Professional Documents
Culture Documents
Diajukan sebagai salah satu persyaratan Untuk menyelesaikan pendidikan DIII keperawatan pada
Akademi Keperawatan Kabupatan Belu
OLEH
NIM : 5306.09.597
AKADEMI KEPERAWATAN
2011
LEMBAR PERSETUJUAN
Diterima dan disetujui untuk diikutsertakan dalam ujian akhir karya tulis ilmiah.
Atambua, 8 Oktober 2011
Pembimbing
Mengetahui
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Ujian Sidang Karya Tulis Ilmiah di Akademi
Keperawatan Kabupaten Belu, …………………………………………. 2011
MENGESAHKAN
Mengetahui
MOTTO
“Kegagalan melakukan hal besar jauh lebih baik daripada hanya keberhasilan melakukan hal kecil”
PERSEMBAHAN
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
bimbingan–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan judul “ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN G DENGAN CEDERA KEPALA DI RUANG PERAWATAN BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ATAMBUA” dengan baik.
Karya tulis ilmiah ini dibuat sebagai salah satu tuntunan kurikulum pendidikan tinggi yang dibuat
untuk menyelesaikan pendidikan ahli madya keperawatan, pada Akademi Keperawatan Kabupaten
Belu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini telah memperoleh banyak
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu
penulis patut menyampaikan terima kasih kepada :
1. Drs.Joachim Lopez, selaku Bupati Belu yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan
pendidikan.
2. dr.Lau Fabianus, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Belu yang telah mengijinkan penulis untuk
melanjutkan pendidikan diploma III.
3. dr.Yeni Tassa, selaku direktris RSUD Atambua yang telah menerima dan mengijinkan penulis melakukan
studi kasus.
4. Djulianus Tes Mau,S.Kep,Ns,M.Kes, selaku Direktur Akademi Keperawatan Kabupaten Belu yang telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk mengeyam pendidikan di Akademi Keperawatan ini.
5. Antonia Helena Hamu,S.Kep,Ns. selaku pembimbing penulis yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing dan memberikan masukan bagi penulis dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.
6. Pasen G yang menyediakan waktu dan memberikan kesempatan pada penulis untuk melakukan asuhan
keperawatan secara langsung.
7. Petugas perpustakaan yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mendapatkan sumber bacaan
yang berkaitan dengan karya tulis ilmiah ini.
8. Teman – teman progsus keperawatan sekelas yang selalu memberikan warna dan inspirasi perjuangan
tersendiri bagi penulis selama melalui proses ini.
9. Suami dan kedua anakku tercinta yang telah mendorong dan memahami penulis selama menyelesaikan
proses ini.
Penulis berupaya semaksimal mungkin agar karya tulis ilmiah ini bisa menjadi baik dan layak untuk
sesama, namun penulis menyadari kesempurnaan masih jauh. Maka saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak demi perbaikan karya tulis ilmiah ini sangatlah diharapkan dan akan
diterima dengan lapang dada. Kiranya semua bantuan yang telah penulis dapatkan dibalaskan oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul……………………………………………………………………………………….. i
Lembar Persetujuan……………………………………………………………………………….. ii
Motto………………………………………………………………………………………………………. vi
Persembahan…………………………………………………………………………………………. v
Kata Pengantar………………………………………………………………………………………. vi
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………. viii
Daftar tabel……………………………………………………………………………………………… x
Daftar Lampiran……………………………………………………………………………………… xi
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang……………………………………………………………………… 1
2. Rumusan Masalah………………………………………………………………. 2
3. Tujuan Penulisan
A. Tujuan Umum………………………………………………………………… 2
B. Tujuan Khusus……………………………………………………………….. 3
C. Manfaat Penulisan ……………………………………………………………… 3
D. Metode Penulisan ……………………………………………………………….. 3
E. Sistematika Penulisan…………………………………………………………. 4
BAB II TINJAUAN TEORITIS
1. Konsep Dasar
A. Anatomi Fisiologi Otak
i. Susunan Saraf Pusat…………………………………………….5
ii. Susunan Saraf Perifer……………………………………………7
iii. Cedera Kepala
1. Pengertian……………………………………………………………7
2. Etiologi………………………………………………………………………. 8
3. Klasifikasi………………………………………………………………….. 8
4. Patofisiologi…………………………………………………………….. 10
5. Pemeriksaan Penunjang ……………………………………….. 11
6. Penatalaksanaan…………………………………………………….. 12
7. Komplikasi……………………………………………………………….. 14
8. Konsep dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian……………………………………………………………………. 14
2. Diagnosa Keperawatan………………………………………………… 24
3. Perencanaan………………………………………………………………… 25
4. Pelaksanaan…………………………………………………………………. 39
5. Evaluasi………………………………………………………………………… 43
BAB III TINJAUAN KASUS
1. Pengkajian……………………………………………………………………45
2. Diagnosa Keperawatan………………………………………………….55
3. Perencanan, implementasi dan evaluasi…………………………..57
4. Catatan perkembangan………………………………………………….64
BAB IV PEMBAHASAN………………………………………………………………….77
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan…………………………………………………………………..80
2. Saran…………………………………………………………………………..81
Daftar Pustaka
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(www.yayanakhyar.com.nr/200905).
Setiap tahun di Amerika Serikat, mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala
52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga
merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma dikaitkan dengan
kematin. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Natroma Trauma Project di Islamic
Republik of Iranbahwa, diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu
sebanyak 78,7 % trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh
trauma kepala (Karbakhsh, zand, Rouzrokh, Zarei, 2009). Rata – rata rawat inap
pada laki – laki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma kepala sebanyak
146,3 per 100.000 dan 158,3 per 100.000 (Thomas 2006). Angka kematian trauma
kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki – laki dibanding perempuan yaitu
sebanyak 26,9 per 100.000 dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun
keatas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta
lansia di Amerika yang mengalami trauma kepala akibat terjatuh. Menurut Kraus
(1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda
mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat
kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala
disebabkan oleh terjatuh.Menurut data yang diperolah dari rekam medik RSUD
Atambua, pada tiga tahun terakhir ini yaitu : tahun 2008 terdiri dari 142 orang, laki –
laki : 107 orang ( 75,3 %), perempuan : 42 orang (29,5 %), Tahun 2009 : 163 orang,
laki – laki : 140 orang (85,8 %), perempuan : 23 orang (13,6 %), Tahun 2010 : 175
orang, laki – laki : 149 orang (85,1 %), perempuan : 26 orang ( 14,8 %).
Indonesia sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi,
diantaranya bidang transportasi. Dengan majunya transportasi, mobilitas penduduk
pun ikut meningkat. Namun akibat kemajuan ini, juga berdampak negatif yaitu
semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas karena ketidak hati – hatian dalam
berkendaraan. Sehingga dapat mengakibatkan berbagai cedera. Salah satu cedera
yang sering terjadi pada saat kecelakan lalu lintas
adalah cedera kepala (…………..http://repository.usu.ac.id/ bitstream/
12345678 /16495/5.chapter%201.pdf)
Cedera kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi, oleh
karena itu diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik terutama
tentang penanganan (A, B, C, D, E), pencegahan cedera otak sekunder dan cara
merujuk penderita secepat mungkin oleh untuk petugas kesehatan yang berada
digaris depan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalahnya
adalah “ Bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala di Rumah Sakit Umum Daerah Atambua ? ”
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengembangkan pola pikir ilmiah dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien cedera kepala dengan pendekatan proses keperawatan.
2. Tujuan khusus
a) Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien cedera kepala.
b) Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
cedera kepala.
c) Mahasiswa mampu membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien
dengan cedera kepala.
d) Mahasiswa mampu melaksanakan rencana tindakan keperawatan pada
pasien dengan cedera kepala.
e) Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilakukan.
f) Mahasiswa mampu melakukan dokumentasi terhadap tindakan keperawatan
yang telah dilakukan.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi profesi keperawatan
Memberikan asuhan tentang bagaimana merawat pasien dengan cedera kepala,
dengan menggunakan proses keperawatan yang meliputi : pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
2. Bagi Rumah Sakit
Memberikan masukan dalam rangka meningkatkan penerapan asuhan keperawatan
pada pasien dengan cedera kepala.
3. Bagi penulis
a) Memperoleh pengalaman yang nyata dalam merawat klien dengan cedera
kepala.
b) Menambah pengetahuan tentang penerapan asuhan keperawatan pada klien
dengan cedera kepala.
E. Metode Penulisan
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif, yakni melalui
studi pustaka dan studi kasus. Studi pustaka diambil dari buku – buku perpustakaan
dan sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan proposal karya
tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan Yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan teoritis Yang terdiri dari konsep dasar cedera kepala dan
konsep dasar Asuhan Keperawatan pada pasien cedera kepala.
BAB III : Tinjaun kasus yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
BAB IV : pembahasan
BAB V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar
1. Anatomi Fisiologi Otak
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini otak yang lembut, yang membuat kita seperti adanya, akan
mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Pada orang dewasa tengkorak
merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang
sebenarnya terdiri dari 2 dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga.
Dinding luar disebut tabula eksternal dan dinding bagian dalam disebut tabula
internal. Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges
adalah durameter, araknoid dan piameter (Price, Silvia A ; 2005 : 1014).
Sistem persarafan terdiri dari:
a. Susunan saraf pusat
1) Otak
(a).Otak besar atau serebrum (cerebrum)
Mempunyai dua belahan yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan yang
duhubungkan oleh massa substansi alba(substansia alba) yang
disebut korpus kalosum (corpus callosum). Serebrum terdiri atas : korteks
sereri, basal ganglia (korpora striate) dan sistem limbik(rhinencephalon).
