You are on page 1of 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Studi Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan
yang akan diteliti mengenai recovery dan proses peleburan mineral bijih yaitu
sebagai berikut :
Li, J., Chen, Y., Yang, S., He, J. Dan Tang, M. 2017 dalam Journal Of
Hazardous Material dengan judul “Co-Treatment of Waste Smelting Slags and
Gypsum Wastes Via Reductive-Sulfurizing Smelting for Valuable Metals
Recovery” memaparkan inovasi baru dalam perawatan slag yang ekonomis dan
ramah lingkungan untuk recovery dari logam cobalt-bearing dari peleburan
tembaga. CaSO4 yang kaya akan limbah gypsum digunakan sebagai agen
sulfurizing secara efisien dan efektif untuk mengembalikan logam berharga dari
terak. Analisis termodinamika di laboratorium dilakukan untuk menentukan
kelayakan inovasi baru ini dengan cara penentuan pembersihan slag optimum
menggunakan reduksi kokas dengan dosis 12%, penambahan CaSO4 20% dari
berat slag, peleburan selama 3 jam dengan suhu 1.350o C. Di bawah kondisi
optimum, 92,34% Cu dan 95,62% Co yang diperkaya copper-cobalt matte. Co
dan Cu dalam terak dibersihkan hingga lebih rendah dari 0,2% dan 0,045%. Rasio
recovery Cu/Fe dan Co/Fe masing-masing mencapai 6,00 dan 6,24. Kalsium yang
kaya dan sedikit besi akan mengurangi cobalt dan copper yang hilang ikut
bersama slag. Hasil ini dianalisis dan diperiksa menggunakan XRD dan teknik
SEM-EDS dengan hasil akhir cobalt dan copper terpisah melalui fase yang
berbeda.
Heo, J.H., Chung, Y. dan Park, J.H. 2016 dalam Journal Of Cleaner
Production dengan judul “Recovery of Iron Removal of Hazardous Elements from
Waste Copper Slags Via a Novel Aluminothermic Smelting Reduction (ASR)
Process” memaparkan cara penurunan limbah peleburan tembaga dengan
Aluminothermic Smelting Reduction (ASR). Proses ini digunakan untuk

4
5

menghilangkan unsur berbahaya pada slag dan untuk memulihkan kadar besi
yang berharga dengan penambahan unsur alumunium pada reduksi oksida besi
dan recovery dari kadar besi pada slag tembaga pada suhu 1.773o K dengan
mempertimbangkan sifat thermophycical terak. Penentuan recovery besi ini
digunakan diagram kesetimbangan bahan (material balance) yang
merepresentasikan kandungan besi pada ingot. Hasil analisis proses ASR ini
diketahui menggunakan XRD dan metode perhitungan termokimia.
Xiu-jing, Z., Nai-jun, L., Xu, Z., Yan, F. Dan Lan, J. 2011 dalam Scholarly
Articles dengan judul “Recovery of Cobalt from converter slag of Chambishi
Copper Smelter Using Smelter Reducing Process” memaparkan pengurangan efek
reduksi agen, suhu peleburan, dan penambahan waktu perubahan terak (CaO dan
TiO2) sudah dilakukan untuk reduksi cobalt dari converter slag. Selain itu, paduan
logam cobalt-bearing dan slag ditandai dengan difraksi sinar-X, scanning dengan
mikroskop elektron, dan dispersif spektroskopi energi. Di bawah kondisi yang
ditentukan, 94,02% Co, 95,76% Cu, dan kurang dari 18% Fe pada terak
konverter. Ditemukan bahwa fase utama dari slag yaitu Fe-Co-Cu dengan
sejumlah kecil sulfida.
2.1.2 Sejarah Perusahaan
PT Prima Timah Utama adalah perusahaan yang bergerak dibidang
penambangan, peleburan dan pemurnian timah. Perusahaan ini beroperasi di
Bangka Belitung, khususnya di daerah industri Ketapang, Pangkalpinang. PT
Prima Timah Utama itu sendiri merupakan perusahaan swasta yang didirikan pada
tahun 2003 dengan perizinan IUP (Izin Usaha Pertambangan)-Operasi Produksi
Khusus: 188.44/755/DPE/2011 (1.35 ha) dengan wilayah izin pertambangan
seluas 116.7 ha dan IUP kerjasama seluas 3,619.7 ha, dimana terdapat 7 lokasi
wilayah IUP. Adapun masa berlaku IUP OPK yaitu dari tanggal 31 Oktober 2006
s/d 30 Oktober 2026.
Wilayah penambangan PT Prima Timah Utama yang saat ini beroperasi
hanya Tambang Mapur di Kab. Bangka Induk dan mitra milik PT MGM di Blok
Sadai serta PT NAM di Blok Petar. Adapun metode penambangan timah yang
digunakan oleh PT Prima Timah Utama yaitu Tambang Semprot (gravel pump)
6

