Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Pembimbing:
dr. Ria Nova, Sp. A (K)
i
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Oleh:
Hilda Nadhila Hasbi, S.Ked 04054821820118
Azora Khairani Kartika, S.Ked 04054821820119
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya RSUP Dr.Mohammad Hoesin Palembang periode 04 Juni 2018 s.d 13
Agustus 2018.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala
rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kemudahan di setiap langkah kita,
sehingga atas izin-Nya laporan kasus yang berjudul “Patent Ductus Arteriosus”
dapat terselesaikan. Laporan kasus ini dibuat dengan maksud sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
Dalam menyelesaikan telaah ilmiah ini, penulis memperoleh banyak
dukungan dari berbagai pihak, dan pada kesempatan ini, penulis menyampaikan
ucapan terimakasih kepada dr. Ria Nova, Sp.A(K) selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan selama penulisan laporan kasus ini.
Terimakasih pula penulis sampaikan kepada para residen, teman-teman dokter
muda dan semua pihak yang telah membantu dalam laporan kasus ini. Laporan kasus
ini masih jauh dari sempurna baik isi maupun penyajiaannya sehingga diharapkan
saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak guna penyempurnaan lapran
kasus ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
akibat PJR. Angka kejadian yang tinggi di Negara berkembang berhubungan dengan
sosial ekonomi yang rendah, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, infeksi
tenggorok yang tidak diobati, akibat lingkungan yang padat atau karena penanganan
yang terlambat. Oleh sebab itu, sebagai seorang praktisi klinis dilayanan pertama,
sangatlah penting dapat mendiagnosa dini serta merujuk ke bagian yang relevan
secara cepat dan tepat sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
akibat penyakit ini.
2
BAB II
STATUS PEDIATRIK
I. Identifikasi
a. Nama : MF
b. Umur : 48 hari (13/05/2018)
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Nama Ayah : Tn. AH
e. Nama Ibu : Ny. NH
f. Bangsa : Indonesia (Suku Sumatera)
g. Agama : Islam
h. Alamat : Jl. Sunga Tawar, 29 Ilir, Palembang
i. Dikirim oleh : Poli RSMH
j. MRS tanggal : 21 Juni 2018
II. Anamnesis
Tanggal : 29 Juni 2018
Diberikan oleh : Ibu penderita (alloanamnesis)
A. Riwayat Penyakit Sekarang
1. Keluhan Utama : Sesak napas
2. Keluhan Tambahan : Batuk
3. Riwayat Perjalanan Penyakit :
Empat hari SMRS, penderita batuk, batuk kering dan kadang-kadang.
Pilek (-), demam (-), mual (-), muntah (-), diare (-), BAB dan BAK biasa.
Penderita dibawa berobat ke praktik dokter umum, disarankan untuk ke poli
jantung anak RSMH karena terdengar bunyi tambahan pada jantung penderita.
3
Satu hari SMRS, penderita masih batuk (+), batuk kering dan semakin
memberat. Penderita lalu dibawa ke poli jantung anak RSMH, dilakukan
echocardiografi dan diberi obat captopril dan furosemide.
Beberapa jam SMRS, penderita mengalami sesak napas, semakin
memberat ketika menyusu, sesak dipengaruhi posisi dan aktivitas. Penderita
hanya minum sedikit. Batuk (+) semakin sering, batuk kering, dan setelah batuk
terdengar bunyi grok-grok. Hidung penderita terlihat kembang-kempis. Penderita
lalu dibawa ke IGD RSMH.
4
Riwayat KPD (-), ketuban kental hijau (-), bau (-) .
Masa Kehamilan: 33 minggu
Partus : Sectio Caesaria
Tempat : RS Muhammadiyah Palembang
Ditolong oleh : Sp.OG
Tanggal : 13 Mei 2018
BBL : ±3100 gram
PBL : 51 cm
Lingkar kepala : Ibu lupa
2. Riwayat Makanan
ASI : Ya, dari lahir sampai usia 48 hari masih diberi ASI
Susu Formula : Ya, mulai diberi pada usia 41 hari saat MRS (diselingi
ASI)
Nasi Tim :-
Nasi Biasa :-
Daging :-
Ikan :-
Tempe :-
Tahu :-
Sayuran :-
Buah :-
Kesan : Kualitas dan kuantitas kurang
3. Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR
Vaksin I II III IV
HB0 √ (0 bulan)
BCG √ (1 bulan)
DPT -
5
HEPATITIS B √ (1 bulan)
Hib -
Polio √ (1 bulan)
Campak -
Kesan : Imunisasi dasar lengkap untuk usia penderita
4. Riwayat Keluarga
Perkawinan : 1 kali pada tahun 2008
Umur : Ibu 38 tahun; Ayah 44 tahun
Pendidikan : Ibu S-1; Ayah SMA
Penyakit yang pernah diderita :
- Nenek (ibu) penderita dengan DM tipe 2
- Kakek penderita dengan penyakit jantung dan DM tipe 2
- Nenek (ayah) penderita dengan penyakit jantung
6
Tinggi badan : 52 cm
Status Gizi
• BB/U :
• TB /U :
• BB/TB :
• Kesan :
Suhu : 36,6oC
Pernapasan : 24 kali/menit, regular
Tipe pernapasan : torakoabdominal
Tekanan Darah : 110/60 mmHg
Nadi : 122 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Edema (-), sianosis (-), dispnue (-), anemia (-), ikterus (-), dismorfik (-)
Kulit : Capillary Refill Time <2 detik
B. Pemeriksaan Khusus
Kepala : Wajah dismorfik (-)
Mata : Palpebra edem (-/-), mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sclera
ikterik (-/-), pupil bulat, sentral, diameter 3 cm, reflex cahaya (+/+)
Hidung : NCH (-), secret (-), darah (-), polip (-)
Bibir : Sianosis (-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-), Tonsil T1-T1, hiperemis (-)
Telinga : Sekret (-), nyeri (-), otore (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP 5+2 cmH2O
7
Thoraks : Simetris, retraksi (-), iga gambang (-)
Paru-paru :
Inspeksi : simetris
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, Rhonki (-/-) wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus kordis terlihat di ICS V LMC sinistra
Palpasi : Ictus kordis teraba di ICS V LMC sinistra, thrill (+)
Perkusi : Batas atas jantung kanan ICS II LPS dextra, kiri ICS II LPS
sinistra. Batas bawah jantung kanan ICS V LPS dextra, kiri
ICS VI LAA sinistra.