(b).Otak kecil (serebelum)
Serebelum (otak kecil) terletak dalam fossa kranial posterior, dibawah
tentorium serebelum bagian posterior dari pons varolii dan medula
oblongata. Serebelum mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan
oleh vermis. serebelum dihubungkan dengan otak tengah oleh
pedunkulus serebri superior, dengan pons paroli oleh pedunkulus
serebri media dan dengan medula oblongata oleh pedunkulus serebri
inferior. Lapisan permukaan setiap hemisfer serebri disebut korteks
yang disusun oleh substansia grisea. Lapisan – lapisan korteks serebri
ini dipisahkan oleh fisura transversus yang tersusun rapat. Kelompok
massa substansia grisea tertentu pada serebelum tertanam dalam
substansia alba yang paling besar dikenal sebagai nukleus dentatus.
(c).Batang otak.
Pada permukaan batang otak terdapat medula oblongata, pons varolii,
mesensefalon dan diensefalon. Talamus dan epitalamus terlihat
dipermukaan posterior batang otak yang terletak diantara serabut
capsula interna. Disepanjang pinggir dorsomedial talamus terdapat
sekelompok serabut saraf berjalan keposterior basis epifise.
2) Sum-sum tulang belakang (trunkus serebri)
Medula spinalis merupakan bagian sistem saraf pusat yang
menggambarkan perubahan terakhir pada perkembangan embrio.
Semula ruangannya besar kemudian mengecil menjadi kanalis sentralis.
Medulla spinalis terdiri atas dua belahan yang sama dipersatukan oleh
struktur intermedia yang dibentuk oleh sel saraf dan didukung oleh
jaringan interstisial.
Medula spinalis membentang dari foramen magnum sampai setinggi
vertebra lumbalis I dan II, ujung bawahnya runcing menyerupai kerucut
yang disebut konus medularis, terletak didalam kanalis vertebralis melanjut
sebagai benang-benang(filum terminale) dan akhirnya melekat pada
vertebra III sampai vertebra torakalis II, medula spinalis menebal
kesamping. penebalan ini dinamakan intumensensia servikalis.
b. Susunan saraf perifer
1) Susunan saraf somatik
Indra somatik merupakan saraf yang mengumpulkan informasi sensori
dari tubuh. Indra ini berbeda dengan indra khusus (penglihatan,
penghiduan, pendengaran, pengecapan dan keseimbangan), indra
somatik digolongkan menjadi 3 jenis :
(a).Indra somatik mekano reseptif.
(b).Indra termoreseptor.
(c).Indra nyeri.
2) Susunan saraf otonom
Saraf yang mempersarafi alat – alat dalam tubuh seperti kelenjar,
pembuluh darah, paru – paru, lambung, usus dan ginjal. Alat ini mendapat
dua jenis persarafan otonom yang fungsinya saling bertentangan, kalau
yang satu merangsang yang lainnya menghambat dan sebaliknya, kedua
susunan saraf ini disebut saraf simpatis dan saraf parasimpatis
(syaifuddin ; 2009 : 335 – 360).
2. Cedera Kepala
a. Pengertian
Cedera kepala : Meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. secara
anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala serta tulang
dan tentorium (helm) yang membungkusnya (Arif Muttaqin ; 2008 : 270).
Cedera kepala : Dapat bersifat terbuka (menembus melalui dura
meter) atau tertutup (trauma tumpul, tanpa penetrasi melalui dura). Cedera
kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung
ke otak (Corwin J.Elizabeth; 2005 : 175).
Cedera kepala : Trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(http://www.yayanakhyar. com.nr/200905).
Jadi cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala terjadi baik
secara langsung bersifat terbuka atau tertutup yang dapat terlihat meliputi
trauma kulit kepala, tengkorak dan juga otak sehingga dapat mengakibatkan
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat
temporer atau permanen.
b. Etiologi
Penyebab utama cedera kepala meliputi : Kecelakaan lalu lintas >50
% kasus, Jatuh, Pukulan, Kejatuhan benda, Kecelakaan kerja/industri,
Cedera lahir, Luka tembak (Cholik Harun dan Saiful Nurhidayat ; 2009 :49 )
c. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,
keparahan dan morfologi cedera:
1) Mekanisme:
(a). Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
(b). Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau
pukulan benda tumpul.
2) Berdasarkan beratnya:
(a). Ringan (GCS 14-15)
(b). Sedang (GCS (9-13)
(c).Berat (GCS 3-8)
3) Berdasarkan morfologi:
(1) Fraktur tengkorak
(a).Kalvaria: Linear atau stelata, Depressed ataunondepressed, Terbuka
atau tertutup
(b).Dasar tengkorak: Dengan atau tanpa kebocoran CNS, Dengan atau
tanpa paresis/kelumpuhan nervus VII (fasial)
(2) Lesi intrakranial
(a).Fokal: Epidural, Subdural, intraserebral
(b).Difusa: Komosio ringan, Komosio klasik, Cedera aksonal
difusa( http://www.yayanakhyar.co.nr/2009)
4) Skala Coma Glasgow (GCS)
Tabel I.Skala Coma Glasgow
Buka mata (E) Respon verbal (V) Respon motorik (M)
Tabel 2. Kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan nilai skala Koma
Glasgow
Penentuan keparahan Deskripsi Frekuensi
GCS:13-15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau
amnesia tetapi kurang dari 30 menit
Minor/ringan 55 %
Tidak ada fraktur tengkorak,tidak ada kontusio
serebral,tidak ada hematom
GCS:9-12
Sedang Kehilangan kesadaran dan/atau amnesia lebih
dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
24 %
Dapat mengalami fraktur tengkorak
GCS:3-8
Kehilangan kesadaran dan /atau amnesia
lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio
Berat
serebral,laserasi,
21 %
atau hematom intrakranial
d. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselerasi – deselerasi gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contercoup. Cedera primer
yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulag tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselerasi deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma, perbedaan densisitas antar
tulang tengkorak (substansi solid)dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yag berlawanan dari benturan(contrecoup)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yag timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi
(http://www.yayankhyar. com.nr/2009).
e. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala meliputi:
1) CT scan (dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan
perubahan jaringan otak.
2) MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
3) Cerebral angiography
Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5) Sinar X
Mendeteksi parubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6) BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7) PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8) CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarakhnoid
9) Kadar Elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intrakranial.
10)Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran
11)Rontgen Thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
12)Toraksentesis menyatakan darah/cairan
13)Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa Gas Darah (AGD/ Astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan
melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam
basa (Arif Muttaqin ; 2008 : 284)
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari
faktor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai
status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan
pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat
dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang
mengalami trauma relatif memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih
rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang
meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang
memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan
intrakranial ini dapat dilakukan dengn cara menurunkan PaCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni
dengan intubasi endotrakeal hiperventilasi. Tindakan membuat intermitten
iatrogenic paralisis Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien – klien
yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yangmeninggi. Prinsip ABC
dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi:
1) Bedrest total
2) Observasi tanda – tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3) Pemberian obat – obatan
(a). Dexamethason/ Kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
(b). Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
(c). Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20%
atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
(d). Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole
4) Makanan atau cairan
Pada trauma ringan bila muntah – muntah tidak dapat diberikan apa –
apa, hanya cairan infus Dextrosa 5 %, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
5) Pada trauma berat
Karena hari – hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran
dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari – hari
pertama (2 – 3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5 % 8 jam
pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan
melalui nasogatric tube (2500 – 3000 TKTP). Pemberian protein
tergantung dari nilai urenitrogennya.
(Arif Muttaqin ; 2008 : 284-285)
g. Komplikasi
1) Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral dapat
menyertai cedera kepala tertutup yang berat, atau lebih sering cedera
kepala terbuka. Pada perdarahan diotak, tekanan intrakranial meningkat,
dan sel neuron dan vaskuler tertekan. Ini adalah jenis cedera otak
sekunder.Pada hematoma, kesadaran dapat menurun dengan segera,
atau dapat menurun setelahnya ketika hematoma meluas dan edema
interstisial memburuk.
2) Perubahan perilaku yang tidak kentara dan defisit kognitif dapat terjadi da
tetap ada.
(Corwin J Elizabeth ; 2009 : 246)
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera
kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik
dan pengkajian psikososial.
a) Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda),
jenis kelamin (banyak laki – laki, karena sering ngebut – ngebutan dengan
motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis
medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran.
b) Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung kekepala. Pengkajian yang
didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS >15), konvulsi, muntah,
takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala,
paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari
hidung dan telinga, serta kejang.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif dan koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien
tidak sadar) tentang penggunaan obat – obatan adiktif dan penggunaan
alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut –
ngebutan.
c) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung,
anemia, penggunaan obat – obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat
– obat adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.
d) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan
diabetes melitus.
e) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra diri)
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan
konsep diri didapatkan kllien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan,
mudah marah, dan tidak kooperatif.
f) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan -keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukng data dan pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1 – B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) dan terarah
dan dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari klien.
Keadaan umum
Pada keadaaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13 – 15, cedera kepala berat/
cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8 dan terjadi
perubahan pada tanda-tanda vital.
(1) B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari
perubahan jaringa cerebral akibat trauma kepala. Pada beberapa
keadaan, hasil dari pemeriksaaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :
(a).Inspeksi
Diddaptakan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Terdapat retraksi klavikula/ dada, pengembangan paru tidak simetris.
Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak penuh dan kesimetrisannya.