skala TN yang dimana cara ini menggunakan monitor, bulldozer dan pompa
tanah. Kegiatan pencucian bijih timah dilakukan langsung di lokasi penambangan.
PT Prima Timah Utama juga memiliki tempat peleburan dan pemurnian
timah sendiri yang beroperasi di daerah industri Ketapang. Pabrik Pengolahan dan
Pemurnian PT Prima Timah Utama memiliki 5 tanur terpasang, satu buah kettle
pemurnian, satu unit crystallizer serta tanur mini untuk lebur ulang.
Adapun pengolahan dan pemurnian disesuaikan dengan Rencana Kerja dan
Anggaran Biaya pada tahun yang berjalan. Untuk Proses kegiatan pengolahan dan
pemurnian bijih timah di pabrik diawali dengan memberi kode bijih timah yang
telah ditimbang di gudang pasir dengan kadar Sn 70-74%, kemudian bijih timah
tersebut dibawa ke unit peleburan (smelting) untuk dileburkan dan dicetak
menjadi balok timah dan menghasilkan slag dan dross, dimana dross akan dilebur
ulang sedangkan slag dari tanur akan dibawa ke tin slag area.
Unit pemurnian (refinery) akan memproses balok timah tadi agar menjadi
produk timah batang (Pure Tin ingot) yang berkadar (Sn) 99.90% ke atas sesuai
dengan Permendag No.33/M-Dag/5/2014. Alat-alat yang digunakan pada unit ini
diantaranya kettle, crystallizer dan tanur mini. Tin ingot yang sudah jadi akan
disimpan di gudang dan siap untuk diekspor, rata-rata ekspor PT Prima Timah
Utama setiap bulannya sekitar ± 250 ton logam timah.
2.1.3 Mineral Timah
Menurut Azis, M. Dan Ardha, I.GN. 2007, timah adalah unsur kimia dengan
nomor atom 50 dan nomor massa 118,69. Merupakan unsur logam, dengan warna
putih keabuan. Timah banyak berada di pulau Bangka dan Belitung. Biji timah
terdapat dalam bentuk kasiterit. Penggunaan timah sendiri sering digunakan untuk
membuat campuran atau paduan logam yaitu kuningan, perunggu, campuran
timah putih dan timah hitam, patri, logam-logam yang dapat melebur, serta logam
untuk lonceng.
Mineral utama dari timah yaitu biasa dikenal dengan cassiterite. Dimana
ketika dilebur mineral ini disebut dengan timah putih yaitu logam dengan warna
keperakan cerah dengan suhu leleh rendah yang tahan terhadap korosi. Mineral ini
memiliki terkstur yang rapuh sehingga jarang dimanfaatkan dengan hanya
7

mengandung logam timah secara tunggal tetapi biasanya biasa digunakan untuk
bahan logam paduan. Awal mula paduan dari logam ini biasanya dipadu dengan
tembaga, perunggu, dan campuran timah tembaga (Newman, P. 2013).
2.1.4 Genesa Pembentukan Timah
Keberadaan pulau-pulau timah erat kaitannya dengan sabuk bagian tengah
Semenajung Malaysia yang mempunyai umur kisaran 207 – 230 Juta Tahun
(Cobbing, E.J., Ph’field, P.E., Darbyshire, D.P.F, dan Mallick D.I.J. 1992),
dimana rangkaian sabuk-sabuk sebaran granit membentuk kelompok-kelompok
granit yang berbeda terdistribusikan secara luas sebagai pluton dan batolit
(Gambar 2.1). Granit pembawa timah mempunyai komposisi kisaran kandungan
SiO2 umumnya di atas 70%, yang kemudian dikorelasikan mempunyai kesamaan
dengan sabuk bagian tengah (main range provinces) dimana granit pada sabuk ini
dikenal sebagai granit tipe S yang mengandung timah (Hutchison, C.S. 1989).
Perbedaan geologi (lingkungan pengendapan, litologi dan tektonik) erat
hubungannya dengan genesa pembentukan bahan galian mineral logam, maka
daerah mineralisasi logam tertentu dapat dibedakan berdasarkan jenis/tipe
endapan dan geologi seperti magmatik, tektonik dan erosi-sedimentasi akan
membentuk jenis-jenis endapan magmatik skarn dan greisen, endapan hidrotermal
berkaitan dengan stockwork, urat, breksi pipa, endapan volkanogenik, sedangkan
proses pengayaan membentuk endapan laterit, placer, sedangkan proses rombakan
menghasilkan endapan pasir pantai.
Pembentukan timah di Indonesia, terjadi pada mineralisasi logam pada
perioda Trias Tengah hingga Kapur Akhir. Mineralisasi kasiterit pada perioda
tersebut terjadi pada batuan sedimen dan vulkanik Periode Akhir-Mesozoik yang
diintrusi batuan plutonik, terjadi proses pegmatitik, kontak metasomatik, alterasi
hidrotermal dan mineralisasi logam timah yang berasosiasi dengan logam jarang
di pulau-pulau timah. Mineralisasi dalam jalur plutonik batuan granitik Asia
Tenggara ini sangat karakteristik, yaitu terbentuknya kasiterit yang umumnya
berasosiasi dengan scheelite, xenotime, columbite, monazite.
Intrusi granit menerobos batuan yang lebih tua pada Zaman Trias – Yura
Atas, menghasilkan proses metamorfosa sentuh, bersamaan dengan proses
8

tersebut terjadi proses pneumatolitik yang menghasilkan mineral cassiterite yang


mengisi rekahan–rekahan pada granit, selanjutnya pada Zaman Kenozoikum, erosi
intensif terjadi menyebabkan tersingkapnya granit dan diikuti oleh proses
pelapukan, transportasi dan pengendapan pada lembah – lembah, sehingga ikut
mengendapkan mineral cassiterite pada lembah – lembah tersebut.

