You are on page 1of 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Studi Terdahulu


Berdasarkan penelitian Skripsi Jurusan Teknik Pertambangan Universitas
Pembangunan Nasional (Veteran) yang dilakukan oleh Yalsriman (2011),
berjudul Optimalisasi Kerja Alat Peremuk Untuk Memenuhi Target Produksi
Batubara di PT Tanjung Alam Jaya, hasil penelitiannya menunjukkan perhitungan
produksi nyata peremukan batubara yang mampu dicapai adalah sebesar
3.063 ton/hari dari target sasaran produksi sebesar 4.706 ton/hari. Nilai kesediaan
alat dari unit peremukan, mechanical availability (MA) 76,62 %, phisycal
availibility (PA) 79,63%, use of availability (UA) 81,55%, effective utilization
(Eut) 64,94%, waktu kerja efektif sebesar 779,3 menit/hari dan efisiensi kerja
64,94%. Dari kondisi tersebut, sasaran produksi yang diinginkan belum terpenuhi.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk perbaikan pada unit peremuk agar
sasaran produksi bisa terpenuhi antara lain dengan cara menambah jumlah umpan,
pengurangan waktu tunda karena faktor manusia (non teknis), meningkatkan
waktu kerja efektif dari 12,98 jam/hari menjadi 16,19 jam/hari dan penggantian
peralatan secondary crusher dapat meningkatkan produksi sebesar 383,78 ton/hari
dari 3.063 ton/hari menjadi 3.446,78 ton/hari.
Menurut penelitian dari Firmansyah (2016) Jurusan Teknik Pertambangan
Fakultas Teknik Universitas Bangka Belitung dalam skripsi yang berkaitan
tentang “Kajian Produktivitas Crushing Plant Untuk Pencapaian Target
Produksi 30.000 BCM/Bulan Batu Granit Di PT Mandiri Karya Makmur Di
Desa Tanjung Gunung Kabupaten Bangka Tengah Provinsi Bangka Belitung”.
Berdasarkan hasil dari pembahasan, didapatkan produksi nyata crushing plant
hanya sebesar 33,3% dari kapasitas produksi crushing plant atau target tertinggi
produksinya sebesar 18.738 ton/bulan. Dimana mechanical availability (MA)
dikategorikan buruk dengan nilai 62,5%, physical availability (PA)
dikategorikan baik dengan nilai 71,66%, use of availability (UA) dikategorikan
buruk dengan nilai 65,89% dan effective utilization (EUT) dikategorikan buruk

4
5

dengan nilai 47,22%. Faktor yang mempengaruhi produksi crushing plant


berkenaan dengan kondisi kerja serta management yang buruk, dimana
berdasarkan perhitungan kapasitas terpasang alat, produksi crushing plant
sebesar 56.250 ton/bulan, sedangkan produksi maksimal sebesar 18.738
ton/bulan, dan produksi nyata dengan hambatan sebesar 8.848,5 ton/bulan serta
upaya peningkatan produksi sebesar 13.429 ton/bulan. Jumlah jam kerja efektif
sebelum perbaikan sebesar 4,25 jam/hari dan sesudah perbaikan 6,45 jam/hari,
maka produktivitas crushing plant dapat mencapai 71,66% dari produksi
tertinggi dengan cara menghilangkan semua hambatan yang ada.