Ketidak simetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada
paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemothoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot –
otot interkostal, substernal, pernapan abdomen, dan respirasi
paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat
terjadi jika otot – otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding
dada.
(b).Palpasi
Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
(c).Perkusi
Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma
pada thoraks/ hematothoraks
(d).Auskultasi
Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang
menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan
penurunan tingkat kesadaran koma.
(2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan
berat.
Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada beberapa
keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi
bradikardi, takikardia da aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan
adanya penurunan kadar hemaglobin dalam darah. Hipotensi
menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda -tanda awal
dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala
akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak
pada kompensasi tubuh untuk mengeluarkan retensi atau pengeluaran
garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan
konsentrasi elektolit meningkat sehingga memberikan resiko terjadinya
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskuler.
(3) B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma dan
epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus
dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
(a).Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.
(b).Pemeriksan fungsi serebral
Status mental : Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental
mengalami perubahan.
Fungsi intelektual : Pada keadaan klien cedera kepala didapatkan
penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun
jangka panjang
Lobus frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada
lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual kortikal yang
lebih tinggi mungkin rusak disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang
perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang
motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi
dalam program rehabilitasi mereka. Masalah psikologi lain juga umum
terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan,
frustasi, dendam da kurang kerja sama.
Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparase
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh kesisi yang
berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami
hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan
bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah
frustrasi
(c).Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I
Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah yang merusak
anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada
fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral
Saraf II
Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan
lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari nervus optikus.
Perdarahan diruang intrakranial, terutama hemoragia subarakhnoidal,
dapat disertai dengan perdarahan diretina. Anomali pembuluh darah
didalam otak dapat bermanifestasi juga difundus. Tetapi dari segala
macam kalainan didalam ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat
dicerminkan pada fundus
Saraf III, IV da VI
Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan
trauma yang merusak rongga orbital. pada kasus-kasus trauma kepala
dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda
serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda awal
herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada
penyinaran. Paralisis otot – otot okular akan menyusul pada tahap
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana
bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yang
bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi yang lain, maka
pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi
dilobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya
fungsi itu berarti pusat siliospinal menjadi tidak aktif sehingga pupil
tidak berdilatasi melainkan berkonstriksi.
Saraf V
Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis nervus
trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
menguyah
Saraf VII
Persepsi pengecapan mengalami perubahan
Saraf VIII
Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan
biasanya tidak didapatkan penurunan apabila trauma yang terjadi tidak
melibatkan sarafvestibulokoklearis
Saraf IX dan Xl
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
Saraf XI
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan
tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII
Indra pengecapan mengalami perubahan
(d).Sistem motorik
Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu
sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis
(kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
Tonus otot : Didapatkan menurun sampai hilang.
Kekuatan otot : Pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan
otot didapatkan grade O
Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami gangguan
karena hemiparase dan hemiplegia.
(e).Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pda tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
Pemeriksaan refleks patologis ; Pada fase akut refleks fisiologis sisi
yag lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis
akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
(f). Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestasi persepsi adalah ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi.Disfungsi persepsivisual karena gangguan
jaras sensorik primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan
hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek
dalam area spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan
propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian
tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimulasi visual,
taktil dan auditorius.
(4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik, termasuk
berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien
mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas.
(5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual muntah pada fase akut. Mual dan muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukan kerusakan neurologis luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi
pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya
dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan
kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen.
Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan
peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan
motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yag berasal dari
sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
(6) Tulang (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit. Adanya
perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa).
Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan
rendahnya kadar haemaglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien
yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia.
Joundice (warna kuning) pada klien yang menggunakan respirator dapat
terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan pocked
red cells (PRC) dalam jangka waktu lama.
Pada klien dengan kulit gelap. Perubahan warna tersebut tidak begitu
jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya
demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan
dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensorik atau paralisis/ hemiplegia, mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan
desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan
baik bersifat intraserebral hematoma , subdural hematoma dan epidural
hematoma.
b. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada
pusat pernapasan diotak, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru
yang tidak optimal karena akumulasi udara/cairan, dan perubahan
perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventiltor.
c. Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan
sputum peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder, akibat nyeri
dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan
batuk/batuk efektif.
d. Perubahan kenyamanan : nyeri akut yang berhubungan dengan trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
e. Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman terhadap
konsep diri, takut mati, ketergantungan pada alat bantu, perubahan status
kesehatan/ status ekonomi/ fungsi peran, hubungan interpersonal/ penularan
3. Rencana Intervensi
a. Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang
sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil:
Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4,
5, 6,tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri:
1) Kaji faktor penyebab dari situasi/ keadaan individu/ penyebab koma/
penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/ Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status
neurologis/ tanda – tanda kegagalan untuk menentukan perawatan
kegawatan atau tindakan pembedahan
2) Memonitor tanda – tanda vital tiap 4 jam.
R/ suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik
atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik penurunan
dari autoregulator. Kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi
lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan
darah (diastolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah
intrakranial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia,
dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
3) Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya.
R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali
dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika
batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III kranial
(okulomotorik) yang menunjukan keutuhan batang otak, ukuran pupil
menunjukan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis.
Respons terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf
kranial II dan III.
4) Monitor temperatur da pengaturan suhu lingkungan .
R/ Panas merupakan refleks dari hipotalamus. peningkatan kebutuhan
metabolisme dan O2 akan menunjang TIK/ICP (intrakranial pressure).
5) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan
sedikit bantal. Hindari penggunaan batal yang tinggi pada kepala.
R/ Perubahan kepada salah satu sisi dapat menimbulkan penekanan
pada venajugularis dan menghambat aliran darah ke otak
(menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
6) Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya
prosedur.
R/ Tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek
rangsagan kumulatif.
7) Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase
punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan
suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
R/ Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat
mengurangi respons psikologis dan memberikan istirahat untuk
mempertahankan TIK yang rendah.
8) Cegah/hindarkan terjadinya valsava manuver.
R/ Mengurangi tekanan intrathorakal dan intraabdominal sehingga
menghindari peningkatan TIK.
9) Bantu klien jika batuk, muntah
R/ Aktivitas ini dapat meningkatan intrathorak/tekanan dalam thoraks
dan tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat
meningkatkan TIK.
10)Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku
R/ Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK
atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak
menurundapat meningkatkan TIK.
11)Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine
secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/ Dapat meningkatkan respons otomatis yang potensial menaikkan
TIK.
12)Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab
akibat TIK meningkat.
R/ Meningkatkan kerja sama dalam meningkatkan perawatan klien dan
mengurangi kecemasan.
13)Observasi tingkat kesadaran GCS
R/ Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna
menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.
Kolaborasi:
1) Pemberian O2 sesuai indikasi.
R/ Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi
serebral, volume darah, dan menaikkan TIK
2) Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam intrakranial.
R/ Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila
kemungkinan terdapat tanda – tanda defisit neurologis yang
menandakan peningkatan intrakranial.
3) Berikan cairan intravena sesuai indikasi
R/ Pemberian cairan mungkin diiginkan untuk mengurangi edema
serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah , tekanan
darah dan TIK.
4) Berikan obat osmosisdiuretik, contohnya : manitol, furoslide
R/ Diuretik mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air
dari sel otak dan mengurangi edema serebral dari TIK
5) Berikan steroid contohnya : Dexamethason,
methylprenidsolon.
R/ Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema
jaringan.
6) Berikan analgesik narkotik, contoh : kodein
R/ Mungkin diindikasikan nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK
tetapi digunakan dengan tujuan untuk mencegah dan menurunkan
sensasi nyeri.
7) Berikan antipiretik, contohnya : asetaminofen.
R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen
yang diinginkan.
8) Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin,
LED
R/ Membantu memberikan informan tentang efektivitas pemberian obat.
c. Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan
napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret dan ketidakmampuan
batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan
jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal
tube bebas sumbatan, menunjukan batuk yang efektif, tidak ada lagi
penumpukan sekret disaluran pernapasan.
Intervensi:
1) Kaji keadaan jalan napas
R/ Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa
cairan mukus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi
dari endotracheal/tracheostomy tube yag berubah.
2) Evaluasi pergerakan dan auskultasi suara napas pada kedua
paru (bilateral)
R/ Pergerakan dada yang simeteris dengan suara napas yang keluar
dari paru – paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran
napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas
sepertironkhi atau wheezing.
3) Monitor letak posisi endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan tube
secara hati – hati dengan memakai perekat khusus. Mohon bantuan
perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube.
R/ Endotracheal tube dapat saja masuk kedalam bronkhus kanan,
menyebabkan obstruksi jalan napas keparu – paru kanan dan
mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks
4) Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari
ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui
endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi.
R/ Selama intubasi klien mengalami refleks batuk yang tidak efektif,
atau klien akan mengalami kelemahan otot-otot pernapasan
(neuromuskular/neurosensorik), keterlambatan untuk batuk. Semua
klien tergantung dari alternatif yag dilakukan seperti mengisap
lendir dari jalan napas.
5) Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi pengisapan
dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter penghisap yag sesuai, cairan
fisiologis steril. Berikan oksigen 100 % sebelum dilakukan penghisapan
dengan ambubag (hiperventilasi).
R/ Pengisapan lendir tidak selamnya dilakukan terus -menerus, dan
durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia
6) Anjurkan klien teknik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas
panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi.
R/ Batuk yang efektif dapat mengeluarkan
sekret dari saluran napas.
7) Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam)
R/ Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru – paru,
mengurangi resiko atelektasis.
8) Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
R/ Membantu pengeceran sekret, mempermudah pengeluaran
sekret.
9) Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa
terdapat penumpukan sekret disaluran pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
10) Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.
R/ batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif,
dapat menyebabkan frustasi
11)Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin
R/ memungkinkan expansi pun lebih luas
12)Lakukan pernapasan diafragma
R/ pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan ventilasi
alveolar.
13)Tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan, lahan
keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
R/ meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah
pengeluaran sekresi sekret
14) Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan
2 batuk pendek dan kuat.
R/ pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan batuk klien.
15)Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan
sumbatan mukus yang mengarah pada atelektasis.
16)Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi :
mempertahankan hidrasi yang adekuat, meningkatkan masukan cairan
1000-1500cc/hari bisa tidak ada kontraindikasi.
R/ untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mukosa pada
saluran napas bagian atas
17)Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ higene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan
mencegah bau mulut.
18)Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
1) Pemberian ekpektoran
2) Pemberian antibiotik
3) Fisioterapi dada
4) Konsul foto thoraks
R/ ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan
mengevaluasi kndisi klien pengembangan parunya.
19)Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainase, perkusi
/ penepukan.
R/ mengatur ventilasi segment paru – paru sekret.
20)Berikan obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti aminophilin,
meta-protereno sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosal).
R/ mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi muscle /
bronchospasme.
d. Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam nyeri berkurang / hilang
Kriteria hasil : secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di
adaptasi, dapat mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri,
klien tidak gelisah.
Intervensi:
1) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni
dan non invasif.
R/ pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi
lainnya telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri
2) Ajarkan relaksasi.Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot
rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan
relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan O2 oleh
jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.
3) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
4) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman misalnya ketika tidur belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga akan
meningkatkan kenyamanan.
5) Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan
berapa lama nyeri akan berlangsung.
R/ pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi
nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana terapeutik.
6) Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien,30 menit setelah
pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektifitasnya serta setiap 1 – 2
jam setelah tindakan perawatan selam 1 – 2 hari.
R/ pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang
objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan :
intervensi yang tepat.
7) Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgesik.
R/ analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. (Nursalam, 2001 : 71).
Hasil evaluasi yang bisa didapatkan pada pasien dengan cedera kepala
sesuai dengan diagnosa keperawatan yang ada adalah sebagi berikut :
a. Pasien tidak mengalami peningkatan TIK yang ditandai dengan Klien tidak gelisah, klien
tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4, 5, 6,tidak terdapat papiledema,
TTV dalam batas normal.
b. Pola napas pasien kembali efektif yang ditandai dengan memperlihatkan frekuensi
pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas – gas pada paru, adaptif
mengatasi faktor – faktor penyebab.
c. Jalan napas pasien kembali efektif yang ditandai dengan bunyi napas terdengar bersih,
ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukan batuk yang efektif,
tidak ada lagi penumpukan sekret disaluran pernapasan.
d. Pasien secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di adaptasi, dapat
mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
e. Klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-cara yang sehat kepada
perawat, klien dapat mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan
perubahan koping yang digunakan sesaui situasi yang di hadapi, klien dapat mencatat
penurunan kecemasan/ketakutan di bawah standar, klien dapat rileks dan tidur/istirahat
dengan baik.
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
I. Identitas klien
Untuk mendapatkan gambaran nyata kasus cedera kepala sedang, penulis mengambil
kasus yaitu pada pasien G umur 15 tahun, jenis kelamin laki –
laki,suku/bangsa: Tetun/Indonesia, pendidikan:SMP, alamat:pasar baru, Atambua. Masuk
rumah sakit pada tanggal 31 Agustus 2011 jam 15.00 WITA dengan keluhan
utama: pasien mengatakan pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dan keluhan utama saat
pengkajian pasien mengatakan sakit pada kepala dan luka bekas jahitan pada alis mata
kanan, skala nyeri 7-9 (berat).
Dirawat diruang bedah Rumah Sakit Umum Daerah Atambua dengan diagnosa medik
Cedera Kepala Sedang.Kelarga mengatakan pasien tidak pernah dioperasi sebelumnya.
No MR: 01.17.XX,tanggal pengambilan data 01 September 2011 pada jam 08.00 WITA.
V. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium:Tidak dilakukan pemeriksaan
Radiologi:Foto polos:AP/lateralis.Thorax:AP
VI. Therapy
Tanggal:31-08-2011,obat injeksi:
Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gr (1000 mg)/intravena.
Injeksi Torasic 2 x 30 mg/intravena.
Injeksi Kalnex 2 x 50 mg/intravena.
Injeksi brainact 2 x 125 mg/intravena.
Tanggal 01-10-2011,obat injeksi:
Injeksi Cravit 750 mg drip dalam cairan Ringer Laktat,40 tetes/menit.
Injeksi Brainact 2 x 125 mg/intravena.
Injeksi Torasic 2 x 30 mg/intravena.
Injeksi Ranitidine 2 x 25 mg/intravena.
Tanggal 05-10-2011,obat tablet:
Danalgin 3 x ½ tablet (250 mg)
Staforin 2 x 1 tablet (250 mg)
Brainact 2 x 1 tablet (500 mg)
Atambua, 1 – 9 – 2011
Theresia
M.Fernandez
NIM : 5306.09.597
ANALISA DATA
No Hari/tgl Data Etiologi Masalah
2 Kamis Gangguan rasa Goal : Pasien dapat 1. Kaji mengenai 1. Nyeri meru
01-09- nyaman nyeri akut menunjukan rasa lokasi, intensitas, durasi, pengalama
2011 berhubungan nyeri berkurang penyebaran. dan harus
dengan refleks selama masa oleh pasie
spasme otot perawatan memudahk
sekunder intervensi
Objektif : setelah 2. Pendekata
dilakukan mengguna
perawatan 3 x 24 relaksasi d
jam diharapkan nonfarmak
pasien menjadi 2. Jelaskan dan bantu klien lainnya tel
nyaman dengan dengan tindakan pereda menunjuk
kriteria evaluasi: nyeri non farmakologi keefektifan
Keadaan dan non invasif. menguran
umum tampak 3. Akan mela
baik peredaraa
Skala nyeri sehingga
berkurang dari O2 oleh ja
7-9 (berat) akan terpe
menjadi 1-3 akan men
(ringan) nyerinya.
Nyeri dapat
berkurang. 3. Mengajarkan pada 4. Istirahat ak
Tanda-tanda pasien teknik-teknik merelaksa
vital dalam distraksi,relaksasi dan semua jar
batas normal masase. sehingga
Tekanan meningka
darah:130/80 kenyaman
mmHg,
nadi:60-100 5. Analgesik
x.menit, lintasan
Respirasi nyeri,sehin
rate:16-24 akan berk
x/menit.
Objektif:setelah
dilakukan tindakan
perawatan 2 x 24
jam diharapkan
pasien menjadi 2. Memberika
2. Anjurkan klien dan
rileks,dengan kesempat
keluarga untuk
kriteria evaluasi: berkonsen
mengungkapkan dan
san dari ra
Ketakutan Pasien tampak mengekspresikan rasa
dan meng
Kamis berhubungan rileks takutnya.
cemas yan
01-09- dengan krisis Ketakutan
3 berlebihan
2011 situsional:perubahan dapat
status kesehatan berkurang.
3. Pengatura
Tanda-tanda yang aktif
vital dalam menguran
batas normal: perasaan
Tekanan 3. Demonstrasikan/anjurkan
berdaya.
darah:130/80 klien untuk melakukan
mmHg, nadi:60- teknik relaksasi seperti
100 x.menit, mengatur
suhu: pernapasan,menuntun
Respirasi dala berkhayal,relaksasi
rate:16-24 progresif.
4. Sejumlah
x/menit. keterampi
secara din
dibantu se
4. Anjurkan aktivitas
pemasang
pengalihan perhatian
ventilator
sesuai kemampuan
membuat
individu seperti
merasa be
menulis,menonton TV
dalam hid
dan keterampilan.
Obyektif:Setelah
dilakukan tindakan
keperawatan 2 x 24
jam,diharapkan 2. Memberika
pasien dapat aman dan
menampilkan 2. Beri perawatan personal kepada pa
aktifitas merawat diri higiene pasien.
dengan kriteria 3. Menguran
hasil: penyakit g
Tubuh pasien kehilangan
tampak bersih dari
sisa darah yang 3. Dorong agar pasien 4. Memberika
sudah kering selalu membersihkan aman dan
segar,pasien dapat mulut dan skat gigi. pada pasi
mandi,makan dan
minum,buang air
kecil dan buang air 4. Anjurkan keluarga untuk
besar sendiri.tingkat memandikan pasien 2
kemampuan kali dalam satu hari.
mobilitas 0 pasien
tidak tergantung
pada orang lain.
CATATAN PERKEMBANGAN
Pasien :G
Diagnosa medik :Cedera Kepala Sedang.
Umur :15 tahun.
No MR:01.17.XX
Evaluasi (SOAPIE)
No Hari/tgl Dx. Keperawatan
I:
1. Jam 08.00 WITA
Mengukur tanda-tanda vital:
Nadi:78 x.menit,irama
teratur dan kuat.
Pernapasan:20
x.menit, irama teratur.
Tekanan darah:100/70
mmHg, posisi berbaring.
2. Jam 08.10 WITA
Mengobservasi status neurologis dengan cara tes
kesadaran secara kualitatif somnolen,secara
kuantitatif GCS:E:3,V:5,M:5.
