You are on page 1of 94

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN G DENGAN CEDERA


KEPALA DI RUANG
PERAWATAN BEDAH
KARYA TULIS ILMIAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN G DENGAN CEDERA

KEPALA DI RUANG PERAWATAN BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ATAMBUA

Diajukan sebagai salah satu persyaratan Untuk menyelesaikan pendidikan DIII keperawatan pada
Akademi Keperawatan Kabupatan Belu

OLEH

THERESIA MAGDALENA FERNANDEZ

NIM : 5306.09.597

PEMERINTAH KABUPATEN BELU

AKADEMI KEPERAWATAN

2011

LEMBAR PERSETUJUAN

Diterima dan disetujui untuk diikutsertakan dalam ujian akhir karya tulis ilmiah.
Atambua, 8 Oktober 2011

Pembimbing

Antonia Helena Hamu S.Kep.Ns


NIP : 1974 0319 199803 2 005

Mengetahui

Direktur Akademi Keperawatan Kabupaten Belu

Djulianus Tes Mau, S.Kep.Ns. M.Kes


NIP : 19670729 198903 1 010

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Ujian Sidang Karya Tulis Ilmiah di Akademi
Keperawatan Kabupaten Belu, …………………………………………. 2011

MENGESAHKAN

Tim Penguji Tanda Tangan

1. Penguji I : ………………………………………. (…………………..)


NIP :

1. Penguji II : ……………………………………… (…………………..)


NIP :

1. Penguji III : ……………………………………… (…………………..)


NIP :

Mengetahui

Direktur Akademi Keperawatan Kabupaten Belu


Djulianus Tes Mau,S.Kep.Ns,M.Kes
NIP : 19670729 198903 1 010

MOTTO

“Kegagalan melakukan hal besar jauh lebih baik daripada hanya keberhasilan melakukan hal kecil”
PERSEMBAHAN

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria


2. Suamiku tercinta dan anak – anakku tersayang Icha dan Ibet .
3. Almamater tercinta ” Akademi Keperawatan Kabupaten Belu ” beserta jajaran staf dosen dan seluruh
civitas akademika atas warna dan kebersamaan selama menyelesaikan proses ini.
4. Teman – teman progsus keperawatan sekelas yang telah memberi warna dan inspirasi tersendiri pada
penulis selama menyelesaikan proses ini
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
bimbingan–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan judul “ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN G DENGAN CEDERA KEPALA DI RUANG PERAWATAN BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ATAMBUA” dengan baik.

Karya tulis ilmiah ini dibuat sebagai salah satu tuntunan kurikulum pendidikan tinggi yang dibuat
untuk menyelesaikan pendidikan ahli madya keperawatan, pada Akademi Keperawatan Kabupaten
Belu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini telah memperoleh banyak
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu
penulis patut menyampaikan terima kasih kepada :

1. Drs.Joachim Lopez, selaku Bupati Belu yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan
pendidikan.
2. dr.Lau Fabianus, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Belu yang telah mengijinkan penulis untuk
melanjutkan pendidikan diploma III.
3. dr.Yeni Tassa, selaku direktris RSUD Atambua yang telah menerima dan mengijinkan penulis melakukan
studi kasus.
4. Djulianus Tes Mau,S.Kep,Ns,M.Kes, selaku Direktur Akademi Keperawatan Kabupaten Belu yang telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk mengeyam pendidikan di Akademi Keperawatan ini.
5. Antonia Helena Hamu,S.Kep,Ns. selaku pembimbing penulis yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing dan memberikan masukan bagi penulis dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.
6. Pasen G yang menyediakan waktu dan memberikan kesempatan pada penulis untuk melakukan asuhan
keperawatan secara langsung.
7. Petugas perpustakaan yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mendapatkan sumber bacaan
yang berkaitan dengan karya tulis ilmiah ini.
8. Teman – teman progsus keperawatan sekelas yang selalu memberikan warna dan inspirasi perjuangan
tersendiri bagi penulis selama melalui proses ini.
9. Suami dan kedua anakku tercinta yang telah mendorong dan memahami penulis selama menyelesaikan
proses ini.
Penulis berupaya semaksimal mungkin agar karya tulis ilmiah ini bisa menjadi baik dan layak untuk
sesama, namun penulis menyadari kesempurnaan masih jauh. Maka saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak demi perbaikan karya tulis ilmiah ini sangatlah diharapkan dan akan
diterima dengan lapang dada. Kiranya semua bantuan yang telah penulis dapatkan dibalaskan oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa.

Atambua, Oktober 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul……………………………………………………………………………………….. i

Lembar Persetujuan……………………………………………………………………………….. ii

Lembar Pengesahan……………………………………………………………………………… iii

Motto………………………………………………………………………………………………………. vi

Persembahan…………………………………………………………………………………………. v

Kata Pengantar………………………………………………………………………………………. vi
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………. viii

Daftar tabel……………………………………………………………………………………………… x

Daftar Lampiran……………………………………………………………………………………… xi

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang……………………………………………………………………… 1
2. Rumusan Masalah………………………………………………………………. 2
3. Tujuan Penulisan
A. Tujuan Umum………………………………………………………………… 2
B. Tujuan Khusus……………………………………………………………….. 3
C. Manfaat Penulisan ……………………………………………………………… 3
D. Metode Penulisan ……………………………………………………………….. 3
E. Sistematika Penulisan…………………………………………………………. 4
BAB II TINJAUAN TEORITIS

1. Konsep Dasar
A. Anatomi Fisiologi Otak
i. Susunan Saraf Pusat…………………………………………….5
ii. Susunan Saraf Perifer……………………………………………7
iii. Cedera Kepala
1. Pengertian……………………………………………………………7
2. Etiologi………………………………………………………………………. 8
3. Klasifikasi………………………………………………………………….. 8
4. Patofisiologi…………………………………………………………….. 10
5. Pemeriksaan Penunjang ……………………………………….. 11
6. Penatalaksanaan…………………………………………………….. 12
7. Komplikasi……………………………………………………………….. 14
8. Konsep dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian……………………………………………………………………. 14
2. Diagnosa Keperawatan………………………………………………… 24
3. Perencanaan………………………………………………………………… 25
4. Pelaksanaan…………………………………………………………………. 39
5. Evaluasi………………………………………………………………………… 43
BAB III TINJAUAN KASUS

1. Pengkajian……………………………………………………………………45
2. Diagnosa Keperawatan………………………………………………….55
3. Perencanan, implementasi dan evaluasi…………………………..57
4. Catatan perkembangan………………………………………………….64
BAB IV PEMBAHASAN………………………………………………………………….77

BAB V PENUTUP

1. Kesimpulan…………………………………………………………………..80
2. Saran…………………………………………………………………………..81
Daftar Pustaka

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skala Coma Glasgow………………………………………………….09

Tabel 2. Kategori penentuan keparahan cedera kepala………………..10

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pathway Cedera Kepala

Lampiran 2. Surat ijin Pengambilan Data

Lampiran 3. Surat Ijin Melaksanakan penelitian

Lampiran 4. Surat balasan telah melakukan penelitian

Lampiran 5. Daftar Konsul

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(www.yayanakhyar.com.nr/200905).
Setiap tahun di Amerika Serikat, mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala
52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga
merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma dikaitkan dengan
kematin. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Natroma Trauma Project di Islamic
Republik of Iranbahwa, diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu
sebanyak 78,7 % trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh
trauma kepala (Karbakhsh, zand, Rouzrokh, Zarei, 2009). Rata – rata rawat inap
pada laki – laki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma kepala sebanyak
146,3 per 100.000 dan 158,3 per 100.000 (Thomas 2006). Angka kematian trauma
kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki – laki dibanding perempuan yaitu
sebanyak 26,9 per 100.000 dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun
keatas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta
lansia di Amerika yang mengalami trauma kepala akibat terjatuh. Menurut Kraus
(1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda
mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat
kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala
disebabkan oleh terjatuh.Menurut data yang diperolah dari rekam medik RSUD
Atambua, pada tiga tahun terakhir ini yaitu : tahun 2008 terdiri dari 142 orang, laki –
laki : 107 orang ( 75,3 %), perempuan : 42 orang (29,5 %), Tahun 2009 : 163 orang,
laki – laki : 140 orang (85,8 %), perempuan : 23 orang (13,6 %), Tahun 2010 : 175
orang, laki – laki : 149 orang (85,1 %), perempuan : 26 orang ( 14,8 %).
Indonesia sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi,
diantaranya bidang transportasi. Dengan majunya transportasi, mobilitas penduduk
pun ikut meningkat. Namun akibat kemajuan ini, juga berdampak negatif yaitu
semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas karena ketidak hati – hatian dalam
berkendaraan. Sehingga dapat mengakibatkan berbagai cedera. Salah satu cedera
yang sering terjadi pada saat kecelakan lalu lintas
adalah cedera kepala (…………..http://repository.usu.ac.id/ bitstream/
12345678 /16495/5.chapter%201.pdf)
Cedera kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi, oleh
karena itu diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik terutama
tentang penanganan (A, B, C, D, E), pencegahan cedera otak sekunder dan cara
merujuk penderita secepat mungkin oleh untuk petugas kesehatan yang berada
digaris depan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalahnya
adalah “ Bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala di Rumah Sakit Umum Daerah Atambua ? ”

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengembangkan pola pikir ilmiah dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien cedera kepala dengan pendekatan proses keperawatan.

2. Tujuan khusus
a) Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien cedera kepala.
b) Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
cedera kepala.
c) Mahasiswa mampu membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien
dengan cedera kepala.
d) Mahasiswa mampu melaksanakan rencana tindakan keperawatan pada
pasien dengan cedera kepala.
e) Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilakukan.
f) Mahasiswa mampu melakukan dokumentasi terhadap tindakan keperawatan
yang telah dilakukan.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi profesi keperawatan
Memberikan asuhan tentang bagaimana merawat pasien dengan cedera kepala,
dengan menggunakan proses keperawatan yang meliputi : pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
2. Bagi Rumah Sakit
Memberikan masukan dalam rangka meningkatkan penerapan asuhan keperawatan
pada pasien dengan cedera kepala.
3. Bagi penulis
a) Memperoleh pengalaman yang nyata dalam merawat klien dengan cedera
kepala.
b) Menambah pengetahuan tentang penerapan asuhan keperawatan pada klien
dengan cedera kepala.

E. Metode Penulisan
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif, yakni melalui
studi pustaka dan studi kasus. Studi pustaka diambil dari buku – buku perpustakaan
dan sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan proposal karya
tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan Yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan teoritis Yang terdiri dari konsep dasar cedera kepala dan
konsep dasar Asuhan Keperawatan pada pasien cedera kepala.
BAB III : Tinjaun kasus yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
BAB IV : pembahasan
BAB V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar
1. Anatomi Fisiologi Otak
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini otak yang lembut, yang membuat kita seperti adanya, akan
mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Pada orang dewasa tengkorak
merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang
sebenarnya terdiri dari 2 dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga.
Dinding luar disebut tabula eksternal dan dinding bagian dalam disebut tabula
internal. Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges
adalah durameter, araknoid dan piameter (Price, Silvia A ; 2005 : 1014).
Sistem persarafan terdiri dari:
a. Susunan saraf pusat
1) Otak
(a).Otak besar atau serebrum (cerebrum)
Mempunyai dua belahan yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan yang
duhubungkan oleh massa substansi alba(substansia alba) yang
disebut korpus kalosum (corpus callosum). Serebrum terdiri atas : korteks
sereri, basal ganglia (korpora striate) dan sistem limbik(rhinencephalon).
(b).Otak kecil (serebelum)
Serebelum (otak kecil) terletak dalam fossa kranial posterior, dibawah
tentorium serebelum bagian posterior dari pons varolii dan medula
oblongata. Serebelum mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan
oleh vermis. serebelum dihubungkan dengan otak tengah oleh
pedunkulus serebri superior, dengan pons paroli oleh pedunkulus
serebri media dan dengan medula oblongata oleh pedunkulus serebri
inferior. Lapisan permukaan setiap hemisfer serebri disebut korteks
yang disusun oleh substansia grisea. Lapisan – lapisan korteks serebri
ini dipisahkan oleh fisura transversus yang tersusun rapat. Kelompok
massa substansia grisea tertentu pada serebelum tertanam dalam
substansia alba yang paling besar dikenal sebagai nukleus dentatus.
(c).Batang otak.
Pada permukaan batang otak terdapat medula oblongata, pons varolii,
mesensefalon dan diensefalon. Talamus dan epitalamus terlihat
dipermukaan posterior batang otak yang terletak diantara serabut
capsula interna. Disepanjang pinggir dorsomedial talamus terdapat
sekelompok serabut saraf berjalan keposterior basis epifise.
2) Sum-sum tulang belakang (trunkus serebri)
Medula spinalis merupakan bagian sistem saraf pusat yang
menggambarkan perubahan terakhir pada perkembangan embrio.
Semula ruangannya besar kemudian mengecil menjadi kanalis sentralis.
Medulla spinalis terdiri atas dua belahan yang sama dipersatukan oleh
struktur intermedia yang dibentuk oleh sel saraf dan didukung oleh
jaringan interstisial.
Medula spinalis membentang dari foramen magnum sampai setinggi
vertebra lumbalis I dan II, ujung bawahnya runcing menyerupai kerucut
yang disebut konus medularis, terletak didalam kanalis vertebralis melanjut
sebagai benang-benang(filum terminale) dan akhirnya melekat pada
vertebra III sampai vertebra torakalis II, medula spinalis menebal
kesamping. penebalan ini dinamakan intumensensia servikalis.
b. Susunan saraf perifer
1) Susunan saraf somatik
Indra somatik merupakan saraf yang mengumpulkan informasi sensori
dari tubuh. Indra ini berbeda dengan indra khusus (penglihatan,
penghiduan, pendengaran, pengecapan dan keseimbangan), indra
somatik digolongkan menjadi 3 jenis :
(a).Indra somatik mekano reseptif.
(b).Indra termoreseptor.
(c).Indra nyeri.
2) Susunan saraf otonom
Saraf yang mempersarafi alat – alat dalam tubuh seperti kelenjar,
pembuluh darah, paru – paru, lambung, usus dan ginjal. Alat ini mendapat
dua jenis persarafan otonom yang fungsinya saling bertentangan, kalau
yang satu merangsang yang lainnya menghambat dan sebaliknya, kedua
susunan saraf ini disebut saraf simpatis dan saraf parasimpatis
(syaifuddin ; 2009 : 335 – 360).
2. Cedera Kepala
a. Pengertian
Cedera kepala : Meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. secara
anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala serta tulang
dan tentorium (helm) yang membungkusnya (Arif Muttaqin ; 2008 : 270).
Cedera kepala : Dapat bersifat terbuka (menembus melalui dura
meter) atau tertutup (trauma tumpul, tanpa penetrasi melalui dura). Cedera
kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung
ke otak (Corwin J.Elizabeth; 2005 : 175).
Cedera kepala : Trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(http://www.yayanakhyar. com.nr/200905).
Jadi cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala terjadi baik
secara langsung bersifat terbuka atau tertutup yang dapat terlihat meliputi
trauma kulit kepala, tengkorak dan juga otak sehingga dapat mengakibatkan
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat
temporer atau permanen.

b. Etiologi
Penyebab utama cedera kepala meliputi : Kecelakaan lalu lintas >50
% kasus, Jatuh, Pukulan, Kejatuhan benda, Kecelakaan kerja/industri,
Cedera lahir, Luka tembak (Cholik Harun dan Saiful Nurhidayat ; 2009 :49 )

c. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,
keparahan dan morfologi cedera:
1) Mekanisme:
(a). Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
(b). Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau
pukulan benda tumpul.
2) Berdasarkan beratnya:
(a). Ringan (GCS 14-15)
(b). Sedang (GCS (9-13)
(c).Berat (GCS 3-8)
3) Berdasarkan morfologi:
(1) Fraktur tengkorak
(a).Kalvaria: Linear atau stelata, Depressed ataunondepressed, Terbuka
atau tertutup
(b).Dasar tengkorak: Dengan atau tanpa kebocoran CNS, Dengan atau
tanpa paresis/kelumpuhan nervus VII (fasial)
(2) Lesi intrakranial
(a).Fokal: Epidural, Subdural, intraserebral
(b).Difusa: Komosio ringan, Komosio klasik, Cedera aksonal
difusa( http://www.yayanakhyar.co.nr/2009)
4) Skala Coma Glasgow (GCS)
Tabel I.Skala Coma Glasgow
Buka mata (E) Respon verbal (V) Respon motorik (M)