2.2 Batu Granit


Menurut Sukandarrumidi (1998), batu granit terbentuk dari proses
pembekuan magma bersifat asam, terbentuk jauh di dalam kulit Bumi sehingga
disebut sebagai batuan dalam. Magma yang mempunyai temperatur dan tekanan
yang tinggi menerobos batuan sedimen. Selama magma granit menerobos batuan
sedimen terjadi penurunan tekanan dan temperatur, sehingga mineral – mineral
yang mempunyai titik leleh tinggi akan mengkristal lebih dahulu, sedangkan
dalam magma granit sendiri mengandung bermacam - macam mineral yang
tingkat kristalisasinya berbeda - beda, sehingga pada waktu pembekuan magma
membentuk batholit granit, mineral - mineral magnetik, wolframit dan juga
kuarsa, ortoklas, plagioklas dan biotit.
Penyusun mineral batu granit terang atau felsik. Batu ini berwarna putih
keabu-abuan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan ada warna lain seperti
merah muda. Warna batuan granit tergantung pada proses kimiawi dan mineralogi
yang menimpanya. Batuan ini terkadang ditemukan di dataran rendah yang
dinaungi bukit - bukit, biasanya batu ini terbentuk di area lempeng tektonik,
bentuk batuan kasar, mineral kuarsa dan feldspar yang membuat batu ini keras
dan kokoh. Kekerasan batu granit mencapai 6-7 skala Moh’s, sedangkan
komposisi kuarsa pada batu granit dapat mencapai 20 - 30 %. Pada tabel berikut
ini akan menerangkan beberapa contoh batuan dengan kandungan kuarsa di setiap
batuan.
6

Tabel 2.1 Kandungan kuarsa pada berbagai batuan


Rock Type Quartz Content % Rock Type Quartz Content %

Amphibolite 0–5 Mika Gneiss 0 – 30


Anorthoisite 0 Mica Schist 15 – 35
Diabase 0–5 Norite 0
Diorite 10 – 20 Pegmatite 15 – 30
Gabbro 0 Phyllite 10 – 25
Gneiss 15 – 50 Quartzite 60 – 100
Granite 20 – 35 Sandstone 25 - 90
Greywacke 10 – 25 Slate 10 - 35
Limestone 0–5 Shale 0 - 20
Marble 0 Taconite 0 - 10
Sumber : Sukandarrumidi (1998)

2.3 Unit Peremukan


Menurut Currie (1973) dalam Yalsriman (2011), Peremukan batu pada
prinsipnya bertujuan untuk mereduksi material agar memperoleh ukuran butir
tertentu, melalui alat peremuk dan pengayakan. Dalam peremukan ukuran batu
umumnya dilakukan melalui 3 tahap yaitu :
1. Primary Crushing
Merupakan peremukan tahap pertama, alat yang biasanya digunakan
pada tahap ini adalah jaw crusher dan gyratory crusher. Umpan material yang
digunakan biasanya berasal dari hasil penambangan dengan ukuran berkisar
1500 mm, dengan ukuran setting antara 30 mm sampai 200 mm. Ukuran terbesar
dari produk peremukan material tahap pertama biasanya kurang dari 200 mm.
2. Secondary Crushing
Merupakan peremukan tahap kedua, alat yang digunakan adalah jaw crusher
ukuran kecil, gyratory crusher ukuran kecil, cone crusher, hammer mill dan rolls.
Umpan yang digunakan adalah hasil dari produk primary crushing dengan ukuran
berkisar 150 - 200 mm, dengan ukuran produk terbesar yang dihasilkan adalah 50
mm.
7

3. Fine Crushing
Merupakan peremukan tahap lanjut dari secondary crushing, alat yang
digunakan adalah rolls, dry ball mills, disc mills dan ring mills. Umpan material
yang biasanya kurang dari 50 mm. Produk fine crushing inilah kemudian
dilakukan pengayakan (screening) yang akan menghasilkan dua macam produk,
yaitu produk yang lolos ayakan (undersize) dan menjadi produk akhir serta
produk yang tidak lolos (under size) yang perlu dilakukan peremukan lagi.
Tabel 2.2 Klasifkasi peremukan
Ukuran
Klasifikai Alat/Mesin Ukuran Feed
Produk
Primary 1. Jaw Crushing
12 – 60 inci 4 – 6 inci
Crushing 2. Gyratory Crushing

1. Gyratory Cone
Crushing
Secondary
2. Rool Crushing 6 – 8 inci 1/2 – 3/8 inci
Crushing
3. Gravity Stamp Mill
4. Hammer Mill
Tertiary 1. Ball Mill
Crushing/Fine 2. Tube Mill 3 inci 50 – 200 mesh
Grinding 3. Rod Mill
Sumber: Currie (1973)

