You are on page 1of 50

TOKSIKOLOGI FORENSIK : INTOKSIKASI ALKOHOL

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA

PERIODE 2015/2016

Oleh :

Ferdinand Kapisa

0110840126

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2016
TOKSIKOLOGI FORENSIK : INTOKSIKASI ALKOHOL

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

Ferdinand Kapisa

0110840126

Dosen Pembimbing :

1. dr. Jimmy V J. Sembay, Sp.F

2. dr. Yennifer L Yusuf

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2016

i
HAL PENGESAHAN

Telah diujikan dan disetujui oleh panitia Ujian Karya Tulis Ilmiah

Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Cenderawasih Jayapura

Untuk memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Pada :

Hari : ..............

Tanggal : ..............

MENGESAHKAN

Panitia Ujian Karya Tulis Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran

Universitas Cenderawasih

Ketua Sekretaris

dr.Herlambang B. Mulyono, Sp.OT Venthy Angelika, S.Psi.,M.A.

NIP. NIP.

Tim Penguji

1. dr. 1. ………………………….

NIP.

2. dr. 2. ………………………….

NIP.

3. dr. 3. ………………………….

NIP.

ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto : “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya, maka semuanya

itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6: 33)

Persembahan :

Segala pujian dan sembah syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, untuk semua

kasih, kebaikan, dan penyertaan Tuhan yang selalu ada bagi saya selama

menempuh pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih.

Karena Tuhan Yesus yang memberikan hikmat dan pengetahuan sehingga saya

dapat mengikuti proses pendidikan ini.

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan

Kasih dan Karunia-Nya sehingga penyusunan karya tulis ilmiah yang berjudul

“Toksikologi Forensik : Intoksikasi Alkohol” sebagai salah satu prasyarat untuk

dapat meraih gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) di Fakultas Kedokteran

Universitas Cenderawasih dapat selesai tepat pada waktunya. Penulisan karya

tulis ilmiah ini merupakan hasil bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai

pihak. Sehubungan dengan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Onesimus Sauleka, S. H., M. Hum. Rektor Universitas Cenderawasih

Jayapura.

2. dr. Trajanus L. Jembise, Sp.B. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Cenderawasih Jayapura.

3. dr. Jimmy V J. Sembay, Sp.F selaku dosen Pembimbing I yang dengan penuh

kesabaran dan ketekunan memberikan dorongan, perhatian, bimbingan,

pengarahan, serta saran dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini selesai pada

waktunya.

4. dr. Yennifer L. Yusuf selaku dosen Pembimbing II yang dengan penuh

kesabaran dan ketekunan memberikan dorongan, perhatian, bimbingan,

pengarahan, serta saran dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini selesai pada

waktunya.

5. Bapak Gasper Kapisa, ibu Ani Rumsayor/Kapisa, adik Abraham Kapisa, adik

Elsye Kapisa dan seluruh keluarga atas cinta, dukungan dan doa yang selalu

diberikan sehingga karya tulis ilmiah ini selesai pada waktunya.

iv
6. Adik dan sahabat terkasih Yunita Fakdawer atas doa dan dukungan yang

diberikan selama perkuliahan dan penyusunan karya tulis ilmiah ini.

7. Saudara-saudara dalam Komsel (Komunitas Sel) yaitu Elison, Eki, Chris,

Rian, Nyco, Irvan, Nuel, dan Yan yang selalu mendukung dalam doa.

8. Sahabat dan teman-teman seperjuangan angkatan 2011 yang selalu bersama

dalam suka dan duka. Semoga kita tetap kompak dan menjaga tali kekerabatan

untuk sama-sama berjuang menjadi dokter yang berguna bagi masyarakat.

9. Saudara-saudara Mabes Grand atas dukungan, doa, dan kebersamaan yang

selalu terjalin.