1 Tidak ada jawaban 1 Tidak ada reaksi


1 Tidak ada reaksi

2 Mengerang 2 Reaksi ekstensi(deserebrasi)


2 Dengan rang
sang nyeri

3 Tidak tepat 3 Reaksi fleksi(dekortikasi)


3 Terhadap suara

4 Kacau/confused 4 Reaksi menghindar


4 Spontan

5 Baik,tidak ada dis 5 Melokalisir nyeri


orientasi
6 Menurut perintah

(Sumber:dr George Dewanto,Sp.s,dkk.Panduan Praktis:Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf)


Klasifikasi yang mendekati keadaan klinis adalah berdasarkan nilai
GCS yang dikeluarkan oleh The Traumatic Coma Data Bank (Hudak dan
Gallo ; 1996 : 59, dikutip oleh cholik Harun Risjidi)

Tabel 2. Kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan nilai skala Koma
Glasgow
Penentuan keparahan Deskripsi Frekuensi

GCS:13-15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau
amnesia tetapi kurang dari 30 menit
Minor/ringan 55 %
Tidak ada fraktur tengkorak,tidak ada kontusio
serebral,tidak ada hematom

GCS:9-12
Sedang Kehilangan kesadaran dan/atau amnesia lebih
dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
24 %
Dapat mengalami fraktur tengkorak
GCS:3-8
Kehilangan kesadaran dan /atau amnesia
lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio
Berat
serebral,laserasi,
21 %
atau hematom intrakranial

(Sumber:Cholik Harun Rosjidi,cs(Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala & Stroke)

d. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselerasi – deselerasi gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contercoup. Cedera primer
yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulag tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselerasi deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma, perbedaan densisitas antar
tulang tengkorak (substansi solid)dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yag berlawanan dari benturan(contrecoup)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yag timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi
(http://www.yayankhyar. com.nr/2009).

e. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala meliputi:
1) CT scan (dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan
perubahan jaringan otak.
2) MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
3) Cerebral angiography
Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5) Sinar X
Mendeteksi parubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6) BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7) PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8) CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarakhnoid
9) Kadar Elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intrakranial.
10)Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran
11)Rontgen Thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
12)Toraksentesis menyatakan darah/cairan
13)Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa Gas Darah (AGD/ Astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan
melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam
basa (Arif Muttaqin ; 2008 : 284)

f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari
faktor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai
status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan
pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat
dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang
mengalami trauma relatif memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih
rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang
meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang
memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan
intrakranial ini dapat dilakukan dengn cara menurunkan PaCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni
dengan intubasi endotrakeal hiperventilasi. Tindakan membuat intermitten
iatrogenic paralisis Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien – klien
yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yangmeninggi. Prinsip ABC
dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi:
1) Bedrest total
2) Observasi tanda – tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3) Pemberian obat – obatan
(a). Dexamethason/ Kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
(b). Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
(c). Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20%
atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
(d). Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole
4) Makanan atau cairan
Pada trauma ringan bila muntah – muntah tidak dapat diberikan apa –
apa, hanya cairan infus Dextrosa 5 %, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
5) Pada trauma berat
Karena hari – hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran
dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari – hari
pertama (2 – 3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5 % 8 jam
pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan
melalui nasogatric tube (2500 – 3000 TKTP). Pemberian protein
tergantung dari nilai urenitrogennya.
(Arif Muttaqin ; 2008 : 284-285)

g. Komplikasi
1) Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral dapat
menyertai cedera kepala tertutup yang berat, atau lebih sering cedera
kepala terbuka. Pada perdarahan diotak, tekanan intrakranial meningkat,
dan sel neuron dan vaskuler tertekan. Ini adalah jenis cedera otak
sekunder.Pada hematoma, kesadaran dapat menurun dengan segera,
atau dapat menurun setelahnya ketika hematoma meluas dan edema
interstisial memburuk.
2) Perubahan perilaku yang tidak kentara dan defisit kognitif dapat terjadi da
tetap ada.
(Corwin J Elizabeth ; 2009 : 246)
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera
kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik
dan pengkajian psikososial.
a) Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda),
jenis kelamin (banyak laki – laki, karena sering ngebut – ngebutan dengan
motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis
medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran.
b) Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung kekepala. Pengkajian yang
didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS >15), konvulsi, muntah,
takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala,
paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari
hidung dan telinga, serta kejang.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif dan koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien
tidak sadar) tentang penggunaan obat – obatan adiktif dan penggunaan
alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut –
ngebutan.
c) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung,
anemia, penggunaan obat – obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat
– obat adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.
d) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan
diabetes melitus.
e) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra diri)
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan
konsep diri didapatkan kllien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan,
mudah marah, dan tidak kooperatif.
f) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan -keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukng data dan pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1 – B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) dan terarah
dan dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari klien.

Keadaan umum
Pada keadaaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13 – 15, cedera kepala berat/
cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8 dan terjadi
perubahan pada tanda-tanda vital.
(1) B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari
perubahan jaringa cerebral akibat trauma kepala. Pada beberapa
keadaan, hasil dari pemeriksaaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :
(a).Inspeksi
Diddaptakan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Terdapat retraksi klavikula/ dada, pengembangan paru tidak simetris.
Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak penuh dan kesimetrisannya.
Ketidak simetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada
paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemothoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot –
otot interkostal, substernal, pernapan abdomen, dan respirasi
paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat
terjadi jika otot – otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding
dada.
(b).Palpasi
Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
(c).Perkusi
Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma
pada thoraks/ hematothoraks
(d).Auskultasi
Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang
menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan
penurunan tingkat kesadaran koma.

(2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan
berat.
Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada beberapa
keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi
bradikardi, takikardia da aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan
adanya penurunan kadar hemaglobin dalam darah. Hipotensi
menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda -tanda awal
dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala
akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak
pada kompensasi tubuh untuk mengeluarkan retensi atau pengeluaran
garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan
konsentrasi elektolit meningkat sehingga memberikan resiko terjadinya
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskuler.

(3) B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma dan
epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus
dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
(a).Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.
(b).Pemeriksan fungsi serebral
Status mental : Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental
mengalami perubahan.
Fungsi intelektual : Pada keadaan klien cedera kepala didapatkan
penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun
jangka panjang
Lobus frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada
lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual kortikal yang
lebih tinggi mungkin rusak disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang
perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang
motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi
dalam program rehabilitasi mereka. Masalah psikologi lain juga umum
terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan,
frustasi, dendam da kurang kerja sama.
Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparase
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh kesisi yang
berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami
hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan
bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah
frustrasi
(c).Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I
Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah yang merusak
anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada
fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral
Saraf II
Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan
lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari nervus optikus.
Perdarahan diruang intrakranial, terutama hemoragia subarakhnoidal,
dapat disertai dengan perdarahan diretina. Anomali pembuluh darah
didalam otak dapat bermanifestasi juga difundus. Tetapi dari segala
macam kalainan didalam ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat
dicerminkan pada fundus
Saraf III, IV da VI
Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan
trauma yang merusak rongga orbital. pada kasus-kasus trauma kepala
dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda
serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda awal
herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada
penyinaran. Paralisis otot – otot okular akan menyusul pada tahap
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana
bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yang
bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi yang lain, maka
pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi
dilobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya
fungsi itu berarti pusat siliospinal menjadi tidak aktif sehingga pupil
tidak berdilatasi melainkan berkonstriksi.
Saraf V
Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis nervus
trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
menguyah
Saraf VII
Persepsi pengecapan mengalami perubahan
Saraf VIII
Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan
biasanya tidak didapatkan penurunan apabila trauma yang terjadi tidak
melibatkan sarafvestibulokoklearis
Saraf IX dan Xl
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
Saraf XI
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan
tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII
Indra pengecapan mengalami perubahan

(d).Sistem motorik
Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu
sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis
(kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
Tonus otot : Didapatkan menurun sampai hilang.
Kekuatan otot : Pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan
otot didapatkan grade O
Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami gangguan
karena hemiparase dan hemiplegia.
(e).Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pda tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
Pemeriksaan refleks patologis ; Pada fase akut refleks fisiologis sisi
yag lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis
akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
(f). Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestasi persepsi adalah ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi.Disfungsi persepsivisual karena gangguan
jaras sensorik primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan
hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek
dalam area spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan
propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian
tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimulasi visual,
taktil dan auditorius.
(4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik, termasuk
berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien
mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas.
(5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual muntah pada fase akut. Mual dan muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukan kerusakan neurologis luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi
pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya
dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan
kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen.
Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan
peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan
motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yag berasal dari
sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
(6) Tulang (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit. Adanya
perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa).
Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan
rendahnya kadar haemaglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien
yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia.
Joundice (warna kuning) pada klien yang menggunakan respirator dapat
terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan pocked
red cells (PRC) dalam jangka waktu lama.
Pada klien dengan kulit gelap. Perubahan warna tersebut tidak begitu
jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya
demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan
dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensorik atau paralisis/ hemiplegia, mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan
desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan
baik bersifat intraserebral hematoma , subdural hematoma dan epidural
hematoma.
b. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada
pusat pernapasan diotak, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru
yang tidak optimal karena akumulasi udara/cairan, dan perubahan
perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventiltor.
c. Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan
sputum peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder, akibat nyeri
dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan
batuk/batuk efektif.
d. Perubahan kenyamanan : nyeri akut yang berhubungan dengan trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
e. Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman terhadap
konsep diri, takut mati, ketergantungan pada alat bantu, perubahan status
kesehatan/ status ekonomi/ fungsi peran, hubungan interpersonal/ penularan

3. Rencana Intervensi
a. Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang
sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil:
Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4,
5, 6,tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri:
1) Kaji faktor penyebab dari situasi/ keadaan individu/ penyebab koma/
penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/ Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status
neurologis/ tanda – tanda kegagalan untuk menentukan perawatan
kegawatan atau tindakan pembedahan
2) Memonitor tanda – tanda vital tiap 4 jam.
R/ suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik
atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik penurunan
dari autoregulator. Kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi
lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan
darah (diastolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah
intrakranial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia,
dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
3) Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya.
R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali
dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika
batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III kranial
(okulomotorik) yang menunjukan keutuhan batang otak, ukuran pupil
menunjukan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis.
Respons terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf
kranial II dan III.
4) Monitor temperatur da pengaturan suhu lingkungan .
R/ Panas merupakan refleks dari hipotalamus. peningkatan kebutuhan
metabolisme dan O2 akan menunjang TIK/ICP (intrakranial pressure).
5) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan
sedikit bantal. Hindari penggunaan batal yang tinggi pada kepala.
R/ Perubahan kepada salah satu sisi dapat menimbulkan penekanan
pada venajugularis dan menghambat aliran darah ke otak
(menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
6) Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya
prosedur.
R/ Tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek
rangsagan kumulatif.
7) Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase
punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan
suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
R/ Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat
mengurangi respons psikologis dan memberikan istirahat untuk
mempertahankan TIK yang rendah.
8) Cegah/hindarkan terjadinya valsava manuver.
R/ Mengurangi tekanan intrathorakal dan intraabdominal sehingga
menghindari peningkatan TIK.
9) Bantu klien jika batuk, muntah
R/ Aktivitas ini dapat meningkatan intrathorak/tekanan dalam thoraks
dan tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat
meningkatkan TIK.
10)Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku
R/ Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK
atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak
menurundapat meningkatkan TIK.
11)Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine
secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/ Dapat meningkatkan respons otomatis yang potensial menaikkan
TIK.
12)Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab
akibat TIK meningkat.
R/ Meningkatkan kerja sama dalam meningkatkan perawatan klien dan
mengurangi kecemasan.
13)Observasi tingkat kesadaran GCS
R/ Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna
menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.
Kolaborasi:
1) Pemberian O2 sesuai indikasi.
R/ Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi
serebral, volume darah, dan menaikkan TIK
2) Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam intrakranial.
R/ Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila
kemungkinan terdapat tanda – tanda defisit neurologis yang
menandakan peningkatan intrakranial.
3) Berikan cairan intravena sesuai indikasi
R/ Pemberian cairan mungkin diiginkan untuk mengurangi edema
serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah , tekanan
darah dan TIK.
4) Berikan obat osmosisdiuretik, contohnya : manitol, furoslide
R/ Diuretik mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air
dari sel otak dan mengurangi edema serebral dari TIK
5) Berikan steroid contohnya : Dexamethason,
methylprenidsolon.
R/ Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema
jaringan.
6) Berikan analgesik narkotik, contoh : kodein
R/ Mungkin diindikasikan nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK
tetapi digunakan dengan tujuan untuk mencegah dan menurunkan
sensasi nyeri.
7) Berikan antipiretik, contohnya : asetaminofen.
R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen
yang diinginkan.
8) Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin,
LED
R/ Membantu memberikan informan tentang efektivitas pemberian obat.

b. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat


pernapasan, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
meksimal karen trauma, dan perubahan perbandingan O2 dan CO2,kegagalan
ventilator.
Tujuan:
Dalam waktu 3 x 24 jam setelah intervensi, adanya peningkatan, pola napas
kembali efektif.
Kriteria hasil:
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan
pertukaran gas – gas pada paru, adaptif mengatasi faktor – faktor penyebab.
Intervensi:
1) Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat
tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak
mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru
dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
2) Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau
perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi
sebagai akibat stres fisiologis dan nyeri atau dapat menunjukan
terjadinya terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
3) Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau
kolaps paru – paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas
dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik.
4) Pertahankan perilaku tenang,bantu klien untuk kontrol diri dengan
menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat
dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
5) Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan jangan mematikan
alarm.
R/ Ventilator yang memiliki alarm yang biasa dilihat dan didengar
misalnya alarm kadar oksigen, tinggi/ rendahnya tekanan oksigen.
6) Taruhlah kantung resusitasi disamping tempat tidur dan manual ventilasi
untuk sewaktu – waktu dapat digunakan.
R/ Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat berguna untuk
mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi gangguan pada
alat ventilator secara mendadak.
7) Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba – tiba
berhenti
R/ Melatih klien untuk mengatur napas, seperti napas dalam, napas
pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat
membantu memaksimalkan fungsi dari sistem pernapasan.
8) Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin. Pengecekan
konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor
manometer untuk menganalisis batas/kadar oksigen. Mengkaji tidal
volume (10 – 15 ml/kg). Periksa fungsi spirometer
R/ Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan
perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit primer setelah
menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.
9) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan
fisioterapi.
a) Pemberian antibiotik.
b) Pemberian analgesik.
c) Fisioterapi dada.
d) Konsul foto thoraks.
R/ Kolaborasi dengan tim kesehatan lainuntuk mengevaluasi perbaikan
kondisi klien atas pengembangan parunya.

c. Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan
napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret dan ketidakmampuan
batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan
jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal
tube bebas sumbatan, menunjukan batuk yang efektif, tidak ada lagi
penumpukan sekret disaluran pernapasan.
Intervensi:
1) Kaji keadaan jalan napas
R/ Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa
cairan mukus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi
dari endotracheal/tracheostomy tube yag berubah.
2) Evaluasi pergerakan dan auskultasi suara napas pada kedua
paru (bilateral)
R/ Pergerakan dada yang simeteris dengan suara napas yang keluar
dari paru – paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran
napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas
sepertironkhi atau wheezing.
3) Monitor letak posisi endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan tube
secara hati – hati dengan memakai perekat khusus. Mohon bantuan
perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube.
R/ Endotracheal tube dapat saja masuk kedalam bronkhus kanan,
menyebabkan obstruksi jalan napas keparu – paru kanan dan
mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks
4) Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari
ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui
endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi.
R/ Selama intubasi klien mengalami refleks batuk yang tidak efektif,
atau klien akan mengalami kelemahan otot-otot pernapasan
(neuromuskular/neurosensorik), keterlambatan untuk batuk. Semua
klien tergantung dari alternatif yag dilakukan seperti mengisap
lendir dari jalan napas.
5) Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi pengisapan
dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter penghisap yag sesuai, cairan
fisiologis steril. Berikan oksigen 100 % sebelum dilakukan penghisapan
dengan ambubag (hiperventilasi).
R/ Pengisapan lendir tidak selamnya dilakukan terus -menerus, dan
durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia
6) Anjurkan klien teknik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas
panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi.
R/ Batuk yang efektif dapat mengeluarkan
sekret dari saluran napas.
7) Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam)
R/ Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru – paru,
mengurangi resiko atelektasis.
8) Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
R/ Membantu pengeceran sekret, mempermudah pengeluaran
sekret.
9) Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa
terdapat penumpukan sekret disaluran pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
10) Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.
R/ batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif,
dapat menyebabkan frustasi
11)Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin
R/ memungkinkan expansi pun lebih luas
12)Lakukan pernapasan diafragma
R/ pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan ventilasi
alveolar.
13)Tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan, lahan
keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
R/ meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah
pengeluaran sekresi sekret
14) Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan
2 batuk pendek dan kuat.
R/ pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan batuk klien.
15)Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan
sumbatan mukus yang mengarah pada atelektasis.
16)Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi :
mempertahankan hidrasi yang adekuat, meningkatkan masukan cairan
1000-1500cc/hari bisa tidak ada kontraindikasi.
R/ untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mukosa pada
saluran napas bagian atas
17)Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ higene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan
mencegah bau mulut.
18)Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
1) Pemberian ekpektoran
2) Pemberian antibiotik
3) Fisioterapi dada
4) Konsul foto thoraks
R/ ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan
mengevaluasi kndisi klien pengembangan parunya.
19)Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainase, perkusi
/ penepukan.
R/ mengatur ventilasi segment paru – paru sekret.
20)Berikan obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti aminophilin,
meta-protereno sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosal).
R/ mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi muscle /
bronchospasme.

d. Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam nyeri berkurang / hilang
Kriteria hasil : secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di
adaptasi, dapat mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri,
klien tidak gelisah.
Intervensi:
1) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni
dan non invasif.
R/ pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi
lainnya telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri
2) Ajarkan relaksasi.Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot
rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan
relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan O2 oleh
jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.
3) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
4) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman misalnya ketika tidur belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga akan
meningkatkan kenyamanan.
5) Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan
berapa lama nyeri akan berlangsung.
R/ pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi
nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana terapeutik.
6) Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien,30 menit setelah
pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektifitasnya serta setiap 1 – 2
jam setelah tindakan perawatan selam 1 – 2 hari.
R/ pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang
objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan :
intervensi yang tepat.
7) Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgesik.
R/ analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.

e. Cemas atau takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman


terhadap konsep diri, takut mati/ketergantungan pada alat bantu/ perubahan
status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran, hubungan interpersonal.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam secara subjektif melaporkan rasa cemas
berkurang.
Kriteria Hasil : klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-cara
yang sehat kepada perawat, klien dapat mendemonstrasikan keterampilan
pemecahan masalahnya dan perubahan koping yang digunakan sesaui
situasi yang di hadapi, klien dapat mencatat penurunan kecemasan/ketakutan
di bawah standar, klien dapat rileks dan tidur/istirahat dengan baik.
Intervensi : Mandiri.
1) Identifikasi persepsi klien untuk menggambarkan tindakan sesuai situasi
R/ menegaskan batasan masalah individu dan pengeruhnya selama
diberikan intervensi.
2) Monitor rspon fisik seperti : Kelemahan, perubahan tanda vital gerakan
yang berulang-ulang, catat kesesuaian respons verbal dan non verbal
selama komunikasi.
R/ digunakan dalam mengevaluasi derajat/ tingkat kesadaran/
konsentrasi, khususnya ketika melakukan komunikasi verbal.

3) Anjurkan klien dan keluarga untuk mengungkapkan dan mengekspresikan


rasa takutnya.
R/ Memberikan kesempata untuk berkonsentrasi, kejelasan dari rasa
takut, dan mengurangi cemas yang berlebihan.
4) Akuilah situasi yang membuat cemas dan takut. Hindari perasaan yang
tak berarti seperti mengatakan semuanya akan menjadi baik.
R/ Memvalidasi situasi yang nyata tanpa mengurangi pengaruh
emosional.
5) Identifakasi/ kaji ulang bersama klien / keluarga tindakan pengaman yang
ada seperti kekuatan dan suplai oksigen, kelengkapan suctioa
emergency. Diskusikan arti dari bunyi alarm.
R/ membesarkan/menentramkan hati klien untuk membantu
menghilangkan cemas yang tak berguna, mengurangi konsentrasi
yang tidak jelas, dan menyiapkan rencana sebagai respons dalam
keadaan darurat.
6) Cetak reaksi dari klien/keluarga. Berikan kesempatan untuk mendiskusika
perasaannya/konsentrasi dan harapan masa depan.
R/ Anggota keluarga dengan responnya pada apa yang terjadi dan
kecemasannya dapat di sampaikan kepada klien.
7) Identifikasi kemampuan koping klien/keluarga sebelumnya dan
mengontrol pengguanaannya.
R/ Memfokuskan perhatian pada sendiri dapat meningkatkan
pengertian dalam penggunaan koping.
8) Demonstrasikan/anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi seperti
mengatur pernapasan, menuntun dalam berkhayal, relaksasi progresif.
R/ pengaturan situasi yang aktif dapat mengurangi perasaan yang
tak berdaya.
9) Anjurkan aktivitas pengalihan perhatian sesuai kemampua individu seperti
menulis, menonton tv dan keterapilan
R/ sejumlah keterampilan baik secara sendiri maupun dibantu
selama pemasangan ventilator dapat membuat klien merasa
berkualitas dalam hidupnya.
Kolaborasi
Rujuk ke bagian lain guna penanganan selanjutnya.
R/ mungkin dibutuhkan untuk membantu jika klien/ keluarga tidak
dapat mengurangi cemas atau ketika klien membutuhkan alat yang
lebih canggih.
( Arif Muttaqin ; 2008 : 288-297 )

4. Pelaksanaan tindakan keperawatan


Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan
untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana
tindakan disusun dan ditujukan pada nursing oders untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2001 : 63). Pelaksanaan pada pasien dengan
cedera kepala sebagai berikut :
Diagnosa keperawatan 1: Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan
dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural
hematoma. Pelaksanaannya adalah : mengkaji faktor penyebab dari situasi/
keadaan individu/ penyebab koma/ penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan
penyebab peningkatan TIK. Memonitor tanda – tanda vital tiap 4 jam. mengevaluasi
pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya. Memonitor temperatur
dan pengaturan suhu lingkungan . Mempertahankan kepala/leher pada posisi yang
netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan batal yang tinggi pada
kepala. Memberikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya
prosedur. Mengurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase
punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan
suasana/pembicaraan yang tidak gaduh. Mencegah/hindarkan terjadinya valsava
manuver. Membantu klien jika batuk, muntah. Mengkaji peningkatan istirahat dan
tingkah laku. Melakukan palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan
drainase urine secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
Memberikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab akibat
TIK meningkat. Mengobservasi tingkat kesadaran GCS. Kolaborasi: Pemberian
O2 sesuai indikasi. Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam
intrakranial. Berikan cairan intravena sesuai indikasi. Berikan obat osmosisdiuretik,
contohnya : manitol, furoslide. Berikan steroid contohnya : Dexamethason,
methylprenidsolon. Berikan analgesik narkotik, contoh : kodein. Berikan antipiretik,
contohnya : asetaminofen. Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti
prothrombin, LED
Diagnosa keperawatan 2 : Ketidakefektifan pola pernapasan yang
berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot – otot pernapasan,
ekspansi paru yang tidak meksimal karen trauma, dan perubahan perbandingan
O2 dan CO2,kegagalan ventilator. Pelaksanaannya adalah : Memberikan posisi
yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang
sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin. Mengobservasi fungsi
pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
Menjelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps
paru – paru. Mempertahankan perilaku tenang,bantu klien untuk kontrol diri dengan
menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam. Periksalah alarm pada ventilator
sebelum difungsikan jangan mematikan alarm. Taruhlah kantung resusitasi
disamping tempat tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu – waktu dapat
digunakan. Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba – tiba
berhenti. Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin. Pengecekan
konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer
untuk menganalisis batas/kadar oksigen. Mengkaji tidal volume (10 – 15 ml/kg).
Periksa fungsi spirometer. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter,
radiologi dan fisioterapi.
Diagnosa keperawatan 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang
berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi
sekret dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Pelaksanaannya adalah : mengkaji keadaan jalan napas. Mengevaluasi pergerakan
dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral). Monitor letak posisi
endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan tube secara hati – hati dengan
memakai perekat khusus. Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan
mengatur posisi tube. Mencatat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara
alarm dari ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui
endotracheal/ tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi. Melakukan
pengisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau
lebih. Gunakan kateter penghisap yag sesuai, cairan fisiologis steril. Berikan oksigen
100 % sebelum dilakukan penghisapan dengan ambubag (hiperventilasi).
Menganjurkan klien teknik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas
panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi. Mengatur/ubah posisi klien secara
teratur (tiap 2 jam). Memberikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
Menjelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa terdapat
penumpukan sekret disaluran pernapasan. Mengajarkan klien tentang metode yang
tepat untuk pengontrolan batuk. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak
mungkin, lakukan pernapasan diafragma, tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian
secara perlahan, lahan keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut, lakukan napas
kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk. Mengajarkan klien tindakan untuk
menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat,
meningkatkan masukan cairan 1000-1500cc/hari bisa tidak ada kontraindikasi.
Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk. Melakukan fisioterapi
dada sesuai indikasi seperti postural drainase, perkusi / penepukan. Memberikan
obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti aminophilin, meta-protereno sulfat
(alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosal).
Diagnosa Keperawatan 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder. Pelaksanaannya adalah : menjelaskan
dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni dan non invasif.
Pelaksanaannya adalah : mengajarkan relaksasi.Teknik-teknik untuk menurunkan
ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga
tingkatkan relaksasi masase. Mengajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
Memberikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang
nyaman misalnya ketika tidur belakangnya dipasang bantal kecil. Meningkatkan
pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan
berlangsung. Mengobservasi tingkat nyeri dan respon motorik klien,30 menit setelah
pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektifitasnya serta setiap 1 – 2 jam
setelah tindakan perawatan selam 1 – 2 hari. Kolaborasi dengan dokter, pemberian
analgesik.
Diagnosa Keperawatan 5 : Cemas atau takut yang berhubungan dengan
krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri, takut mati/ketergantungan pada
alat bantu/ perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran, hubungan
interpersonal. Pelaksanaannya adalah : mengidentifikasi persepsi klien untuk
menggambarkan tindakan sesuai situasi. Monitor respon fisik seperti : Kelemahan,
perubahan tanda vital gerakan yang berulang-ulang, catat kesesuaian respons
verbal dan non verbal selama komunikasi. Menganjurkan klien dan keluarga untuk
mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya. Akuilah situasi yang
membuat cemas dan takut. Hindari perasaan yang tak berarti seperti mengatakan
semuanya akan menjadi baik. Mengidentifakasi/ kaji ulang bersama klien / keluarga
tindakan pengaman yang ada seperti kekuatan dan suplai oksigen, kelengkapan
suctioa emergency. Diskusikan arti dari bunyi alarm. Mencetak reaksi dari
klien/keluarga. Berikan kesempatan untuk mendiskusika perasaannya/konsentrasi
dan harapan masa depan. Identifikasi kemampuan koping klien/keluarga
sebelumnya dan mengontrol pengguanaannya. Mendemonstrasikan / anjurkan klien
untuk melakukan teknik relaksasi seperti mengatur pernapasan, menuntun dalam
berkhayal, relaksasi progresif. Menganjurkan aktivitas pengalihan perhatian sesuai
kemampua individu seperti menulis, menonton tv dan keterapilan. Kolaborasi ; Rujuk
ke bagian lain guna penanganan selanjutnya.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. (Nursalam, 2001 : 71).
Hasil evaluasi yang bisa didapatkan pada pasien dengan cedera kepala
sesuai dengan diagnosa keperawatan yang ada adalah sebagi berikut :
a. Pasien tidak mengalami peningkatan TIK yang ditandai dengan Klien tidak gelisah, klien
tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4, 5, 6,tidak terdapat papiledema,
TTV dalam batas normal.
b. Pola napas pasien kembali efektif yang ditandai dengan memperlihatkan frekuensi
pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas – gas pada paru, adaptif
mengatasi faktor – faktor penyebab.
c. Jalan napas pasien kembali efektif yang ditandai dengan bunyi napas terdengar bersih,
ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukan batuk yang efektif,
tidak ada lagi penumpukan sekret disaluran pernapasan.
d. Pasien secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di adaptasi, dapat
mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
e. Klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-cara yang sehat kepada
perawat, klien dapat mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan
perubahan koping yang digunakan sesaui situasi yang di hadapi, klien dapat mencatat
penurunan kecemasan/ketakutan di bawah standar, klien dapat rileks dan tidur/istirahat
dengan baik.
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
I. Identitas klien
Untuk mendapatkan gambaran nyata kasus cedera kepala sedang, penulis mengambil
kasus yaitu pada pasien G umur 15 tahun, jenis kelamin laki –
laki,suku/bangsa: Tetun/Indonesia, pendidikan:SMP, alamat:pasar baru, Atambua. Masuk
rumah sakit pada tanggal 31 Agustus 2011 jam 15.00 WITA dengan keluhan
utama: pasien mengatakan pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dan keluhan utama saat
pengkajian pasien mengatakan sakit pada kepala dan luka bekas jahitan pada alis mata
kanan, skala nyeri 7-9 (berat).
Dirawat diruang bedah Rumah Sakit Umum Daerah Atambua dengan diagnosa medik
Cedera Kepala Sedang.Kelarga mengatakan pasien tidak pernah dioperasi sebelumnya.
No MR: 01.17.XX,tanggal pengambilan data 01 September 2011 pada jam 08.00 WITA.

II. Riwayat Keperawatan


1. Riwayat penyakit sekarang
keluarga mengatakan pada tanggal 31 Agustus 2011 pasien G mengalami
kecelakaan lalu lintas,saat itu pasien G sedang mengendarai motor yang
ditumpangi bersama temannya.Pasien G dibonceng dengan kecepatan ± 60
km/jam.Motor yang ditumpangi pasien G dan temannya ditabrak mobil (angkutan
kota) sehingga pasien G terlempar kearah kiri jalan dan kepala membentur
trotoar dan tidak sadarkan diri.Pasien G dibawa temannya dan warga sekitar ke
UGD Rumah Sakit Umum Daerah Atambua.
2. Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengatakan pernah jatuh dari sepeda dan mengalami patah tulang pada
tangan kiri,lalu pasien dirawat dirumah sakit dan pulang untuk melanjutkan
pengobatan tradisional.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Pasien dan orang tua mengatakan dalam keluarga tidak ada yang menderita
penyakit menular (TB paru,Diabetes dan Hipertensi) tetapi hanya menderita
demam dan batuk pilek biasa.

III. Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan umum
Keadaan umum lemah,pasien terbaring diatas tempat tidur,kesadaran secara
kualitatif somnolen,keadaan secara kuantitatif dengan GCS: E:3.V:5,M:5,total
13,pasien hanya mau tidur saja,bengkak pada mata kanan dan tampak
kebiruan,luka jahit pada alis mata kanan dan pada dahi.keluar darah dari hidung
pada saat kecelakaan.Terdapat luka jahit pada kaki kanan dan paha kiri,pasien
tampak meringis kesakitan.Terpasang cairan infus Ringer Laktat 12 tetes/menit
pada tangan kanan.
2. Tanda-tanda vital
Tekanan darah:100/60 mmHg posisi berbaring,Nadi:84 x/menit, irama teratur dan
kuat,Suhu:36,4oC/axila, Pernapasan:18x/menit, irama teratur,Akral:teraba
hangat,Mean Preassure Arteri(MAP):73, Pulse Preassure (PP):40.
3. Body Sistem
a. Breathing
Bentuk hidung simetris,tidak ada cairan yag keluar,terdapat sisa darah yang
kering,tidak ada luka lecet pada hidung,pada leher,posisi trakea berada
ditengah.
Bentuk dada simetris,tidak ada luka lecet,tidak ada retraksi dinding
dada,RR:18 x/menit irama teratur.Palpasi hidung: tidak ada nyeri tekan,
perkusi:,auskultasi: bunyi kedua lapang paru vesikular.
b. Blood
Pasien tampak pucat,mukosa bibir kering,tidak ada fraktur dan perdarahan
aktif.Pada jantung terdapat denyutan normal,denyutan lebih terlihat pada
bagian apikal jantung,tidak ada pembengkakan,detak jantung keras,Capilarry
Refill Time (CRT) < 2 detik,akral teraba hangat. Mean Pressure
Arteri (MAP):73mmHg. Pulse Preassure : 40mmHg. Auskultasi:Bunyi yang
dihasilkan saat perkusi adalah bunyi redup dan saat auskultasi ditemukan
bunyi jantung S1 dan S2 tunggal.
c. Brain
Tingkat kesadaran secara kwalitatif somnolen,secara kuantitatif GCS:
E:3,V:5,M:5 total 13.Saat dilakukan pemeriksaan Nervus I (sensori) :pasien
dapat membedakan bau alkohol pada kapas alkohol.Nervus II untuk sensori
pemeriksaan pupil pada mata kiri miosis.Nervus III(Okulomotorik:traklear dan
abdusen): secara motorik,pasien dapat menutup mata dengan rapat, Nervus
IV(Trigenimus):Tidak dapat diukur.Nervus V (saraf facial) motorik:saat
diminta tersenyum pasien dapat tersenyum,sensorik:pasien dapat
membedakan rasa asin dan manis. Nervus VII (glosovfaringeal) secara
motorik:pasien dapat menelan air yang minum, secara sensorik: pasien dapat
membedakan rasa pahit dan asam. Nervus IX (asesorius):pasien dapat
menggerakkan bahu keatas.Nervus X (hipoglasus) motorik:lidah tampak
simetris dan tidak tremor,pasien dapat menyebut huruf L,T,D dan N.Nervus
XI motorik:pasien dapat menoleh kekiri dan kekanan.Nervus XII motorik:lidah
tidak mengalami perubahan.
d. Bladder
Perut tampak simetris,tidak ada jejas,tidak ada luka lecet,tidak ada distensi
kandung kemih,tidak terpasang kateter dan menurut pasien BAK 1 kali warn
kuning,tidak ada nyeri saat BAK.Saat palpasi tidak ada nyeri tekan.
e. Bowel
Pada bibir tidak ada luka lecet,mukosa bibir kering,gigi tampak kotor,pada
perut tidak ada bayangan vena,bising usus 6-7 kali/menit,tidak teraba
massa,tidak ada nyeri tekan pada perut,tidak ada distensi kandung
kemih,perkusi:bunyi timpani,menurut keluarga sejak pasien masuk kemarin
pasien belum BAB.
f. Bone.
Tulang: Pada akstremitas atas, tidak mengalami fraktur dan perdarahan
aktif.Pada ekstremitas bawah,pada kaki kanan dan paha kiri terdapat luka
jahit.
Otot:Tidak ada memar,pergerakan terbatas ,kekuatan otot ekstremitas atas
dan ekstremitas bawah gerak aktif, kekuatan otot nilai 5.
Integumen:terdapat luka jahit pada alis mata kanan dan dahi serta paha kiri
dan kaki kanan,bengkak pada mata kanan dan tampak kebiruan.Turgor kulit
kering,kulit tampak kotor dengan sisa darah yang sudah kering.Pada tubuh
warna kulit sawo matang,akral teraba hangat.
IV. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pasien mengatakan saat ini tidak tahu atau tidak mengerti dengan penyakit
yang diderita (cedera kepala) pasien mengatakan hanya merasa sakit pada
kepala dan luka jahit.
b. Pola nutrisi dan metabolik
Sebelum sakit :pasien mengatakan setiap hari makan 3 kalisehari dan minum 6-
7 gelas sehari.Kesukaan makan pasien:daging ayam dan daging sapi.
Setelah masuk rumah sakit:pasien makan seperti biasa 3 x sehari,dan minum
4-5 gelas air/hari.Pasien makan sedikit-sedikit dan menghabiskan setengah dari
porsi yang disediakan dirumah sakit.
c. Pola eliminasi.
Sebelum sakit :pasien mengatakan BAB 1-2 kali sehari,konsistensi
lembek,warna kuning dan bau kas.BAK 4-5 x sehari,warna kuning muda,bau
khas amoniak.
Setelah masuk rumah sakit :Pasien mengatakan sejak masuk kemarin tanggal 31
Agustus 2011 belum BAB.BAK 2-3 x sehari,tetapi dibantu oleh keluarga atau perawat
ditempat tidur dengan menggunakan pispot.
d. Pola istirahat dan tidur.
Sebelum sakit:pasien mengatakan tidur siang dari jam 14.00-16.00.Pada malam hari
tidur dari jam 22.00-06.00 pagi.Kebiasaan sebelum tidur malam berdoa.
Setelah Masuk rumah sakit:Pasien hanya tidur ditempat tidur,pasien lebih banyak
menghabiskan waktu dengan tidur.
e. Pola hubungan dan peran.
Pasien mengatakan hubungannya dengan keluarga dan teman-teman
baik,peranannya sebagai anak pertama dalam keluarga
f. Pola aktifitas dan latihan.
Sebelum sakit :pasien mengatakan selalu melakukan aktivitasnya sendiri.
Setelah Masuk rumah sakit:Pasien tidak bisa melakukan aktivitas sendiriseperti
makan,dan minum,buang air besar dan kecil tetapi dibantu oleh keluarga dan perawat.
g. Pola mekanisme koping.
Pasien mengatakan kalau ada masalah pasien mencari jalan keluar dengan berbicara
pada ibunya.
h. Pola konsep diri.
Pasien mengatakan malu dan takut dengan keadaannya sekarang, pasien takut mati
dan berharap dapat sembuh agar dapat beraktivitas seperti biasa.Pasien mengatakan
takut dan trauma jika harus naik sepeda motor lagi dan menanyakan apakah bisa
sembuh?

i. Pola nilai dan kepercayaan.


Pasien beragama katolik,sebelum sakit setiap hari minggu pasien selalu kegereja dan
mempunyai keyakinan bahwa Tuhan adalah sumber kekuatan.

V. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium:Tidak dilakukan pemeriksaan
Radiologi:Foto polos:AP/lateralis.Thorax:AP

VI. Therapy
Tanggal:31-08-2011,obat injeksi:
Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gr (1000 mg)/intravena.
Injeksi Torasic 2 x 30 mg/intravena.
Injeksi Kalnex 2 x 50 mg/intravena.
Injeksi brainact 2 x 125 mg/intravena.
Tanggal 01-10-2011,obat injeksi:
Injeksi Cravit 750 mg drip dalam cairan Ringer Laktat,40 tetes/menit.
Injeksi Brainact 2 x 125 mg/intravena.
Injeksi Torasic 2 x 30 mg/intravena.
Injeksi Ranitidine 2 x 25 mg/intravena.
Tanggal 05-10-2011,obat tablet:
Danalgin 3 x ½ tablet (250 mg)
Staforin 2 x 1 tablet (250 mg)
Brainact 2 x 1 tablet (500 mg)

Atambua, 1 – 9 – 2011

Theresia
M.Fernandez
NIM : 5306.09.597

ANALISA DATA
No Hari/tgl Data Etiologi Masalah

DS:Pasien mengatakan sakit


pada kepala.
DO:Keadaan umum lemah,
kesadaran secara kualitatif
somnolen, keadaan secara
kuantitatif GCS:
E:3.V:5,M:5,total 13, pasien
hanya mau tidur saja,
bengkak pada mata kanan
dan tampak kebiruan,
terdapat luka jahit pada alis
mata kanan dan pada dahi.
keluar darah dari hidung
Gangguan
pada saat terjadi
Kamis,01- Trauma perfusi
1 kecelakaan.Terdapat luka
09-2011 kepala jaringan
jahit pada kaki kanan dan otak
paha kiri, pasien tampak
meringis kesakitan.
Tanda-tanda vital:
Nadi :84 x/menit, irama
teratur dan kuat.
Pernapasan:18 x/menit,
Irama teratur.
Tekanan darah:100/60
mmHg posisi berbaring.
Mean Preassure Arteri
(MAP):73, Pulse Preassure
(PP) :40.Capilary Refill Time
(CRT) < 2 detik.
DS: Pasien mengatakan sakit
pada kepala dan luka jahitan.
Trauma
DO: Keadaan umum lemah,
jaringan Gangguan
kesadaran secara kualitatif
Kamis,01- dan refleks rasa
2 somnolen, keadaan secara
09-2011 spasme nyaman
kuantitatif GCS:
otot nyeri akut
E:3.V:5,M:5,total 13, bengkak
sekunder.
pada mata kanan dan
tampak kebiruan, terdapat
luka jahit pada alis mata
kanan dan pada
dahi.Terdapat luka jahit pada
kaki kanan dan paha kiri,
pasien tampak meringis
kesakitan, skala nyeri 7-9
(berat).
Tanda-tanda vital:
Nadi :84 x/menit, irama
teratur dan kuat.
Pernapasan:18 x/menit,
Irama teratur.
Tekanan darah:100/60
mmHg posisi berbaring.
Mean Preassure Arteri
(MAP):73, Pulse Preassure
(PP) :40.
DS: Pasien mengatakan
takut mati dan berharap
dapat sembuh.
Pasien mengatakan takut
Krisis
dan trauma naik sepeda
situasional:
Kamis,01- motor.
3 perubahan ketakutan
09-2011 DO: Tanda-tanda vital:
status
Nadi:84 x/menit, irama
kesehatan.
teratur dan kuat,
Pernapasan:18 x/menit,
irama teratur. Tekanan
darah:100/60 mmHg
DS: Pasien mengatakan
tidak bisa melakukan
aktivitas sendiri tetapi dibantu
oleh keluarga dan perawat,
pasien mengatakan sakit Defisit
Kamis,01- Kelemahan
4 kepala. perawatan
09-201 fisik
DO: Keadaan umum diri.
lemah.Kulit tampak kotor
dengan sisa darah yang
sudah kering pada muka,
kaki dan tangan.Gigi tampak
kotor.
Kekuatan otat ekstremitas
atas dan bawah aktif, nilai 5
B. Diagnosa keperawatan
Dari analisa diatas maka prioritas diagnosa keperawatan yang muncul adalah:
1. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan trauma kepala.
DS: Pasien mengatakan sakit pada kepala.
DO: Keadaan umum lemah, kesadaran secara kualitatif somnolen,keadaan
secara kuantitatif GCS: E:3.V:5,M:5,total 13, bengkak pada mata kanan
dan tampak kebiruan,luka jahit pada alis mata kanan dan pada
dahi.Keluar darah dari hidung pada saat kecelakaan.Terdapat luka jahit
pada kaki kanan dan paha kiri,pasien tampak meringis kesakitan.Tanda-
tanda vital: Nadi :84 x/menit,irama teratur dan kuat.Pernapasan:18
x/menit,Irama teratur.Tekanan darah:100/60 mmHg posisi berbaring.
Mean Preassure Arteri (MAP):73 mmHg, Pulse
Preassure (PP):40mmHg
2. Gangguan rasa nyaman nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks
spasme otot sekunder.
DS:Pasien mengatakan sakit pada kepala dan luka jahitan.
DO:Keadaan umum lemah,kesadaransecara kualitatif somnolen,keadaan secara
kuantitatif GCS: E:3.V:5,M:5,total 13, bengkak pada mata kanan dan tampak
kebiruan,luka jahit pada alis mata kanan dan pada dahi.Terdapat luka jahit pada
kaki kanan dan paha kiri,pasien tampak meringis kesakitan,skala nyeri 7-0 (berat).
Tanda-tanda vital: Nadi :84x/menit,irama teratur dan kuat.Pernapasan:18
x/menit,Irama teratur.Tekanan darah:100/60 mmHg posisi berbaring.Mean
Preassure Arteri (MAP):73 mmHg, Pulse Preassure (PP) :40 mmHg
3. Ketakutan berhubungan dengan Krisis situasional: perubahan status kesehatan.
DS: Pasien mengatakan takut mati dan berharap dapat sembuh.
Pasien mengatakan takut dan trauma naik sepeda motor
DO: Pasien tampak cemas.Pasien menanyakan apakah bisa sembuh.Tanda-
tanda vital: Nadi:84 x/menit, irama teratur dan kuat, Pernapasan:18
x/menit, irama teratur. Tekanan darah:100/60 mmHg posisi berbaring.
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.
DS:Pasien mengatakan tidak bisa melakukan aktivitas sendiri tetapi dibantu oleh keluarga
dan perawat.
DO:Keadaan umum lemah,Kulit tampak kotor dengan sisa darah yang sudah
kering pada muka,kaki dan tangan.Gigi tampak kotor Kekuatan otat
ekstremitas atas dan bawah aktif.
C. PERENCANAAN, IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
Nama pasien :G Dx
Medik : Cedera Kepala Sedang.
Umur :15 tahun
No.MR : 01.17.XX
Ruang
:Bedah.
Hari/ Diagnosa
NO Tujuan Intervensi Rasio
Tgl Keperawatan
Goal : pasien akan
mempertahakan
perfusi yang
adekuat selama
masa perawatan.
Obyektif : setelah 1. Sebagai p
dilakukan 1. Mengukur tanda-tanda fungsi tub
perawatan selama 3 vital
x 24 jam,
diharapkan pasien
dapat menunjukkan
:
Perfusi keserebral
yang adekuat
dengan kriteria hasil
:
 Keadaan umum
membaik.
2. Mengkaji a
Gangguan perfusi  Kesadaran
kecenderu
Kamis, jaringan otak secara kualitatif
2. Pantau dan catat status tingkat kes
1 01-09- berhubungan composmentis
neurologis secara teratur
2011 dengan trauma dan secara
dan bandingkan dengan 3. Gangguan
kepala. kuantitatif
nilai standar (GCS) penglihata
GCS,E:4,V:5,M:6
3. Kaji perubahan pada dapat diak
total 15
penglihatan,seperti oleh kerus
 Bengkak pada
adanya penglihatan mikroskop
mata berkurang
kabur,ganda,lapang otak
 Tidak keluar pandang yang
darah dari menyempit dan
hidung. pengalaman persepsi. 4. Mengatasi
 Tanda-tanda pada kulit,
vital dalam batas 4. Kolaborasi obat sesuai gangguan
normal: instruksi. kesadaran
Tekanan . mencegah
darah:130/80 infark cere
mmHg, nadi:60-
100 x.menit,
Respirasi
rate:16-24
x/menit.

2 Kamis Gangguan rasa Goal : Pasien dapat 1. Kaji mengenai 1. Nyeri meru
01-09- nyaman nyeri akut menunjukan rasa lokasi, intensitas, durasi, pengalama
2011 berhubungan nyeri berkurang penyebaran. dan harus
dengan refleks selama masa oleh pasie
spasme otot perawatan memudahk
sekunder intervensi
Objektif : setelah 2. Pendekata
dilakukan mengguna
perawatan 3 x 24 relaksasi d
jam diharapkan nonfarmak
pasien menjadi 2. Jelaskan dan bantu klien lainnya tel
nyaman dengan dengan tindakan pereda menunjuk
kriteria evaluasi: nyeri non farmakologi keefektifan
 Keadaan dan non invasif. menguran
umum tampak 3. Akan mela
baik peredaraa
 Skala nyeri sehingga
berkurang dari O2 oleh ja
7-9 (berat) akan terpe
menjadi 1-3 akan men
(ringan) nyerinya.
 Nyeri dapat
berkurang. 3. Mengajarkan pada 4. Istirahat ak
 Tanda-tanda pasien teknik-teknik merelaksa
vital dalam distraksi,relaksasi dan semua jar
batas normal masase. sehingga
Tekanan meningka
darah:130/80 kenyaman
mmHg,
nadi:60-100 5. Analgesik
x.menit, lintasan
Respirasi nyeri,sehin
rate:16-24 akan berk
x/menit.

4. Mengatur posisi yang


nyaman dan waktu
istirahat yang cukup.

5. Kolaborasi dengan dokter


untuk pemberian
analgesic
1. Monitor respon fisik
1. Digunakan
:kelemahan,perubahan
mengevalu
tanda vital,gerakan
derajat/ting
berulang-ulang,catat
kesadaran
kesesuaian respon verbal
si kususny
dan non verbal selama
melakukan
komunikasi.
komunikas
Goal:pasien akan
menunjukan rileks
selama perawatan.

Objektif:setelah
dilakukan tindakan
perawatan 2 x 24
jam diharapkan
pasien menjadi 2. Memberika
2. Anjurkan klien dan
rileks,dengan kesempat
keluarga untuk
kriteria evaluasi: berkonsen
mengungkapkan dan
san dari ra
Ketakutan  Pasien tampak mengekspresikan rasa
dan meng
Kamis berhubungan rileks takutnya.
cemas yan
01-09- dengan krisis  Ketakutan
3 berlebihan
2011 situsional:perubahan dapat
status kesehatan berkurang.
3. Pengatura
 Tanda-tanda yang aktif
vital dalam menguran
batas normal: perasaan
Tekanan 3. Demonstrasikan/anjurkan
berdaya.
darah:130/80 klien untuk melakukan
mmHg, nadi:60- teknik relaksasi seperti
100 x.menit, mengatur
suhu: pernapasan,menuntun
Respirasi dala berkhayal,relaksasi
rate:16-24 progresif.
4. Sejumlah
x/menit. keterampi
secara din
dibantu se
4. Anjurkan aktivitas
pemasang
pengalihan perhatian
ventilator
sesuai kemampuan
membuat
individu seperti
merasa be
menulis,menonton TV
dalam hid
dan keterampilan.