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peremukan


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi peremukan batuan menurut
Arif (2003) antara lain :
1. Kuat tekan dan ukuran umpan batuan
Ketahanan batuan dipengaruhi kekerasan (hardness) dan kerapuhan
(brittleness) dari kandungan mineralnya. Struktur mineral yang sangat halus
biasanya lebih tahan terhadap tekanan dari pada batuan yang berstruktur kasar.
Sementara ukuran umpan material batuan untuk mencapai produk yang baik pada
peremukan adalah kurang dari 85 % dari ukuran bukaan alat peremuk.
8

2. Reduction Ratio
Nisbah reduksi (reduction ratio) sangat menentukan keberhasilan suatu
peremukan, karena besar kecilnya nilai reduction ratio ditentukan oleh
kemampuan alat peremuk untuk mengecilkan ukuran material yang akan diremuk.
Untuk itu harus dilakukan pengamatan terhadap tebal material umpan maupun
tebal material produk.
Reduction ratio adalah perbandingan ukuran terbesar umpan dengan ukuran
terbesar produk. Pada primary crushing besarnya nilai reduction ratio adalah 4–7,
sedangkan pada secondary crushing 5-20. Besarnya reduction ratio merupakan
batasan agar kerja alat lebih efektif.
tF wF
RL= = ...................................................................................(2.1)
tP wP
Keterangan :
RL = Reduction ratio
tF = Tebal umpan (cm)
tP = Tebal produk (cm)
wF = Lebar umpan (cm)
wP = Lebar produk (cm)
Selain faktor-faktor di atas, faktor yang berpengaruh juga terhadap
peremukan adalah cuaca, karena apabila hujan maka batu pada ban berjalan akan
tergelincir, sehingga peremukan material batuan akan berjalan lambat sampai
dengan kegiatan bisa terhenti.

2.5 Peralatan Pada Unit Peremukan


Dalam usaha memperkecil material hasil penambangan yang umumnya
masih berukuran bongkah digunakan alat peremuk. Mula-mula material hasil
penambangan masuk melalui hopper yang kemudian diterima vibrating grizzly
sebelum masuk ke dalam mesin peremuk. Hasil dari peremukan kemudian
dilakukan pengayakan yang akan menghasilkan dua macam produk, yaitu produk
yang lolos ayakan disebut undersize, merupakan produk yang akan diolah lebih
lanjut dan material yang tidak lolos ayakan disebut oversize, merupakan produk
9

yang akan dikembalikan lagi ke dalam mesin peremuk melalui belt conveyor
(Taggart, 1987).
2.5.1 Hopper
Hopper merupakan salah satu alat bantu dari unit peremuk, berfungsi
sebagai tempat penampungan sementara dari material umpan batuan, selanjutnya
material tersebut diumpankan ke alat peremuk oleh alat pengumpan (feeder)
Hopper ini terbuat dari beton yang dilapisi oleh lembaran baja pada dinding-
dindingnya dengan tujuan agar terhindar dari keausan akibat gesekan dan
benturan dinding dengan material.
Kapasitas hopper dihitung dengan rumus berdasarkan volume trapesium
terpancung, yaitu :
1
Vh = t ( L alas + L bawah + √L atas x L bawah )............................(2.2)
3
Setelah volume hopper diketahui, maka kapasitas hopper tersebut adalah :

K = Vh x Bi ..........………….…………………………………....…..(2.3)
Keterangan :
K = Kapasitas hopper (ton)
Vh = Volume hopper (m3)
Bi = Bobot isi material berai (ton/m3)
2.5.2 Alat Pengumpan (Feeder)
Feeder adalah alat pengumpan material dari hopper ke unit peremuk atau
ke atas belt conveyor dengan kecepatan konstan. Penggunaan alat pengumpan
bertujuan agar proses pengumpanan dari hopper menuju ke alat peremuk dapat
berlangsung dengan laju yang konstan, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil,
sehingga dapat mencegah terjadinya penumpukan batu atau tidak ada umpan di
dalam hopper.
1. Perhitungan kapasitas teoritis alat pengumpan (feeder)
Kapasitas teoritis pengumpan (feeder) dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut :
Q = V x T x L x d x 60 …………....……………………………......….....(2.4)
10