10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini masih

terdapat berbagai kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan

demi perbaikan karya tulis ilmiah ini. Akhirnya penulis berharap semoga karya

tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jayapura, Juni 2016

Penulis

v
DAFTAR ISI

HAL JUDUL ......................................................................................................... i

HAL PENGESAHAN .......................................................................................... ii

HAL PERSEMBAHAN ........................................................................................ iii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi

DAFTAR TABEL ................................................................................................. viii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix

DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 3

1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................. 3

1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................................... 4

BAB II ISI

2.1 Definisi ............................................................................................................ 5

2.2 Epidemiologi ................................................................................................... 6

2.3 Etiologi ............................................................................................................ 8

2.3.1 Farmakokinetik ...................................................................................... 8

2.3.2 Metabolisme Alkohol ............................................................................. 10

2.3.3 Efek Konsumsi Alkohol Akut ................................................................ 13

2.3.4 Efek Konsumsi Alkohol Kronik............................................................. 15

2.3.5 Tanda dan Gejala Keracunan ................................................................. 23

vi
2.4 Aspek Medikolegal ......................................................................................... 25

2.5 Penegakkan Diagnosis .................................................................................... 26

2.5.1 Anamnesa .............................................................................................. 26

2.5.2 Pemeriksaan Fisik ................................................................................. 26

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 27

2.6 Diagnosis Banding .......................................................................................... 29

2.7 Terapi .............................................................................................................. 30

2.7.1 Farmakoterapi ....................................................................................... 30

2.7.2 Non Farmakoterapi ............................................................................... 33

2.8 Komplikasi ..................................................................................................... 33

2.9 Prognosis ........................................................................................................ 35

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 36

3.2 Saran…………………………………………................................................ 37

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 38

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 ................................................................................................................... 6

Tabel 2 ................................................................................................................... 14

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 ............................................................................................................... 11

ix
DAFTAR SINGKATAN

1. ADH : Alkohol Dehidrogenase.

2. ALDH : Aldehid Dehidrogenase.

3. BAC : Blood Alcohol Concentration.

4. CO2 : Karbondioksida.

5. H2O : Air.

6. H2O2 : Hidrogen Peroksidase.

7. KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

8. NAD : Nikotinamida Adenine Dinukleotida.

9. NADH : Nikotinamida Adenosin Dinukleotida.

10. NADP+ : Nicotiamide Adenine Dinucleotide Phosphate.

11. NMDA : N-methyl-D-Aspartate.

12. SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga.

13. SOEM : Sistim Oksidasi Etanol Mikrosom.

14. O2 : Oksigen

15. WHO : World Health Organization.

x
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Alkohol, terutama dalam bentuk etil alkohol (etanol), menempati

suatu tempat penting dalam sejarah manusia setidaknya selama 8000 tahun.

Pada masyarakat barat, bir dan anggur merupakan minuman pokok utama

dalam kehidupan sehari-hari sampai abad ke-19. Di Amerika Serikat, sekitar

75% populasi orang dewasa meminum alkohol secara teratur. Namun,

sekitar 10% populasi umum di Amerika Serikat tidak dapat membatasi

konsumsi alkoholnya, suatu kondisi yg dikenal sebagai penyalahgunaan

alkohol (Bertram, 2012 : 371).

Kematian yang diakibatkan oleh keracunan alkohol atau karena

mengkonsumsi alkohol (etanol) secara berlebihan merupakan permasalahan

serius yang terus terjadi hampir di seluruh dunia. Angka morbiditas dan

mortalitas akibat alkohol terus meningkat setiap tahunnya. Angka mortalitas

di dunia akibat konsumsi alkohol mulai meningkat pada tahun 2004, yaitu

sebesar 3,8 %, yang mana 6,2% pada pria dan 1,1% pada wanita. Pada tahun

2012, 5,9% kematian di seluruh dunia diakibatkan oleh alkohol. Secara

keseluruhan, 3,3 juta disumbangkan oleh kematian akibat mengkonsumsi

alkohol. Hal ini terkait dengan 5,9 % dari seluruh kematian, atau satu per

dua puluh kematian di dunia (WHO, 2014).

1
2

Negara berkembang seperti Indonesia juga telah dikonfirmasi

adanya peningkatan angka peminum alkohol yang masih tergolong rendah

namun hal ini tentunya berpotensi untuk meningkatkan angka mortalitas

akibat alkohol di Indonesia. Menurut WHO dari tahun 2003-2005 dan 2008-

2010 prevalensi peminum alkohol untuk individu berusia 15 tahun ke atas

masing-masing sebesar 0,6%, yang mana 1,1% untuk pria dan 0,1% untuk

wanita. Pada tahun 2012, persentase insidensi penyakit sirosis hati akibat

alkohol sebesar 52,7% pada pria dan 16,6% pada wanita, kemudian

persentase kematian akibat kecelakaan lalu lintas di bawah pengaruh alkohol

sebesar 34,4% untuk pria dan 13,6% untuk wanita (WHO, 2014).

