Professional Documents
Culture Documents
Dosen Pengampu
Kelompok 1 :
1. Afrizal Umardani
2. Muhammad Fahreza Ridhani
3. Silvi Ocsie Rosdyanti M.
JUDUL Disetujui
LAPORAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN ASMA
Clinical Instructure Clinical Teacher
PENDAHULUAN
………………………………………….. ………………………………..
A. Definisi
Menurut Global initiatif for Asthma (2018), Asma adalah suatu masalahkesehatan dunia yang dapat berpengaruh pada semua usia. Penyakit ini adalah
penyakit heterogen yang ditandai inflamasi kronik seluran napas, dengan gejala sesak napas, mengi, dada terasa berat, batuk semakin memberat dan keterbatasan
aliran udara ekspirasi.
Asma adalah penyakit inflamasi kronik pada jalan napas yang di karakteristikkan dengan hiperresponsivitas,edema mukosa dan produksi mukus.
Inflamasi ini pada akhirnya berkembang menjadi episode gejala asma yang berulang (Smeltzer, 2018). Menurut Guo et al (2018) Asma adalah peradangan kronis
reaksi mediasi oleh sel T CD4+ yang bekerja terutama pada eosinofil.
Asma merupakan gangguan inflamasi pada jalan nafas yang ditandai oleh obstruksi aliran udara nafas dan respons jalan nafas yang berlebihan terhadap
berbagai bentuk rangsangan. Obstruksi jalan nafas yang menyebar luas tetapi bervariasi ini di sebabkan oleh bronkospasme,edema mukosa jalan nafas dan
peningkatan produksi mukus (lendir) di sertai penyumbatan (plugging) serta remodeling jalan napas (Kowalak,J., 2014).
B. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi fisiologi sistem pernapasan
a. Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di
dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.
b. Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga
hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain adalah ke atas berhubungan dengan rongga hidung, dengan
perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2
lubang (ke depan lubang laring dan ke belakang lubang esofagus).
c. Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai ketinggian
vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yang biasanya disebut
epiglotis, yang terdiri dari tulang-9 tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring.
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang
berbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar.
Panjang trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat yang dilapisi oleh otot polos.
e. Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai
struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru.Bronkus
kanan lebih pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari
yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang.Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus (bronkioli). Pada
bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli.
f. Paru-paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari sel-sel
epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m². Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2
dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan). Paru-paru dibagi dua yaitu paru-
paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belahan paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru
kiri, terdiri dari pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai
10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, dan 5 buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada
lobus superior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3 buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-
belahan yang bernama lobulus. Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf,
dan tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang ini disebut duktus11 alveolus. Tiap
duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm. Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga
dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus
oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang
langsung membungkus paru-paru. Kedua pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara keadaan normal, kavum pleura ini
vakum (hampa) sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaanya
(pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernapas.
C. Klasifikasi Asma
National Hearth, Lung and Blood Institute pada National Institutes of Health mengidentifikasi empat tingkat intensitas asma berdasarkan frekuensi
timbulnya gejala serta eksaserbasi, efeknya pada tingkat aktivitas dan hasil pemeriksaan faal paru. Keempat tingkat atau level intensitas tersebut adalah :
