You are on page 1of 3

BAB IV

ANALISIS KASUS

Seorang anak laki-laki, usia 13 tahun, datang ke RSMH dengan keluhan


demam. Demam dirasakan terus menerus dan tidak pernah turun, siang dan
malam tidak ada perbedaan suhu. Sesak napas dapat terjadi akibat gangguan pada
paru ataupun jantung. Pada sesak napas akibat gangguan jantung biasanya sesak
napas yang dipengaruhi oleh aktivitas dan posisi, namun tidak dipengaruhi cuaca.
Pada kasus ini pasien mengeluhkan sesak napas yang dipengaruhi oleh aktivitas.
Pada saat MRS pasien didiagnosis decompensasi cordis NYHA II karena merasa
sesak dalam aktivitas sehari-hari. Dekompensasi kordis sendiri adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara adekuat untuk memenuhi
kebutuhan tubuh, ditandai dengan adanya sesak napas, sering berkeringat,
orthopnea, dapat dijumpai mengi, dan edema di perifer.
Untuk mengetahui sebab gangguan jantung pada kasus ini, perlu diketahui
riwayat penyakit dahulu pasien. Dari anamnesis didapatkan tidak adanya riwayat
sering berhenti ketika menyusu dan tidak ada riwayat biru saat bayi. Hal ini
menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan jantung bawaan.
Selain sesak napas, pada anamnesis didapatkan riwayat nyeri sendi yang
berpindah pada sendi-sendi besar yaitu lutut, pergelangan kaki, siku, dan
pergelangan tangan. Nyeri sendi dapat terjadi pada berbagai macam kasus. Namun
nyeri sendi yang sifatnya asimetris, berpindah, dan terjadi pada sendi-sendi besar
seperti pada kasus ini terjadi pada sekitar 70% pasien demam rematik akut (DRA)
dan disebut sebagai poliarthritis migrans.
Untuk menegakkan diagnosis demam rematik dan penyakit jantung
rematik digunakan kriteria WHO tahun 2003 berdasarkan kriteria Jones, yang
terdiri dari manifestasi mayor dan minor. Pada kasus ini terdapat 2 manifestasi
mayor yaitu poliarthritis migran dan karditis, dan pada manifestasi minor terdapat
athralgia, demam. Pada bulan Januari 2016 pasien telah didiagnosa menderita
penyakit jantung rematik dan mendapatkan terapi penicilin 1,2 juta iu tiap bulan,
namun pada bulan mei pasien tidak kontrol. Pasien dikatakan menderita karditis

45
karena memiliki bunyi jantung tambahan, adanya bising jantung pansistolik di
bagian ICS II-III LPS sinistra, dan kardiomegali saat MRS. Karditis pada kasus
ini termasuk karditis berat karena sudah terdapat dekompensasi kordis.
Diagnosis penyakit jantung rematik ditegakkan jika terdapat kelainan
pada katup jantung sebagai sekuele dari demam rematik. Pada kasus ini telah
dilakukan pemeriksaan echocardiography ditemukan adanya regurgitasi mitral
berat, regurgitasi aorta moderate, dan regurgitasi trikuspid ringan.
Terdapat tiga hal yang berperan penting dalam terjadinya demam rematik,
yakni agen penyebab penyakit yaitu Streptokokus β-hemolitikus grup A, host
(manusia), dan faktor lingkungan. Streptokokus akan menyerang sistem
pernafasan dan menyebabkan faringitis. Protein M, faktor virulen yang terdapat
pada dinding sel Streptokokus, secara imunologis memiliki kemiripan dengan
struktur protein yang terdapat dalam tubuh manusia seperti miokardium (miosin
dan tropomiosin), katup jantung (laminin), sinovial (vimentin), kulit (keratin) juga
subtalamus dan nukleus kaudatus (lysogangliosides) yang terdapat diotak. Adanya
kemiripan pada struktur molekul inilah yang mendasari terjadinya respon
autoimun pada demam rematik. Kelainan respon imun ini didasarkan pada
reaktivitas silang antara protein M Streptokokus dengan jaringan manusia yang
akan mengaktivasi sel limfosit B dan T. Sel T yang telah teraktivasi akan
menghasilkan sitokin dan antibodi spesifik yang secara langsung menyerang
protein tubuh manusia yang mirip dengan antigen Streptokokus. Pada kasus ini,
dari anamnesis didapatkan bahwa pasien pernah mengalami batuk sebelumnya
sehingga kemungkinan kerusakan katup jantung yang dialaminya adalah akibat
antibodi. Hal padat dibuktikan dari hasil laboratorium ASTO. Kerusakan pada
katup jantung yang terjadi dapat menyebabkan regurgitasi dan menimbulkan
bunyi murmur pada jantung.
Berdasarkan panduan praktik klinik (PPK) kasus penyakit jantung rematik
diterapi dengan menggunakan antibiotik berupa benzatin penisilin G dengan dosis
600.000-900.000 unit (BB <27kg) dan 1.200.000 unit (BB ≥27kg) selama 10 hari
untuk eradikasi bakteri. Selain antibiotik juga diberikan obat antiinflamasi yaitu
prednison dengan dosis 2mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Dosis prednison mulai

46
ditappering pada minggu ketiga. Untuk mengatasi dekompensasi kordis yang
dialami pasien, diberikan diuretika berupa furosemid sebanyak 1-2mg/kgBB/kali
IV sebanyak 2 kali per hari. Furosemid bekerja dengan menginhibilisi reabsorbsi
natrium dan klorida di ginjal yang mengakibatkan banyaknya kalium dan kalsium
yang terbuang melalui urin, sehingga dapat terjadi keadaan hipokalemia dan
hipokalsemia. Untuk mengatasi efek samping tersebut, pada pasien ini diberikan
diuretik hemat kalium (spironolakton) yakni aldactone 3x25mg. Diberikan juga
ACE inhibitor yaitu captopril 2 x 12,5 mg untuk meningkatkan cardiac output
akibat mitral regurgitasi yang terjadi.

47

You might also like