3. Jam 08.15 WITA
Mengkaji penglihatan pada mata kanan yang terdapat
oedema. penglihatan baik dan tidak kabur, pasien
kesulitan membuka mata
4. Jam 14.00 WITA
Melaksanakan kolaborasi dengan melaksanakan
injeksi siang. Brainact 125 mg/selang. Ceftriaxone 1
gram/selang.
I:
1. Jam 08.00 WITA
Mengkaji lokasi nyeri pada kepala,skala nyeri 7-9
berat,waktunya terus menerus.
2. Jam 08.00 WITA
menjelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda
nyeri non farmakologi dan non invasif.
3. Jam 08.20 WITA
Mengajarkan pada pasien teknik-teknik
distraksi,relaksasi dan masase.
4. Jam 08.30 WITA.
Mengatur posisi yang nyaman dan waktu istirahat
yang cukup.
5. Jam 14.00 WITA
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberiananalgesic.
P:Intervensi dipertahankan
S:Pasien mengatakan belum bisa melakukan
aktifitas sendiri seperti makan,minum,buang air
kecil dan buang air besar,tetapi dibantu oleh
keluarga.
Evaluasi (SOAPIE)
No Hari/tgl Dx keperawatan
I:
5. Jam 08.00 WITA
Mengukur tanda-tanda vital:
Nadi:84 x.menit,irama
teratur dan kuat.
Pernapasan:18 x/menit, irama
teratur.
Tekanan darah:100/70 mmHg,
posisi berbaring.
6. Jam 08.10 WITA
Mengobservasi status neurologis
dengan cara tes kesadaran
secara kualitatif somnolen,secara
kuantitatif GCS:E:4,V:5,M:6 total
15.
7. Jam 08.15 WITA
Mengkaji penglihatan pada mata
kanan yang terdapat
oedema.penglihatan baik dan
tidak kabur,pasien kesulitan
membuka mata
8. Jam 14.00 WITA
Melaksanakan kolaborasi dengan
melaksanakan injeksi
siang.Brainact 125 mg/selang.dan
Ceftriaxone 1 gr/selang.
I:
1. Jam 08.00 WITA
Mengkaji lokasi nyeri pada
kepala,skala nyeri 4-6 (sedang).
P:Intervensi 1 dan 4
dilanjutkanintervensi 2 dan 3
dipertahankan.
I:
1. Jam 08.00 WITA
Tentukan kemampuan saat ini
(skala 0-4) dan hambatan untuk
partisipasi dalam perawatan.skala
2 butuh bantuan dan
pengawasan.
2. Jam 09.30 WITA
Anjurkan keluarga untuk
memandikan pasien 2 kali dalam
satu hari.
A:Masalah teratasi
P:Intervensi dipertahankan.
Evaluasi (SOAPIE)
No Hari/tgl Dx keperawatan
Theresia M.Fernandez
BAB IV
PEMBAHASAN
Setelah penulis melaksanakan Asuhan Keperawatan melalui pendekatan proses
keperawatan yang meliputi pengkajian, menegakkan diagnosa
keperawatan,perencanaan,pelaksanaan dan evaluasi maka pada BAB ini penulis akan
membahas mengenai kesenjangan antara teori dengan kenyataan yang ditemukan dalam
perawatan kasus Cedera Kepala Sedang pada pasien G yang dirwt oleh penulis sejak tanggal
01 September 2011 sampai dengan tanggal 5 September 2011 di Ruang Bedah Rumah Sakit
Umum Daerah Atambua,yang dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Pada tahap pengkajian, menurut Arif Muttaqin dalam buku ‘’Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Gangguan Sistem Persarafan ‘’ halaman 276 mencakup aspek-aspek berikut:
anamnesis, riwayat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.Selain
itu pada pengkajian juga dilakukan pemeriksaan fisik secara Body System dari B1-
B6,sedangkan pada kasus nyata tidak dilakukan pemeriksaan diagnostik penunjang CT-
Scan karena tidak adanya alat pendukung, pengkajian dilakukan secara komprehensif
dengan cara wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik selain itu juga dikaji riwayat
kesehatan dan psikososial.Alasannya sebab manusia itu unik dan kompleks yag terdiri
dari komponen sel, organ dan sistem organ.Pada teori ini mengklasifikasikan tingkat
keparahan sebagai berikut:GCS 9-14, konfusi, letargi atau stupor, amnesia pasca trauma,
muntah tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda batle, mata rabun, hemotimpanum dan
kejang, sedangkan pada kasus nyata saat dilakukan pengkajian hanya ditemukan
kesadaran kualitatif somnolen, kesadaran kuantitatif GCS:13, pada saat terjadi kecelakaan
keluar darah segar melalui hidung.Alasannya setiap manusia memiliki respon yang
bervariasi terhadap adanya rangsangan.
B. Dalam teori perumusan diagnosa keperawatan yang muncul adalah : Resiko tinggi
peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan proses desak ruang sekunder
dari trauma kepala yang mengakibatkan adanya perdarahan baik bersifat intraserebral
hematoma, subdural hematoma dan epidural hematoma. Ketidakefektfan pola pernapasan
yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan diotak,kelemahan otot-otot
pernapasan, ekspansi paru yang tidak optimal karena akumulasi udara/cairan, dan
perubahan perbandingan O2 dan CO2, kegagalan ventilator.Tidak efektif bersihan jalan
napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum, peningkatan sekresi sekret,
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada
trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang
berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder. Cemas/takut
yang berhubungan dengan krisis situasional: ancaman terhadap konsep diri,takut mati,
ketergantungan pada alat bantu, perubahan status kesehatan/ status ekonomi/fungsi
peran, hubungan interpersonal/ penularan. sedangkan pada kasus nyata yang ditemukan
adalah :Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan adanya trauma otak,
Gangguan rasa nyaman nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan
refleks spasme otot sekunder, cemas berhubungan dengan krisis situasional: perubahan
status kesehatan, Defisit perawatan diri (mandi dan sikat gigi) berhubungan dengan
kelemahan fisik. Alasannya karena diagnosa diangkat berdasarkan respon pasien.
C. Pelaksanaan tindakan keperawatan pada prinsipnya dilakukan sesuai dengan rencana
keperawatan.Pada teori pelaksanaan tindakan disesuaikan dengan rencana perawatan
.Dalam melaksanakan tindakan perawatan, selain melaksanakannya secara mandiri,
harus adanya kerja sama dengan tim kesehatan lainnya. Merupakan realisasi rencana
tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan menilai data yang
baru.Alasannya proses keperawatan memiliki salah satu sifat yaitu fleksibilitas yang
artinya urusan pelaksanaan proses keperawatan dapat diubah sesuai dengan situasi dan
kondisi pasien.Implementasi tindakan dibedakan menjadi tiga kategori yaitu:independent
(mandiri), interdependent (bekerja sama dengan tim kesehatan
lainnya:dokter,bidan,tenaga analis,ahli gizi, apoteker, ahli kesehatan gigi, fisiotherapy dan
lainnya) dan dependent (bekerja sesuai instruksi atau delegasi tugas dari dokter)
D. Pada kasus nyata evaluasi yang gunakan adalah evaluasi proses (formatif).Alasannya
evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan, berorientasi pada etiologi,dilakukan
secara terus menerus sampai tujuan yang ditentukan tercapai.Evaluasi dilakukan sesuai
dengan perubahan klien.Untuk memudahkannya penulis mengevaluasi atau memantau
perkembangan pasien digunakan komponen SOAP (evaluasi pada hari pertama
perawatan) dan SOAPIE (evaluasi perkembangan kondisi pasien/untuk catatan
perkembangan pasien) : S = (data subyektif:diperoleh dari pasien berupa keluhan-keluhan
pasien), O = (data obyektif:dari hasil observasi dan pemeriksaan), A= (analisis masalah),
P = (perencanaan),I = (implementasi), E = (evaluasi).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab terdahulu,maka penulis mengambil
kesimpulan,bahwa:
1. Pada pengkajian kondisi yang ditemukan pada pasien adalah Keadaan umum lemah,
kesadaran secara kualitatif somnolen, keadaan secara kuantitatif dengan GCS:
E:3.V:5,M:5,total 13, pasien hanya mau tidur saja, bengkak pada mata kanan dan
tampak kebiruan, luka jahit pada alis mata kanan dan pada dahi. Keluar darah dari
hidung pada saat terjadi kecelakaan.Terdapat luka jahit pada kaki kanan dan paha
kiri, pasien tampak meringis kesakitan.Terpasang cairan infus Ringer Laktat 12
tetes/menit pada tangan kanan. Tanda-tanda vital :Tekanan darah:100/60 mmHg
posisi berbaring, Nadi:84 x/menit, irama teratur dan kuat, Suhu:36,4oC/axila,
Pernapasan:18x/menit, irama teratur, Akral:teraba hangat, Mean Preassure
Arteri (MAP):73 mmHg, Pulse Preassure(PP) :40 mmHg.
2. Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus nyata berdasarkan kondisi dan respon pasien
sehingga ada diagnosa keperawatan yang sesuai dengan tinjauan teori dan ada yang tidak
sesuai dengan tinjauan teoritis. Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien
sebagai berikut: 1). Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan adanya trauma
otak.2).Gangguan rasa nyaman nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan
refleks spasme otot sekunder.3). ketakutan berhubungan dengan krisis situasional:perubahan
status kesehatan.4). Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.
3. Rencana tindakan pada keempat diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus nyata
semuanya dilakukan pada pasien .
4. Evaluasi dari keempat diagnosa keperawatan yang diprioritaskan, dua diagnosa teratasi pada
hari jumad dan sabtu dan dua diagnosa teratasi sebagian pada hari senin.