(Kowalak,J. 2014)
1. Penyakit asma intermiten ringan
a. Keluhan dan gejala asma terjadi kurang dari dua kali per minggu
b. Pasien tampak asimptomatik disertai PEF (Peak expiratory flow) normal di antara seangan eksaserbasi
c. Eksaserbasi singkat (selama beberapa jam hingga beberapa hari) dengan intensitas bervariasi
d. Keluhan dan gejala pada malam hari terjadi kurang dari dua kali per bulan
e. Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan PEF melebihi 80% nilai normal, PEF dapat bervariasi dengan kisaran kurang dari 20%
2. Penyakit asma persisten ringan
a. Keluhan dan gejala asma terjadi lebih dari dua kali per minggu tetapi kurang dari satu kali per hari eksaserbasi dapat mempengaruhi aktivitas pasien
b. Keluhan dan gejala pada malam hari terjadi lebih dari dua kali per bulan
c. Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan PEF melebihi 80% nilai normal, PEF dapat bervariasi dengan kisaran 20% hingga 30%
3. Penyakit asma persisten sedang
a. Keluhan dan gejala asma terjadi tiap hari
b. Eksaserbasi terjadi lebih dari dua kali per minggu dan fdapat berlangsung selama berhari hari eksaserbasi dapat mempengaruhi aktivitas pasien
c. Terapi bronkodilator di gunakan setiap hari
d. Keluhan dan gejala pada malam hari terjadi lebih dari satu kali per minggu
e. Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan PEF sebesar 60% hingga 80% nilai normal, PEF dapat bervariasi dengan kisaran melebih 30%
4. Penyakit asma persisten berat
a. Keluhan dan gejala asma terjadi secara terus menerus
b. Eksaserbasi sering terjadi dan membatasi aktivitas pasien
c. Keluhan dan gejala pada malam hari sering terjadi
d. Hasil pemeriksaan faal paru memperlihatkan PEF kurang dari 60% nilai normal, PEF dapat bervariasi dengan kisaran melebih 30%
D. Etiologi
Asma dapat terjadi karena kepekaan seseorang terhadap allergen ekstrinsik ataupun intrinsik. Baik ekstrinsik maupun atopic, serangan asma di mulai
pada masa kanak-kanak. Secara khas, pasien memiliki kepekaan terhadap allergen eksternal tertentu. Pasien asma yang intrinsik ataupun nonatopik bereaksi
terhadap faktor-faktor internal non allergen, substansi eksternal tidak terlibat pada pasien asma intrinsik. Sebagian besar episode asma terjadi sesudah infeksi
saluran nafas yang berat khususnya pada dewasa. Akan tetapi banyak pula pasien asma, khususnya anak-anak menderita asma intrinsik maupun ekstrinsik. Orang
dewasa dalam jumlah yang signifikan mendapat serangan asma bentuk alergi atau eksaserbasi asma yang sudah ada setelah terpajan benda-benda tertentu di
tempat kerjanya (Kowalak,J. 2014).
Dalam paru manusia terdapat bakteri filum, termasuk Actinobacteria, Bacteroidetes, Firmicutes, dan Proteobacteria, bahkan pada subyek sehat (Segal,
LN. 2014). Mirip dengan usus, mikrobioma paru berubah dengan cepat pada tahun pertama hidup, sebelum mulai stabil (Bisgaard,H. 2009). Kolonisasi terjadi
secara bertahap pada anak-anak yang sehat, dimulai dengan Staphylococcus atau Corynebacterium, diikuti oleh Moraxella atau Alloiococcus (Teo,SM. dalam
Pascal,M. 2018)
Berikut ini merupakan penyebab serangan asma yang di bedakan dari allergen intrinsik dan ekstrinsik (Kowalak,J. 2014) :
Alergen Ekstrinsik meliputi :
1. Polen (tepun sari bunga)
2. Bulu binatang
3. Debu rumah atau kapang
4. Bantal kapuk atau bulu
5. Zat aditif pangan yang mengandung sulfit
6. Zat lain yang menimbulkan sensitisasi
E. Manifestasi Klinis
Menurut buku Smeltzer (2018) :
1. Gejala asma paling umum adalah batuk (dengan atau tanpa disertai produksi mukus), dispnea, dan mengi (pertama-tama pada ekspirasi, kemudian bisa juga
terjadi selama inspirasi).
2. Serangan asma paling sering terjadi pada malam hari atau pagi hari.
3. Eksaserbasi asma sering kali didahului oleh peningkatan gejala selama berhari-hari, namun dapat pula terjadi seeara mendadak.
4. Sesak dada dan dispnea.
5. Diperlukan usaha untuk melakukan ekspirasi dan ekspirasi memanjang.
6. Seiring proses eksaserbasi, sianosis sentral sekunder akibat hipoksia berat dapat teiadi.
7. Gejala tambahan, seperti diaforesis, takikardia, dan pelebaran tenakanan nadi mungkin dijumpai pada pasien asma.
8. Asma yang disebabkan oleh latihan fisik gejala maksimal selama menjalani latihan fisik, tidak terdapat gejala pada malam hari, dan terkadang hanya muncul
gambaran sensasi seperti “tercekik” selama menjalani latihan fisik.
