographic surveys (Multibeam), echosouder system
(SEABEAM 1050 ELAC), Seafloor sampling (Dredge and Grab), dan
water column measurement (CTD combined with rosette water sample).
Gambar 5.47. Lokasi Pelayaran Kombamin (Sarmili, 2004)
Ekspedisi ini menemukan gunung api bawah laut yang diberi nama
Baruna Komba serta kandungan emas dalam batuan dengan kadar
rata-rata 3,5 ppm.
Gambar 5.48. Para Peneliti Tengah Melakukan Aktivitas Dredging untuk Mengambil
Sampel Batuan Dasar Laut.(Halbach et.al., 2004 dan Sarmili, 2004).
Ekspedisi Andaman (RV Natsuhima)

Gempa dan tsunami yang menimpa wilayah perairan Aceh pada
2004 merupakan gempa keempat terbesar pada abad ke 20. Pusat
gempa diperkirakan berada di Pulau Simuelue ke sebelah utara Aceh.
Retakan yang terjadi mencapai 1000 km.
Dampak tsunami terhadap struktur permukaan bumi terutama
dasar laut yang menjadi lokasi gempa menjadi hal yang penting
untuk diketahui. Penelitian tentang hal tersebut dilaksanakan melalui
kerjasama antara JAMSTEC, BPPT, yang dipimpin oleh Safri Burhan
dari KKP untuk meneliti geomorfologi dan dampak gempa di paparan
Aceh. Pelayaran penelitian yang menggunakan R.V. Natsushima ini
dibagi ke dalam dua leg.
Tujuan penelitian pelayaran ini adalah sebagai berikut:
1. Memahami mekanisme gempa bumi dan mekanisme propagasi
gempa kelas M9 tipe trench.
2. Meneliti secara langsung kondisi dasar laut di lokasi terpengaruh

gempa (inferred large scale displacement region) segera setelah
gempa dan tsunami. Hal ini untuk mengetahui perubahan
lingkungan dasar laut yang terjadi akibat gempa.
3. Meneliti fitur geomorfologis beresolusi tinggi di dalam dan sekitar
area terpengaruh (inferred large scale displacement region) dan
pada area batas barat busur muka palung Aceh. Hal ini untuk
memahami pola pemisahan yang terjadi pada lempeng yang
bertumbukan.
Gambar 5.49. Peta lintasan R.V. Natsushima NT 05-2 N.W. Sumatera

(Soh and Burhanudin, 2005).
Kegiatan ini merupakan hasil kerjasama bilateral antara Indonesia

dan Jepang. Ekspedisi ini dituanrumahi oleh JAMSTEC (Jepang)
dengan partisipan dari Indonesia, Jerman, dan Amerika Serikat ini
berakhir pada 25 Maret 2005.
Gambar 5.50. Long Term OBS dari R.V. Natsushima NT 05-2 Cruise (Soh and Burhanudin,
2005).
Pelayaran ini
mendapatkan banyak
sampel organisme
dasar laut dalam
keadaan hidup, batuan,
cairan, dan sedimen.
Pengukuran aliran
panas dan emisi sinar
gamma juga didapatkan
Gambar 5.51. Interprertasi Seismik Refleksi Line NT
dengan menggunakan 05-02-20. (Soh and Burhanudin, 2005).
ROV Hyperdolphin.
Ekspedisi ini juga menggunakan single channel seismic untuk
mengetahui kondis batuan dasar laut.
Penemuan ini menambah perbendaharaan pengetahuan tentang
proses gempa pada zona tumbukan dan bagaimana terjadinya tsunami
pada daerah itu.
Survei Klaim Landas Kontinen Indonesia

Berdasarkan ketentuan dalam United Nation Convention on the Law
Of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, Indonesia sebagai negara pantai
mempunyai kesempatan untuk menarik batas terluar landas kontinen
melebihi 200 mil laut dari garis pangkal. Batas waktu melakukan submisi
ini adalah pada 13 Mei 2009 dan akan diuji kebenaran submisinya oleh
the Commission on the Limits of Continental Shelf (CLCS).
Untuk mempersiapkan submisi ini, telah dilakukan Desktop Study
untuk mengidentifikasi daerah yang berpotensi, antara lain: perairan
sebelah barat Aceh (sebagai prioritas utama), selatan Sumba, dan
Utara Papua. Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 21 Januari sampai
dengan 25 Februari 2006 dilakukan survei landas kontinen Indonesia di
perairan sebelah barat Aceh bersamaan dengan pelaksanaan ekspedisi
SeaCause II dengan menggunakan Kapal Riset Sonne milik Jerman.
Gambar 5.52. Potensi Batas Terluar Landas Kontinen Melebihi 200 Mil Laut,
Sebelah Barat NAD. (Djajadihardja, dkk., 2006)
Tim peneliti terdiri dari 5 orang peneliti Indonesia, yaitu Dr. Yusuf
S. Djajadiharja MSc., (BPPT), Eko Triarso. ST (BRKP-DKP), Dr.Ing.
Khafid (BAKOSURTANAL), Ir. Nur Adi Kristanto (PPPGL-ESDM) dan
Kapten Laut (P) Purwito (DISHIDROS-TNI AL sebagai Security Officer).
Peneliti lain adalah 17 peneliti Jerman, 5 peneliti asing lain dari Inggris,
Rusia, USA, Jepang, dan Perancis.
Mereka berangkat untuk melakukan kegiatan penentuan landas
kontinen ini. Metoda yang mereka gunakan adalah seismik refleksi
multichannel, graviti, magnetik, batimetri, dan parasound. Metoda ini
dapat memetakan kondisi geologi bawah permukaan laut khususnya
untuk mengetahui ketebalan sedimen, densitas, umur, serta topografi
permukaan dasar laut mulai dari daerah palung ke arah lepas laut.
Metoda yang digunakan dalam studi seismik refleksi didasari oleh
hukum Snellius yaitu perambatan cahaya atau gelombang suara yang
merambat pada suatu medium.
Gambar 5.53. Kapal Riset Sonne Milik RF Jerman yang Digunakan untuk Seismik
Refleksi Multichannel (240 Channels). (Djajadihardja, dkk., 2006)
Ekspedisi Core IT
Survei Paleo-Oseanografi atau yang lebih dikenal dengan
Ekspedisi Collaborative Research Indonesian Throughflow I (CORE
IT I) merupakan riset geologi kelautan yang diselenggarakan atas
kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika
(Rutgers University dan WHOI). Ekspedisi ini mendapat pendananaan
dari Pemerintah Amerika melalui National Science Foundation (NSF).
Ekspedisi ini didasarkan pemikiran bahwa dinamika kolam panas
Pasifik Barat (Western Pacific Warming Pool/ WPWP) yang terletak
di sebelah timur perairan Indonesia berhubungan erat dengan
variasi ENSO (El Nino Southern Oscillation). Perubahan ini akan
mempengaruhi pula kondisi dan struktur perairan laut Indonesia. Pada
saat El Nino terjadi, kolam panas bergeser ke timur dengan kedalaman
lapisan termoklin mendangkal di Pasifik sebelah barat dan perairan
Indonesia. Kejadian sebaliknya terjadi pada saat La Nina.
Pada sisi barat kolam panas tersebut, Benua Maritim Indonesia
(BMI) seolah-olah berfungsi membatasi komunikasi proses fisik antara
Samudra Pasifik dan Hindia sebagai akibat rumitnya selat dan batimetri
di dalamnya. Oleh karena itu, arlindo menjadi elemen penting untuk
mengetahui sistem iklim global dan sirkulasi termohalin.
Maksud dari kegiatan ini adalah untuk merekonstruksi iklim jaman
purba di Perairan Indonesia dan kolam panas Samudra Pasifik (Western
Pacific Warming Pool/WPWP) melalui pengumpulan berbagai data,
baik berupa data air laut maupun sedimen permukaan dasar laut di
perairan arlindo dan sekitarnya dengan tujuan untuk mengetahui faktor
pengontrol perubahan iklim masa lalu di Perairan Ekuator Pasifik Barat.
Selain itu, penelitian ini juga ditujukan untuk mengetahui sejauh
mana pengaruh perubahan El Nino Southern Oscillation (ENSO)
terhadap posisi termoklin di Perairan Indonesia (khususnya Indonesia
Timur) atau yang biasa disebut Arus Lintas Indonesia/ Arlindo
(Indonesian Through Flow) dalam perioda ratusan sampai ribuan
tahun. Dengan kata lain, ekspedisi ini diselenggarkan untuk menambah
pemahaman tentang iklim Zaman Holocene serta melengkapi referensi
pengetahuan tentang perubahan iklim global yang terjadi saat ini, serta
bagaimana antisipasinya pada masa datang atau merekonstruksi suhu
permukaan laut, kedalaman lapisan termoklin dan arlindo transport
pada zaman holosen.
Survei dilakukan selama 32 hari dengan menggunakan Kapal
Riset (K/R) Baruna Jaya 8 yang dikelola oleh P2O LIPI. Kegiatan ini
melibatkan instansi-instansi (dari pihak Indonesia) sebagai berikut:
BPPT (4 saintis dan 2 teknisi), DKP, Puslitbang Geologi Kelautan (Noor
Cahyo D. Aryanto) dan ITB masing-masing 1 saintis, serta LIPI sebagai
instasi pengelola kapal selain itu didampingi pula 1 orang security
officer dari Dishidros. Sedangkan dari pihak Amerika Serikat diikuti
oleh Rutgers University (1 scientis sekaligus bertindak selaku chief
scientist dan 4 teknisi), State University of New York (SUNNY) terdiri
atas 1 saintis dan 1 teknisi serta Woods Hole Oceanography Institution
(WHOI) 1 saintis dan 5 teknisi.
Gambar 5.54. Pemercontoh Sedimen Dasar Laut Multicore (a) dan Contoh
Perolehannya (b) (Aryanto, 2010)
Survey ini semakin penting mengingat salah satu lokasi survei,

antara lain berada di Selat Makassar yang merupakan kawasan
strategis dan penting, karena merupakan celah yang mengalirkan
bagian terbesar massa laut dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia.
Selain itu, kawasan ini berbatasan pula dengan Kalimantan Timur yang
secara potensi sumber daya alam dan ekonomi regional memiliki arti
yang sangat penting.
Untuk merekonstruksi struktur termoklin digunakan metode
pemakaian Mg/Ca paleotermometri. Kegiatan pengambilan contoh
sedimen permukaan berakurasi tinggi (semaksimal mungkin
mendapatkan contoh pada bagian yang benar-benar mewakili bagaian
atas) dikonsentrasikan di daerah kontinental slope dari beberapa
kepulauan di Indonesia yang menjadi lintasan utama arlindo (sekitar
Selat Makassar).
Ada lima kegiatan utama yang dilakukan di atas kapal:
1. Pengambilan contoh sedimen permukaan dasar laut berakurasi
tinggi dengan menggunakan multi core di beberapa lokasi
seperti Laut Bali, Selat Makassar, Laut Sulawesi dan beberapa
titik yang dipengaruhi kolam panas Pasifik Barat (termasuk di
dalamnya transek vertikal sampai kedalaman 200 m);
2.
Pengambilan contoh sedimen permukaan dari transek
kedalaman yang mencuram (down slope transect depth)
dengan menggunakan gravity core, dengan maksud agar dapat
dilakukan kalibrasi pada instrumen geokimia;
3. Pengambilan contoh air laut (water sampler) pada beberapa
kolom lapisan kedalaman untuk mengetahui tingkat salinitas,
kecerahan, dan temperatur saat ini dengan menggunakan CTD
sekaligus bersamaan dengan kegiatan ini dilakukan analisa
kimia air (hydrocast) antara lain untuk mengetahui kandungan
nutrisi, kadar oksigen dan unsur lain yang terlarut;
4. Pengambilan contoh plankton yang masih hidup di beberapa
titik tertentu di kedalaman tertentu untuk mengetahui variasi dan
distribusinya kaitannya dengan sifat fisik dan kimia air, dengan
menggunakan alat plankton net; dan

5. Pengerjaan contoh untuk mengetahui kandungan Magnetik
(magnetic succeptibility) dalam sedimen dengan menggunakan
alat Multi Sensor Tracking (MST) Logger di lokasi-lokasi dimana
dilakukan pengambilan contoh secara gravity core.
Ekspedisi VITAL
Ekspedisi Vital (Indonesian Troughflow Variability and Australian
Climate History) bertujuan untuk memahami variasi iklim pada 150.000
tahun silam yang terekam dalam cangkang mikrofosil melalui analisis
geokimia. Pengambilan sampel sedimen menggunakan multicorer
dan gravity-piston-kastenlot corer di titik-titik lokasi sekitar alur
keluarnya Arus Lintas Indonesia. Selain sampel sedimen, dilakukan
juga pengambilan sampel air, plangton, dan debu yang beterbangan
di udara; pengukuran arus, suhu, salinitas, densitas. Ekspedisi ini
merupakan kegiatan yang hanya diikuti oleh partisipan dari PPPGL:
Kresna Tri Dewi dan Rina Zuraida
Gambar 5.55. Lokasi Pengambilan Percontoh Sedimen pada Ekspedisi Vital (Kuhnt,
et.al., 2005 dan Zuraida dkk., 2005)
Ekspedisi ini mengarungi perairan tiga negara: Indonesia, Timor