Gambar 2.1 Sebaran Granit di Sumatera, granit di pulau-pulau timah dan


Southeast Asia (Cobbing, 2005)
Ada 2 jenis granit yang ada di Pulau Bangka, yaitu granit tipe I dan tipe S,
dimana jenis granit yang membawa mineralisasi timah adalah garnit tipe S
(Gambar 2.2). Genesa granit dikenal ada dua yaitu S-type (S=sedimentary) dan I-
type (I=igneous). S-type granit adalah granit yang dibentuk oleh partial melting
batuan asal (protolith) yang mengandung batuan (meta) sedimen dalam jumlah
signifikan. Prosesnya disebut anatexis atau ultra-metamorphism. I-type granit
adalah granit yang dibentuk dari protolith yang berkomposisi batuan beku
(igneous rocks) atau dari fraksionasi magma granitik atau granodioritik (Cobbing,
E.j., Ph’field, P.E., Darbyshire, D.P.F dan Mallick D.I.J. 1992).
9

Gambar 2.2 Tipe granit yang terdapat di Pulau Bangka (Cobbing, 1992)
2.1.5 Endapan Timah Primer
Proses pembentukan endapan timah primer berasal dari magma cair yang
mengandung mineral cassiterite. Batuan pambawa mineral ini adalah batuan
granit yang berhubungan dengan magma asam dan menembus lapisan sedimen
(intrusi granit). Pada tahap akhir kegiatan intrusi, terjadi peningkatan konsentrasi
elemen di bagian atas, baik dalam bentuk gas maupun cair, yang akan bergerak
melalui pori – pori atau retakan. Karena tekanan dan tempratur berubah, maka
terjadilah proses kristalisasi yang akan membentuk deposit dan batuan samping.
Pada saat intrusi batuan granit naik ke permukaan bumi, maka akan terjadi
fase pneumatolitik, dimana terbentuk mineral – mineral bijih yang berharga
diantaranya mineral yang mengandung timah. Mineral ini terakumulasi dan
terisolasi pada batuan granit maupun di dalam batuan yang diterobosnya, yang
akhirnya membentuk vein – vein, yaitu pada batuan granit dan pada batuan
samping yang diterobosnya. Secara keseluruhan endapan timah yang membentang
dari Myanmar Tengah hingga Paparan Sunda merupakan keseluruhan sejumlah
intrusi granit. Batuan induk yang mengandung bijih timah adalah granit, adamelit,
dan granodiorit.
10

2.1.6 Endapan Timah Sekunder


Kondisi keberadaan mineral cassiterite (SnO2) sebagai mineral utama
pembentuk bijih timah pada daerah Kepulauan Bangka terdapat pada endapan-
endapan aluvial fluvial. Endapan placer timah pada umumnya terkonsentrasi di
atas batuan dasar baik berupa batuan metasedimen, batuan beku plutonik, dan
batuan sedimen (batupasir dan batulempung). Faktor lain yang juga
mempengaruhi keberadaan konsentrasi mineral cassiterite (SnO2) adalah pola-
pola sungai. Struktur geologi berupa sesar normal juga ikut mengontrol
keberadaan dari mineral cassiterite, walupun terkadang tidak terlalu berperan
penting dalam prosos pengendapannya. Berdasarkan tempat atau lokasi
pengendapannya, endapan bijih timah sekunder dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. Endapan Eluvial
Terdapat dekat sekali dengan sumbernya, tersebar pada batuan sedimen atau
batuan granit yang telah lapuk, ukuran butir agak besar dan angular.
2. Endapan Kolovial
Butiran agak besar dengan sudut runcing, biasanya terletak pada lereng suatu
lembah.
3. Endapan Alluvial
Terdapat di daerah lembah, mempunyai bentuk butiran yang membundar.
4. Endapan Miencang
Endapan bijih timah yang terjadi akibat pengendapan yang selektif secara
berulang-ulang pada lapisan tertentu, dengan ciri-ciri : Endapan berbentuk
lensa-lensa, bentuk butiran halus dan bundar
5. Endapan Disseminated
Jarak transportasi sangat jauh sehingga menyebabkan penyebaran yang luas
tetapi tidak teratur. Ciri-ciri : tersebar luas, tetapi bentuk dan ukurannya tidak
teratur, ukuran butir halus karena jarak transportasi jauh, terdapat pada
lapisan pasir atau lempung.
Menurut Tjia, H.D. 1989), karakteristik endapan placer timah sekunder
adalah sebagai berikut :
11