Goal:pasien dapat 1. Tentukan kekuatan otot 1. Mengident


menunjukan aktifitas saat ini kebutuhan
Kamis
Defisit perawatan perawatan diri yang dilak
01-09-
4 diri kelemahan fisik. dalam tingkat
2011
kemampuan pribadi

Obyektif:Setelah
dilakukan tindakan
keperawatan 2 x 24
jam,diharapkan 2. Memberika
pasien dapat aman dan
menampilkan 2. Beri perawatan personal kepada pa
aktifitas merawat diri higiene pasien.
dengan kriteria 3. Menguran
hasil: penyakit g
Tubuh pasien kehilangan
tampak bersih dari
sisa darah yang 3. Dorong agar pasien 4. Memberika
sudah kering selalu membersihkan aman dan
segar,pasien dapat mulut dan skat gigi. pada pasi
mandi,makan dan
minum,buang air
kecil dan buang air 4. Anjurkan keluarga untuk
besar sendiri.tingkat memandikan pasien 2
kemampuan kali dalam satu hari.
mobilitas 0 pasien
tidak tergantung
pada orang lain.
CATATAN PERKEMBANGAN
Pasien :G
Diagnosa medik :Cedera Kepala Sedang.
Umur :15 tahun.
No MR:01.17.XX
Evaluasi (SOAPIE)
No Hari/tgl Dx. Keperawatan

S:pasien mengatakan sakit pada kepala

O: Keadaan umum lemah, kesadaran secara


kualitatif composmentis,keadaan secara kuantitatif
GCS: E:3.V:5,M:5,total 13, bengkak pada mata
kanan berkurang dan tampak kemerahan.Tanda-
tanda vital:
Nadi:78 x.menit,irama teratur dan kuat.
Pernapasan:20 x.menit,irama teratur.
Tekanan darah:100/70 mmHg, posisi berbaring.
Mean Preassure Arteri :80 mmHg,
Gangguan perfusi Pulse Preassure:30 mmHg
Jumat
jaringan otak
,02-09-
berhubungan
1 2011
dengan trauma A:masalah gangguan perfusi jaringan otak belum
kepala. teratasi

P:intervensi nomor 1,2,3 dan 4 dilanjutkan.

I:
1. Jam 08.00 WITA
Mengukur tanda-tanda vital:
Nadi:78 x.menit,irama
teratur dan kuat.
Pernapasan:20
x.menit, irama teratur.
Tekanan darah:100/70
mmHg, posisi berbaring.
2. Jam 08.10 WITA
Mengobservasi status neurologis dengan cara tes
kesadaran secara kualitatif somnolen,secara
kuantitatif GCS:E:3,V:5,M:5.
3. Jam 08.15 WITA
Mengkaji penglihatan pada mata kanan yang terdapat
oedema. penglihatan baik dan tidak kabur, pasien
kesulitan membuka mata
4. Jam 14.00 WITA
Melaksanakan kolaborasi dengan melaksanakan
injeksi siang. Brainact 125 mg/selang. Ceftriaxone 1
gram/selang.

E:Keadaan umum lemah, kesadaran secara kualitatif


composmentis, keadaan secara kuantitatif GCS:
E:3.V:5,M:5,total 13, bengkak pada mata kanan dan
tampak kebiruan, tidak ada darah keluar dari
hidung.Tanda-tanda vital:
Nadi:78 x.menit,irama teratur dan kuat.
Pernapasan:20 x/menit, irama teratur.
Tekanan darah:100/70 mmHg, posisi berbaring.
Mean Preassure Arteri :80 mmHg
Pulse Preassure: 30 mmHg
S:pasien mengatakan sakit pada kepala.

Gangguan rasa O:keadaan umum lemah, wajah tampak meringis


nyaman nyeri akut kesakitan, skala nyeri 7-9 (berat), terdapat luka heting
Jumat
berhubungan pada alis kanan, dahi ,paha kiri dan kaki kanan. tanda-
,02-09-
2 dengan refleks tanda vital:
2011
spasme otot Nadi:78 x.menit, irama teratur dan kuat.
sekunder. Pernapasan: 20 x/ menit,irama teratur.
Tekanan darah:100/70 mmHg

A:Masalah gangguan rasa nyaman nyeri akut belum


teratasi.

P:Intervensi nomor 1,2,3,4,dan


5 dilanjutkan.

I:
1. Jam 08.00 WITA
Mengkaji lokasi nyeri pada kepala,skala nyeri 7-9
berat,waktunya terus menerus.
2. Jam 08.00 WITA
menjelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda
nyeri non farmakologi dan non invasif.
3. Jam 08.20 WITA
Mengajarkan pada pasien teknik-teknik
distraksi,relaksasi dan masase.
4. Jam 08.30 WITA.
Mengatur posisi yang nyaman dan waktu istirahat
yang cukup.
5. Jam 14.00 WITA
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberiananalgesic.

E: pasien mengatakan sakit pada kepala.keadaan umum


lemah,wajah tampak meringis kesakitan,skala nyeri 7-9
(berat),terdapat luka heting pada alis kanan,dahi paha kiri
dan kaki kanan.tanda-tanda vital:
Nadi:78 x.menit,irama teratur dan kuat.
Pernapasan:20 x.menit,irama teratur.
Tekanan darah:100/70 mmHg posisi berbaring.

Ketakutan S: Pasien mengatakan tidak takut lagi.


Jumat berhubungan
,02-09- dengan krisis O:pasien tampak rileks,pasien tidak takut lagi,tanda-tanda
3
2011 situsional:perubahan vital:
status kesehatan. Nadi:78 x/menit,irama teratur dan kuat
Pernapasan:20x/menit
iramateratur.Tekanandarah:100/70mmHg,posisiberbaring.

A:Masalah ketakutan teratasi.

P:Intervensi dipertahankan
S:Pasien mengatakan belum bisa melakukan
aktifitas sendiri seperti makan,minum,buang air
kecil dan buang air besar,tetapi dibantu oleh
keluarga.

O: keadaan umum lemah, tubuh pasien tampak segar


dan bersih dari sisa darah yang sudah kering.kekuatan
otot gerak aktif.

A:Masalah defisit perawatan diri teratasi sebagian.

P:Intervensi 1,dan 4 dilanjutkan.intervensi nomor 2 dan 3


Defisit perawatan dipertahankan.
Jumat diri berhubungan
,02-09- dengan kelemahan I:
4
2011 fisik 1. Jam 08.00 WITA
Mengkaji kekuatan otot dalam hal ini menyiapkan
makan,minum,buang air besar dan buang air kecil
dibantu oleh keluarga.

2. Jam 09.00 WITA


Anjurkan keluarga untuk memandikan pasien pada
pagi dan sore hari.

E:Pasien mengatakan belum bisa melakukan


aktifitas sendiri seperti makan,minum,buang air
kecil dan buang air besar,tetapi dibantu oleh
keluarga.
keadaan umum lemah, tubuh pasien tampak segar dan
bersih dari sisa darah yang sudah kering.kekuatan otot
gerak aktif.

Evaluasi (SOAPIE)
No Hari/tgl Dx keperawatan

S:pasien mengatakan sakit pada


kepala berkurang.

O: Keadaan umum tampak


lemah, kesadaran secara
kualitatif composmentis, keadaan
secara kuantitatif GCS:
E:4.V:5,M:6,total 15, bengkak
pada mata kanan berkurang dan
tampak kemerahan. Tanda-tanda
vital:
Nadi:84 x.menit,irama teratur dan
Gangguan perfusi
kuat.
Sabtu,03- jaringan otak
Pernapasan:18 x/menit,irama teratur.
1 09-2011 berhubungan dengan
Tekanan darah:100/70 mmHg, posisi
trauma kepala.
berbaring.

A:masalah gangguan perfusi


jaringan otak teratasi sebagian.

P:intervensi nomor 1,2,3 dan 4


dilanjutkan.

I:
5. Jam 08.00 WITA
Mengukur tanda-tanda vital:
Nadi:84 x.menit,irama
teratur dan kuat.
Pernapasan:18 x/menit, irama
teratur.
Tekanan darah:100/70 mmHg,
posisi berbaring.
6. Jam 08.10 WITA
Mengobservasi status neurologis
dengan cara tes kesadaran
secara kualitatif somnolen,secara
kuantitatif GCS:E:4,V:5,M:6 total
15.
7. Jam 08.15 WITA
Mengkaji penglihatan pada mata
kanan yang terdapat
oedema.penglihatan baik dan
tidak kabur,pasien kesulitan
membuka mata
8. Jam 14.00 WITA
Melaksanakan kolaborasi dengan
melaksanakan injeksi
siang.Brainact 125 mg/selang.dan
Ceftriaxone 1 gr/selang.

E: pasien mengatakan sakit pada


kepala berkurang.
Keadaan umum tampak lemah,
kesadaran secara kualitatif
composmentis,keadaan secara
kuantitatif GCS: E:4.V:5,M:6,total
15,bengkak pada mata kanan
berkurang dan tampak
kemerahan. Tanda-tanda vital:
Nadi:84 x.menit,irama teratur dan
kuat.
Pernapasan:18 x.menit,irama teratur.
Tekanan darah:100/70 mmHg,
S:Pasien mengatakan pasien
mengatakan sakit pada kepala dan
luka jahitan berkurang

O: wajah tampak meringis


kesakitan,skala nyeri 4-6
(sedang),terdapat luka heting pada
alis kanan,dahi paha kiri dan kaki
kanan.tanda-tanda vital:
Nadi:84 x.menit,irama teratur dan
kuat.
Pernapasan:18 x.menit,irama teratur.
Tekanan darah:100/70 mmHg posisi
berbaring.

Gangguan rasa nyaman


A:masalah gangguan rasa nyaman
Sabtu,03- nyeri akut berhubungan
nyeri akut teratasi sebagian.
2 09-2011 dengan refleks spasme
otot sekunder.
P:intervensi nomor 1,2,3
dilanjutkan,intervensi nomor 4 dan 5
dipertahankan.

I:
1. Jam 08.00 WITA
Mengkaji lokasi nyeri pada
kepala,skala nyeri 4-6 (sedang).

2. Jam 08.15 WITA


menjelaskan dan bantu klien
dengan tindakan pereda nyeri non
farmakologi dan non invasif.

3. Jam 08.30 WITA


Mengajarkan pada pasien teknik
distraksi dan relaksasi seperti
napas dalam dan mendengar
musik.

E: Pasien mengatakan pasien


mengatakan sakit pada kepala dan
luka jahitan berkurang, wajah tampak
meringis kesakitan,skala nyeri 4-6
(sedang),terdapat luka heting pada
alis kanan,dahi paha kiri dan kaki
kanan.tanda-tanda vital:
Nadi:84 x.menit,irama teratur dan
kuat.
Pernapasan:18 x.menit,irama teratur.
Tekanan darah:100/70 mmHg
posisi berbaring.
S: Pasien mengatakan mulai bisa
melakukan aktifitas sendiri
seperti
makan,minum,mandi,buang air
kecil dan buang air besar tetapi
masih dibantu oleh keluarga.

O: keadaan umum lemah, pasien


Sabtu,03- Defisit perawatan diri terbaring ditempat tidur,kekuatan otot
3 09-2011 kelemahan fisik. gerak aktif.

A:Masalah defisit perawatan diri


teratasi sebagian.

P:Intervensi 1 dan 4
dilanjutkanintervensi 2 dan 3
dipertahankan.

I:
1. Jam 08.00 WITA
Tentukan kemampuan saat ini
(skala 0-4) dan hambatan untuk
partisipasi dalam perawatan.skala
2 butuh bantuan dan
pengawasan.
2. Jam 09.30 WITA
Anjurkan keluarga untuk
memandikan pasien 2 kali dalam
satu hari.

E: Pasien mengatakan mulai bisa


melakukan aktifitas sendiri
seperti
makan,minum,mandi,buang air
kecil dan buang air besar tetapi
masih dibantu oleh keluarga.
keadaan umum lemah, pasien
terbaring ditempat tidur,kekuatan
otot gerak aktif.

No Hari/tgl Dx keperawatan Evaluasi (SOAPIE)


S:pasien mengatakan sakit pada
kepala berkurang.
O:keadaan umum mulai
membaik
Gangguan perfusi kesadaran secara kualitatif
jaringan otak composmentis,secara
Minggu,04-
1 berhubungan dengan kuantitatif GCS:E:4,V:5,M:6
09-2011
trauma kepala. total 15.
bengkak pada mata kanan
berkurang.Tanda-tanda vital:
Nadi:78 x.menit,irama
teratur dan kuat.
Pernapasan:18 x.menit,irama
teratur.
Tekanan darah:100/80 mmHg
posisi berbaring.

A:masalah teratasi sebagian.

P:intervensi nomor 1,2,3 dan 4


dilanjutkan.
I:
1. Jam 08.00 WITA
Mengukur tanda-tanda vital:
Nadi:78 x.menit,irama
teratur dan kuat.
Pernapasan:18 x/ menit,
irama teratur.
Tekanan darah:100/80
mmHg posisi berbaring.
2. Jam 08.15 WITA
Mengobservasi status
neurologis dengan cara tes
kesadaran secara kualitatif
somnolen,secara kuantitatif
GCS:E:4,V:5,M:6.
3. Jam 08.20 WITA
Mengkaji penglihatan pada
mata kanan yang terdapat
oedema.penglihatan baik dan
tidak kabur, pasien kesulitan
membuka mata
4. Jam 14.00 WITA
Melaksanakan kolaborasi
dengan melaksanakan injeksi
siang.

E: pasien mengatakan sakit pada


kepala berkurang.
keadaan umum mulai membaik
kesadaran secara kualitatif
composmentis,secara
kuantitatif GCS:E:4,V:5,M:6
total 15.
bengkak pada mata kanan
berkurang.Tanda-tanda vital:
Nadi:78 x.menit,irama
teratur dan kuat.
Pernapasan:18 x.menit,irama
teratur.
Tekanan darah:100/80 mmHg
posisi berbaring.
S:Pasien mengatakan pasien
mengatakan sakit pada kepala dan
luka jahitan berkurang

O: pasien tampak rileks,skala nyeri


1-3 (ringan),terdapat luka heting
pada alis kanan,dahi paha kiri dan
kaki kanan.tanda-tanda vital:
Gangguan rasa nyaman Nadi:78 x.menit,irama teratur dan
nyeri akut berhubungan kuat.
Minggu,04-
2 dengan refleks spasme Pernapasan:18 x.menit,irama
09-2011
otot sekunder. teratur.
Tekanan darah:100/80 mmHg
posisi berbaring.

A:masalah gangguan rasa nyaman


nyeri teratasi sebagian.

P:intervensi nomor 1,2,3,4 dan 5


dilanjutkan
I:
1. Jam 08.00 WITA
Mengkaji lokasi nyeri pada
kepala,skala nyeri 1-3 (ringan).
2. Jam 08.15 WITA
menjelaskan dan bantu klien
dengan tindakan pereda nyeri
non farmakologi dan non
invasif.
3. Jam 08.20 WITA
Mengajarkan pada pasien
teknik distraksi dan relaksasi
seperti napas dalam dan
mendengar musik.
4. Jam 08.3 WITA.
Mengatur posisi yang tidur yang
nyaman bagi pasien,miring
kanan dan membatasi
pengunjung agar pasien dapat
beristirahat
5. Jam 14.00 WITA
Melaksanakan kolaborasi
memberikan injeksi Torasic 30
mg per selang.

E: Pasien mengatakan pasien


mengatakan sakit pada kepala dan
luka jahitan berkurang, wajah
meringis kesakitan berkurang,skala
nyeri 1-3 (ringan),terdapat luka
heting pada alis kanan,dahi paha
kiri dan kaki kanan.tanda-tanda
vital:
Nadi:78 x.menit,irama teratur dan
kuat.
Pernapasan:18 x.menit,irama
teratur.
Tekanan darah:100/80 mmHg
posisi berbaring.
S:Pasien mengatakan sudah
bisa mandi sendiri.pasien
mengatakan bisa sikat gigi
sendiri.

Defisit perawatan diri O: keadaan umum membaik,pasien


Minggu,04-
3 berhubungan dengan sudah bisa turun dari tempat
09-2011
kelemahan fisik tidur.kekuatan otot gerak aktif.

A:Masalah teratasi

P:Intervensi dipertahankan.

Evaluasi (SOAPIE)
No Hari/tgl Dx keperawatan

S:pasien mengatakan kepala


sakit berkurang.

O: keadaan umum membaik


kesadaran secara kualitatif
Gangguan perfusi
composmentis,secara kuantitatif
Senin ,05- jaringan otak
GCS:E:4,V:5,M:6 total 15.
1 09-2011 berhubungan dengan
bengkak pada mata kanan
trauma kepala.
berkurang.
Tanda-tanda vital:
Nadi:78 x.menit,irama teratur dan
kuat.
Pernapasan:18 x.menit,irama
teratur
Tekanan darah:100/80 mmHg
posisi berbaring.

A:masalah teratasi sebagian.

P:intervensi dihentikan pasien


pulang.