Keterangan :
V = Kapasitas feeder (ton/jam)
V = Kecepatan angkut feeder (m/menit)
T = Tinggi tumpukan material di atas feeder (m)
d = Lebar feeder (m)
L = Densitas lepas material (ton/m3)
2.5.3 Alat Peremuk
A. Alat Peremuk Jaw Crusher
Menurut Taggart (1987), jaw crusher merupakan alat pemecah atau
penghancur yang terdiri dari 2 jaw plate saling berhadapan dibuat membentuk
sudut yang kecil ke arah bawah, yang dapat membuka dan menutup. Jaw crusher
bekerja mengandalkan kekuatan motor. Melalui roda motor, poros eksentrik
digerakkan oleh sabuk segitiga dan slot wheel untuk membuat jaw plate bergerak
seirama . Salah satu jaw diam tertahan pada crusher frame (kerangka jaw crusher)
disebut fixed jaw, sedangkan yang satu lagi ditahan pada sumbunya dapat
bergerak sedikit mendekat dan menjauh dari fixed jaw disebut swing jaw. Batu -
batu yang masuk ke jaw akan terjepit dan mengalami gaya tekanan dan gaya
pukulan pada waktu jaw mendekat dan dilepaskan pada waktu jaw menjauh.
Kedua gaya tersebut dapat memecahkan batuan apabila melebihi batas elastisitas
dari batuan.

Gambar 2.1 Jaw crusher (Taggart, 1987)


11

Jaw crusher dapat dibedakan berdasarkan pada sumbu penahan swing jaw,
yaitu blake crusher, dodge crusher, dan universal crusher.
a. Blake type jaw crusher, swing jaw tertahan pada porosnya di sebelah atas,
sehingga swing jaw bergerak dengan ampitudo terbesar berada disebelah
bawah. Jadi lobang penerimaan tetap, sedangkan pengeluaran sebelah bawah
berubah - ubah dan produknya lebih bervariasi. Blake type jaw crusher
dibedakan dalam 2 jenis yaitu doble toggle blake crusher dan single toggle
crusher.
b. Dodge type jaw crusher, swing jaw tertahan pada poros di sebelah bawah,
sehingga amplitudo terbesar di sebelah atas, jadi lobang penerimaanya
berubah - ubah, sedangkan lubang pegeluaranya hampir tetap ukurannya.
Produknya lebih rata ukuranya karena mempunyai gerakan yang kecil sebelah
bawah, maka sering terjadi penyumbatan dan menahan turunnya material yang
sudah hancur.
c. Universal type jaw crusher, swing jaw tertahan dan porosnya berada di bagian
tengah, sehingga lubang penerimaan dan lobang pengeluaran dapat berubah -
ubah.

Gambar 2.2 Tipe-tipe jaw crusher (Taggart, 1987)

Ukuran produk peremukan tergantung pada pengaturan maksimum dari


mulut alat peremuk, produk peremukan akan berukuran ≤ 85 % ukuran gape
(setting), sedangkan ukuran umpan masuk adalah ≤ 85 % dari gape (setting).
12

Kapasitas mesin peremuk jaw crusher dibedakan menjadi kapasitas desain


dan kapasitas nyata. Kapasitas terpasang merupakan kemampuan produksi yang
seharusnya dicapai oleh mesin peremuk tersebut, sedangkan kapasitas nyata
merupakan kemampuan produksi mesin peremuk sesungguhnya yang didasarkan
pada sistem produksi yang diterapkan. Kapasitas terpasang diketahui dari
spesifikasi yang dibuat oleh pabrik pembuat mesin peremuk dan kapasitas nyata
didapatkan dengan cara pengambilan conto produk yang dihasilkan. menurut
Taggart (1987), Kapasitas jaw crusher dinyatakan dalam suatu rumus empiris
yaitu :
T = 0,6 L.S ............................................................................. (2.5)
Keterangan :

T = Kapasitas (ton/jam)
L = Panjang lubang penerimaan
S = lebar lubang penerimaan
Sedangkan menurut Currie (1973), kapasitas jaw crusher dihitung dengan
menggunakan persamaan.
TR = Kc x Km x Kf x Ta ................................................................(2.6)
Keterangan :