Leste, dan Australia menggunakan wahana Kapal Riset Sonne milik
pemerintah Jerman. Penjelajahan dimulai dari Pelabuhan Darwin,
Australia, pada tanggal 14 September dan berakhir di pelabuhan
Tanjung Priok pada 6 Oktober 2005.
Gambar 5.56. Anggota Tim Ekspedisi dari Jerman, Australia, Amerika, China, Jepang,
Timor Leste, Rusia, Austria dan Indonesia (Kuhnt, et.al., 2005 dan Zuraida Et.al., 2005)
Pemetaan landas kontinen merupakan hal yang penting untuk

diselesaikan oleh Indonesia agar dapat memanfaatkan sumber daya
alam yang terkandung di bawah permukaan landas kontinen. Namun,
karena wilayah yang harus diteliti sangat luas, maka pihak terkait
terkendala oleh waktu dan biaya. Mengingat waktu untuk mengajukan
klaim yang relatif singkat, para peneliti menganjurkan agar dipikirkan
cara alternatif untuk mendapatkan data landas kontinen. Salah satu
yang dapat dilakukan adalah melalui penyelidikan dengan kerjasama
antar-negara, seperti ekspedisi VITAL dan PABESIA yang terbukti
merupakan salah satu cara alternatif untuk mendapatkan data landas
kontinen terkini yang akurat dengan resolusi tinggi.
Sebagai catatan, beberapa hasil dari ekspedisi antara-negara
yang pernah digelar sebelumnya juga dapat memberikan data landas
kontinen yang bagus. Misalnya Ekspedisi Images IV (1998) dan

Ekspedisi Wepama (2002) memberikan data kedalaman laut, jenis
ketebalan sedimen (kurang dari 50 m) di Samudera Hindia dan sekitar
Laut Sulawesi.
Survei Potensi Migas di Cekungan

Gorontalo
Gambar 5.57. Lokasi Lintasan Seismik, Magnetik dan Batimetri di Cekungan Gorontalo
(Wijaya , 2005)
Pada September sampai Oktober tahun 2005, Puslitbang Geologi

Kelautan telah melakukan akuisisi seismik multi-channel dan data
magnetik pada empat lintasan sepanjang 457 km di Cekungan Gorontalo
termasuk proses pengolahan data seismik dengan software Pro-Max
2D v.2003.3. Cekungan Gorontalo sebagai salah satu cekungan frontier
dan laut dalam memanjang arah Timur-Barat 510 km, lebar 120 km.
Luas 59,6 ribu km², dengan kedalaman laut 1.000 – 4.000 m.
Survei dengan menggunakan instrumen geologi dan geofisika yang
terinstal dalam Kapal Riset Baruna Jaya VIII dan dilengkapi dengan
instrumen yang dimiliki pihak Puslitbang Geologi Kelautan. Instrumen
yang digunakan meliputi: positioning menggunakan GPS navigasi

KR BJ VIII dan differential GPS (CNAV) oleh PPPGL; multibeam
echosounder (EM1002) dan singlebeam echosounder (EA500);
marine magnetometer seaspy; multichannel seismic 28 channel; CTD
(conductivity temperature and density); ADCP (acoustic doppler current
profiler); sedimen core; menggunakan box dan gravity core; Selain
itu dilakukan pengamatan dan pemotretan morfologi sebagai indikasi
adanya struktur geologi.
Secara umum dari interpretasi penampang seismik hingga
kedalaman 5.000 m Cekungan Gorontalo bagian Teluk Tomini dikontrol
sesar-sesar normal membentuk half graben, di bagian Timur Laut
mengalami pengangkatan karena aktivitas volkanik G. Colo di pulau
Una-una, dan sisi Barat Daya dikontrol kompleks sedimen dengan energi
pengendapan sangat tinggi. Dari karakterisasi reflektor seismik, dapat
dibagi lima satuan sekuen stratigrafi. Setiap sekuen mengindikasikan
perubahan lingkungan sedimentasi.
Gambar 5.58. Interpretasi Penampang Seismik Lintasan-B Diintegrasikan dengan

Penampang Anomali Magnetik dan Batimetri, Dijumpai Satu Lokasi Diperkirakan Prospek
Sebagai Perangkap Reservoir (Wijaya, 2005)
Hasil integrasi dengan data magnetik menunjukkan pula adanya

basement high dan block-faulting. Adapun pada bagian timur kepulauan

Togian, kondisi struktur dominan dipengaruhi pengangkatan kompleks
ophiolit lengan timur Sulawesi akibat subduksi dan obduksi micro-
continent Banggai Sula. Kontinuitas sedimentasi pada daerah ini jauh
lebih lemah daripada Teluk Tomini, tercermin dari tipisnya ketebalan
sedimen. Interpretasi penampang seismik teridentifikasi dua tipe
perangkap (trap) yaitu build-up reef dan perangkap kombinasi struktur/
stratigrafi.
Gambar 5.59. Peralatan Water Gun (A) Siap Diturunkan sebagai Alat Source
Seismik Multi-channel (B) Streamer Panjang 700m sebagai Receiver Signal dalam
Perekaman (Wijaya, 2005)
Gambar 5.60. Penurunan Box Corer (A) dan Gravity Core (B) dalam Pengambilan
Sample. (Wijaya , 2005)
Survei Potensi Migas di Lepas Pantai

Utara Jawa Timur
Kegiatan survei seismik multi-channel di lepas pantai utara Jawa
Timur pada Agustus – September 2006 dilakukan di 8 lintasan (lintasan
L1 sampai dengan L8) dengan total panjang lintasan kurang lebih 1.700
km. Lintasan-lintasan utama (L1, L2, L3, L4, L5, dan L6) merupakan
lintasan-lintasan yang dibuat menyilang hampir tegak lurus terhadap
elemen-elemen struktur utama di daerah penelitian. Dua lintasan
lainnya dibuat memotong lintasan-lintasan utama tersebut. Lintasan L1,
L2, L3 yang terletak di bagian barat daerah penelitian dibuat menyilang
terhadap Muriah (Muriah Trough) dan Bawean Arch, sedangkan L4, L5,
dan L6 yang terletak di bagian timur dibuat menyilang terhadap: Tuban-
Camar Trough, JS-1 Ridge, Central Depression, dan North Madura
Platform.
Gambar 5.61. Hasil Pengolahan Seismik Multi-Kanal Berupa Delapan

Penampang Seismik Post-Stack yang Belum Diinterpretasi (Wijaya, 2007).
Dari delapan lintasan seismik tersebut, beberapa lintasan dapat

mewakili daerah penelitian diantaranya adalah lintasan L2 yang
mewakili bagian barat daerah penelitian. Lintasan L2 terletak hampir
sejajar dengan lintasan seismik Line 90 Mur-9 yang diperoleh dari data
hasil penelitian seismik terdahulu (Pertamina, 1992). Line 90 Mur 9
berjarak lebih-kurang 30 km di sebelah timur laut lintasan L-2. Dan di
bagian timur daerah penelitian diwakili oleh lintasan L6, yang letaknya
hampir sejajar dengan Line 81- IM- 163 yang juga diperoleh dari data
hasil penelitian seismik terdahulu (Pertamina, 1992). Line 81-IM-163

jaraknya lebih-kurang 20 km di sebelah timur laut lintasan L6 yang
digunakan sebagai pembanding dalam menginterpretasi rekaman
seismik dari daerah penelitian ini.
Hasil interpretasi pada lintasan L-3 dijumpai potensi perangkap
terumbu di Top Formasi Kujung I dan di lintasan L-4 ditafsirkan
ditemukan perangkap kombinasi struktur dan stratigrafi.
Pada gambar-gambar di bawah ini merupakan hasil penelitian yang
mendukung penentuan potensi migas di lepas pantai utara Jawa Timur:
Gambar 5.63. Interpretasi Struktur dan Stratigrafi pada Penampang Seismik L-8 dalam
Tiga Horizon (Top Upper ’OK’, Top Lower ’OK’ dan Top Kujung I) Berdasarkan Data
Indonesia Oil and Gas Fields Atlas, Vol.IV, Java, 1989 dan Data Stratigrafi, Prosuda,
Lemigas, 2006. (Wijaya , 2007)
Gambar 5.62. Interpretasi Struktur dan Stratigrafi pada Penampang Seismik L-3 dalam
Tiga Horizon (Top Upper ’OK’, Top Lower ’OK’ Dan Top Kujung I) Berdasarkan Data
Sumur Kepodang-1. (Wijaya, 2007)
Study Potensi Georisk Sepanjang Zona

Konvergen Aktif (Seacause I dan II)
Survei ini dilaksanakan bersamaan dengan kerjasama riset
kelautan antara BPPT dengan BGR Jerman dalam payung MoU antara
Kementrian Riset dan Teknologi dengan BMBF Jerman, sebagai
kelanjutan dari studi geologi dan geofisika untuk mempelajari kondisi
geologi pasca gempa dan tsunami yang telah menggemparkan dunia
pada tanggal 26 Desember 2004. Selain itu survei ini dilaksanakan
untuk studi penempatan Buoy Tsunami Early Warning System di
perairan sebelah Barat Sumatera.
Gambar 5.64. Jalur Pelaksanaan Survei Sea Cause II. (Gaedicke et.al., 2006)
Penelitian dengan tajuk Sea Cause I dilakukan pada 11 – 27

Oktober 2005 dengan menggunakan RV Sonne – 186. Pelayaran ini
diikuti oleh 8 orang peneliti Indonesia yaitu G. Fajar Suryono, Koesnadi
HS, Hananto Kurnio, M. Dayuf Yusuf, Rainer Arie Troa, Tonny R Iriandhi,
M. Rahadian, dan Sarwono Edi. (Backhausen and Suryono, 2005).
Peneliti mengambil data berupa data gravitasi, magnetik, batimetri,

dan parasound dilakukan secara bersamaan pada lintasan seismik
refleksi multichannel.
Setelah Sea Caused I penelitian Geo Risk kembali dilakukan
dengan nama Sea Caused II pada 21 Januari sampai 24 Februari
2006. Survei ini melakukan pengambilan data Geofisika berupa Multi
Channel Seismic (MCS) dengan 240 channel, 3 Km sercel streamer,
dan airgun array dengan kapasitas 50,8 liter. Data batimetri didapat
dengan 12 kHz simrad swath system. Sedangkan data subseabed
didapat bersamaan dengan gravity dan magnetik menggunakan high
resolution parasound profiler yang sudah terpasang di badan kapal.
Gambar 5.65. Peta anomali gravitasi di daerah survey SO186-2.

Garis hitam menunjukkan magnetik anomali dari sea floor spreading
(Gaedicke et.al., 2006).
Penelitian ini menginvestigasi daerah selatan lokasi gempa

Desember 2004 dan Maret 2005. Terutama meneliti daerah perbatasan
antara kedua lokasi gempa, seperti dapat terlihat dari dampak pasca
gempa yang dihasilkan. Hal ini dilakukan dengan memetakan struktur
zona subduksi, arsitektur accretionary prism, dan struktur busur muka
palung, terutama sistem strike-slip faultnya. Survei ini mendapatkan
5358 km data MCS pada daerah yang dilalui.
Survei Potensi Hidrokarbon Sepanjang

Zone Konvergen Aktif di Lepas Pantai
Barat Sumatera
Survei RV Sonne 189-2 yang dilaksanakan pada tanggal 6
September – 8 Oktober 2006 bertujuan untuk mengetahui sistem
pembentukan hidrokarbon, migrasi dan akumulasi sedimen pada
cekungan busur muka lepas pantai barat Sumatera. Untuk mencapai
tujuan tersebut dibutuhkan pendekatan keilmuan secara terintegrasi
yang meliputi:
1. Survei Geofisika, untuk mempelajari kondisi struktur geologi dan
proses sedimentasi (SO 189-1).
2. Survei Geologi yang diikuti dengan sampling geologi dan
geokimia, analisis geokimia organic dan penelusuran
geomikrobiologi yang bertujuan untuk memahami sistem
sedimentasi (SO 189-2).
Hasil survey cruise SONNE SO-139 telah menunjukkan bahwa

kandungan hidrokarbon di lepas pantai selatan Jawa dan barat
Sumatera dihasilkan dari kegiatan mikro-organisme yang berdasarkan
analisis geokimia dari sumur-sumur pemboran lepas pantai sumatera
bagian tengah secara dominan berasal dari termogenik.
Tujuan lain dari kegiatan ini adalah untuk investigasi submarine
co-seismic mass movements berdasarkan analisa core sedimen dari
cekungan-cekungan muka busur. Investigasi secara geometri, umur,

dan frekuesi pengendapan dalam sekuen stratigrafi di cekungan muka
busur tidak hanya mempelajari dimensi kejadian tapi juga meningkatkan
database yang lebih berguna dan mendalam yang berkaitan dengan
proses tersebut. Sampling sedimen pada cekungan muka busur
dilakukan juga berdasarkan penelitian cruise Sonne SO-186 di daerah
lepas pantai Sumatera bagian utara adalah untuk merekonstruksi
paleoseismicity.
Berdasarkan analisis hasil survey sebelumnya untuk
daerah cekungan busur muka sebelah barat perairan Sumatera,
mengindikasikan keberadaan buildups hidrocarbon dan gas hydrate
selain dalam misi memetakan dasar laut dalam.
Untuk meyakinkan apakah keberadaan bright-spot dan buildups
carbonat dan gas yang telah diteliti dalam desktop study itu benar,
maka diperlukan survei seismik refleksi multichannel. Lokasi utama
cekungan-cekungan tersebut adalah cekungan Sibolga, Nias, dan
Cekungan Bengkulu yang terletak di sebelah barat dari Pulau Sumatera.
Gambar 5.66. Jalur Survei Dimulai dari Pelabuhan Tanjung Priok tanggal 6 September
sampai 7 Oktober 2006 (Gaedicke and Neben, 2006 dan Wijaya, 2006)
Tujuannya agar didapatkan data-data potensi penempatan Buoy

