You are on page 1of 87

SKRIPSI

PENGEMBANGAN EDIBLE FILM KOMPOSIT PEKTIN/KITOSAN


DENGAN POLIETILEN GLIKOL (PEG) SEBAGAI PLASTICIZER

Oleh :
FENNY SUPRIOTO
F24061488

2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
SKRIPSI

PENGEMBANGAN EDIBLE FILM KOMPOSIT PEKTIN/KITOSAN


DENGAN POLIETILEN GLIKOL (PEG) SEBAGAI PLASTICIZER

Oleh :
FENNY SUPRIOTO
F24061488

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

2010
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Pengembangan Edible Film Komposit Pektin/Kitosan
dengan Polietilen Glikol (PEG) sebagai Plasticizer
Nama : Fenny Suprioto
NIM : F24061488

Menyetujui
Bogor, 2 September 2010

Pembimbing Akademik,

(Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA)


NIP: 19701220.199512.1.001

Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

(Dr. Ir. Dahrul Syah)


NIP: 19650814. 199002. 1. 001

Tanggal Lulus: 25 Agustus 2010


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 03 September 1988


dan merupakan anak ke empat dari lima bersaudara pasangan
Hoover Suprioto dan Lina Setiawan. Penulis menyelesaikan
pendidikan dasar pada tahun 2000 di SD Dharma Buddhi
Bhakti, Jakarta, kemudian melanjutkan pendidikan menengah
pertama di SLTP Dharma Buddhi Bhakti, Jakarta, hingga
tahun 2003, dan menamatkan pendidikan menengah atas di SMAK IPEKA
Sunter, Jakarta, pada tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di
Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian melalui jalur SPMB pada tahun 2006.
Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di
berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi pengurus
KMB IPB (Keluarga Mahasiswa Buddhis IPB), anggota HIMITEPA (Himpunan
Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan), anggota FPC (Food Processing Club)
Himitepa bidang bakery, serta aktif di berbagai kepanitiaan, seperti “Vegetarian
Day: Seminar and Training” tahun 2007, “7th National Student Paper
Competition” tahun 2008, dan “Dhammapada Reading Competition” tahun 2008.
Beberapa prestasi yang diperoleh penulis antara lain menjadi Finalis pada Pekan
Ilmiah Nasional XXII, memperoleh penghargaan dalam Program Kreativitas
Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM GT) dari Departemen Pendidikan Nasional,
dan menjadi pemenang pertama lomba poster Pimnas XXII bidang PKM GT pada
tahun 2009. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul
“Pengembangan Edible Film Komposit Pektin/Kitosan dengan Polietilen Glikol
(PEG) sebagai Plasticizer” di bawah bimbingan Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP,
DEA.

v
Development of Pectin/Chitosan Composite Edible Film with
Polyethylene Glycol (PEG) as Plasticizer
Fenny Suprioto1, Nugraha E. Suyatma2
1, 2
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor,
Kampus IPB Darmaga Bogor 16002, Indonesia.

Abstract
Interest in maintaining food quality while reducing packaging waste has
encouraged further research on edible films. Considerable attention has been given to
pectin because it is widely available from underutilized agricultural waste material
and is readily modified through demethylation to form excellent films. The scope of
composite films made from pectin and other polysaccharides was widened to include
chitosan for several reasons.
The aims of this study were to prepare homogenous pectin/chitosan composite
edible films, characterize and investigate the effect of different pectin to chitosan
ratio on film properties. Pectin/chitosan composite edible film with PEG (10%) as
plasticizer was prepared by solution casting method in this study. Five pectin to
chitosan ratios (100:0, 75:25, 50:50, 25:75, 0:100) were used. The prepared films
were characterized in terms of physicochemical and mechanical properties. Result
showed that as chitosan content in composite edible film increased; pH, yellowish
color, film thickness, and elongation percentage increased, while tensile strength and
water vapor transmission rate decreased. PEG addition as plasticizer in edible film
increased film thickness, elongation percentage, and water vapor transmission rate,
whereas water activity of the plasticized film decreased.

Keywords: Pectin, chitosan, composite edible film, properties


Fenny Suprioto. F24061488. Pengembangan Edible Film Komposit Pektin/Kitosan
dengan Polietilen Glikol sebagai Plasticizer. Dibawah bimbingan Dr. Nugraha Edhi
Suyatma, STP, DEA.

RINGKASAN

Perhatian pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi limbah pengemas


pangan serta permintaan konsumen yang terus meningkat terhadap kualitas,
kemudahan, dan keamanan pangan mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut
mengenai kemasan edible. Pektin sering digunakan sebagai bahan baku kemasan
edible karena banyak terdapat pada bahan limbah pertanian yang tidak termanfaatkan
lagi dan dapat dimodifikasi melalui demetilasi guna memperoleh kemampuan
membentuk film yang baik. Lingkup pembuatan kemasan edible dari komposit
pektin dengan polisakarida lainnya meluas mencakup kitosan untuk beberapa alasan.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan kemasan edible yang homogen
dari komposit pektin/kitosan, mengkarakterisasi kemasan edible komposit
pektin/kitosan, dan mempelajari pengaruh perbandingan komposisi pektin/kitosan
dan penggunaan PEG terhadap karakteristik kemasan edible yang dihasilkan. Lima
perbandingan komposisi pektin/kitosan yang digunakan yaitu 100:0, 75:25, 50:50,
25:75, dan 0:100, sedangkan PEG yang digunakan sebesar 10% dari total berat
padatan. Analisis yang dilakukan meliputi sifat fisikokimia dan sifat mekanik,
dengan parameter yang diujikan yaitu pH larutan edible, warna, aktivitas air,
ketebalan, nilai kuat tarik dan persen pemanjangan, serta aktivitas antimikroba film.
Selain itu dilakukan juga analisis terhadap edible film yang dihasilkan dengan DSC,
XRD, dan FTIR.
Edible film yang dihasilkan memiliki pH yang berkisar antara 2,02 - 3,36,
berwarna transparan hingga kekuningan, nilai aw yang berkisar 0,63 - 0,70, ketebalan
film berkisar 41,7 - 118,3 µm, nilai kuat tarik 5,3 - 35,4 MPa, persen pemanjangan
28,3 - 97,9%, laju transmisi uap air berkisar 27,9 - 442, 7 g/m²/24 jam, aktivitas
antimikroba dengan diameter penghambatan terhadap Escherichia coli 1,31 - 1,47
cm, dan diameter penghambatan terhadap Bacillus cereus 1,76 - 2,51 cm. Suhu
transisi gelas dari edible film yang dihasilkan tidak dapat diamati dengan analisis
menggunakan DSC. Dari hasil analisis dengan XRD terlihat bahwa edible film
komposit pektin/kitosan memiliki struktur semikristalin. Analisis film menggunakan
FTIR menunjukkan adanya interaksi antara pektin dan kitosan dalam film komposit.
Semakin tinggi komposisi kitosan dalam film komposit maka pH, warna
kekuningan, ketebalan, dan persen pemanjangan film semakin meningkat, sedangkan
kuat tarik dan laju transmisi uap air film menurun. Penambahan PEG sebagai
plasticizer dalam edible film menurunkan nilai aw, meningkatkan ketebalan film,
meningkatkan persen pemanjangan, dan memperbesar laju transmisi uap air film.

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan ke hadirat TRI RATNA
yang telah melimpahkan bimbingan dan perlindungan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penyusunan skripsi, yang berjudul “PENGEMBANGAN EDIBLE FILM
KOMPOSIT PEKTIN/KITOSAN DENGAN POLIETILEN GLIKOL (PEG)
SEBAGAI PLASTICIZER” ini didasarkan pada pelaksanaan penelitian yang telah
dilaksanakan sejak Januari 2010 sampai Juli 2010 di Laboratorium Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada:
1. Papa Hoover Suprioto dan Mami Lina Setiawan, yang tiada henti-hentinya
memberikan kasih sayang, doa, nasihat, dan dukungan moril maupun materi
kepada penulis.
2. Almh. Mama Nancy Mantik yang telah menunjukkan betapa berharganya
sebuah kehidupan kepada penulis, dan mengajari penulis untuk belajar hidup
mandiri.
3. Bapak Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA selaku dosen pembimbing
yang selalu menyediakan waktu di tengah-tengah kesibukannya memberikan
saran, arahan, dan bimbingan yang sangat berarti kepada penulis.
4. Bapak Ir. Arif Hartoyo, M.Si dan Bapak Faleh Setiabudi, ST, MT atas waktu
dan kesediannya sebagai dosen penguji pada sidang skripsi penulis.
5. Ibu Elvira Syamsir, STP, M.Si, Ibu Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr, Ibu Dr.
Dra Suliantari M.S, dan Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. Terima kasih atas
bimbingan dan konsultasi yang diberikan selama penulis menjalani penelitian
dan menyusun skripsi.
6. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas semua
ilmu yang telah diberikan kepada penulis.

ii
7. Antony Demas tersayang, yang selama ini selalu bersabar menghadapi semua
sifat buruk dan ego penulis, yang selalu memotivasi dan menyayangi penulis
dengan tulus.
8. Sofian Suprioto, Jimmy Suprioto, Albert Setiawan, dan William Suprioto,
atas nasehat, kepedulian, dan hiburan yang diberikan kepada penulis.
9. Arini Handayani, sebagai teman yang telah menjalankan penelitian satu
proyek bersama, atas kerja keras dan dukungan yang diberikan kepada
penulis.
10. Sahabat-sahabat terbaik penulis di Perwira 99, Puri Riveria: Feriana Chandra,
Margaret Octavia, Yurina Haryanti, Limas Agung, Ivan Suwandi, Deni
Setiawan, Suhendri, Glenn Chandra, Kenchi Tantra, Handika Gani, Dial
Sugianto, Martin Dwiko, Henricus Ramadhani, Stevanus Budi Santoso,
Loisa, Rheiner Sukarya, Goto Giok, Steffany Dharmawan, Ferry Rianto,
Irsha, dan semua penghuni lainnya yang telah memberi dukungan, hiburan,
dan kehangatan kepada penulis layaknya keluarga.
11. Sahabat terbaik penulis sejak IPEKA Sunter hingga ITP 43: Syenny Ihsan,
Richie Rich, Stephanie Gabriela Handy, Yoanna Anggraini Wiryadi, yang
memberikan keberanian kepada penulis untuk akhirnya memutuskan
berkuliah bersama di kampus tercinta ini, terima kasih atas dukungan,
kebersamaan, dan kepedulian yang diberikan kepada penulis.
12. Sahabat-sahabat terbaik penulis di ITP 43: Erinna Nidya Wijaya, Stephanie,
Leonardus Stefanus, Felicia, Dyas, Daisy Natalia, Nina Ivana, Stella
Darmadi, Jessica, Dessyana, Prima, Federika, Safiera Karleen, Mario
Wibowo, Septi, Sandra Mariska, Riza Albarn, Wonojatun, Manik Kharda,
Anto, Rijali Aroni, Helena Suri, Dhimas, Yohanes Zega, dan teman-teman
ITP 43 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas dukungan,
doa, kebersamaan, dan nasehatnya.
13. Sahabat-sahabat terbaik penulis KMB IPB: Yuni Alfian, Theresia, Diana,
Nadya Belatrix Paramita, Leo Mualim, Steve Mualim, Andy, Yohan, Penfen
Fealty, Andi Setiawan, Veronica, Gilang Sutanto, Eliana Susilo, Trancy
Chandra, Kenny, Yunny Kosasih, Edi, Sally, Wahyu, Irene, Siska, dan teman-

iii
teman KMB yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas
dukungan, kehangatan, dan motivasi kalian selama ini.
14. Kakak-kakak ITP 42 dan IPN: Leonardus Adi Wijaya, Marcel Segara, Irene,
Eveline, Teresia, Stella, Yusi, Catherine Haryasyah, Diana Lo, Belinda, Cha
Cha, Kalista, Esther, Tuthie, Midun, Sina, Nono, Alina, Meivie Lintang,
Mutiara, Anas, Dito. Terima kasih atas bantuan, motivasi, saran, dan
bimbingannya selama penelitian dan saat pengolahan data
15. Sahabat-sahabat terbaik penulis di Jakarta: Christina Agustin, Stephanie
Rosanto, Fransisca Tania, Vina Stephanie, Kenny Shibaura, Rudi, Ciputra,
Andreas, Maria Gunawan, Cynthia, dan seluruh alumni IPEKA Sunter.
Terima kasih atas dukungan dan motivasinya.
16. Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Yahya, Pak Rojak, Bu Antin, Bu Rubiah, Pak
Sobirin, Mbak Ari, Bu Sari, Mas Edi, Mas Aldi, dan teknisi lainnya.
Terimakasih atas bantuannya, bimbingannya, masukkan, dan nasehat yang
diberikan kepada penulis selama di melaksanakan penelitian.
17. Bapak dan Ibu di PITP, yang selalu melayani penulis dengan senang hati
mencari skripsi, buku, artikel, jurnal, dan fotokopi semua bahan-bahan
tersebut untuk kepentingan penulisan skripsi ini.
18. Para staf di UPT ITP: Bu Novi, Mbak Ani, Bu kokom, dan Bu Sofi. Terima
kasih atas kesediaannya membantu penulis dalam menyelesaikan masalah
birokrasi dan administrasi.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak untuk memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi ini.
Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
semua pihak.

Bogor, Agustus 2010

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xi
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ...................................................................... 1
B. TUJUAN ........................................................................................... 2
C. MANFAAT ....................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
A. KEMASAN EDIBLE ........................................................................ 3
B. PEKTIN ............................................................................................ 6
C. KITOSAN ......................................................................................... 8
D. PEMBENTUKAN EDIBLE FILM KOMPOSIT
PEKTIN/KITOSAN .......................................................................... 10
E. PLASTICIZER ................................................................................... 12
III. BAHAN DAN METODOLOGI ........................................................... 15
A. BAHAN DAN ALAT ....................................................................... 15
B. METODE PENELITIAN.................................................................. 15
1. Pembuatan Edible Film ............................................................... 15
2. Karakterisasi Film Komposit Pektin/Kitosan ............................. 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 24
A. PEMBUATAN EDIBLE FILM......................................................... 24
B. KARAKTERISASI FILM KOMPOSIT PEKTIN/KITOSAN ......... 27
1. Pengukuran Warna dengan Chromameter .................................. 27
2. Pengukuran Aktivitas Air (aw) .................................................... 30
3. Pengukuran Ketebalan Film ........................................................ 31

vi
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Tujuan Penggunaan Edible Film ....................................................... ..4
Tabel 2. Perbandingan bobot pektin/kitosan dalam formulasi ........................ 16
Tabel 3. Penurunan kualitas yang berkaitan dengan aw .................................. 30

viii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Transfer yang berpotensi untuk dikontrol oleh kemasan edible . 5
Gambar 2. Segmen berulang dari molekul pektin dan grup fungsional (a):
karboksil (b), ester (c), amida dalam rantai pektin (d) ................ 6
Gambar 3. Diagram skematik percabangan rantai pektin, S = gula netral ... 7
Gambar 4. Perbandingan struktur kimia kitin (a) dan kitosan (b) ................ 9
Gambar 5. Pembentukan edible film komposit ............................................. 11
Gambar 6. Mekanisme plastifikasi tingkat molekuler .................................. 14
Gambar 7. Diagram pembuatan edible film dari komposit pektin
dan kitosan .................................................................................. 17
Gambar 8. Pengukuran nilai aw Edible film .................................................. 18
Gambar 9. Pengukuran kuat tarik dan persentase pemanjangan
edible film ................................................................................... 19
Gambar 10. Pengukuran laju transmisi uap air metode gravimetri:
(a) kontrol dan (b) edible film ..................................................... 20
Gambar 11. Diagram alir persiapan kultur uji ................................................ 21
Gambar 12. Diagram alir metode cakram ....................................................... 22
Gambar 13. Grafik nilai pH larutan komposit pektin/kitosan ........................ 25
Gambar 14. Proses pelepasan film yang telah terbentuk dari cawan ............. 26
Gambar 15. Grafik pengukuran nilai L edible film komposit pektin/kitosan . 27
Gambar 16. Grafik pengukuran nilai a edible film komposit pektin/kitosan .. 28
Gambar 17. Grafik pengukuran nilai b edible film komposit pektin/kitosan . 29
Gambar 18. Grafik pengukuran aw edible film ............................................... 31
Gambar 19. Grafik pengukuran ketebalan edible film .................................... 32
Gambar 20. Grafik pengukuran nilai kuat tarik edible film ............................ 33
Gambar 21. Grafik pengukuran persentase pemanjangan film ...................... 34
Gambar 22. Efek perubahan fase pada transfer massa ................................... 36
Gambar 23. Grafik pengukuran laju transmisi uap air edible film ................. 37
Gambar 24. Film pektin murni (a) dan film kitosan murni (b) setelah
diinkubasi pada nutrient agar yang berisi kultur uji................... 39