TR = Kapasitas jaw crusher (ton/jam)


Kc = Kostanta kekerasan batuan, untuk batu granit nilainnya 0,90
Km = Faktor kandungan air, batu granit nilainya 1 (kering)
Kf = Faktor pengumpanan material, untuk continiue = 0,75 – 0,85,
sedangkan untuk tidak continiue 0,25 – 0,50
Ta = Kapasitas desain alat peremuk tersebut (ton/jam)
B. Cone Crusher
Cone crusher adalah alat yang merupakan variasi dari gratory crusher, dimana
perbedaannya terletak pada dinding luar yang tadinya lurus dibuat menyerupai
kerucut (Allis, 2015). Cone crusher digunakan untuk meremukkan batu keras dan
menengah seperti batu kapur, bijih tembaga, kuarsa, granit, batu pasir dan lain-
lain.
13

a) Keunggulan dari mesin cone crusher:


- Tingkat produksi tinggi, kualitas tinggi
- Mesin kurang menghentikan waktu
- Mudah dalam perawatan dan rendah biaya
- Sistem penghancuran yang unik meliputi primer, sekunder, dan tersier
b) Prinsip kerja mesin cone crusher
Mesin peremuk cone crusher yang biasanya digunakan pada tahap
peremukan ke dua terdiri dari bingkai, perangkat transmisi, hollow eccentric shaft,
bearing yang berbentuk mangkuk, penghancur berbentuk kerucut, springs dan
tempat pengaturan tekanan hidrolik untuk mengatur discharging opening. selama
masa pengoperasian, motor menjalankan eccentric shaft shell untuk berbalik
melalui poros horisontal dan sepasang bevel gear. Poros dari crushing cone
berayunan dengan kekuatan eccentric shaf tshell sehingga permukaan dari
dinding penghancur berdekatan dengan dinding roll mortar dari waktu ke waktu.
dalam hal ini, bijih besi dan batu akan tertekan dan kemudian hancur.

Gambar 2.3 Cone crusher (Allis, 2015)


c) Tahapan seting cone
- Kendorkan baut top shelt dan botom shelt
- Top shelt diputarkan
- Arah seting searah jarum jam
- Bila telah sesuai setingan dikencangkan baut keduanya.
14

2.5.4 Belt Conveyor


Menurut Partanto (1983), belt conveyor adalah suatu alat angkut material
yang dapat bekerja secara kesinambungan pada kemiringan tertentu maupun
mendatar. Belt conveyor dibuat dengan menyatukan beberapa jenis anyaman
kapas, atau nilon, rayon, dan kabel baja, menjadi kontruksi tulangan yang
memberikan kekuatan untuk menahan tarikan dalam sabuk. Lapisan itu ditutup
dengan perekat yang terbuat dari karet yang kemudian menggabungkannya
menjadi struktur yang menyatu. Belt conveyor digerakkan oleh motor penggerak
yang dipasang pada head pulley. Belt akan kembali ke tempat semula karena
dibelokkan oleh pulley awal dan pulley akhir.
Material yang di distribusikan melalui pengumpan akan dibawa oleh sabuk
berjalan belt conveyor dan berakhir pada head pulley. Pada saat proses kerja di
unit peremuk dimulai, belt conveyor harus bergerak terlebih dahulu sebelum alat
peremuk bekerja. Hal ini bertujuan mencegah terjadinya kelebihan muatan pada
belt. Pemakaian belt conveyor dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Sifat fisik dan kondisi material batuan
Kemampuan belt conveyor jalan dalam mengangkut material sangat
berhubungan dengan material yang diangkutnya. Kondisi material tersebut antara
lain :
- Ukuran dan bentuk material
Belt conveyor dapat digunakan untuk mengangkut material yang mempunyai
ukuran tidak terlalu besar, hal ini disesuaikan dengan bentuk sabuk berjalan
yang mempunyai penampang melintang yang kecil. Ukuran material yang kecil
akan memudahkan dalam pengangkutan dan tidak mudah tumpah keluar dari
belt. Agar memenuhi persyaratan tersebut maka material hasil penambangan
perlu diperkecil ukurannya.
- Kandungan air
pada material air dapat mempengaruhi kondisi belt conveyor. Material
dengan kandungan air tinggi tidak dapat diangkut dengan belt conveyor yang
memiliki kemiringan besar. Sebaliknya bila kandungan air terlalu sedikit, maka
material yang terlalu kecil akan beterbangan. Agar kandungan air tetap tidak
15