untuk monitoring Geo-Risk dan potensi dan prospek kandungan
hidrokarbon dan gas hydrate di busur muka perairan barat Sumatera.
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan
Simrad dan Parasound (bathimetri), Gravitiy, Magnetik dan seismik
Multichannel sebagai dasar acuan untuk menentukan penempatan
posisi Monitoring Buoy Geo-Risk dan meneliti potensi dan prospek
keberadaan dan penyebaran buildups hidrokarbon dan gas hydrate.
Metoda ini dapat memetakan kondisi geologi bawah permukaan laut
khususnya untuk mengetahui ketebalan sedimen, densitas, umur, serta
topografi permukaan dasar laut mulai dari daerah Palung ke arah lepas
laut.
Gambar 5.67. Gambaran Sapuan Beam pada SIMRAD EM-120 Parasound(Gaedicke and
Neben, 2006 dan Wijaya, 2006)
Selama survei Potensi Hidrokarbon, dan Gas Hydrate, dilakukan

juga penentuan posisi dengan menggunakan Trimble 4000 DS yang
menghasilkan akurasi penentuan posisi yang cukup baik dalam
melakukan profil seismik refleksi. Sejak Mei 2000, sinyal GPS sudah
tidak lagi menggunakan degradasi buatan (intentional degradation)
yang disebut dengan “Selected Availability”, maka sejak itu akurasinya

dapat mencapai 5 meter dengan DGPS. Sebagai perbandingannya
akurasi 20-50 meter dengan standar GPS. Sinyal GPS dapat diterima
pada survei Potensi Geo-Risk, Hidrokarbon, dan Gas Hydrate ini dapat
diterima terus menerus dan manghasilkan kualitas yang sangat baik.
Beberapa peralatan survei yang digunakan sebagai berikut:
SIMRAD EM 120, multibeam echosounder untuk laut dalam yang
digunakan untuk pemetaan batimetri dasar samudera yang akurat.
Komponen dasar dari sistem ini adalah terdapatnya 2 susunan tranduser
yang berupa garis dengan konfigurasi mills cross dengan pengirim dan
penerima sinyal yang terpisah. Frekwensi sonar adalah 12 kHz dengan
sektor cakupan menyudut hingga 150º dan sebanyak 191 beam per
ping. Lebar pemancaran beam adalah 150º melintang pada lintasan
survei, dan 2º sejajar sepanjang lintasan.
Gambar 5.68. Prinsip Kerja Seismik Refleksi Multichannel (Gaedicke and Neben, 2006
dan Wijaya, 2006)
Peralatan lain adalah Parasound. Sistem yang bekerja pada

Parasound adalah frekuensi rendah (low-frequency) sediment
echosounder dan juga frekuensi tinggi (high-frequency) narrow
beam sounder dalam menetukan kedalaman laut. Parasound ini
menggunakan efek parametrik, di mana akan menghasilkan frekwensi

tambahan melalui interaksi akustik nonlinear dari finite amplitude
waves. Tranduser parasound memiliki 128 elemen pada luas + 1 m2
membutuhkan kekuatan listrik hingga 70 kW yang disebabkan oleh
efisiensi efek parametrik yang rendah. Data hasil perhitungan parasound
ini bukan hanya kedalaman kolom air tetapi juga bisa melihat sedimen
bagian atas dari dasar laut yang mencapai penetrasi hingga 100 m.
Kemudian, digunakan juga Magnetik SeaSpy Gradiometer yang
merupakan alat yang digunakan pada pengukuran magnetik memiliki
2 sensor overhauser magnetometer. Sensor tersebut mengukur nilai
skalar absolut dari total medan magnetik.
Gambar 5.69. Penampang seismik SO 186-135 yang memotong Lokasi Rembesan Gas
Bumi Telah Dibuktikan Pada Hasil Survey RF SONNE 189-2, 2006 dengan Perekaman
Video Sedimen Dasar Laut. (Gaedicke and Neben, 2006 dan Wijaya, 2006)
Alat pengukur gaya berat (gravity meter) yang digunakan R.V.

Sonne adalah marine gravity meter KSS31M buatan Bodenseewerk
Geosystem GmbH, alat ini dipasang di laboratorium gravity yang terletak
pada dek dibawah dek utama, posisinya kira-kira sejajar dengan garis
air, 1,5 meter dari garis tengah kapal kearah lambung kiri dan 48 meter
didepan buritan.
Dalam survei ini digunakan peralatan utama seperti; Air Gun dan
Kompresor, Streamer, dan alat perekam data seismik.
Gambar 5.70. Peta Gravitasi di Sekitar Pulau Simeulue yang Menunjukan Pola
Tinggian. (Gaedicke and Neben, 2006 dan Wijaya, 2006)
Gambar 5.71. Hasil Pengambilan Data Heat-Flow di Sepanjang Pantai Barat

Sumatera. Di Lokasi Sebelah Timur Pulau Simeulue Dijumpai Nilai Heat-Flow Yang
Relatif Tinggi 55 HFhg. (Gaedicke and Neben, 2006 dan Wijaya, 2006).
Survei Potensi Kebencanaan “PreTI-Gap”

di Perairan Mentawai
Tujuan utama PreTI-Gap adalah untuk mempelajari daerah patahan
gempa 2007 dan membandingkan hasilnya dengan hasil penyelidikan
sebelumnya di utara Simeulue, persisnya di daerah patahan gempa
2004 dan seismic gap di sekitar Siberut. Penyelidikan ini menggunakan
metoda seismik pantul dangkal.
Survei ini diikuti oleh teknisi dan ahli ilmu kebumian dari berbagai
instansi, mulai dari IPGP (Institute de Physique du Globe de Paris-
France), LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), ITB (Institut
Teknologi Bandung), BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi), DKP (Departemen Kekautan dan Perikanan), dan PPPGL
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan). Peneliti
dari PPGL diwakili oleh Adrian Willyan Djaja. Survei ini dilakukan
menggunakan kapal riset Baruna Jaya VIII milik Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI, dan berlangsung sejak tanggal 15 Februari hingga
6 Maret 2008.
Gambar 5.72. Para Peserta Survei PreTI-Gap di Perairan Mentawai. (Djaja, 2008)
Gambar 5.73. Aktivitas Pengangkatan Peralatan Seismik Multi Channel. (Djaja, 2008)
Gambar 5.74. Lintasan Survei Potensi Kebencanaan “PreTI-Gap” di Perairan Mentawai,

Samudera Hindia. (Djaja, 2008)
Penelitian ini menjawab pertanyaan (1) Mengapa back thrust

menunjukkan fitur linier sepanjang kurang lebih 1000 km di barat daya
Kepulauan Mentawai dan (2) bagaimana cara untuk memunculkan
back thrust? Linieritas Kepulauan Mentawai dan back thrust yang terkait
berhubungan dengan garis yang memisahkan bagian atas dan bawah
saat slip ko-seismik, dan semua thrust ini terkait dengan garis tersebut.
Seismik pantul di utara Pulau Simeulue menggambarkan dua back
thrust. Di daerah tersebut, kemiringan lempeng yang menurun berubah
dari 10 menjadi 30 dimana kerak samudera berinteraksi dengan mantel
benua. Jika terjadi gempa dibawah sambungan ini maka bagian dari
slip sepanjang megathrust akan masuk sebagian ke dalam back thrust.
Karena energi kecil pada kedalaman ini, dan kemiringan back thrust
tegak lurus megathrust, akan sulit untuk mendeteksi dari observasi
seismik. Akan muncul pengangkatan sepanjang back thrust.
Pada tahun 1797, tsunami yang mencapai Padang disebabkan
oleh gempa berkekuatan 8,4 SR. Akan tetapi, tsunami yang mencapai
Bengkulu pada tahun 1983 yang disebabkan oleh gempa yang
berkekuatan 9 SR memiliki tinggi ‘hanya’ 2-3 meter. Muncul dugaan
bahwa tsunami Bengkulu disebabkan oleh sumber lokal seperti
longsoran bawah laut atau back thrust terlokalisasi.
Terdapat sisa longsoran di timur laut Pulau Siberut. Sisa longsoran
ini masih baru dan mungkin saja tsunami 1797 terjadi disebabkan
oleh longsoran bawah laut masif yang disebabkan oleh gempa 1797.
Mungkin saja terjadi tsunami setinggi 5 meter di Padang jika megathrust
barat daya Siberut menjadi penyebabnya. Dengan keberadaan seismic
gap di sekitar Siberut, peluang terjadinya pengangkatan massa menjadi
sangat besar bagi masyarakat yang hidup di sekitar pantai Sumatera
dan Mentawai.
Ketiga patahan menyebabkan dinamika sistem pengangkatan dan
erosi pulau skala besar, mengisi sedimen di dalam mangkuk cekungan
yang dibatasi punggungan, dan pengangkatan massa besar ketika
terjadi gempa besar akibat destabilisasi sepanjang back thrust.
Survei Pra-Tsunami: Studi Seismik Dalam

Pada Mei 2009 Kapal Geowave Champion telah melakukan Survei
Deep Seismic. Survei ini menggunakan peralatan seismik multi kanal
dengan kategori super-canggih. Hal ini misalnya dengan penggunaan
streamer yang panjangnya mencapai 15 km dan air-gun 9600 cu-inch.
Alat ini mampu menjangkau batas kedalaman Moho dan mendeteksi
jalur subduksi di bawah Cekungan Muka Busur Bengkulu.
Hasil survei adalah enam lintasan seismik dalam. Hasil dari lintasan
ini ditindak lanjuti dengan pemrosesan yang berkualitas, diinterpretasi
dengan konsep-konsep ilmu kebumian dan akhirnya dihasilkan karya
berupa publikasi-publikasi juga menjadi referensi dalam studi mengenai
pra-tsunami, kegempaan, tektonik, stratigrafi dan cabang-cabang ilmu
lainnya.
Gambar 5.75. Foto Kapal Seismik Geowave Champion, didukung oleh Chase-boat Tiger-1. (Wijaya,
2009)
Deteksi Gunung Bawah Laut Di Barat

Bengkulu
Penelitian ini mendeteksi puncak submarine-seamount atau
gunung bawah laut pada kedalaman 1.285 m dengan dasar atau kaki
gunung pada kedalaman 5.902 m. Hasil deteksi dari survei ini, gunung
bawah laut memiliki ketinggian 4.617 m dan Lebar kaki gunung sekitar
50 m. Lokasi gunung bawah laut yang terdeteksi ini berada pada jarak
320 km sebelah barat dari Kota Bengkulu.
Gambar 5.76. Jalur Survey untuk Mendeteksi Gunung Api di Barat Kota Bengkulu.
(Wijaya, 2009)
Ekspedisi Monocir 2
Cruise MONOCIR leg 2:

Monsoon and Ocean Circulation
dilakukan untuk mengetahui fluktuasi
Arus Lintas Indonesia (ARLINDO)
serta hubungannya dengan berbagai
faktor yang mempengaruhi intensitas
ARLINDO di masa lalu. Penelitian ini
merupakan hasil kerjasama antara
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi Kelautan (P3GL) dengan
Gambar 5.77. Pengambilan Contoh
Laboratoire des Sciences du Climat Sedimen Dasar Laut dengan
et de l’Environnement (LSCE), Menggunakan Penginti Hisap Raksasa
CALYPSO (Zuraida, 2010)
Perancis. Ekspedisi Monocir 2 berlangsung pada tanggal 22 – 30 Juli

2010 dengan menggunakan kapal riset Marion Dufresne. Pelayaran
berawal dari Surabaya, Jawa Timur, dan berakhir di Bitung, Sulawesi
Utara. Partisipan dari PPPGL adalah Rina Zuraida dan Luli Gustiantini.
Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengambilan
contoh sedimen dasar laut dengan menggunakan penginti hisap raksasa
CALYPSO yang mampu mengambil contoh sedimen dasar laut hingga
panjang lebih dari 50 m. Selain itu, dilakukan pula pengambilan contoh
dengan menggunakan CASQ atau box core panjang yang memberikan
contoh sedimen yang relatif tidak terganggu.
Pengambilan contoh dilakukan setelah melakukan site survey
dengan menggunakan multibeam echosounder untuk mengetahui
kondisi dasar laut serta ketebalan sedimen di rencana lokasi
pengambilan contoh. Informasi ini dibutuhkan untuk menentukan
panjang core barrel yang akan digunakan dalam pengambilan contoh.
Pengambilan contoh dengan menggunakan CALYPSO dilakukan
dengan bantuan tensionmeter yang berguna dalam penentuan saat
terbaik untuk melepaskan picu penginti hisap.
Gambar 5.78. Peta Lokasi Pengambilan Contoh Sedimen Dasar Laut pada Ekspedisi
MONOCIR (Zuraida, 2010)
Ekspedisi INDEX SATAL

Ekspedisi Index INDEX SATAL merupakan eksplorasi laut dalam
yang diselenggarkan atas kerjasama kemitraan antara ilmuwan
indonesia dan ilmuwan Amerika. Kegiatan penelitian berlangsung di
perairan Sangihe.
INDEX SATAL merupakan akronim dari Indonesia – U.S. Expedition
in Sangihe Talaud yang berlangsung sejak 24 Juni dan berakhir pada
tanggal 8 Agustus 2010. Eksplorasi laut ini didukung oleh ilmuwan dari
berbagai institusi di Indonesia, termasuk BRKP, BPPT, LIPI, P3GL,
PSG, ITB, UNSRAT, DITWILHAN, DISHIDROS, serta ilmuwan Amerika
dari NOAA dan beberapa perguruan tinggi di sana.
Gambar 5.79. Baruna Jaya IV (BPPT) dan Okeanos Explorer (NOAA) yang Digunakan
Dalam Ekspedisi INDEX SATAL. (2010)
Eksplorasi INDEX SATAL 2010 dilaksanakan dengan menggunakan

kapal OKEANOS EXPLORER milik NOAA dan Kapal Riset Baruna Jaya
IV milik BPPT. Kapal OKEANOS EXPLORER mempunyai kemampuan
untuk melakukan eksplorasi laut dalam dan dilengkapi dengan ROV
(remotely operated vehicle) yang dilengkapi dengan kamera high
definition sehingga dapat mengambil gambar dengan baik dan tajam.
Gambar yang dihasilkan dikirimkan ke ECC (Exploration Command
Centre) di BRKP Jakarta dan Seatle secara real time dan selanjutnya
dianalisis oleh para ahli yang tergabung dalam tim eksplorasi ini. Selain
itu, OKEANOS EXPLORER juga dilengkapi dengan alat pencitraan
multibeam sehingga dapat memberikan gambaran mengenai kondisi
morfologi laut di daerah tersebut sampai kedalaman 7.000 meter.