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Nilai pH
Larutan Edible ........................................................................ 56
Lampiran 2. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Nilai L Edible Film .... 57
Lampiran 3. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Nilai a Edible Film ..... 59
Lampiran 4. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Nilai b Edible Film ..... 60
Lampiran 5. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap aw Edible Film ............ 62
Lampiran 6. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Ketebalan
Edible Film ............................................................................. 63
Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Kuat Tarik (TS)
Edible Film ............................................................................. 64
Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Persen Elongasi
Edible Film ............................................................................. 66
Lampiran 9. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Laju Transmisi
Uap Air (WVTR) Edible Film ............................................... 68
Lampiran 10. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Diameter
Penghambatan Edible Film terhadap Escherichia coli .......... 70
Lampiran 11. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Diameter
Penghambatan Edible Film terhadap Bacillus cereus ............ 71

xi
Gambar 25. Daerah penghambatan edible film komposit pektin/kitosan
terhadap: (a) Escherichia coli dan (b) Bacillus cereus ............... 39
Gambar 26. Grafik hasil pengamatan kapasitas antimikroba edible film
komposit pektin/kitosan (D = 1 cm) terhadap Escherichia
coli dan Bacillus cereus .............................................................. 40
Gambar 27. Representasi skematik sistem DSC ............................................ 42
Gambar 28. Kurva hasil analisis termal sampel dengan DSC ........................ 44
Gambar 29. Hasil analisis sampel dengan difraksi sinar-X ............................ 47
Gambar 30. Spektra FTIR edible film: (a) pektin + PEG, (b) pektin,
(c) 50 : 50 + PEG, (d) 50 : 50, (e) kitosan + PEG,
dan (f) kitosan ............................................................................. 48

x
4. Pengukuran Kuat Tarik dan Persentase Pemanjangan ................ 32
5. Laju Transmisi Uap Air Metode Gravimetri............................... 35
6. Pengujian Aktivitas Antimikroba................................................ 38
7. Analisis dengan Differential Scanning Calorimeter (DSC) ........ 42
8. Analisis dengan X-ray Diffraction .............................................. 45
9. Analisis dengan FTIR Spectroscopy ........................................... 48
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 51
LAMPIRAN .................................................................................................. 56

vii
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Peningkatan jumlah penduduk ditambah dengan penggunaan sumber daya


alam dan energi secara besar-besaran mengakibatkan terciptanya sampah yang
menumpuk dalam jumlah sangat besar. Sebagian besar dari sampah tersebut
merupakan limbah kemasan pangan (food package waste) yang umumnya terbuat
dari material yang tidak dapat terurai secara biologis (non-biodegradable), yaitu
berupa plastik dan laminat.
Sepanjang daur hidup kemasan pangan, dari pembuatannya hingga menjadi
limbah, memberikan dampak terhadap lingkungan yang tidak sedikit. Dampak
keseluruhan (resultant impacts) proses pembuatan, penggunaan dan pembuangan
bahan pengemas mencakup konsumsi energi, emisi gas-gas yang menyebabkan
rumah kaca, dan deplesi sumber daya alam. Pembuangan limbah kemasan pangan
secara bebas ke lingkungan maupun penimbunan terpusat di Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) serta proses insenerasi akan menimbulkan pencemaran, meskipun
dalam aras yang berbeda (Widianarko, 2010).
Perhatian pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi limbah pengemas
pangan serta permintaan konsumen yang terus meningkat terhadap kualitas,
kemudahan, dan keamanan pangan mendorong dilakukannya penelitian lebih
lanjut mengenai kemasan edible. Kemasan edible memiliki potensi untuk
mengurangi kompleksitas kemasan (Melia, 1997) sehingga dapat mengurangi
limbah pengemas pangan jika digunakan dalam industri. Kemasan edible tersebut
juga dapat menggantikan beberapa jenis material kemasan sintetis yang digunakan
untuk mengawetkan dan melindungi makanan (Schou et al., 2004).
Pektin sering digunakan sebagai bahan baku kemasan edible karena banyak
terdapat pada bahan limbah pertanian yang tidak termanfaatkan lagi dan dapat
dimodifikasi melalui demetilasi guna memperoleh kemampuan membentuk film
yang baik. Pektin merupakan polisakarida struktural utama pada dinding tanaman
selain selulosa. Lingkup pembuatan kemasan edible dari komposit pektin dengan
polisakarida lainnya meluas mencakup kitosan untuk beberapa alasan. Pertama,
kitosan merupakan hasil derivatisasi kitin, polisakarida terbanyak kedua setelah

1
selulosa (Tuil et al., 2000), dan tersedia secara komersial dari sumber yang dapat
diperbaharui. Kedua, kitosan memiliki kemampuan membentuk film yang baik,
bersifat edible, biodegradable, biocompatible, dan mempunyai kapasitas sebagai
anti bakteri dan anti kapang (Tsai et al., 2000; Coma et al., 2003). Ketiga, kitosan
dapat berinteraksi secara elektrostatis dengan pektin yang telah mengalami
demetilasi parsial.
Hingga saat ini aplikasi kemasan edible berbahan dasar pektin dan kitosan
dalam bidang pangan masih terbatas pada aplikasi secara multilayer. Dalam
penggunaan metode multilayer ini diperlukan beberapa langkah sehingga waktu
pembuatannya lebih lama, pelarut yang digunakan lebih banyak, dan
penanganannya lebih sulit (Perez-Gago dan Krochta, 2005). Pembentukan
kemasan edible secara langsung dari komposit pektin/kitosan dengan sistem
emulsi diharapkan dapat menghasilkan film dengan sifat yang lebih baik
dibandingkan dengan film yang dihasilkan dengan metode multilayer.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan kemasan edible yang homogen
dari komposit pektin/kitosan, mengkarakterisasi, dan mempelajari pengaruh
perbandingan komposisi pektin/kitosan terhadap karakteristik kemasan edible
yang dihasilkan.

B. TUJUAN PENELITIAN

1. Menghasilkan kemasan edible yang homogen dari komposit


pektin/kitosan.
2. Mengkarakterisasi kemasan edible komposit pektin/kitosan.
3. Mempelajari pengaruh perbandingan komposisi pektin/kitosan dan
penggunaan PEG terhadap karakteristik kemasan edible yang dihasilkan.

C. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah dihasilkan edible film
dari komposit pektin/kitosan yang bersifat homogen dengan karakteristik tertentu,
dan informasi mengenai pengaruh perbandingan komposisi pektin/kitosan
terhadap karakteristik edible film. Edible film komposit pektin/kitosan diharapkan
dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan terutama untuk buah terolah minimal.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KEMASAN EDIBLE

Kemasan edible didefinisikan sebagai bermacam bahan yang digunakan


untuk menutupi (coating atau wrapping) makanan, dapat dimakan bersama
dengan makanan tersebut, dan bertujuan untuk memperpanjang umur simpan
produk (Pavlath dan Orts, 2009). Menurut Krochta (1992), kemasan edibel adalah
suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas
komponen makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film)
dan dapat berfungsi sebagai penahan (barrier) perpindahan massa (seperti
kelembaban, oksigen, lipida, zat terlarut) dan atau sebagai pembawa (carrier)
bahan tambahan makanan seperti bahan pengawet untuk meningkatkan kualitas
dan umur simpan makanan. Film dan coating dibedakan berdasarkan konsep
bahwa coating diaplikasikan dan dibentuk langsung di atas permukaan makanan,
sedangkan film merupakan struktur yang diaplikasikan pada makanan setelah
dibentuk secara terpisah (Gontard dan Guilbert, 1994).
Edible film banyak mendapat perhatian karena beberapa keunggulannya
dibanding kemasan sintetis. Keunggulan utama edible film terhadap kemasan
sintetis tradisional adalah edible film dapat dikonsumsi bersamaan dengan produk
yang dikemas. Tidak ada kemasan yang dibuang, dan meskipun tidak dikonsumsi
edible film tetap berkontribusi dalam mereduksi pencemaran lingkungan. Proses
produksi edible film menghasilkan lebih sedikit limbah dan polusi. Selain itu,
edible film secara eksklusif dibuat dari bahan yang dapat diperbaharui, bersifat
edible, dan lebih mudah terdegradasi dibanding material polimer (Bourtoom,
2008).
Edible film diproduksi dari material yang memiliki kemampuan membentuk
film. Komponen yang digunakan untuk pembuatan edible film dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu hidrokoloid (termasuk protein,
turunan selulosa, alginat, pektin, pati, dan polisakarida lainnya), lipid (lilin,
asilgliserol, dan asam lemak), dan komposit. Secara umum, lipid digunakan untuk
menurunkan transmisi air, hidrokoloid digunakan untuk mengkontrol transmisi
oksigen/gas lainnya dan perlindungan terhadap lemak, sedangkan film protein

3
memberikan stabilitas mekanis. Materi tersebut dapat dimanfaatkan secara
individual atau sebagai komposit untuk membentuk film dengan sifat yang
diinginkan.
Edible film harus memenuhi beberapa persyaratan fungsional spesifik seperti
barrier terhadap kelembaban, padatan, dan/atau gas, solubilitas dalam air atau
lemak, warna dan penampakan, karakteristik mekanis dan rheologi, keamanan,
dan sebagainya. Sifat fungsional tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
material yang digunakan, pembentukan film, dan pengaplikasian film. Berbagai
tujuan fungsional penggunaan edible film tertera pada Tabel 1, sedangkan ilustrasi
transfer yang dapat dikontrol dengan edible film ditunjukkan pada Gambar 1.

Tabel 1. Tujuan Penggunaan Edible Film (Donhowe dan Fennema, 1994)


Penggunaan Materi yang sesuai
Menghambat migrasi kelembaban Lipid, komposit
Menghambat migrasi gas Hidrokoloid, komposit
Menghambat migrasi minyak/lemak Hidrokoloid
Menghambat migrasi padatan Hidrokoloid, lipid, atau komposit
Meningkatkan integritas struktural atau Hidrokoloid, lipid, atau komposit
kemudahan penanganan
Mempertahankan komponen flavor Hidrokoloid, lipid, atau komposit
yang bersifat volatil
Membawa bahan tambahan pangan Hidrokoloid, lipid, atau komposit

Menurut Pavlath dan Orts (2009), edible film yang ideal harus memiliki
karakteristik sebagai berikut:
 Tidak mengandung senyawa berbahaya, komponen yang menimbulkan alergi
dan yang tidak dapat dicerna
 Memberikan kestabilan struktural dan mencegah kerusakan mekanis selama
transportasi, penanganan, dan penjualan
 Memiliki kemampuan adhesi yang baik dan seragam pada permukaan makanan
yang dilindungi
 Mengkontrol migrasi air baik masuk maupun keluar dari makanan yang
dilindungi untuk menjaga tingkat kelembaban yang diinginkan

4
 Memberikan sifat semi permeable untuk menjaga equilibrium internal gas
yang terlibat dalam respirasi aerobik dan anaerobik, sehingga menghambat
senescense
 Mencegah kehilangan komponen yang menstabilkan aroma, flavor, nutrisi,
dan karakteristik organoleptik yang penting bagi penerimaan konsumen, dan
tidak mempengaruhi rasa atau penampakan
 Memberikan kestabilan biokimia dan mikrobial permukaan sekaligus
melindungi dari kontaminan, infestasi serangga, proliferasi mikroba, dan
kerusakan lainnya
 Menjaga dan meningkatkan nilai estetik dan atribut sensori (penampakan, rasa,
dan lainnya) dari produk
 Berfungsi sebagai pembawa bahan tambahan yang diinginkan seperti flavor,
aroma, pewarna, nutrisi, dan vitamin. Penambahan antioksidan dan agen
antimikroba dapat dibatasi pada permukaan dengan penggunaan edible film
sehingga meminimalkan biaya dan perubahan rasa
 Mudah diproduksi dan terjangkau secara ekonomi

Gambar 1. Transfer yang berpotensi untuk dikontrol oleh kemasan edible


(Debeaufort dan Voilley, 2009)

Menurut Han (2002), penggunaan edible film merupakan salah satu


penerapan dari pengemasan aktif karena sifatnya yang edible dan biodegradable
merupakan fungsi tambahan yang tidak terdapat pada sistem pengemasan
konvensional.

5
B. PEKTIN

Pektin adalah gabungan kompleks polisakarida yang menyusun sepertiga


bagian dari substansi dinding sel tanaman tingkat tinggi. Proporsi pektin yang
lebih rendah ditemukan dalam rerumputan. Pektin terkonsentrasi dalam lamela
tengah dinding sel, dan jumlahnya semakin menurun pada dinding sel yang
berbatasan dengan membran plasma. Pektin sering digunakan sebagai bahan baku
kemasan edible karena banyak terdapat pada bahan limbah pertanian yang tidak
termanfaatkan lagi dan dapat dimodifikasi melalui demetilasi guna memperoleh
kemampuan membentuk film yang baik.
Seperti kebanyakan polisakarida lainnya, pektin bersifat polidispersi dan
polimolekular, komposisinya bervariasi tergantung sumber dan kondisi yang
diterapkan pada saat isolasi. Pektin secara utama tersusun oleh unit asam D-
galakturonat (GalA) dengan ikatan a-(1-4) glikosidik. Asam uronat ini memiliki
grup karboksil, beberapa di antaranya secara natural berada dalam bentuk metil
ester dan sisanya yang telah mengalami modifikasi dengan amonia menjadi grup
karboksamide. Susunan rantai molekul pektin dapat dilihat pada Gambar 2
(Sriamornsak, 2003).

Gambar 2. Segmen berulang dari molekul pektin dan grup fungsional (a):
karboksil (b), ester (c), amida dalam rantai pektin (d) (Sriamornsak, 2003)

Selain segmen galakturonan yang ditunjukan pada Gambar 2, pektin tersusun


pula oleh gula netral. Rhamnosa (Rha) merupakan komponen minor dari rantai
utama pektin yang menyebabkan percabangan pada rantai lurus, dan gula netral
lainnya yang terdapat pada rantai cabang pektin (Gambar 3).

6
Gambar 3. Diagram skematik percabangan rantai pektin, S = gula netral
(Sriamornsak, 2003)

Pektin diklasifikasi berdasarkan derajat esterifikasinya (DE). Jika derajat


esterifikasi (DE) pektin lebih besar dari 50% maka pektin dikategorikan ke dalam
derajat esterifikasi tinggi (high methoxyl pectin), sedangkan bila derajat
esterifikasinya kurang dari 50% diklasifikasikan ke dalam derajat esterifikasi
rendah (low methoxyl pectin). Kisaran nilai DE untuk pektin HM komersial adalah
60 -75% dan untuk pektin LM berkisar antara 20 - 40%. Karena kemampuan
pektin untuk membentuk gel bergantung pada ukuran molekul dan derajat
esterifikasi, pektin yang berasal dari sumber yang berbeda memiliki kemampuan
membentuk gel yang berbeda pula.
Pektin digunakan dalam makanan terutama karena kemampuan membentuk
gel yang dipengaruhi oleh DE. Karakteristik pembentukan gel juga dikaitkan
dengan ikatan rantai interpolimer dan pembentukan film yang lebih baik. Pektin
akan membentuk film yang lebih baik ketika kondisi pembentukan gel dipenuhi.
Berdasarkan DE, pektin HM yang memiliki DE lebih besar dari 69% disebut
rapid-set (RS) pectin, pektin dengan DE 60-61% disebut slow-set (SS) pectin, dan
pektin dengan DE 50-60% disebut extra slow-set pectin. Ketika kondisi untuk
pembentukan gel dipenuhi, pektin RS akan membentuk gel pada suhu yang lebih
tinggi, dan bergantung pada laju pendinginan pembentukan gel akan terjadi lebih
cepat dibanding pektin SS. Dengan kata lain, pembentukan gel tidak hanya
dipengaruhi oleh DE pektin, tetapi juga suhu dan waktu (Nieto, 2009).

7
Untuk pembentukan gel, pektin HM membutuhkan pH di bawah 3,5 dengan
kisaran optimum 2,8-3,0 dan keberadaan padatan gula 60-65%, pemanasan juga
diperlukan untuk sepenuhnya menghidrasi dan mengaktivasi molekul pektin.
Pengaturan pH diperlukan untuk protonasi unit asam galakturonat yang tidak
teresterifikasi untuk mengurangi muatan negatif dan penolakan antar sesama
molekul pektin. Kombinasi konsentrasi gula yang tinggi dan protonasi atau
penetralan muatan negatif pada grup asam galakturonat menyebabkan asosiasi
intermolekular dari rantai polimer melalui ikatan hidrogen, menghasilkan
pembentukan gel. Pektin LM konvensional membutuhkan penambahan kalsium,
gula berkisar 20-55% dan pH antara 3,0-5,0 untuk membentuk gel. Pembentukan
gel pektin LM dengan jembatan kalsium di antara dua rantai heliks, membentuk
struktur yang disebut dengan ‘egg-box’ junction zone. Dibutuhkan minimal 14-20
residu asam galakturonat untuk membentuk junction zone. Kekuatan gel
meningkat seiring peningkatan Ca2+, tetapi menurun dengan meningkatnya suhu
dan keasaman atau penurunan pH di bawah 3,0. Pektin yang diamidasi,
sebaliknya, hanya membutuhkan sumber kalsium dan pengaturan pH. Pektin
amida ini dapat membentuk gel, baik dalam formula bebas gula maupun dalam
formula gula tinggi yang mengandung gula hingga sebesar 80%. Gel yang
dihasilkan oleh pektin LM bersifat thermoreversible, artinya gel tersebut dapat
dicairkan dan dibentuk kembali saat pendinginan.
Film dari pektin bersifat tidak terlalu kuat dibanding film dari polisakarida
lainnya. Substitusi gugus metil (gugus yang lebih besar dibanding –COOH) dan
keberadaan cabang pada rantai molekul pektin memberikan formasi yang kurang
kompak (Nieto, 2009).

C. KITOSAN

Kitosan merupakan produk derivatisasi kitin (material yang menyusun


eksoskeleton dari crustacea dan moluska), diproduksi dengan deasetilasi alkali
dari kitin. Kitosan adalah poli-β-(1-4)-2-amino-deoksi-D-glukopiranosa,
strukturnya dapat dilihat pada Gambar 4. Kitosan komersial telah mengalami 85%
deasetilasi. Dalam larutan, segmen polisakarida kitosan yang sepenuhnya
terasetilasi membentuk agregat menyerupai misel, saling dihubungkan oleh

8
polisakarida yang hampir sepenuhnya terasetilasi, dan diregangkan oleh
penolakan elektrostasis. Kitosan dalam bentuk amina bebas tidak larut dalam air
pada pH netral. Kitosan larut dalam asam asetat glasial dan HCl, tetapi tidak larut
dalam larutan asam sulfat pada suhu ruang. Lebih rendahnya pH pelarut tidak
menjamin kelarutan kitosan yang lebih besar, mengindikasikan bahwa mekanisme
pelarutan kitosan tidak hanya dengan protonasi dari gugus amina, tetapi juga
interaksi antara kitosan dan asam (Po et al., 2007). Dari Gambar 4, dapat dilihat
bahwa kitosan memiliki 3 grup reaktif yaitu gugus -OH pada atom C3 dan C6 serta
gugus –NH2 pada atom C2.

