You are on page 1of 35

ASUHAN KEPERAWATAN TONSILITIS

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah KMB

Dosen Pengampu

Kelompok 1 :
1. Afrizal Umardani
2. Muhammad Fahreza Ridhani
3. Silvi Ocsie Rosdyanti M.

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI NERS
2018

HALAMAN 1 Mata Kuliah : Nama : Tingkat/Semester : PROGRAM PROFESI NERS

JUDUL Disetujui
LAPORAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN ASMA
Clinical Instructure Clinical Teacher

PENDAHULUAN
………………………………………….. ………………………………..

A. Definisi
Menurut Global initiatif for Asthma (2018), Asma adalah suatu masalahkesehatan dunia yang dapat berpengaruh pada semua usia. Penyakit ini adalah
penyakit heterogen yang ditandai inflamasi kronik seluran napas, dengan gejala sesak napas, mengi, dada terasa berat, batuk semakin memberat dan keterbatasan
aliran udara ekspirasi.
Asma adalah penyakit inflamasi kronik pada jalan napas yang di karakteristikkan dengan hiperresponsivitas,edema mukosa dan produksi mukus.
Inflamasi ini pada akhirnya berkembang menjadi episode gejala asma yang berulang (Smeltzer, 2018). Menurut Guo et al (2018) Asma adalah peradangan kronis
reaksi mediasi oleh sel T CD4+ yang bekerja terutama pada eosinofil.
Asma merupakan gangguan inflamasi pada jalan nafas yang ditandai oleh obstruksi aliran udara nafas dan respons jalan nafas yang berlebihan terhadap
berbagai bentuk rangsangan. Obstruksi jalan nafas yang menyebar luas tetapi bervariasi ini di sebabkan oleh bronkospasme,edema mukosa jalan nafas dan
peningkatan produksi mukus (lendir) di sertai penyumbatan (plugging) serta remodeling jalan napas (Kowalak,J., 2014).

B. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi fisiologi sistem pernapasan
a. Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di
dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.
b. Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga
hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain adalah ke atas berhubungan dengan rongga hidung, dengan
perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2
lubang (ke depan lubang laring dan ke belakang lubang esofagus).

c. Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai ketinggian
vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yang biasanya disebut
epiglotis, yang terdiri dari tulang-9 tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring.
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang
berbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar.
Panjang trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat yang dilapisi oleh otot polos.
e. Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai
struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru.Bronkus
kanan lebih pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari
yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang.Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus (bronkioli). Pada
bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli.
f. Paru-paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari sel-sel
epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m². Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2
dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan). Paru-paru dibagi dua yaitu paru-
paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belahan paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru
kiri, terdiri dari pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai
10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, dan 5 buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada
lobus superior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3 buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-
belahan yang bernama lobulus. Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf,
dan tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang ini disebut duktus11 alveolus. Tiap
duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm. Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga
dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus
oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang
langsung membungkus paru-paru. Kedua pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara keadaan normal, kavum pleura ini
vakum (hampa) sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaanya
(pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernapas.

2. Proses terjadi pernapasan


Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan udara ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Jadi, dalam paru-
paru terjadi pertukaran zat antara oksigen yang ditarik dan udara masuk kedalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah secara osmosis. Kemudian CO2
dikeluarkan melalui traktus respiratorius (jalan pernapasan) dan masuk kedalam tubuh melalui kapiler-kapiler vena pulmonalis kemudian massuk ke serambi
kiri jantung (atrium sinistra) menuju ke aorta kemudian ke seluruh tubuh (jaringan-jaringan dan sel- sel), di sini terjadi oksidasi (pembakaran). Sebagai sisa
dari pembakaran adalah CO2 dan dikeluarkan melalui peredaran darah vena masuk ke jantung (serambi kanan atau atrium dekstra) menuju ke bilik kanan
(ventrikel dekstra) dan dari sini keluar melalui arteri pulmonalis ke jaringan paru-paru. Akhirnya dikeluarkan menembus lapisan epitel dari alveoli.. Jadi
proses respirasi atau pernapasan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara rongga pleura dan paru-paru. Pernapasan dada, pada waktu seseorang
bernapas, rangka dada terbesar bergerak, pernapasan ini dinamakan pernapasan dada. Ini terdapat pada rangka dada yang lunak, yaitu pada orang-orang muda
dan pada perempuan. Pernapasan perut, jika pada waktu bernapas diafragma turun naik, maka ini dinamakan pernapasan perut. Kebanyakan pada orang tua,
Karena tulang rawannya tidak begitu lembek dan bingkas lagi yang disebabkan oleh banyak zat kapur yang mengendap di dalamnya dan banyak ditemukan
pada laki-laki.