Dipihak lain, kapal Baruna Jaya IV juga dilengkapi dengan alat pemetaan
multibeam dengan capaian kedalaman maksimum 2.000 meter.
Gambar 5.80. Daerah Eksplorasi INDEX SATAL 2010
Gambar 5.81. Topografi Bawah Laut dari Multibeam. Kedalaman Sesuai dengan Skala
Warna. (INDEX SATAL 2010)
Gambar 5.82. Gunung Api Bawah Laut, Kawio Barat dengan Puncaknya 2000 m dan
Kedalaman Kaki Gunung 5400 m dari Permukaan Laut. Beberapa Gunung Api Bawah
Laut Belum Memiliki Nama. (INDEX SATAL 2010)
ATSEA 2010
Perairan Laut Arafura dan Timor (Arafura and Timor Seas – ATS)
terletak di kawasan antara empat negara yaitu Indonesia, Papua Nugini,
Timor Leste, dan Australia. ATS merupakan wilayah kaya akan biota
laut dan sumber daya migas yang menurut Hukum Laut Internasional
pengelolaannya menjadi tanggungjawab keempat negara tersebut.
Pada 2010, Indonesia bekerjasama dengan Timor Leste dan
Australia dalam melakukan penelitian pada wilayah tersebut dengan
menggunakan Kapal Baruna Jaya VIII. Penelitian bertajuk Arafura and
Timor Seas Ecosystem Action (ATSEA) ini terbagi menjadi beberapa
tahap. Tahap pertama adalah penyusunan Transboundary Diagnostic
Analysis (TDA). Tahap ini diawali dengan pengambilan data biofisis dari
lokasi ATS.
Pelayaran ATSEA sendiri berfokus pada pengambilan data tentang
aspek fisik dan biologi dari ATS. Di antara aspek tersebut adalah
batimetri, (SIMRAD EA 500), dan Multibeam (SIMRAD EM-1002),

pengambilan sampel sedimen permukaan, analisa perikanan, biota
laut, parameter oseanografi, temeperatur, salinity, dan sigma-t dengan
menggunakan SBE 911 type CTD, accoustic doppler current profiler
(ADCP) frekuensi 75 kHz pada kedalaman 200m.
Gambar 5.83. Area Survei Laut Timor, Lemia, dan Laut Arafura. (Wirasantosa et.al., 2011)
Peneliti yang terlibat pada penelitian ini sejumlah 39 orang yang

berasal dari Indonesia, Timor Leste, dan Australia. Peneliti mengambil
data pada 23 titik. Mereka mendapat data Oceanographic Parameters,
Bathimetry, dan fisheries stock assessment.
Gambar 5.84. Jalur Ekspedisi ATSEA dan Lokasi Stasiun Pengambilan Data (Wirasantosa
et.al., 2011).
PEMETAAN GEOLOGI DAN GEOFISIKA

PERAIRAN SPERMONDE
Pemetaan geologi dan geofisika bersistim Lembar Peta 1909,
1910, 2009 dan 2010 , Perairan Spermonde dan selatan Selat
Makasar telah dilaksanakan mulai tanggal 23 Juli hingga 21 Agustus
2010 menggunakan Kapal Riset Geomarin III dipimpin oleh Riza
Rahardiawan. Kegiatan ini bertujuan untuk menginventarisasi tatanan
geologi, geotektonik, sejarah geologi, serta mengetahui potensi mineral
dan energi. Kegiatan pemetaan ini menggunakan sejumlah peralatan
geologi dan geofisika, antara lain peralatan seismik multikanal 48
channel, magnetometer, chirp sub-bottom profiler, echosounder
dan percontoh sedimen permukaan dasar laut. Pemetaan telah
menghasilkan lebih dari 2228 km data seismik, kemagnetan bumi
dan 1100 km data sub-bottom profile, serta 28 buah conto sedimen
permukaan dasar laut
Gambar 5.85. Peta Lintasan Seismik Multikanal dan Kemagnetan Bumi (Rahardiawan,
2010).
Secara umum daerah pemetaan termasuk dalam jalur arus

ARLINDO-Indonesia, dan secara geologi mencakup bagian
barat Cekungan Spermonde, bagian selatan Cekungan Makasar
Selatan, Paparan Doang-Spermonde, serta bagian selatan Paparan
Pasternoster, daerah ini merupakan daerah yang cukup penting akan
potensi Migas. Dilihat dari segi tektonik, daerah pemetaan memiliki
kondisi geologi yang kompleks dari lengan barat P. Sulawesi akibat
interaksi lempeng Kala Neogen, yaitu lempeng Australia yang bergerak
ke utara, lempeng Eurasia ke tenggara dan lempeng Pasifik ke barat,
serta rifting di Selat Makasar pada Eosen Tengah bagian bawah hingga
Miosen Bawah.
Gambar 5.86. Hasil Migration 48 Channel Lintasan SPRM-19 dengan Lokasi Well
Lombosang-1 (Rahardiawan, 2010).
Hasil pengukuran kedalaman laut disepanjang lintasan survei

pada umumnya menunjukkan kedalaman kurang dari 2000 meter.
Kedalaman laut dangkal hanya terdapat di sekitar paparan (terumbu
karang) dari Paparan Pasternoster, dan Doang-Spermonde. Sedangkan
kemiringan lereng yang sangat curam dijumpai di bagian utara Paparan
Doang, yang berhubungan dengan pergerakkan arus ARLINDO. Hasil
sementara interpretasi data seismik multikanal, menunjukkan bahwa
bentuk kontur yang memanjang barat-timur dalam Paparan Doang-
Spermonde berhubungan dengan struktur geologi (patahan), sedangkan
bentuk kontur baratlaut-tenggara dalam Cekungan Spermonde juga

berasosiasi struktur geologi.
Ekspedisi MAJA
Pada Juli sampai Agustus
2011, lima orang peneliti dari
Indonesia bergabung dengan 16
peneliti lainnya menaiki R.V. Sonne
217. Mereka adalah Rina Zuraida,
Nazar Nurdin, Sri Gozali Abiyoso,
Marfasran Hendrizar, dan R
Marcus S.S. Djajadiredja. Peneliti
melakukan pelayaran dalam
rangka Ekspedisi MAJA dengan
Gambar 5.87. Retrieval and
menempuh rute dari Makassar ke
Sampling of Multicorer with Video-
Singapura. system Maja (Kuhnt, et.al., 2011).
Mereka mengambil multibeam/ jpg.
parasound-transects, menempatkan CTD (dilengkapi sampel air),

menggunakan multicorer yang dilengkapi video camera, color
spectrophotometry Minolta CM 700D untuk mengukur light reflectance
pada sedimen inti, dan piston corer di tiga lokasi.
Lokasi pertama adalah bagian utara Selat Makassar, kemudian
utara Kanal Labani termasuk deta Mahakam, dan bagian paling selatan
Laut Sulawesi. Lokasi kedua adalah bagian tengah Selat Makassar,
selatan Kanal Labani. Lokasi ketiga adalah bagian paling selatan Selat
Makassar termasuk Laut Flores dan Laut Jawa bagian timur.
Tujuan ekspedisi tersebut adalah mendapat arsip sedimen
beresolusi tinggi. Dengan sedimen tersebut diharapkan peneliti
dapat menemukan variabilitas arus laut Indonesia. Informasi tersebut
kemudian dapat menjadi landasan rekonstruksi sejarah iklim regional
dalam rentang dekade sampai milenial sampai ke 150.000 tahun ke
belakang.
Gambar 5.88. Tim Peneliti pada Ekspedisi Maja (Kuhnt, et.al., 2011)
Dalam rangka mencapai tujuan ini, 32 sedimen dan sampel air

diambil sepanjang Selat Makassar antara selatan Laut Sulawesi, timur
Laut Jawa, dan timur Laut Flores. CTD ditaruh di 17 titik untuk mendapat
profil hidrografis dan sampel muka air. Multicorer mengambil data di
29 titik untuk mendapat sampel sedimen permukaan berkualitas tinggi
agar kalibrasi terbaik bisa didapat. Sejumlah 23 inti piston panjang yang
mencakup 350 m panjang inti menghasilkan sedimen beresolusi tinggi
yang menggambarkan kondisi holosen dan dua siklus glasial terakhir.
Semua inti piston juga diukur properti magnetiknya.
Penelitian ini berhasl merekonstruksi variabilitas Arus Lintas
Indonesia (Arlindo) sepanjang jalur Selat Makassar selama dua siklus
galsial terakhir dan menggambarkan peran Arlindo pada perubahan
iklim jangka pendek (millenium sampai centenial) maupun jangka

panjang.
Gambar 5.89. Lintasan Pelayaran Ekspedisi Maja Maja (Kuhnt, et.al., 2011).
Ekspedisi Widya Nusantara

Kondisi hidro-oseanografi kawasan Indonesia sangat dipengaruhi
oleh angin monsoon. Baik monsoon tenggara maupun barat laut. Hal ini
mempengaruhi jumlah air yang diangkut dari Samudera Pasifik Utara
menuju Samudera Hindia yang dikenal sebagai Arus Lintas Indonesia
(Arlindo).
Terdapat dua jalur Arlindo dari Samudera Pasifik. Jalur barat melalui
Sulawesi kemudian Makassar, lalu menuju Laut Flores dan Laut Banda
kemudian keluar melalui Selat Lombok dan Timor. Jalur timur masuk
melalui Laut Maluku dan Halmahera yang bertemu di Laut Banda.
Penelitian tentang kondisi massa air di aliran ini menjadi penting
karena berkaitan dengan isu-isu seperti perubahan iklim global dan
kondisi sumber daya hayati kelautan. Salah satu penelitian di kawasan
Arlindo ini adalah Ekspedisi Widya Nusantara yang salah satu

bagiannya adalah penelitian tentang Physical Oceanography di Selat
Makassar. (Susetiono, 2013)
Tujuan dari penelitian Physical Oceanography di Selat Makassar
adalah mengidentifikasi karakteristik massa air dan pola alirannya pada
Juni 2013. Kemudian juga meneliti turbulent mixing yang mempengaruhi
perubahan massa air di Terusan Labanni.
Penelitian yang dilaporkan oleh Adi Purwandana dan Abdul Basit
ini menggunakan metode pengambilan sampel air dengan CTD. CTD
ditempatkan di 29 titik pengambilan sampel. Selain itu peneliti yang juga
mengukur kondisi arus dengan Shipboard Acoustic Doppler Current
Profiler (SADCP) yang telah terpasang pada Kapal Baruna Jaya VIII
yang digunakan oleh peneliti.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa aliran air sedang
menuju selatan. Dimana North Pasific Subtropical Waters (NPSW)
terpengaruh oleh pada lapisan atas thermocline sedangkan North
Pasific Intermediate Waters terpengaruh pada Lapisan Intermediate.
Ditemukan pula turbulensi kuat antara aliran air dan sempitnya Terusan
Labanni sehingga terjadi pencampuran vertikal.
Ekspedisi Benthic
Ekspedisi Benthic adalah pelayaran untuk keperluan penelitian
gabungan antara Indonesia dengan Cina dalam wadah Indonesia-
China Center for Ocean and Climate (ICCOC). Tujuan ekspedisi di
wilayah Samudera Hindia ini adalah untuk meneliti perubahan iklim
yang telah terjadi untuk mendukung studi perubahan iklim di masa
mendatang. Kegiatan penelitian bersama ini menggunakan Kapal
Geomarin III dengan judul “Benthic Records of Marine Environment,
Climate, and Ecosystem in the Eastern Indian Ocean since the Last
Deglaciation (BENTHIC)”.
Tim peneliti mengambil sampel sampel dasar laut di sepanjang
jalur pelayaran yang kemudian dianalisis untuk mengetahui perubahan
iklim yang pernah terjadi di Samudera Hindia. Penelitian yang

mengintegrasikan berbagai parameter analisis sedimen ini dapat
digunakan untuk mengetahui sejarah sedimentasi dan prosesnya
di sekitar Samudera Hindia. Dengan demikian dapat mendukung
pemahaman mengenai perubahan lingkungan secara global dan
membantu manusia untuk beradaptasi dengan perubahan iklim global
yang tengah berlangsung.
Gambar 5.90. Kapal Geomarin III.
Pelayaran dimulai dari Cirebon-Jawa Barat pada 10 Desember