a. Endapan placer timah sekunder biasanya terjadi terendapkan di atas kaksa


(batuan dasar).
b. Deposit yang kaya kaksa dapat ditemukan pada lembah-lembah yang
chanelnya sempit, lembah yang tertekan, berasosiasi dengan boulder, karena
boulder tersebut merupakan tempat terjebaknya endapan timah placer.
c. Endapan mineral cassiterite umumnya berasosiasi dengan mineral tambahan
berat yang lainnya, seperti zirkon, monasit, dan kuarsa.
d. Bentuk butir dari mineral cassiterite umumnya berbentuk angular.
e. Bijih timah yang ditemukan pada daerah sungai mempunyai jarak yang cukup
jauh dari batuan sumbernya.
f. Ukuran butir mineral cassiterite lebih dari 48 mesh, menunjukkan dekat
dengan sumbernya.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Pengolahan Bahan Galian
Menurut Tobing (2002), pengolahan bahan galian merupakan proses
pemisahan mineral berharga dari mineral tidak berharga (gangue), yang dilakukan
secara mekanis, menghasilkan produk yang kaya mineral berharga (konsentrat)
dan produk yang mineralnya berkadar rendah (tailing). Pengolahan bahan galian
(mineral dressing) adalah istilah umum yang biasa dipergunakan untuk mengolah
semua jenis bahan galian hasil tambang yang berupa mineral, batuan, bijih atau
bahan galian lainnya yang ditambang atau diambil dari endapan – endapan alam
pada kulit bumi untuk dipisahkan menjadi produk berupa satu macam atau lebih
bagian mineral yang dikehendaki dan bagian lain yang tidak dikehendaki yang
terdapat bersama-sama di alam.
Mineral yang dikehendaki biasanya disebut juga mineral berharga karena
nilai ekonominya, sedangkan mineral yang tidak dikehendaki disebut mineral
buangan (waste). Pada akhir proses pengolahan akan diperoleh dua macam hasil
yaitu konsentrat yang sebagian besar terdiri dari mineral berharga dan tailing
yakni terdiri dari mineral tidak berharga.
12

Tujuan dari pengolahan bahan galian adalah :


1. Meningkatkan kadar dan harga jual bahan galian
2. Memisahkan mineral berharga dari mineral pengotornya
3. Memisahkan mineral berharga satu dengan yang lainnya
4. Mengurangi kehilangan jumlah mineral berharga
5. Mengurangi biaya pengangkutan
Pengolahan bahan galian yang dapat juga disebut sebagai Mineral
Processing Technology dapat dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1. Mineral dressing yaitu proses pengolahan bahan galian atau mineral untuk
memisahkan mineral berharga dari mineral pengotornya yang kurang
berharga dengan memanfaatkan perbedaan sifat-sifat fisik dari mineral –
mineral tersebut tanpa mengubah identitas kimia dan fisik pada
produknya.
2. Extractive Metallurgy merupakan proses pengolahan bahan galian mineral
dimana dalam prosesnya memanfaatkan reaksi kimia untuk memisahkan
mineral berharga berupa logam dari mineral tidak berharga sehingga
terjadi perubahan dalam sifat – sifat fisik dan kimia dari mineral – mineral
produknya.
3. Fuel Technology yaitu proses pengolahan bahan galian atau mineral
organik dengan memanfaatkan reaksi kimia untuk memisahkan fraksi –
fraksinya sehingga terjadi perubahan dalam sifat – sifat fisik dan kimia
dari mineral – mineral tersebut.
Asal usul tin dressing tidak diketahui secara tepat prinsip-prinsip yang
digunakan sedikit demi sedikit sudah mengalami perubahan sejak pertama
didokumentasikan ketika logam ditemukan. Pada prinsipnya bijih timah
(cassiterite) memiliki specific gravity antara 6,5 – 7,1 dengan densitas mineral
pengotor yang hampir sama dengan mineral timah itu sendiri yaitu sekitar 2,5 –
2,8 yang menyebabkan ketika mineral timah terkandung dalam endapan yang
berlokasi pada sekitar aliran sungai dapat terakumulasi dalam aliran tersebut serta
dapat pula ikut mengalir terbawa aliran air. Prinsip inilah yang mendasari prinsip
dasar teknik pengolahan mineral timah (Newman, P. 2010).
13

FEED

JIG HARZ

KONSENTRAT TAILING

JIG YUBA
ROTARY DRAYER PABRIK

ROTARY DRAYER MIDDLING TAILING

ROUND SCREEN
SETLING POND

AIR TABLE JIG YUBA LUAR

MIDDLING
MIDDLING TAILING
KONSENTRAT

TAILING AMANG PLANT

Gambar 2.3 Diagram Alir Pengolahan Bijih Timah (Bidang Pengolahan Mineral
Unit Metalurgi-Muntok, 2005)

2.2.2 Metalurgi
Menurut Ajie, Mokh Winanto, 2001, metalurgi adalah suatu ilmu dan seni
yang mempelajari tentang cara mendapatkan metal dari bijih, konsentrat, scrap
maupun slag dengan mendasarkan atas sifat kimia dan sifat fisik, sehingga
bermanfaat bagi manusia. Dalam metalurgi tahapan awal adalah pengecilan
ukuran butir terhadap bijih, yang kemudian dilakukan konsentrasi sehingga
mineral berharga dapat dipisahkan dari pengotor dengan mengasaskan sifat fisik
mineral. Tahapan dalam metalurgi dapat terbagi sebagai berikut:
1. Tahapan mineral processing, tahapan dimana crude material diolah atas
sifat fisik mineral dengan hasil berupa konsentrat, midling, dan tailing.
14