Selain itu, berdasarkan Rikesda 2007 melalui SKRT (survei

kesehatan rumah tangga), dikemukan bahwa prevalensi peminum alkohol

untuk laki-laki dan perempuan umur 15 tahun ke atas, masing-masing

sebesar 3,0% dan 2,0% pada tahun 1995, 5,7% dan 0,8% pada tahun 2001

(Suhardi, 2011).

Sampai saat ini belum ditemukan data yang spesifik mengenai

angka kematian terkait penyalahgunaan alkohol di Papua. Menurut Papua

pos, 27 mei 2007, dilaporkan bahwa terjadi 365 kasus kematian akibat

konsumsi alkohol di suku Mee, Kabupaten nabire, Papua. Dari situasi yang

terjadi hari-hari ini dapat ditemukan berbagai kontribusi penyalahgunaan

alkohol dalam menyebabkan kematian karena kecelakaan, pembunuhan,

bunuh diri sertai berbagai tindak pidana lainnya (Yermias, 2011).

Banyak metode yang didapatkan dari berbagai inovasi dalam dunia

kedokteran klinis dan laboratorium di seluruh dunia. Toksikologi forensik


3

bekerja sama dengan ahli patologi, dokter pemeriksa, dan pegawai terkait

dalam memeriksa sebab kematian untuk membantu membuktikan peranan

alkohol, obat-obatan dan racun yang menyebabkan kematian. Pemeriksaan

ini bertujuan untuk membuktikan adanya obat-obatan atau bahan kimiawi di

dalam darah atau sampel jaringan tubuh (RK Sharma, 2011).

Sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia, kasus

toksikologi forensik merupakan standar kompetensi 3A bagi lulusan dokter

umum sehingga dokter dituntut untuk dapat menegakkan diagnosis,

memberikan penanganan awal hingga merujuk.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana mekanisme keracunan alkohol?

2. Bagaimana proses pembuktian keracunan alkohol dari sisi medis

terhadap orang hidup?

3. Bagaimana proses pembuktian keracunan alkohol dari sisi medis

terhadap orang meninggal?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui proses pembuktian kasus keracunan alkohol.

2. Untuk mengetahui proses pembuktian kasus kematian akibat keracunan

alkohol.
4

1.4. Manfaat Penulisan

1. Untuk penulis

Sebagai bahan pengetahuan untuk menambah wawasan guna

dapat diterapkan dalam kepentingan-kepentingan medis.

2. Untuk fakultas

a. Untuk menambah bahan pengetahuan mengenai keracunan alkohol

bagi mahasiswa fakultas kedokteran universitas cenderawasih.

b. Sebagai bahan untuk menambah kepustakaan bagi penulisan-

penulisan selanjutnya.
BAB II

ISI

2.1. Definisi

Alkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan dapat

menimbulkan keracunan. Keracunan alkohol menyebabkan penurunan daya

reaksi atau kecepatan, kemampuan untuk menduga jarak dan ketrampilan

mengemudi sehingga cenderung menimbulkan kecelakaan lalu lintas di

jalan, pabrik dan sebagainya. Penurunan kemampuan untuk mengontrol diri

dan hilangnya kapasitas untuk berfikir kritis mungkin menimbulkan

tindakan yang melanggar hukum seperti perkosaan, penganiayaan, dan

kejahatan lain ataupun tindakan bunuh diri (Arif Budianto, 1997 : 113).

Alkohol, yang dimaksudkan di sini ialah etanol atau etil alkohol.