2014 menuju ke Samudera Hindia. Kapal kembali ke Cirebon setelah
menempuh pelayaran sejauh 3269 mil laut pada tanggal 29 Desember
2014.
Pada ekspedisi Benthic yang berlangsung 20 hari ini terdapat tiga
substansi penelitian yang dilakukan, yaitu:
1. Lingkungan dan proses sedimentasi terkini (modern) di area
penelitian
2. Keanekaragaman organisme benthic dan kaitannya dengan
lingkungan.
3. Catatan sejarah paleoenvironment dan paleoproductivity.
Para peneliti melakukan

sampling di beberapa
stasiun di sepanjang jalur
pelayaran dengan ringkasan
sebagai berikut:
1. Sampling sedimen
permukaan untuk
keperluan geologi
dan ekologi di 1
stasiun.
2. Gravity core sampling
di 19 stasiun. Gambar 5.91. Alur Pelayaran Ekspedisi Benthic
(Troa and Liu, 2014)
3.
Sampling air laut
(maksimum sampai
kedalaman 200 meter) di 12 stasiun,
4. Pengambilan data dengan CTD dan pengukuran LISST di 13
stasiun.
5. Pengambilan sampling menggunakan dragnet untuk keperluan
studi ekologi di 1 stasiun.
Selain mengambil sampling, tim peneliti juga melakukan aktivitas

survey yang terdiri dari berupa sub bottom profiler.
Personil yang tergabung dalam ekspedisi Benthic tahap I terdiri
dari cruise participants sebanyak 30 orang, backup scientists/persons
sebanyak 5 orang, dan krew kapal sebanyak 22 orang. Dari 30 orang
cruise participants tersebut, sebanyak 10 saintis berasal dari FIO dan
19 saintis berasal dari Indonesia, termasuk diantaranya Rina Zuraida,
Luli Gustiantini, dan Nazar Nurdin dari P3GL.
Gambar 5.92. Peserta Ekspedisi Benthic Fase I. (Troa and Liu, 2014)
Pemetaan Landas Kontinen di Perairan

Utara Papua
Kegiatan pemetaan landas kontinen di perairan utara Papua pada
2013-2014 dilaksanakan dengan kapal Geomarin III dan dipimpin oleh
Catur Purwanto M.Sc. Pemetaan ini merupakan bagian dari kewajiban
Indonesia untuk menyajikan bukti landas kontinen sesuai dengan
UNCLOS 82.
Tim survey terdiri dari beberapa lembaga yaitu P3GL, Badan
Informasi Geospasial (BIG), Geoteknologi-LIPI, BPPT, serta Balitbang
KKP. Kegiatan yang dilaksanakan adalah pengukuran posisi
menggunakan GPS geodetik, pemeruman sub bottom profile, multi
channel seismic, marine magnetic, dan sampling menggunakan gravity
corer.
Hasil dari kegiatan pemetaan tersebut adalah:

• Profil seismik dengan high resolution sepanjang 1.278 km
• 4 sampel gravity core
• Hasil pemetaan sub-bottom profiler
• Perekaman marine magnetic sepanjang 1278 km

• 4 CTD cast
Gambar 5.93. Lokasi Survei Pemetaan Landas Kontinen (Purwanto, 2013).

Gambar 5.94. Potensi Perpanjangan Landas Kontinen Mencapai 385 Km2 (Purwanto,
2013).
Gambar 5.95. Lintasan Survey Batimetri (Purwanto, 2013))

BAB 6
Strategi dan Peluang
Geologi Kelautan di Wilayah
Perairan Indonesia
182 Peluang dan Tantangan Geologi Kelautan Indonesia
L
aut sebagai Lahan Ekonomi Masa Depan adalah sangat
tepat dan menggugah kita semua. Beberapa alasannya
adalah: Pertama, menunjukan sikap optimisme yang tinggi
di mana pada milenium ke tiga wilayah perairan Indonesia akan
dijadikan sebagai harapan dan tumpuan; Kedua, bahwa Deklarasi
Bunaken yang telah ditandatangani bersamaan dengan Ocean Charter
pada bulan September 1998 perlu disikapi dan ditindaklanjuti dengan
langkah- fangkah nyata antara lain melalui pengembangan usaha-
usaha ekonomi berbasis kelautan yang efisien, efektif, dan mandiri.
Kondisi Kini dan Masa Depan

Sumberdaya Kelautan
Di era globalisasi selain kita semua di tuntut untuk menyiapkan
diri dalam menghadapi globalisasi yang akan terjadi di semua sektor
kehidupan juga akan membawa konsekuensi terhadap perubahan
tata nilai yang harus diimbangi dengan penyesuaian-penyesuaian di
tatanan nasional maupun sektoral. Berbicara globalisasi maka perlu
dicermati bahwa kelautan boleh dikatakan telah melangkah jauh di
depan bahkan sebagai pionir.
Dengan telah dirativikasinya Konvensi Hukum Laut Internasional
yang dikenal sebagai UNCLOS 1982 dan berlaku sebagai hukum
positip pada bulan September 1994, merupakan suatu contoh nyata
kebersamaan dan kesepakatan sebagian besar negara kepulauan
di dunia dimana laut dipandang sebagai “common property”’dari
umat manusia di planet laut ini (the ocean planet) untuk dikelola dan
dimanfaatkan dengan senantiasa memperhatikan aturan-aturan yang
telah disusun bersama. Dengan demikian paradigma baru kelautan
adalah bahwa pendaya-gunaan sumberdaya alam semata harus mulai
kita tinggalkan. Pembangunan Kelautan yang merupakan bagian
integral dari Pembangunan Reformasi mempunyai spektrum yang
sangat luas.
Salah satu dari dua belas unsur-unsur Pembangunan Kelautan
yang telah diidentifikasikan adalah Industri Energi dan Sumber Daya

Mineral.
Industri energi dan sumber daya mineral lepas pantai telah
memberikan kontribusi kira-kira tigapuluh persen dari keseluruhan
industri utama dan jasa kelautan di Indonesia.
Berdasarkan fakta tersebut maka adalah sangat wajar bila seluruh
jajaran Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral akan senantiasa
berupaya untuk meningkatkan peluang-peluang yang menjanjikan
pada masa mendatang dari wiiayah perairan Indonesia.
Namun demikian harus diakui bahwa pemanfaatan sumberdaya
alam mineral dan energi selama ini masih jauh dari yang diharapkan.
Pada aspek hulu, Pusat Penelitian Pengembangan Geologi
Kelautan (PPPGL) telah mengkontribusikan data dan informasi aspek
geologi yang merupakan bagian dari program inventarisasi dan evaluasi
potensi sumberdaya a!am bersistem skala 1:250.000 pada kawasan
laut dangkal dan laut dalam; (2) Kompilasi Geologi Regional skala
1:1000.000; (3) Studi dan Pemetaan geologi kawasan pantai pada
lokasi terpilih di sentra-sentra pertumbuhan ekonomi dan pulau-pulau
kecil terdepan serta aspek kebencanaan di wilayah pantai; dan (4)
studi beberapa aspek kelautan secara tematik. (5) Studi sumberdaya
mineral di wilayah pantai dan lepas pantai.
Kelima program tersebut telah menghasilkan data dan informasi
yang sangat diperlukan tidak saja untuk mendukung pengembangan
usaha-usaha ekonomi mineral dan energi berbasis kelautan, namun
juga dalam tahap penyusunan perencanaan pembangunan di tingkat
provinsi dan kota-kabupaten yang telah di berlakukannya Otonomi
Daerah.
Subsektor Industri migas kelautan telah memberikan kontribusi
yang signifikan selama kurang lebih lima puluh tahun kiprahnya di Benua
Maritim Indonesia. Dalam pengoperasiannya kegiatan pertambangan
migas lepas pantai sangatlah komplek sehingga memerlukan dukungan
ketersediaan SDM, Iptek, Sarana dan Prasarana, juga Data dan
Informasi yang memadai. Disamping itu juga akan mencakup kegiatan
lintas sektor kelautan antara lain: eksplorasi, eksploitasi, pengolahan,

penyimpanan, dan akhirnya pengangkutan dengan kapal tanker.
Semua kegiatan tersebut telah menumbuhkan usaha-usaha ekonomi
kelautan, kesempatan kerja, dan yang sangat penting adalah devisa
negara.
Pada subsektor industri mineral kelautan baru mineral timah
yang diproduksi di perairan P. Singkep, Bangka, dan Belitung yang
telah memberikan kontribusi secara ekonomis. Kontribusi lain adalah
penambangan pasir laut untuk reklamasi pantai serta pelabuhan di
Kepulauan Riau dan Pantai Utara Jakarta. Hal signifikan yang perlu
dicatat bahwa pengoperasian industri mineral timah oleh PT. Timah
juga telah memberikan kemanfaatan ganda antara lain: devisa negara/
penyediaan SDM untuk penambangan mineral di laut yang boleh
dikatakan sebagai pionir di Indonesia dalam menghasilkan kapal-kapal
keruk yang dirancang dan di bangun oleh putra bangsa Indonesia
sendiri dan dalam hal Iptek kelautan’ antara lain telah mulai dijajaki dan
disiapkan teknologi penambangan mineral yang dapat beroperasi pada
wiiayah laut dalam (deep sea mining) sebagaimana yang dibutuhkan
pada abad 21.
Dan uraian di atas terlihat bahwa awal abad 21 usaha-usaha
ekonomi pertambangan dan energi kelautan masih memprioritaskan
kegiatannya pada kawasan laut dangkal (shallow sea) di Kawasan Barat
Indonesia (KBI). Mengingat Benua Maritim Indonesia demikian luas
dan sebagian besar merupakan laut dalam (deep sea) dan berstatus
frontier, maka pada abad 21 mau tidak mau, suka atau tidak kita harus
memanfaatkan peluang yang ada pada kawasan tersebut
Visi dan Strategi Pengelolaan

Sumberdaya Mineral dan Energi di
Wilayah Perairan
Dalam era milenium ke tiga ini kita perlu menyamakan visi bahwa
wilayah perairan Indonesia menyediakan peluang untuk dikelola agar

tetap sehat dan produktif serta didayagunakan secara berkelanjutan.
Sasaran yang perlu digariskan adalah terciptanya usaha-usaha
ekonomi berbasis sumberdaya nonhayati kelautan yang mandiri dan
efisien sehingga dapat menjadi tuan rumah di negara sendiri.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka strategi umum sektor
energy dan sumberdaya mineral dapat diuraikan sebagai berikut.
Berkaitan dengan dimensi kewilayahan. Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral dalam hal ini Direktorat Jenderal Minyak dan
Gas Bumi telah ditunjuk oleh Dewan Kelautan Nasional (DKN) untuk
bertindak sebagai koordinator Panitia Teknis Penentuan Landas
Kontinen Republik Indonesia (LKRI). Penentuan LKRI yang antara lain
akan mempertimbangkan berbasis ilmiah kelanjutan alamiah (natural
prolongation) dasar laut (sea bed) menentukan batas-batas terluarnya/
mempunyai nilai strategis berkaitan denqan kegiatan energy dan
sumberdaya mineral khususnya di bagian luar dari Benua Maritim
Indonesia.
Untuk dapat mendayagunakan wilayah perairan Indonesia
khususnya pada bagian laut dalam akan ditingkatkan baik kualitas dan
kuantitas tersedianya SDM yang handal dalam beberapa strata dan
disiplin. Demikian pula Iptek yang mencakup aspek hulu maupun hilir
perlu ditingkatkan dan diaktualisasikan agar dapat diterapkan membuka
takbir keilmuan dan khususnya potensi ekonominya di kawasan frontier.
Agar kita dapat lebih mandiri dari ketergantungan pihak asing maka
aspek Sarana dan Prasarana harus dimutahirkan mengikuti dinamika
perubahan zaman.
Dalam kaitan ini PPPGL telah memiliki kapal riset generasi baru
yaitu Geomarin III, yang khusus dirancang untuk mendukung kegiatan
usaha-usaha ekonomi dibidang geologi dan sumberdaya mineral
dimana sebelumnya banyak tergantung dari pihak asing.
Kegiatan usaha-usaha ekonomi berbasis sumberdaya alam sangat
memerlukan tersedianya berbagai aspek data dan informasi yang
memadai. Untuk itu data dan informasi yang diperoleh dari kegiatan-
kegiatan penelitian/ survei/ pemetaan/ eksplorasi/ dan eksploitasi baik
oleh lembaga litbang (PPPGL) maupun industri itu sendiri akan dikelola
dan dimasyarakatkan antara lain menggunakan wahana cyberspace
internet.
Kegiatan pertambangan mineral dan energi baik pada tahap
eksplorasi terutama eksploitasi sangat sensitif terhadap pencemaran
lingkungan laut. Menyadari hal tersebut, Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral akan lebih bersungguh-sungguh dan proaktif
dalam upaya mengurangi dan mencegah kemungkinan dampak
pelestarian lingkungan hidup yang antara lain disebabkan oleh:
pencemaran laut dari pengoperasian anjungan dan transportasi migas
di laut; penimbunan tailing bahan tambang; dan pencemaran berasal
dari kegiatan penambangan di darat (land base pollution). Sementara
itu kegiatan pertambangan dan energi di laut bersifat padat teknologi,
padat modal, dan beresiko tinggi. Oleh karena itu mau tidak mau
suka atau tidak suka di era globalisasi ini keterlibatan investor asing
atau pengusaha nasional bermodal besar masih diperlukan. Untuk
mendaptakan ikiim usaha yang kompetitif dan merangsang akan
disempurnakan kebijakan dan peraturan-peraturan yang relevan.
Dalam sektor migas sebagai contoh telah dikeluarkan regulasi berkaitan
dengan sistem insentif untuk investor yang bekerja di kawasan frontier
laut dalam.
Dari uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa sektor Energi
dan Sumberdaya Mineral memiliki potensi dan peluang untuk tetap
dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Pembangunan
Kelautan di Indonesia. Diharapkan dengan adanya peluang serta
diformulasikannya kebijakan kelautan serta Isue Kelautan Nasional
secara lebih jelas maka diharapkan akan mampu memicu peran serta
dari pihak swasta baik nasional maupun internasional.
Dalam suasana Reformasi dan khususnya implementasi ekonomi
kerakyatan, maka kegiatan yang berhubungan dengan penambangan
baik di pesisir maupun di lepas pantai diharapkan akan dapat
memberdayakan masyarakat pesisir sehingga secara perlahan namun
pasti prinsip “social based management” dapat diterapkan pada
kegiatan pertambangan di perairan Indonesia dalam upaya mengurangi
kesenjangan ekonomi dan sosial.
Harapan dan Tantangan untuk