3. Fisiologi sistem pernapasan


Oksigen dalam tubuh dapat diatur menurut keperluan. Manusia sangat membutukan okigen dalam hidupnya, kalau tidak mendapatkan oksigen selama
4 menit akan mengakibatkan kerusakan pada otak yang tidak dapat diperbaiki lagidan bisa menimbulkan kematian. Kalau penyediaan oksigen berkurang akan
menimbulkan kacau pikiran dan anoksia serebralis.
a. Pernapasan paru
Pernapasan paru adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada paru-paru. Pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna,
oksigen diambil melalui mulut dan hidung pada waktu bernapas yang oksigen masuk melalui trakea sampai ke alveoli berhubungan dengan darah dalam
kapiler pulmonar. Empat proses yang berhubungan dengan pernapasan pulmoner:
1) Ventilasi pulmoner, gerakan pernapasan yang menukar udara dalam alveoli dengan udara luar.
2) Arus darah melalui paru-paru, darah mengandung oksigen masuk ke seluruh tubuh, karbondioksida dari seluruh tubuh masuk ke paru-paru.
3) Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian rupa dengan jumlah yang tepat, yang bisa dicapai untuk semua bagian.
4) Difusi gas yang menembus membran alveoli dan kapiler karbondioksida lebih mudah berdifusi dari pada oksigen.
Proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi ketika konsentrasi dalam darah mempengaruhi dan merangsang pusat pernapasan terdapat
dalam otak untuk memperbesar kecepatan dalam pernapasan, sehingga terjadi pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 lebih banyak. Darah merah
(hemoglobin) yang banyak mengandunng oksigen dari seluruh tubuh masuk ke dalam jaringan, mengambil karbondioksida untuk dibawa ke paru-paru dan
di paru-paru terjadi pernapasan eksterna.16
b. Pernapasan sel
Transpor gas paru-paru dan jaringan Selisih tekanan parsial antara O2 dan CO2 menekankan bahwa kunci dari pergerakan gas O2 mengalir dari
alveoli masuk ke dalam jaringan melalui darah, sedangkan CO2 mengalir dari jaringan ke alveoli melalui pembuluh darah.Akan tetapi jumlah kedua gas
yang ditranspor ke jaringan dan dari jaringan secara keseluruhan tidak cukup bila O2 tidak larut dalam darah dan bergabung dengan protein membawa O2
(hemoglobin). Transpor oksigen melalui beberapa tahap yaitu :
1) Tahap I : oksigen atmosfer masuk ke dalam paru-paru. Pada waktu kita menarik napas tekanan parsial oksigen dalam atmosfer 159 mmHg. Dalam
alveoli komposisi udara berbeda dengan komposisi udara atmosfer tekanan parsial O2 dalam alveoli 105 mmHg.
2) Tahap II : darah mengalir dari jantung, menuju ke paru-paru untuk mengambil oksigen yang berada dalam alveoli. Dalam darah ini terdapat oksigen
dengan tekanan parsial 40 mmHg.
3) Tahap III : oksigen yang telah berada dalam pembuluh darah diedarkan keseluruh tubuh. Ada dua mekanisme peredaran oksigen dalam darah yaitu
oksigen yang larut dalam plasma darah yang merupakan bagian terbesar dan sebagian kecil oksigen yang terikat pada hemoglobin dalam darah. Derajat
kejenuhan hemoglobin dengan O2 bergantung pada tekanan parsial CO2 atau pH. Jumlah O2 yang diangkut ke jaringan bergantung pada jumlah
hemoglobin dalam darah.
4) Tahap IV : sebelum sampai pada sel yang membutuhkan, oksigen dibawa melalui cairan interstisial lebih dahulu. Tekanan parsial oksigen dalam cairan
interstisial 20 mmHg. Perbedaan tekanan oksigen dalam pembuluh darah arteri (100 mmHg) dengan tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial
(20 mmHg) menyebabkan terjadinya difusi oksigen yang cepat dari pembuluh kapiler ke dalam cairan interstisial.
5) Tahap V : tekanan parsial oksigen dalam sel kira-kira antara 0- 20 mmHg. Oksigen dari cairan interstisial berdifusi masuk ke dalam sel. Dalam sel
oksigen ini digunakan untuk reaksi metabolisme yaitu reaksi oksidasi senyawa yang berasal dari makanan (karbohidrat, lemak, dan protein)
menghasilkan H2O, CO2 dan energi (Syaifuddin, 2006).

C. Klasifikasi Asma
National Hearth, Lung and Blood Institute pada National Institutes of Health mengidentifikasi empat tingkat intensitas asma berdasarkan frekuensi
timbulnya gejala serta eksaserbasi, efeknya pada tingkat aktivitas dan hasil pemeriksaan faal paru. Keempat tingkat atau level intensitas tersebut adalah :
(Kowalak,J. 2014)
1. Penyakit asma intermiten ringan
a. Keluhan dan gejala asma terjadi kurang dari dua kali per minggu
b. Pasien tampak asimptomatik disertai PEF (Peak expiratory flow) normal di antara seangan eksaserbasi
c. Eksaserbasi singkat (selama beberapa jam hingga beberapa hari) dengan intensitas bervariasi
d. Keluhan dan gejala pada malam hari terjadi kurang dari dua kali per bulan
e. Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan PEF melebihi 80% nilai normal, PEF dapat bervariasi dengan kisaran kurang dari 20%
2. Penyakit asma persisten ringan
a. Keluhan dan gejala asma terjadi lebih dari dua kali per minggu tetapi kurang dari satu kali per hari eksaserbasi dapat mempengaruhi aktivitas pasien
b. Keluhan dan gejala pada malam hari terjadi lebih dari dua kali per bulan
c. Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan PEF melebihi 80% nilai normal, PEF dapat bervariasi dengan kisaran 20% hingga 30%
3. Penyakit asma persisten sedang
a. Keluhan dan gejala asma terjadi tiap hari
b. Eksaserbasi terjadi lebih dari dua kali per minggu dan fdapat berlangsung selama berhari hari eksaserbasi dapat mempengaruhi aktivitas pasien
c. Terapi bronkodilator di gunakan setiap hari
d. Keluhan dan gejala pada malam hari terjadi lebih dari satu kali per minggu
e. Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan PEF sebesar 60% hingga 80% nilai normal, PEF dapat bervariasi dengan kisaran melebih 30%
4. Penyakit asma persisten berat
a. Keluhan dan gejala asma terjadi secara terus menerus
b. Eksaserbasi sering terjadi dan membatasi aktivitas pasien
c. Keluhan dan gejala pada malam hari sering terjadi
d. Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan PEF kurang dari 60% nilai normal, PEF dapat bervariasi dengan kisaran melebih 30%