Gambar 4. Perbandingan struktur kimia kitin (a) dan kitosan (b)

Pelarut kitosan yang paling banyak digunakan hingga saat ini adalah asam
asetat dan asam formiat. Kedua asam tersebut adalah monoasam (hanya memiliki
satu gugus karboksil), dan hanya berfungsi sebagai donor proton dalam larutan.
Selain asam asetat, banyak jenis asam karboksilat alami lainnya seperti asam
glikolat, asam tartarat, asam malat, dan asam sitrat. Di antara asam organik
tersebut, asam glikolat adalah yang paling mirip struktur molekulnya dengan asam
asetat, perbedaannya hanyalah pada gugus hidroksilnya, sedangkan asam lainnya
adalah asam biner atau tersier. Beberapa asam biner dan tersier dapat bereaksi
dengan dua atau lebih gugus amina pada rantai kitosan yang berbeda,
menyebabkan ikatan silang dari kitosan menjadi struktur yang lebih besar (Po et
al., 2007).

9
Kitosan memiliki banyak gugus amina di sepanjang rantainya (bersifat
kationik) sehingga mampu membentuk kompleks atau berinteraksi dengan
komponen lain dan memperoleh karakter spesifik dari interaksi tersebut. Pada pH
asam, terjadi protonasi gugus –NH2 menjadi -NH3+, yang dapat berasosiasi
dengan polianion untuk membentuk kompleks dan mengikat sisi anionik pada
permukaan sel bakteri dan fungi. Pada pH yang lebih tinggi (>4), kitosan dapat
membentuk kompleks dengan pewarna dan logam berat (Nieto, 2009).
Kemampuan kitosan ini dapat bermanfaat dalam hal memperpanjang umur
simpan dan keamanan produk makanan, serta mencegah proses oksidasi yang
dikatalis oleh logam bebas pada makanan.
Edible film kitosan yang telah banyak digunakan pada buah dan sayur
menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap Bacillus cereus, Brochothrix
thermosphacta, Lactobacillus curvatus, Lactobacillus sakey, Listeria
monocytogenes, Pediococcus acidilactici, Photobacterium phosphoreum,
Pseudomona fluorescens, Candida lambica, Cryptococcus humiculus, dan
Botrytis cinerea (Olivas dan Barbosa-Cánovas, 2009). Karena kemampuannya
membentuk film semipermeabel yang baik, kitosan diharapkan dapat
memodifikasi atmosfer internal juga menurunkan kehilangan karena transpirasi
dan memperlambat pematangan dari buah dan sayuran. Film kitosan memiliki
sifat mekanik yang baik, fleksibel, dan sulit dirusak, juga merupakan barrier yang
baik terhadap oksigen. Selain itu, film kitosan juga mampu mengkontrol
pencoklatan enzimatis pada buah (Lacroix dan Tien, 2005). Meskipun sifat
hidrofilik dari film kitosan dapat mempengaruhi karakteristiknya sebagai
kemasan, film tersebut tetap menunjukkan hasil yang baik saat diaplikasikan
terhadap buah dan sayuran segar (Olivas dan Barbosa-Cánovas, 2009).

D. PEMBENTUKAN EDIBLE FILM KOMPOSIT PEKTIN/KITOSAN

Proses blending dua polimer atau lebih mempunyai tujuan untuk menemukan
material baru dengan sifat-sifat fungsional yang lebih baik. Terlebih lagi, upaya
menemukan material baru dengan cara blending polimer adalah jauh lebih murah,
lebih mudah dibandingkan mensintesis suatu polimer yang baru dari suatu
monomer dimana sifat-sifatnya belum diketahui. Dari sudut pandang lingkungan,

10
campuran dari dua atau lebih polimer memungkinkan untuk meningkatkan laju
biodegradasi film kompositnya dibandingkan polimer asal (Ikejima et Inoue,
2000). Dalam proses blending ini, perlu dipelajari kriteria miscibilitas antar
polimer penyusunnya untuk mencegah adanya pemisahan fase selama proses dan
penggunaannya.
Edible film komposit pektin/kitosan dapat diproduksi sebagai film multilayer,
bi-layer, atau dispersi yang stabil. Pada film multilayer dan bi-layer, kitosan
membentuk lapisan lain di atas lapisan pektin, sedangkan pada komposit film
dispersi, kitosan dilarutkan bersamaan dengan larutan pektin. Sistem film
multilayer dan bi-layer dibuat dengan teknik dua langkah yang melibatkan casting
lapisan kitosan di atas film pektin yang telah dibuat sebelumnya. Sistem film
dispersi melibatkan dispersi larutan kitosan ke dalam larutan pektin membentuk
campuran yang stabil dan tahap pengeringan untuk pembentukan film. Stabilisasi
dispersi dihasilkan dari keseimbangan gaya dari materi yang berbeda, terutama
gaya elektrostatis dan hidrofobik. Gambar 5 menunjukkan struktur edible film
yang dibuat dengan sistem multilayer, bi-layer, dan sistem dispersi.

Bi-layer film:

Dispersion film:

Gambar 5. Pembentukan edible film komposit (Perez-Gago dan Krochta, 2005)

Pembentukan film pektin/kitosan dengan metode multilayer telah dilakukan


oleh Hoagland dan Parris (1996). Pada penggunaan metode multilayer tersebut
ditemui adanya pertumbuhan fungi di antara kedua lapisan film dan permukaan
film yang terbentuk tidak rata. Film bi-layer memiliki kecenderungan untuk

11
terlepas antara lapisannya dan memberikan sifat mekanik yang lebih buruk
dibanding film emulsi. Kesulitan lainnya adalah teknik ini membutuhkan
beberapa langkah sehingga waktu pembuatannya lebih lama, penggunaan pelarut
lebih banyak, dan penanganan lebih sulit (Perez-Gago dan Krochta, 2005).

E. PLASTICIZER

Plasticizer seringkali dibutuhkan pada edible film, terutama yang terbuat dari
polisakarida dan protein. Struktur film ini sering bersifat rapuh dan mudah patah
karena interaksi antara molekul polimer yang kuat (Krochta, 2002). Han dan
Gennadios (2005) mendefinisikan plasticizer sebagai bahan berbobot molekul
rendah yang ditambahkan dalam materi pembentuk film polimerik, yang dapat
menurunkan suhu transisi gelas polimer. Menurut Lee dan Wan (2006), plasticizer
adalah substansi bersifat non volatil, memiliki titik didih yang tinggi, tidak
memisah, yang ketika ditambahkan ke dalam materi lain mengubah sifat fisik dan
mekanik dari material tersebut.
Plasticizer mampu menempatkan dirinya di antara molekul polimer sehingga
mengganggu interaksi polimer-polimer dan meningkatkan fleksibilitas. Plasticizer
meningkatkan volume bebas struktur polimer atau mobilitas molekular molekul
polimer. Sifat ini menunjukkan bahwa plasticizer menurunkan perbandingan
bagian kristalin terhadap bagian amorf yang menyebabkan menurunnya suhu
transisi gelas. Penggunaan plasticizer tidak hanya mempengaruhi modulus elastik
dan sifat mekanik lainnya, tetapi juga permeabilitas edible film terhadap gas dan
uap air. Kebanyakan plasticizer bersifat sangat hidrofilik dan higroskopis
sehingga mengikat molekul air dan membentuk kompleks dinamik plasticizer -
air. Pada edible film yang terbuat dari polisakarida dan air, plasticizer
mengganggu ikatan hidrogen inter- dan intra-molekular, dan memperbesar jarak
antara molekul polimer (Krochta, 2002).
Molekul air dalam film juga berfungsi sebagai plasticizer. Air merupakan
plasticizer yang sangat baik, tetapi dapat dengan mudah hilang karena dehidrasi
pada RH relatif rendah. Oleh karena itu, penambahan plasticizer kimia yang
bersifat hidrofilik dapat menurunkan kehilangan air (Han dan Gennadios, 2005)
sehingga fungsi air sebagai plasticizer dapat dipertahankan.

12
Menurut Sothernvit dan Krochta (2001) ada dua tipe plasticizer, yaitu:
1. Bahan yang mampu membentuk banyak ikatan hidrogen dan berinteraksi
dengan polimer dengan cara mengganggu ikatan polimer-polimer serta
menciptakan jarak antara rantai polimer
2. Bahan yang mampu berinteraksi dengan air dalam jumlah besar untuk
mencegah kehilangan lebih banyak molekul air, sehingga menghasilkan kadar
air yang lebih tinggi dan radius hidrodinamik yang lebih besar.
Akan tetapi, karena air, biopolimer, dan plasticizer secara alami memiliki sifat
hidrofilik, dan karena banyaknya ikatan hidrogen di dalam strukturnya, sangatlah
sulit untuk memisahkan dua mekanisme tersebut. Sothernvit dan Krochta (2001)
menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor dari plasticizer yang digunakan
yang mempengaruhi efisiensi plastifikasi, termasuk ukuran/bentuk dari molekul
plasticizer, jumlah atom oksigen, jarak spasial dalam struktur plasticizer, dan
kapasitas mengikat air. Disamping efek dari ikatan hidrogen, gaya tolak menolak
di antara molekul yang bermuatan sama atau antara polimer polar-non polar dapat
memperbesar jarak antara polimer dan memberikan fungsi yang sama dari
plastifikasi pada kasus struktur film polimerik yang bermuatan. Dibandingkan
dengan film polimer yang netral, fleksibilitas film dari polimer bermuatan dapat
dipengaruhi lebih signifikan oleh pengaturan pH dan penambahan garam pada
tingkat aktivitas air yang sama (Han dan Gennadios, 2005).
Verrier (2005) mengemukakan beberapa teori untuk menjelaskan mekanisme
cara kerja plasticizer:
 Teori lubrifikasi: menyatakan bahwa plasticizer dengan menginsersikan
dirinya diantara dua ikatan polimer, akan menurunkan interaksi intermolekuler
(Gambar 6)
 Teori gel: menyatakan bahwa rigiditas suatu polimer disebabkan karena
struktur tridimensional. Plasticizer bekerja dengan melemahkan sejumlah besar
interaksi intermolekuler yang ada
 Teori volume bebas: menjelaskan bahwa plasticizer dapat meningkatkan
volume bebas yang memungkin pergerakan yang lebih leluasa elemen-elemen
dari struktur bahan

13
Gambar 6. Mekanisme plastifikasi tingkat molekuler (Trotignon et al, 1996)

Plasticizer yang umum digunakan dalam sistem film adalah monosakarida,


disakarida, atau oligosakarida (glukosa, fruktosa-glukosa sirup, sukrosa, madu),
poliols (gliserol, sorbitol, turunan gliseril, polietilen glikol), dan lipid serta
turunannya (fosfolipid, asam lemak, dan surfaktan). Pemilihan plasticizer
dilakukan berdasarkan kompatibilitas antara plasticizer dan substansi yang akan
diplastifikasi. Untuk film polisakarida (umumnya berbasis air), plasticizer paling
efektif adalah yang paling mendekati struktur polisakarida, sehingga plasticizer
hidrofilik yang memiliki gugus hidroksil adalah yang paling sesuai. Jumlah dan
posisi gugus hidroksil serta jumlah ikatan hidrogen yang dapat berikatan dengan
makromolekul mempengaruhi efisiensi plastifikasi. Plasticizer yang umum
digunakan dalam film polisakarida antara lain gliserol, sorbitol, xylitol, mannitol,
polietilen glikol (dengan bobot molekul 400-8000), etilen glikol, dan propilen
glikol. Secara umum plasticizer dibutuhkan sekitar 10-60% dari berat kering,
tergantung dari kekakuan polimer (Sothernvit dan Krochta, 2005). Penggunaan
beberapa plasticizer dapat menghambat pertumbuhan fungi (Lacroix dan Tien,
2005).

14
III. BAHAN DAN METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pektin citrus
komersial HM SS (high methoxyl slow set) yang diperoleh dari Cargill
Deutschland GmbH, dan kitosan DD 90,2% yang diperoleh dari Biotech Surindo,
Indonesia. Bahan kimia yang digunakan antara lain aquades, asam sitrat,
polietilen glikol (PEG) 400, dan HCl 0,1 N. Bahan-bahan yang digunakan untuk
uji aktivitas antimikroba, yaitu Nutrient Agar, Nutrient Broth, alkohol 70% dan
kultur uji yaitu Bacillus cereus dan Eschericia coli.
Peralatan yang digunakan antara lain neraca analitik, gelas piala, gelas ukur,
erlenmeyer, magnetic stirrer, sudip, pipet tetes, pipet mohr, labu takar, penyaring
vakum, cawan petri, pH meter, oven pengering, aluminium foil, kertas saring,
kaleng, mikropipet, ose, bunsen, tabung reaksi, heater, dan autoklaf. Sedangkan
peralatan analisis yang akan digunakan adalah chromameter, aw meter, tensile
strength elongation tester, micrometer, permeabilitas uap air dengan metode
gravimetri, Differential Scanning Calorimetry (DSC), X-Ray Diffraction (XRD),
dan FTIR Spectroscopy.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: (1) pembuatan edible film
komposit pektin/kitosan yang homogen, dan (2) karakterisasi edible film komposit
pektin/kitosan yang dihasilkan.

1. Pembuatan Edible Film


Larutan edible film komposit pektin kitosan dibuat dengan memodifikasi
metode pembentukan gel yang homogen oleh Hiorth et al. (2005). Sebanyak 1%
(b/v) pektin dilarutkan dalam aquades menggunakan magnetic stirrer selama
20-30 menit hingga larut sempurna. Dalam wadah yang terpisah, kitosan
dilarutkan dengan cara yang sama ke dalam asam sitrat 1%.
Larutan pektin dan kitosan yang telah disiapkan dicampur dalam 75 ml HCl
0,1 N pada perbandingan berat pektin dan kitosan tertentu. Berat total padatan

15
adalah 1,5 gram dengan volume total pelarut 150 ml (1% dari total pelarut), tidak
termasuk volume HCl 0,1 N yang digunakan. Khusus untuk film yang akan
diplastifikasi, ke dalam larutan kemudian ditambahkan 10% PEG 400 yang
berfungsi sebagai plasticizer. Pengadukan dilakukan dengan menggunakan
magnetic stirrer saat pencampuran dilakukan dan diteruskan selama 15 menit
setelah penambahan PEG hingga terbentuk campuran yang homogen. Formulasi
pembuatan edible film dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan bobot pektin/kitosan dalam formulasi


Perbandingan Bobot
Formula PEG
Pektin Kitosan
F1 100 0 -
F2 75 25 -
F3 50 50 -
F4 25 75 -
F5 0 100 -
F1P 100 0 10%
F2P 75 25 10%
F3P 50 50 10%
F4P 25 75 10%
F5P 0 100 10%

1.1 Pengukuran Nilai pH Larutan


Larutan komposit pektin/kitosan yang dihasilkan kemudian diukur derajat
keasamannya menggunakan pH-meter. Sebelum pengukuran, pH-meter harus
distandarisasi dengan menggunakan buffer standar pH 4 dan pH 7. Pengukuran
dilakukan dengan cara elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan
kertas tisue. Sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml kemudian elektroda
dicelupkan hingga tenggelam pada larutan sampel dan dibiarkan kurang lebih
selama satu menit hingga diperoleh angka yang stabil lalu nilai dicatat.

Larutan komposit pektin/kitosan kemudian disaring dengan pompa vakum


dan dicasting dalam cawan petri berdiameter 20 cm, lalu dikeringkan dalam oven
bersuhu 50oC selama kurang lebih 2x24 jam hingga terbentuk edible film. Edible
film yang terbentuk dikondisikan dalam desikator berisi larutan NaCl jenuh
sebelum dikarakterisasi. Diagram pembuatan edible film dari komposit pektin dan
kitosan dapat dilihat pada Gambar 7.

16
2. Karakterisasi Film Komposit Pektin/Kitosan
Edible film yang telah dikondisikan selanjutnya dikarakterisasi sifat
fisikokimia, sifat mekanis, dan sifat termal, pengamatan mikrostruktur, serta
dilakukan pengukuran kapasitas antimikroba.

Kitosan Pektin

Dilarutkan dalam asam sitrat Dilarutkan dalam


1% aquades

Blending + Homogenisasi

A
+ PEG 10% dari total
padatan* B

Casting dalam cawan Petri

Pengeringan

Output film:
A = Film kitosan murni
B = Film pektin murni
C = pectin/chit blends (w/w):
25/75; 50/50; 75/25

w/w):

Conditioning

*hanya untuk film yang akan diplastifikasi

Gambar 7. Diagram pembuatan edible film dari komposit pektin dan kitosan

17
2.1 Pengukuran Warna dengan Chromameter
Pengukuran warna dilakukan menggunakan Chromameter CR 300
Minolta. Sampel edible film ditempatkan pada alas putih. Pengukuran
menghasilkan nilai L, a, dan b. L menyatakan parameter kecerahan (warna
akromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Sedangkan a dan b adalah
koordinat-koordinat chroma. Parameter a adalah cahaya pantul yang
menghasilkan warna kromatik campuran merah - hijau dengan nilai +a
(positif a) dari nol sampai 100 (merah) dan nilai -a (negatif a) dari nol
sampai 80 (hijau). Parameter b adalah warna kromatik campuran biru -
kuning dengan nilai +b (positif b) dari nol sampai 70 (kuning) dan nilai -b
(negatif b) dari nol sampai 70 (biru).

2.2 Pengukuran Aktivitas Air (aw)


Pengukuran aktivitas air dilakukan dengan menggunakan aw-meter
Shibaura WA-360. Sebelum dilakukan pengukuran, terlebih dahulu alat
dikalibrasi dengan menggunakan larutan garam jenuh NaCl. Pencatatan
dilakukan terhadap nilai aw.