Mengembangan Kelautan di Indonesia
Kita telah mengetahui bersama bahwa telah berkembang sejak lama
dimasyarakat ungkapan-ungkapan yang dihubungkan dengan potensi
“Kelautan di Indonesia” antara lain: “Nenek Moyang Ku Orang Pelaut”
atau “Tanah Air Ku Indonesia”. Indonesia sebagai suatu bangsa telah
dianugrahi dengan suatu wilayah yang terdiri dari 17504 pulau-pulau,
dengan wilayah laut kira-kira luasnya 2/3 dari seluruh luas daratan.
Kondisi yang demikian yang selanjutnya memberikan inspirasi bagi
pencetus konsepsi Nasional untuk mengeluarkan gagasan strategis
“Wawasan Nusantara”, yang mengandung makna wilayah Indonesia
yang terdiri dari sistim kepulauan (archipelgo), yang merupakan suatu
kesatuan yang utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Setelah Indonesia menandatangani Konvensi Hukum Laut
Internasional mengenai zona ekonomi eksklusif (EEZ), maka luas
wilayah laut Indonesia telah bertambah menjadi kurang lebih menjadi
7 juta km persegi. Secara Geografis Indonesia terletak pertemuan
antara beberapa sistem samudera: (1) Hindia-Australia di baratlaut
dan selatan; (2) Pasifik dan Karoline di tenggara dan timur; (3) Laut
Filipina di timur laut; dan (4) Laut Cina Selatan di utara; dan (5) Laut
Andaman di timurlaut. Dua sistem Paparan benua, yaitu Paparan Sunda
(Sunda Shelf) yang membetang dari inti Benua Asia sampai di bagian
tenggara, batas IBB-IBT, dan sistem Paparan Sahul (Sahul Shelf) yang
merupakan sistem paparan yang berkembang di tepian Australia.
Secara geologi, Indonesia merupakan hasil interaksi antar
lempeng Indo-Australia yang bergerak relatif ke arah utara menunjam
ke bawah Lempeng Benua Eurasia dan Lempeng Samudera Pasifik
yang bergerak ke arah barat menunjam di bawah Lempeng Eurasia.
Hal ini mengakibatkan Indonesia memiliki potensi sumber daya alam
energi dan mineral yang melimpah.
Daerah wilayah perairan laut dan dasar laut Indonesia seperti

di uraikan tersebut, menyediakan suatu harapan baru, untuk
pengembangan seoptimum mungkin “wilayah laut Indonesia” bagi
kesejahteraan segenap bangsa Indonesia. Namun disamping harapan
tersebut, kita dihadapi oleh suatu, tantangan atau kendala, karena kita
juga menyadari bahwa kita masih tertinggal “Jauh” dari negara-negara
maju lainnya di dalam pengetahuan dan teknologi kelautan.
Strategi Jangka Panjang untuk

Pengembangan “Kelautan” IBT
Kawasan Indonesia Bagian Timur (IBT) merupakan salah satu
wilayah Indonesia yang relatif kurang diketahui (frontier). Dua alasan
utama adalah: Pertama. sebagian besar kawasan IBT merupakan
daerah lautan yang umumnya diklasifikasikan sebagai laut dalam
(lebih dari 200 m); Kedua. kawasan IBT mempunyai tatanan geologi
dan tektonik yang relatif komplek atau rumit, bila dibandingkan dengan
wilayah Indonesia Bagian Barat (IBB). Hal tersebut antara lain yang
menjadi penyebab mengapa kawasan IBT ditinjau dari kegiatan
eksplorasi untuk sumberdaya mineral dan migas relatif ketinggalan
dibandingkan pada IBB. Tahun 1988 Pemerintah Indonesia telah
mengeluarkan suatu kebijaksanaan strategis, untuk meningkatkan
pembangunan disegala aspek pada kawasan IBT. Sejak saat itu volume
kegiatan-kegiatan survei di IBT meningkat dengan pesat, baik dalam
bentuk diskusi, simposium, seminar, maupun dalam bentuk operasional
survei dan atau eksplorasi. Kegiatan survey bersifat regional banyak
dilakukan oleh Institusi non-industri dalam dan dari manca negara.
Sedangkan Kegiatan eksplorasi dilakukan oleh BUMN dan kontraktor
asing.
Pada 1993, Pemerintah Indonesia menerbitkan Keputusan
Presiden NOmor 120 Tahun 1993 Tentang Dewan Pengembangan
Kawasan Timur Indonesia (DP KTI). Dewan ini merupakan kebijakan
embrio terbentuknya KAPET.
Kemudian diterbitkanlah Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun

1996 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 9
Tahun 1998 Tentang Pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET).
Lokasi-lokasi KAPET umumnya berada di Indonesia Bagian Timur.
Pemilihan wilayah seperti ini bertujuan untuk mempercepat pemerataan
pembangunan di sektor unggulan yang dapat menggerakkan
pertumbuhan ekonomi wilayah dan sekitarnya.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL)
sebagai salah satu unit operasional pada jajaran Kementerian
Energi dan Sumberdaya Mineral, sejak tahun 1979 (Era Kerjasama
Internasional) telah banyak memusatkan perhatian pada kawasan IBT
dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebagai salah satu program Survei
Geologi Marin berskala Regional. Kegiatan tersebut dilaksanakan
bekerjasama dengan beberapa lembaga atau Institusi kelautan di
dalam dan luarnegeri. Salah satu kegiatan di IBT yang merupakan
suatu bentuk kerjasama Internasional adalah program SEATAR.
Program SEATAR yang terutama dikoordinasi oleh pakar kebumian
dari Amerika Serikat, telah membuka suatu wawasan baru terhadap
pemahaman pada aspek-aspek Geologi, Tektonik, Geodinamika,
Sumberdaya Mineral dan Migas, dan bencana alam geologi. Teknologi
survei yang telah diterapkan berkisar dari metoda standar geologi dan
geofisika, sampai yang canggih atau relatif baru, antara lain Sistem
Pemetaan Dasar Laut SeaMARC II dan Deep Sismic Profiling.
Program lanjutan yang dicanangkan pemerintah adalah Program
MREP yang dilaksanakan di Indonesia Bagian Timur oleh PPPGL pada
1997. Lokasi program ini dilakukan serupa dengan wilayah KAPET
untuk mendukung percepatan pembangunan di kawasan timur.
Selepas Program MREP saat ini kegiatan PPPGL lebih diarahkan
ke Indonesia Bagian Timur baik di kawasan pantai maupun lepas
pantai dengan menggunakan Geomarin III. Tujuan program-program
yang dilakukan lebih untuk mendukung Master Plan Percepatan dan
Peluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
MP3EI adalan pola induk perencanaan dari Pemerintah Indonesia

untuk mempercepat realisasi perluasan pembangunan ekonomi dan
pemerataan kemakmuran agar dapat dinikmati secara merata di
kalangan masyarakat.
Pembentukan MP3EI dilandasi pasal 4 dari Perpres RI nomor
32 Tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia. Dimana direalisasikan dalam
pembentukan Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia yang langsung diketuai oleh Presiden Republik
Indonesia.
Kesimpulan
Indonesia mempunyai wilayah laut yang sangat luas, bahkan
lebih luas dari wiiayah daratan. Data-data yang terkumpul selama ini
menunjukkan bahwa wilayah laut Indonesia potensial mengandung
berbagai sumber daya alam termasuk sumber daya mineral dan energi.
Potensi sumber daya alam tersebut masih belum dimanfaatkan optimal.
bahkan dapat dikatakan jauh dari yang diharapkan untuk mendukung
ekonomi nasional/ dalam rangka mensejahterakan bangsa dan negara
Indonesia. Hal ini disebabkan berbagai keterbatasan, teutama kendala
kualitas sumberdaya manusia, penguasaan teknologi, dan investasi.
Menghadapi masa depan, yaitu dalam milenium baru, yang sarat
dengan tantangan, maka pengembangan sumberdaya kelautan harus
dipersiapkan secara matang mulai dari hulu sampai hilir. Disisi hulu
perlu dipersiapkan pemetaan dan penyelidikan geologi kelautan dalam
rangka inventarisasi potensi sumberdaya mineral dan energi secara
seksama. Melalui langkah ini pengembangan sumberdaya alam di
sisi hilir akan lebih terarah. Seiring dengan itu perlu dipersiapkan pula
peraturan dan perundangan yang memadai, sehingga pemanfaatan
sumberdaya tersebut dapat dilakukan secara optimal. Sumberdaya
mineral dan energi kelautan akan merupakan tulang punggung ekonomi
nasional di masa depan, apabila dikelola secara terarah dan terkendali.
Suatu kenyataan yang ada saat ini, bahwa walaupun semua

persyaratan dasar (Kapal Survei, Tenaga Ahli, Anggaran Biaya) telah
tersedia, namun beberapa kendala masih terdapat, yaitu: (1) Teknologi
yang dimiliki umumnya sudah tertinggal; (2) Proses alih teknologi
masih memerlukan waktu; (3) Anggaran Penyelidikan masih terbatas
cukup dan belum memadai; (4) Hasil Penyelidikan belum sepenuhnya
dapat memenuhi kebutuhan user (misalnya industri); (5) Peranan
Perguruan Tinggi sebagai salah satu pencetak tenaga ahli “kelautan”
di dalam Program Nasional masih kecil, khususnya untuk program
pasca sarjana (S2 dan S3) masih sangat terbatas; (6) Khususnya untuk
disiplin “Geologi Kelautan” tema atau proposal penyelidikan masih
harus yang mempunyai aspek kemanfaatan dengan industri (misalnya
migas). Atau dengan kata lain, proposal yang berbobot ilmiah terlalu
tinggi, masih belum sepenuhnya dapat diakomodasi.
Menyadari kendala dan tahap pengembangan “Kelautan” di
Indonesia seperti diuraikan di atas, maka pada era ini kerjasama
dengan pihak Luar Negri masih sangat dibutuhkan, terutama dalam
kerangka alih teknologi, bimbingan teknis, dan pertukaran pengalaman
dalam bidang analisa dan penafsiran masalah ilmiah.
Suatu hal yang cukup menggembirakan adalah pakar “Kelautan”
Indonesia dalam kerangka kerjasama ini telah dapat memegang
peranan penting dan kunci, tidak seperti keadaan beberapa tahun yang
lalu dimana masa itu pakar Indonesia hanya sebagai pendamping dan
pengamat. Dalam hubungan ini pakar “Kelautan” Indonesia telah dapat
menjadi tuan rumah yang baik dinegerinya sendiri. Lebih jauh lagi, Era
ini dapat diilustrasikan merupakan transisi dari masa “belajar berjalan
sampai bisa berjalan” sebelum melangkah ke tahap berikutnya ke masa
“berlari”. Dengan demikian pada tahap ini kita harus tetap membutuhkan
pionir- pionir, yang tidak saja dapat memecahkan beberapa kendala-
kendala di atas agar kita tidak “set back”, namun harus juga berfikiran
dan berwawasan ke depan untuk mencari peluang-peluang baru yang
dapat memacu tahap pengembangan IpTek “Kelautan” di Indonesia.
Berbagai Pertemuan
dalam Rangka
Kerjasama Internasional
Berbagai Pertemuan
dalam Rangka
Kerjasama Internasional
Ekskursi Lapangan
Keterlibatan Aktif Dalam
Program Internasional
Daftar Acuan
202 Daftar Pustaka
Archipelagic State, UNCLOS, 1982.
Anonim, 1977a, R/V Thomas Washington-Indopac - leg 14.
Anonim, 1977b, Laporan Perjalanan Selama Mengikuti Seismic Project Dari

RV Valdivia.
Anonim, 1981a, Laporan Tahunan Proyek Geologi Khusus, Tahun Anggaran

1980/1981. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Anonim, 1981b, Laporan Tahunan Pusat Penelitian dan Pengembangan

Geologi Tahun Anggaran 1980/1981.
Aryanto, N.C.D., 2010, Upaya Rekonstruksi Iklim Purba Berdasarkan Survey

Paleooseanografi di perairan Indonesia Timur (Ekspedisi CORE ITI).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan.
Barckhausen, U., and Suryono, G.F., 2005, Geo-Risk Potential along the
Active Convergence Zone Between the Eastern and Indo-Australian
Plates of Indonesia. Tentative Cruise Report R.V. Sonne Cruise SO
186-1 (SEACAUSE I) 11-27 Oct 2005.
blog.biodiversitylibrary.org/2012/06/book-of-week-valdivia-expedition.html
Bowin, C., Purdy, M., Johnston, C., Shor, G., Lawyer, L., Hartono, H.M.S.,
and Jezek, P., 1980, Arc-continent Collision in Banda Sea Region.
The American Association of Petroleum Geologist Bulletin. U.64. No.6
p.868-915.
CCOP-IOC, 1974, Metallogenesis, Hydrocarbons and Tectonic Patterns in

Eastern Asia. United Nations- ESCAP, CCOP. Tech. Publ. 2:1-58.
CCOP, 1981, Studies in East Asian Tectonics and Resources (SEATAR).