Senyawa ini memiliki sifat mendepresi fungsi sistim saraf pusat. Jika

digunakan berlebihan, alkohol mengganggu pengaturan eksitasi atau inhibisi

di otak, sehingga dapat menyebabkan terjadinya disinhibisi, ataksia, dan

sedasi. Alkohol juga berefek pada berbagai sistim organ tubuh, termasuk

saluran cerna, kardiovaskular, dan sistim saraf pusat. Motivasi peminum

alkohol ialah untuk mendapatkan euforia, melepaskan emosi serta

melepaskan diri sementara dari depresi dan ansietas yang dialaminya

(Gunawan, 2012).

a. Kadar alkohol yang terdapat dalam minuman

Alkohol terdapat dalam berbagai minuman seperti whisky,

brandy, rum, vodka, gin (mengandung 45% alkohol); wines (10-20%);

5
6

beer dan ale (48%). Alkohol (etanol) sintetik seperti air tape, tuak dan

brem, dihasilkan dari peragian secara kimia dan fisiologik. Bau alkohol

murni dapat tercium di udara bila mencapai 4,5-10 ppm (Arif Budianto,

1997 : 113).

Tabel.1 Konsentrasi alkohol dalam minuman-minuman beralkohol.

(Dikutip dari: R.K Sharma, 2011 : 302).

No. Jenis Persentase alkohol

Whisky 40 %
1.

Rum 40 – 60 %
2.

Gin 40 %
3.

Brandy 40 – 50 %
4.

Light lager beer 3–4%


5.

Strong beers 8 – 10 %
6.

Wine 20 %
7.

Champagne 10 – 30 %
8.

Vodka 40 – 60 %
9.

2.2. Epidemiologi

Penyalahgunaan alkohol merupakan salah satu faktor resiko

kesehatan yang tersebar luas di seluruh dunia. Pada tahun 2012, sekitar 3,3

juta kematian di seluruh dunia, atau dengan kata lain 5,9 % dari seluruh
7

kematian, diperkirakan berhubungan dengan konsumsi alkohol. Sumbangsih

terbesar kematian terkait konsumsi alkohol disebabkan oleh cedera, kanker,

penyakit kardiovaskular, dan sirosis hati (WHO, 2014 : 62).

Selain itu, kasus bunuh diri akibat penyalahgunaan alkohol cukup

tinggi di dunia, mencapai angka lebih dari 800.000 orang pada tahun 2012.

Diperkirakan 75% terjadi di negara-negara berkembang (WHO, 2016).

Negara berkembang seperti Indonesia, telah dikonfirmasi adanya

peningkatan angka peminum alkohol yang masih tergolong rendah. Namun

hal ini tentunya berpotensi untuk meningkatkan angka morbiditas dan

mortalitas akibat alkohol di Indonesia. Menurut WHO dari tahun 2003-2005

dan 2008-2010 prevalensi peminum alkohol untuk individu berusia 15 tahun

ke atas masing-masing sebesar 0,6%, yang mana 1,1% untuk pria dan 0,1%

untuk wanita. Persentase insidensi penyakit sirosis hati akibat alkohol

sebesar 52,7% pada pria dan 16,6% pada wanita, kemudian persentase

kematian akibat kecelakaan lalu lintas di bawah pengaruh alkohol sebesar

34,4% untuk pria dan 13,6% untuk wanita pada tahun 2012 (WHO, 2014 :

253).

Selain itu, berdasarkan Rikesda 2007 melalui SKRT (survei

kesehatan rumah tangga), dikemukan bahwa prevalensi peminum alkohol

untuk laki-laki dan perempuan umur 15 tahun ke atas, masing-masing

sebesar 3,0% dan 2,0% pada tahun 1995, 5,7% dan 0,8% pada tahun 2001

(Suhardi, 2011).

Sampai saat ini belum ditemukan data yang spesifik mengenal

kematian terkait penyalahgunaan alkohol di Papua. Namun, menurut Papua


8

Pos, 27 mei 2007, dilaporkan bahwa terjadi 365 kasus kematian akibat

konsumsi alkohol di suku Mee, Kabupaten Nabire, Papua (Yermias, 2011).

2.3. Etiologi

Terjadinya suatu keracunan atau kematian akibat alkohol

disebabkan oleh konsumsi alkohol secara berlebihan. Kadar alkohol yang

dapat menyebabkan keracunan bergantung pada usia, jenis kelamin, dan

kesehatan individu, sedangkan peminum alkohol yang lama biasanya dapat

mentoleransi dosis yang tinggi. Orang dewasa yang mengkonsumsi 150-250

ml alkohol dapat menjadi dosis yang fatal. Sedangkan mengkonsumsi 750

ml (setara 1 botol wiski) alkohol dapat menyebabkan kematian (R.K

Sharma, 2011 : 290, (Gunawan, 2012).