2. Tahap ekstraksi metal, tahapan ekstraksi crude metal (pig iron, lead
bullion, blister cooper, matte). Ekstraksi metal dilakukan dengan cara :
 Pirometalurgi, proses metalurgi dengan menggunakan panas berasal
dari bahan bakar padat, cair, dan gas.
 Elektrometalurgi, pengambilan metal menggunakan arus panas dari
listrik
 Hidrometalurgi, proses ekstraksi metal dengan cara pelarutan yang
umumnya dilakukan pada kondisi suhu kamar.
3. Tahap pemurnian crude metal
Pemurnian ini dilakukan dengan cara pemanasan atau elektrolisa. Tujuan
dari pemurnian ini agar didapat suatu logam yang memiliki sifat-sifat yang
sesuai untuk penggunaan selanjutnya. Proses pemurnian ini penting karena
logam-logam hasil ekstraksi biasanya masih mengandung unsur logam
pengotor. Tahap pemurnian crude metal dapat terbagi atas :
1) Pembentukan fase baru yang tidak saling melarut dengan fase logam
utama.
2) Pemisahan fisik antara kedua fase tersebut.
4. Tahap alloying (paduan)
Merupakan tahapan metalurgi yang bertujuan untuk mengendalikan sifat
bahan logam, sehingga dengan berbagai kombinasi pemaduan dapat
dihasilkan berbagai bahan logam yang jenisnya sangat bervariasi.
Menurut Ajie, 2001), metalurgi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
jenis sesuai dengan cara peleburan yang dilakukan. Klasifikasi metalurgi dapat
terdiri sebagai berikut :
A. Hidrometalurgi.
Hidrometalurgi merupakan cabang tersendiri dari metalurgi. Secara harfiah
hidrometalurgi dapat diartikan sebagai cara pengolahan logam dari batuan atau
bijihnya dengan menggunakan pelarut berair (aqueous solution). Atau secara
detilnya proses Hydrometalurgi adalah suatu proses atau suatu pekerjaan dalam
metalurgy, dimana dilakukan pemakaian suatu zat kimia yang cair untuk dapat
melarutkan suatu partikel tertentu.
15

Hidrometalurgi dapat juga diartikan sebagai proses ekstraksi metal dengan


larutan reagen encer (< 1 gram/mol) dan pada suhu < 100º C. Reaksi kimia yang
dipilih biasanya yang sangat selektif. Artinya hanya metal yang diinginkan saja
yang akan bereaksi (larut) dan kemudian dipisahkan dari material yang tak
diinginkan.
Peralatan yang dipergunakan adalah :
a. Electrolysis / electrolytic cell.
b. Bejana pelindian (leaching box).
Saat ini hidrometalurgi adalah teknik metalurgi yang paling banyak
mendapat perhatian peneliti. Hal ini terlihat dari banyaknya publikasi ilmiah
semisal jurnal kimia berskala internasional yang membahas pereduksian logam
secara hidrometalurgi. Logam-logam yang banyak mendapat perhatian adalah
nikel (Ni), magnesium (Mg), besi (Fe) dan mangan (Mn).
Hidrometalurgi memberikan beberapa keuntungan :
1. Bijih tidak harus dipekatkan, melainkan hanya harus dihancurkan menjadi
bagian - bagian yang lebih kecil.
2. Pemakaian batubara dan kokas pada pemanggangan bijih dan sekaligus sebagai
reduktor dalam jumlah besar dapat dihilangkan.
3. Polusi atmosfer oleh hasil samping pirometalurgi sebagai belerang dioksida,
arsenik (III) oksida, dan debu tungku dapat dihindarkan.
4. ntuk bijih-bijih peringkat rendah (low grade), metode ini lebih efektif.
5. Suhu prosesnya relatif lebih rendah.
6. Reagen yang digunakan relatif murah dan mudah didapatkan.
7. Produk yang dihasilkan memilki struktur nanometer dengan kemurnian yang
tinggi.
Pada prinsipnya hidrometalurgi melewati beberapa proses yang dapat
disederhanakan tergantung pada logam yang ingin dimurnikan. Salah satu yang
saat ini banyak mendapat perhatian adalah logam mangan dikarenakan
aplikasinya yang terus berkembang terutama sebagai material sel katodik pada
baterai isi ulang. Baterial ion litium konvensional telah lama dikenal dan
diketahui memiliki kapasitas penyimpanan energi yang cukup besar. Namum jika
16

katodanya dilapisi lagi dengan logam mangan oksida maka kapasitas


penyimpanan energi baterai tersebut menjadi jauh lebih besar. Kondisi yang baik
untuk hidrometalurgi adalah:
1. Metal yang diinginkan harus mudah larut dalam reagen yang murah.
2. Metal yang larut tersebut harus dapat “diambil” dari larutannya dengan mudah
dan murah.
3. Unsur atau metal lain yang ikut larut harus mudah dipisahkan pada proses
berikutnya.
4. Mineral-mineral pengganggu (gangue minerals) jangan terlalu banyak
menyerap (bereaksi) dengan zat pelarut yang dipakai.
5. Zat pelarutnya harus dapat “diperoleh kembali” untuk didaur ulang. Zat yang
diumpankan (yang dilarutkan) jangan banyak mengandung lempung (clay
minerals), karena akan sulit memisahkannya.
6. Zat yang diumpankan harus porous atau punya permukaan kontak yang luas
agar mudah (cepat) bereaksi pada suhu rendah.
7. Zat pelarutnya sebaiknya tidak korosif dan tidak beracun (non-corrosive and
non-toxic), jadi tidak membahayakan alat dan operator.
Secara garis besar, proses hidrometalurgi terdiri dari tiga tahapan yaitu:
1. Leaching atau pengikisan logam dari batuan dengan bantuan reduktan organik.
2. Pemekatan larutan hasil leaching dan pemurniannya.
3. Recovery yaitu pengambilan logam dari larutan hasil leaching.
Leaching adalah proses pelarutan selektif dimana hanya logam-logam
tertentu yang dapat larut. Pemilihan metode pelindian tergantung pada kandungan
logam berharga dalam bijih dan karakteristik bijih khususnya mudah tidaknya
bijih dilindi oleh reagen kimia tertentu.
Secara hidrometalurgi terdapat beberapa jenis leaching, yaitu :
 Leaching in Place (In-situ Leaching)
 Heap Leaching
 Vat Leaching /Percolation Leaching
 Agitation Leaching
 Autoclaving
17