Auskultasi : HR 122x/m, irama reguler, bunyi jantung I dan II normal,
murmur (+) pansistolik grade IV/6 pada ICS V LMC sinistra,
penjalaran ke aksila, dan ICS V LPS dextra, penjalaran ke
apeks, gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar (-), venektasi (-), lesi kulit (-), baggy pants (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, shifting
dullness (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, Tonus 5/5, Edema (-)
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil
Jenis Pemeriksaan Rujukan
(01-12-2016)
HEMATOLOGI
8
Hemoglobin (Hb) 11.2 12.0-14.4 g/dL
Eritrosit (RBC) 4.66 4.75-4.85 x 106/mm3
Leukosit (WBC) 13,4 4.5-13.5 x 103/mm3
Hematokrit 36 36-42%
Trombosit (Plt) 309 217 - 497 103/µL
LED 67 <20 mm/jam
Hitung Jenis Leukosit 0/1/68/24/7 0-1/1-6/50-70/20-40/2-8
IMUNOSEROLOGI
PETANDA INFEKSI
CRP Kuantitatif 40 <5 mg/L
ASTO Positif Negatif
9
Kesan : Kardiomegali
Pemeriksaan EKG (30-11-2016)
10
Kesan: Situs Solitus, AV-VA concordance
Dilatasi LA dan LV
Terdapat MR berat, MS moderate, TR moderate, AR moderate, PR ringan
Terdapat Pericardial efusi minimal
Tampak kalsifikasi dikatup mitral posterior
Tidak ada ASD, VSD, PDA
Fungsi siitolik ventrikel kiri normal (EF:74,5% FS: 43,9%)
Kesimpulan: MS moderate + Kalsifikasi pada katup mitral posterior + MR
berat + TR moderate + AR moderate + PR ringan ec Penyakit
Jantung Rematik + Pericardial efusi minimal
III. Resume
Seorang anak perempuan, usia 13 tahun, dirujuk ke RSMH dengan
keluhan utama sesak napas dan keluhan tambahan demam. Tiga bulan SMRS
anak mengeluh demam, tidak terlalu tinggi dan terus menerus. Batuk ada, tidak
berdahak, sakit tenggorokan ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien
11
dibawa berobat ke puskesmas diberikan obat (ayah pasien lupa nama obat)
terdapat perbaikan. Satu bulan SMRS anak kembali demam namun tidak terlalu
tinggi. Penderita mengeluh nyeri yang hilang timbul berawal di lutut, lalu
berpindah ke mata kaki dan terkadang dirasakan pada pergelangan tangan, nyeri
terkadang disertai bengkak. Penderita berobat ke puskesmas kembali dan diberi
obat penurun panas (parasetamol) dan 3 obat lainnya (ayah pasien lupa nama
obat), nyeri hilang dan demam turun.
Dua minggu SMRS anak mengeluh jantung berdebar-debar, terdapat
sesak yang dipengaruhi oleh aktivitas terutama setelah penderita jalan ± 200m.
Sesak berkurang dengan istirahat, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan posisi,
penderita tidur masih menggunakan 1 bantal. Satu minggu SMRS, sesak napas
dirasakan semakin sering, terus-menerus dan timbul walaupun sedang istirahat,
penderita merasa nyaman tidur dengan menggunakan 2-3 bantal, jantung
berdebar-debar, sering berkeringat. Nyeri dan bengkak disendi-sendi pergelangan
tangan, tungkai dan lutut muncul kembali, hilang timbul dan berpindah. Nafsu
makan berkurang. Penderita dibawa ke RSUD Prabumulih dan dilakukan
pemeriksaan darah dan rontgen thoraks. Didapatkan hasil Lab Hb 11,5 g/dL, Leu
12.000/uL, Rbc 4,65 x 106 /uL, DC 0/0/0/68/32/0, LED 35 mm/jam, Plt 290 x 103
/uL, Ht 36,3 %, ASTO (-), CRP (+). Pada pemeriksaan rontgen thoraks
didapatkan kesan kardiomegali. Penderita kemudian dirujuk ke RSMH
Palembang.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak keadaan sakit
sedang, nadi 122 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup , Tekanan Darah
110/70 mmHg, Pernapasan 39 kali/menit, suhu 36,6oC. Keadaan spesifik
didapatkan JVP 5+2 cm H2O. Pemeriksaan fisik pada jantung didapatkan Ictus
kordis terlihat dan teraba di ICS V LMC sinistra, thrill ada, batas atas jantung
kanan ICS II LPS dextra, kiri ICS II LPS sinistra. Batas bawah jantung kanan ICS
V LPS dextra, kiri ICS VI LAE sinistra. Auskultasi didaptkan HR 122x/m, irama
12
reguler, bunyi jantung I dan II normal, murmur (+) pansistolik grade IV/6 pada
ICS V LMC sinistra, penjalaran ke aksila, dan ICS V LPS dextra, penjalaran ke
apeks, gallop (-). Abdomen dalam batas nomal.
Dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang, dari hasil laboratorium
didapatkan Hb: 11.2 g/dL, Eritrosit 4.66 jt/mm3, LED 67 mm/jam, CRP kuantitatif
40 dan ASTO positif. Rontgen thoraks pada pasien menggambarkan kardiomegali,
EKG dengan kesan Hypertropi ventrikel kiri dan echocardiografi dengan kesan
MS moderate + Kalsifikasi pada katup mitral posterior + MR berat + TR moderate
+ AR moderate + PR ringan ec Penyakit Jantung Rematik + Pericardial efusi
minimal.
V. Diagnosis Banding
1. Dekompensasi kordis NYHA IV ec. Penyakit Jantung Rematik +
Marasmus kondisi V
2. Dekompensasi kordis NYHA IV + Juvenile rheumatoid arthritis +
Marasmus kondisi V
3. Dekompensasi kordis NYHA IV + Sistemik Lupus Eritematosus +
Marasmus kondisi V
13
VI. Diagnosis Kerja
Dekompensasi kordis NYHA IV ec. Penyakit Jantung Rematik + Marasmus
kondisi V
VII. Terapi
a. TERAPI
SUPORTIF
O2 3-4 l/menit via nasal kanul
SIMPTOMATIS
Furosemid 2x20mg IV
Spironolacton 2x12,5mg
Prednison 4x15mg
CAUSATIF
Benzatin penisilin 1,2 juta Unit (IM)
b. DIET
Diet 2300 kkal/hari. Disajikan dalam bentuk :
- Nasi Biasa 3 x 1 porsi (@500 kkal)
- Susu F100 3 x 200 ml
- Snack 3x1 (@60kkal)
c. MONITORING
- Monitoring tanda-tanda dekompensasi kordis
- Observasi sesak napas
- Tanda-tanda vital
- Intake dan output, berat badan tiap minggu
d. EDUKASI
Mengurangi aktivitas fisik dan stress
Menjelaskan tentang lama pemberian obat dan efek samping
pengobatan
Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene, terutama kebersihan
gigi dan mulut untuk mencegah terjadinya infective endocarditis
14
Menjelaskan prognosis penyakit
X. PROGNOSIS
Qua ad vitam : dubia ad bonam
Qua ad sanationam : dubia ad bonam
Qua ad functionam : dubia ad malam
FOLLOW UP (Subjektif/Objektif/Assestment/Planning)
Tangg RENCANA
CATATAN KEMAJUAN (S/O/A)
al-Jam TATALAKSANA
8 Des S/ : sesak (-), demam (-), lesu lemas (+), sering P/ : Furosemid 2x20mg IV
2016 berkeringat (+), nyeri sendi (-) Spironolacton 2x12,5mg
O/ : Kesadaran CM, nadi 112x/m, RR 24x/m, Prednison 4x15mg (8)
Temp 36.5oC, TD 100/70mmHg, BB 26kg,
NCH (-)
Thoraks simetris, retraksi (-)
Cor:
I : Ictus kordis teraba di ICS V LMC sinistra,
thrill (+),
A : HR 112x/m, irama reguler, bunyi jantung I
dan II normal, murmur (+) pansistolik grade
IV/6 pada ICS V LMC sinistra, penjalaran ke
aksila, dan ICS V LPS dextra, penjalaran ke
apeks, gallop (-).