D. Etiologi
Asma dapat terjadi karena kepekaan seseorang terhadap allergen ekstrinsik ataupun intrinsik. Baik ekstrinsik maupun atopic, serangan asma di mulai
pada masa kanak-kanak. Secara khas, pasien memiliki kepekaan terhadap allergen eksternal tertentu. Pasien asma yang intrinsik ataupun nonatopik bereaksi
terhadap faktor-faktor internal non allergen, substansi eksternal tidak terlibat pada pasien asma intrinsik. Sebagian besar episode asma terjadi sesudah infeksi
saluran nafas yang berat khususnya pada dewasa. Akan tetapi banyak pula pasien asma, khususnya anak-anak menderita asma intrinsik maupun ekstrinsik. Orang
dewasa dalam jumlah yang signifikan mendapat serangan asma bentuk alergi atau eksaserbasi asma yang sudah ada setelah terpajan benda-benda tertentu di
tempat kerjanya (Kowalak,J. 2014).
Dalam paru manusia terdapat bakteri filum, termasuk Actinobacteria, Bacteroidetes, Firmicutes, dan Proteobacteria, bahkan pada subyek sehat (Segal,
LN. 2014). Mirip dengan usus, mikrobioma paru berubah dengan cepat pada tahun pertama hidup, sebelum mulai stabil (Bisgaard,H. 2009). Kolonisasi terjadi
secara bertahap pada anak-anak yang sehat, dimulai dengan Staphylococcus atau Corynebacterium, diikuti oleh Moraxella atau Alloiococcus (Teo,SM. dalam
Pascal,M. 2018)
Berikut ini merupakan penyebab serangan asma yang di bedakan dari allergen intrinsik dan ekstrinsik (Kowalak,J. 2014) :
Alergen Ekstrinsik meliputi :
1. Polen (tepun sari bunga)
2. Bulu binatang
3. Debu rumah atau kapang
4. Bantal kapuk atau bulu
5. Zat aditif pangan yang mengandung sulfit
6. Zat lain yang menimbulkan sensitisasi

Alergen Intrinsik meliputi :


1. Iritan
2. Stress emosi
3. Kelelahan
4. Perubahan endokrin
5. Perubahan suhu
6. Perubahan kelembapan
7. Pajanan asap yang berbahaya
8. Kecemasan
9. Batuk atau tertawa
10. Faktor genetic

E. Manifestasi Klinis
Menurut buku Smeltzer (2018) :
1. Gejala asma paling umum adalah batuk (dengan atau tanpa disertai produksi mukus), dispnea, dan mengi (pertama-tama pada ekspirasi, kemudian bisa juga
terjadi selama inspirasi).
2. Serangan asma paling sering terjadi pada malam hari atau pagi hari.
3. Eksaserbasi asma sering kali didahului oleh peningkatan gejala selama berhari-hari, namun dapat pula terjadi seeara mendadak.
4. Sesak dada dan dispnea.
5. Diperlukan usaha untuk melakukan ekspirasi dan ekspirasi memanjang.
6. Seiring proses eksaserbasi, sianosis sentral sekunder akibat hipoksia berat dapat teiadi.
7. Gejala tambahan, seperti diaforesis, takikardia, dan pelebaran tenakanan nadi mungkin dijumpai pada pasien asma.
8. Asma yang disebabkan oleh latihan fisik gejala maksimal selama menjalani latihan fisik, tidak terdapat gejala pada malam hari, dan terkadang hanya muncul
gambaran sensasi seperti “tercekik” selama menjalani latihan fisik.
9. Reaksi yang parah dan berlangsung terus-menerus, yakni status asmatikus, bisa saja terjadi. Kondisi ini dapat menancam kehidupan.
10. Eksema, ruam, dan edema temporer merupakan reaksi alergi yang biasanya menyertai asma.
Manifestasi Klinis dan Perubahan Gas Darah Arteri yang Menyertai :

Pasien dapat mengalami serangan asma berulang dengan awitan mendadak (dalam waktu beberapa menit) atau bertahap (dalam waktu beberapa jam atau hari). Dan
berikut manifestasi klinis dan perubahan gas yang menyertai dapat di lihat pada tabel.

Kerangka pH PaCO2 PaO2 Manifestasi Klinis


Waktu
Episode Awal ↑ ↓ ↓ Dispnea, batuk, dada terasa
Atau Atau terhimpit, mengi, ekspirasi
normal normal memanjang, penggunaan
otot aksesori, takikardia

Episode Keletihan, Dispnea semakin


lanjutan berat sehingga bicara pasien
terputus-putus atau dalam
satu kata, suara nafas kasar
karena edema jalan nafas.
Serangan ↓ ↑ ↓ Kelelahan, bunyi nafas
berkepanjangan berkurang karena obstruksi
atau status berat, perubahan tingkat
asmatikus kesadaran karena
hiperkapnea