5. Dokumentasi keperawatan dilakukan dengan mengdokumentasikan semua kegiatan dan
hasilnya mulai dari pengkajian sampai dengan kedalam catatan perawat yang ada dalam
status pasien sebagai bukti tanggung jawab dan tanggung gugat dikemudian hari.
B. Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan penulis antara lain:
1. Bagi perawat
Agar dalam memberikan tindakan keperawatan kepada pasien,juga harus dilakukan
tindakan-tindakan mandiri perawat.
2. Bagi Rumah Sakit
Agar dalam pemberian pelayanan disiapkan fasilitas-fasilitas yang memadai untuk
menunjang pemeriksaan,kususnya pada pasien sedera kepala,seperti CT-Scan.
3. Bagi penulis
Agar terus mengembangkan pengetahuan yang telah didapat tentang cedera kepala sedang
serta membagikannya kepada orang lain sehingga tindakan pencegahan dan penanganan
dapat dilakukan secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
……………………http://www yayankhyar.co.nr.2009.
Bruner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC.
Cholik H. Rosjidi. CS. 2009. Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala dan Stroke. Yogyakarta. Ardana
Media
Corwin J. Elizabeth.2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3 Revisi. Jakarta. EGC
Dewanto George, CS .2009. Diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta EGC
Muttaqim Arif.2008 Buku Ajar Asuhan Keperawatan klien dengan gangguan. Sitem Persarafan .
Jakarta. Salemba Medika.
Syaifuddin. 2009 . Anatomi tubuh manusia untuk mahasiswa keperawatan edisi kedua. Jakarta.
Salemba Medika
LEMBARAN KONSUL
Normal
0
false
false
false
EN-US
X-NONE
X-NONE
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;}
table.MsoTableGrid
{mso-style-name:”Table Grid”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-priority:59;
mso-style-unhide:no;
border:solid black 1.0pt;
mso-border-alt:solid black .5pt;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-border-insideh:.5pt solid black;
mso-border-insidev:.5pt solid black;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;}
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(www.yayanakhyar.com.nr/200905).
Setiap tahun di Amerika Serikat, mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala
52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga
merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma dikaitkan dengan
kematin. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Natroma Trauma Project di Islamic
Republik of Iranbahwa, diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu
sebanyak 78,7 % trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh
trauma kepala (Karbakhsh, zand, Rouzrokh, Zarei, 2009). Rata – rata rawat inap
pada laki – laki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma kepala sebanyak
146,3 per 100.000 dan 158,3 per 100.000 (Thomas 2006). Angka kematian trauma
kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki – laki dibanding perempuan yaitu
sebanyak 26,9 per 100.000 dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun
keatas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta
lansia di Amerika yang mengalami trauma kepala akibat terjatuh. Menurut Kraus
(1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda
mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat
kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala
disebabkan oleh terjatuh.Menurut data yang diperolah dari rekam medik RSUD
Atambua, pada tiga tahun terakhir ini yaitu : tahun 2008 terdiri dari 142 orang, laki –
laki : 107 orang ( 75,3 %), perempuan : 42 orang (29,5 %), Tahun 2009 : 163 orang,
laki – laki : 140 orang (85,8 %), perempuan : 23 orang (13,6 %), Tahun 2010 : 175
orang, laki – laki : 149 orang (85,1 %), perempuan : 26 orang ( 14,8 %).
Indonesia sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi,
diantaranya bidang transportasi. Dengan majunya transportasi, mobilitas penduduk
pun ikut meningkat. Namun akibat kemajuan ini, juga berdampak negatif yaitu
semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas karena ketidak hati – hatian dalam
berkendaraan. Sehingga dapat mengakibatkan berbagai cedera. Salah satu cedera
yang sering terjadi pada saat kecelakan lalu lintas
adalah cedera kepala (…………..http://repository.usu.ac.id/
bitstream/ 12345678 /16495/5.chapter%201.pdf)
Cedera kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi, oleh
karena itu diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik terutama
tentang penanganan (A, B, C, D, E), pencegahan cedera otak sekunder dan cara
merujuk penderita secepat mungkin oleh untuk petugas kesehatan yang berada
digaris depan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalahnya
adalah “ Bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala di Rumah Sakit Umum Daerah Atambua ? ”
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengembangkan pola pikir ilmiah dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien cedera kepala dengan pendekatan proses keperawatan.
2. Tujuan khusus
a) Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien cedera kepala.
b) Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
cedera kepala.
c) Mahasiswa mampu membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien
dengan cedera kepala.
d) Mahasiswa mampu melaksanakan rencana tindakan keperawatan pada
pasien dengan cedera kepala.
e) Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilakukan.
f) Mahasiswa mampu melakukan dokumentasi terhadap tindakan keperawatan
yang telah dilakukan.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi profesi keperawatan
Memberikan asuhan tentang bagaimana merawat pasien dengan cedera kepala,
dengan menggunakan proses keperawatan yang meliputi : pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
2. Bagi Rumah Sakit
Memberikan masukan dalam rangka meningkatkan penerapan asuhan keperawatan
pada pasien dengan cedera kepala.
3. Bagi penulis
a) Memperoleh pengalaman yang nyata dalam merawat klien dengan cedera
kepala.
b) Menambah pengetahuan tentang penerapan asuhan keperawatan pada klien
dengan cedera kepala.
E. Metode Penulisan
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif, yakni melalui
studi pustaka dan studi kasus. Studi pustaka diambil dari buku – buku perpustakaan
dan sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan proposal karya
tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan Yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan teoritis Yang terdiri dari konsep dasar cedera kepala dan
konsep dasar Asuhan Keperawatan pada pasien cedera kepala.
BAB III : Tinjaun kasus yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
BAB IV : pembahasan
BAB V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar
1. Anatomi Fisiologi Otak
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini otak yang lembut, yang membuat kita seperti adanya, akan
mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Pada orang dewasa tengkorak
merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang
sebenarnya terdiri dari 2 dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga.
Dinding luar disebut tabula eksternal dan dinding bagian dalam disebut tabula
internal. Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges
adalah durameter, araknoid dan piameter (Price, Silvia A ; 2005 : 1014).
Sistem persarafan terdiri dari:
a. Susunan saraf pusat
1) Otak
(a).Otak besar atau serebrum (cerebrum)
Mempunyai dua belahan yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan yang
duhubungkan oleh massa substansi alba(substansia alba) yang
disebut korpus kalosum (corpus callosum). Serebrum terdiri atas : korteks
sereri, basal ganglia (korpora striate) dan sistem limbik(rhinencephalon).
(b).Otak kecil (serebelum)
Serebelum (otak kecil) terletak dalam fossa kranial posterior, dibawah
tentorium serebelum bagian posterior dari pons varolii dan medula
oblongata. Serebelum mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan
oleh vermis. serebelum dihubungkan dengan otak tengah oleh
pedunkulus serebri superior, dengan pons paroli oleh pedunkulus
serebri media dan dengan medula oblongata oleh pedunkulus serebri
inferior. Lapisan permukaan setiap hemisfer serebri disebut korteks
yang disusun oleh substansia grisea. Lapisan – lapisan korteks serebri
ini dipisahkan oleh fisura transversus yang tersusun rapat. Kelompok
massa substansia grisea tertentu pada serebelum tertanam dalam
substansia alba yang paling besar dikenal sebagai nukleus dentatus.
(c).Batang otak.
Pada permukaan batang otak terdapat medula oblongata, pons varolii,
mesensefalon dan diensefalon. Talamus dan epitalamus terlihat
dipermukaan posterior batang otak yang terletak diantara serabut
capsula interna. Disepanjang pinggir dorsomedial talamus terdapat
sekelompok serabut saraf berjalan keposterior basis epifise.
2) Sum-sum tulang belakang (trunkus serebri)
Medula spinalis merupakan bagian sistem saraf pusat
yang menggambarkan perubahan terakhir pada perkembangan embrio.
Semula ruangannya besar kemudian mengecil menjadi kanalis sentralis.
Medulla spinalis terdiri atas dua belahan yang sama dipersatukan oleh
struktur intermedia yang dibentuk oleh sel saraf dan didukung oleh
jaringan interstisial.
Medula spinalis membentang dari foramen magnum sampai setinggi
vertebra lumbalis I dan II, ujung bawahnya runcing menyerupai kerucut
yang disebut konus medularis, terletak didalam kanalis vertebralis melanjut
sebagai benang-benang(filum terminale) dan akhirnya melekat pada
vertebra III sampai vertebra torakalis II, medula spinalis menebal
kesamping. penebalan ini dinamakan intumensensia servikalis.
b. Susunan saraf perifer
1) Susunan saraf somatik
Indra somatik merupakan saraf yang mengumpulkan informasi sensori
dari tubuh. Indra ini berbeda dengan indra khusus (penglihatan,
penghiduan, pendengaran, pengecapan dan keseimbangan), indra
somatik digolongkan menjadi 3 jenis :
(a).Indra somatik mekano reseptif.
(b).Indra termoreseptor.
(c).Indra nyeri.
2) Susunan saraf otonom
Saraf yang mempersarafi alat – alat dalam tubuh seperti kelenjar,
pembuluh darah, paru – paru, lambung, usus dan ginjal. Alat ini mendapat
dua jenis persarafan otonom yang fungsinya saling bertentangan, kalau
yang satu merangsang yang lainnya menghambat dan sebaliknya, kedua
susunan saraf ini disebut saraf simpatis dan saraf
parasimpatis (syaifuddin ; 2009 : 335 – 360).