Kerjasama Indonesia Perancis R.V. Baruna Jaya. PPGL-CCOP-IOC-
UNESCO.
de.wikipedia.org/wiki/SMS_Gazelle_(1859)
Dewi, K.T., 2006, Ekspedisi Kelautan Dalam Bidang Mikropaleontologi . Pusat

Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan.
Diament, M., 1990, Mentawai Cruise Report; Baruna Jaya III. BPPT, Paris Sud.
Djaja, A.W., 2008, Survei Potensi Kebencanaan’ PreTI-Gap” di Perairan

Mentawai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan.
Djajadihardja, Y.S., Khafid, Triarso, E., dan Kristanto, N.A., 2006, Survei
Seismik Refleksi Multichannel untuk Klaim Landas Kontinen Indonesia
di Luar 200 Mil Laut sebelah Barat Perairan Aceh. BPPT-Bakosurtanal-
DKP-MGI/Departemen ESDM.
Dwiyanto, B., 1977, Laporan Mengikuti Ekspedisi R.V. Thomas Washington

Indopac-Leg 14, 27 April – 10 Mei 1977, Padang Biak. Subdit
Perpetaan Direktorat Geologi.
Dwiyanto, B., 1983, Laporan Pelayaran Ekspedisi Sinta I di Daerah Perairan

Busur Banda dan Nusa Tenggara Timur.Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Kelautan.
Dwiyanto, B., Hakim, S., Soeprapto, T.A., dan Arifin, L., 1987, Report on an
Offshore Survey Between Sumatera and Kalimantan. CCOP/UNDP
PROJECT RAS/81/120. Marine Geological Institute.
ekobudiarta.files.wordpress.com/2012/08/lempeng-yang-mengapit-
indonesia1.png
en.wikipedia.org/wiki/Challenger_expedition.
en.wikipedia.org/wiki/Siboga_expedition.
Folk, R.L., 1980. Petrology of Sedimentary Rocks. Hemphill Publishing

Company. Austin-Texas, 29-48, 94-97.
Gaedicke, C., Adam, J., Augerau, A., Baranav, B., Barckhausen, U., Bargeloh,
H.O., Behrens, T., Berglar, K., Delisle, G., Demir, U., Djajadihardja,
Y. Franke, D., Kallaus, K., Kewitsch, P., Khafid, Ladage, S., Luts, R.,
Muller, Ch. Kristanto, N.A., Park, J.O., Purwito, Scrader, U., Sievers,
A., Surburg, E., Seeber, L., Tappin, D., and Tiarso, E., 2006, Geo Risk-
Potential Along the Active Convergence Zone Between the Eastern
Eurasian and Indo-Australian Plates of Indonesia. Curuise Report
Sonne SO 186-2, SEACAUSE II.
Gaedicke, C., and Neben, S., 2006, The Hydrocarbon System of the Sumatera
Fore Arc. Research Cruise SO 189 Leg 1. (R.V. SONNE).
204 Daftar Pustaka
Greenfield, J., and Hananto, N., 2003, IASSHA-2003, Cruise Report. Survey
for Submarine Hydrothermal Activity in Nortrhern Sulawesi. CSIRO-
LIPI-DKP.
Hadikusumo, S., Sarmili,L., Silitonga, F., Kurnio, H., Dewi, K.T., Hutagaol, J.P.,
Faturachman, A., Kamiludin, U., Hakim, S., Supriyadi, Kusnadi, dan
Wijayanegara, M., 1988, Laopran Penyelidikan Geologi dan Geofisika
Kelautan Teluk Banten dan Sekitarnya. Pusat Pengembangan Geologi
Kelautan.
Halbach, P., Pracejus, B., Melchhert, B., Rutkowski, J., and Marbler, H., 2004,
Mariner Hydrothermalimus und Assoziierte Erzbildung im Sund Banda
Inselbogen ( Flores Sea, Indonesia). Bandamin Research Report.
BMBF-DFG-MGI-DKP.
Hamilton, W., 1979, Tectonic Map of the Indonesian Region. United State
Department of the Interior. Geological Survey Proffesional Paper
1078. Plate 1.
Hardjawidjaksana, K., 1990, Laporan Pelayaran Penelitian Geologi dan

Geofisika Kelautan Teluk Bone, Sulawesi. Pusat Pengembangan
Geologi Kelautan.
Hardjawidjaksana, K., 1996, Peta Potensi dan Evaluasi Geologi Wilayah Pantai
Pelabuhan Ratu dan Sekitarnya, Jawa Barat. Pusat pengembangan
Geologi Kelautan
Hardjawidjaksana, K., 1998, Sejarah Penyelidikan Geologi Kelautan Indonesia

dan Berdirinya Pusat Pengembangan Geologi Kelautan. PPGL.
Hardjawidjaksana, K., Adisaputra, M.K., Mulyana, W., Hakim, S., dan Ermadi,
Y., 1990, Laporan Pelayaran Penelitian Shiva. Pusat Pengembangan
Geologi Kelautan.
Hardjawidjaksana, K., dan Kristanto, N., 1994, Peta Geologi Dasar

Laut Kepulauan Aru dan Sekitarnya Skala 1 : 1.000.000. Pusat
Hardjawidjaksana, K., Kurnio, H., dan Situmorang, M., 1992, Peta Sebaran
Sedimen Permukaan Dasar Laut Perairan Lembar 1209-1210
(Jakarta). Pusat Pengembangan Geologi Kelautan.
Hardjawidjaksana, K., Kurnio, H., Anantasena, Y., Purbani, D., Adisaputra,

Dewi, K.T., Hartono, Kristanto, N.A., dan Widodo, J., 1995, Laporan
Penelitian Barat di Samudera Hindia dan Selat Sunda. Pusat
Hardjawidjaksana, K., Kristanto, N.A., Sarmili, L., and Sutisna, 2008,

Offshore Mineral Resources Map of Indonesia, Pusat Penelitian dan
id.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Djoeanda
id.wikipedia.org/wiki/Ekspedisi_snellius
id.wikipedia.org/wiki/Masterplan_Percepatan_dan_Perluasan_
Pembangunan_Ekonomi_Indonesia
INDEX SATAL, 2010, A Journey to Discover a Value the Hidden World of our
Deep Sea. Expedition Baruna Jaya IV and Okeanos Explorer.
Indriastomo, D., 1991, Laporan Pelayaran/Penelitian Palung Timor 24

desember 1990 - 6 januari 1991. PPGL-BPPT
JAMSTEC…., Kapal Selam Sinkai 2000. Japan.
Jongsma, D., Huson, W., Woodside, J.M., Suparka, S., Sumantri, T., and
Barber, A.J., 1989, Bathymetry and Geophisics of the Snellius II Triple
Junction and Tentative Seismic Stratrigraphy and Neo-Tectonics of the
Northern Aru Trough. Netherlands Journal of Sea Research 24 (2/3):
p.231-250.
Karig, D.E., Barber, A.J., Charlton, T.R., Klemperer, S., and Hussong, D.M.,
1987, Nature and Distribution of Deformation Across the Banda Arc-
Australian Collosion Zone at Timor. Geological Society of America
Bulletin v. 98, p. 18-32.
Karmini, M., dan Dewi, K.T., 1998, Laporan Pelayaran Ekspedisi Images IV:
International Marine Global Changes Study. Pusat Pengembangan
Geologi Kelautan.
Karta, K., and Malod, J.A., 1992, Sumenta II Cruise Report. Indonesian French
Cooperation.Ifremer, INSU-CNRS, BPPT.
Katili, J.A., 1989, Review of Past and Present Geotectonic Concept of Eastern
Indonesia. Netherlands Journal of Sea Research 24 (2/3): 103-129.
206 Daftar Pustaka
Kishimoto, K., Okuda, Y., Yokokura, T., Tamaki, K., Ganie, B., and Supangat,
A., 1987, Seismic Reflection of the Sunda Trench in Eastern Java.
CCOP Techical Bulletin. Vol. 19, 1987 pp.25 to 28.
Kristanto, N.A., 2001, Cruise Report Daeyang: Multidisciplinary Investigation

of the Philippines Sea. Korea Ocean Research and Development
Institute (KORDI) and Marine Geological Institute.
Kuhnt, W., Blumel, M., Boch, R., Dewi, K.T., DaCosta de Monteiro, F., Durkop,
A., Hanebuth, T., Heidemann, U., Holbourn, A., Jian, Z., Van der Kaars,
S., Kawamura, H., Kawohl, H., Nurnberg, D., Opdyke, B., Peterson, A.,
Regenberg, M., Rosenthal, Y., Ruhlemann, C., Sadekov, Salomon, B.,
Tian, J., Xu, J., and Zuraida, R., 2005, Variability of the Indonesian
Through Flow and Autraliasian Climate History of the Last 150.000
Years. Cruise Report Sonne 185 (Ekspedisi Vital).
Kuhnt, W., Holburn, A., Rgenberg, M., Zuraida, R., Abiyoso, S., Aquit, M.,
Balmer, S., Djajadiredja, M., Fraser, N., Jeschlitschek, H., Kawohl, H.,
Kuzner, K., Kust, M., Capelli, E.L., Lorenzen, J., Masfasran, H., Muller,
S., Nurdin, N., Schooder, J., Steen, E., and Xu, J., 2011, Variability
of the Indonesian Through Flow Within the Makassar-Jawa Passage,
(MAJA). Cruise Report SO 217
Kurnio, H., Sarmili, L., dan Prasetyo, H., 1994, Penyelidikan Geologi Marin
Ekspedisi Natuna. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan.
Malod, J., and Kemal, B.M., 1994, La Marge de Sumatera Diagonal, Cedust
Jakarta. Ambassade de France.
Masduki, A., dan Sikumbang, N., 1986, Laporan Mengikuti Pelayaran Tambora.
Masson, D.G., Milsom, J., Barber, A.J., Sikumbang, N., and Dwiyanto, B.,
1991, Recent Tectonics Around the Island of Timor, Eastern Indonesia.
Marine Petroleum Geology Vol. 8. N. 1. Pp 25-49.
Mc Conachy, T., Binns, R., Permana, H., Burhanudin, S., and Shipboard
Participants, 2004, Indonesia-Australia Survey for Submarine
Hydrothermal Activity.IASSHA Workshop Sydney, Australia.
Navire Oceanographique, 1985, Krakatau 85 Cruise Report. LIPI, MGI, BPPT

Ifremer, Univ Paris XI, and VI.
Prasetyo, H., 1983, Hasil Pendahuluan Ekspedisi Sinta 2. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Geologi Kelautan
Prasetyo, H., 1991, Laporan Pelayaran Ekspedisi Toraja I di Zona Transisi

Kawasan IBB-IBT, Bandung: PPGL-BPPT
Prasetyo, H., 1992, Structural Styles and Hydrocarbon Prospect of West-East

Indonesian Back Arc Transition Zone and Adjacent Areas. Marine
Geological Institute.
Prasetyo, H., Snyder, D., Soeprapto, T.A., 1992, Transek Deep Seismic
Profilling: Paparan Australia –Laut Banda: Lapioran Pelayaran. PPGL-
BIRPS.
Purwanto, C., 2013, Pemetaan Landas Kontinent di Perairan Utara Papua.

Kolokium Hasil Litbang P3GL tahun 2013. Pusat Penelitian dan
Rahardiawan, R, 2001, Laporan Pendahuluan Penyelidikan Biologi, Geologi,

dan Geofisika Daerah Sunda Trench. Pusat Pengembangan Geologi
Kelautan.
Rahardiawan, R., 2010, Pemetaan Geologi dan Geofisika Kelautan Bersistim

Lembar Peta 1909, 1910, 2009 dan 2010, Perairan Spermonde dan
Selatan Selat Makasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
kelautan.
Rangin, C., Dahrin, D., Quebral, R., and the Modec Scientific Party, 1996,
Collision and Strike-Slip Faulting in the Northern Mollucca Sea
(Philippines and Indonesia): Preliminary Results of Morphotectonics
Study. From Hall, R., dan Blundell, D., (eds), 1996, Tectonics Evolution
of Southeast Asia Geological Survey Publication No.106. pp 26-46.
Robach, F. and Lericolais, V., 1984, Selected Technical Results of Corindon VI

and Corindon VIII.
Saripedia.files.wordpress.com/2012/Peta_indonesia_1939.jpg
Sarmili, L., 1992, Laporan Akhir Geobandut Cruise. BPPT-PPGL.
Sarmili, L., 1993, Laporan Pelayaran Banda Sea II Cruise. BPPT-PPGL-

UNHAS.
208 Daftar Pustaka
Sarmili, L., 2004, A New Prospect in Hydrothermal Mineralization of the Baruna

Komba Submarine Volcano. Bulletin of Marine Geology, Vol. 19. No 2
(22-30).
Schluter, H.U., and Fritsch, J., 1985, Geology and Tectonics of the Banda Arc
between Tanimbar Island and Aru Island (Indonesia): Result of R.V.
Sonne Cruise SO-16, 1981.
Schluter, H.U., Prexl, A., Gaedicke, Ch., Roeser, H.A., Schreckenberger, B.,
Meyer, H., Ehrhardt, A., Jurgens, U., Behain, D., Bonnemann, Ch.,
and Reichert, Ch., 2001, Geoscientific Investigation on the Active
Convergence Zone Between the East Eurasian and Indo-Australian
Plates Along Indonesia (GINCO I ), FS SONNE Cruise SO-137.
Bundesanstal Fur Geowissenchaten Und Rohstoffe.
Scientific Results of the German Deep Sea Expedition on the Streamer

“Valdivia“ 1898-1899
Silver, E.A., Mc Caffrey, R., Joyodiwiryo, Y.,and Stevens. 1983, Ophiolite

