You are on page 1of 13

REFERAT

DIFTERI PADA ANAK

Yohana Elviani Jemumu

112016369

Pembimbing :

dr. Henny Komalia, Sp.A

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Simpangan Depok

Fakultas Kedokteran UKRIDA

1
Pendahuluan

Difteri merupakan suatu penyakit menular dan sering menimbulkan kejadian luar biasa
(KLB) di beberapa wilayah. Difteri merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian,
karena racun yang dihasilkan oleh bakteri Corynebacterium diphteria. Bakteri membuat toksin
apabila bakteri terinfeksi oleh coryne bacteriophage yang mengandung diphteria toxin gene tox.1
Semua umur dapat terkena difteri tetapi kebanyakan menyerang anak-anak yang tidak
dimunisasi.2

Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet (infeksi
tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu bisa menjadi media penularan
(vehicle of transmission). Pengobatan difteri baik secara umum ataupun sekunder bertujuan
menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi Corynebacterum diphteriae untuk mencegah
penularan, serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Imunisasi DPT dan pengobatan
carrier dapat membantu dalam pencegahan diferi.

Etiologi

Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang gram positif, tidak bergerak,


pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam
keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade,
bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf Cina. Kuman tumbuh
secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-
tellurit atau media Loeffler. Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheria
yaitu tipe gravis, intermedius, dan mitis, namun dipandang dari antigenisitas sebenarnya basil ini
merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini
mungkin bisa menjelaskan mengapa pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu
jenis Corynebacterium diphtheria.3

Ciri khas Corynebacterium diphtheria adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin


baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul
62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-
terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk

2
membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa
diproduksi oleh Corynebacterium diphtheria yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.

Gambar 1. Kuman Corynebacterium diphtheria pada pewarnaan gram

Epidemiologi

Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di
dunia setelah India dan Nepal dengan 421 kasus hingga bulan November. Jumlah Kasus penyakit
Difteri di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2010 hingga tahun 2012, dan mengalami
penurunan pada tahun 2013 dan 2014. Pada tahun 2010 kasus difteri di Indonesia adalah 432
kasus, naik menjadi 806 kaus pada tahun 2011, dan naik menjadi 1192 kasus pada tahun 2012.
Pada tahun 2013 jumlah kasus turun menjadi 475 dan hingga November 2014 turun menjadi 421
kasus 4

Penyebaran kasus difteri di Indonesia pada tahun 2016 terjadi di provinsi Jawa Barat
dengan jumlah kasus seluruhnya sebanyak 14 kasus dengan kematian 2 orang. Berdasarkan hasil
surveilans, didapatkan data bahwa seluruh penderita difteri tidak diimunisasi karena adanya
penolakan dari orangtua. Kasus yang ditemukan di Jawa Barat ini terjadi pada anak usia 3-14
tahun.5

Patogenesis

Kuman Corynebacterum diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit, melekat serta
berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh
darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam

3
sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2
transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino
ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan
biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan
transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim translokase yang aktif.

Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enzim translokase yang
menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida
yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.
Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan dengan jaringan nekrotik,
membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
infeksi semakin melebar dan terbentuklah eksudat fibrin.Terbentuklah suatu membran yang
melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Bila
dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas
sendiri pada masa penyembuhan.

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri


(misalnya Streptococcus pyogenes). Gangguan pernapasan atau sufokasi bisa terjadi dengan
perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam
tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel,
tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin
terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis.
Miokarditis biasanya terjadi dalam 10 - 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah
3 - 7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin
pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi
otot dan fibrosis interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemik, kadang-kadang tampak
perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.

4
Manifestasi Klinis
Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteri, virulensi serta
toksigenitas Corynebacterum diphteriae dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain
termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada
sebelumnya. Masa inkubasi antara 1-5 hari dengan perjalanan penyakit bersifat insidious
(perlahan-lahan) dimulai dengan gejala yang tidak spesifik. Difteri mempunyai masa tunas 2 - 6
hari. Pasien pada umumnya datang berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik.
Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit
difteri.

Difteria Hidung

Difteria hidung pada umumnya menyerupai common cold, dengan gejala klinis pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus
dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorsi toksin sangat lambat dan gejala
sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.

Difteria Tonsil Faring

Gejala difteri tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri menelan.
Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup
tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan
trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi
bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala
tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi
kegagalan pernapasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik unilateral
maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa
terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.

Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis
atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi
penyembuhan sempurna.

5
Gambar 2. Pseuomembran dan bull neck

Difteria Laring

Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada difteri primer gejala
toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala
klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas
bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran
yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.

Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobrongkial. Apabila difteria laring
terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran
gejala obsruksi dan toksemia.

Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga

Merupakan tipe difteria yang jarang ditemukan. Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi
jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteria pada mata
dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, oedem dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

6
Kriteria Diagnosis

Anamnesis

 Kontak dengan penderita difteri


 Suara serak
 Stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas
 Demam tak begitu tinggi

Pemeriksaan Fisik

 Tonsilitis, faringitis, rhinitis


 Limfadenitis servikal + edema jaringan lunak leher (bullneck)
 Sangat penting untuk dignosis ditemukannya membran pada tempat infeksi yang
berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat

Laboratorium

 Hitung leukosit darah tepi dapat ↑


 Kadang-kadang timbul anemia
 Urea N darah pada nekrosis tubular akut dapat ↑
 Diagnosis pasti ; Kuman difteria pada sediaan langsung / biakan (+)

Penatalakasanaan7

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif
sebanyak 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2 - 3 minggu.

Tatalaksana kontak

 Siapapun yang kontak dengan kasus, dalam 7 ahri terakhir dianggap beresiko tertular
 Semua kontak harus diperiksa adanya gejala difteri serta diawasi setiap hari selama 7 hari
dari tanggal terakhir kontak dengan kasus.
 Profilaksis dilakukan dengan antibiotic erytromisin dengan doisis 50 mg/ kgBB/ hari
dibagi dalam 4 kali pemberian selama 7 hari.

7
Tatalaksana penderita

 Dokter memutuskan diagnosis difteria berdasarkan gejala dan kinis


 Pada kasus difteri tatalaksana dimulai dengan pemberian ADS dan antibiotic tanpa perlu
konfirmasi laboraturium
 Penderita diisolasi sampai tidak menualar yaitu 48 jam setelah pemberian antioniotik .
namun tetap dilakukan kultur setelah pemberian antibiotic
 Untuk pemberian ADS terhadap penderita maka perlu dikonsulkan ke dokter spesialis
 Tatalaksana pada penderita difteri dewasa sama dengan tatalaksana penderita difteri anak,
yaitu sebagai berikut:
a) Pemberian Anti Difteri Serum (ADS)
o Secepat mungkin diberikan setelah melakukan tes hipersensitivitas terhadap
ADS; pemberian antitoksin secara dini sangat penting dalam hal kesembuhan.
o Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu, oleh karena
pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan
larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit.
o Uji kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi
indurasi > 10 mm.
o Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). - Bila
uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara
intravena.
o Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit,
tidak tergantung pada berat badan penderita, berkisar antara 20.000100.000 KI. -
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa
5% dalam 1-2 jam.
o Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
o Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa menit
setelah pemberian ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1 jam, serum
sickness (8,8%) 7-10 hari kemudian.

8
b) Menegakkan diagnosis melalui kultur bakteri yang tepat
c) Pemberian antibiotika. - Antibiotika Penicillin procaine IM 25.000-50.000 U/kg BB
maks 1,5 juta selama 14 hari, atau Eritromisin oral atau injeksi diberikan 40
mg/KgBB/hari maks 2 g/hari interval 6 jam selama 14 hari.
d) Perawatan suportif termasuk perhatian khusus untuk mempertahankan patensi
saluran napas bila terdapat membran laring atau faring ekstensif. Lakukan penilaian
apakah ditemukan keadaan gawat napas akibat obstruksi saluran napas karena
membran dan edema perifaringeal maka lakukan trakeostomi.
e) Observasi jantung ada/tidaknya miokarditis, gangguan neurologis, maupun ginjal
f) Kortikosteroid dapat diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas, dan bila terdapat penyulit miokarditis diberikan prednison 2
mg/KgBB selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap.
g) Pada fase konvalesens diberikan vaksin difteri toksoid disesuaikan status imunisasi
penderita.

9
Pemulangan Penderita

Beberapa hal harus diperhatikan untuk pemulangan Penderita difteri klinik, yaitu:

• Setelah pengobatan tetap dilakukan pengambilan kultur pada Penderita (sebaiknya pada hari ke
8 dan ke 9 pengobatan).

• Apabila klinis Penderita setelah terapi baik (selesai masa pengobatan 10 hari), maka dapat
pulang tanpa menunggu hasil kultur laboratorium.

• Sebelum pulang penderita diberi penyuluhan komunikasi risiko dan pencegahan penularan
oleh petugas.

• Setelah pulang, Penderita tetap dipantau oleh Dinas Kesehatan setempat sampai mengetahui
hasil kultur terakhir negatif.

• Semua Penderita setelah pulang harus melengkapi imunisasi nya sesuai usia.

• Penderita yg mendapat ADS harus diimunisasi lengkap 3x setelah 4-6 minggu dari saat ADS
diberikan.