Reduktan organik adalah hal yang sangat penting dalam proses ini.
Reduktan yang dipilih diusahakan tidak berbahaya bagi lingkungan, baik reduktan
itu sendiri maupun produk hasil oksidasinya. Kebanyakan reduktan yang
digunakan adalah kelompok monomer karbohidrat, turunan aldehid dan keton
karena punya gugus fungsi yang mudah teroksidasi. Contohnya adalah proses
reduksi mangan dengan adanya glukosa sebagai reduktan :
C6H12O6 + 12MnO2 + 24H+ = 6CO2 + 12Mn2+ + 18H2O
Larutan hasil leaching tersebut kemudian dipekatkan dan dimurnikan. Ada
tiga proses pemurnian yang umum digunakan yaitu evaporasi, ekstraksi pelarut
dan presipitasi (pengendapan). Di antara ketiganya, presipitasi adalah yang paling
mudah dilakukan, juga lebih cepat.
Kominusi atau pengecilan ukuran merupakan tahap awal dalam proses
pengolahan bahan galian yang bertujuan untuk :
a) Membebaskan / meliberasi mineral berharga dari material pengotornya.
b) Menghasilkan ukuran dan bentuk partikel yang sesuai dengan kebutuhan pada
proses berikutnya.
c) Memperluas permukaan partikel agar dapat mempercepat kontak dengan zat
lain, misalnya reagen flotasi.
B. Pirometalurgi
Merupakan proses ekstraksi metal dengan energi panas. Suhu yang dicapai
ada yang hanya 50º - 250º C, tetapi ada yang mencapai 2.000º C (proses
pembuatan paduan baja). Yang umum dipakai hanya berkisar 500º - 1.600º C ;
pada suhu tersebut kebanyakan metal atau paduan metal sudah dalam fase cair
bahkan kadang-kadang dalam fase gas.
Umpan yang baik adalah konsentrat dengan kadar metal yang tinggi agar
dapat mengurangi pemakaian energi panas. Penghematan energi panas dapat juga
dilakukan dengan memilih dan memanfaatkan reaksi kimia eksotermik
(exothermic).

Sumber energi panas dapat berasal dari :


 Energi kimia (chemical energy = reaksi kimia eksotermik).
18

 Bahan bakar (hydrocarbon fuels) : kokas, gas dan minyak bumi.


 Energi listrik.
 Energi terselubung/tersembunyi, panas buangan dipakai untuk pemanasan
awal (preheating process).
Peralatan yang umumnya dipakai adalah :
a) Tanur tiup (blast furnace).
b) Reverberatory furnace.
Proses pirometalurgi terbagi atas 5 proses, yaitu :
1. Drying (Pengeringan) adalah proses pemindahan panas kelembapan cairan
dari material. Pengeringan biasanya sering terjadi oleh kontak padatan
lembap denganpembakaran gas yang panas oleh pembakaran bahan bakar
fosil. Pada beberapa kasus, panas pada pengeringan bisa disediakan oleh
udara panas gas yang secara tidak langsung memanaskan. Biasanya suhu
pengeringan di atur pada nilai diatas titik didih air sekitar 120ºC.pada kasus
tertentu, seperti pengeringan air garam yang dapat larut, suhu pengeringan
yang lebih tinggi diperlukan.
2. Calcining (Kalsinasi) adalah dekomposisi panas material. Contohnya
dekomposisi hydrate seperti ferric Hidroksida menjadi ferric oksida dan uap
air atau dekomposisi kalsium karbonat menjadi kalsium oksida dan karbon
diosida dan atau besi karbonat menjadi besi oksida. Proses kalsinasi
membawa dalam variasi tungku termasuk shaft furnace dan rotary kilns.
3. Roasting (Pemanggangan) adalah pemanasan dengan kelebihan udara dimana
udara dihembuskan pada bijih yang dipanaskan disertai penambahan regen
kimia dan pemanasan ini tidak mencapai titik leleh (didih).
Kegunaan Roasting adalah :
- Mengeluarkan sulfur, Arsen, Antimon dari persenyawaannya.
- Merubah mineral sulfida menjadi oksida dan sulfur 2 ZnS + 3O2 2 ZnO +
2 SO4.
- Membentuk material menjadi porous.
- Menguapkan impurity yang foltair.
Dapur yang digunakan pada proses roasting, yaitu :
19