Empalcement by Collision Between the Sula Platform and the Sulawesi
Island Arc, Indonesia. Journal Geophysical Research: Solid Earth Vol
88. Issue B11.
Snyder, D.B., Milson, J., and Prasetyo, H., 1996, Geophysical Evidence for
Local Indentor Tectonics in the Banda Arc East of Timor. From Hall, R.,
dan Blundell, D., (eds), 1996, Tectonics Evolution of Southeast Asia
Geological Survey Publication No.106. pp 26-46.
Soemodihardjo, S., Soegiarto, K.A., Moosa, K.M., dan Mulyanto, 2005,

Seratus Tahun Lembaga Penelitian Bidang Ilmu Kelautan LIPI, 1905-
2005. Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia.
Soh, W., and Burhanudin, S., 2005, Cruise Report R.V. Natsushima NT05-2
(N.W. Sumatera). JAMSTEC-DKP-LIPI.
Struckmeyer, H.I.M., Pigram, C.J., and Prasetyo, H., 1993, Deep Structure of
the Joint Development Zone and Adjacent Areas, Timor Sea: Survey
116 Post Cruise Report. AGSO.
Sukamto, R., 1977, Laporan Mengikuti “Indopac Expedition” Leg 10 Bitung-

Laut Maluku-Laut Jawa-Singapore, dengan Kapal SIO-USA Thomas
Washington. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi .
Susilo, I., Djajadihardja, Y.S., Nani,H., Adi, S., Fajar, S., Mudirta, I., dan Wahyu,
W.P., 1997, Locations of Marine Resource Evaluation and Planing
Project. BPP Teknologi.
Susilohadi, 2008, Atlas Seismik Refleksi di Cekungan Busur Muka Selatan

Jawa Barat hingga Barat Daya Sumatera Barat. Pusat Penelitian dan
Susestiono, 2013, Exploring the Deep Sea of Makassar Strait. Research

Center for Oceanography. Indonesian Institute of Sciences.
Syaefudin, Yudho, B., Ganie, B.M., dan Suparman, A., 1993, Laporan Penelitian
Sumber Daya Laut. Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam.
BPPT.
Troa, R.A.T., and Liu, S., 2014, Benthic Cruise Report Phase I, R.V. Geomarin
II. P3SDLP-P3GL-P2GT-FIO.
Undang-Undang Nomor 4/PRP/1960. Tentang Perairan Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973. Tentang Landas Kontinen Indonesia.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Tentang Pengesahan UNCLOS 1982.
Van Hinte, J.E., and Hartono, H.M.S., 1989, Executive Summary of Theme I
Snellius II Expedition Geology and Geophysics of the Banda Arc and
Adjacent Areas. Nedherlands Journal of Sea Research 24 (2/3); 95-
201.
Wijaya, P.H., 2005, Survei Penelitian Potensi Migas di Cekungan Gorontalo

pada tahun 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Kelautan.
Wijaya, P.H., 2006, Survei Potensi Hidrokarbon Sepanjang Zona Konvergen

Aktif di Lepas Pantai Barat Sumatera, Indonesia dengan R.V. Sonne
(SO 189-2). Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan.
Wijaya, P.H., 2007, Survei Penelitian Potensi Migas di Lepas Pantai Utara
Jawa Timur Tahun 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Kelautan.
Wijaya, P.H., 2009, Survey Pra-Tsunami: Studi Seismik Dalam dengan kapal
Survei Geowave Champion-CGG Veritas di Sekitar Cekungan Fore
Arc Bengkulu, tgl 8-27 Mei 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan
210 Daftar Pustaka
Geologi Kelautan.
Wirasantosa, S., Wagey, T., Nurhakim, S., and Nugroho, D., 2011, ATSEA Cruise
Report. Global Environment Facility, United Nations Development
Programme, United Nations Office for Project Services, Agency for
Marine and Fisheries Research and Development, Ministry of Marine
Affairs and Fisheries, Indonesia, Arafura and Timor Seas Ecosystem
Action Program. Second Edition.
www.p3sdlp.litbang.kkp.go.id/../194.
Zuraida, R., 2010, Laporan Kerjasama Ekspedisi Monocir 2: Monsoon and

Ocean Circulation di Selat Makassar Laut Maluku dan Laut Halmahera.
Zuraida, R., Dewi, K.T., dan Ranawidjaya, D.A.S., 2005, Ekspedisi Kelautan
Antar bangsa Sebagai Cara Alternatif untuk Mendapatkan data Landas
Kontinen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan.
212 Daftar Pustaka
Riwayat Hidup Penulis
214 Riwayat Hidup Penulis
Ir Kumala Hardjawidjaksana MSc, mendapat Master of Science

in Marine Geology and Geophysics dari University College London
pada 1988. Sebelumnya beliau mengenyam pendidikan di Universitas
Padjadjaran.
Sejak 1984 telah beraktivitas di Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi Kelautan (P3GL). Sebelumnya beliau juga pernah aktif di Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Hardjawidjaksana sering mengikuti pelatihan dan kursus
internasional di bidang geologi. Misalnya saja Training in Engineering
and Environmental Geology Related to Geological Hazards, Bandung,
Training in Marine Science and Technology, Tokai University, Japan.
Kemudian Advance Training Course on Sea Level Changes and
Evolution of Coastal Environments, IOC-UNESCO, Jakarta (Lecturer).
Lalu Short course on Coastal Geology and Management in Terengganu
and Kota Bharu, Malaysia.
Juga Regular Training Course on Coastal Geology and Geohazards,
International School for Geoscinece Resources (IS-Geo) Korea.
Seminar, simposium, dan workshop nasional maupun internasional
juga menjadi event yang tidak pernah beliau lewatkan.Sebut saja

Meeting on Geo-Data Base in the South China Sea in Bangkok dalam
rangka Managing Potential Conflicts in the South China Sea; Delegation
of Indonesia on CCOP Annual Meeting and Steering Committee
Meeting di Tsukuba dan Sendai, Japan, Beijing, China, Haipong,
Vietnam, Khon Kaen, Thailand, Kokopo, PNG, Langkawi, Malaysia,
Manado, Indonesia dan lain sebagainya; GeoCoast Induction Meeting:
Current Status of Coastal Geohazards in the Southeast and East Asian
Countries. Daejon Korea; JSPS and CCOP/GSJ/AIST Joint Seminar on
Coastal Erosion in Deltas. Pattaya, Bangkok; JSPS and CCOP/GSJ/
AIST. Joint Seminar on Monitoring and Evaluation Coastal Erosion in
Delta. Haipong, Vietnam; CCOP-CGS Symposium on Muddy Coastal
Geoenvironment and Climate Change. Tianjin. China; APEC Seminar
on Marine Mining Development di Taipeh, Taiwan; Delegation on CCOP
Steering Committee Meeting in Chiang Mai, Ubon Ratchathani dan
Krabi - Thailand, dan Busan - Korea; Delegation on CCOP-GSJ/AIST-
KIGAM-PKNU Kick-off Meeting di ,Busan, Korea.
Beliau juga telah menghasilkan lebih dari 50 karya ilmiah yang di
presentasikan dan ditampilkan dalam berbagai jurnal internasional.
Selain itu beliau juga telah mem-publish 14 peta.
Saat ini beliau masih aktif mengajar di salah satu perguruan tinggi
di Indonesia, yaitu Sekolah Tinggi Teknologi Mineral Indonesia.
Sejak awal bergabung di P3GL beliau juga telah mengikuti 23
pelayaran penelitian. Pada beberapa pelayaran bahkan berperan
sebagai Chief Scientist.
Kegiatan beliau saat ini menjadi narasumber bagi berbagai masalah
geologi kelautan.
Buku Sejarah Penyelidikan Geologi Kelautan
Indonesia ini disusun untuk merangkai catatan kegiatan
penyelidikan yang sesungguhnya telah berlangsung
lebih dari 100 tahun. Sejak abad 19, berbagai
negara telah memulai kegiatan penelitian kelautan
yang memberikan sumbangsih berupa pijakan
dasar ilmu kelautan dan geologi kelautan yang
hingga saat ini terus berkembang. Serangkaian
ekspedisi untuk tujuan penelitian tersebut
berlangsung di Indonesia sehingga wilayah perairan
Indonesia turut kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang geologi
kelautan.
Semoga melalui buku ini para saintis P3GL dapat memahami penyelidikan
yang telah dilakukan dan mampu mengadopsi apa yang telah dilakukan selama ini.
Indonesia banyak sekali menjalin kerjasama internasional untuk program penyelidikan
geologi kelautan di wilayah perairan Indonesia. Kegiatan tersebut memberikan banyak
manfaat bagi Indonesia dan pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, penulis
berharap rekaman berbagai penyelidikan geologi kelautan ini dapat menginspirasi
pembaca untuk melakukan berbagai terobosan di bidang penyelidikan geologi kelautan
di masa mendatang.
Mudah-mudahan kehadiran buku ini dapat memberikan manfaat bagi
keberlangsungan dan kemajuan penyelidikan geologi kelautan di Indonesia. Sebagai
negara maritim, Indonesia berpeluang menjadi negara yang memiliki sumbangsih
signifikan bagi perkembangan geologi kelautan, baik dipandang dari aspek ilmu
pengetahuan maupun pemanfaatan nyata untuk kemajuan bersama.
KEMENTERIAN ENERGI SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA
Jl Dr. Djunjunan No 236 Bandung

Geologi

Uploaded by

Document Information

Original Title

Copyright

Available Formats

Share this document

Share or Embed Document

Sharing Options

Did you find this document useful?

Is this content inappropriate?

Copyright:

Available Formats

Geologi

Uploaded by

Copyright:

Available Formats

Ir. Kumala Hardjawidjaksana, MSc.

Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan

Ir. Kumala Hardjawidjaksana MSc.

Editor: Irfan Khosirun

Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan

Sejarah Penyelidikan Geologi Kelautan Indonesia

Penulis : Ir. Kumala Hardjawidjaksana MSc.

Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan

Dilarang mengutip, memperbanyak dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi

kelautan ini dapat menginspirasi pembaca untuk melakukan berbagai

maupun luar negeri.

Bandung, Maret 2015

Bab 1 Penyelidikan Geologi Kelautan Sebelum Kemerdekaan 1

Bab 2 Perairan Indonesia 15

Bab 3 Penyelidikan Geologi Kelautan Pasca Kemerdekaan

Bab 4 Berdirinya P3GL dan Kerjasama Luar Negeri 45

Bab 5 Kemandirian Program Kelautan Nasional 75

Survei Potensi Kebencanaan “PreTI-Gap” di Perairan Mentawai���������������� 155

Bab 6 Strategi dan Peluang Geologi Kelautan di Wilayah

Daftar Acuan 195

Riwayat Hidup Penulis 205

Tabel 1.1. Ekspedisi Kelautan Sejak Abad ke-18

James Cook Endeavour Inggris 1770

Dentrecasteaux Recherche and Perancis 1793 - 1794

Baudin Geographe and Perancis 1800 - 1804

De Feycinet Uranie and Perancis 1817 - 1820

Duperry Coquille Perancis 1822 - 1825

De Bouganville Jr. Thetis and Esperance Perancis 1824 - 1826

Kolff Dourga Belanda 1825 - 1826

Dumont d’Irvile Astrolabe Perancis 1826 - 1829

Pemimpin Kapal Kebangsaan Tahun

Steenboom Triton and Iris Belanda 1828

Laplace Favorite Perancis 1830 - 1832

Laplace Artemise Perancis 1837 - 1840

Dumont d’Urville Astrolabe and Zele Perancis 1837 - 1840

Belche Sulphur Inggris 1837 - 1842

Tidak diketahui Samarang Inggris 1843 - 1846

von Wullerstorf- Novara Austria 1858

Siedenburg Cachelot Belanda 1858

Bullock Serpent Inggris 1863

Wyville Thomson Challenger Inggris 1875

Von Schleinitz Gazelle Jerman 1875

Tidak diketahui Borneo Belanda 1881

Barker Enterprise Amerika 1883

Jewel Essex Amerika 1886

Tidak diketahui Flying Fish Inggris 1886 - 1887

Aldrich Egeria Inggris 1887 - 1888

Tidak diketahui Recorder Inggris 1888

Tidak diketahui Benkoelen Belanda 1889

Vereker Rambler Inggris 1890

Tidak diketahui Banda Belanda 1896

Chun Valdivia Jerman 1898 - 1899

Weber Siboga Belanda 1899 - 1900

144 orang karena ada yang meninggal di tengah-tengah ekspedisi,

Untuk mencapai tujuan tersebut, pada Ekspedisi Challenger

surya bimasakti. Namun pada perjalanannya, Neumayer ingin

Gambar 1.4. Kapal Valdivia Milik Jerman. (blog.biodiversitylibrary.org)

pada umumnya, terutama dipandang dari sudut biologi, oseanografi,

Gambar 1.6. Jalur yang Dilalui pada Ekspedisi Siboga. (en.wikipedia.org/wiki/Siboga_Expedition)

wilayah Indonesia Bagian Timur. Hasil tersebut diterbitkan dalam bentuk

Ekspedisi Vening Meinesz

Karakteristik Wilayah Laut Indonesia

Gambar 2.1. Lempeng yang mengapit indonesia. (ekobudiarta.files.wordpress.

Bab 1 Penyelidikan Geologi Kelautan Sebelum Kemerdekaan 1

Bab 2 Perairan Indonesia 15

Bab 4 Berdirinya P3GL dan Kerjasama Luar Negeri 45

Bab 5 Kemandirian Program Kelautan Nasional 75

Survei Potensi Kebencanaan “PreTI-Gap” di Perairan Mentawai�� 155

Daftar Acuan 195

Riwayat Hidup Penulis 205