F. Patofisiologi
Bronkus dan Bronkiolus mengandung otot polos dan di lapisi dengan kelenjar penyekresi mukosa dan sel bersilia. Dekat dengan suplai darah jalan napas
terdapat jumlah sel mast yang banyak (Nair,M. 2015). Pada asma dinding bronkus mengadakan reaksi yang berlebihan terhadap berbagai ransangan sehingga
terjadi spasme otot polos yang periodik dan menimbulkan konstriksi jalan nafas berat (Kowalak,J. 2014).
Respon imun dimulai dengan masuknya alergen kedalam seluran nafas akan ditangkap oleh sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen (Antigen
Persenting Cell/APC). Antigen diproses di dalam APC dan dipersentingkan kepada sel limfosit T dengan bantuan Mayor histocompatibility (MHC) kelas II,
limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi dan berdiffrensiasi ke profil Th2. Subtipe Th2 ini merupakan subtipe utama yang terlibat pada asma,
mensekresi berbagai sitokine yang bertanggung jawab bagi berkembangnya reaksi tipe lambat atau cell- mediated hypersensitivity reaction (National Heart Lung
and Blood Institute. 2002). Rangsangan interleukin 4 dan interleukin 13 dari Th2, akan memacu sel limfosit B untuk mensintesa IgE. IgE akan dilepas limfosit B
dan melekat pada high affiniting IgE reseptors (FceRI) pada permukaan sel mast. Bila alergen yang sama masuk lagi maka akan diikat oleh IgE dipermukaan sel
mast (Ardinata,D. 2014).
Pada pajanan selanjutnya dengan antigen tersebut, sel-sel mast mengalami degranulasi dan melepaskan mediator. Sel-sel mast dalam jaringan interstisial
paru akan teransang untuk melepaskan histamine dan leukotrien. Histamin terikat pada tempat-tempat reseptor dalam bronkus yang besar tempat substansi ini
menyebabkan pembekakan pada otot polos. Membrane mukosa mengalami inflamasi, iritasi dan pembengkakan. Pasien dapat mengalami dyspnea, ekspirasi
yang memanjang dan frekuensi respirasi yang meningkat (Kowalak,J. 2014). Dengan adanya gejala tersebut akan muncul diagnosa keperawatan ketidakefektifan
pola nafas.
Leukotrien melekat pada tempat reseptor dalam bronkus yang lebih kecil dan menyebabkan pembekakan lokal otot polos. Leukotrien juga menyebabkan
prostalglandin bermigrasi melalui aliran darah ke dalam paru-paru dan dalam organ ini, prostalglandin meningkatkan efek kerja histamine. Bunyi mengi bisa
terdengar saat batuk. Histamin menstimulus membran mukosa untuk menyekresi mukus secara berlebihan dan selanjutnya membuat lumen bronkus menjadi
sempit. Peningkatan produksi mukus akan menyebabkan muncul diagnose keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas dan Gangguan pemenuhan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh.
Pada saat inspirasi lumen bronkus yang sempit masih dapat sedikit mengembang sehingga udara dapat masuk ke dalam alveoli. Pada saat ekspirasi,
peningkatan tekanan intratorakal menyebabkan penutupan total lumen bronkus. Udara bisa masuk,tetapi tidak bisa keluar. Dada pasien akan mengembang (barrel
chest) sementara pada perkusi dada di dapatkan bunyi hipersonor (Kowalak,J. 2014).
Mukus akan mengisi dasar paru dan menghalangi ventilasi alveoli. Darah di pintas ke dalam alveoli pada bagian paru yang lain tetapi pemintasan ini
masih tidak mampu mengimbangi penurunan ventilasi. Hiperventilasi dipicu oleh reseptor paru-paru untuk meningkatkan volume paru dan disebabkan oleh
udara yang terperangkap serta obstruksi jalan nafas. Tekanan gas intrapleural serta alveolar meningkat dan peningkatan ini menyebabkan penurunan perfusi pada
alveoli paru. Hipoksia memicu hiperventilasi melalui stimulus pusat pernafasan yang selanjutnya akan menurunkan tekanan parsial karbon dioksida arteri
(PaCO2) dan meningkatkan pHsehingga terjadi alkalosis respiratorik. Pasien akan mengalami pernafasan cepat dan dalam, kepala terasa pening akibat penurunan
aliran darah serebral, agitasi, Spasme Karpopedal dan kelemahan otot (Kowalak,J. 2014). Adanya gejala-gejala ini akan memunculkan diagnosa keperawatan
yaitu Gangguan pertukaran gas, Gangguan ADL, Ansietas dan kurangnya pengetahuan.
Seiring semakin berat obstruksi jalan nafas, semakin banyak pula alveoli paru yang tersumbat. Ventilasi dan perfusi tetap tidak adekuat dan terjadilah
retensi karbondioksida. Akibatnya akan timbul asidosis respiratorik dan akhirnya pasien mengalami gagal nafas.

Gambar 1. Patogenesa Asma


Gambar 2. Bronkiolus Normal dan Bronkiolus yang Tersumbat

Gambar 3. Pemicu Sel mast dan hasil pembebasan mediator


(Chapel,H. 2009)

G. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penyakit asma meliputi (Kowalak,J. 2014) :
1. Status asmatikus
Jika terjadi status asmatikus, keadaan hipoksia menjadi semakin berat dan bahkan aliran serta volume udara pada saat ekspirasi akan mengalami penurunan
lebih lanjut. Apabila penanganan keadaan ini tidak segera di mulai pasien akan mulai mengalami keletihan.
2. Gagal Nafas (respiratory failure)
Ventilasi dan perfusi tetap tidak adekuat dan terjadilah retensi karbondioksida. Akibatnya akan timbul asidosis respiratorik dan akhirnya pasien mengalami
gagal nafas.
H. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik primer fungsi paru untuk asma adalah spirometri. Spirometri mengukur volume maksimal udara yang di hembuskan dengan
kuat dan cepat oleh pasien sesudah inhalasi makasimal (forced vital capacity FVC) dan volume maksimal udara yang dapat dihembuskan pasien pada detik
pertama FVC (forced expiratory volume in 1 second, FEV). Tujuan menggunakan spirometri adalah mengkaji derajat obstruksi aliran nafas pasien (yang di
manefestasikan oleh penurunan FEV dan rasio FEV terhadap FVC) dan mengukur tingkat obstruksi aliran udara yang di bandingkan dengan nilai normal yang di
prediksikan ( perbaikan FEV sebesar 12% dan 200 ml di harapkan terjadi setelah pemberian terapi bronkodilator, seperti misalnya pada obstruksi jalan nafas
reversibel) (Kerstjen,H dalam Chang, Esther. 2010).
Spirometri umumnya lebih di anjurkan daripada pengukuran dengan peak flow meter (Ladebauche,P dalam Chang, Esther. 2010). peak flow meter
merupakan alat yang di pakai di rumah. Alat ini digunakan untuk mendeteksi dan mengukur variasi nilai puncak pasien dari nilai aliran puncak terbalik yang di
harapkan dapat menunjukkan keberadaan dan tingkat obstruksi aliran udara sebagai suatu alat bantu untuk penatalaksanaan mandiri.
Pemeriksaan diagnostik tambahan tidak rutin di lakukan untuk menegakkan diagnosis asma. Namun, beberapa pemeriksaan lain dapat di
pertimbangkan mengingat tidak ada pemeriksaan tunggal yang tepat untuk semua pasien. Pemeriksaan berikut mungkin berguna seperti sinar X dada, bronchial
challenge test (mis histamine, metakolin, salin hipertonik) dan uji alergi menggunakan skin prick test atau radioallergoabsorbent test (RAST) (Kerstjen,H dalam
Chang, Esther. 2010).