2. Cedera Kepala
a. Pengertian
Cedera kepala : Meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. secara
anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala serta tulang
dan tentorium (helm) yang membungkusnya (Arif Muttaqin ; 2008 : 270).
Cedera kepala : Dapat bersifat terbuka (menembus melalui dura
meter) atau tertutup (trauma tumpul, tanpa penetrasi melalui dura).
Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses
langsung ke otak (Corwin J.Elizabeth; 2005 : 175).
Cedera kepala : Trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(http://www.yayanakhyar. com.nr/200905).
Jadi cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala terjadi baik
secara langsung bersifat terbuka atau tertutup yang dapat terlihat meliputi
trauma kulit kepala, tengkorak dan juga otak sehingga dapat mengakibatkan
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat
temporer atau permanen.
b. Etiologi
Penyebab utama cedera kepala meliputi : Kecelakaan lalu lintas >50
% kasus, Jatuh, Pukulan, Kejatuhan benda, Kecelakaan kerja/industri,
Cedera lahir, Luka tembak (Cholik Harun dan Saiful Nurhidayat ; 2009 :49 )
c. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,
keparahan dan morfologi cedera:
1) Mekanisme:
(a). Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
(b). Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau
pukulan benda tumpul.
2) Berdasarkan beratnya:
(a). Ringan (GCS 14-15)
(b). Sedang (GCS (9-13)
(c).Berat (GCS 3-8)
3) Berdasarkan morfologi:
(1) Fraktur tengkorak
(a).Kalvaria: Linear atau stelata, Depressed ataunondepressed, Terbuka
atau tertutup
(b).Dasar tengkorak: Dengan atau tanpa kebocoran CNS, Dengan atau
tanpa paresis/kelumpuhan nervus VII (fasial)
(2) Lesi intrakranial
(a).Fokal: Epidural, Subdural, intraserebral
(b).Difusa: Komosio ringan, Komosio klasik, Cedera aksonal
difusa( http://www.yayanakhyar.co.nr/2009)
4) Skala Coma Glasgow (GCS)
Tabel I.Skala Coma Glasgow
Buka mata (E) Respon verbal (V) Respon motorik (M)
Tabel 2. Kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan nilai skala Koma
Glasgow
Penentuan keparahan Deskripsi Frekuensi
GCS:13-15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau
amnesia tetapi kurang dari 30 menit
Minor/ringan 55 %
Tidak ada fraktur tengkorak,tidak ada kontusio
serebral,tidak ada hematom
GCS:9-12
Sedang Kehilangan kesadaran dan/atau amnesia lebih
dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
24 %
Dapat mengalami fraktur tengkorak
GCS:3-8
Kehilangan kesadaran dan /atau amnesia
lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio
Berat
serebral,laserasi,
21 %
atau hematom intrakranial
d. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselerasi – deselerasi gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contercoup. Cedera primer
yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulag tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselerasi deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma, perbedaan densisitas antar
tulang tengkorak (substansi solid)dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yag berlawanan dari benturan(contrecoup)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yag timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi (http://www.yayankhyar. com.nr/2009).
e. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala meliputi:
1) CT scan (dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan
perubahan jaringan otak.
2) MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
3) Cerebral angiography
Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5) Sinar X
Mendeteksi parubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6) BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7) PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8) CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarakhnoid
9) Kadar Elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intrakranial.
10)Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran
11)Rontgen Thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
12)Toraksentesis menyatakan darah/cairan
13)Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa Gas Darah (AGD/ Astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan
melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam
basa (Arif Muttaqin ; 2008 : 284)
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari
faktor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai
status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan
pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat
dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang
mengalami trauma relatif memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih
rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang
meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang
memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan
intrakranial ini dapat dilakukan dengn cara menurunkan PaCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni
dengan intubasi endotrakeal hiperventilasi. Tindakan membuat intermitten
iatrogenic paralisis Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien – klien
yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yangmeninggi. Prinsip ABC
dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi:
1) Bedrest total
2) Observasi tanda – tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3) Pemberian obat – obatan
(a). Dexamethason/ Kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
(b). Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
(c). Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20%
atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
(d). Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole
4) Makanan atau cairan
Pada trauma ringan bila muntah – muntah tidak dapat diberikan apa –
apa, hanya cairan infus Dextrosa 5 %, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
5) Pada trauma berat
Karena hari – hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran
dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari – hari
pertama (2 – 3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5 % 8 jam
pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan
melalui nasogatric tube (2500 – 3000 TKTP). Pemberian protein
tergantung dari nilai urenitrogennya.
(Arif Muttaqin ; 2008 : 284-285)
g. Komplikasi
1) Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral dapat
menyertai cedera kepala tertutup yang berat, atau lebih sering cedera
kepala terbuka. Pada perdarahan diotak, tekanan intrakranial meningkat,
dan sel neuron dan vaskuler tertekan. Ini adalah jenis cedera otak
sekunder.Pada hematoma, kesadaran dapat menurun dengan segera,
atau dapat menurun setelahnya ketika hematoma meluas dan edema
interstisial memburuk.
2) Perubahan perilaku yang tidak kentara dan defisit kognitif dapat terjadi da
tetap ada.
(Corwin J Elizabeth ; 2009 : 246)
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera
kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik
dan pengkajian psikososial.
a) Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda),
jenis kelamin (banyak laki – laki, karena sering ngebut – ngebutan dengan
motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis
medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran.
b) Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung kekepala. Pengkajian yang
didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS >15), konvulsi, muntah,
takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala,
paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari
hidung dan telinga, serta kejang.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif dan koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien
tidak sadar) tentang penggunaan obat – obatan adiktif dan penggunaan
alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut –
ngebutan.
c) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung,
anemia, penggunaan obat – obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat –
obat adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.
d) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan
diabetes melitus.
e) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra diri)
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan
konsep diri didapatkan kllien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan,
mudah marah, dan tidak kooperatif.
f) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan -keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukng data dan pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1 – B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) dan terarah
dan dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari klien.
Keadaan umum
Pada keadaaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13 – 15, cedera kepala berat/
cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8 dan terjadi
perubahan pada tanda-tanda vital.
(1) B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari
perubahan jaringa cerebral akibat trauma kepala. Pada beberapa
keadaan, hasil dari pemeriksaaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :
(a).Inspeksi
Diddaptakan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Terdapat retraksi klavikula/ dada, pengembangan paru tidak simetris.
Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak penuh dan kesimetrisannya.
Ketidak simetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada
paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemothoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot –
otot interkostal, substernal, pernapan abdomen, dan respirasi
paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat
terjadi jika otot – otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding
dada.
(b).Palpasi
Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
(c).Perkusi
Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma
pada thoraks/ hematothoraks
(d).Auskultasi
Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang
menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan
penurunan tingkat kesadaran koma.
(2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan
berat.
Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada beberapa
keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi
bradikardi, takikardia da aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan
adanya penurunan kadar hemaglobin dalam darah. Hipotensi
menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda -tanda awal
dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala
akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak
pada kompensasi tubuh untuk mengeluarkan retensi atau pengeluaran
garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan
konsentrasi elektolit meningkat sehingga memberikan resiko terjadinya
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskuler.
(3) B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma dan
epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus
dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
(a).Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.
(b).Pemeriksan fungsi serebral
Status mental : Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental
mengalami perubahan.
Fungsi intelektual : Pada keadaan klien cedera kepala didapatkan
penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun
jangka panjang
Lobus frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada
lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual kortikal yang
lebih tinggi mungkin rusak disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang
perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang
motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi
dalam program rehabilitasi mereka. Masalah psikologi lain juga umum
terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan,
frustasi, dendam da kurang kerja sama.
Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparase
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh kesisi yang
berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami
hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan
bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah
frustrasi
(c).Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I
Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah yang merusak
anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada
fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral
Saraf II
Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan
lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari nervus optikus.
Perdarahan diruang intrakranial, terutama hemoragia subarakhnoidal,
dapat disertai dengan perdarahan diretina. Anomali pembuluh darah
didalam otak dapat bermanifestasi juga difundus. Tetapi dari segala
macam kalainan didalam ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat
dicerminkan pada fundus
Saraf III, IV da VI
Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan
trauma yang merusak rongga orbital. pada kasus-kasus trauma kepala
dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda
serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda awal
herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada
penyinaran. Paralisis otot – otot okular akan menyusul pada tahap
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana
bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yang
bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi yang lain, maka
pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi
dilobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya
fungsi itu berarti pusat siliospinal menjadi tidak aktif sehingga pupil
tidak berdilatasi melainkan berkonstriksi.
Saraf V
Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis nervus
trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
menguyah
Saraf VII
Persepsi pengecapan mengalami perubahan
Saraf VIII
Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan
biasanya tidak didapatkan penurunan apabila trauma yang terjadi tidak
melibatkan sarafvestibulokoklearis
Saraf IX dan Xl
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
Saraf XI
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan
tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII
Indra pengecapan mengalami perubahan
(d).Sistem motorik
Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu
sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis
(kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
Tonus otot : Didapatkan menurun sampai hilang.
Kekuatan otot : Pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan
otot didapatkan grade O
Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami gangguan
karena hemiparase dan hemiplegia.
(e).Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pda tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
Pemeriksaan refleks patologis ; Pada fase akut refleks fisiologis sisi
yag lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis
akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
(f). Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestasi persepsi adalah ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi.Disfungsi persepsivisual karena gangguan
jaras sensorik primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan
hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek
dalam area spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan
propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian
tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimulasi visual,
taktil dan auditorius.