P : Batas atas jantung kanan ICS II LPS dextra,
kiri ICS II LPS sinistra. Batas bawah jantung
kanan ICS V LPS dextra, kiri ICS VI LAA
15
sinistra
Pulmo: Ves (+) normal, wh (-), rh (-)
Abdomen datar, hepar lien tak teraba, Bising
usus (+) normal
Akral hangat, CRT <2detik, edema (-)
A/ : Dekompensasi kordis NYHA IV ec.
Penyakit Jantung Rematik + Marasmus kondisi
V
9 Des S/ : sesak (-), demam (-), lesu lemas (+), sering P/ : Furosemid 2x20mg IV
2016 berkeringat (+), nyeri sendi (-) Spironolacton 2x12,5mg
O/ : Kesadaran CM, nadi 121x/m, RR 24x/m, Prednison 4x15mg (9)
Temp 36.7oC, TD 100/60mmHg, BB 26kg,
NCH (-)
Thoraks simetris, retraksi (-)
Cor:
I : Ictus kordis teraba di ICS V LMC sinistra,
thrill (+),
A : HR 121x/m, irama reguler, bunyi jantung I
dan II normal, murmur (+) pansistolik grade
IV/6 pada ICS V LMC sinistra, penjalaran ke
aksila, dan ICS V LPS dextra, penjalaran ke
apeks, gallop (-)
P : Batas atas jantung kanan ICS II LPS dextra,
kiri ICS II LPS sinistra. Batas bawah jantung
kanan ICS V LPS dextra, kiri ICS VI LAA
sinistra
Pulmo: Ves (+) normal, wh (-), rh (-)
Abdomen datar, hepar lien tak teraba, Bising
usus (+) normal
Akral hangat, CRT <2detik, edema (-)
A/ : Dekompensasi kordis NYHA IV ec.
Penyakit Jantung Rematik + Marasmus kondisi
V
10 Des S/ : sesak (-), demam (-), lesu lemas (+), sering P/ : Furosemid 2x20mg IV
2016 berkeringat (+), nyeri sendi (-) Spironolacton 2x12,5mg
16
O/ : Kesadaran CM, nadi 114x/m, RR 26x/m, Prednison 4x15mg (10)
Temp 36.4oC, TD 100/70mmHg, BB 27kg,
NCH (-)
Thoraks simetris, retraksi (-)
Cor:
I : Ictus kordis teraba di ICS V LMC sinistra,
thrill (+),
A : HR 114x/m, irama reguler, bunyi jantung I
dan II normal, murmur (+) pansistolik grade
IV/6 pada ICS V LMC sinistra, penjalaran ke
aksila, dan ICS V LPS dextra, penjalaran ke
apeks, gallop (-)
P : Batas atas jantung kanan ICS II LPS dextra,
kiri ICS II LPS sinistra. Batas bawah jantung
kanan ICS V LPS dextra, kiri ICS VI LAA
sinistra
Pulmo: Ves (+) normal, wh (-), rh (-)
Abdomen datar, hepar lien tak teraba, Bising
usus (+) normal
Akral hangat, CRT <2detik, edema (-)
A/ : Dekompensasi kordis NYHA IV ec.
Penyakit Jantung Rematik + Marasmus kondisi
V
11 Des S/ : sesak (-), demam (-), lesu lemas (+), sering P/ : Furosemid 2x20mg IV
2016 berkeringat (+), nyeri sendi (-) Spironolacton 2x12,5mg
O/ : Kesadaran CM, nadi 110x/m, RR 25x/m, Prednison 4x15mg (11)
Temp 36.6oC, TD 100/70mmHg, BB 27kg,
NCH (-)
Thoraks simetris, retraksi (-)
Cor:
I : Ictus kordis teraba di ICS V LMC sinistra,
thrill (+),
A : HR 110x/m, irama reguler, bunyi jantung I
dan II normal, murmur (+) pansistolik grade
IV/6 pada ICS V LMC sinistra, penjalaran ke
aksila, dan ICS V LPS dextra, penjalaran ke
17
apeks, gallop (-)
P : Batas atas jantung kanan ICS II LPS dextra,
kiri ICS II LPS sinistra. Batas bawah jantung
kanan ICS V LPS dextra, kiri ICS VI LAA
sinistra
Pulmo: Ves (+) normal, wh (-), rh (-)
Abdomen datar, hepar lien tak teraba, Bising
usus (+) normal
Akral hangat, CRT <2detik, edema (-)
A/ : Dekompensasi kordis NYHA IV ec.
Penyakit Jantung Rematik + Marasmus kondisi
V
12 Des S/ : sesak (-), demam (-), lesu lemas (-), sering P/ : Furosemid 2x20mg IV
2016 berkeringat (-), nyeri sendi (-) Spironolacton 2x12,5mg
O/ : Kesadaran CM, nadi 112x/m, RR 24x/m, Prednison 4x15mg (12)
Temp 36.6oC, TD 100/70mmHg, BB 28kg,
NCH (-)
Thoraks simetris, retraksi (-)
Cor:
I : Ictus kordis teraba di ICS V LMC sinistra,
thrill (+),
A : HR 112x/m, irama reguler, bunyi jantung I
dan II normal, murmur (+) pansistolik grade
IV/6 pada ICS V LMC sinistra, penjalaran ke
aksila, dan ICS V LPS dextra, penjalaran ke
apeks, gallop (-)
P : Batas atas jantung kanan ICS II LPS dextra,
kiri ICS II LPS sinistra. Batas bawah jantung
kanan ICS V LPS dextra, kiri ICS VI LAA
sinistra
Pulmo: Ves (+) normal, wh (-), rh (-)
Abdomen datar, hepar lien tak teraba, Bising
usus (+) normal
Akral hangat, CRT <2detik, edema (-)
A/ : Dekompensasi kordis NYHA IV ec.
Penyakit Jantung Rematik + Marasmus kondisi
18
V
19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah peradangan jantung dan jaringan
parut akibat karditis rematik yang dipicu oleh reaksi autoimun terhadap infeksi
streptokokus beta hemolitikus grup A. PJR adalah penyakit jantung sebagai akibat
adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang ditandai dengan
terjadinya cacat katup jantung.1
Demam rematik (DR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non
supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan
ikat. Proses rematik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak
organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat.2 Definisi lain juga
mengatakan bahwa PJR adalah hasil dari DR, yang merupakan suatu kondisi yang
dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada
saluran nafas bagian atas.1,2 DR merupakan suatu sindroma klinik penyakit akibat
infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada tenggorokan yang terjadi secara
akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans
akut, karditis, korea, nodul subkutan dan eritema marginatum.2
3.2 Epidemiologi
Penyakit DR dan gejala sisanya, yaitu PJR, merupakan jenis penyakit jantung
didapat yang paling banyak dijumpai pada populasi anak-anak dan dewasa muda. DR
akut terjadi pada 0,3% kasus faringitis oleh Streptokokus Beta Hemolitikus Grup A
pada anak. Sebanyak 39% dari pasien dengan demam rematik akut akan berkembang
menjadi pankarditis dengan berbagai derajat disertai insufisiensi katup, gagal jantung,
perikarditis, dan bahkan kematian. Pada PJR kronik, pasien dapat mengalami stenosis
20
katup dengan berbagai derajat regurgitasi, dilatasi atrium, aritmia, dan disfungsi
ventrikel.3
Pada tahun 1994, WHO memperkirakan sekitar 12 juta orang di seluruh dunia
menderita DR dan PJR, dimana 3 juta orang di antaranya mengalami komplikasi
berupa gagal jantung. Angka pasti prevalens dan insidens DR sulit didapatkan
terutama di Negara berkembang. Berdasarkan beberapa survei yang dilakukan oleh
WHO antara tahun 1986-1999, diperkirakan insidens DR pada anak sekolah berkisar
0,2 kasus per 1.000 anak di Kuba sampai 77,8 kasus per 1.000 anak di Samoa.