Gambar 8. Pengukuran nilai aw Edible film

2.3 Pengukuran Ketebalan


Film yang dihasilkan diukur ketebalannya dengan menggunakan
pengukur ketebalan mikrometer dengan nilai ketelitian 0,001 mm pada tiga
titik berbeda. Nilai ketebalan ditentukan dari rata-rata tiga nilai
pengukuran ketebalan film.

18
2.4 Pengukuran Kuat Tarik dan Persentase Pemanjangan
Kuat tarik dan persentase pemanjangan diukur dengan menggunakan
Tensile Strength and Elongation Tester Industries model SSB 0500. Kuat
tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum pada saat film pecah dan
persentase pemanjangan didasarkan atas pemanjangan film saat film
pecah.
Kuat tarik (MPa) = F/A
Keterangan: F = gaya kuat tarik (N) ; A = luas bidang gaya (mm2)
b−a
% Elongasi = × 100%
a
Keterangan: a: panjang awal
b: panjang setelah putus

Gambar 9. Pengukuran kuat tarik dan persentase pemanjangan edible film

2.5 Laju Transmisi Uap Air Metode Gravimetri


Laju transmisi uap air terhadap film diukur dengan menggunakan
metode gravimetri. Bahan penyerap uap air (CaCl2) diletakkan dalam
kaleng. Kemudian sampel berukuran 3x3 cm diletakkan di atas kaleng
tersebut dengan metode jendela menggunakan aluminium foil sedemikian
rupa sehingga menutupi kaleng tersebut. Tutup dengan parafin untuk
menutupi bagian antara wadah dengan aluminium foil sehingga tidak ada
udara masuk.
Cawan ditimbang dengan ketelitian 0.0001 g kemudian diletakkan
dalam lemari kaca yang RH ruangannya terukur menggunakan RH-meter.
Cawan ditimbang tiap hari pada jam yang sama dan ditentukan

19
pertambahan berat dari cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara
pertambahan berat dan waktu. Nilai WVTR dihitung dengan rumus:
WVTR = slope / luas sampel (m2)
= g/m2/24 jam (90% RH, 30oC)
k/x = WVTR / [(P2-P1) x RH ruangan]
P2 : tekanan uap air jenuh di luar kaleng (mm Hg)
P1 : tekanan uap air jenuh di dalam kaleng (mm Hg)

a b

Gambar 10. Pengukuran laju transmisi uap air metode gravimetri:


(a) kontrol dan (b) edible film

2.6 Analisis dengan Differential Scanning Calorimeter (DSC)


Sifat-sifat termal film komposit pektin/kitosan dianalisis dengan DSC
(M-DSC 2920, TA Instruments, USA) untuk menentukan suhu transisi
gelas (Tg) dan titik leleh bahan (Tm). Sebanyak 7-10 mg bahan diletakkan
pada cawan aluminium DSC dengan menggunakan cawan DSC kosong
sebagai pembanding. Scanning dilakukan dengan kecepatan peningkatan
panas diatur 10°C/menit.

2.7 Analisis dengan X-Ray Diffraction (XRD)


Pola difraksi sinar-X film komposit pektin/kitosan dianalisis dengan
Rigaku X-ray diffractometer (Rigaku D/maks 2500v/pc) pada kondisi
operasi 40kV dan 200 mA. Sebelum dianalisis, film terlebih dahulu
dikeringkan secara alami pada suhu ruang.

20
2.8 Analisis dengan FTIR Spectroscopy
Analisis dengan FTIR spectroscopy digunakan untuk melihat ada
tidaknya interaksi spesifik pektin dan kitosan dalam campuran. Analisis
dengan spectroskop FTIR dilakukan dengan pellet KBr dengan
menambahkan 1 mg film dalam bentuk tepung halus ke dalam 200 mg
KBr. Spektra FTIR untuk setiap sampel direkam pada suhu kamar dalam
selang 400-4000 cm-1, dengan menggunakan 100 scan dan resolusi 4 cm-1.

2.9 Pengujian Aktivitas Antimikroba (Pranoto et al., 2005)


Pengujian aktivitas antimikroba edible film dilakukan dengan metode
cakram (Pranoto et al., 2005).
a) Persiapan kultur uji
Kultur uji disiapkan terlebih dahulu dengan menginokulasikan satu ose
kultur murni dari agar miring Nutrient Agar (NA) ke dalam 10 ml medium
cair Nutrient Broth (NB) secara aseptik. Kultur uji kemudian diinkubasi
37oC selama 24 jam. Kultur uji yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Bacillus cereus dan Eschericia coli. Diagram alir persiapan kultur
uji dapat dilihat pada Gambar 11.

Kultur murni
bakteri
Diinokulasikan ke dalam 10 ml Nutrient
Broth
Diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24
jam
Kultur uji

Gambar 11. Diagram alir persiapan kultur uji

b) Pengujian aktivitas antimikroba dengan metode cakram


Pengujian aktivitas antimikroba film komposit pektin/kitosan dapat
diukur dengan menggunakan metode cakram. Kultur uji diinokulasikan
sebanyak 0,2 ml ke dalam media NA 100 ml sehingga diperoleh
konsentrasi 0,2% yang telah siap dituang ke cawan petri steril. Selanjutnya
20 ml media NA yang telah berisi kultur uji dituangkan ke cawan petri.

21
Media agar dibiarkan membeku, kemudian film yang berdiameter 1 cm
diletakkan di atas media yang berisi kultur uji tersebut. Media yang telah
diletakkan film kemudian disimpan pada inkubator 37oC selama 24 jam.
Setelah diinkubasi, akan terlihat zona penghambatan yang diperlihatkan
dengan daerah bening di sekitar film yang telah ditempelkan di atas media.
Diagram alir metode cakram dalam pengujian aktivitas antimikroba film
komposit pektin/kitosan dapat dilihat pada Gambar 12.

Kultur
uji
Dibuat potongan film
Diinokulasikan 0,2% ke biokomposit
dalam 20 ml NB pektin/kitosan dengan
diameter 1 cm

Dituang ke dalam petri


dan dibiarkan membeku Ditempelkan potongan film
(D = 1 cm) ke dalam cawan

Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24


jam

Diukur diameter penghambatan (mm)

Gambar 12. Diagram alir metode cakram

3. Rancangan Percobaan dan Analisis Data


Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan
acak lengkap faktorial dengan dua faktor. Perlakuan yang diterapkan berturut-
turut adalah penggunaan plasticizer PEG (dengan dan tanpa PEG) dan formulasi
perbandingan pektin/kitosan (100:0, 75:25, 50:50, 25:75, dan 0:100). Rancangan

22
ini digunakan untuk uji statistika terhadap analisis nilai pH, warna, aw, ketebalan,
kuat tarik, persentase pemanjangan, nilai WVTR, dan diameter penghambatan
terhadap Escherichia coli dan Bacillus cereus. Model rancangan percobaan yang
digunakan yaitu:
Yijk=μ+αi+βj+(αβ)ij+εijk
Dimana:
Yijk = Respon yang ditimbulkan pengaruh bersama oleh faktor ke-i (i =1, 2)
faktor penggunaan plasticizer PEG, dan faktor ke-j (j=1, 2, 3, 4, 5)
faktor formulasi perbandingan pektin/kitosan
μ = Nilai tengah (rata-rata) dari seluruh nilai pengamatan
α1 = Pengaruh yang ditimbulkan oleh faktor penggunaan plasticizer PEG
βj = Pengaruh yang ditimbulkan oleh faktor formulasi perbandingan
pektin/kitosan
(αβ)ij = Pengaruh yang ditimbulkan oleh interaksi interaksi antara α1 dan βj
εijk = Pengaruh kesalahan percobaan

Apabila perlakuan berbeda nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan
pada taraf 5% untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata antar perlakuan.
Analisis ini dilakukan menggunakan software SPSS 15.0.

23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PEMBUATAN EDIBLE FILM

Larutan edible film komposit pektin kitosan dibuat dengan memodifikasi


metode pembentukan gel yang homogen oleh Hiorth et al. (2005). Film dibuat
dengan solution casting method dari campuran larutan kedua polimer yang telah
disiapkan terlebih dahulu. Pektin dilarutkan dalam aquades hingga larut
sempurna, artinya tidak ada pektin yang masih menggumpal, sedangkan kitosan
dilarutkan dalam asam sitrat 1%. Kitosan tidak larut dalam air, larut pada hampir
semua larutan asam organik pada pH sekitar 4,0 tapi tidak larut pada pH lebih
besar. Salah satu pelarut yang dapat digunakan adalah asam organik lemah seperti
asam asetat 10% dan asam sitrat 10% (Sugita et al., 2009). Dalam penelitian ini,
asam sitrat dipilih sebagai pelarut kitosan karena asam sitrat lebih cocok
digunakan untuk aplikasi film terhadap buah.
Proses pembuatan film komposit pektin kitosan sangat dipengaruhi oleh nilai
pH. Kombinasi pektin dan kitosan membentuk polielektrolit kompleks (PEC)
pada kisaran nilai pH 3-6. Selain melalui pembentukan PEC, pada pH rendah
(pH<2) pektin dan kitosan juga berinteraksi melalui ikatan hidrogen. Pada pH ini,
pektin hampir tidak bermuatan dan interaksi elektrosatik ditekan, sehingga
interaksi antara pektin dan kitosan akan mungkin terjadi melalui ikatan hidrogen
(Nordby et al., 2003). Ghaffari et al. (2007) merepresentasikan reaksi
pembentukan PEC antara pektin (P - COOH) dan kitosan (C - NH2) secara
skematik sebagai berikut:
P - COOH + C - NH3+ ⇄ P - COO-+NH3 - C + H+
Pada penelitian ini, pencampuran pektin dan kitosan tanpa penambahan HCl
membentuk PEC berupa agregat (gumpalan) dan menyebabkan film menjadi tidak
homogen. Hal ini dikarenakan pembentukan PEC yang sangat kuat antara pektin
dan kitosan sehingga menyebabkan air keluar dari struktur gel membentuk
gumpalan. Oleh karena itu, dalam proses pencampuran digunakan HCl 0,1 N
untuk menurunkan nilai pH sehingga mengurangi interaksi antara molekul pektin
dan kitosan agar edible film yang dihasilkan homogen. HCl sebagai bahan
tambahan pangan pengasam diizinkan dan diatur dalam CODEX General

24
Standards for Food Additives. Hasil pengukuran nilai pH larutan komposit
pektin/kitosan dapat dilihat pada Gambar 13.

4.00
3.50
3.00
2.50
pH

2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100
PEG 3.36 2.03 2.14 2.24 3.00
Tanpa PEG 3.32 2.02 2.13 2.23 2.96

Formulasi (Pektin : Kitosan)

Gambar 13. Grafik nilai pH larutan komposit pektin/kitosan

Larutan komposit pektin/kitosan memiliki nilai pH yang berada pada kisaran


2,02 - 3,36. Penambahan plasticizer PEG ke dalam larutan tidak menyebabkan
perubahan nilai pH yang signifikan. Berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf α
= 5% terhadap nilai pH (Lampiran 1), terdapat perbedaan yang signifikan dalam
setiap formulasi larutan. Larutan pektin atau kitosan murni memiliki pH yang
lebih tinggi dibandingkan larutan kompositnya karena dalam pembuatan larutan
komposit pektin/kitosan digunakan HCl 0,1 N untuk menurunkan pH agar dapat
melarutkan PEC. Jumlah HCL 0,1 N yang digunakan untuk setiap larutan
komposit adalah sama.
Pada grafik terlihat adanya peningkatan nilai pH seiring dengan peningkatan
jumlah kitosan dalam larutan komposit. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan
oleh Chen et al. (2007) bahwa kitosan dalam larutan berperan sebagai reagen
dasar dan menetralisasi proton yang dilepaskan oleh asam. Proses netralisasi ini
juga menyebabkan kitosan larut dalam fase aquaeous karena gugus amina kitosan
terionisasi oleh proton menjadi bermuatan positif.
PEG ditambahkan ke dalam larutan edible film sebagai plasticizer.
Penambahan plasticizer bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas atau plastisitas
dari polimer. Beberapa studi terhadap plastifikasi film kitosan menunjukkan

25
bahwa PEG dapat memperbaiki elastisitas film. Suyatma et al. (2005)
menyebutkan bahwa PEG memiliki efisiensi dan stabilitas plastifikasi yang lebih
baik terhadap kitosan dibanding beberapa plasticizer lainnya. Selain berfungsi
sebagai plasticizer, PEG juga dapat berfungsi sebagai antifoaming yang
diperlukan untuk mencegah pembentukan busa akibat pengadukan saat proses
pembuatan edible film.
Pengadukan terus dipertahankan agar interaksi antara pektin/kitosan dengan
pelarutnya dan PEG dapat berjalan dengan baik. Penyaringan dengan kertas saring
dilakukan karena pektin yang digunakan adalah pektin teknis, sehingga masih ada
pengotor yang tidak ikut terlarut dalam aquades. Pengotor tersebut dapat
merupakan bagian tanaman tidak berpektin (pectin-less plant raw material) yang
ikut terbawa saat proses ektraksi pektin.
Pengeringan dilakukan pada suhu 50oC selama kurang lebih 2x24 jam, pada
suhu dan waktu tersebut tidak terjadi reaksi pencoklatan yang berlebihan dari
edible film yang dikeringkan. Suhu yang digunakan untuk pengeringan akan
sangat berpengaruh terhadap kecepatan pembentukan film dan penguapan bahan
pelarut. Jika suhu terlalu tinggi akan mengakibatkan film menjadi sangat tipis,
kering, dan mudah retak, karena proses pengeringan berjalan lebih cepat
dibandingkan proses pembentukan film. Jika suhu terlalu rendah akan
mengakibatkan lamanya proses pengeringan larutan sehingga mudah terjadi
kontaminasi dan proses tidak efisien (Sumarto, 2008).

Gambar 14. Proses pelepasan film yang telah terbentuk dari cawan
Karena edible film yang dihasilkan memiliki karakter hidrofilik, maka film
dikondisikan pada RH 75% (di dalam desikator berisi larutan NaCl jenuh)
sebelum dianalisis untuk mengevaluasi karakteristik film pada lingkungan dengan

26
kelembaban tinggi. Meskipun RH mendekati 50% lebih sering digunakan, namun
RH 75% juga banyak digunakan (Veiga-Santos et al., 2005). RH lingkungan
terbuka terlalu tinggi untuk penyimpanan dalam jangka waktu yang dibutuhkan
selama analisis.

B. KARAKTERISASI FILM KOMPOSIT PEKTIN/KITOSAN

1. Pengukuran Warna dengan Chromameter


Pengukuran intensitas warna edible film dilakukan dengan Chromameter
Minolta CR-310. Alat ini menggunakan sistem Hunter Lab.

100.0

80.0

60.0
L value

40.0

20.0

0.0
100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100
PEG 86.7 88.2 86.3 83.6 84.8
Tanpa PEG 85.4 84.4 84.3 84.3 84.6
Formulasi (Pektin : Kitosan)

Gambar 15. Grafik pengukuran nilai L edible film komposit pektin/kitosan

L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam dan 100:


putih). Semakin tinggi nilai L yang terukur, maka semakin cerah warna aktual
yang terlihat. Nilai L dari edible film yang tidak diplastifikasi (tanpa PEG)
berkisar antara 84,3 - 85,4, sedangkan nilai L yang diplastifikasi (PEG) berkisar
antara 83,6 - 88,2. Analisis sidik ragam menggunakan SPSS 15.0 terhadap nilai L
pada taraf α = 5% (Lampiran 2), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara film yang diplastifikasi dengan film yang tidak diplastifikasi,
yaitu film dengan penambahan PEG cenderung memiliki tingkat kecerahan yang
lebih tinggi dibanding film tanpa PEG. Namun secara subjektif, tidak terlihat
perbedaan tingkat kecerahan yang signifikan dari kedua kelompok film.

27
Pada kedua kelompok film, teramati bahwa jumlah kitosan berbanding
terbalik dengan tingkat kecerahan film, semakin besar kitosan yang digunakan
dalam formulasi maka tingkat kecerahan film akan semakin menurun. Film yang
terbuat dari pektin murni lebih cerah dibandingkan dengan film yang dibuat
dengan kitosan murni. Oleh karena itu, film komposit pektin/kitosan dengan
jumlah pektin lebih banyak memiliki tingkat kecerahan yang lebih tinggi.
Kecerahan merupakan salah satu parameter kualitas kemasan edible yang
penting. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa edible film komposit
pektin/kitosan yang dihasilkan memiliki tingkat kecerahan yang cukup tinggi.
Nilai a dan b merupakan koordinat-koordinat chroma. Parameter a adalah
cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah - hijau dengan
nilai +a (positif a) dari nol sampai 100 (merah) dan nilai -a (negatif a) dari nol
sampai 80 (hijau). Parameter b adalah warna kromatik campuran biru - kuning
dengan nilai +b (positif b) dari nol sampai 70 (kuning) dan nilai -b (negatif b) dari
nol sampai 70 (biru). Hasil pengukuran nilai a dan b edible film komposit
pektin/kitosan dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17.

1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
a value

0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100
PEG 1.0 0.1 0.2 0.4 -0.3
Tanpa PEG 0.5 -0.3 -0.2 -0.1 -0.6

Formulasi (Pektin : Kitosan)

Gambar 16. Grafik pengukuran nilai a edible film komposit pektin/kitosan

Penambahan PEG dalam pembentukan film memperbesar nilai a, artinya


penambahan PEG menyebabkan peningkatan intensitas warna merah edible film
yang dihasilkan. Analisis sidik ragam pada taraf α = 5% terhadap nilai a
(Lampiran 3), mengindikasikan adanya perbedaan yang signifikan untuk setiap

28
formulasi. Film pektin murni memiliki nilai a positif yang menunjukkan warna
cenderung merah, sedangkan film kitosan murni memiliki nilai a negatif yang
menunjukkan warna cenderung hijau. Namun pada film komposit, jumlah kitosan
dalam film berbanding lurus dengan nilai a.