(4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik, termasuk
berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien
mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas.
(5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual muntah pada fase akut. Mual dan muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukan kerusakan neurologis luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi
pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya
dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan
kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen.
Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan
peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan
motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yag berasal dari
sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
(6) Tulang (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit. Adanya
perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa).
Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan
rendahnya kadar haemaglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien
yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia.
Joundice (warna kuning) pada klien yang menggunakan respirator dapat
terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan pocked
red cells (PRC) dalam jangka waktu lama.
Pada klien dengan kulit gelap. Perubahan warna tersebut tidak begitu
jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya
demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan
dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensorik atau paralisis/ hemiplegia, mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan
desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan
baik bersifat intraserebral hematoma , subdural hematoma dan epidural
hematoma.
b. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada
pusat pernapasan diotak, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru
yang tidak optimal karena akumulasi udara/cairan, dan perubahan
perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventiltor.
c. Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan
sputum peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder, akibat nyeri
dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan
batuk/batuk efektif.
d. Perubahan kenyamanan : nyeri akut yang berhubungan dengan trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
e. Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman terhadap
konsep diri, takut mati, ketergantungan pada alat bantu, perubahan status
kesehatan/ status ekonomi/ fungsi peran, hubungan interpersonal/ penularan
3. Rencana Intervensi
a. Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang
sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil:
Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4,
5, 6,tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri:
1) Kaji faktor penyebab dari situasi/ keadaan individu/ penyebab koma/
penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/ Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status
neurologis/ tanda – tanda kegagalan untuk menentukan perawatan
kegawatan atau tindakan pembedahan
2) Memonitor tanda – tanda vital tiap 4 jam.
R/ suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik
atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik penurunan
dari autoregulator. Kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi
lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan
darah (diastolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah
intrakranial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia,
dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
3) Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya.
R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali
dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika
batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III kranial
(okulomotorik) yang menunjukan keutuhan batang otak, ukuran pupil
menunjukan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis.
Respons terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf
kranial II dan III.
4) Monitor temperatur da pengaturan suhu lingkungan .
R/ Panas merupakan refleks dari hipotalamus. peningkatan kebutuhan
metabolisme dan O2 akan menunjang TIK/ICP (intrakranial pressure).
5) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan
sedikit bantal. Hindari penggunaan batal yang tinggi pada kepala.
R/ Perubahan kepada salah satu sisi dapat menimbulkan penekanan
pada venajugularis dan menghambat aliran darah ke otak
(menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
6) Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya
prosedur.
R/ Tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek
rangsagan kumulatif.
7) Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase
punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan
suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
R/ Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat
mengurangi respons psikologis dan memberikan istirahat untuk
mempertahankan TIK yang rendah.
8) Cegah/hindarkan terjadinya valsava manuver.
R/ Mengurangi tekanan intrathorakal dan intraabdominal sehingga
menghindari peningkatan TIK.
9) Bantu klien jika batuk, muntah
R/ Aktivitas ini dapat meningkatan intrathorak/tekanan dalam thoraks
dan tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat
meningkatkan TIK.
10)Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku
R/ Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK
atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak
menurundapat meningkatkan TIK.
11)Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine
secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/ Dapat meningkatkan respons otomatis yang potensial menaikkan
TIK.
12)Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab
akibat TIK meningkat.
R/ Meningkatkan kerja sama dalam meningkatkan perawatan klien dan
mengurangi kecemasan.
13)Observasi tingkat kesadaran GCS
R/ Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna
menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.
Kolaborasi:
1) Pemberian O2 sesuai indikasi.
R/ Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi
serebral, volume darah, dan menaikkan TIK
2) Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam intrakranial.
R/ Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila
kemungkinan terdapat tanda – tanda defisit neurologis yang
menandakan peningkatan intrakranial.
3) Berikan cairan intravena sesuai indikasi
R/ Pemberian cairan mungkin diiginkan untuk mengurangi edema
serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah , tekanan
darah dan TIK.
4) Berikan obat osmosisdiuretik, contohnya : manitol, furoslide
R/ Diuretik mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air
dari sel otak dan mengurangi edema serebral dari TIK
5) Berikan steroid contohnya : Dexamethason,
methylprenidsolon.
R/ Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema
jaringan.
6) Berikan analgesik narkotik, contoh : kodein
R/ Mungkin diindikasikan nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK
tetapi digunakan dengan tujuan untuk mencegah dan menurunkan
sensasi nyeri.
7) Berikan antipiretik, contohnya : asetaminofen.
R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen
yang diinginkan.
8) Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin,
LED
R/ Membantu memberikan informan tentang efektivitas pemberian obat.
c. Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan
napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret dan ketidakmampuan
batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan
jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal
tube bebas sumbatan, menunjukan batuk yang efektif, tidak ada lagi
penumpukan sekret disaluran pernapasan.
Intervensi:
1) Kaji keadaan jalan napas
R/ Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa
cairan mukus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi
dari endotracheal/tracheostomy tube yag berubah.
2) Evaluasi pergerakan dan auskultasi suara napas pada kedua
paru (bilateral)
R/ Pergerakan dada yang simeteris dengan suara napas yang keluar
dari paru – paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran
napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas
sepertironkhi atau wheezing.
3) Monitor letak posisi endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan tube
secara hati – hati dengan memakai perekat khusus. Mohon bantuan
perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube.
R/ Endotracheal tube dapat saja masuk kedalam bronkhus kanan,
menyebabkan obstruksi jalan napas keparu – paru kanan dan
mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks
4) Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari
ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui
endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi.
R/ Selama intubasi klien mengalami refleks batuk yang tidak efektif,
atau klien akan mengalami kelemahan otot-otot pernapasan
(neuromuskular/neurosensorik), keterlambatan untuk batuk. Semua
klien tergantung dari alternatif yag dilakukan seperti mengisap
lendir dari jalan napas.
5) Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi pengisapan
dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter penghisap yag sesuai, cairan
fisiologis steril. Berikan oksigen 100 % sebelum dilakukan penghisapan
dengan ambubag (hiperventilasi).
R/ Pengisapan lendir tidak selamnya dilakukan terus -menerus, dan
durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia
6) Anjurkan klien teknik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas
panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi.
R/ Batuk yang efektif dapat mengeluarkan
sekret dari saluran napas.
7) Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam)
R/ Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru – paru,
mengurangi resiko atelektasis.
8) Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
R/ Membantu pengeceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.
9) Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa
terdapat penumpukan sekret disaluran pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
10) Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.
R/ batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif,
dapat menyebabkan frustasi
11)Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin
R/ memungkinkan expansi pun lebih luas
12)Lakukan pernapasan diafragma
R/ pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan ventilasi
alveolar.
13)Tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan, lahan
keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
R/ meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah
pengeluaran sekresi sekret
14) Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan
2 batuk pendek dan kuat.
R/ pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan batuk klien.
15)Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan
sumbatan mukus yang mengarah pada atelektasis.
16)Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi :
mempertahankan hidrasi yang adekuat, meningkatkan masukan cairan
1000-1500cc/hari bisa tidak ada kontraindikasi.
R/ untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mukosa pada
saluran napas bagian atas
17)Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ higene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan
mencegah bau mulut.
18)Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
1) Pemberian ekpektoran
2) Pemberian antibiotik
3) Fisioterapi dada
4) Konsul foto thoraks
R/ ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan
mengevaluasi kndisi klien pengembangan parunya.
19)Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainase, perkusi
/ penepukan.
R/ mengatur ventilasi segment paru – paru sekret.
20)Berikan obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti aminophilin,
meta-protereno sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosal).
R/ mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi muscle /
bronchospasme.
d. Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam nyeri berkurang / hilang
Kriteria hasil : secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di
adaptasi, dapat mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri,
klien tidak gelisah.
Intervensi:
1) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni
dan non invasif.
R/ pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi
lainnya telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri
2) Ajarkan relaksasi.Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot
rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan
relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan O2 oleh
jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.
3) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
4) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman misalnya ketika tidur belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga akan
meningkatkan kenyamanan.
5) Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan
berapa lama nyeri akan berlangsung.
R/ pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya
dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.
6) Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien,30 menit setelah
pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektifitasnya serta setiap 1 – 2
jam setelah tindakan perawatan selam 1 – 2 hari.
R/ pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang
objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan :
intervensi yang tepat.
7) Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgesik.
R/ analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. (Nursalam, 2001 : 71).
Hasil evaluasi yang bisa didapatkan pada pasien dengan cedera kepala
sesuai dengan diagnosa keperawatan yang ada adalah sebagi berikut :
a. Pasien tidak mengalami peningkatan TIK yang ditandai dengan Klien tidak gelisah, klien
tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4, 5, 6,tidak terdapat papiledema,
TTV dalam batas normal.
b. Pola napas pasien kembali efektif yang ditandai dengan memperlihatkan frekuensi
pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas – gas pada paru, adaptif
mengatasi faktor – faktor penyebab.
c. Jalan napas pasien kembali efektif yang ditandai dengan bunyi napas terdengar bersih,
ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukan batuk yang efektif,
tidak ada lagi penumpukan sekret disaluran pernapasan.
d. Pasien secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di adaptasi, dapat
mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
e. Klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-cara yang sehat kepada
perawat, klien dapat mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan
perubahan koping yang digunakan sesaui situasi yang di hadapi, klien dapat mencatat
penurunan kecemasan/ketakutan di bawah standar, klien dapat rileks dan tidur/istirahat
dengan baik.