9. Reaksi yang parah dan berlangsung terus-menerus, yakni status asmatikus, bisa saja terjadi. Kondisi ini dapat menancam kehidupan.
10. Eksema, ruam, dan edema temporer merupakan reaksi alergi yang biasanya menyertai asma.
Manifestasi Klinis dan Perubahan Gas Darah Arteri yang Menyertai :
Pasien dapat mengalami serangan asma berulang dengan awitan mendadak (dalam waktu beberapa menit) atau bertahap (dalam waktu beberapa jam atau hari). Dan
berikut manifestasi klinis dan perubahan gas yang menyertai dapat di lihat pada tabel.
F. Patofisiologi
Bronkus dan Bronkiolus mengandung otot polos dan di lapisi dengan kelenjar penyekresi mukosa dan sel bersilia. Dekat dengan suplai darah jalan napas
terdapat jumlah sel mast yang banyak (Nair,M. 2015). Pada asma dinding bronkus mengadakan reaksi yang berlebihan terhadap berbagai ransangan sehingga
terjadi spasme otot polos yang periodik dan menimbulkan konstriksi jalan nafas berat (Kowalak,J. 2014).
Respon imun dimulai dengan masuknya alergen kedalam seluran nafas akan ditangkap oleh sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen (Antigen
Persenting Cell/APC). Antigen diproses di dalam APC dan dipersentingkan kepada sel limfosit T dengan bantuan Mayor histocompatibility (MHC) kelas II,
limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi dan berdiffrensiasi ke profil Th2. Subtipe Th2 ini merupakan subtipe utama yang terlibat pada asma,
mensekresi berbagai sitokine yang bertanggung jawab bagi berkembangnya reaksi tipe lambat atau cell- mediated hypersensitivity reaction (National Heart Lung
and Blood Institute. 2002). Rangsangan interleukin 4 dan interleukin 13 dari Th2, akan memacu sel limfosit B untuk mensintesa IgE. IgE akan dilepas limfosit B
dan melekat pada high affiniting IgE reseptors (FceRI) pada permukaan sel mast. Bila alergen yang sama masuk lagi maka akan diikat oleh IgE dipermukaan sel
mast (Ardinata,D. 2014).
Pada pajanan selanjutnya dengan antigen tersebut, sel-sel mast mengalami degranulasi dan melepaskan mediator. Sel-sel mast dalam jaringan interstisial
paru akan teransang untuk melepaskan histamine dan leukotrien. Histamin terikat pada tempat-tempat reseptor dalam bronkus yang besar tempat substansi ini
menyebabkan pembekakan pada otot polos. Membrane mukosa mengalami inflamasi, iritasi dan pembengkakan. Pasien dapat mengalami dyspnea, ekspirasi
yang memanjang dan frekuensi respirasi yang meningkat (Kowalak,J. 2014). Dengan adanya gejala tersebut akan muncul diagnosa keperawatan ketidakefektifan
pola nafas.
Leukotrien melekat pada tempat reseptor dalam bronkus yang lebih kecil dan menyebabkan pembekakan lokal otot polos. Leukotrien juga menyebabkan
prostalglandin bermigrasi melalui aliran darah ke dalam paru-paru dan dalam organ ini, prostalglandin meningkatkan efek kerja histamine. Bunyi mengi bisa
terdengar saat batuk. Histamin menstimulus membran mukosa untuk menyekresi mukus secara berlebihan dan selanjutnya membuat lumen bronkus menjadi
sempit. Peningkatan produksi mukus akan menyebabkan muncul diagnose keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas dan Gangguan pemenuhan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh.
Pada saat inspirasi lumen bronkus yang sempit masih dapat sedikit mengembang sehingga udara dapat masuk ke dalam alveoli. Pada saat ekspirasi,
peningkatan tekanan intratorakal menyebabkan penutupan total lumen bronkus. Udara bisa masuk,tetapi tidak bisa keluar. Dada pasien akan mengembang (barrel
chest) sementara pada perkusi dada di dapatkan bunyi hipersonor (Kowalak,J. 2014).