2.3.1.Farmakokinetik

Etanol (C2H5OH) merupakan molekul kecil, larut dalam air,

dan diserap dengan cepat dari saluran pencernaan. Setelah menelan

alkohol dalam keadaan puasa, maka kadar puncak alkohol dalam darah

dapat dicapai dalam 30 menit. Adanya makanan dalam usus

memperlambat penyerapan karena pengosongan gaster melambat.

Sebagian besar (80%) diabsorbsi di usus halus dan sisanya diabsorbsi

di kolon. Bila konsentrasi optimal alkohol diminum dan masuk ke

dalam lambung kosong, kadar puncak dalam darah tercapai 30-90

menit sesudahnya. Alkohol mudah berdifusi dan distribusinya dalam

jaringan sesuai dengan kadar air jaringan tersebut, semakin hidrofil

jaringan semakin tinggi kadarnya. Biasanya dalam 12 jam sudah


9

tercapai keseimbangan kadar alkohol dalam darah, usus dan jaringan

lunak. Konsentrasi dalam otak sedikit lebih besar dari pada dalam

darah. Kadar alkohol kemudian akan menurun dengan kecepatan

sebesar 15 mg% atau 14 mg% setiap jam. Pada alkoholik kronik,

eliminasi alkohol menjadi 40 mg% per jam. 10% alkohol yang

dikonsumsi akan dikeluarkan dalam bentuk utuh melalui urin, keringat

dan udara napas. Dari jumlah ini sebagian besar dikeluarkan melalui

urin (90%). Konsentrasi dalam urin 1,2 – 1,3 kali lebih besar dari

darah yang mana konsentrasi ini harus diperoleh dari urin yang keluar

dari ginjal setelah minum alkohol, sehingga pemeriksaan kadar alkohol

urin harus didahului pengosongan kandung kemih (Arif Budianto,

1997 : 113 - 114).

Konsentrasi etanol meningkat dengan cepat pada sistem saraf

pusat karena otak menerima aliran darah dalam jumlah besar dan

etanol mudah menembus membran biologik. Lebih dari 90% alkohol

yang dikonsumsi dioksidasi dalam hati, kebanyakan sisanya

dieksresikan melalui paru-paru dan urin. Ekskresi alkohol dalam

jumlah kecil tetapi konsisten melalui paru-paru digunakan pada uji

napas alkohol (breath test) yang dapat menjadi dasar definisi legal

“mengemudi dibawah pengaruh alkohol” di banyak negara. Pada

kadar etanol yang biasanya dicapai dalam darah, laju oksidasi

mengikuti zero-order kinetic yaitu tidak tergantung pada waktu dan

kadar obat. Orang dewasa biasanya dapat memetabolisme 7-10 g (150-

200 mmol) alkohol per jam, yang ekuivalen dengan kira-kira jumlah
10

sekali “minum” (10 oz bir; 3,5 oz anggur; 1 oz distilled 80 proof

spirits) (Bertram, 2010 : 371 - 372).

90 % alkohol dimetabolisme terutama dalam hati oleh enzim

nikotinamid adenine dinukleotida (NAD) menjadi asetaldehida dan

kemudian oleh enzim aldehida dehidrogenase (ALDH) diubah menjadi

asam asetat. Asam asetat dioksidasi menjadi CO2 dan H2O (Arif

Budianto, 1997 : 113).

2.3.2.Metabolisme Alkohol

1. Jalur Alkohol Dehidrogenase

Jalur utama metabolisme alkohol melibatkan alkohol

dehidrogenase (ADH), suatu enzim sitosolik yang mengkatalis

perubahan alkohol menjadi asetaldehid (Gambar 1, sebelah kiri).