10
Komplikasi

Miokarditis dan paralisis otot dapat terjadi 2-7 minggu setelah onset penyakit. Tanda
miokarditis meliputi nadi tidak teratur, lemah dan terdapat gagal jantung. Kelumpuhan otot
palatum molle, otot mata sebagai akomodasi, otot faring dan laring sehinggga menimbulkan
kesulitan menelan, suara parau, dan kelumpuhan otot-otot pernafasan.

Pencegahan

Strategi pencegahan dan pengendalian difteri:

 Penguatan iminisasi rutin difteri sesuai dengan program imunisasi nasional


 Penemuan dan penatalaksanaan dini kasus difteri
 Semua kasus difteri harus dilakukan penyelidikan epidemiologi
 Semua kasus difteri dirujuk ke RS dan dirawat di ruang isolasi
 Oengambilan specimen dari kasus dan kasus kontak erat kemudian dikirim ke
laboratorium rujukan untuk dilakukan pemeriksaan
 Menghentikan transmisi difteri dengan pemberian profilaksis terhadap kontak dan
carier.
 Melakukan ORI di daerah KLB difteri. Sasaran ORI adalah anak usia1 tahun
sampai dengan <19 tahun dengan pemberian 3 kali dengan interval 1 bulan dari
dosis pertama ke dosis kedua, interval 6 bulan dari dosis kedua ke dosis ketiga
tanpa memandang status imunisasi .

Penyakit difteri dapat dicegah dengan dengan imunisasi lengkap, dengan jadwal
pemberian sesuai usia. Saat ini vaksin untuk imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan guna
mencegah penyakit difteri ada 3 macam, yaitu:

1. DPT-HB-Hib ( vaksin kombinasi mencegah difteri, pertussis, tetanus, hepatitis B dan


meningitis serta pneumonia yang disebebkan oleh Haemophylus influenza tipe B)
2. DT ( vaksin kombinasi difteri tetanus)
3. TD ( vaksin kombinasi tetanus difteri)

11
Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal:

1. Imunisasi dasar : bayi 2,3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali
2. Anak sekolah dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada bulan iminisasi anak sekolah
3. Anak skolah dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin TD pada bulan iminisasi anak sekolah
4. Wanita usia subur termasuk wanita hamil diberikan vaksin TD.

Perlindungan optimal terhadap difteri pada masyarakat dapat dicapai dengan cakupan
imunisasi rutin, baik dasar maupun lanjutan, yang tinggi dan merata. Cakupan harus
mencapaiminimal 95 merata disetiap kabupaten atau kota, dan tetap dipertahankan. Vaksin
difteri merupakan vaksin yang sensitive terhadap suhu beku sehingga dalam pengiriman maupun
penyimpanan harus tetap berada pada suhu 2-8°C.

Prognosis

Dengan adanya antibiotic dan antitoksin difteri menurunkan angka kematian, namun
masih ada yang terjadi disebakan oleh miokarditis. Prognosa tergantung pada usia penderita
semakin rendah usia makin jelek prognosa. Semakin cepat pemberian anti toksin maka semakin
baik, tipe klinis difteri faring laring memiliki mortalitas 56,8%, nasofaring 48,4%, dan faring
10,5%. Prognosis baik pada penderita dengan gizi yang baik.

Kesimpulan
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh karena adanya invasi kuman
Corynebacterium diphtheriae, yang ditandai oleh terbentuknya eksudat yang membentuk
membran pada tempat infeksi. Karena dapat melibatkan saluran pernapasan, gejala-gejala
klinisnya pun berhubungan dengan pernapasan. Sampai sekarang prevalensi penyakit ini sudah
banyak berkurang karena adanya penggalakkan program imunisasi, termasuk di antaranya
imunisasi difteri yang terintegrasi dengan dua imunisasi untuk penyakit lainnya, yakni pertusis
dan tetanus.

12
Daftar Pustaka

1. CDC. Epidemiology and prevention of vaccine preventable disease. 2015 Diakses 29


April 2018
2. World Health Organization. 2015. Difteria Data Sheet In Indonesia. Diakses 29 April
2018
3. Diphteria in: Immunology and Vaccine-Preventable Diseases. Available at:
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/dip.pdf. Diakses 29 April 2018
4. World Health Organization. Difteria Reported Case. Jakarta: 2015. Diakses 29 April
2018
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Imunisasi efektif cegah difteri. 2016
Februari11.http://www.depkes.go.id/article/print/16021500001/imunisasi-efektif-
cegahdifteri.html. Diakses 29 April 2018.
6. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Difteri. Dalam: Buku Ajar lnfeksi &
Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: 2008.h.312-20.
7. World Health Organization. Difteri. Dalam: Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit. Jakarta: 2009.h.106-8.

13

You might also like