10.0
8.0
6.0
b value

4.0
2.0
0.0
-2.0
-4.0
100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100
PEG -1.8 2.3 2.9 7.0 3.5
Tanpa PEG -1.2 2.2 3.2 3.7 3.8

Formulasi (Pektin : Kitosan)

Gambar 17. Grafik pengukuran nilai b edible film komposit pektin/kitosan

Hasil analisis sidik ragam menggunakan SPSS 15.0 terhadap nilai b pada
taraf α = 5% (Lampiran 4), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan terhadap warna edible film komposit pektin/kitosan. Semakin besar
jumlah kitosan yang digunakan, maka semakin besar nilai b, artinya warna film
cenderung semakin kuning. Hal ini disebabkan karena sifat alami kitosan yang
berwarna kekuningan. Hasil analisis sidik ragam juga menunjukkan bahwa
penggunaan PEG tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap nilai b
edible film.
Faktor utama yang mempengaruhi pembentukan warna (L, a, dan b) edible
film komposit pektin/kitosan adalah formulasi film dan penggunaan plasticizer,
sedangkan pada film pektin atau kitosan murni, warna film dipengaruhi oleh sifat
alami bahan dan penggunaan plasticizer. Perbedaan warna yang terjadi antara film
komposit dengan film pektin atau kitosan murni terutama disebabkan karena
adanya interaksi antara pektin dan kitosan yang melibatkan asam pada film
komposit.

29
2. Pengukuran Aktivitas Air (aw)
Aktivitas air (aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Air bebas merupakan air yang secara
fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, dan serat. Air tipe
ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan
reaksi-reaksi kimiawi (Winarno, 1997).
Nilai aw sangat menentukan kualitas edible film yang akan digunakan sebagai
bahan pengemas primer. Jika edible film yang dihasilkan mempunyai nilai aw
yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak makanan, maka
film tersebut mempunyai potensi yang besar untuk melindungi makanan
(Sumarto, 2008). Tabel 3 menunjukkan masalah penurunan kualitas yang
berkaitan dengan perubahan nilai aw.

Tabel 3. Penurunan kualitas yang berkaitan dengan aw (Pavlath dan Orts, 2009)
aw Masalah Penurunan Kualitas
0,2 Pencoklatan non enzimatis
0,4 Kehilangan kerenyahan
0,6 Pertumbuhan kapang
0,7 Pertumbuhan khamir
0,8 Pertumbuhan bakteri

Hasil pengukuran nilai aw edible film yang dihasilkan dapat dilihat pada
Gambar 18. Nilai aktivitas air film yang diplastifikasi berkisar antara 0,63 - 0,68,
sedangkan untuk film yang tidak diplastifikasi berkisar antara 0,65 - 0,70.
Menurut Winarno (1997) aw minimum yang dibutuhkan oleh pertumbuhan kapang
adalah 0,60 - 0,70, khamir 0,80 - 0,90, dan bakteri 0,90. Berdasarkan nilai aw yang
diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa edible film tersebut aman dari
pertumbuhan mikroba, terutama bakteri dan khamir.
Dari grafik dapat dilihat bahwa penambahan PEG menyebabkan menurunnya
aktivitas air dalam film. Analisis sidik ragam terhadap nilai aw pada taraf α = 0,5%
(Lampiran 5), menunjukkan adanya perbedaan nyata antara film yang
diplastifikasi dengan film yang tidak diplastifikasi. PEG dapat menurunkan aw
karena bersifat sebagai humektan (mengikat air) sehingga air bebas dalam film

30
menurun. Farhat et al. (2002) juga menyebutkan bahwa PEG memiliki tekanan
uap rendah yang mengakibatkan penurunan aw.

0.72
0.70
0.68
0.66
aw

0.64
0.62
0.60
0.58
100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100
PEG 0.68 0.63 0.66 0.67 0.65
Tanpa PEG 0.70 0.65 0.68 0.69 0.67

Formulasi (Pektin : Kitosan)

Gambar 18. Grafik pengukuran aw edible film

3. Pengukuran Ketebalan Film


Ketebalan film dipengaruhi oleh banyaknya total padatan dalam larutan, luas
cetakan, dan tinggi (volume) larutan saat pencetakan (Park et al., 1992). Dengan
cetakan yang sama, film yang terbentuk dapat berbeda ketebalannya apabila
volume yang dituangkan berbeda. Semakin besar volume, semakin tebal film yang
dihasilkan. Demikian juga dengan total padatan, semakin banyak total padatan
maka film akan semakin tebal. Total padatan dalam semua larutan edible film
yang dibuat dalam penelitian ini sama, yaitu 1% dari volume pelarut, dan volume
larutan yang dicetak adalah keseluruhan dari satu formulasi. Ketebalan juga
mempengaruhi sifat barrier dan sifat mekanik film.
Ketebalan edible film yang diplastifikasi berkisar antara 58,9 - 118,3 µm,
sedangkan ketebalan film yang tidak diplastifikasi berkisar antara 41,7 - 95,6 µm.
Grafik hasil pengukuran ketebalan film dapat dilihat pada Gambar 19. Analisis
sidik ragam terhadap ketebalan film pada taraf α = 5% (Lampiran 6),
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara film PEG dengan film
tanpa PEG. Penggunaan PEG menambah jumlah padatan dan meningkatkan

31
volume dalam film sehingga film yang terbentuk lebih tebal dibandingkan dengan
film tanpa PEG.
Formulasi film juga memberikan perbedaan yang signifikan terhadap
ketebalan film. Semakin banyak kitosan yang digunakan, semakin tebal film yang
dihasilkan. Hal ini dapat dijelaskan dengan perbedaan berat molekul dari pektin
dan kitosan yang digunakan. Berat molekul rata-rata pektin berkisar antara 50 -
150 kDa (Sriamornsak, 2003), lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata
berat molekul kitosan yang berkisar antara 100 – 500 kDa (Kumar, 1999). Oleh
karena itu, film dengan konsentrasi kitosan yang lebih tinggi memiliki ketebalan
yang lebih tinggi pula.

160.0
140.0
120.0
Ketebalan (µm)

100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100
PEG 58.9 66.1 84.4 92.8 118.3
Tanpa PEG 41.7 56.1 62.2 79.4 95.6

Formulasi (Pektin : Kitosan)

Gambar 19. Grafik pengukuran ketebalan edible film

4. Pengukuran Kuat Tarik dan Persentase Pemanjangan


Kuat tarik (tensile strength) merupakan gaya tarik maksimum yang dapat
ditahan oleh sebuah film hingga terputus. Kuat tarik merupakan parameter penting
bagi sebuah edible film. Kuat tarik yang kecil mengindikasikan bahwa film yang
bersangkutan tidak dapat dijadikan kemasan karena karakter fisiknya kurang kuat
dan tidak dapat dicetak untuk kemasan rigid (Astuti, 2008).
Nilai kuat tarik film PEG berkisar antara 10,6 - 34,8 MPa, dan nilai kuat tarik
film tanpa PEG berkisar antara 5,3 - 35,4 MPa. Gambar 20 menunjukkan grafik
pengukuran nilai kuat tarik film. Dari grafik terlihat bahwa pada film pektin atau

32
kitosan murni, penambahan PEG menyebabkan penurunan nilai kuat tarik, sesuai
dengan sifat umum penggunaan plasticizer. Pada film komposit, efek penggunaan
plasticizer terhadap nilai kuat tarik film tidak terlihat, sebaliknya terjadi
peningkatan nilai kuat tarik. Efek yang berkebalikan dari penggunaan plasticizer
ini dikenal dengan fenomena antiplastifikasi. Interaksi yang kuat antara polimer
dan plasticizer dalam jumlah kecil menghasilkan efek ikatan silang (Suyatma et
al., 2005), yang memungkinkan terjadinya peningkatan distribusi kuat tarik dalam
film. Perbedaan efek plastifikasi terhadap nilai kuat tarik antara film murni
dengan film komposit juga ditemui oleh García et al. (2009) yang melakukan
plastifikasi pada film komposit kitosan/metil selulosa dengan gliserol.

45.0
40.0
Tensile Strenght (MPa)

35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100
PEG 26.7 24.1 12.0 10.6 34.8
Tanpa PEG 32.0 21.2 10.9 5.3 35.4

Formulasi (Pektin : Kitosan)

Gambar 20. Grafik pengukuran nilai kuat tarik edible film

Analisis sidik ragam terhadap nilai kuat tarik pada taraf α = 5% menggunakan
SPSS 15.0 (Lampiran 7) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara
formulasi. Film pektin atau kitosan murni memiliki nilai kuat tarik yang lebih
besar dibandingkan film komposit pektin/kitosan. Hal ini sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Kim et al. (2006) bahwa keberadaan counter ion (pektin negatif
sedangkan kitosan positif) dapat mengurangi kekuatan film yang dihasilkan.
Semakin besar kitosan dalam film komposit, semakin menurun nilai kuat tarik.
Hal ini menunjukkan bahwa kitosan memiliki adhesi interfasial yang rendah
terhadap matriks komposit sehingga menurunkan distribusi kuat tarik dalam film

33
komposit pektin/kitosan, atau dapat pula berkaitan dengan efektivitas PEG
sebagai plasticizer.
Krochta dan Johnston (1997) melaporkan bahwa kisaran nilai kuat tarik yang
dapat diaplikasikan untuk edible film yang standar antara 10 – 100 MPa. Dengan
demikian, meskipun terjadi penurunan nilai kuat tarik dalam film komposit
pektin/kitosan, film yang dihasilkan tersebut masih sesuai untuk diaplikasikan
sebagai edible film karena nilai kuat tariknya masih berada pada kisaran tersebut.
Pengukuran kuat tarik film biasanya diikuti dengan pengukuran persen
pemanjangan (elongasi). Persen pemanjangan merupakan perubahan panjang
maksimum sebelum edible film terputus (Sumarto, 2008). Persen pemanjangan
mempresentasikan kemampuan film untuk meregang secara maksimum. Persen
pemanjangan edible film yang diplastifikasi berkisar antara 29,1 - 97,9%, dan
pada film yang tidak diplastifikasi persen pemanjangan berkisar antara 28,3 -
60,3%. Grafik hasil pengukuran persen pemanjangan film dapat dilihat pada
Gambar 21.

100.0

80.0
% Elongasi

60.0

40.0

20.0

0.0
100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100
PEG 51.7 29.1 54.9 60.8 97.9
Tanpa PEG 30.9 28.3 53.1 52.3 60.3
Formulasi (Pektin : Kitosan)

Gambar 21. Grafik pengukuran persentase pemanjangan film

Analisis sidik ragam terhadap persentase pemanjangan pada taraf α = 5%


(Lampiran 8) menunjukkan perbedaan yang signifikan akibat penggunaan
plasticizer dan formulasi film. Film yang diplastifikasi dengan PEG memiliki
persen pemanjangan yang lebih besar dari film yang tidak diplastifikasi.
Plasticizer meningkatkan fleksibilitas film dengan mengurangi derajat ikatan

34
hidrogen dan meningkatkan jarak intermolekular dari polimer (Lee dan Wan,
2006).
Persen pemanjangan film berbanding lurus dengan jumlah kitosan. Semakin
besar jumlah kitosan dalam film, semakin besar pula persen pemanjangan. Hal ini
menunjukkan bahwa plasticizer yang digunakan, yaitu PEG 400, lebih sesuai atau
efektif terhadap kitosan dibandingkan terhadap pektin. Efektivitas plasticizer ini
juga terlihat dari nilai kuat tarik film komposit yang semakin rendah seiring
dengan peningkatan jumlah kitosan. Krochta dan Johnston (1997) melaporkan
karakteristik edible film standar mempunyai persen pemanjangan 10 - 50%.
Edible film komposit pektin/kitosan yang dihasilkan memiliki persentase
pemanjangan yang mendekati kisaran tersebut.
Penggunaan plasticizer cenderung menurunkan nilai kuat tarik dan
meningkatkan persen pemanjangan karena plasticizer dapat mengurangi gaya
antar molekul, dan meningkatkan mobilitas rantai biopolymer (McHugh dan
Krochta, 1994). Plasticizer mengganggu ikatan rantai dan menurunkan rigiditas
sehingga menghasilkan struktur film yang tidak teratur.
Kondisi lingkungan saat produksi, penyimpanan, dan penggunaan bahan
mempengaruhi sifat mekanis film. Fenomena ageing juga menyebabkan
penurunan sifat mekanis, terutama persentase pemanjangan film (García et al.,
2009). Edible film memiliki nilai kuat tarik yang lebih rendah daripada plastik
(PET, PVC, polistiren, dan poliamide), sedangkan persen pemanjangannya sangat
bervariasi. Beberapa edible film memiliki persen pemanjangan yang dapat
dibandingkan dengan plastik pada umumnya. Pada kondisi RH yang tinggi,
kekuatan fisik film lebih rendah dibanding pada kondisi RH rendah karena uap air
yang diserap berfungsi sebagai plasticizer. Suhu juga merupakan variabel penting
yang mempengaruhi sifat fisik dan mekanis edible film. Kekuatan fisik bahan
menurun secara dramatis ketika suhu meningkat di atas suhu transisi gelas (Han
dan Gennadios, 2005).

5. Laju Transmisi Uap Air Metode Gravimetri


Permeabilitas merupakan sifat dari materi yang mengkuantifikasi kemudahan
relatif sebuah substansi untuk melewati materi tersebut. Dalam industri pangan,

35
permeabilitas kemasan terhadap transport substansi seperti uap air dan oksigen
sangat penting dalam mendesain kemasan yang mampu menjaga kualitas
makanan (Figura dan Teixeira, 2007).
Salah satu karakteristik penting dari edible film adalah permeabilitasnya
terhadap uap air. Menurut McHugh dan Krochta (1994), permeabilitas uap air
adalah ukuran kemudahan sebuah materi dapat dipenetrasi oleh uap air.
Permeabilitas berbeda dengan transport melewati pori-pori bahan. Permeabilitas
terdiri dari proses pelarutan dan difusi dimana uap air larut pada salah satu sisi
film dan kemudian berdifusi melewati sisi lain film.
Kondisi lingkungan saat pembuatan film dapat mempengaruhi sifat barrier
film yang dihasilkan. Suhu yang terlalu tinggi saat pengeringan film dapat
menyebabkan molekul polimer terimobilisasi sebelum molekul sempat bergabung
membentuk film yang kontinu dan koheren, memungkinkan cacat pada film
seperti lubang atau ketebalan film yang tidak rata, yang dapat meningkatkan
permeabilitas terhadap uap air (Rhim dan Shellhammer, 2005). Sifat barrier dari
edible film juga dipengaruhi secara signifikan oleh komposisi film dan keadaan
lingkungan (RH dan suhu). Plasticizer dalam edible film menurunkan suhu
transisi gelas sehingga meningkatkan permeabilitas film. Pada RH tinggi kadar air
film meningkat dan film terplastifikasi, mobilitas rantai polimer meningkat dan
menyebabkan peningkatan permeabilitas. Peningkatan suhu menyediakan energi
lebih besar untuk migrasi substansi dan meningkatkan permeabilitas (Gambar 22)
(Han dan Gennadios, 2005).

Gambar 22. Efek perubahan fase pada transfer massa (Han dan Gennadios, 2005)

36
Hasil perhitungan laju transmisi uap air (WVTR) edible film dapat dilihat
pada Gambar 23. Karena sifat alami polisakarida yang hidrofilik, film berbasis
polisakarida memiliki kemampuan barrier terhadap uap air yang terbatas. WVTR
film PEG berkisar antara 55,8 - 442,7 g/m²/24 jam, sedangkan film tanpa PEG
memiliki nilai WVTR yang berkisar antara 27,9 - 276,9 g/m²/24 jam. Seperti yang
telah djelaskan di atas, penggunaan plasticizer meningkatkan permeabilitas film
terhadap uap air, terlihat dari nilai WVTR film PEG yang lebih besar dibanding
film tanpa PEG. Hal ini dikarenakan adanya modifikasi struktural dalam jaringan
film yang dihasilkan oleh plasticizer dan karena sifat hidrofilik dari PEG, yang
mempermudah absorpsi molekul air sehingga meningkatkan permeabilitas.

500.00
450.00
WVTR (g/m²/24 jam)

400.00
350.00
300.00
250.00
200.00
150.00
100.00
50.00
0.00
100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100
PEG 442.7 369.8 325.9 344.3 55.8
Tanpa PEG 276.9 265.1 260.4 266.5 27.9

Formulasi (Pektin : Kitosan)

Gambar 23. Grafik pengukuran laju transmisi uap air edible film

Analisis sidik ragam dengan SPSS 15.0 terhadap WVTR film pada taraf α
= 5% (Lampiran 9) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan untuk
formulasi film. Film kitosan murni memiliki nilai WVTR paling rendah dan film
pektin murni memiliki WVTR paling besar. Pektin memiliki gugus hidrofilik
yang lebih banyak dibandingkan kitosan sehingga laju transmisi uap airnya jauh
lebih besar dibanding kitosan. Di antara film komposit pektin/kitosan, film dengan
perbandingan pektin : kitosan = 50 : 50 memiliki nilai WVTR yang paling rendah
meskipun tidak berbeda nyata, diperkirakan bahwa pembentukan kompleks
polielektrolit 1 : 1 antara pektin dan kitosan menghasilkan susunan molekul yang

37
lebih kompak dibandingkan dengan film komposit lainnya, sehingga memiliki
permeabilitas uap air yang lebih rendah.