bertambah yang diakibatkan oleh adanya air hujan, maka sabuk berjalan harus
dilengkapi dengan penutup, sehingga dengan demikian kandungan air tetap.
- Komposisi material
Material yang berada di kuari tidak hanya berupa material saja, tetapi juga
tersisipi oleh tanah (soil). Pada saat kandungan air pada material besar, tanah
akan menjadi lengket. Apabila kondisi demikian maka dapat menyebabkan
material lengket atau menempel pada return idler, sehingga jalannya belt
conveyor akan bergelombang dan daya motor akan semakin bertambah besar.
b. Keadaan topografi
Kondisi lapangan dapat mempengaruhi penggunaan belt conveyor. Daerah
dengan karakteristik berbukit-bukit dimana kemiringan pada daerah tersebut
cukup besar, maka dibandingkan dengan penggunaan lori atau truck dalam
mengangkut material, belt conveyor lebih memungkinkan untuk digunakan karena
dalam mengatasi kemiringan kemampuan sabuk berjalan lebih besar, yaitu dapat
mencapai 30 - 35%. Hal ini dapat digunakan sebagai alternatif dalam pemilihan
suatu alat angkut.
c. Jarak pengangkutan
Sabuk berjalan dapat digunakan untuk mengangkut material jarak dekat
maupun jarak jauh. Untuk pengangkutan jarak jauh belt conveyor dibuat dalam
beberapa unit. Hasil kerja pengangkutan material dengan sabuk berjalan
berlangsung berkesinambungan, sehingga dengan demikian dapat menghasilkan
produksi belt conveyor yang besar, tetapi jika pada suatu saat belt conveyor
mengalami kerusakan, maka produksi akan menjadi sangat menurun atau bahkan
tidak bisa berproduksi sama sekali. Dengan demikian pertimbangan terhadap
kemungkinan ini perlu dilakukan dalam penggunaan belt conveyor.
A. Bagian-bagian Belt Conveyor
Belt conveyor terdiri dari ban yang menggelindingi roda gerak awal dan roda
gerak ujung yang menghampar di atas roll. Bagian-bagian terpenting dari
belt conveyor dapat dibagi kedalam dua kelompok bagian, yaitu:
16

1. Bagian-bagian yang bergerak


a. Pulley
Adalah suatu roll atau silinder yang berputar pada sumbunya dan terletak pada
ujung dari rangka belt conveyor.
b. Belt
Berfungsi untuk membawa material yang diangkut dari suatu tempat ke
tempat lain. Belt tersebut terbuat dari campuran karet dan beberapa jenis
anyaman kapas, atau nilon, rayon, dan kabel baja.
c. Motor penggerak
Berfungsi untuk menggerakkan drive pulley dan biasanya dilengkapi dengan
sistem perpindahan roda gigi.
d. Idler
Berfungsi untuk menahan dan menyangga belt. Pemilihan terhadap diameter,
ukuran bearing dan shaft mendasarkan pada : perawatan, kondisi operasi,
muatan , serta kecepatan ban.
2. Bagian-bagian yang tetap
a. Kerangka (frame)
Berfungsi untuk menyangga rangkaian belt conveyor sehingga muatan dapat
diangkut dengan aman.
b. Penegang (take-up)
Berfungsi untuk membentuk belt sehingga muatan di atas idler dapat berjalan
dengan baik serta untuk menghindari terjadinya selip antara ban dengan pulley
penggerak.
c. Centering device
Berfungsi untuk mencegah agar belt tidak meleset dari roller sehingga tetap
berjalan pada alur alur dengan baik.
d. Loading skirt, digunakan untuk mencegah muatan jangan sampai tercecer pada
loading point.
e. Belt cleaner atau scraper, digunakan untuk membersihkan material lengket
yang menempel pada belt dan dipasangkan pada permukaan sabuk setelah head
pulley.
17

f. corong, adalah alat yang digunakan untuk menumpahkan material


dan mengarahkan ke tempat tertentu.