I. Penatalaksanaan
Menurut buku Smeltzer (2018) :
1. Penatalaksanaan Medis
Terdapat 2 golongan medikasi-medikasi kerja cepat dan control kerja lambat maupun produk kombinasi.
a. Agonis adrenergic-beta2 kerja pendek
b. Antikolinergik.
c. Kortikosteroid: inhaler dosis terukur (MDI).
d. Inhibitor pemodifikasi leukotriene/antileukotrin.
e. Metilxantin.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penalaksanaan keperawatan yang harus segera dilakukan pada pasien bergantung pada tingkat keparahan gejala. Pasien dan keluarga kerap merasa takut dan
cemas karena sesak napas yang dialami pasien. Oleh sebab itu, pendekatan yang tenang merupakan aspek yang penting di dalam asuhan.
a. Kaji status respirasi pasien dengan memonitor tingkat keparahan gejala, suara napas, peak flow, oksimetri nadi dan tanda-tanda vital.
b. Kaji riwayat reaksi alergi terhadap obat sebelum memberikan medikasi.
c. Identifikasi medikasi yang tengah digunakan oleh pasien.
d. Berikan medikasi sesuai yang diresapkan dan monitor respons pasien terhadap medikasi tersebut medikasi mungkin mencakup antibiotik jika pasien telah
lebih dulu mengalami infeksi pernapasan.
e. Berikan terapi cairan jika pasien mengalami dehidrasi
f. Bantu prosedur intubasi, jika diperlakukan.
I. Pathway
J. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian mengenai nama, umur, dan jenis kelamin perlu dilakukan pada klien dengan asma. Serangan asma pada usia dini memberikan implikasi
bahwa sangat mungkin terdapat suatu atopic. Serangan pada usia dewasa dimungkinkan adanya factor non-atopik. Tempat tinggal menggambarkan kondisi
lingkungan tempat klien berada. Berdasarkan alamat tersebut, dapat diketahui pula faktor yang memungkinkan menjadi pencetus serangan asma. Pekerjaan
serta suku bangsa juga perlu dikaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan allergen. Hal lain yang perlu dikaji dari identitas klien ini adalah tanggal
masuk rumah sakit (MRS), nomor rekam medis, asuransi kesehatan, dan diagnostic medis. Keluhan utama meliputi sesak napas, bernapas terasa berat pada
dada, dan adanya keluhan sulit bernapas.

2. Riwayat Saat Ini


Klien dengan serangan asma datang mencari pertolongan terutama dengan keluhan sesak napas yang hebat dan mendadak, kemudian diikuti dengan
gejala-gejala lain seperti wheezing, penggunaan otot bantu pernapasan, kelelahan, gangguan kesadaran, sianosis, dan perubahan tekanan darah.
Serangan asma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi 3 stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini
terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronchus. Stadium kedua ditandai dengan batuk
disertai mucus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak napas, berusaha untuk bernapas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing).
Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, tampak pucat, gelisah, dan wana kulit mulai membiru. Stadium ketiga ditandai
dengan hamper tidak terdengarnya suara napas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk, pernapasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama pernapasan
meningkat karena asfiksia. Perawat perlu mengkaji obat-obatan yang biasa diminum klien dan memeriksa kembali setiap jenis obat apakah masih relevan
untuk digunakan kembali.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti adanya infeksi saluran pernapasan atas, sakit tenggorokan, amandel, sinusitis, dan polip
hidung. Riwayat seranganasma, frekuensi waktu, dan alergen-alergen yang dicurigai sebagai pencetus serangan, serta riwayat pengobatan yang dilakukan
untuk meringankan gejala asma
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada klien dengan serangan asma perlu dikaji tentang riwayat penyakit asma atau penyakit alergi yang lain pada anggota keluarganya karena
hipersensitivitas pada penyakit asma ini lebih ditentukan oleh factor genetic dan lingkungan (Hood Alsagaf, 1993).

5. Pengkajian Psiko-sosio-kultural
Kecemasan dan koping yang tidak efektif sering didapatkan pada klien dengan asma bronkhial. Status ekonomi berdampak pada asuransi kesehatan
dan perubahan mekanisme peran dalam keluarga. Gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu pencetus bagi serangan asma baik gangguan itu
berasal dari rumah tangga, lingkungan sekitar, sampai lingkungan kerja. Seseorang dengan beban hidup berat lebih berpotensial mengalami serangan asma.
Berada dalam keadaan yatim piatu, mengalami ketidakharmonisan hubungan dengan orang lain, sampai mengalami ketakutan tidak dapat menjalankan
peranan seperti semula.

6. Pola Resepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat


Gejala asma dapat membatasi manusia untuk berprilaku hidup normal sehingga klien dengan asma harus mengubah gaya hidupnya sesuai kondisi yang
tidak akan menimbulkan serangan asma.

7. Pola Hubungan dan Peran


Gejala asma sangat membatasi klien untuk menjalani kehidupannya secara normal. Klien perlu menyesuaikan kondisi dengan hubungan dan peran
klien, baik di lingkungan rumah tangga, masyarakat, ataupun lingkungan kerja serta perubahan peran yang terjadi setelah klien mengalami serangan asma.

8. Pola Presepsi dan Konsep Diri


Perlu dikaji tentang persepsi klien terhadap penyakitnya. Persepsi yang salah dapat menghambat respons kooperatif pada diri klien. Cara memandang
diri yang salah juga akan menjadi stressor dalam kehidupan klien. Semakin banyak stressor yang ada pada kehidupan klien dengan asma dapat meningkatkan
kemungkinan serangan asma berulang.
9. Pola Penanggulangan Stress
Stres dan keteganga emosional merupakan faktor instrintik pencetus serangan asma. Oleh karena itu, perlu dikaji penyebab terjadinya stres. Frekuensi
dan pengaruh stres terhadap kehidupan klien serta cara penanggulangan terhadap stresor.

10. Pola Sensorik dan Kognitif


Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan memengaruhi konsep diri klien dan akhirnya memengaruhi jumlah stressor yang dialami klien sehingga
kemungkinan terjadi serangan asma berulang pun semakin tinggi.

11. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan


Kedekatan klien pada sesuatu yang diyakininya di dunia dipercaya dapat meningkatkan kekuatan jiwa klien. Keyakinan klien terhadap Tuhan dan
mendekatkan diri kepada-Nya merupakan metode penanggulangan stres yang konstruktif.

12. Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan umum
Perawat juga perlu mengkaji tentang kesadaran klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara, denyut nadi, frekuensi pernapasan yang
meningkat, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, sianosis, batuk dengan lendir lengket, dan posisi istirahat klien.
b. B1 (Breathing)
1) Inspeksi
Pada klien asma terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada terutama untuk
melihat postur bentuk dan kesimetrisan, adanya peningkatan diameter antroposterior, retraksi otot-otot interkostalis, sifat dan irama pernapasan, dan
frekuensi pernapasan.
2) Palpasi
Pada palpasi biasanya kesimetrisan, ekpansi, dan taktil fremitus normal
3) Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah
4) Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan eksprirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3 kali inspirasi, dengan bunyi napas tambahan
utama wheezing pada akhir ekspirasi.
c. B2 (Blood)
Perawat perlu memonitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT
d. B3 (Brain)
Pada saat inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji. Di samping itu, diperlukan pemeriksaan GCS, untuk menentukan tingkat kesadaran klien apakah
compos mentis, somnolen atau koma.
e. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine perlu dilakukan karena berkaitan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor ada tidaknya oliguria,
karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
f. B5 (Bowel)
Perlu juga dikaji tentang bentuk, turgor, nyeri, dan tanda-tanda infeksi, mengingat hal-hal tersebut juga dapat merangsang serangan asma. Pengkajian
tentang status nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi, dan kesulitan-kesulitan dalam kebutuhan memenuhi kebutuhannya. Pada klien dengan sesak napas,
sangat potensial terjadi kekurangan pemenuhan kebutuhan nutrisi, hal ini karena terjadi dipsnea saat makan, laju metabolism, serta kecemasan yang
dialami klien.
g. B6 (Bone)
Dikaji adanya edema ekstremitas, tremor, dann tanda-tanda insfeksi pada ekstremitas karena dapat merangsang serangan asma. Pada integument perlu
dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, mengelupas dan bersisik, perdarahan, pruritus, eksim, dan
adanya bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis. Pada rambut, dikaji warna rambut, kelembaban, dan kusam. Perlu dikaji pula tentang bagaimana tidur
dan istirahat klien yang meliputi berapa lama klien tidur dan istirahat, serta berapa besar akibat kelelahan yang dialami klien. Adanya wheezing, sesak,
dan ortopnea dapat memengaruhi pola tidur dan istirahat klien.
Perlu dikaji pula tentang aktivitas keseharian klien seperti olahraga, bekerja, dan aktivitas lainnya. Aktivitas fisik juga dapat menjadi factor pencetus
asma yang disebut dengan exerce induced asma.
13. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)
Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol golongan adrenergic, Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih dari
20% menunjukkan diagnosis asma.
b. Tes Provokasi Bronkhus
Tes ini dilakukan pada Spirometri internal. Penurunan FEV sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90% dari maksimum
dianggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 10% atau lebih.

14. Pemeriksaan Kulit


Untuk menunjukkan adanya antibody lgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.

15. Pemeriksaan Laboratorium


a. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik.
b. Sel eosinophil
Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm3baik asma intrinsic ataupun ekstrinsik, sedangkan hitung sel eosinopfil
normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukan pengobatan telah tepat.

16. Pemeriksaan Radiologi


Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma bronchial biasanya normal, tetapi prosedur ini harus tetap dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain.

17. Penatalaksanaan Medis


a. Pengobatan Nonfarmakologi
1) Penyuluhan. Penyuluhan ini ditujukan untuk peningkatan pengetahuan klien tantang penyakit asma sehingga klien secara sadar menghindari faktor-
faktor pencetus, menggunakan obat secara benar, dan berkonsultasi pada tim kesehatan.
2) Menghindari faktor pencetus. klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asma yang ada pada lingkungannya, diajarkan cara
menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk intake cairan yang cukup bagi klien.
3) Fisioterapi, dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus, ini dapat dilakukan dengan postural drainase, perkusi, dan fibrasi dada.
b. Pengobatan Farmakologi
1) Agonis Beta: metaproterenol (alupent, metrapel). Bentuknya aerosol, bekerja sangat cepat, diberikan sebanyak 3-4 x semprot, dan jarak antara
semprotan pertama dan kedua adalah 10 menit.
2) Metilxantin, dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4 x sehari. Golongan metixantin adalah aminofilin dan teofilin. Obat ini diberikan bila golongan
beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan.
3) Kortikosteroid. Jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol
dengan dosis 4 x semprot tiap hari. Pemberian streoid dalam jangka yang lama mempunyai efek samping, maka klien yang mendapat steroid dalam
jangka yang lama mempunyai efek samping, maka klien yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi ketat.
4) Kromolin dan Iprutropioum bromide (atroven). Kromolin merupakan obat pencegah asma khususnya untuk anak-anak. Dosis Iprutropium Bromide
diberikan 1-2 kapsul 4 x sehari (Kee dan Hayes, 1994).

18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
B. Diagnosis Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas b.d aliran darah ke alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar, kapiler (atelaktasis, kolaps jalan napa/
alveolar edema paru/ efusi, sekresi berlebihan/ perdarahan aktif
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d iskemik, kerusakan otot jantung, penyempitan/ penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria
c. Nyeri akut b.b iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri ditandai dengan penurunan curah jantung
d. Penurunan curah jantung b.d perubahan faktor-faktor listrik, penurunan karakteristik miokard
e. Intoleransi aktivitas b.d keseimbangan antara suplay oksigen miokard dan kebutuhan, adanya iskemia/nekrosis jaringan miokard
f. Ansietas b.d ancaman aktual terhadap integritas biologis
g. Defisiensi pengetahuan b.d kurangnya informasi tentang fungsi jantung/ implikasi penyakit jantung

Sumber Referensi :

Acute myocardial infarction, the new England jurnal of medicine 2017


Bararah, Jauhar. 2013. ASUHAN KEPERAWATAN Panduan Lengkap Menjadi Perawat Profesional. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC.
Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C.. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
M. Black. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika
Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., Setiowulan, W., Tiara, A. D., Hamsah, A., Patmini, E., Armilasari, E.,Yunihastuti, E., Madona, F.,
Wahyudi, I., Kartini, Harimurti, K., Nurbaiti, Suprohaita, Usyinara, & Azwani, W. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FK UI.
Murray, Robert K. 2017. Biokimia Harper Edisi 29.Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Jakarta : MediAction Publishing.
Wilkinson, 2010. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Jakarta : EGC.
Prabowo, Pranata. 2014. Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.Yogyakarta : Nuha Medika.
Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3. Edisi 8. Jakarta : EGC
HALAMAN 1
MODEL KONSEP ASKEP MENURUT NANDA NIC NOC