6. Pengujian Aktivitas Antimikroba


Penyebab utama kerusakan pada produk pangan adalah pertumbuhan
mikroba. Penurunan aktivitas air dan perlindungan dengan kemasan yang tahan
terhadap kelembaban merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk
mencegah kerusakan pada produk pangan. Meskipun demikian, reorganisasi air
dalam kemasan yang disebabkan perubahan suhu, dapat mendorong terjadinya
kondensasi air pada permukaan makanan dan meningkatkan kemungkinan
pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan kapang, khamir, dan bakteri dalam
penyimpanan produk dapat secara drastis menurunkan kualitas dan keamanan
makanan (Quezada-Gallo, 2009).
Kemasan antimikroba merupakan salah satu sistem kemasan aktif yang secara
efektif mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan
patogen pada makanan (Dutta et al., 2009). Menurut Han (2009), kemasan
antimikroba merupakan sistem yang dapat membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme sehingga memperpanjang masa simpan produk dan
meningkatkan keamanan produk yang dikemas.
Studi terhadap kitosan sebagai bahan pengemas antimikroba telah banyak
dilakukan, namun mekanisme antimikroba dari kitosan belum diketahui secara
pasti. Salah satu penyebab dari sifat antimikroba kitosan adalah gugus amina yang
bermuatan positif yang berinteraksi dengan membran sel mikroba yang bermuatan
negatif sehingga menyebabkan kebocoran protein dan konstituen intraselular
lainnya dari mikroorganisme (Shahidi et al., 1999). Dutta et al. (2009) juga
menyebutkan bahwa kitosan berfungsi sebagai agen pengkelat yang mengikat
logam menyebabkan penghambatan produksi toksin dan pertumbuhan mikroba.
Kitosan berikatan dengan air dan menghambat aktivitas bermacam enzim. Selain
itu, kitosan berikatan dengan DNA dan menghambat sintesis mRNA dan protein
(Sudarshan et al., 1992).
Dalam studi ini, diameter penghambatan film pektin dan kitosan murni (baik
yang diplastifikasi dengan PEG maupun film tanpa PEG) tidak dapat diukur

38
karena kedua film tidak dapat ditempelkan secara sempurna pada permukaan
nutrient agar. Film pektin murni mencair sesaat setelah ditempelkan, dan film
kitosan murni menekuk ketika menempel pada permukaan agar kemudian
mengalami swelling (Gambar 24). Astuti (2008) dan Sumarto (2008) berhasil
melakukan pengujian kapasitas antimikroba film kitosan murni dengan pelarut
asam asetat dan asam laktat menggunakan metode yang sama, dapat disimpulkan
bahwa perbedaan karakter film kitosan saat ditempelkan ke permukaan agar
disebabkan oleh perbedaan bahan baku kitosan dan pelarut yang digunakan. Film
pektin murni mencair sesaat setelah ditempelkan pada agar mungkin disebabkan
oleh sifatnya yang larut air.

a b

Gambar 24. Film pektin murni (a) dan film kitosan murni (b) setelah diinkubasi
pada nutrient agar yang berisi kultur uji

a b

Gambar 25. Daerah penghambatan edible film komposit pektin/kitosan terhadap:


(a) Escherichia coli dan (b) Bacillus cereus

Gambar 25 memperlihatkan daerah penghambatan edible film komposit


pektin/kitosan terhadap Escherichia coli (gram negatif) dan Bacillus cereus (gram
positif), sedangkan grafik hasil pengamatan kapasitas antimikroba edible film

39
ditampilkan pada Gambar 26. Analisis sidik ragam terhadap kapasitas antimikroba
dengan taraf α = 5% untuk kedua bakteri (Lampiran 10 dan Lampiran 11)
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada film yang diplastifikasi dan
film yang tidak diplastifikasi. Film yang diplastifikasi dengan PEG cenderung
memiliki kapasitas antimikroba yang lebih rendah, yang terlihat dari diameter
penghambatan yang lebih kecil.

1.60
D penghambatan E. coli (cm)

1.55
1.50
1.45
1.40
1.35
1.30
1.25
1.20
1.15
75 : 25 50 : 50 25 : 75
PEG 1.31 1.45 1.39
Tanpa PEG 1.41 1.47 1.38

Formulasi (Pektin : Kitosan)


D penghambatan B. cereus (cm)

3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
75 : 25 50 : 50 25 : 75
PEG 2.20 1.76 1.80
Tanpa PEG 2.51 2.18 2.48

Formulasi (Pektin : Kitosan)

Gambar 26. Grafik hasil pengamatan kapasitas antimikroba edible film komposit
pektin/kitosan (D = 1 cm) terhadap Escherichia coli dan Bacillus cereus

Analisis sidik ragam terhadap aktivitas antimikroba pada bakteri Escherichia


coli (gram negatif) juga menunjukkan hasil tidak berbeda secara signifikan untuk
setiap formulasi. Namun, pada bakteri Bacillus cereus (gram positif) terjadi

40
perbedaan aktivitas antimikroba yang signifikan dalam formulasi film. Sebagai
contoh, berdasarkan Astuti (2008) film kitosan murni dengan pelarut asam laktat
memiliki zona penghambatan (= D penghambatan - D film) terhadap Escherichia
coli sebesar 7,645 mm, sedangkan terhadap Bacillus cereus sebesar 10,705 mm.
Dari contoh tersebut, film kitosan murni diperkirakan memiliki aktivitas
antimikroba yang lebih tinggi dibanding film komposit pektin/kitosan.
Penggabungan kitosan dengan pektin menghasilkan film komposit dapat
meningkatkan aktivitas antimikroba film bila dibandingkan dengan film pektin
murni. Film pektin murni memiliki kapasitas antimikroba yang rendah, terlihat
dari sulitnya pembentukan film tanpa terjadi kontaminasi makroskopik pada
proses pengeringan.
Dari grafik terlihat bahwa edible film komposit pektin/kitosan memberikan
penghambatan yang lebih besar terhadap Bacillus cereus dibanding Escherichia
coli. Diameter penghambatan untuk Escherichia coli berkisar antara 1,31 - 1,48
cm, sedangkan untuk Bacillus cereus berkisar antara 1,76 - 2,51 cm. Pada bakteri
gram positif, konstituen utama dari dinding selnya adalah peptidoglikan dan
sedikit protein. Sebaliknya, dinding sel bakteri gram negatif lebih tipis, tetapi
lebih kompleks dan mengandung berbagai polisakarida, protein, dan lipid,
disamping peptidoglikan. Dinding sel bakteri gram negatif juga memiliki
membran luar yang menyusun permukaan luar dinding sel (Black, 1996). Selain
itu, menurut Sumarto (2008), kitosan mampu merusak peptidoglikan pada dinding
sel bakteri, sehingga fungsi dinding sel bakteri menurun dan permeabilitas sel
terganggu. Bakteri gram positif memiliki jumlah peptidoglikan yang lebih banyak
dibanding bakteri gram negatif.
Menurut Zheng dan Zhu (2003), mekanisme aktivitas antimikroba kitosan
berbeda untuk bakteri gram positif dan gram negatif. Untuk gram positif, aktivitas
antimikroba meningkat seiring dengan peningkatan bobot molekul dari kitosan.
Untuk gram negatif, aktivitas antimikroba meningkat seiring dengan penurunan
bobot molekul kitosan. Disebutkan bahwa pada bakteri gram positif, kitosan pada
permukaan sel membentuk membran polimer yang menghambat nutrien masuk ke
dalam sel, sedangkan pada bakteri gram negatif, kitosan yang berbobot molekul
rendah dapat masuk ke dalam sel melalui penyebaran.

41
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba dari
kitosan. Kitosan berbobot molekul rendah (lebih kecil dari 10 kDa) memiliki
aktivitas antimikroba yang lebih tinggi dibanding kitosan alami. Derajat
polimerisasi minimal 7 dibutuhkan, fraksi bobot molekul yang lebih rendah
memiliki aktivitas yang rendah atau tidak ada sama sekali. Kitosan yang tinggi
derajat deasetilasinya lebih bersifat antimikroba dibanding kitosan dengan
proporsi gugus amina terasetilasi tinggi karena peningkatan kelarutan dan densitas
muatan yang lebih tinggi. Untuk alasan yang sama, pH yang lebih rendah juga
meningkatkan aktivitas antimikroba kitosan, sebagai tambahan hurdle effect dari
stress yang ditimbulkan asam pada mikroorganisme target (Dutta et al., 2009).
Asam kuat seperti HCl terdisosiasi secara sempurna pada pH normal dan
memberikan efek terhadap mikroba hanya dalam hal penurunan pH atau
peningkatan konsentrasi proton. Mikroorganisme memiliki kisaran pH eksternal
untuk pertumbuhan dan bertahan hidup, asidifikasi umumnya efektif untuk
mengontrol pertumbuhan mikroba (Booth dan Stratford, 2003).

7. Analisis dengan Differential Scanning Calorimeter (DSC)


DSC merupakan teknik untuk mengukur energi yang dibutuhkan untuk
menjaga perbedaan suhu mendekati nol antara substansi dan kontrol (reference)
inert saat kedua spesimen dikondisikan pada sistem suhu yang identik dalam
lingkungan yang dipanaskan atau didinginkan dengan laju terkontrol (Gambar
27). Suhu transisi gelas dan evolusi dari struktur kristalin film selama
penyimpanan dapat dievaluasi dengan menggunakan DSC (García et al., 2009).

Gambar 27. Representasi skematik sistem DSC (Hatakeyama dan Quinn, 1999)

42
Suhu transisi gelas didefinisikan sebagai suhu dimana materi polimer
mengalami perubahan dari kondisi glassy menjadi rubbery. Fenomena transisi
gelas memisahkan materi ke dalam dua bagian, berdasarkan perbedaan sifat dan
struktural, yang mempengaruhi kondisi proses dan aplikasinya (suhu dan
ketahanan terhadap air). Secara umum, penggunaan bio-plastik amorf dibatasi
oleh fakta bahwa Tg polimer sangat dipengaruhi oleh kelembaban relatif
(terutama untuk polimer hidrofilik). Di bawah Tg, materi bersifat kaku, dan di
atas Tg, polimer bersifat visko-elastik. Di bawah batasan kritis ini, hanya vibrasi
dan rotasi lokal non-kooperatif yang lemah yang mungkin terjadi. Di atas Tg,
pergerakan kooperatif yang kuat dari keseluruhan molekul dan polimer teramati
(Guilbert dan Gontard, 2005).
Kurva hasil analisis termal edible film dengan DSC ditunjukkan pada Gambar
28. Secara teoritis, penggunaan plasticizer cenderung menyebabkan pergeseran
suhu transisi gelas dan titik leleh film ke suhu yang lebih rendah. Plasticizer
meningkatkan volume bebas struktur polimer atau mobilitas molekular molekul
polimer dan menurunkan perbandingan bagian kristalin terhadap bagian amorf
sehingga menyebabkan menurunnya suhu transisi gelas (Krochta, 1992).
Penggunaan plasticizer dalam film membatasi pertumbuhan kristal sehingga
terjadi penurunan entalpi (∆H) dan titik leleh film (García et al., 2009).
Tg dari edible film pektin murni tidak terdeteksi baik pada sampel yang
diplastifikasi maupun yang tidak diplastifikasi. Menurut Iijimaa et al. (2000),
pektin memiliki suhu transisi gelas pada suhu sekitar 35ºC, yang mana pada kurva
DSC ini tertutup karena adanya start-up hook endotermik pada awal pemanasan.
Start-up hook ini terjadi terutama bergantung pada perbedaan kapasitas panas
sampel dengan reference. Karena kapasitas panas berkaitan secara langsung
dengan berat, adanya pergeseran endotermik menunjukkan bahwa reference pan
yang digunakan terlalu ringan untuk menyeimbangkan berat sampel (Thomas,
undated).

43
Exothermic
Pektin : Kitosan
= 100 : 0

Pektin : Kitosan
= 100 : 0 + PEG

0.00 100.00 200.00 300.00 400.00


Temperatur (ºC)
Exothermic

Pektin : Kitosan
= 50 : 50
Pektin : Kitosan
= 50 : 50 + PEG

0.00 100.00 200.00 300.00 400.00


Temperatur (ºC)
Exothermic

Pektin : Kitosan
= 0 : 100
Pektin : Kitosan
= 0 : 100 + PEG

0.00 100.00 200.00 300.00 400.00


Temperatur (ºC)

Gambar 28. Termogram edible film dengan DSC: (a) pektin dan pektin + PEG,
(b) 50 : 50 dan 50 : 50 + PEG, (c) kitosan dan kitosan + PEG

44
Suhu transisi gelas sampel edible film kitosan murni dan komposit
pektin/kitosan juga tidak dapat ditentukan secara tepat dari kurva hasil analisis
termal dengan DSC ini. Pada kurva DSC sampel tersebut tidak dapat dipastikan
apakah pergeseran yang terjadi diakibatkan karena transisi gelas, relaksasi bahan,
atau penguapan air dalam sampel. Tg kitosan untuk sampel kitosan murni dan
komposit pektin/kitosan diperkirakan berada pada suhu sekitar 130ºC - 150ºC, dan
sampel yang diplastifikasi PEG memiliki Tg yang lebih rendah. Menurut Abiad
(2010), pengukuran sampel yang berkadar air rendah sulit dilakukan dengan DSC
karena transisi yang sulit dibedakan dan akurasi yang terbatas.
Suhu transisi gelas kitosan masih kontroversi hingga saat ini. Penyebab
utamanya adalah kitosan sebagai polimer alami memiliki sifat seperti kristalinitas,
bobot molekul, dan derajat deasetilasi yang bervariasi bergantung sumber
dan/atau metode ekstraksi sehingga mempengaruhi suhu transisi gelas (Neto et al.,
2005). Ratto et al. (1995) mendeteksi Tg kitosan pada suhu 30ºC untuk kadar air
berkisar antara 8 - 30%. Lazaridou and Biliaderis (2005) menemukan Tg kitosan
berkisar antara -23 - 67ºC, tergantung pada kadar air, yang mengindikasikan efek
plastifikasi air. Sebaliknya, Sakurai et al. (2000) mendeteksi Tg pada 203ºC,
sedangkan Kittur et al. (2002) tidak mendeteksi Tg dan menyebutkan bahwa Tg
kitosan terletak pada suhu yang lebih tinggi, dimana degradasi menutupi
penentuannya.

8. Analisis dengan X-ray Diffraction (XRD)


Pola difraksi sinar x dari edible film, baik yang terbuat dari satu komponen
maupun komposit, menunjukkan karakteristik struktur amorf-kristalin dengan
peak tajam. Semakin besar zona yang bersifat amorf, semakin rendah kristalinitas.
Secara umum, kristalinitas dari film komposit bergantung dari kondisi proses
berikut ini: (1) sumber biopolimer dan plasticizer, (2) kelarutan biopolimer dalam
air, (3) kondisi pengeringan film (laju pengeringan dan suhu), dan (4) kadar air
akhir dari sampel. Bentuk dan lebar dari profil difraksi ditentukan oleh rata-rata
ukuran kristal (dan distribusi dari ukuran kristal dalam spesimen) dan cacat yang
terjadi dalam susunan kristal (García et al., 2009).

45
Polimer dapat dikategorikan dalam semikristalin, yaitu memiliki zona
kristalin dan zona amorf. Zona kristalin berfungsi susunan penguat, dan
meningkatkan kinerja pada kisaran suhu yang luas. Meskipun demikian,
kristalinitas yang terlalu besar dapat menyebabkan kerapuhan. Bagian kristalin
ditunjukkan dengan peak difraksi yang tajam dan sempit dan komponen amorf
ditunjukkan dengan peak yang sangat luas (halo). Rasio di antara intensitas ini
dapat dipergunakan untuk menghitung kristalinitas dalam suatu materi.
Pola difraksi sinar-X sampel edible film disajikan pada Gambar 29. Dari
gambar terlihat bahwa penggunaan plasticizer PEG pada film menurunkan
ketajaman peak yang berarti penurunan kristalinitas dalam sampel. Plasticizer
meningkatkan mobilitas rantai makromolekular sehingga memungkinkan
penyusunan ulang dari struktur kristalin dan menurunkan kristalinitas sampel.
Selain itu, dalam hal penyimpanan, film yang diplastifikasi memiliki pola difraksi
yang stabil pada tahap awal penyimpanan, sedangkan film yang tidak
diplastifikasi membutuhkan waktu lebih untuk mencapai kestabilan pola difraksi.
Penggunaan plasticizer juga memungkinkan perkembangan struktur yang stabil,
dan menurunkan pertumbuhan kristal dengan mengganggu susunan rantai polimer
(García et al., 2009).
Difraktogram dari edible film pektin murni menunjukkan peak yang luas pada
2θ = 15,02º yang mengindikasikan bahwa secara alami sebagian besar struktur
pektin bersifat amorf. Penggunaan PEG dalam film pektin murni menimbulkan
peak pada 2θ = 22,58º yang berkaitan dengan karakteristik struktur PEG yang
bersifat kristalin. Film kitosan murni menunjukkan peak pada 2θ = 10,54º, 17,68º,
dan 19,64º. Difraktogram kitosan murni memiliki garis kurva yang luas,
mengindikasikan adanya ketidakteraturan dalam polimer sampel (Tripathi et al.,
2010) dan menunjukkan tipikal polimer yang bersifat semikristalin. Untuk film
komposit pektin/kitosan, difraktogram menunjukkan peak pada 2θ = 8,44º, 11,1º,
14,60º, dan 23,84º. Film komposit pektin/kitosan memiliki zona kristalin lebih
banyak bila dibandingkan dengan film pektin atau kitosan murni. Hal ini dapat
disebabkan karena pembentukan polielektrolit kompleks antara pektin dan kitosan
sehingga mengakibatkan peningkatan kristalinitas film.