Enzim ini terutama terdapat di hati, tetapi juga terdapat di otak dan

lambung. Pada lambung pria terjadi metabolisme etanol dalam

jumlah yang signifikan oleh ADH lambung, tetapi pada wanita

hanya terjadi dalam jumlah yang lebih sedikit. Wanita tampaknya

memiliki kadar enzim lambung yang lebih rendah. Saat perubahaan

etanol menjadi asetaldehid, ion hidrogen dipindahkan dari alkohol

ke faktor nikotinamid adenine dinukleotida (NAD) untuk

membentuk NADH. Sebagai hasil akhir, oksidasi alkohol

menghasilkan NADH yang bersifat mereduksi di dalam hati dalam

jumlah yang berlebihan. Kelebihan produksi NADH tampaknya

turut berperan pada banyak gangguan metabolik yang menyertai

alkoholisme kronik (Bertram, 2010 : 372).


11

Etanol

CH3CH2OH
+
NAD NADPH + O2

Alkohol SOEM
dehidrogenase

- NADH Asetaldehida NADP+

Fomepizole CH3CHO
le NAD +

Aldehid

dehidrogenase

NADH
Asetat -

CH3COO-
Disulfiram

Gambar 1. Metabolisme etanol oleh alkohol dehidrogenase dan microsomal


ethanol-oxidizing system (MEOS). Alkohol dehidrogenase dan aldehid
dehidrogenase, masing-masing dihambat oleh fomepizole dan disulfiram.
(Dikutip dari : Bertram, 2010 : 372).

2. Sistem Oksidasi Etanol Mikrosom (SOEM)

Sistem enzim ini juga dikenal sebagai sistem oksidasi

dengan fungsi campuran, menggunakan NADPH pengganti NAD

sebagai kofaktor dalam metabolisme etanol (Gambar 1, sebelah

kanan). Pada kadar alkohol dalam darah di bawah 100 mg/dL (22

mmol/L), sistem SOEM hanya sedikit mempengaruhi metabolisme


12

etanol. Namun, jika etanol dikonsumsi dalam jumlah besar, sistem

alkohol dehidrogenase menjadi tak jenuh akibat deplesi kofaktor

yang dibutuhkan, NAD+. Jika kadar etanol meningkat diatas 100

mg/dL, terdapat pengaruh yang besar dari sistem SOEM yang tidak

bergantung pada NAD+ sebagai kofaktor. Aktifitas SOEM akan

meningkat dalam konsumsi alkohol kronik. Akibatnya, konsumsi

alkohol kronik akan menyebabkan peningkatan yang signifikan

tidak hanya pada metabolisme etanol tetapi juga pada klirens obat-

obat lain yang dieliminasi oleh sitokorm P450 yang berperan

dalam sistem SOEM dan pebentukan produk toksin dari reaksi

sitokorm P450 (toksin, radikal bebas, H2O2) (Bertram, 2010 : 372).

3. Metabolisme Asetaldehid

Banyak asetaldehid yang terbentuk dari alkohol

tampaknya dioksidasi di dalam hati dalam suatu reaksi yang

dikatalisis oleh aldehid dehidrogenase (ALDH) bergantung NAD

dalam mitokondria. Produk dari reaksi ini adalah asetat (Gambar

1), yang dapat dimetabolisme lebih lanjut menjadi CO2 dan air.

Oksidasi asetaldehid dihambat oleh disulfiram, suatu obat yang

telah digunakan untuk mencegah keinginan minum alkohol pada

pasien kecanduan alkohol saat menjalani pengobatan. Jika etanol

dikonsumsi bersama disulfiram, asetaldehid akan menumpuk dan

menyebabkan reaksi tidak nyaman, seperti muka merah, mual,

muntah, pusing, dan sakit kepala. (Bertram, 2010 : 372-373).


13

Pada oksidasi alkohol, banyak dilepas ion hidrogen yang

menyebabkan deposit lemak dalam hati meningkat, sebaliknya hati

akan berusaha mengeluarkan kelebihan lemak dengan

meningkatkan sekresi lipoprotein ke dalam darah. Sehingga pada

para pecandu alkohol akan didapatkan hiperlipemi lebih hebat.

Zieses melaporkan sindrom yang terdiri dari ikterus, hiperlipemi

dan anemi hemolitik bersama dengan perlemakan hati alkoholik

dan sirosis (Arif Budianto, 1997 : 114).

2.3.3.Efek Konsumsi Alkohol Akut

1. Susunan Saraf Pusat

Alkohol sangat berpengaruh pada sistem saraf pusat.