PENGKAJIAN DIAGNOSA KEPERAWATAN PERENCANAAN EVALUASI (KRITERIA


KEBERHASILAN)
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer Managemensensaiperifer S:
berhubungan dengan iskemik, kerusakan 1. Monitor adanya daerah tertentu yang  Klien dapat berkomunikasi
otot jantung penyempitan / penyumbatan hanya peka terhadap dengan jelas
pembuluh darah arteri koronaria panas/dingin/tajam/tumpul  Klien menunjukan perhatian,
2. Monitor adanya paratase konsentrasi dan orientasi
3. Instruksikan keluarga untuk
mengobservasi kulit jika ada lesi atau O:
laserasi  Tekanan sistol dan diastole
4. Gunakan sarung tangan untuk proteksi dalam rentang yang
5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan diharapkan
punggung  Tidak ada ortostatik
6. Monitor kemampuan BAB hipertensi
7. Kolaborasi pemberian analgetik  Tidak ada tanda
8. Monitor adanya tanda trombo plebitis tromboplebitis
9. Diskusikan mengenai penyebab
perubahan sensai A: Masalah teratasi Sebagian

P: Lanjutkan Intervensi
HALAMAN 2
MODEL KONSEP ASKEP MENURUT Nursing Interventations Classification (NIC)
PENGKAJIAN DIAGNOSA KEPERAWATAN PERENCANAAN EVALUASI (KRITERIA
KEBERHASILAN)
Nyeri akut berhubungan dengan Pain Management S:
iskemia jaringan sekunder terhadap 1. Lakukan pengkajian nyeri secara  Klien mampu mengontrol
sumbatan arteri ditandai dengan: komperhensif termasuk lokasi, nyeri (tahu penyebab,
penurunan curah jantung karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas mampu menggunakan
dan factor presipitasi teknik nonfarmakologi
2. Observasi reaksi nonverbal dari
untuk mengurangi nyeri)
ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik  Klien mengatakan bahwa
untuk mengetahui pengalaman nyeri nyeri berkurang
pasien O:
4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon  Klien tampak tenang
nyeri
5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau A: masalah teratasi sebagian
6. Evaluasi bersama pasien dan tim
kesehatan lain tentang ketidak efektifan P: Lanjutkan intervensi
control nyeri di masa lampau
7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
dan menemukan dukungan
8. Control lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
9. Kurangi factor presipitasinyeri
10. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
12. Ajarkan teknik nonfarmakologi
13. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
14. Evaluasi keefektifan control nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasi dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
17. Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Analgetik administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
2. Cek intruksi dokter tentang jenis obat,
dosis dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesic yang diperlukan atau
kombinasi analgesic ketika
pemberian lebih dari satu
5. Tentukan pemilihan anlagesik
tergantung tipe dan berat nya nyeri
6. Tentukan analgesic pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
7. Pilih pemberian rute secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesic pertama
kali
9. Evaluasi efektiviats analgesic, tanda
dan gejala
SumberPustaka :Nurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Jakarta :Medi Action Publishing.
HALAMAN 3
MODEL KONSEP ASKEP MENURUT Nursing Interventations Classification (NIC)
PENGKAJIAN DIAGNOSA KEPERAWATAN PERENCANAAN EVALUASI (KRITERIA
KEBERHASILAN)
Gangguan pertukaran gas Managemenjalannapas S:
berhubungan dengan gangguan 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust - Mendemonstrasikan
aliran darah ke alveoli atau bila perlu peningkatan ventilasi
kegagalan utama paru, perubahan 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi dan oksigenasi yang
membrane alveolar 3. Identifikasipasienperlunyapemasanganalatjalannafasbuatan adekuat
4. Lakukanfisioterapi dada jikaperlu - Mendemonstrasikan
5. Keluarkansekretdenganbatukatausuction batuk efektif dan suara
6. Auskultasisuaranafas, catatadanyasuaratambahan nafas yang bersih, tidak
7. Berikanbronkodilatorbialperlu ada sianosis dan
8. Aturintakeuntukcairanmengoptimalkankeseimbangan. dyspneu (mampu
9. Monitor respirasi dan status O2 mengeluarkan sputum,
ManajemenPernapasan mampu bernafas
1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi dengan mudah, tidak
2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot ada pursed lips)
tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal - Tidak ada suara napas
3. Monitor suara nafas, seperti dengkur tambahan seperti
4. Monitor polanafas : bradipena, takipenia, kussmaul, crackles dan ronkhi (-)
hiperventilasi, cheyne stokes, biot - Pernapasan klien
5. Monitor kelelahan otot diagfragma ( gerakan paradoksis ) normal (16-20 x/menit)
6. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya tanpa ada penggunaan
ventilasi dan suara tambahan otot bantu napas
7. Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi
crakles dan ronkhi pada jalan napas utama O: - Tidak ada bunyi crackles
8. Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui dan ronkhi.
hasilnya - Pergerakan dinding
dada simetris
- Terdapat penggunaan
otot tambahan
- Tanda tanda vital dalam
rentang normal
- Dapat melakukan
teknik batuk efektif
- SPO2 96%

A: Masalah teratasi sebagian


P: lanjutkan intervensi
HALAMAN 4

MODEL KONSEP ASKEP MENURUT Nursing Interventations Classification (NIC)

PENGKAJIAN DIAGNOSA KEPERAWATAN PERENCANAAN EVALUASI (KRITERIA


KEBERHASILAN)
Penurunan curah jantung Cardiac Care S:
berhubungan dengan factor – factor 1. Evaluasi adanya nyeri dada  Klien mengatakan nyeri
listrik, penurunan karakteristik (intensitas, lokasi, durasi) dada tembus
miokard kepunggung
2. Catat adanya disritmia jantung
3. Catat adanya tanda dan gejala  Tanda Tanda vital dalam
rentang normal (tekanan
penurunan cardiac output
darah, nadi, pernafasan)
4. Monitor status kardiovaskuler
5. Monitor status pernafasan yang O:
menandakan gagal jantung - Klien tidak mengalami
6. Monitor abdomen sebagai indikator penuruanan kesadaran
penurunan perfusi - Tidak ada edema paru,
7. Monitor balance cairan perifer dan tidak ada asites
8. Monitor adanya perubahan tekanan
darah A: masalah teratasi sebagian
9. Monitor respon pasien terhadap efek
pengobatan aritmia P: Lanjutkan intervensi
10. Atur periode latihan dan istirahat
untuk menghindari kelelahan
11. Monitor toleransi aktivitas pasien
12. Monitor adanya dispneu, fatigue,
takipneu, dan ortopneu
13. Anjurkan untuk menurunkan stress