- Hazard Vloer Oven


- Suspensi roasting oven
- Fluiized bed roasting
Jenis-jenis roasting, yaitu :
a. Oksida Roasting Biasanya dilakukan terhadap mineral-mineral sulfida
pada temperatur tinggi (direduksi langsung). Pada temperatur rendah:
- Sulfida logam dapat direduksi dengan Carbon membentuk CS dan CS2.
- Tidak dapat direduksi langsung karena sulfida logam-logam lebih stabil
b. Reduksi Roasting adalah suatu proses pemanggangan dimana suatu oksida
mengalami proses reduksi oleh suatu reduktor gas yang dimaksudkan
untuk menurunkan derajat oksidasi suatu logam. Peristiwa reduksi ini
tidak dapat tercapai untuk suatu oksida yang sangat stabil.
c. Chlor Roasting adalah proses dengan bijih/konsentrat dipanggang bersama
senyawa klorida (CaCl2, NaCl) atau dengan gas Cl2. Tujuan chlor roasting
adalah:
- Menghasilkan senyawa klorida logam dalam air (di ekstraksi). Logam
yang mudah menguap agar dapat dipisahkan dari mineral-mineral
pengganggu (Metalurgi Halida).
d. Fluor Roasting Pemanggangan ini menggunakan reagent F2.
e. Yodium Roasting Pemanggangan ini menggunakan reagent I2.
4. Smelting adalah proses peleburan logam pada temperatur tinggi sehingga
logam leleh dan mecair setelah mencapai titik didihnya. Oven yang
digunakan, yaitu :
 Schacht Oven
 Scraal Oven (revergeratory Furnace
 Electric Oven (Electric Furnace)
2.2.3 Ekstraksi Timah
Untuk konsentrat timah, digunakan ekstraksi timah dengan memanfaatkan
metode pirometalurgi. Pada pirometalurgi menggunakan prinsip reduksi karbon
dari bijih timah yang dilebur memanfaatkan karbon berupa batubara (anthracite)
dan flux untuk mengikat timah cair dan juga slag. Proses peleburan timah ini
20

menggunakan tanur pantul (reverburatory furnace) dan tanur elektrik (electric


furnace).
Menurut Kuznetsov (1969), hal yang sulit dilakukan untuk reduksi timah
dengan proses peleburan yaitu memisahkan timah dari besi. Kondisi dalam
peleburan haruslah seperti reduksi timah oksida, ketika besi oksida mengalami
reduksi sehingga hanya ferrous oksida yang terikat menjadi slag. Timah memiliki
afinitas yang lebih rendah terhadap oksigen dibandingkan dengan besi, pada
temperatur yang dianjurkan untuk memproduksi cairan slag yaitu besi harus
diubang menjadi bentuk metal kemudian reduksi terhadap besi baru dapat
dilakukan. Untuk reduksi timah dari besi, kandungan yang biasa diperoleh yaitu
sekitar 3-6 % dari dross yang dihasilkan dari reduksi besi. Untuk mengontrol
reduksi besi, peleburan harus dikonduksikan menjadi reduksi dengan atmosfir
sedang dengan hasil produksi kegagalan mereduksi timah dari besi menjadi lebih
rendah dan sebagai gantinya timah oksida terkombinasi bersama silica menjadi
slag.
2.2.4 Peleburan Timah
Menurut Soepriyatno dkk (2008), pada dasarnya proses peleburan yang
dilanjutkan dengan pemurnian adalah suatu rangkaian proses pemisahan logam
timah dari unsur-unsur tidak dikehendaki yang terdapat pada konsentrat timah.
Proses peleburan hanya menghasilkan timah yang masih kotor. Adapun proses
peleburan timah pada pokoknya ditujukan untuk :
1. Merubah senyawa timah dalam konsentrat timah yang berbentuk SnO2
menjadi timah yang tidak bersenyawa dengan unsur lain.
2. Membentuk lelehan yang disebut terak yang tidak saling melarut dengan
timah bebas yang terbentuk. Mempunyai berat jenis yang lebih kecil daripada
timah bebas dan mengikat, seluruh unsur-unsur tak dikehendaki yang terdapat
pada konsentrat timah.
Proses peleburan dalam kedua hal diatas sangat tergantung pada reaksi
kesetimbangan berikut :
SnO[terak] + Fe[logam] = Sn[logam] + FeO[terak]
Didapat persamaan sebagai berikut :
21

𝑎 𝑆𝑛 . 𝑎 𝐹𝑒𝑂 𝑎 𝑆𝑛 𝑎 𝐹𝑒𝑂
X= = 𝑥 ................................................... (1)
𝑎 𝑆𝑛𝑂 . 𝑎 𝐹𝑒 𝑎 𝐹𝑒 [𝑙𝑜𝑔𝑎𝑚] 𝑎 𝑆𝑛𝑂 [𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘]

Dimana :
a = aktivitas termodinamika masing-masing komponen
Dari tujuan tersebut peleburan timah dilakukan dengan dua tahap karena
reaksi yang ada harus terpisah satu sama lain agar didapat konsentrat timah yang
diharapkan. Peleburan ini merupakan salah satu proses dari sekian banyak proses
peleburan timah seperti Yunan-tin China menggunakan proses tin-fuming.
Pertimbangan pemilihan proses dua tahap ini karena karakteristik komposisi
timah terutama kadar timah dan senyawa pengotornya. Pada konsentrat kadar Sn
yang rendah memungkinkan jalur proses yang berbeda. Tetapi konsentrat terlalu
rendah kadarnya tidak dapat diproses dengan peleburan. Peleburan dua tahap ini
terdiri atas peleburan tahap pertama menghasilkan timah kasar dan terak I dengan
kadar ± 20% Sn. Peleburan tahap kedua menghasilkan harhead dan terak II
dengan kadar < 1% Sn (Gambar 2.4). Timah hasil peleburan tahap pertama
sebelum dicetak sebagai hasil akhir terlebih dahulu dilakukan proses pemurnian
khususnya terhadap logam Fe, Pb, dan As. Pada peleburan tahap pertama umpan
tanur yang ditambahkan seperti debu, dross, hardhead, timah besi atau material
sirkulasi yang ditambahkan sama dengan jumlah material sirkulasi yang
dihasilkan dari jumlah komposisi yang sama. Batubara (anthracite) ditambahkan
sebagai bahan reduktor dengan komposisi ± 170 kg pada peleburan tahap pertama
dan ± 200 kg tiap komposisi pada peleburan tahap kedua. Pemakaian anthracite
pada peleburan tahap pertama relatif lebih sedikit dibandingkan peleburan tahap
kedua, hal ini merupakan salah satu faktor pengendalian terhadap tujuan dari
masing-masing tahap peleburan yangg hendak dicapai.
22