Insidens DR pada anak sekolah bervariasi mulai 1/100.000 di Kosta Rika sampai
150/100.000 di Cina. Secara epidemiologis kelompok umur yang paling sering
mengalami faringitis yang disebabkan oleh Streptokokus Beta Hemolitikus Grup A
adalah usia sekolah (6-15 tahun).4
Di beberapa negara berkembang temasuk Indonesia, DR dan PJR masih
merupakan masalah medis dan masalah kesehatan masyarakat yang penting.
Tingginya angka kejadian di Negara berkembang berhubungan dengan kurang-nya
pengetahuan masyarakat, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, kepadatan
penduduk, serta kurangnya pelayanan kesehatan yang memadai. Hal ini terbukti dari
insidens DR dan prevalensi PJR sampai saat ini tak banyak berubah.5
3.3 Etiologi
Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman
Streptokokus Beta Hemolitik grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini
pada kulit mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman
Streptokokus Beta Hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang
didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut.
Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada
manusia, tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DR
dan PJR.1,7
21
Hubungan kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A sebagai penyebab
DR terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh
dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang
membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai hubungan dengan infeksi
Streptococcus beta hemolitycus grup A, terutama serotipe M1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan
24.1,7
Sekurang-kurangnya sepertiga penderita menolak adanya riwayat infeksi
saluran nafas karena infeksi streptokokkus sebelumnya dan pada kultur apus
tenggorokan terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A sering negatif pada saat
serangan DR. Tetapi respons antibodi terhadap produk ekstraseluler streptokokus
dapat ditunjukkan pada hampir semua kasus DR dan serangan akut DR sangat
berhubungan dengan besarnya respon antibodi. Diperkirakan banyak anak yang
mengalami episode faringitis setiap tahunnya dan 15%-20% disebabkan oleh
Streptokokus grup A dan 80% lainnya disebabkan infeksi virus. Insidens infeksi
Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan bervariasi di antara
berbagai negara dan di daerah didalam satu negara. Insidens tertinggi didapati pada
anak usia 5 -15 tahun.1
22
8 tahun. Distribusi ini sesuai dengan insidens infeksi streptokokkus pada anak
usia sekolah. DR lebih sering didapatkan pada anak perempuan daripada laki-
laki. Begitu juga dengan kelainan katup sebagai gejala sisa PJR juga
menunjukkan perbedaan jenis kelamin.1
Faktor ekstrinsik, antara lain disebabkan :
Keadaan Sosial Ekonomi yang Buruk
Tingkat sosial ekonomi merupakan faktor penting dalam terjadinya DR.
Golongan masyarakat dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah
dengan manifestasinya, seperti ketidaktahuan, perumahan dan lingkungan
yang buruk, tempat tinggal yang berdesakan, dan pelayanan kesehatan yang
kurang baik, merupakan golongan yang paling rawan. Pengalaman di negara-
negara yang sudah maju menunjukkan bahwa angka kejadian DR akan
menurun seiring dengan perbaikan tingkat sosial ekonomi masyarakat negara
tersebut.1
Iklim dan Geografi
Penyakit DR ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi
daerah tropis juga mempunyai insidens yang tinggi. Perubahan cuaca yang
mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas
meningkat, sehingga insidens DR juga meningkat. Demikian juga pada musim
hujan kemungkinan terjadinya PJR meningkat.1
3.5 Patofisiologi
Hubungan antara infeksi Streptokokkus Beta Hemolitik grup A dengan
terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respon autoimun
terhadap infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan. Respons
manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaaan
genetic host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme
patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran antigen
histokompatibilitas mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibodi yang
23
berkembang segera setelah infeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor risiko
yang potensial dalam patogenesis penyakit ini.1
Beberapa penelitian berpendapat bahawa DR yang mengakibatkan PJR terjadi
akibat sensitisasi dari antigen Streptococcus beta hemolitycus grup A di faring.
Streptococcus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat, berdiameter 0,5-1 mikron
dan mempunyai karakteristik dapat membentuk pasangan atau rantai selama
pertumbuhannya. Streptococcus beta hemolitycus grup A ini terdiri dari dua jenis,
yaitu hemolitik dan non hemolitik. Yang menginfeksi manusia pada umumnya jenis
hemolitik. Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptolisin O
(ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua jenis tes
yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A. 1
DR merupakan manifestasi yang timbul akibat kepekaan tubuh yang
berlebihan (hipersentivitas) terhadap beberapa produk yang dihasilkan oleh
Streptococcus beta hemolitycus grup A. Terdapat hipotesis yang menyatakan tentang
adanya reaksi silang antibody terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A
dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen mirip antigen Streptococcus
beta hemolitycus grup A. Hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun.1
Dalam keadaan normal, sistem imun dapat membedakan antigen tubuh sendiri
dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self antigen, tetapi
pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi autoimun. Reaksi
autoimun adalah reaksi sistem imun terhadap antigen sel jaringan sendiri. Antigen
tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang dibentuk disebut autoantibodi.
Reaksi autoantigen dan autoantibodi yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
gejala-gejala klinis disebut penyakit autoimun, sedangkan bila tidak disertai gejala
klinis disebut fenomena autoimun. Oleh karena itu pada umumnya para ahli
sependapat bahwa DR termasuk dalam penyakit autoimun.1
24
3.6 Manifestasi Klinis
DR Akut terdiri dari sejumlah manifestasi klinis, di antaranya artritis, korea,
nodulus subkutan, dan eritema marginatum. Berbagai manifestasi ini cenderung
terjadi bersama-sama dan dapat dipandang sebagai sindrom, yaitu manifestasi ini
terjadi pada pasien yang sama, pada saat yang sama atau dalam urutan yang
berdekatan.1
Manifestasi klinis ini dapat dibagi menjadi manifestasi mayor dan manifestasi
minor, yaitu :
Manifestasi Klinis Mayor
Manifestasi mayor terdiri dari artritis (Polyarthritis), karditis, korea, eritema
marginatum, dan nodul subkutan.
o Polyarthritis. Risiko artritis adalah 75% pada serangan pertama demam
rematik, dan resiko ini semakin meningkat dengan peningkatan usia.