S:Pasien mengatakan kepala dan


luka jahitan sakit sedikit

O: pasien tampak rileks,skala nyeri 1-


3 (ringan),terdapat luka heting pada
alis kanan,dahi paha kiri dan kaki
kanan.tanda-tanda vital:
Gangguan rasa nyaman
Nadi:78 x.menit,irama teratur dan
Senin ,05- nyeri akut berhubungan
2 kuat.
09-2011 dengan refleks spasme
Pernapasan:18 x.menit,irama teratur.
otot sekunder.
Tekanan darah:100/80 mmHg posisi
berbaring.

A:masalah gangguan rasa nyaman


nyeri akut teratasi sebagian.

P:intervensi nomor 2 dan 3


dipertahankan,pasien pulang.
Discharge planning
Nama Pasien :G
Umur :15 tahun
No Register :01.17.XX.
Dx Medis :Cedera Kepala Sedang
Tgl Masuk Rumah Sakit :31-08-2011
Tgl Keluar Rumah Sakit :05-09-2011
Diagnosa keperawatan yag muncul pada pasien G adalah : Gangguan perfusi jaringan otak
berhubungan dengan adanya trauma otak,Gangguan rasa nyaman nyeri akut yang berhubungan
dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder,cemas berhubungan dengan krisis
situasional:perubaha status kesehatan,Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.
Diagnosa keperawatan yang teratasi sebagian :gangguan perfusi jaringan otak berhubungan
dengan trauma kepala dan Gangguan rasa nyaman nyeri akut berhubungan dengan refleks spasme
otot sekunder.Diagnosa keperawatan yang teratasi :ketakutan berhubungan dengan perubahan
status kesehatan dan Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.
Pendidikan kesehatan yang diberikan:
1. Kontrol kembali kepelayanan terdekat sesuai surat rujukan.
2. Menganjurkan pada pasien dan orang tua,jika sewaktu-waktu pasien G mengalami muntah,sakit
kepala hebat dan kejang harus segera dibawa ketempat pelayanan kesehatan terdekat untuk
diambil tindakan selanjutnya.
3. Anjurkan untuk selalu menggunakan helm dan berhati-hati saat berkendara motor.
Atambua, 5 – 9 – 2011

Theresia M.Fernandez
BAB IV
PEMBAHASAN
Setelah penulis melaksanakan Asuhan Keperawatan melalui pendekatan proses
keperawatan yang meliputi pengkajian, menegakkan diagnosa
keperawatan,perencanaan,pelaksanaan dan evaluasi maka pada BAB ini penulis akan
membahas mengenai kesenjangan antara teori dengan kenyataan yang ditemukan dalam
perawatan kasus Cedera Kepala Sedang pada pasien G yang dirwt oleh penulis sejak tanggal
01 September 2011 sampai dengan tanggal 5 September 2011 di Ruang Bedah Rumah Sakit
Umum Daerah Atambua,yang dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Pada tahap pengkajian, menurut Arif Muttaqin dalam buku ‘’Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Gangguan Sistem Persarafan ‘’ halaman 276 mencakup aspek-aspek berikut:
anamnesis, riwayat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.Selain
itu pada pengkajian juga dilakukan pemeriksaan fisik secara Body System dari B1-
B6,sedangkan pada kasus nyata tidak dilakukan pemeriksaan diagnostik penunjang CT-
Scan karena tidak adanya alat pendukung, pengkajian dilakukan secara komprehensif
dengan cara wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik selain itu juga dikaji riwayat
kesehatan dan psikososial.Alasannya sebab manusia itu unik dan kompleks yag terdiri
dari komponen sel, organ dan sistem organ.Pada teori ini mengklasifikasikan tingkat
keparahan sebagai berikut:GCS 9-14, konfusi, letargi atau stupor, amnesia pasca trauma,
muntah tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda batle, mata rabun, hemotimpanum dan
kejang, sedangkan pada kasus nyata saat dilakukan pengkajian hanya ditemukan
kesadaran kualitatif somnolen, kesadaran kuantitatif GCS:13, pada saat terjadi kecelakaan
keluar darah segar melalui hidung.Alasannya setiap manusia memiliki respon yang
bervariasi terhadap adanya rangsangan.
B. Dalam teori perumusan diagnosa keperawatan yang muncul adalah : Resiko tinggi
peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan proses desak ruang sekunder
dari trauma kepala yang mengakibatkan adanya perdarahan baik bersifat intraserebral
hematoma, subdural hematoma dan epidural hematoma. Ketidakefektfan pola pernapasan
yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan diotak,kelemahan otot-otot
pernapasan, ekspansi paru yang tidak optimal karena akumulasi udara/cairan, dan
perubahan perbandingan O2 dan CO2, kegagalan ventilator.Tidak efektif bersihan jalan
napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum, peningkatan sekresi sekret,
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada
trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang
berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder. Cemas/takut
yang berhubungan dengan krisis situasional: ancaman terhadap konsep diri,takut mati,
ketergantungan pada alat bantu, perubahan status kesehatan/ status ekonomi/fungsi
peran, hubungan interpersonal/ penularan. sedangkan pada kasus nyata yang ditemukan
adalah :Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan adanya trauma otak,
Gangguan rasa nyaman nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan
refleks spasme otot sekunder, cemas berhubungan dengan krisis situasional: perubahan
status kesehatan, Defisit perawatan diri (mandi dan sikat gigi) berhubungan dengan
kelemahan fisik. Alasannya karena diagnosa diangkat berdasarkan respon pasien.
C. Pelaksanaan tindakan keperawatan pada prinsipnya dilakukan sesuai dengan rencana
keperawatan.Pada teori pelaksanaan tindakan disesuaikan dengan rencana perawatan
.Dalam melaksanakan tindakan perawatan, selain melaksanakannya secara mandiri,
harus adanya kerja sama dengan tim kesehatan lainnya. Merupakan realisasi rencana
tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan menilai data yang
baru.Alasannya proses keperawatan memiliki salah satu sifat yaitu fleksibilitas yang
artinya urusan pelaksanaan proses keperawatan dapat diubah sesuai dengan situasi dan
kondisi pasien.Implementasi tindakan dibedakan menjadi tiga kategori yaitu:independent
(mandiri), interdependent (bekerja sama dengan tim kesehatan
lainnya:dokter,bidan,tenaga analis,ahli gizi, apoteker, ahli kesehatan gigi, fisiotherapy dan
lainnya) dan dependent (bekerja sesuai instruksi atau delegasi tugas dari dokter)
D. Pada kasus nyata evaluasi yang gunakan adalah evaluasi proses (formatif).Alasannya
evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan, berorientasi pada etiologi,dilakukan
secara terus menerus sampai tujuan yang ditentukan tercapai.Evaluasi dilakukan sesuai
dengan perubahan klien.Untuk memudahkannya penulis mengevaluasi atau memantau
perkembangan pasien digunakan komponen SOAP (evaluasi pada hari pertama
perawatan) dan SOAPIE (evaluasi perkembangan kondisi pasien/untuk catatan
perkembangan pasien) : S = (data subyektif:diperoleh dari pasien berupa keluhan-keluhan
pasien), O = (data obyektif:dari hasil observasi dan pemeriksaan), A= (analisis masalah),
P = (perencanaan),I = (implementasi), E = (evaluasi).

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab terdahulu,maka penulis mengambil
kesimpulan,bahwa:
1. Pada pengkajian kondisi yang ditemukan pada pasien adalah Keadaan umum lemah,
kesadaran secara kualitatif somnolen, keadaan secara kuantitatif dengan GCS:
E:3.V:5,M:5,total 13, pasien hanya mau tidur saja, bengkak pada mata kanan dan
tampak kebiruan, luka jahit pada alis mata kanan dan pada dahi. Keluar darah dari
hidung pada saat terjadi kecelakaan.Terdapat luka jahit pada kaki kanan dan paha
kiri, pasien tampak meringis kesakitan.Terpasang cairan infus Ringer Laktat 12
tetes/menit pada tangan kanan. Tanda-tanda vital :Tekanan darah:100/60 mmHg
posisi berbaring, Nadi:84 x/menit, irama teratur dan kuat, Suhu:36,4oC/axila,
Pernapasan:18x/menit, irama teratur, Akral:teraba hangat, Mean Preassure
Arteri (MAP):73 mmHg, Pulse Preassure(PP) :40 mmHg.
2. Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus nyata berdasarkan kondisi dan respon pasien
sehingga ada diagnosa keperawatan yang sesuai dengan tinjauan teori dan ada yang tidak
sesuai dengan tinjauan teoritis. Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien
sebagai berikut: 1). Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan adanya trauma
otak.2).Gangguan rasa nyaman nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan
refleks spasme otot sekunder.3). ketakutan berhubungan dengan krisis situasional:perubahan
status kesehatan.4). Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.
3. Rencana tindakan pada keempat diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus nyata
semuanya dilakukan pada pasien .
4. Evaluasi dari keempat diagnosa keperawatan yang diprioritaskan, dua diagnosa teratasi pada
hari jumad dan sabtu dan dua diagnosa teratasi sebagian pada hari senin.
5. Dokumentasi keperawatan dilakukan dengan mengdokumentasikan semua kegiatan dan
hasilnya mulai dari pengkajian sampai dengan kedalam catatan perawat yang ada dalam
status pasien sebagai bukti tanggung jawab dan tanggung gugat dikemudian hari.
B. Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan penulis antara lain:
1. Bagi perawat
Agar dalam memberikan tindakan keperawatan kepada pasien,juga harus dilakukan
tindakan-tindakan mandiri perawat.
2. Bagi Rumah Sakit
Agar dalam pemberian pelayanan disiapkan fasilitas-fasilitas yang memadai untuk
menunjang pemeriksaan,kususnya pada pasien sedera kepala,seperti CT-Scan.
3. Bagi penulis
Agar terus mengembangkan pengetahuan yang telah didapat tentang cedera kepala sedang
serta membagikannya kepada orang lain sehingga tindakan pencegahan dan penanganan
dapat dilakukan secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA
……………………http://www yayankhyar.co.nr.2009.
Bruner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC.
Cholik H. Rosjidi. CS. 2009. Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala dan Stroke. Yogyakarta. Ardana
Media
Corwin J. Elizabeth.2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3 Revisi. Jakarta. EGC
Dewanto George, CS .2009. Diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta EGC
Muttaqim Arif.2008 Buku Ajar Asuhan Keperawatan klien dengan gangguan. Sitem Persarafan .
Jakarta. Salemba Medika.
Syaifuddin. 2009 . Anatomi tubuh manusia untuk mahasiswa keperawatan edisi kedua. Jakarta.
Salemba Medika

LEMBARAN KONSUL

NAMA : THERESIA M. FERNANDEZ


NIM : 5306.09.597
JUDUL : ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA
SEDANG DIRUANG BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ATAMBUA
MATERI YANG
NO HARI/TGL KETERANGAN PARAF
DIKONSUL
Rabu,
1 Bab I Revisi
27-07-2011
Selasa, Revisi
2 Bab I dan Bab II
16-08-2011
Senin, Revisi
3 Bab I dan Bab II
22-08-2011
Kamis, Revisi
4 Bab I dan Bab II
25-08-2011
Jumad, Revisi dan ACC
5 Bab I dan Bab II
26-08-2011
Sabtu,
6 Bab I dan Bab II ACC
27-08-2011
Kamis, Revisi
7 Bab III
01-09-2011
Rabu, ACC
8 Bab III
05-10-2011
Kamis, Revisi
9 Bab IV dan Bab V
06-10-2011
Sabtu, 08 –
10 Bab IV dan Bab V ACC maju ujian.
10 – 2011

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;}
table.MsoTableGrid
{mso-style-name:”Table Grid”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-priority:59;
mso-style-unhide:no;
border:solid black 1.0pt;
mso-border-alt:solid black .5pt;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-border-insideh:.5pt solid black;
mso-border-insidev:.5pt solid black;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;}

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(www.yayanakhyar.com.nr/200905).
Setiap tahun di Amerika Serikat, mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala
52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga
merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma dikaitkan dengan
kematin. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Natroma Trauma Project di Islamic
Republik of Iranbahwa, diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu
sebanyak 78,7 % trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh
trauma kepala (Karbakhsh, zand, Rouzrokh, Zarei, 2009). Rata – rata rawat inap
pada laki – laki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma kepala sebanyak
146,3 per 100.000 dan 158,3 per 100.000 (Thomas 2006). Angka kematian trauma
kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki – laki dibanding perempuan yaitu
sebanyak 26,9 per 100.000 dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun
keatas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta
lansia di Amerika yang mengalami trauma kepala akibat terjatuh. Menurut Kraus
(1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda
mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat
kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala
disebabkan oleh terjatuh.Menurut data yang diperolah dari rekam medik RSUD
Atambua, pada tiga tahun terakhir ini yaitu : tahun 2008 terdiri dari 142 orang, laki –
laki : 107 orang ( 75,3 %), perempuan : 42 orang (29,5 %), Tahun 2009 : 163 orang,
laki – laki : 140 orang (85,8 %), perempuan : 23 orang (13,6 %), Tahun 2010 : 175
orang, laki – laki : 149 orang (85,1 %), perempuan : 26 orang ( 14,8 %).
Indonesia sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi,
diantaranya bidang transportasi. Dengan majunya transportasi, mobilitas penduduk
pun ikut meningkat. Namun akibat kemajuan ini, juga berdampak negatif yaitu
semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas karena ketidak hati – hatian dalam
berkendaraan. Sehingga dapat mengakibatkan berbagai cedera. Salah satu cedera
yang sering terjadi pada saat kecelakan lalu lintas
adalah cedera kepala (…………..http://repository.usu.ac.id/
bitstream/ 12345678 /16495/5.chapter%201.pdf)
Cedera kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi, oleh
karena itu diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik terutama
tentang penanganan (A, B, C, D, E), pencegahan cedera otak sekunder dan cara
merujuk penderita secepat mungkin oleh untuk petugas kesehatan yang berada
digaris depan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalahnya
adalah “ Bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala di Rumah Sakit Umum Daerah Atambua ? ”

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengembangkan pola pikir ilmiah dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien cedera kepala dengan pendekatan proses keperawatan.

2. Tujuan khusus
a) Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada pasien cedera kepala.
b) Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
cedera kepala.
c) Mahasiswa mampu membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien
dengan cedera kepala.
d) Mahasiswa mampu melaksanakan rencana tindakan keperawatan pada
pasien dengan cedera kepala.
e) Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilakukan.
f) Mahasiswa mampu melakukan dokumentasi terhadap tindakan keperawatan
yang telah dilakukan.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi profesi keperawatan
Memberikan asuhan tentang bagaimana merawat pasien dengan cedera kepala,
dengan menggunakan proses keperawatan yang meliputi : pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
2. Bagi Rumah Sakit
Memberikan masukan dalam rangka meningkatkan penerapan asuhan keperawatan
pada pasien dengan cedera kepala.
3. Bagi penulis
a) Memperoleh pengalaman yang nyata dalam merawat klien dengan cedera
kepala.
b) Menambah pengetahuan tentang penerapan asuhan keperawatan pada klien
dengan cedera kepala.