Gambar 2.4 Diagram Alir Peleburan Timah (Soepriyatno dkk 2008)


2.2.5 Tanur Peleburan Timah
Menurut Carew (1602) dalam Smith (1996), tanur pantul (reverburatory
furnace) merupakan tanur yang menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya
yang awalnya menggunakan arang dengan tanur yang digunakan yaitu blast
furnace. Penggunaan bahan bakar batubara ini dikarenakan pada Kuartal Timur
Shire ketersediaan kayu sangat sulit didapatkan sehingga pada tahun 1778
diperkenalkan tanur pantul (reverburatory furnace) yang menggunakan bahan
bakar batubara karena keuntungannya dalam menggunakan batubara Welsh untuk
menggantikan blast furnace yang menggunakan bahan bakar arang.
Ketika reverburatory furnace diperkenalkan pada abad-18, para penambang
dari Cornish meningkatkan penambangan bijih timah (cassiterite) dengan deposit
23

berupa alluvial placer. Hal ini dikarenakan kandungan cassiterite pada endapan
tersebut memiliki kadar yang tinggi dengan kualitas kelas atas ditambah dengan
adanya reverburatory furnace peleburan cassiterite akan semakin meningkat
karena tekstur kandungan bijih relatif halus sampai menengah.

Gambar 2.5 Perbedaan Dimensi Primitive dan Modern Furnace


(Carew, 1602)
Untuk menghasilkan kondisi proses reduksi bijih pada suhu tinggi
diperlukan suatu wadah proses yang disebut dengan tanur atau tungku peleburan.
Tanur peleburan ini harus mengakomodasikan pemasukan bahan-bahan baku
bijih, pereduksi padat atau gas, serta pemisahan logam cair hasil reduksi dari
senyawa pengotor yang disebut terak. Peleburan timah dua tahap telah digunakan
sebagai metoda peleburan timah sejah 400an tahun yang lalu. Pada tahap itu
digunakan tanur tiup (blast furnace) dan semakin berkembangnya zaman,
digunakan berbagai jenis tanur yang dikembangkan oleh berbagai industri timah
untuk dapat menyesuaikan dengan kondisi bijih timah karena kandungan senyawa
pengotornya, penggunaan jenis energi atau bahan pereduksi yang dipilih serta
rancangan teknologi proses yang lebih maju. Pada dasarnya tanur peleburan timah
yang digunakan pada saat ini menggunakan tanur tetap/pantul (reverburatory
furnace) dikarenakan tanur jenis ini cukup efektif dalam penggunaannya. Disebut
24

tanur tetap karena konstruksi utama tanur ini diletakkan permanen dengan fondasi
di atas tanah (Gambar 2.6). Pembagian segmen-segmen untuk ruang reduksi dan
pemisahan logam cair dari terak cukup jauh, sehingga memberikan cukup waktu
untuk proses reduksi secara sempurna.

CHARGING HOLE

CROSS FLUES
ROOF WORKING DOOR

BURNER BLOCK

Gambar 2.6 Tanur Tetap (Soepriyatno dkk 2008)


2.2.6 Recovery dan Material Balance
Angka perolehan (recovery) merupakan perbandingan antara logam
berharga dalam konsentrat dengan berat logam berharga dalam umpan yang
dinyatakan dalam persen (%). Persamaan nilai recovery adalah sebagai berikut :

𝐶
R = 𝐹.𝑓 𝑥 100 %
............................................................................... (2)
Dimana :

R = Recovery (%)
C = Konsentrat yang didapat (kg)
F = Jumlah umpan (kg)
f = Kadar Sn (%)
Material balance merupakan suatu kesetimbangan pada pengolahan bahan
galian, dimana jumlah partikel umpan yang masuk dalam alat pengolahan
25

hasilnya sama dengan jumlah material yang keluar. Adapun persamaan yang
digunakan dalam pencarian nilai material balance adalah sebagai berikut :

F=C+T
....................................................................................... (3)
Dimana :
F = Berat mineral umpan / feed (ton)
C = Berat konsentrat (ton)
T = Berat Tailing (ton)
Dari persamaan di atas, penggunaan persamaan dalam perhitungan nilai
material balance dalam proses peleburan dapat dikertahui dengan persamaan
berikut ini :

F .f = C.c + T.t
..................................................................................... (4)
Dimana :
F = Jumlah feed yang digunakan (kg)
f = Kadar Sn pada feed yang digunakan (%)
C = Jumlah Konsentrat yang didapat (kg)
c = Kadar Sn dalam konsentrat yang didapat (%)
T = Nilai tailing yang didapat (kg)
t = Kadar Sn dalam tailing yang didapat (%)
4

You might also like