Mukus akan mengisi dasar paru dan menghalangi ventilasi alveoli. Darah di pintas ke dalam alveoli pada bagian paru yang lain tetapi pemintasan ini
masih tidak mampu mengimbangi penurunan ventilasi. Hiperventilasi dipicu oleh reseptor paru-paru untuk meningkatkan volume paru dan disebabkan oleh
udara yang terperangkap serta obstruksi jalan nafas. Tekanan gas intrapleural serta alveolar meningkat dan peningkatan ini menyebabkan penurunan perfusi pada
alveoli paru. Hipoksia memicu hiperventilasi melalui stimulus pusat pernafasan yang selanjutnya akan menurunkan tekanan parsial karbon dioksida arteri
(PaCO2) dan meningkatkan pHsehingga terjadi alkalosis respiratorik. Pasien akan mengalami pernafasan cepat dan dalam, kepala terasa pening akibat penurunan
aliran darah serebral, agitasi, Spasme Karpopedal dan kelemahan otot (Kowalak,J. 2014). Adanya gejala-gejala ini akan memunculkan diagnosa keperawatan
yaitu Gangguan pertukaran gas, Gangguan ADL, Ansietas dan kurangnya pengetahuan.
Seiring semakin berat obstruksi jalan nafas, semakin banyak pula alveoli paru yang tersumbat. Ventilasi dan perfusi tetap tidak adekuat dan terjadilah
retensi karbondioksida. Akibatnya akan timbul asidosis respiratorik dan akhirnya pasien mengalami gagal nafas.
G. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penyakit asma meliputi (Kowalak,J. 2014) :
1. Status asmatikus
Jika terjadi status asmatikus, keadaan hipoksia menjadi semakin berat dan bahkan aliran serta volume udara pada saat ekspirasi akan mengalami penurunan
lebih lanjut. Apabila penanganan keadaan ini tidak segera di mulai pasien akan mulai mengalami keletihan.
2. Gagal Nafas (respiratory failure)
Ventilasi dan perfusi tetap tidak adekuat dan terjadilah retensi karbondioksida. Akibatnya akan timbul asidosis respiratorik dan akhirnya pasien mengalami
gagal nafas.
H. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik primer fungsi paru untuk asma adalah spirometri. Spirometri mengukur volume maksimal udara yang di hembuskan dengan
kuat dan cepat oleh pasien sesudah inhalasi makasimal (forced vital capacity FVC) dan volume maksimal udara yang dapat dihembuskan pasien pada detik
pertama FVC (forced expiratory volume in 1 second, FEV). Tujuan menggunakan spirometri adalah mengkaji derajat obstruksi aliran nafas pasien (yang di
manefestasikan oleh penurunan FEV dan rasio FEV terhadap FVC) dan mengukur tingkat obstruksi aliran udara yang di bandingkan dengan nilai normal yang di
prediksikan ( perbaikan FEV sebesar 12% dan 200 ml di harapkan terjadi setelah pemberian terapi bronkodilator, seperti misalnya pada obstruksi jalan nafas
reversibel) (Kerstjen,H dalam Chang, Esther. 2010).
Spirometri umumnya lebih di anjurkan daripada pengukuran dengan peak flow meter (Ladebauche,P dalam Chang, Esther. 2010). peak flow meter
merupakan alat yang di pakai di rumah. Alat ini digunakan untuk mendeteksi dan mengukur variasi nilai puncak pasien dari nilai aliran puncak terbalik yang di
harapkan dapat menunjukkan keberadaan dan tingkat obstruksi aliran udara sebagai suatu alat bantu untuk penatalaksanaan mandiri.
Pemeriksaan diagnostik tambahan tidak rutin di lakukan untuk menegakkan diagnosis asma. Namun, beberapa pemeriksaan lain dapat di
pertimbangkan mengingat tidak ada pemeriksaan tunggal yang tepat untuk semua pasien. Pemeriksaan berikut mungkin berguna seperti sinar X dada, bronchial
challenge test (mis histamine, metakolin, salin hipertonik) dan uji alergi menggunakan skin prick test atau radioallergoabsorbent test (RAST) (Kerstjen,H dalam
Chang, Esther. 2010).