46
0 10 20 30 40 50 60 70
2Teta (θ)
Pektin : Kitosan = 100 : 0 Pektin : Kitosan = 100 : 0 + PEG

0 10 20 30 40 50 60 70
2Teta (θ)
Pektin : Kitosan = 50 : 50 Pektin : Kitosan = 50 : 50 + PEG

0 10 20 30 40 50 60 70
2Teta (θ)
Pektin : Kitosan = 0 : 100 Pektin : Kitosan = 0 : 100 + PEG

Gambar 29. Difraktogram sinar-X edible film: (a) pektin dan pektin + PEG, (b)
50 : 50 dan 50 : 50 + PEG, (c) kitosan dan kitosan + PEG

47
9. Analisis dengan FTIR Spectroscopy
Fourier transform infrared spectroscopy (FTIR) adalah teknik yang berguna
untuk karakterisasi tambahan mikrostruktural dari film komposit karena dapat
digunakan untuk mengevaluasi interaksi antara komponen film. Region spektral
yang penting pada 3300 - 3000 cm-1 umumnya adalah untuk elusidasi dari gugus
hidroksil (-OH) yang bebas atau berinteraksi, pada 2950 - 2850 cm-1 untuk rantai
alkil (-CH2-), dan pada 1750 - 1650 cm-1 menunjukkan gugus karbonil (-C=O)
dan amida (-C-N-) (Lacroix dan Le Tien, 2005).
Spektra FTIR edible film pektin, kitosan, dan komposit pektin/kitosan
ditunjukkan pada Gambar 30. Spektra FTIR pektin memperlihatkan peak pada
1744 cm-1 yang berkaitan dengan peregangan –C=O dari ester dan pada 1634 cm-1
yang berkaitan dengan peregangan gugus karboksil. Vibrasi –C=O dari gugus
asetil pada 1726 cm-1 dan ikatan N-H dari gugus amina pada 1625 cm-1 teramati
pada spektra kitosan. Spektra dari film komposit pektin/kitosan menunjukkan
karakteristik peak dari kedua polimer.
0.65

0.60
a
0.55

0.50

0.45

b
3410

0.40
1260
1378
1445
Absorbansi

1634

1139

0.35
2929

c
1744
2860

1232
2362

1329
1398
2340

0.30
915

0.25
d
1073
3433

2930
3082

1625

0.20
1726

1390

1229

1033
1154
1330
1522

0.15 e
2550

0.10
946
2340

895
1971

800

0.05 f
0.00
4000 3000 2000 1000
4000 3000 2000 1000
Wavenumbers (cm-1)

Wavenumber (cm-1)
Gambar 30. Spektra FTIR edible film: (a) pektin + PEG, (b) pektin, (c) 50 : 50 +
PEG, (d) 50 : 50, (e) kitosan + PEG, dan (f) kitosan

Menurut Wanchoo dan Sharma (2003), ikatan hidrogen maupun interaksi


lainnya di antara gugus kimia dari polimer yang berbeda dapat menyebabkan

48
pergeseran dari posisi peak gugus yang bersangkutan secara teoritis. Dalam film
komposit pektin/kitosan, gugus amina dari kitosan berinteraksi secara ionik
dengan gugus karboksil dari pektin, menyebabkan peak pada 1634 cm-1 dan 1625
cm-1 bergeser menjadi 1630 cm-1. Spektra komposit pektin/kitosan ini
mengindikasikan adanya perubahan terutama region 1800 - 1600 cm-1, yang
membuktikan adanya interaksi dari gugus amina dan karboksil (Rashidova et al.,
2004; Ghaffari et al., 2007). Pembentukan kompleks antara pektin dan kitosan
terjadi melalui interaksi elektrostatis antara gugus karboksil yang bermuatan
negatif pada C-5 cincin piranosa pektin dengan gugus amina yang bermuatan
positif pada C-2 cincin piranosa kitosan.
Spektra edible film menunjukkan bahwa penambahan PEG mempengaruhi
region spektral -OH, yaitu pada region sekitar 3300 - 3000 cm-1. PEG dapat
berinteraksi dengan pektin dan kitosan melalui ikatan hidrogen. Peak -OH
semakin besar dan luas dengan penambahan PEG. Semakin tinggi peak, semakin
kuat ikatan hidrogen dan interaksi antara molekul. Telah diketahui bahwa bila
vibrasi peak hidroksil menguat dan bergeser ke panjang gelombang yang lebih
rendah setelah pencampuran dua polisakarida, maka ikatan hidrogen dalam
molekul meningkat, sehingga interaksi kedua molekul menguat (He et al., 2001).
Untuk proporsi PEG yang tepat, ikatan hidrogen yang terbentuk akan maksimal,
namun bila PEG yang digunakan terlalu banyak maka kelebihan gugus hidroksil
dari PEG dapat berinteraksi dengan gugus -OH lainnya dan menyebabkan
penurunan interaksi yang diinginkan (Zhang et al., 2001), yaitu antara pektin
dengan kitosan.

49
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Edible film komposit pektin/kitosan yang homogen dapat dibuat dengan


pengaturan pH menggunakan asam untuk mengurangi interaksi elektrostatis
antara pektin dan kitosan. Edible film yang dihasilkan memiliki pH yang berkisar
antara 2,02 - 3,36, berwarna transparan hingga kekuningan, nilai aw yang berkisar
0,63 - 0,70, ketebalan film berkisar 41,7 - 118,3 µm, nilai kuat tarik 5,3 - 35,4
MPa, persen pemanjangan 28,3 - 97,9%, laju transmisi uap air berkisar 27,9 -
442,7 g/m²/24 jam, aktivitas antimikroba dengan diameter penghambatan terhadap
Escherichia coli 1,31 - 1,47 cm, dan diameter penghambatan terhadap Bacillus
cereus 1,76 - 2,51 cm. Suhu transisi gelas dari edible film yang dihasilkan tidak
dapat diamati dengan analisis menggunakan DSC. Dari hasil analisis dengan XRD
terlihat bahwa edible film komposit pektin/kitosan memiliki struktur semikristalin.
Analisis film menggunakan FTIR menunjukkan adanya interaksi antara pektin
dan kitosan dalam film komposit.
Semakin tinggi komposisi kitosan dalam film komposit maka pH, warna
kekuningan, ketebalan, dan persen pemanjangan film semakin meningkat,
sedangkan kuat tarik dan laju transmisi uap air film menurun. Penambahan PEG
sebagai plasticizer dalam edible film menurunkan nilai aw, meningkatkan
ketebalan film, meningkatkan persen pemanjangan, dan memperbesar laju
transmisi uap air film.

B. SARAN

Saran yang dapat diberikan untuk pengembangan edible film komposit


pektin/kitosan lebih lanjut adalah perlunya diteliti hal-hal sebagai berikut:
1. Dicari metode analisis termal yang lebih sesuai untuk mengamati suhu
transisi gelas film.
2. Analisis ekonomi dan kelayakan edible film komposit pektin/kitosan.
3. Aplikasi edible film terhadap komoditi target, yaitu buah-buahan.
4. Perbaikan sifat dan kinerja film dengan penambahan komponen lain
seperti asam lemak dan protein.

50
DAFTAR PUSTAKA

Abiad, M. G., Campanella, O. H. dan Carvajal, M. T. 2010. Assessment of


thermal transitions by dynamic mechanical analysis (DMA) using a novel
disposable powder holder. J. Pharmaceutics, 2: 78-90.
Astuti, B. C. 2008. Pengembangan Edible Film Kitosan dengan Penambahan
Asam Lemak dan Esensial Oil: Upaya Perbaikan Sifat Barrier dan Aktivitas
Antimikroba. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Black, J. G. 1996. Microbiology: Principles and application, pp. 80-82. New
Jersey: Prentice-Hall Inc.
Booth, I. R. dan Stratford, M. 2003. Acidulants and low pH. Di dalam: N. J.
Russell dan G. W. Gould (Eds.). Food Preservatives, pp. 25-47. New York:
Kluwer Academic/Plenum Publisher.
Bourtoom, T. 2008. Edible films and coatings: characteristics and properties.
International Food Research Journal 15(3): 237-248.
Chen, P., Hwang, Y., Kuo, T., Liu, F., Lai, J., dan Hsieh, H. 2007. Improvement
in the properties of chitosan membranes using natural organic acid solutions
as solvents for chitosan dissolution. J. Medical and Biological Engineering.
27(1): 23-28.
Coma, V., Martial-Gros, A., Garreau, S., Copinet, A., Salin, F., dan Deschamps,
A. 2002. Edible antimicrobial films based on chitosan matrix. J. Food Sci.
67: 1162-1169.
Debeaufort, F. dan Voilley, A. 2009. Lipid-based edible films and coatings. Di
dalam: Milda E. Embuscado dan Kerry C. Huber (Ed.). Edible Films and
Coatings for Food Applications, pp. 135-168. New York: Springer.
Dong-Bao, H., Yi, S., Dong-Feng, Z., dan Feng, F. 2001. Chitosan-pectin
synergistic interaction and gelation. Wuhan University Journal of Natural
Sciences, 6(4): 826 - 830.
Donhowe, I. G. dan Fennema, O. 1994. Edible films and coatings: characteristic,
formation, definition, and testing methods. Di dalam: J.M. Krochta (Ed.).
Edible Coatings and Films to Improve Food Quality, pp. 1-24. Lancaster:
Technomic Publication.
Dutta, P. K., Tripathi, S., Mehrotra, G. K., dan Dutta, J. 2009. Perspectives for
chitosan based antimicrobial films in food applications. J. Food Chemistry
114: 1173–1182.
Farhat, A., Maddox, C. W., Edwards, M. E., Costell, M. H., Hadley, J. A., dan
Vasilatos-Younken, R. 2002. Oral lavage with polyethylene glycol reduces
microbial colonization in the gastrointestinal tract of broilers. J. Poultry
Science 81: 585–589.
Figura, L. O. dan Teixeira, A. A. 2007. Food Physics, Physical Properties -
Measurement and Applications. Berlin: Springer.
García, M. A., Pinotti, A., Martino, M. N., dan Zaritzky, N. E. 2009.
Characterization of starch and composite edible films and coatings. Di

51
dalam: Milda E. Embuscado dan Kerry C. Huber (Ed.). Edible Films and
Coatings for Food Applications, pp. 169-210. New York: Springer.
Ghaffari, A., Navaee, K., Oskoui, M., Bayati, K., dan Rafiee-Tehrani, M. 2007.
Preparation and characterization of free mixed-film of pectin/
chitosan/Eudragit® RS intended for sigmoidal drug delivery. European
Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics 67: 175–186.
Gontard, N., dan Guilbert, S. 1994. Bio-packaging: technology and properties of
edible and/or biodegradable material of agriculture origin. Di dalam: M.
Mathlouthi (Ed.). Food Packaging and Preservation, pp. 159-181. London:
Blackie Academic and Professional.
Guilbert, S. dan Gontard, N. Agro-polymers for edible and biodegradable films:
review of agricultural polymeric materials, physical, and mechanical
characteristic. 2005. Di dalam: J. H. Han (Ed.). Innovations in Food
Packaging, pp. 263-276. London: Elsevier Academic Press.
Han, J. H. 2002. Protein-based edible films and coatings carrying antimicrobial
agents. Di dalam: A. Gennadios (Ed.). Protein-based Films and Coatings,
pp. 485-499. Boca Raton, FL: CRC Press.
Han, J. H. 2005. Antimicrobial packaging systems. Di dalam: J. H. Han (Ed.).
Innovations in Food Packaging, pp. 80-107. London: Elsevier Academic
Press.
Han, J. H. dan Gennadios, A. 2005. Edible films and coatings: a review. Di
dalam: J. H. Han (Ed.). Innovations in Food Packaging, pp. 239-262.
London: Elsevier Academic Press.
Hatakeyama, T. dan Quinn, F. X. 1999. Thermal Analysis Fundamentals and
Applications to Polymer Science, Second Edition. New York: John Wiley
and Sons.
Hiorth, M., Kjøniksen, A., Knudsen, K. D., Sande S. A., dan Nyström, B. 2005.
Structural and dynamical properties of aqueous mixtures of pectin and
chitosan. European Polymer Journal 41: 1718-1728.
Hoagland, P. D. dan Nicholas, P. 1996. Chitosan/pectin laminated films. J. Agric.
Food. Chem. 44: 1915 – 1919.
Iijimaa, M., Nakamura, K., Hatakeyama, T., dan Hatakeyama, H. 2000. Phase
transition of pectin with sorbed water. J. Carbohydr. Polym. 41: 101-106.
Ikejima, T. dan Inoue, Y. 2000. Crystallization behavior and environmental
biodegradability of the blend films of poly (3-hydroxybutiric acid) with
chitin and chitosan. J. Carbohyd. Polymer 41: 351-356.
Kim, S. H., No, H. K., Kim, S. D., dan Prinyawiwatkul, W. 2006. Effect of
plasticizer concentration and solvent types on shelf-life of eggs coated with
chitosan. J. Food. Sci.7(4): S349-S353.
Kittur, F. S., Prashanth, K. V. H., Udaya Sankar, K., dan Tharanathan, R. N. 2002.
Characterization of chitin and their carboxymethyl derivatives by
differential scanning calorimetry. J. Carbohydrate Polymers, 49: 185-193.

52
Krochta, J. M. 2002. Proteins as raw materials for films and coatings: definitions,
current status, and opportunities. Di dalam: A. Gennadios (Ed.). Protein-
Based Films and Coatings, pp. 1-41. Boca Raton, FL: CRC Press
Krochta, J. M. dan De Mulder-Johnston, C. 1997. Edible and biodegradable
polymer films: challenges and opportunities. J. Food Tech 51: 61-73.
Krochta, J. M. 1992. Control of mass transfer in foods within edibel coatings and
films. Di dalam: Singh, R. P. dan M. A. Wirakartakusumah (Ed.). Advances
in Food Engineering, pp. 517-538. Boca Raton, FL: CRC Press.
Kumar, M. N. V. Ravi. 1999. Chitin and chitosan fibres: a review. Bull. Mater.
Sci., 22(5): 905-915.
Lacroix, M. dan Tien, C. L. 2005. Edible films and coatings from non-starch
polysaccharides. Di dalam: J. H. Han (Ed.). Innovations in Food Packaging,
pp. 338-361. London: Elsevier Academic Press.
Lazaridou, A. dan Biliaderis, C. G. 2005. Thermophysical properties of chitosan,
chitosan-starch and chitosan-pullulan films near the glass transition. J.
Carbohydrate Polymers, 48: 179-190.
Lee, S. Y. dan Wan, V. C. H. 2006. Edible films and coatings. Di dalam: Y. H.
Hui (Ed.). Handbook of Food Science, Technology, and Engineering
Volume 3. Boca Raton: Taylor & Francis Group.
McHugh, T. H. dan Krochta, J. M. 1994. Plasticized whey protein edible films:
water vapor permeability properties. J Agric. Food Chem. 59(2): 416-419.
Melia, S. 1997. Pengaruh Penambahan Beeswax dan Methylcellulose dengan
Plasticizer Gliserol terhadap Karakteristik Edible Film Bungkil Kacang
Kedelai. Skripsi. Fateta, IPB.
Neto, C. G. T., Giacometti, J. A., Job, A. E., Ferreira, F. C., Fonseca, J. L. C.,
Pereira, M. R. 2005. Thermal analysis of chitosan based networks. J.
Carbohydrate Polymers 62: 97-103.
Nieto, M. B. 2009. Structure and function of polysaccharide gum-based edible
films and coatings. Di dalam: Milda E. Embuscado dan Kerry C. Huber
(Ed.). Edible Films and Coatings for Food Applications, pp. 57-112. New
York: Springer.
Nordby, M. H., Kjøniksen, A., Nyström, B., dan Roots, J. 2003. Thermoreversible
gelation of aqueous mixtures of pectin and chitosan rheology.
Biomacromolecules 4: 337 – 343.
Olivas, G. I. dan Barbosa-Cánovas, G. 2009. Edible films and coatings for fruits
and vegetables. Di dalam: Milda E. Embuscado dan Kerry C. Huber (Ed.).
Edible Films and Coatings for Food Applications, pp. 57-112. New York:
Springer.
Park H. J., Testin, R. F., Vergano, P. J., dan Weller C. L. 1992. Factors affecting
barrier and mechanical properties of protein-based edible, degradable films.
Di dalam: 53rd Annual Meeting of Inst. of Food Technologists.

53
Pavlath, A. E. dan Orts, W. 2009. Edible films and coatings: why, what, and how?
Di dalam: Milda E. Embuscado dan Kerry C. Huber (Ed.). Edible Films and
Coatings for Food Applications, pp. 1-24. New York: Springer.
Perez-Gago, M. B. dan Krochta, J. M. 2005. Emulsion and bi-layer edible films.
Di dalam: J. H. Han (Ed.). Innovations in Food Packaging, pp. 384-402.
London: Elsevier Academic Press.
Po, H. C., Ya, H. H., Ting, Y. K., Fang, H. L., Juin, Y. L., Hsyue, J. H. 2007.
Improvement in the properties of chitosan membranes using natural organic
acid solutions as solvents for chitosan dissolution. J. of Medical and
Biological Engineering, 27(1): 23 - 28.
Pranoto, Y., Rakshit, S. K., dan Salokhe, V. M. 2005. Enhancing antimicrobial
activity of chitosan film by incorporating garlic oil, potassium sorbate, and
nisin. LWT. 38 : 859-865.
Quezada-Gallo, J. 2009. Delivery of food additives and antimicrobials using
edible films and coatings. Di dalam: Milda E. Embuscado dan Kerry C.
Huber (Ed.). Edible Films and Coatings for Food Applications, pp. 295-314.
New York: Springer.
Rashidova, S. S., Milusheva, R. Y., Semenova, L. N., Mukhamedjanova, M. Y.,
Voropaeva, N. L., Vasilyeva, S., Faizieva, R., dan Ruban, I. N. 2004.
Characteristics of interactions in the pectin - chitosan system. J. of
Chromatographia, 59: 779 - 782.
Ratto, J., Hatakeyama, T., dan Blumstein, R. B. 1995. Differential scanning
calorimetry investigation of phase transition in water/chitosan systems. J.
Polymer, 36(15): 2915-2919.
Rhim, J. W. dan Shellhammer, T. H. 2005. Lipid-based edible films and coatings.
Di dalam: J. H. Han (Ed.). Innovations in Food Packaging, pp. 362-383.
London: Elsevier Academic Press.
Sakurai, K., Maegawa, T. T., dan Takahashi, T. 2000. Glass transition
temperature of chitosan and miscibility of chitosan/poly(n-vinyl
pyrrolidone) blends. J. Polymer, 41: 7051-7056.
Schou, M., Longares, A., Montesinos-Herrero, C., Monahan, F. J., O’Riordan, D.,
dan O’Sullivan, M. 2004. Properties of edible sodium caseinate films and
their application as food wrapping. Lebensm.-Wiss. u.-Technol. 38: 605-
610.
Shahidi, F., Arachchi, J. K. V., dan Jeon, Y. J. 1999. Food application of chitin
and chitosans. J. Trends in Food Science and Technology, 10(2): 37-51.
Sothornvit, R. dan Krochta, J. M. 2001. Plasticizer effect on mechanical
properties of β-lactoglobulin films. J. Food Eng. 50: 149-155.
Sothornvit, R. dan Krochta, J. M. 2005. Plasticizers in edible films and coatings.
Di dalam: J. H. Han (Ed.). Innovations in Food Packaging, pp. 403-433.
London: Elsevier Academic Press.
Sriamornsak, P. 2003. Chemistry of pectin and its pharmaceutical uses: a review.
Silpakorn University International Journal 3: 206–228.