Artritis merupakan manifestasi utama pada 92% usia dewasa. Artritis pada
DRA biasanya simetris dan mengenai sendi utama seperti lutut, siku,
pergelangan tangan, dan pergelangan kaki. Beberapa sendi sekaligus bisa
terkena biasanya radang pada sendi lain akan mulai sebelum radang sendi
sebelumnya mereda sehingga timbul gambaran seolah-olah nyeri sendi
berpindah pindah (migratory). Radang biasanya akan mereda dalam
hitungan hari sampai minggu dan umumnya sembuh sempurna. Pada
keadaan yang sangat jarang bisa terjadi periartikular fibrosis setelah
rematik artritis yang disebut sebagai sendi Jaccoud.10
o Karditis merupakan proses peradangan aktif yang mengenai endokardium,
miokardium, dan perikardium. Dapat salah satu saja, seperti endokarditis,
miokarditis, dan perikarditis. Endokarditis dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan pada daun katup yang menyebabkan terdengarnya
bising yang berubah-ubah. Ini menandakan bahwa kelainan yang
ditimbulkan pada katup belum menetap. Miokarditis ditandai oleh adanya
25
pembesaran jantung dan tanda-tanda gagal jantung. Sedangkan perikarditis
adalah nyeri pada perikardial. Bila mengenai ketiga lapisan sekaligus
disebut pankarditis. Karditis ditemukan sekitar 50% pasien DR Akut.
Gejala dini karditis adalah rasa lelah, pucat, tidak berghairah, dan anak
tampak sakit meskipun belum ada gejala-gejala spesifik. Karditis
merupakan kelainan yang paling serius pada DR Akut, dan dapat
menyebabkan kematian selama stadium akut penyakit. Diagnosis klinis
karditis yang pasti dapat dilakukan jika satu atau lebih tanda berikut ini
dapat ditemukan, seperti adanya perubahan sifat bunyi jantung organik,
ukuran jantung yang bertambah besar, terdapat tanda perikarditis, dan
adanya tanda gagal jantung kongestif. 1
o Tabel 1. Pembagian Karditis menurut Decourt
Karditis Ringan Karditis Sedang Karditis Berat
o Korea merupakan gangguan sistim saraf pusat yang ditandai oleh gerakan
tiba-tiba, tanpa tujuan, dan tidak teratur, seringkali disertai kelemahan otot
dan emosi yang tidak stabil. Gerakan tanpa disedari akan ditemukan pada
wajah dan anggota gerak tubuh. Gerakan ini akan menghilang pada saat
tidur. Korea biasanya muncul setelah periode laten yang panjang, yaitu 2-6
bulan setelah infeksi Streptokokkus dan pada waktu seluruh manifestasi
DR lainnya mereda. Korea ini merupakan satu-satunya manifestasi klinis
yang memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak
perempuan dibandingkan pada laki-laki.1
26
o Eritema marginatum merupakan manifestasi DR pada kulit, berupa bercak-
bercak merah muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan tepinya
berbatas tegas, berbentuk bulat atau bergelombang, tidak nyeri, dan tidak
gatal. Tempatnya dapat berpindah-pindah, di kulit dada dan bagian dalam
lengan atas atau paha, tetapi tidak pernah terdapat di kulit muka. Eritema
marginatum ini ditemukan kira-kira 5% dari penderita DR dan merupakan
manifestasi klinis yang paling sukar didiagnosis.1
o Nodul subkutan merupakan manifestasi mayor DR yang terletak dibawah
kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah digerakkan, berukuran antara 3-
10mm. Kulit diatasnya dapat bergerak bebas. Biasanya terdapat di bagian
ekstensor persendian terutama sendi siku, lutut, pergelangan tangan dan
kaki. Nodul ini timbul selama 6-10 minggu setelah serangan DR Akut.1
Manifestasi Klinis Minor
Manifestasi klinis minor merupakan manifestasi yang kurang spesifik tetapi
diperlukan untuk memperkuat diagnosis DR. Manifestasi klinis minor ini meliputi
demam, atralgia, nyeri perut, dan epistaksis.1
Demam hampir selalu ada pada poliartritis rematik. Suhunya jarang
melebihi 39°C dan biasanya kembali normal dalam waktu 2 atau 3
minggu, walau tanpa pengobatan. Demam dapat berlangsung berkali-kali
dengan tanda umum berupa malaise, astenia, dan penurunan berat badan.
Atralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi, seperti nyeri,
merah, hangat, yang terjadi selama beberapa hari atau minggu. Rasa sakit
akan bertambah bila penderita melakukan latihan fisik.
Gejala lain adalah nyeri perut, epistaksis, dan nyeri tenggorok. Hanya 35-
60% penderita DRA yang ingat adanya infeksi saluran nafas atas pada
beberapa minggu sebelumnya. Nyeri perut membuat penderita kelihatan
pucat. Epistaksis berulang merupakan tanda subklinis dari DR.
27
3.7 Diagnosis
Diagnosis DRA ditegakkan berdasarkan kriteria Jones dan salah satu kriteria
mayor adalah karditis yang menunjukkan adanya keterlibatan katup jantung dan dapat
diperkirakan secara klinis dengan terdapatnya murmur pada pemeriksaan auskultasi,
namun seringkali klinisi yang berpengalamanpun tidak mendengar adanya murmur
padahal sudah terdapat keterlibatan katup pada pasien tersebut. Keterlibatan katup
seperti ini dinamakan karditis/valvulitis subklinis. Saat ini, diagnosis DRA
ditegakkan berdasarkan Kriteria Jones. Namun dalam praktek sehari- hari tidak
mudah untuk menerapkankan hal tersebut.8
Tabel 2. Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk Diagnosis Demam Rematik dan
Penyakit Jantung Rematik (berdasarkan Revisi Kriteria Jones)
Kategori Diagnostik Kriteria
Demam rematik serangan pertama Dua mayor atau satu mayor dan dua
minor ditambah dengan bukti infeksi
SGA sebelumnya
Demam rematik serangan rekuren Dua mayor atau satu mayor dan dua
tanpa PJR minor ditambah dengan bukti infeksi
SGA sebelumnya
Demam rematik serangan rekuren Dua minor ditambah dengan bukti
dengan PJR infeksi SGA sebelumnya
Korea Sydenham Tidak diperlukan kriteria mayor
lainnya atau bukti infeksi SGA
PJR (stenosis mitral murni atau Tidak diperlukan kriteria lainnya
kombinasi dengan insufisiensi mitral untuk mendiagnosis sebagai PJR
dan/atau gangguan katup aorta)
28
Diagnosis demam rematik ditegakkan bila terdapat 2 manifestasi mayor atau 1
manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor dan didukung bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya yaitu kultur apus tenggorok yang positif atau kenaikan titer
antibodi streptokokus (ASTO) >200.11
Pemeriksaan Laboratorium
Kultur tenggorokan merupakan gold standard untuk konfirmasi infeksi
streptokokus grup A.
Pemeriksaan antigen cepat tidak sesenstif dibandingkan kultur tenggorokan,
sehingga apabila hasilnya negatif tetap perlu dilakukan kultur tenggorokan.
Dengan spersifitasnya yang tinggi apabila hasil pemeriksaan antigennya positif
merupakan konfirmasi infeksi streptokokus grup A.