I. Penatalaksanaan
Menurut buku Smeltzer (2018) :
1. Penatalaksanaan Medis
Terdapat 2 golongan medikasi-medikasi kerja cepat dan control kerja lambat maupun produk kombinasi.
a. Agonis adrenergic-beta2 kerja pendek
b. Antikolinergik.
c. Kortikosteroid: inhaler dosis terukur (MDI).
d. Inhibitor pemodifikasi leukotriene/antileukotrin.
e. Metilxantin.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penalaksanaan keperawatan yang harus segera dilakukan pada pasien bergantung pada tingkat keparahan gejala. Pasien dan keluarga kerap merasa takut dan
cemas karena sesak napas yang dialami pasien. Oleh sebab itu, pendekatan yang tenang merupakan aspek yang penting di dalam asuhan.
a. Kaji status respirasi pasien dengan memonitor tingkat keparahan gejala, suara napas, peak flow, oksimetri nadi dan tanda-tanda vital.
b. Kaji riwayat reaksi alergi terhadap obat sebelum memberikan medikasi.
c. Identifikasi medikasi yang tengah digunakan oleh pasien.
d. Berikan medikasi sesuai yang diresapkan dan monitor respons pasien terhadap medikasi tersebut medikasi mungkin mencakup antibiotik jika pasien telah
lebih dulu mengalami infeksi pernapasan.
e. Berikan terapi cairan jika pasien mengalami dehidrasi
f. Bantu prosedur intubasi, jika diperlakukan.
I. Pathway
J. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian mengenai nama, umur, dan jenis kelamin perlu dilakukan pada klien dengan asma. Serangan asma pada usia dini memberikan implikasi
bahwa sangat mungkin terdapat suatu atopic. Serangan pada usia dewasa dimungkinkan adanya factor non-atopik. Tempat tinggal menggambarkan kondisi
lingkungan tempat klien berada. Berdasarkan alamat tersebut, dapat diketahui pula faktor yang memungkinkan menjadi pencetus serangan asma. Pekerjaan
serta suku bangsa juga perlu dikaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan allergen. Hal lain yang perlu dikaji dari identitas klien ini adalah tanggal
masuk rumah sakit (MRS), nomor rekam medis, asuransi kesehatan, dan diagnostic medis. Keluhan utama meliputi sesak napas, bernapas terasa berat pada
dada, dan adanya keluhan sulit bernapas.
5. Pengkajian Psiko-sosio-kultural
Kecemasan dan koping yang tidak efektif sering didapatkan pada klien dengan asma bronkhial. Status ekonomi berdampak pada asuransi kesehatan
dan perubahan mekanisme peran dalam keluarga. Gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu pencetus bagi serangan asma baik gangguan itu
berasal dari rumah tangga, lingkungan sekitar, sampai lingkungan kerja. Seseorang dengan beban hidup berat lebih berpotensial mengalami serangan asma.
Berada dalam keadaan yatim piatu, mengalami ketidakharmonisan hubungan dengan orang lain, sampai mengalami ketakutan tidak dapat menjalankan
peranan seperti semula.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
B. Diagnosis Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas b.d aliran darah ke alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar, kapiler (atelaktasis, kolaps jalan napa/
alveolar edema paru/ efusi, sekresi berlebihan/ perdarahan aktif
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d iskemik, kerusakan otot jantung, penyempitan/ penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria
c. Nyeri akut b.b iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri ditandai dengan penurunan curah jantung
d. Penurunan curah jantung b.d perubahan faktor-faktor listrik, penurunan karakteristik miokard
e. Intoleransi aktivitas b.d keseimbangan antara suplay oksigen miokard dan kebutuhan, adanya iskemia/nekrosis jaringan miokard
f. Ansietas b.d ancaman aktual terhadap integritas biologis
g. Defisiensi pengetahuan b.d kurangnya informasi tentang fungsi jantung/ implikasi penyakit jantung
Sumber Referensi :
P: Lanjutkan Intervensi
HALAMAN 2
MODEL KONSEP ASKEP MENURUT Nursing Interventations Classification (NIC)
PENGKAJIAN DIAGNOSA KEPERAWATAN PERENCANAAN EVALUASI (KRITERIA
KEBERHASILAN)
Nyeri akut berhubungan dengan Pain Management S:
iskemia jaringan sekunder terhadap 1. Lakukan pengkajian nyeri secara Klien mampu mengontrol
sumbatan arteri ditandai dengan: komperhensif termasuk lokasi, nyeri (tahu penyebab,