Gambar 2.4 Bagian-bagian belt conveyor (Partanto, 1983)

B. Kapasitas Produksi Teoritis Belt Conveyor


Kapasitas teoritis belt conveyor sangat dipengaruhi oleh luas penampang
melintang material yang terangkut, kecepatan belt conveyor, dan bobot isi
material yang terangkut. Luas penampang melintang akan tergantung pada lebar
sabuk, dalamnya cekungan sabuk, sudut lereng alam (angle of repose), material
terangkut dan sejauh mana sabuk itu mampu dimuati sampai batas
kemampuannya, sedangkan sudut lereng alami material di atas belt conveyor
dipengaruhi oleh jenis dan kondisi material yang diangkut. Dengan mengetahui
luas penampang melintang muatan di atas belt conveyor maka kapasitas teoritis
dari dapat dicari dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
A = K (0,9 B – 0,05)2 ......................... ....................................................(2.7)
Keterangan :
A = Luas penampang melintang muatan di atas belt conveyor (m3)
K = Koefisien dari luas penampang melintang muatan di atas belt
conveyor, dimana harganya tergantung dari harga trrough of angle
(ß) dan harga angle of repose (ɑ).
B = Lebar sabuk berjalan (m)
Kapasitas teoritis belt conveyor juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Qt = 60 x A x V x Bi x S .......................................................................(2.8)
18

Keterangan:
Q = Kapasitas teoritis belt conveyor (m3/Jam)
A = Luas penampang muatan di atas belt conveyor (m2)
V = Kecepatan belt conveyor (m/menit)
Bi = Bobot isi material (ton/m3)
S = Koefisien pengaruh kemiringan belt conveyor
C. Kapasitas Produksi Nyata Belt Conveyor
Rumus umum yang digunakan dalam menghitung kapasitas produksi nyata
menurut Kurimoto (1997), sebagai berikut :
60 x v x G
P= .....................................................................................(2.9)
1000 x L
Keterangan :
P = Produksi nyata belt conveyor (ton/jam)
V = Kecepatan belt conveyor (m/menit)
G = Berat material conto (kg)
L = Panjang pengambilan conto belt conveyor (m)
D. Ayakan Getar
Menurut Kelly (1982), ayakan getar adalah alat yang digunakan untuk
memisahkan ukuran material hasil proses peremukan berdasarkan besarnya
bukaan pada ayakan tersebut yang dinyatakan dengan mesh.

Gambar 2.5 Ayakan getar (Arif, 1989)


19

Kapasitas dari ayakan dihitung dengan menggunakan rumus seperti pada


vibrating grizzly. Proses pengayakan dipengaruhi oleh faktor - faktor :
- Lamanya waktu pengayakan
- Banyaknya material halus dalam umpan
- Kandungan air dalam material
- Bentuk dari lubang ayakan
Untuk menghitung efisiensi dari ayakan diperoleh dari perbandingan antara
berat material yang benar-benar lolos ayakan dengan berat material yang
seharusnya lolos ayakan. Efisiensi dinyatakan dalam persen.
- Effisiensi screen
Banyaknya material yang lolos pada ukuran screen tertentu yang biasanya
dinyatakan dalam persen.

material yang lolos


E = x 100 .................................(2.10)
Material yang seharusnya lolos
- Kapasitas screen
Qt = a (A x B x C x D x E ) ...............................................................(2.11)
Keterangan :

Qt = Kapasitas teoritis ayakan (ton/jam)


a = Luas permukaan ayakan, ft2
A = Kapasitas teoritis untuk setiap ft2 lubang bukaan ayakan, ton/jam
B = Faktor yang harganya tergantung dar jumlah over size dalam
umpan pada ukuran lubang buka ayakan yang digunakan.
C = Faktor efisiensi ayakan
D = Faktor ukuran halus material
E = Wet screenity factor yaitu faktor yang tergantung dari besar
kecilya material yang disemprotkan air, bila kering E = 1