E. Metode Penulisan
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif, yakni melalui
studi pustaka dan studi kasus. Studi pustaka diambil dari buku – buku perpustakaan
dan sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan proposal karya
tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan Yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan teoritis Yang terdiri dari konsep dasar cedera kepala dan
konsep dasar Asuhan Keperawatan pada pasien cedera kepala.
BAB III : Tinjaun kasus yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
BAB IV : pembahasan
BAB V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar
1. Anatomi Fisiologi Otak
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini otak yang lembut, yang membuat kita seperti adanya, akan
mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Pada orang dewasa tengkorak
merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang
sebenarnya terdiri dari 2 dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga.
Dinding luar disebut tabula eksternal dan dinding bagian dalam disebut tabula
internal. Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges
adalah durameter, araknoid dan piameter (Price, Silvia A ; 2005 : 1014).
Sistem persarafan terdiri dari:
a. Susunan saraf pusat
1) Otak
(a).Otak besar atau serebrum (cerebrum)
Mempunyai dua belahan yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan yang
duhubungkan oleh massa substansi alba(substansia alba) yang
disebut korpus kalosum (corpus callosum). Serebrum terdiri atas : korteks
sereri, basal ganglia (korpora striate) dan sistem limbik(rhinencephalon).
(b).Otak kecil (serebelum)
Serebelum (otak kecil) terletak dalam fossa kranial posterior, dibawah
tentorium serebelum bagian posterior dari pons varolii dan medula
oblongata. Serebelum mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan
oleh vermis. serebelum dihubungkan dengan otak tengah oleh
pedunkulus serebri superior, dengan pons paroli oleh pedunkulus
serebri media dan dengan medula oblongata oleh pedunkulus serebri
inferior. Lapisan permukaan setiap hemisfer serebri disebut korteks
yang disusun oleh substansia grisea. Lapisan – lapisan korteks serebri
ini dipisahkan oleh fisura transversus yang tersusun rapat. Kelompok
massa substansia grisea tertentu pada serebelum tertanam dalam
substansia alba yang paling besar dikenal sebagai nukleus dentatus.
(c).Batang otak.
Pada permukaan batang otak terdapat medula oblongata, pons varolii,
mesensefalon dan diensefalon. Talamus dan epitalamus terlihat
dipermukaan posterior batang otak yang terletak diantara serabut
capsula interna. Disepanjang pinggir dorsomedial talamus terdapat
sekelompok serabut saraf berjalan keposterior basis epifise.
2) Sum-sum tulang belakang (trunkus serebri)
Medula spinalis merupakan bagian sistem saraf pusat
yang menggambarkan perubahan terakhir pada perkembangan embrio.
Semula ruangannya besar kemudian mengecil menjadi kanalis sentralis.
Medulla spinalis terdiri atas dua belahan yang sama dipersatukan oleh
struktur intermedia yang dibentuk oleh sel saraf dan didukung oleh
jaringan interstisial.
Medula spinalis membentang dari foramen magnum sampai setinggi
vertebra lumbalis I dan II, ujung bawahnya runcing menyerupai kerucut
yang disebut konus medularis, terletak didalam kanalis vertebralis melanjut
sebagai benang-benang(filum terminale) dan akhirnya melekat pada
vertebra III sampai vertebra torakalis II, medula spinalis menebal
kesamping. penebalan ini dinamakan intumensensia servikalis.
b. Susunan saraf perifer
1) Susunan saraf somatik
Indra somatik merupakan saraf yang mengumpulkan informasi sensori
dari tubuh. Indra ini berbeda dengan indra khusus (penglihatan,
penghiduan, pendengaran, pengecapan dan keseimbangan), indra
somatik digolongkan menjadi 3 jenis :
(a).Indra somatik mekano reseptif.
(b).Indra termoreseptor.
(c).Indra nyeri.
2) Susunan saraf otonom
Saraf yang mempersarafi alat – alat dalam tubuh seperti kelenjar,
pembuluh darah, paru – paru, lambung, usus dan ginjal. Alat ini mendapat
dua jenis persarafan otonom yang fungsinya saling bertentangan, kalau
yang satu merangsang yang lainnya menghambat dan sebaliknya, kedua
susunan saraf ini disebut saraf simpatis dan saraf
parasimpatis (syaifuddin ; 2009 : 335 – 360).

2. Cedera Kepala
a. Pengertian
Cedera kepala : Meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. secara
anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala serta tulang
dan tentorium (helm) yang membungkusnya (Arif Muttaqin ; 2008 : 270).
Cedera kepala : Dapat bersifat terbuka (menembus melalui dura
meter) atau tertutup (trauma tumpul, tanpa penetrasi melalui dura).
Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses
langsung ke otak (Corwin J.Elizabeth; 2005 : 175).
Cedera kepala : Trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(http://www.yayanakhyar. com.nr/200905).
Jadi cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala terjadi baik
secara langsung bersifat terbuka atau tertutup yang dapat terlihat meliputi
trauma kulit kepala, tengkorak dan juga otak sehingga dapat mengakibatkan
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat
temporer atau permanen.

b. Etiologi
Penyebab utama cedera kepala meliputi : Kecelakaan lalu lintas >50
% kasus, Jatuh, Pukulan, Kejatuhan benda, Kecelakaan kerja/industri,
Cedera lahir, Luka tembak (Cholik Harun dan Saiful Nurhidayat ; 2009 :49 )

c. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,
keparahan dan morfologi cedera:
1) Mekanisme:
(a). Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
(b). Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau
pukulan benda tumpul.
2) Berdasarkan beratnya:
(a). Ringan (GCS 14-15)
(b). Sedang (GCS (9-13)
(c).Berat (GCS 3-8)
3) Berdasarkan morfologi:
(1) Fraktur tengkorak
(a).Kalvaria: Linear atau stelata, Depressed ataunondepressed, Terbuka
atau tertutup
(b).Dasar tengkorak: Dengan atau tanpa kebocoran CNS, Dengan atau
tanpa paresis/kelumpuhan nervus VII (fasial)
(2) Lesi intrakranial
(a).Fokal: Epidural, Subdural, intraserebral
(b).Difusa: Komosio ringan, Komosio klasik, Cedera aksonal
difusa( http://www.yayanakhyar.co.nr/2009)
4) Skala Coma Glasgow (GCS)
Tabel I.Skala Coma Glasgow
Buka mata (E) Respon verbal (V) Respon motorik (M)

1 Tidak ada jawaban 1 Tidak ada reaksi


1 Tidak ada reaksi

2 Mengerang 2 Reaksi ekstensi(deserebrasi)


2 Dengan rang
sang nyeri

3 Tidak tepat 3 Reaksi fleksi(dekortikasi)


3 Terhadap suara

4 Kacau/confused 4 Reaksi menghindar


4 Spontan

5 Baik,tidak ada dis 5 Melokalisir nyeri


orientasi
6 Menurut perintah

(Sumber:dr George Dewanto,Sp.s,dkk.Panduan Praktis:Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf)


Klasifikasi yang mendekati keadaan klinis adalah berdasarkan nilai
GCS yang dikeluarkan oleh The Traumatic Coma Data Bank (Hudak dan
Gallo ; 1996 : 59, dikutip oleh cholik Harun Risjidi)

Tabel 2. Kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan nilai skala Koma
Glasgow
Penentuan keparahan Deskripsi Frekuensi

GCS:13-15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau
amnesia tetapi kurang dari 30 menit
Minor/ringan 55 %
Tidak ada fraktur tengkorak,tidak ada kontusio
serebral,tidak ada hematom

GCS:9-12
Sedang Kehilangan kesadaran dan/atau amnesia lebih
dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
24 %
Dapat mengalami fraktur tengkorak

GCS:3-8
Kehilangan kesadaran dan /atau amnesia
lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio
Berat
serebral,laserasi,
21 %
atau hematom intrakranial

(Sumber:Cholik Harun Rosjidi,cs(Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala & Stroke)

d. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselerasi – deselerasi gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contercoup. Cedera primer
yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulag tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselerasi deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma, perbedaan densisitas antar
tulang tengkorak (substansi solid)dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yag berlawanan dari benturan(contrecoup)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yag timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi (http://www.yayankhyar. com.nr/2009).
e. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala meliputi:
1) CT scan (dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan
perubahan jaringan otak.
2) MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
3) Cerebral angiography
Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5) Sinar X
Mendeteksi parubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6) BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7) PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8) CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarakhnoid
9) Kadar Elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intrakranial.
10)Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran
11)Rontgen Thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
12)Toraksentesis menyatakan darah/cairan
13)Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa Gas Darah (AGD/ Astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan
melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam
basa (Arif Muttaqin ; 2008 : 284)

f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari
faktor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai
status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan
pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat
dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang
mengalami trauma relatif memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih
rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang
meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang
memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan
intrakranial ini dapat dilakukan dengn cara menurunkan PaCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni
dengan intubasi endotrakeal hiperventilasi. Tindakan membuat intermitten
iatrogenic paralisis Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien – klien
yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yangmeninggi. Prinsip ABC
dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi:
1) Bedrest total
2) Observasi tanda – tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3) Pemberian obat – obatan
(a). Dexamethason/ Kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
(b). Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
(c). Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20%
atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
(d). Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole
4) Makanan atau cairan
Pada trauma ringan bila muntah – muntah tidak dapat diberikan apa –
apa, hanya cairan infus Dextrosa 5 %, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
5) Pada trauma berat
Karena hari – hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran
dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari – hari
pertama (2 – 3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5 % 8 jam
pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan
melalui nasogatric tube (2500 – 3000 TKTP). Pemberian protein
tergantung dari nilai urenitrogennya.
(Arif Muttaqin ; 2008 : 284-285)

g. Komplikasi
1) Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral dapat
menyertai cedera kepala tertutup yang berat, atau lebih sering cedera
kepala terbuka. Pada perdarahan diotak, tekanan intrakranial meningkat,
dan sel neuron dan vaskuler tertekan. Ini adalah jenis cedera otak
sekunder.Pada hematoma, kesadaran dapat menurun dengan segera,
atau dapat menurun setelahnya ketika hematoma meluas dan edema
interstisial memburuk.
2) Perubahan perilaku yang tidak kentara dan defisit kognitif dapat terjadi da
tetap ada.
(Corwin J Elizabeth ; 2009 : 246)
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera
kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik
dan pengkajian psikososial.
a) Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda),
jenis kelamin (banyak laki – laki, karena sering ngebut – ngebutan dengan
motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis
medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran.
b) Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung kekepala. Pengkajian yang
didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS >15), konvulsi, muntah,
takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala,
paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari
hidung dan telinga, serta kejang.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif dan koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien
tidak sadar) tentang penggunaan obat – obatan adiktif dan penggunaan
alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut –
ngebutan.
c) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung,
anemia, penggunaan obat – obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat –
obat adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.
d) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan
diabetes melitus.
e) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra diri)
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan
konsep diri didapatkan kllien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan,
mudah marah, dan tidak kooperatif.
f) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan -keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukng data dan pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1 – B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) dan terarah
dan dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari klien.

Keadaan umum
Pada keadaaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13 – 15, cedera kepala berat/
cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8 dan terjadi
perubahan pada tanda-tanda vital.
(1) B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari
perubahan jaringa cerebral akibat trauma kepala. Pada beberapa
keadaan, hasil dari pemeriksaaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :
(a).Inspeksi
Diddaptakan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Terdapat retraksi klavikula/ dada, pengembangan paru tidak simetris.
Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak penuh dan kesimetrisannya.
Ketidak simetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada
paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemothoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot –
otot interkostal, substernal, pernapan abdomen, dan respirasi
paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat
terjadi jika otot – otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding
dada.
(b).Palpasi
Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
(c).Perkusi
Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma
pada thoraks/ hematothoraks
(d).Auskultasi
Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang
menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan
penurunan tingkat kesadaran koma.

(2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan
berat.
Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada beberapa
keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi
bradikardi, takikardia da aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan
adanya penurunan kadar hemaglobin dalam darah. Hipotensi
menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda -tanda awal
dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala
akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak
pada kompensasi tubuh untuk mengeluarkan retensi atau pengeluaran
garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan
konsentrasi elektolit meningkat sehingga memberikan resiko terjadinya
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskuler.

(3) B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma dan
epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus
dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
(a).Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.
(b).Pemeriksan fungsi serebral
Status mental : Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental
mengalami perubahan.
Fungsi intelektual : Pada keadaan klien cedera kepala didapatkan
penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun
jangka panjang
Lobus frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada
lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual kortikal yang
lebih tinggi mungkin rusak disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang
perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang
motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi
dalam program rehabilitasi mereka. Masalah psikologi lain juga umum
terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan,
frustasi, dendam da kurang kerja sama.
Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparase
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh kesisi yang
berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami
hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan
bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah
frustrasi
(c).Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I
Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah yang merusak
anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada
fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral
Saraf II
Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan
lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari nervus optikus.
Perdarahan diruang intrakranial, terutama hemoragia subarakhnoidal,
dapat disertai dengan perdarahan diretina. Anomali pembuluh darah
didalam otak dapat bermanifestasi juga difundus. Tetapi dari segala
macam kalainan didalam ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat
dicerminkan pada fundus
Saraf III, IV da VI
Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan
trauma yang merusak rongga orbital. pada kasus-kasus trauma kepala
dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda
serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda awal
herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada
penyinaran. Paralisis otot – otot okular akan menyusul pada tahap
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana
bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yang
bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi yang lain, maka
pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi
dilobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya
fungsi itu berarti pusat siliospinal menjadi tidak aktif sehingga pupil
tidak berdilatasi melainkan berkonstriksi.
Saraf V
Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis nervus
trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
menguyah
Saraf VII
Persepsi pengecapan mengalami perubahan
Saraf VIII
Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan
biasanya tidak didapatkan penurunan apabila trauma yang terjadi tidak
melibatkan sarafvestibulokoklearis
Saraf IX dan Xl
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
Saraf XI
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan
tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII
Indra pengecapan mengalami perubahan

(d).Sistem motorik
Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu
sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis
(kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
Tonus otot : Didapatkan menurun sampai hilang.
Kekuatan otot : Pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan
otot didapatkan grade O
Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami gangguan
karena hemiparase dan hemiplegia.
(e).Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pda tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
Pemeriksaan refleks patologis ; Pada fase akut refleks fisiologis sisi
yag lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis
akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
(f). Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestasi persepsi adalah ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi.Disfungsi persepsivisual karena gangguan
jaras sensorik primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan
hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek
dalam area spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan
propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian
tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimulasi visual,
taktil dan auditorius.
(4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik, termasuk
berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien
mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas.
(5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual muntah pada fase akut. Mual dan muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukan kerusakan neurologis luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi
pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya
dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan
kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen.
Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan
peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan
motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yag berasal dari
sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
(6) Tulang (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit. Adanya
perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa).
Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan
rendahnya kadar haemaglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien
yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia.
Joundice (warna kuning) pada klien yang menggunakan respirator dapat
terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan pocked
red cells (PRC) dalam jangka waktu lama.
Pada klien dengan kulit gelap. Perubahan warna tersebut tidak begitu
jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya
demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan
dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensorik atau paralisis/ hemiplegia, mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan
desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan
baik bersifat intraserebral hematoma , subdural hematoma dan epidural
hematoma.
b. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada
pusat pernapasan diotak, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru
yang tidak optimal karena akumulasi udara/cairan, dan perubahan
perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventiltor.
c. Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan
sputum peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder, akibat nyeri
dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan
batuk/batuk efektif.
d. Perubahan kenyamanan : nyeri akut yang berhubungan dengan trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
e. Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman terhadap
konsep diri, takut mati, ketergantungan pada alat bantu, perubahan status
kesehatan/ status ekonomi/ fungsi peran, hubungan interpersonal/ penularan

3. Rencana Intervensi
a. Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang
sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil:
Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4,
5, 6,tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri:
1) Kaji faktor penyebab dari situasi/ keadaan individu/ penyebab koma/
penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/ Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status
neurologis/ tanda – tanda kegagalan untuk menentukan perawatan
kegawatan atau tindakan pembedahan
2) Memonitor tanda – tanda vital tiap 4 jam.
R/ suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik
atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik penurunan
dari autoregulator. Kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi
lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan
darah (diastolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah
intrakranial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia,
dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
3) Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya.
R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali
dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika
batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III kranial
(okulomotorik) yang menunjukan keutuhan batang otak, ukuran pupil
menunjukan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis.
Respons terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf
kranial II dan III.
4) Monitor temperatur da pengaturan suhu lingkungan .
R/ Panas merupakan refleks dari hipotalamus. peningkatan kebutuhan
metabolisme dan O2 akan menunjang TIK/ICP (intrakranial pressure).
5) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan
sedikit bantal. Hindari penggunaan batal yang tinggi pada kepala.
R/ Perubahan kepada salah satu sisi dapat menimbulkan penekanan
pada venajugularis dan menghambat aliran darah ke otak
(menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
6) Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya
prosedur.
R/ Tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek
rangsagan kumulatif.
7) Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase
punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan
suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
R/ Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat
mengurangi respons psikologis dan memberikan istirahat untuk
mempertahankan TIK yang rendah.
8) Cegah/hindarkan terjadinya valsava manuver.
R/ Mengurangi tekanan intrathorakal dan intraabdominal sehingga
menghindari peningkatan TIK.
9) Bantu klien jika batuk, muntah
R/ Aktivitas ini dapat meningkatan intrathorak/tekanan dalam thoraks
dan tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat
meningkatkan TIK.
10)Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku
R/ Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK
atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak
menurundapat meningkatkan TIK.
11)Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine
secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/ Dapat meningkatkan respons otomatis yang potensial menaikkan
TIK.
12)Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab
akibat TIK meningkat.
R/ Meningkatkan kerja sama dalam meningkatkan perawatan klien dan
mengurangi kecemasan.
13)Observasi tingkat kesadaran GCS
R/ Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna
menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.
Kolaborasi:
1) Pemberian O2 sesuai indikasi.
R/ Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi
serebral, volume darah, dan menaikkan TIK
2) Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam intrakranial.
R/ Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila
kemungkinan terdapat tanda – tanda defisit neurologis yang
menandakan peningkatan intrakranial.
3) Berikan cairan intravena sesuai indikasi
R/ Pemberian cairan mungkin diiginkan untuk mengurangi edema
serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah , tekanan
darah dan TIK.
4) Berikan obat osmosisdiuretik, contohnya : manitol, furoslide
R/ Diuretik mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air
dari sel otak dan mengurangi edema serebral dari TIK
5) Berikan steroid contohnya : Dexamethason,
methylprenidsolon.
R/ Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema
jaringan.
6) Berikan analgesik narkotik, contoh : kodein
R/ Mungkin diindikasikan nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK
tetapi digunakan dengan tujuan untuk mencegah dan menurunkan
sensasi nyeri.
7) Berikan antipiretik, contohnya : asetaminofen.
R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen
yang diinginkan.
8) Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin,
LED
R/ Membantu memberikan informan tentang efektivitas pemberian obat.

b. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat


pernapasan, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
meksimal karen trauma, dan perubahan perbandingan O2 dan CO2,kegagalan
ventilator.
Tujuan:
Dalam waktu 3 x 24 jam setelah intervensi, adanya peningkatan, pola napas
kembali efektif.
Kriteria hasil:
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan
pertukaran gas – gas pada paru, adaptif mengatasi faktor – faktor penyebab.
Intervensi:
1) Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat
tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak
mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan
ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
2) Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau
perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi
sebagai akibat stres fisiologis dan nyeri atau dapat menunjukan
terjadinya terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
3) Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau
kolaps paru – paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
4) Pertahankan perilaku tenang,bantu klien untuk kontrol diri dengan
menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat
dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
5) Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan jangan mematikan
alarm.
R/ Ventilator yang memiliki alarm yang biasa dilihat dan didengar
misalnya alarm kadar oksigen, tinggi/ rendahnya tekanan oksigen.
6) Taruhlah kantung resusitasi disamping tempat tidur dan manual ventilasi
untuk sewaktu – waktu dapat digunakan.
R/ Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat berguna untuk
mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi gangguan pada
alat ventilator secara mendadak.
7) Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba – tiba
berhenti
R/ Melatih klien untuk mengatur napas, seperti napas dalam, napas
pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat
membantu memaksimalkan fungsi dari sistem pernapasan.
8) Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin. Pengecekan
konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor
manometer untuk menganalisis batas/kadar oksigen. Mengkaji tidal
volume (10 – 15 ml/kg). Periksa fungsi spirometer
R/ Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan perawat
dalam memberikan tindakan pada penyakit primer setelah menilai
hasil diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.
9) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan
fisioterapi.
a) Pemberian antibiotik.
b) Pemberian analgesik.
c) Fisioterapi dada.
d) Konsul foto thoraks.
R/ Kolaborasi dengan tim kesehatan lainuntuk mengevaluasi perbaikan
kondisi klien atas pengembangan parunya.

c. Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan
napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret dan ketidakmampuan
batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan
jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal
tube bebas sumbatan, menunjukan batuk yang efektif, tidak ada lagi
penumpukan sekret disaluran pernapasan.
Intervensi:
1) Kaji keadaan jalan napas
R/ Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa
cairan mukus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi
dari endotracheal/tracheostomy tube yag berubah.
2) Evaluasi pergerakan dan auskultasi suara napas pada kedua
paru (bilateral)
R/ Pergerakan dada yang simeteris dengan suara napas yang keluar
dari paru – paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran
napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas
sepertironkhi atau wheezing.
3) Monitor letak posisi endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan tube
secara hati – hati dengan memakai perekat khusus. Mohon bantuan
perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube.
R/ Endotracheal tube dapat saja masuk kedalam bronkhus kanan,
menyebabkan obstruksi jalan napas keparu – paru kanan dan
mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks
4) Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari
ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui
endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi.
R/ Selama intubasi klien mengalami refleks batuk yang tidak efektif,
atau klien akan mengalami kelemahan otot-otot pernapasan
(neuromuskular/neurosensorik), keterlambatan untuk batuk. Semua
klien tergantung dari alternatif yag dilakukan seperti mengisap
lendir dari jalan napas.
5) Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi pengisapan
dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter penghisap yag sesuai, cairan
fisiologis steril. Berikan oksigen 100 % sebelum dilakukan penghisapan
dengan ambubag (hiperventilasi).
R/ Pengisapan lendir tidak selamnya dilakukan terus -menerus, dan
durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia
6) Anjurkan klien teknik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas
panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi.
R/ Batuk yang efektif dapat mengeluarkan
sekret dari saluran napas.
7) Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam)
R/ Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru – paru,
mengurangi resiko atelektasis.
8) Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
R/ Membantu pengeceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.
9) Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa
terdapat penumpukan sekret disaluran pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
10) Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.
R/ batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif,
dapat menyebabkan frustasi
11)Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin
R/ memungkinkan expansi pun lebih luas
12)Lakukan pernapasan diafragma
R/ pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan ventilasi
alveolar.
13)Tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan, lahan
keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
R/ meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah
pengeluaran sekresi sekret
14) Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan
2 batuk pendek dan kuat.
R/ pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan batuk klien.
15)Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan
sumbatan mukus yang mengarah pada atelektasis.
16)Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi :
mempertahankan hidrasi yang adekuat, meningkatkan masukan cairan
1000-1500cc/hari bisa tidak ada kontraindikasi.
R/ untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mukosa pada
saluran napas bagian atas
17)Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ higene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan
mencegah bau mulut.
18)Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
1) Pemberian ekpektoran
2) Pemberian antibiotik
3) Fisioterapi dada
4) Konsul foto thoraks
R/ ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan
mengevaluasi kndisi klien pengembangan parunya.
19)Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainase, perkusi
/ penepukan.
R/ mengatur ventilasi segment paru – paru sekret.
20)Berikan obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti aminophilin,
meta-protereno sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosal).
R/ mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi muscle /
bronchospasme.

d. Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam nyeri berkurang / hilang
Kriteria hasil : secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di
adaptasi, dapat mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri,
klien tidak gelisah.
Intervensi:
1) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni
dan non invasif.
R/ pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi
lainnya telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri
2) Ajarkan relaksasi.Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot
rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan
relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan O2 oleh
jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.
3) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
4) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman misalnya ketika tidur belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga akan
meningkatkan kenyamanan.
5) Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan
berapa lama nyeri akan berlangsung.
R/ pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya
dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.
6) Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien,30 menit setelah
pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektifitasnya serta setiap 1 – 2
jam setelah tindakan perawatan selam 1 – 2 hari.
R/ pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang
objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan :
intervensi yang tepat.
7) Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgesik.
R/ analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.

e. Cemas atau takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman


terhadap konsep diri, takut mati/ketergantungan pada alat bantu/ perubahan
status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran, hubungan interpersonal.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam secara subjektif melaporkan rasa cemas
berkurang.
Kriteria Hasil : klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-cara
yang sehat kepada perawat, klien dapat mendemonstrasikan keterampilan
pemecahan masalahnya dan perubahan koping yang digunakan sesaui
situasi yang di hadapi, klien dapat mencatat penurunan kecemasan/ketakutan
di bawah standar, klien dapat rileks dan tidur/istirahat dengan baik.
Intervensi : Mandiri.
1) Identifikasi persepsi klien untuk menggambarkan tindakan sesuai situasi
R/ menegaskan batasan masalah individu dan pengeruhnya selama
diberikan intervensi.
2) Monitor rspon fisik seperti : Kelemahan, perubahan tanda vital gerakan
yang berulang-ulang, catat kesesuaian respons verbal dan non verbal
selama komunikasi.
R/ digunakan dalam mengevaluasi derajat/ tingkat kesadaran/
konsentrasi, khususnya ketika melakukan komunikasi verbal.
3) Anjurkan klien dan keluarga untuk mengungkapkan dan mengekspresikan
rasa takutnya.
R/ Memberikan kesempata untuk berkonsentrasi, kejelasan dari rasa
takut, dan mengurangi cemas yang berlebihan.
4) Akuilah situasi yang membuat cemas dan takut. Hindari perasaan yang
tak berarti seperti mengatakan semuanya akan menjadi baik.
R/ Memvalidasi situasi yang nyata tanpa mengurangi pengaruh
emosional.
5) Identifakasi/ kaji ulang bersama klien / keluarga tindakan pengaman yang
ada seperti kekuatan dan suplai oksigen, kelengkapan suctioa
emergency. Diskusikan arti dari bunyi alarm.
R/ membesarkan/menentramkan hati klien untuk membantu
menghilangkan cemas yang tak berguna, mengurangi konsentrasi
yang tidak jelas, dan menyiapkan rencana sebagai respons dalam
keadaan darurat.
6) Cetak reaksi dari klien/keluarga. Berikan kesempatan untuk mendiskusika
perasaannya/konsentrasi dan harapan masa depan.
R/ Anggota keluarga dengan responnya pada apa yang terjadi dan
kecemasannya dapat di sampaikan kepada klien.
7) Identifikasi kemampuan koping klien/keluarga sebelumnya dan mengontrol
pengguanaannya.
R/ Memfokuskan perhatian pada sendiri dapat meningkatkan
pengertian dalam penggunaan koping.
8) Demonstrasikan/anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi seperti
mengatur pernapasan, menuntun dalam berkhayal, relaksasi progresif.
R/ pengaturan situasi yang aktif dapat mengurangi perasaan yang tak
berdaya.
9) Anjurkan aktivitas pengalihan perhatian sesuai kemampua individu seperti
menulis, menonton tv dan keterapilan
R/ sejumlah keterampilan baik secara sendiri maupun dibantu selama
pemasangan ventilator dapat membuat klien merasa berkualitas
dalam hidupnya.
Kolaborasi
Rujuk ke bagian lain guna penanganan selanjutnya.
R/ mungkin dibutuhkan untuk membantu jika klien/ keluarga tidak
dapat mengurangi cemas atau ketika klien membutuhkan alat yang
lebih canggih.
( Arif Muttaqin ; 2008 : 288-297 )
4. Pelaksanaan tindakan keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan
untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana
tindakan disusun dan ditujukan pada nursing oders untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2001 : 63). Pelaksanaan pada pasien dengan
cedera kepala sebagai berikut :
Diagnosa keperawatan 1: Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan
dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural
hematoma. Pelaksanaannya adalah : mengkaji faktor penyebab dari situasi/
keadaan individu/ penyebab koma/ penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan
penyebab peningkatan TIK. Memonitor tanda – tanda vital tiap 4 jam. mengevaluasi
pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya. Memonitor temperatur
dan pengaturan suhu lingkungan . Mempertahankan kepala/leher pada posisi yang
netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan batal yang tinggi pada
kepala. Memberikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya
prosedur. Mengurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase
punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan
suasana/pembicaraan yang tidak gaduh. Mencegah/hindarkan terjadinya valsava
manuver. Membantu klien jika batuk, muntah. Mengkaji peningkatan istirahat dan
tingkah laku. Melakukan palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan
drainase urine secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
Memberikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab akibat
TIK meningkat. Mengobservasi tingkat kesadaran GCS. Kolaborasi: Pemberian
O2 sesuai indikasi. Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam
intrakranial. Berikan cairan intravena sesuai indikasi. Berikan obat osmosisdiuretik,
contohnya : manitol, furoslide. Berikan steroid contohnya : Dexamethason,
methylprenidsolon. Berikan analgesik narkotik, contoh : kodein. Berikan antipiretik,
contohnya : asetaminofen. Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti
prothrombin, LED
Diagnosa keperawatan 2 : Ketidakefektifan pola pernapasan yang
berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot – otot pernapasan,
ekspansi paru yang tidak meksimal karen trauma, dan perubahan perbandingan
O2 dan CO2,kegagalan ventilator. Pelaksanaannya adalah : Memberikan posisi
yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang
sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin. Mengobservasi fungsi
pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
Menjelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps
paru – paru. Mempertahankan perilaku tenang,bantu klien untuk kontrol diri dengan
menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam. Periksalah alarm pada ventilator
sebelum difungsikan jangan mematikan alarm. Taruhlah kantung resusitasi
disamping tempat tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu – waktu dapat
digunakan. Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba – tiba
berhenti. Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin. Pengecekan
konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer
untuk menganalisis batas/kadar oksigen. Mengkaji tidal volume (10 – 15 ml/kg).
Periksa fungsi spirometer. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter,
radiologi dan fisioterapi.
Diagnosa keperawatan 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang
berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi
sekret dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Pelaksanaannya adalah : mengkaji keadaan jalan napas. Mengevaluasi pergerakan
dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral). Monitor letak posisi
endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan tube secara hati – hati dengan
memakai perekat khusus. Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan
mengatur posisi tube. Mencatat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara
alarm dari ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui
endotracheal/ tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi. Melakukan
pengisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau
lebih. Gunakan kateter penghisap yag sesuai, cairan fisiologis steril. Berikan oksigen
100 % sebelum dilakukan penghisapan dengan ambubag (hiperventilasi).
Menganjurkan klien teknik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas
panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi. Mengatur/ubah posisi klien secara
teratur (tiap 2 jam). Memberikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
Menjelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa terdapat
penumpukan sekret disaluran pernapasan. Mengajarkan klien tentang metode yang
tepat untuk pengontrolan batuk. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak
mungkin, lakukan pernapasan diafragma, tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian
secara perlahan, lahan keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut, lakukan napas
kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk. Mengajarkan klien tindakan untuk
menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat,
meningkatkan masukan cairan 1000-1500cc/hari bisa tidak ada kontraindikasi.
Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk. Melakukan fisioterapi
dada sesuai indikasi seperti postural drainase, perkusi / penepukan. Memberikan
obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti aminophilin, meta-protereno sulfat
(alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosal).
Diagnosa Keperawatan 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder. Pelaksanaannya adalah : menjelaskan
dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni dan non invasif.
Pelaksanaannya adalah : mengajarkan relaksasi.Teknik-teknik untuk menurunkan
ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga
tingkatkan relaksasi masase. Mengajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
Memberikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang
nyaman misalnya ketika tidur belakangnya dipasang bantal kecil. Meningkatkan
pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan
berlangsung. Mengobservasi tingkat nyeri dan respon motorik klien,30 menit setelah
pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektifitasnya serta setiap 1 – 2 jam
setelah tindakan perawatan selam 1 – 2 hari. Kolaborasi dengan dokter, pemberian
analgesik.
Diagnosa Keperawatan 5 : Cemas atau takut yang berhubungan dengan
krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri, takut mati/ketergantungan pada
alat bantu/ perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran, hubungan
interpersonal. Pelaksanaannya adalah : mengidentifikasi persepsi klien untuk
menggambarkan tindakan sesuai situasi. Monitor respon fisik seperti : Kelemahan,
perubahan tanda vital gerakan yang berulang-ulang, catat kesesuaian respons
verbal dan non verbal selama komunikasi. Menganjurkan klien dan keluarga untuk
mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya. Akuilah situasi yang
membuat cemas dan takut. Hindari perasaan yang tak berarti seperti mengatakan
semuanya akan menjadi baik. Mengidentifakasi/ kaji ulang bersama klien / keluarga
tindakan pengaman yang ada seperti kekuatan dan suplai oksigen, kelengkapan
suctioa emergency. Diskusikan arti dari bunyi alarm. Mencetak reaksi dari
klien/keluarga. Berikan kesempatan untuk mendiskusika perasaannya/konsentrasi
dan harapan masa depan. Identifikasi kemampuan koping klien/keluarga
sebelumnya dan mengontrol pengguanaannya. Mendemonstrasikan / anjurkan klien
untuk melakukan teknik relaksasi seperti mengatur pernapasan, menuntun dalam
berkhayal, relaksasi progresif. Menganjurkan aktivitas pengalihan perhatian sesuai
kemampua individu seperti menulis, menonton tv dan keterapilan. Kolaborasi ; Rujuk
ke bagian lain guna penanganan selanjutnya.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. (Nursalam, 2001 : 71).
Hasil evaluasi yang bisa didapatkan pada pasien dengan cedera kepala
sesuai dengan diagnosa keperawatan yang ada adalah sebagi berikut :
a. Pasien tidak mengalami peningkatan TIK yang ditandai dengan Klien tidak gelisah, klien
tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4, 5, 6,tidak terdapat papiledema,
TTV dalam batas normal.
b. Pola napas pasien kembali efektif yang ditandai dengan memperlihatkan frekuensi
pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas – gas pada paru, adaptif
mengatasi faktor – faktor penyebab.
c. Jalan napas pasien kembali efektif yang ditandai dengan bunyi napas terdengar bersih,
ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukan batuk yang efektif,
tidak ada lagi penumpukan sekret disaluran pernapasan.
d. Pasien secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di adaptasi, dapat
mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
e. Klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-cara yang sehat kepada
perawat, klien dapat mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan
perubahan koping yang digunakan sesaui situasi yang di hadapi, klien dapat mencatat
penurunan kecemasan/ketakutan di bawah standar, klien dapat rileks dan tidur/istirahat
dengan baik.

You might also like