penurunan curah jantung karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas mampu menggunakan
dan factor presipitasi teknik nonfarmakologi
2. Observasi reaksi nonverbal dari
untuk mengurangi nyeri)
ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik Klien mengatakan bahwa
untuk mengetahui pengalaman nyeri nyeri berkurang
pasien O:
4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon Klien tampak tenang
nyeri
5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau A: masalah teratasi sebagian
6. Evaluasi bersama pasien dan tim
kesehatan lain tentang ketidak efektifan P: Lanjutkan intervensi
control nyeri di masa lampau
7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
dan menemukan dukungan
8. Control lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
9. Kurangi factor presipitasinyeri
10. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
12. Ajarkan teknik nonfarmakologi
13. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
14. Evaluasi keefektifan control nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasi dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
17. Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Analgetik administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
2. Cek intruksi dokter tentang jenis obat,
dosis dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesic yang diperlukan atau
kombinasi analgesic ketika
pemberian lebih dari satu
5. Tentukan pemilihan anlagesik
tergantung tipe dan berat nya nyeri
6. Tentukan analgesic pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
7. Pilih pemberian rute secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesic pertama
kali
9. Evaluasi efektiviats analgesic, tanda
dan gejala
SumberPustaka :Nurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Jakarta :Medi Action Publishing.
HALAMAN 3
MODEL KONSEP ASKEP MENURUT Nursing Interventations Classification (NIC)
PENGKAJIAN DIAGNOSA KEPERAWATAN PERENCANAAN EVALUASI (KRITERIA
KEBERHASILAN)
Gangguan pertukaran gas Managemenjalannapas S:
berhubungan dengan gangguan 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust - Mendemonstrasikan
aliran darah ke alveoli atau bila perlu peningkatan ventilasi
kegagalan utama paru, perubahan 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi dan oksigenasi yang
membrane alveolar 3. Identifikasipasienperlunyapemasanganalatjalannafasbuatan adekuat
4. Lakukanfisioterapi dada jikaperlu - Mendemonstrasikan
5. Keluarkansekretdenganbatukatausuction batuk efektif dan suara
6. Auskultasisuaranafas, catatadanyasuaratambahan nafas yang bersih, tidak
7. Berikanbronkodilatorbialperlu ada sianosis dan
8. Aturintakeuntukcairanmengoptimalkankeseimbangan. dyspneu (mampu
9. Monitor respirasi dan status O2 mengeluarkan sputum,
ManajemenPernapasan mampu bernafas
1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi dengan mudah, tidak
2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot ada pursed lips)
tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal - Tidak ada suara napas
3. Monitor suara nafas, seperti dengkur tambahan seperti
4. Monitor polanafas : bradipena, takipenia, kussmaul, crackles dan ronkhi (-)
hiperventilasi, cheyne stokes, biot - Pernapasan klien
5. Monitor kelelahan otot diagfragma ( gerakan paradoksis ) normal (16-20 x/menit)
6. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya tanpa ada penggunaan
ventilasi dan suara tambahan otot bantu napas
7. Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi
crakles dan ronkhi pada jalan napas utama O: - Tidak ada bunyi crackles
8. Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui dan ronkhi.
hasilnya - Pergerakan dinding
dada simetris
- Terdapat penggunaan
otot tambahan
- Tanda tanda vital dalam
rentang normal
- Dapat melakukan
teknik batuk efektif
- SPO2 96%
Sumber Pustaka : Nursing Interventations Classification (NIC) 6th Edisi bahasa Indonesia.
HALAMAN 5
Sumber Pustaka : Nursing Interventations Classification (NIC) 6th Edisi bahasa Indonesia.
HALAMAN 6
Sumber Pustaka : Nursing Interventations Classification (NIC) 6th Edisi bahasa Indonesia.
HALAMAN 7
Sumber Pustaka : Nursing Interventations Classification (NIC) 6th Edisi bahasa Indonesia.