2.6 Kesediaan Alat Peremukan


Adalah pengertian yang dapat menunjukkan keadaan alat mekanis tersebut,
misalnya kesediaan fisik dan efektivitas penggunaannya yang menyatakan apakah
jam kerja alat tercapai sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Ketersediaan
20

alat dikatakan baik apabila persen kesediaan alat berkisar antara 83-92 %,
dikatakan sedang apabila berkisar antara 75-83 %, dikatakan kurang baik apabila
berkisar antara 67-75 % dan dikatakan buruk (kecil) apabila kurang dari 67 %
(Partanto, 1983).
2.6.1 Mechanical Availability
Adalah cara untuk mengetahui kondisi alat yang sesungguhnya dari alat
yang sedang digunakan.
W
MA = x 100 % ................................................................ (2.12)
WR
Keterangan :
W = Jumlah jam kerja alat tanpa mengalami kerusakan
R = Jumlah jam perbaikan
2.6.2 Physical Availability
Adalah berguna untuk menunjukkan ketersediaan keadaan fisik alat yang
sedang digunakan.
W S
PA = x 100 % ............................................................(2.13)
W  R S
Keterangan :
S = Jumlah jam alat tidak dapat digunakan tapi tidak
mengalami kerusakan
W+R+S = Seluruh jam kerja dimana alat dijadwalkan untuk
dioperasikan.
2.6.3 Use of Availability
Use of Availability biasanya dapat memperlihatkan seberapa efektif suatu
alat yang sedang tidak rusak untuk dapat dimanfaatkan, hal ini dapat dijadikan
suatu ukuran seberapa baik pengelolaan pemakaian peralatan.
W
UA = x 100% ......................................................................(2.14)
W S
Keterangan :
UA = Memperlihatkan efektivitas alat yang tidak sedang rusak dapat
dimanfaatkan.
21

2.6.4 Effective Utilization (Eut)


Cara menunjukkan berapa persen seluruh waktu kerja yang dapat
dimanfaatkan untuk kerja produktif.
W
Eut = x 100 % ..............................................................(2.15)
W  R S
2.6.5 Efektivitas Penggunaan Alat
Untuk mengetahui tingkat penggunaan alat peremuk dan kemampuan yang
bisa dicapai.
Kapasitas nyata
Ep = x 100 % .................................................(2.16)
Kapasitas desain

2.7 Efisiensi Kerja


Efisiensi kerja adalah perbandingan antara waktu kerja produktif dengan
waktu kerja yang tersedia, dinyatakan dalam persen (%) (Partanto, 1983).
Efisiensi kerja ini akan mempengaruhi kemampuan produksi dari suatu alat.
Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung efisiensi kerja adalah sebagai
berikut :
We = Wt – (Wtd+Whd) ............................................................................(2.17)
Ek = (We/Wt) x 100% .............................................................................(2.18)
Keterangan :
We = Waktu kerja efektif (menit)
Wt = Waktu kerja tersedia (menit)
Whd = Waktu hambatan dapat dihindari (menit)
Wtd = Waktu hambatan tidak dapat dihindari (menit)
Ek = Efisiensi kerja (%)
Pekerja atau mesin tidak mungkin selamanya bekerja 60 menit per jam,
karena hambatan-hambatan kecil akan selalu terjadi karena kondisi kerja dan
kondiai manejemen yang ada. Pada tabel 2.4 akan di jelaskan hubungan kondisi
kerja dengan kondisi manajemen.
22

Tabel 2.3 Efisiensi Kerja


Kondisi Manajemen
Kondisi Kerja
Excellent Good Fair Poor
Excellent 0,84 0,81 0,76 0,70
Good 0,78 0,75 0,71 0,65
Fair 0,72 0,69 0,65 0,60
Poor 0,63 0,61 0,57 0,52
Sumber: Partanto (1983)

You might also like