54
Sudarshan, N. R., Hoover, D. G., dan Knorr, D. 1992. Antibacterial action of
chitosan. J. Food Biotechnology, 6(3): 257–272.
Sugita, P., Wukirsari, T., Sjahriza, A., dan Wahyono, D. 2009. Kitosan Sumber
Biomaterial Masa Depan. Bogor: IPB Press.
Sumarto. 2008. Mempelajari Pengaruh Asam Lemak dan Natrium Benzoat
terhadap Sifat Fisik, Mekanik, dan Aktivitas Antimikroba Film Edibel
Kitosan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Suyatma, N. E., Tighzert, L. dan Copinet, A. 2005. Effects of hydrophilic
plasticizers on mechanical, thermal, and surface properties of chitosan films.
J. Agric. Food Chem. 53: 3950-3957.
Thomas, L. C. (Undated). Interpreting Unexpected Events and Transitions in DSC
Results.http://www.tainstruments.com/library_downloads.aspx?file=TA039.
pdf. [16 Juli 2010].
Tripathi, S., Mehrotra, G. K., Dutta, P. K. 2010. Preparation and physicochemical
evaluation of chitosan/poly(vinyl alcohol)/pectin ternary film for food-
packaging applications. J. Carbohydrate Polymers 79: 711-716.
Trotignon, J., P., Verdu, J., Dobraczynski, A., dan Piperaud, M. 1996. Matières
Plastiques: Structures-propriétés, Mise en Oeuvre, Normalisation. Paris:
AFNOR/Nathan.
Tsai, G. J. dan Su, W. H. 1999. Antimicrobial activity of shrimp chitosan against
Escherichia coli. J. Food Protect. 62: 239-243.
Tuil, R., Fowler, P., Lawther, M., Weber, C. J. 2000. Properties of biobased
packaging materials. Di dalam: C. J. Weber (Ed.). Biobased Packaging
Materials for the Food Industry: Status and Perspectives, pp. 13-45.
Denmark: The Royal Veterinary and Agricultural University.
Veiga-Santos, P., Oliveira, L. M., Cereda, M. P., Alves, A. J., dan Sacmparini, A.
R. P. 2005. Mechanical properties, hydrophilicity and water activity of
starch-gum films: effect of additives and deacetylated xanthan gum. J. Food
Hydrocolloids 19: 341–349.
Verrier, P. 2005. Plastifiants. Technique de l'Ingineurs, A 3 231, p.11.
Wanchoo, R. K. dan Sharma, P. K. 2003. Viscometric study on the compatibility
of some water-soluble polymer-polymer mixtures. Eur. Polym. Journal, 39:
1481 - 1490.
Widianarko, B. 2010. Limbah Kemasan Pangan Peluang Extended Producer
Responsibility. http://www.foodreview.biz/preview.php?view&id=55887.
[20 Januari 2010].
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia.
Zhang, M., Li, X. H., Gong, Y. D., Zhao, N. M., dan Zhang, X. F. 2002.
Properties and biocompatibility of chitosan films modified by blending with
PEG. J. of Biomaterials, 23(13): 2641 – 2648.
Zheng, L. Y. dan Zhu, J. F. 2003. Study of antimicrobial activity of chitosan with
different molecular weight. J. Carbohydrate Polymers, 54(4): 527–530.

55
Lampiran 1. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Nilai pH Larutan Edible

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: pH
Ty pe II I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 8.110a 9 .901 6286.876 .000
Intercept 193.904 1 193.904 1352817 .000
Plasticizer .006 1 .006 39.093 .000
Formulasi 8.103 4 2.026 14133.407 .000
Plasticizer * Formulasi .001 4 .000 2.291 .095
Error .003 20 .000
Total 202.017 30
Corrected Total 8.113 29
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)

pH
a,b
Duncan
Subset
Formulasi N 1 2 3 4 5
F2 6 2.0250
F3 6 2.1350
F4 6 2.2350
F5 6 2.9800
F1 6 3.3367
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .000.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = .05.

Group Statistics

St d. Error
Plasticizer N Mean St d. Dev iation Mean
pH PEG 15 2.5560 .54433 .14055
Non PEG 15 2.5287 .53179 .13731

56
Lampiran 2. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Nilai L Edible Film

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: L
Ty pe II I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 54.312a 9 6.035 77.460 .000
Intercept 218045.630 1 218045.630 2798806 .000
Plasticizer 13.028 1 13.028 167.231 .000
Formulasi 22.622 4 5.655 72.593 .000
Plasticizer * Formulasi 18.661 4 4.665 59.884 .000
Error 1.558 20 .078
Total 218101.500 30
Corrected Total 55.870 29
a. R Squared = . 972 (Adjusted R Squared = .960)

L
a,b
Duncan
Subset
Formulasi N 1 2 3 4
F4 6 83.9250
F5 6 84.6967
F3 6 85.3183
F1 6 86.0367
F2 6 86.2917
Sig. 1.000 1.000 1.000 .129
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .078.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = . 05.

Group Statistics

St d. Error
Plasticizer N Mean St d. Dev iation Mean
L PEG 15 85.9127 1.69433 .43747
Non PEG 15 84.5947 .43513 .11235

57
L
a,b
Duncan
Subset
Sampel N 1 2 3 4 5
PEG-F4 3 83.5567
Non PEG-F4 3 84.2933
Non PEG-F3 3 84.3233
Non PEG-F2 3 84.3667
Non PEG-F5 3 84.6200
PEG-F5 3 84.7733
Non PEG-F1 3 85.3700
PEG-F3 3 86.3133
PEG-F1 3 86.7033
PEG-F2 3 88.2167
Sig. 1.000 .071 1.000 .102 1.000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = . 078.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b. Alpha = .05.

58
Lampiran 3. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Nilai a Edible Film

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: a
Ty pe II I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 5.701a 9 .633 65.299 .000
Intercept .154 1 .154 15.885 .001
Plasticizer 1.236 1 1.236 127.451 .000
Formulasi 4.386 4 1.096 113.031 .000
Plasticizer * Formulasi .079 4 .020 2.030 .129
Error .194 20 .010
Total 6.049 30
Corrected Total 5.895 29
a. R Squared = . 967 (Adjusted R Squared = .952)

a
a,b
Duncan
Subset
Formulasi N 1 2 3 4
F5 6 -.4267
F2 6 -.1133
F3 6 -.0067
F4 6 .1767
F1 6 .7283
Sig. 1.000 .075 1.000 1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .010.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = . 05.

Group Statistics

St d. Error
Plasticizer N Mean St d. Dev iation Mean
a PEG 15 .2747 .45674 .11793
Non PEG 15 -.1313 .35232 .09097

59
Lampiran 4. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Nilai b Edible Film

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: b
Ty pe II I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 172.521a 9 19.169 38.259 .000
Intercept 197.890 1 197.890 394.964 .000
Plasticizer 1.830 1 1.830 3.653 .070
Formulasi 155.165 4 38.791 77.422 .000
Plasticizer * Formulasi 15.526 4 3.882 7.747 .001
Error 10.021 20 .501
Total 380.432 30
Corrected Total 182.542 29
a. R Squared = . 945 (Adjusted R Squared = .920)

b
a,b
Duncan
Subset
Formulasi N 1 2 3 4
F1 6 -1.4917
F2 6 2.2500
F3 6 3.0633 3.0633
F5 6 3.6467
F4 6 5.3733
Sig. 1.000 .060 .169 1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .501.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = . 05.

60
b
a,b
Duncan
Subset
Sampel N 1 2 3 4 5
PEG-F1 3 -1.7600
Non PEG-F1 3 -1.2233
Non PEG-F2 3 2.1833
PEG-F2 3 2.3167 2.3167
PEG-F3 3 2.9367 2.9367 2.9367
Non PEG-F3 3 3.1900 3.1900 3.1900
PEG-F5 3 3.5400 3.5400
Non PEG-F4 3 3.7033
Non PEG-F5 3 3.7533
PEG-F4 3 7.0433
Sig. .364 .125 .065 .218 1.000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = . 501.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b. Alpha = .05.

61
Lampiran 5. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap aw Edible Film

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Aw
Ty pe II I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .012a 9 .001 93.412 .000
Intercept 13.363 1 13.363 956755,3 .000
Plasticizer .003 1 .003 217.671 .000
Formulasi .009 4 .002 154.204 .000
Plasticizer * Formulasi 8.69E-005 4 2.17E-005 1.555 .225
Error .000 20 1.40E-005
Total 13.375 30
Corrected Total .012 29
a. R Squared = . 977 (Adjusted R Squared = .966)

Aw
a,b
Duncan
Subset
Formulasi N 1 2 3 4 5
F2 6 .63967
F5 6 .65817
F3 6 .67150
F4 6 .68033
F1 6 .68733
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1.40E-005.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = .05.

Group Statistics

St d. Error
Plasticizer N Mean St d. Dev iation Mean
Aw PEG 15 .65733 .017195 .004440
Non PEG 15 .67747 .018597 .004802

62
Lampiran 6. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Ketebalan Edible Film

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Tebal


Ty pe II I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .014a 9 .002 35.795 .000
Intercept .171 1 .171 3952.853 .000
Plasticizer .002 1 .002 50.451 .000
Formulasi .012 4 .003 66.787 .000
Plasticizer * Formulasi .000 4 4.94E-005 1.140 .366
Error .001 20 4.33E-005
Total .186 30
Corrected Total .015 29
a. R Squared = . 942 (Adjusted R Squared = .915)

Tebal
a,b
Duncan
Subset
Formulasi N 1 2 3 4 5
F1 6 .05050
F2 6 .06117
F3 6 .07317
F4 6 .08600
F5 6 .10683
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 4.33E-005.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = .05.

Group Statisti cs

St d. Error
Plasticizer N Mean St d. Dev iation Mean
Tebal PEG 15 .08407 .023057 .005953
Non PEG 15 .06700 .019250 .004970

63
Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Kuat Tarik (TS) Edible Film

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: TS
Ty pe II I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 3298.836a 9 366.537 119.296 .000
Intercept 13623.909 1 13623.909 4434.145 .000
Plasticizer 3.767 1 3.767 1.226 .281
Formulasi 3197.881 4 799.470 260.202 .000
Plasticizer * Formulasi 97.188 4 24.297 7.908 .001
Error 61.450 20 3.073
Total 16984.195 30
Corrected Total 3360.286 29
a. R Squared = . 982 (Adjusted R Squared = .973)

TS
a,b
Duncan
Subset
Formulasi N 1 2 3 4 5
F4 6 7.9583
F3 6 11.4433
F2 6 22.6733
F1 6 29.3533
F5 6 35.1233
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 3.073.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = .05.

64
TS
a,b
Duncan
Subset
Sampel N 1 2 3 4 5 6
Non PEG-F4 3 5.2700
PEG-F4 3 10.6467
Non PEG-F3 3 10.8733
PEG-F3 3 12.0133
Non PEG-F2 3 21.2000
PEG-F2 3 24.1467 24.1467
PEG-F1 3 26.7067
Non PEG-F1 3 32.0000
PEG-F5 3 34.8100 34.8100
Non PEG-F5 3 35.4367
Sig. 1.000 .378 .053 .089 .064 .666
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 3.073.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b. Alpha = .05.

65
Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Persen Elongasi Edible Film

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: E
Ty pe II I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 11377.088a 9 1264.121 78.381 .000
Intercept 80870.592 1 80870.592 5014.298 .000
Formulasi 8492.075 4 2123.019 131.636 .000
Plasticizer 1453.248 1 1453.248 90.107 .000
Formulasi * Plasticizer 1431.765 4 357.941 22.194 .000
Error 322.560 20 16.128
Total 92570.240 30
Corrected Total 11699.648 29
a. R Squared = . 972 (Adjusted R Squared = .960)

E
a,b
Duncan
Subset
Formulasi N 1 2 3 4
F2 6 28.6667
F1 6 41.3333
F3 6 54.0000
F4 6 56.5333
F5 6 79.0667
Sig. 1.000 1.000 .288 1.000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 16.128.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
b. Alpha = . 05.

Group Statistics

St d. Error
Plasticizer N Mean St d. Dev iation Mean
E PEG 15 58.8800 23.29988 6.01600
Non PEG 15 44.9600 13.74777 3.54966

66
E
a,b
Duncan
Subset
Sampel N 1 2 3 4
Non PEG-F2 3 28.2667
PEG-F2 3 29.0667
Non PEG-F1 3 30.9333
PEG-F1 3 51.7333
Non PEG-F4 3 52.2667
Non PEG-F3 3 53.0667
PEG-F3 3 54.9333 54.9333
Non PEG-F5 3 60.2667
PEG-F4 3 60.8000
PEG-F5 3 97.8667
Sig. .452 .382 .105 1.000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 16.128.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b. Alpha = .05.

67
Lampiran 9. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Laju Transmisi Uap Air
(WVTR) Edible Film

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: WVTR


Ty pe II I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 431629,691a 9 47958,855 29,613 ,000
Intercept 2225145,256 1 2225145,256 1373,933 ,000
Plasticizer 59704,775 1 59704,775 36,865 ,000
Formulasi 334177,983 4 83544,496 51,585 ,000
Plasticizer * Formulasi 37746,933 4 9436,733 5,827 ,003
Error 32390,896 20 1619,545
Total 2689165,843 30
Corrected Total 464020,587 29
a. R Squared = , 930 (Adjusted R Squared = ,899)

WVTR
a,b
Duncan
Subset
Formulasi N 1 2 3
F5 6 67,3340
F3 6 299,1117
F2 6 300,1117
F4 6 326,8700 326,8700
F1 6 368,2950
Sig. 1,000 ,272 ,090
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1619,545.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000.
b. Alpha = , 05.

Group Statisti cs

St d. Error
Plasticizer N Mean St d. Dev iation Mean
WVTR PEG 15 316,9557 139,94946 36,13479
Non PEG 15 227,7333 96,40462 24,89156

68
WVTR
a,b
Duncan
Subset
Sampel N 1 2 3 4 5
Non PEG-F5 3 56,2230
PEG-F5 3 78,4450
Non PEG-F2 3 251,1833
Non PEG-F1 3 257,4433
Non PEG-F3 3 279,1867 279,1867
Non PEG-F4 3 294,6300 294,6300 294,6300
PEG-F3 3 319,0367 319,0367 319,0367
PEG-F2 3 349,0400 349,0400
PEG-F4 3 359,1100
PEG-F1 3 479,1467
Sig. ,507 ,077 ,064 ,085 1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1619,545.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b. Alpha = ,05.

69
Lampiran 10. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Diameter Penghambatan
Edible Film terhadap Escherichia coli

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: E.coli


Ty pe II I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model ,067a 5 ,013 3,965 ,013
Intercept 47,180 1 47,180 14008,113 ,000
Plasticizer ,008 1 ,008 2,505 ,131
Formulasi ,045 2 ,023 6,711 ,007
Plasticizer * Formulasi ,013 2 ,007 1,948 ,171
Error ,061 18 ,003
Total 47,308 24
Corrected Total ,127 23
a. R Squared = , 524 (Adjusted R Squared = ,392)

E. coli
a,b
Duncan
Subset
Formulasi N 1 2
F2 8 1,3625
F4 8 1,3812
F3 8 1,4625
Sig. ,526 1,000
Means f or groups in homogeneous subset s are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = ,003.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,000.
b. Alpha = ,05.

70
Lampiran 11. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Diameter Penghambatan
Edible Film terhadap Bacillus cereus

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: B.cereus


Ty pe II I Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2,051a 5 ,410 43,751 ,000
Intercept 111,370 1 111,370 11879,511 ,000
Plasticizer 1,307 1 1,307 139,378 ,000
Formulasi ,604 2 ,302 32,211 ,000
Plasticizer * Formulasi ,140 2 ,070 7,478 ,004
Error ,169 18 ,009
Total 113,590 24
Corrected Total 2,220 23
a. R Squared = , 924 (Adjusted R Squared = ,903)

B.cereus
a,b
Duncan
Subset
Formulasi N 1 2 3
F3 8 1,9688
F4 8 2,1375
F2 8 2,3563
Sig. 1,000 1,000 1,000
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = ,009.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,000.
b. Alpha = , 05.

Group Statistics

St d. Error
Plasticizer N Mean St d. Dev iation Mean
B. cereus PEG 12 1,9208 ,22101 ,06380
Non PEG 12 2,3875 ,18479 ,05334

71
B.cereus
a,b
Duncan
Subset
Sampel N 1 2 3
PEG-F3 4 1,7625
PEG-F4 4 1,8000
Non PEG-F3 4 2,1750
PEG-F2 4 2,2000
Non PEG-F4 4 2,4750
Non PEG-F2 4 2,5125
Sig. ,591 ,719 ,591
Means f or groups in homogeneous subsets are display ed.
Based on Ty pe III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = ,009.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
b. Alpha = ,05.

72

You might also like