Pemeriksaan titer antibodi menggunakan antistreptolisin O (ASO),
antistreptococcal DNAse B (ADB) dan antistreptococcal hyaluronidase (AH).
ASO untuk mendeteksi antibodi streptokokus terhadap streptokokus lysin
O, peningkatan titer 2 kali lipat menunjukkan bukti infeksi terdahulu.
Pemeriksaan antibodi ini harus berhati hati pada daerah dengan infeksi
streptokokus yang tinggi, karena kadar titer yang tinggi secara umum
pada populasi tersebut.
Reaktan fase akut : C reactive protein (CRP) dan laju endap darah akan
meningkat pada DR akut, merupakan kriteria minor dari Jones.
Kultur darah berguna untuk menyingkirkan infektif endokarditis, bakteremia
dan infeksi gonokokus.
Foto toraks
Pada pasien karditis dan gagal jantung, pemeriksaan foto thorak akan
menggambarkan kondii jantung yang kardiomegali.7
29
Elektrokardiografi
Kelainan yang terpenting adalah PR interval memanjang ( kriteria minor Jones) tetapi
bukan bukti adanya karditis. Kelainan lain yang bisa muncul : Blok derajat 2 dan 3.
Pada penderita penyakit jantung rematik kronis bisa ditemukan pembesaran atrium
kiri akibat dari mitral stenosis.7
Ekokardiografi
Ekokardiografi memainkan peranan yang penting dalam mendiagnosis DRA.
Sensitifitas dan spesifisitas ekokardiografi yakni 89,4% dan 38,7% untuk penegakkan
diagnosis DRA. Sehingga ekokardiografi dapat disarankan untuk dimasukkan dalam
algoritma DRA. Dengan menambahkan pemeriksaan ekokardiografi, dapat digunakan
untuk menegakkan kriteria mayor karditis. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
mengetahui peranan ekokardiografi pada karditis subklinis. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ekokardiografi memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang cukup
tinggi untuk mendeteksi adanya karditis subklinis.9
3.8 Tatalaksana
Terapi untuk PJR terbagi atas beberapa bagianseperti di bawah ini :
Terapi antibiotik
Penggunaan antibiotik pada pencegahan primer (pengobatan infeksi
faringitis) akan menurunkan resiko DRA dan sangat dianjurkan. Pencegahan
sekunder bermanfaat untuk mencegah infeksi berulang terutama pada penderita
dengan riwayat DRA sebelumnya. Terapi profilaksis mengikuti guideline WHO.
Eradikasi Streptokokus merupakan syarat utama dalam pengobatan demam
rematik akut, sedangkan pengobatan lain bergantung pada manifestasi klinis
penyakit. Pengobatan Streptokokus dari tonsil dan faring sama dengan cara
pengobatan faringitis Streptokokus, yakni:
Benzatin penicillin G, dosis tunggal
Untuk BB ≥ 27 kg: dosis 1,2 juta unit, dan
30
Untuk BB ≤ 27 kg : dosis 600.000-900.000 unit
Bila tidak ada, dapat diberikan Prokain Penisilin 50.000 Iµ/kgBB selama 10 hari
Untuk lama pemberian terapi antibiotika dapat dilihat dari table berikut ini:
31
Tabel 3. Lama pemberian antibiotika profilaksis sekunder:
Lama pemberian setelah serangan
Kategori
terakhir
Demam rematik dengan karditis dan Selama 10 tahun atau sampai usia 40
penyakit jantung residual (kelainan katup tahun, pada beberapa kondisi (risiko
persisten) tinggi terjadi rekuren) dapat seumur
hidup
Demam rematik dengan karditis tetapi Selama 10 tahun atau sampai usia 21
tanpa penyakit jantung residual (tanpa tahun
kelainan katup)
Demam rematik tanpa karditis Selama 5 tahun atau sampai usia 21 tahun
32
Istirahat
Tabel di bawah ini menunjukan panduan tirah baring dan ambulasi untuk
pasien-pasien dengan ARD dan PJR
Tabel 5 Petunjuk tirah baring dan ambulasi
Hanya Karditis Karditis Karditis
Artritis Ringan Sedang Berat
Tirah baring 1-2 3-4 4-6 Selama masih
minggu minggu minggu terdapat gagal
jantung
kongestif
Ambulasi bertahap 1-2 3-4 4-6 2-3 bulan
(boleh rawat jalan minggu minggu minggu
bila tidak mendapat
steroid)
33
3.9 Pencegahan
Pencegahan Primordial
Tahap pencegahan ini bertujuan memelihara kesehatan setiap orang yang
sehat supaya tetap sehat dan terhindar dari segala macam penyakit termasuk
penyakit jantung. Untuk mengembangkan tubuh maupun jiwa serta memelihara
kesehatan dan kekuatan, maka diperlukan bimbingan dan latihan supaya dapat
mempergunakan tubuh dan jiwa dengan baik untuk melangsungkan hidupnya
sehari-hari. Cara tersebut adalah dengan menganut suatu cara hidup sehat yang
mencakup memakan makanan dan minuman yang menyehatkan, gerak badan
sesuai dengan pekerjaan sehari-hari dan berolahraga, usaha menghindari dan
mencegah terjadinya depresi, dan memelihara lingkungan hidup yang sehat.8
Pencegahan Primer
Pencegahan primer ini ditujun kepada penderita DR. Terjadinya DR
seringkali disertai pula dengan adanya PJR Akut sekaligus. Maka usaha
pencegahan primer terhadap PJR Akut sebaiknya dimulai terutama pada pasien
anak-anak yang menderita penyakit radang oleh streptococcus beta hemolyticus
grup A pada pemeriksaan THT (telinga,hidung dan tenggorokan), di antaranya
dengan melakukan pemeriksaan radang pada anak-anak yang menderita radang
THT, yang biasanya menyebabkan batuk, pilek, dan sering juga disertai panas
badan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kuman apa yang meyebabkan
radang pada THT tersebut. Selain itu, dapat juga diberikan obat anti infeksi,
termasuk golongan sulfa untuk mencegah berlanjutnya radang dan untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya DR. Pengobatan antistreptokokkus dan
anti rematik perlu dilanjutkan sebagai usaha pencegahan primer terhadap
terjadinya PJR Akut. Obat yang diberikan adalah penicillin oral diberikan
selama 10 hari, atau benzathine penicilin untk intravena.8
34
Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder diberikan segera setelah pencegahan primer.
Pecegahan sekunder ini dilakukan untuk mencegah menetapnya infeksi
streptococcus beta hemolyticus grup A pada bekas pasien DR. Pencegahan
tersebut dilakukan dengan cara, diantaranya :
1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A dengan pemberian
penisilin dengan dosis 1,2 juta unit selama 10 hari. Hal ini harus tetap
dilakukan meskipun biakan usap tenggorokan negative, karena kuman
masih ada dalam jumlah sedikit di dalam jaringan faring dan tonsil.