Vitas Sign Monitoring


1. Monitor TD, nadi, suhu dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
4. Monitor TD, nadi, sebelum, selama
dan setelah aktivitas
5. Monitor kualitas dari nadi
6. Monitor adanya pulsus parodksus
7. Monitor adanya pulsus alterans
8. Monitor jumlah dan irama jantung
9. Monitor frekuensi dan irama
pernafasan
10. Monitor suara paru
11. Monitor pola pernafasan abnormal
12. Monitor suhu, warna dan kelembaban
kulit
13. Monitor sianosis perifer
14. Monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi)
15. Identifikasi penyebab perubahan vital
sign

Sumber Pustaka : Nursing Interventations Classification (NIC) 6th Edisi bahasa Indonesia.
HALAMAN 5

MODEL KONSEP ASKEP MENURUT Nursing Interventations Classification (NIC)


PENGKAJIAN DIAGNOSA KEPERAWATAN PERENCANAAN EVALUASI (KRITERIA
KEBERHASILAN)
Intoleransi aktivitas b.d keseimbangan Activity Therapy S: klien mengatakan dapat
antara suplay oksigen miokard dan 1. Kolaborasikan dengan tenaga beraktivitas minimal
kebutuhan, adanya iskemia/nekrosis rehabilitasi medik dalam (mobilisasi) dengan bantuan
merencanakan program terapi yang
jaringan miokard alat bantu ( kursi roda)
tepat
2. Bantu klien untuk O: pasien nampak menggunakan
mengidentifikasikan aktivitas yang kursi roda untuk berjalan-
jalan
mampu dilakukan
3. Bantu untuk memilih aktivitas A: masalah teratasi sebagian
konsisten yang sesuai dengan
P: Lanjutkan intervensi
kemampuan fisik, psikologi, dan
sosial
4. Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk aktivitas yang diinginkan
5. Bantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
6. Bantu klien membuat jadwal latihan
diwaktu luang
7. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas

Sumber Pustaka : Nursing Interventations Classification (NIC) 6th Edisi bahasa Indonesia.
HALAMAN 6

MODEL KONSEP ASKEP MENURUT Nursing Interventations Classification (NIC)


PENGKAJIAN DIAGNOSA KEPERAWATAN PERENCANAAN EVALUASI (KRITERIA
KEBERHASILAN)
Ansietas b.d ancaman aktual terhadap Peningkatan koping S:
 Klien mengatakan cemas
integritas biologis 1. hargai pemahaman pasien tentang
dengan penyakit yang
proses penyakit dan konsep diri dideritanya.
2. hargai dan diskusikan alternative  Klien mengatakan takut
apabila meninggal
respon terhadap situasi mendadak akibat
3. hargai sikap klien terhadap perubahan penyakitnya

peran dan hubungan O:


4. dukung penggunaan sumber spiritual  Klien nampak gelisah
 Tekanan darah meningkat
jika diminta 180/100 mmHg
5. gunakan pendekatan yang tenang dan
A: masalah belum teratasi
berikan jaminan
6. sediakan informasi actual tentang P: Intervensi dilanjutkan

diagnosis, penangan dan prognosis


7. sediakan pilihan yang realistis tentang
aspek perawatan saat ini
8. dukung penggunaan mekanisme
defensive yang tepat
9. dukung keterlibatan keluarga dengan
cara yang tepat
10. Bantu pasien untuk mengidentifikasi
strategi positif untuk mengatasi
keterbatasan dan mengelola gaya
hidup dan perubahan peran
11. Bentu klien mengidentifikasi
kemungkinan yang dapt terjadi
12. Bantu klien beradaptasi dan
mengantisipasi perubahan klien

Sumber Pustaka : Nursing Interventations Classification (NIC) 6th Edisi bahasa Indonesia.
HALAMAN 7

MODEL KONSEP ASKEP MENURUT Nursing Interventations Classification (NIC)


PENGKAJIAN DIAGNOSA KEPERAWATAN PERENCANAAN EVALUASI (KRITERIA
KEBERHASILAN)
Defisiensi pengetahuan b.d kurangnya 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan S: Kowlwdge : disease process
informasi tentang fungsi jantung/ keluarga pasien menunjukkan
2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan pengetahuan tentang proses
implikasi penyakit jantung
bagaimana hal ini berhubungan dengan penyakit dengan kriteria hasil:
anatomi dan fisiologi, dengan cara yang Pasien dan keluarga menyatakan
tepat. pemahaman tentang penyakit,
3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa kondisi, prognosis dan program
muncul pada penyakit, dengan cara pengobatan
yang tepat Pasien dan keluarga mampu
4. Gambarkan proses penyakit, dengan melaksanakan prosedur yang
cara yang tepat dijelaskan secara benar
5. Identifikasi kemungkinan penyebab, Pasien dan keluarga mampu
dengan cara yang tepat menjelaskan kembali apa yang
6. Sediakan informasi pada pasien tentang dijelaskan perawat/tim kesehatan
kondisi, dengan cara yang tepat lainnya
7. Sediakan bagi keluarga informasi
tentang kemajuan pasien dengan cara O: pengetahuan klien terkaji
Presepsi klien terkaji
yang tepat
Klien dan keluarga mampu
8. Diskusikan pilihan terapi atau menjelaskan kembali apa
penanganan yang dijelaskan oleh perawat
9. Dukung pasien untuk mengeksplorasi
atau mendapatkan second opinion A: masalah teratasi sebagian
dengan cara yang tepat atau
P: Lanjutkan intervensi
diindikasikan
10. Eksplorasi kemungkinan sumber atau
dukungan, dengan cara yang tepat

Sumber Pustaka : Nursing Interventations Classification (NIC) 6th Edisi bahasa Indonesia.

You might also like