2. Obat anti radang
Pengobatan anti radang cukup efektif dalam menekan manifestasi radang
akut demam rematik, seperti salasilat dan steroid. Kedua obat tersebut
sangat efektif untuk mengurangi gejala demam, kelainan sendi serta fase
reaksi akut. Lebih khusus lagi, salisilat digunakan untuk DR tanpa karditis
dan steroid digunakan untuk memperbaiki keadaan umum anak, nafsu
makan cepat bertambah dan laju endapan darah cepat menurun. Dosis dan
lamanya pengobatan disesuaikan dengan beratnya penyakit.
3. Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada
sebagian besar kasus diberikan makanan dengan kalori dan protein yang
cukup. Selain itu diberikan juga makanan mudah cerna dan tidak
menimbulkan gas, dan serat untuk menghindari konstipasi. Bila kebutuhan
gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan tambahan berupa
vitamin atau suplemen gizi.
3.10 Komplikasi
Penyakit jantung rematik adalah komplikasi terberat dari DRA dan merupakan
penyebab terbesar dari mitral stenosis dan insufisiensi di dunia. Beberapa variabel
35
yang mempengaruhi beratnya kerusakan katub antara lain jumlah serangan DRA
sebelumnya, lama antara onset dengan pemberian terapi, dan jenis kelamin (penyakit
ini lebih berat pada wanita dibandingkan pria). Insufisensi katub akibat DRA akan
sembuh pada 60-80% penderita yang menggunakan profilaksis antibiotik.8
3.11 Prognosis
Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
36
BAB IV
ANALISIS KASUS
37
pasien ini dapat dipikirkan diagnosis dekompensasi cordis NYHA IV karena tetap
merasa sesak dalam keadaan istirahat. Dekompensasi kordis sendiri adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara adekuat untuk memenuhi
kebutuhan tubuh, ditandai dengan adanya sesak napas, sering berkeringat, orthopnea,
namun tidak ditemukan suara napas tambahan, dan edema di perifer.
Berdasarkan klasifikasi fungsional NYHA (New York Heart Association) gagal
jantung dibagi berdasarkan :
- Derajat I : Asimptomatik
- Derajat II : Dispneu bila aktivitas sedang
- Derajat III : Dispneu bila aktivitas ringan
- Derajat IV : Dispneu dalam keadaan istirahat
Pada pasien ini sesak napas timbul walaupun sedang istirahat, maka menurut
klasifikasinya adalah dekompensasi cordis NYHA IV.
Sedangkan untuk kriteria diagnosis dekompensasi kordis pada anak digunakan
system skoring menurut modifikasi Ross
0 1 2
- Bekeringat dingin Kepala Kepala dan badan Kepala dan badan
waktu aktivitas waktu istirahat
- Takipneu Jarang Kadang-kadang Sering
- Pola napas Normal Retraksi Dispneu
- Laju napas (x/menit)
0-1 tahun <50 50-60 >60
1-6 tahun <35 35-45 >45
7-10 tahun <25 25-35 >35
11-14 tahun <18 18-28 >28
- HR (x/menit)
0-1 tahun <160 160-170 >170
1-6 tahun <105 105-115 >115
38
7-10 tahun <90 90-100 >100
11-14 tahun <80 80-90 >90
- Jarak tepi hepar dari <2 cm 2-3 cm >3 cm
batas kostae
Dengan interpretasi :
Tanpa gagal jantung : 0-2 poin
Gagal jantung ringan : 3-6 poin
Gagal jantung sedang : 7-9 poin
Gagal jantung berat : 10-12 poin
Berdasarkan system skor Ross pada pasien ini mendapatkan skor 9 poin yang artinya
pasien ini menderita gagal jantung sedang.
Untuk mengetahui sebab gangguan jantung pada kasus ini, perlu diketahui
riwayat penyakit pasien. Selain sesak napas, pada anamnesis didapatkan riwayat nyeri
sendi. Nyeri sendi dapat terjadi akibat penyakit autoimun seperti pada sistemik lupus
eritematosus (SLE) dan artritis rheumatoid juvenil (ARJ). Pada SLE timbul nyeri
sendi yang ringan disertai bengkak menetap pada satu lokasi, selain itu dijumpai
gejala sistemik seperti demam dan didapatkan kelainan pada semua organ, seperti
pada kulit ditemukan ruam berbentuk sayap kupu-kupu (eritema malar) dan lupus
diskoid, kelainan pada ginjal ditemukan edema, nyeri kepala dan BAK merah.
Kelainan kardiovaskular yaitu sesak napas. Kelainan saluran napas yaitu sesak napas
dan batuk darah, kelainan hematologik yaitu pucat dan perdarahan, kelainan pada
system pencernaan adanya nyeri perut dan BAB hitam dan dapat mengenai organ
lainnya. Sedangkan pada ARJ nyeri sendi yang dirasakan pada pergerakan dan teraba
hangat, nyeri sendi tidak berpindah, sendi jarang terlihat merah dan biasanya muncul
kekakuan sendi di pagi hari. Biasanya juga disertai demam, nafsu makan turun dan
BB turun dan mungkin dijumpai pembengkakan kelenjar getah bening. Pada kasus
ini, nyeri sendi berpindah-piindah pada sendi-sendi besar yaitu lutut, pergelangan
kaki, siku, dan pergelangan tangan. Nyeri sendi dapat terjadi pada berbagai macam
39
kasus. Namun nyeri sendi yang sifatnya asimetris, berpindah, dan terjadi pada sendi-
sendi besar seperti pada kasus ini terjadi pada sekitar 70% pasien demam rematik
akut (DRA) dan disebut sebagai poliarthritis migrans.
Untuk menegakkan diagnosis demam rematik dan penyakit jantung rematik
digunakan kriteria WHO tahun 2003 berdasarkan kriteria Jones, yang terdiri dari
manifestasi mayor dan minor. Pada kasus ini terdapat 2 manifestasi mayor yaitu
poliarthritis migran dan karditis, dan terdapat 3 manifestasi minor yaitu athralgia dan
peningkatan LED dan atau CRP serta PR interval memanjang, didukung bukti adanya
infeksi streptococcus sebelumnya yaitu kultur apus tenggorok yang positif atau
kenaikan titer antibodi streptococcus (ASTO) > 200 atau hasil ASTO positif. Pasien
dikatakan menderita karditis berat karena adanya dekompensasi kordis ditandai
dengan bunyi jantung yang melemah, adanya bising jantung sistolik di bagian apeks,
takikardia, dan kardiomegali saat MRS. Berikut penegakan diagnosis pada kasus ini:
40
tetapi lebih sering berpindah-pindah. Sendi yang mata kaki dan
pergelangan tangan
terkena menunjukkan gejala-gejala radang yang jelas
yaitu merah, panas, nyeri dan fungsiolesia.
menghilang sendiri tanpa pengobatan
Korea Tidak ditemukan
gerakan-gerakan cepat, bilateral, tanpa tujuan dan
sukar dikendalikan, disertai kelemahan otot dan
gangguan emosional yang biasanya terjadi di otot
wajah atau ekstremitas
Eritema marginatum Tidak ditemukan
bercak merah muda, berbentuk bulat, lesi
berdiameter sekitar 2,5 cm, tengahnya pucat sedang
tepinya berbatas tegas, tanpa indurasi, tidak gatal dan
paling sering ditemukan pada batang tubuh dan
tungkai proksimal
Nodulus subkutan Tidak ditemukan
Terletak di bawah kulit, keras, tidak sakit, mudah
digerakkan dan berukuran 3-10 mm. Lokasinya
sekitar ektensor sendi siku, lutut, pergelangan kaki
dan tangan dan kaki, daerah oksipital serta di atas
prosesus vertebra torakalis dan lumbalis
2. Manifestasi Minor Pada Penderita
Klinis:
Artralgia Nyeri sendi yang berawal dari lutut, lalu
berpindah ke mata kaki dan pergelangan
tangan
Demam -
Laboratorium:
41
Peningkatan reaktan fase akut 30/11/2016
yaitu: LED dan atau CRP yang LED:70 (meningkat)
meningkat CRP:12 (meningkat)
Interval PR yang memanjang Terdapat interval PR memanjang
42
Berdasarkan kriteria Decourt, didapatkan hasil Karditis Berat
Sehingga, berdasarkan kriteria WHO 2002-2003 pada penderita ini didapatkan 2
kriteria mayor (Karditis dan Poliartritis migrans), 3 kriteria minor (Artralgia, LED
dan atau CRP yang meningkat, serta PR interval memanjang) dan bukti infeksi
streptokokkus sebelumnya (ASTO (+))
3. Interpretasi
Kategori Diagnostik Kriteria
Demam rematik serangan Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
pertama ditambah dengan bukti infeksi SGA sebelumnya
Demam rematik serangan Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
rekuren tanpa PJR ditambah dengan bukti infeksi SGA sebelumnya
Demam rematik serangan Dua minor ditambah dengan bukti infeksi SGA
rekuren dengan PJR sebelumnya
Korea Sydenham Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau
bukti infeksi SGA
PJR (stenosis mitral murni Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
atau kombinasi dengan mendiagnosis sebagai PJR
insufisiensi mitral dan/atau
gangguan katup aorta)
43
+ Kalsifikasi pada katup mitral posterior + MR berat + TR moderate + AR moderate
+ PR ringan ec Rheumatic Heart Disease + Pericardial efusi minimal.
Terdapat tiga hal yang berperan penting dalam terjadinya demam rematik,
yakni agen penyebab penyakit yaitu Streptokokus β-hemolitikus grup A, host
(manusia), dan faktor lingkungan. Streptokokus akan menyerang sistem pernapasan
dan menyebabkan faringitis. Protein M, faktor virulen yang terdapat pada dinding sel
Streptokokus, secara imunologis memiliki kemiripan dengan struktur protein yang
terdapat dalam tubuh manusia seperti miokardium (miosin dan tropomiosin), katup
jantung (laminin), sinovial (vimentin), kulit (keratin) juga subtalamus dan nukleus
kaudatus (lysogangliosides) yang terdapat diotak. Adanya kemiripan pada struktur
molekul inilah yang mendasari terjadinya respon autoimun pada demam rematik.
Kelainan respon imun ini didasarkan pada reaktivitas silang antara protein M
Streptokokus dengan jaringan manusia yang akan mengaktivasi sel limfosit B dan T.
Sel T yang telah teraktivasi akan menghasilkan sitokin dan antibodi spesifik yang
secara langsung menyerang protein tubuh manusia yang mirip dengan antigen
Streptokokus. Pada kasus ini, dari anamnesis didapatkan bahwa pasien pernah
mengalami batuk sebelumnya sehingga kemungkinan kerusakan katup jantung yang
dialaminya adalah akibat respon antibodi. Hal ini juga dibuktikan dari hasil
laboratorium ASTO positif. Kerusakan pada katup jantung yang terjadi dapat
menyebabkan regurgitasi dan menimbulkan bunyi murmur pada jantung.
Kasus penyakit jantung rematik diterapi dengan menggunakan antibiotik
berupa benzatin penisilin G dengan dosis 1.200.000 unit secara i.m (BB pada pasien
ini 28 kg) selama 10 hari setiap 4 minggu sekali selama 10 tahun yang diberikan
untuk eradikasi bakteri dan profilaksis sekunder. Selain antibiotik juga diberikan obat
antiinflamasi untuk mengontrol artritis, demam dan gejala akut lainnya yaitu
prednison dengan dosis 2mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Dosis prednison mulai
ditappering pada minggu ketiga. Untuk mengatasi dekompensasi kordis yang dialami
pasien, diberikan diuretika berupa furosemid sebanyak 1-2mg/kgBB/kali IV sebanyak
44
2 kali per hari. Furosemid diberikan sebagai diuretik untuk mengurangi venous return
(preload) pada dekompensasi kordis. Furosemid bekerja dengan menginhibilisi
reabsorbsi natrium dan klorida di ginjal yang mengakibatkan banyaknya kalium dan
kalsium yang terbuang melalui urin, sehingga dapat terjadi keadaan hipokalemia dan
hipokalsemia. Untuk mengatasi efek samping tersebut, pada pasien ini diberikan
diuretik hemat kalium (spironolakton) yakni 2x12,5mg.
Secara umum dan sederhana, kebutuhan nutrisi anak sehat dengan status gizi
cukup maupun yang berstatus gizi kurang atau buruk atau bahkan gizi lebih atau
obesitas prinsipnya bertujuan mencapai BB ideal. Oleh sebab itu untuk
memperkirakan tercapainya tambahan kalori serta protein untuk mencapai tumbuh
kejar pada yang gizi kurang atau buruk atau pengurangan kalori pada gizi yang lebih
atau obesitas menggunakan rumus : Kebutuhan kalori/ protein = RDA untuk umur
(TB/U) X BB ideal. Pada pasien ini terdapat gizi buruk dengan penyakit yang
mendasarinya yaitu dekompensasi kordis. Sehingga terdapat faktor stres yang
berlebih, akibatnya dibutuhkan nutrisi tambahan untuk mengejar BB idealnya. Maka
dipikirkan pada pasien ini diberikan tambahan 40% dari kebutuhan kalori/ protein
harian. Nilai RDA pada usia 13 tahun (47kkal/kg) + kebutuhan protein (1g/kg),
dengan BB ideal berdasarkan kurva CDC didapatkan 36 kg. Sehingga pasien ini
dapat diberikan 2300 kkal + 36 g protein. Dapat disajikan dalam bentuk diet NB 3x1
porsi (@500kkal) + Susu F100 3 x 200 ml + snack 3x1 (@60kkal).
45
DAFTAR PUSTAKA
46
7. Mishra TK. Acute rheumatic fever and rheumatic heart disease: current scenario.
JIACM. 2007;8(4):324-30.
8. WHO. Rhematic fever and rheumatic heart disease.-report of a WHO expert
Consultation [Online]. Tersedia dari:
http://www.who.int/cardiovaskular_diseases/resources/trs 923/en/index.html.
9. Rahayuningsih SE, Farrah A. Role of echoacardiography in diagnose of acute
rhematic fever. Paediatrica Indonesiana Vol 50 no 2 (supplement) March 2010
10. Mishra TK. Acute rheumatic fever and rheumatic heart disease: current scenario.
JIACM. 2007;8(4):324-30.
11. Divisi Kardiologi. 2016. Panduan Praktik Klinis (PPK) Divisi Kardiologi.
Palembang: Departemen Kesehatan Anak RSUP Dr. Mohammad Hoesin
47