Alkohol bersifat anastetik (menekan SSP), sehingga kemampuan

berkonsentrasi, daya ingat dan kemampuan mendiskriminasi

terganggu dan hilang (Arif Budianto, 1997 : 114 - 115).

Konsumsi alkohol akut dapat menyebabkan sedasi dan

menghilangkan kecemasan, serta pada kadar yang lebih tinggi

dapat menyebabkan bicara tidak karuan, ataksia, kemampuan

menyatakan pendapat terganggu, tingkah laku tidak terkontrol,

merupakan suatu keadaan yang biasanya disebut intoksikasi atau

mabuk (Tabel 2). Gejala susunan saraf pusat ini akan sangat

menonjol bila kadar alkohol dalam darah meningkat karena

toleransi akut terhadap efek alkohol yang muncul beberapa jam

setelah meminum alkohol. Untuk peminum kronik yang sudah

toleran terhadap efek alkohol, membutuhkan kadar yang lebih


14

tinggi untuk menimbulkan efek susunan saraf pusat ini. Sebagai

contoh, seorang alkoholik kronik dapat tampak tidak mabuk atau

hanya sedikit terintoksikasi dengan kadar alkohol 300-400 mg/dL,

sementara kadar ini dapat menyebabkan intoksikasi yang sangat

nyata bahkan koma pada orang yang tak-toleran. Kecenderungan

dosis sedang alkohol untuk menghambat konsentrasi dan

kemampuan mengolah informasi seperti menghambat keterampilan

motorik yang dibutuhkan untuk mengoperasikan kendaraan

bermotor mempunyai efek yang sangat besar. Kadar alkohol yang

tinggi dalam darah dapat menyebabkan koma, depresi napas, dan

kematian (Bertram, 2010 : 373).

Tabel 2. Kadar alkohol darah (BAC) dan efek klinisnya pada

individu yang intoleran. (Dikutip dari : Bertram, 2010 : 373).

BAC (mg/dL) Efek klinis

50-100 Sedasi, “tinggi subyektif”, waktu reaksi lebih

lambat

100-200 Gangguan fungsi motorik, meracau, ataksia

200-300 Emesis, stupor

300-400 Koma

>500 Depresi pernapasan, kematian

Banyak perhatian terpusat pada efek alkohol mengenai

neourotransmisi oleh glutamat dan GABA, yang merupakan

neurotransmitter eksitatori dan inhibitori utama pada susunan saraf

pusat. Pajanan etanol akut memperkuat kerja GABA pada reseptor


15

GABA, untuk memperlemah sebagian kerja etanol. Etanol

menghambat kemampuan glutamat untuk membuka kanal kation

yang berhubungan dengan reseptor glutamat subtipe N-methyl-D-

aspartate (NMDA). Reseptor NMDA terlibat dalam berbagai

aspek fungsi kognitif termasuk pembelajaran dan memori.

Hambatan aktivasi reseptor NMDA karena kadar alkohol yang

tinggi dapat mengakibatkan ”Kehilangan kesadaran (blackout)”

periode kehilangan memori (Bertram, 2010 : 373).

2. Jantung

Suatu depresi yang bermakna pada kontraktilitas otot

jantung telah diobservasi pada individu yang mengkonsumsi

alkohol secara akut dalam jumlah sedang yaitu kadar alkohol

dalam darah di atas 100 mg/dL (Bertram, 2010 : 373).

3. Otot Polos

Etanol adalah suatu vasodilator, mungkin karena efek

pada susunan saraf pusat (depresi pada pusat vasomotor) dan

relaksasi langsung pada otot polos yang disebabkan oleh

metabolitnya, asetaldehid. Dalam kasus kelebihan (overdosis) yang

hebat, hipotermia sebagai akibat vasodilatasi mungkin jelas pada

lingkungan dingin (Bertram, 2010 : 373-374).

2.3.4.Efek Konsumsi Alkohol Kronik

Konsumsi alkohol kronik sangat mempengaruhi fungsi

berbagai organ vital, terutama hati dan otot polos serta sistem saraf,

pencernaan, kardiovaskular, dan imun. Kerusakan jaringan akibat


16

konsumsi alkohol kronik disebabkan oleh kombinasi efek langsung

etanol dan konsekuensi pemrosesan beban berat substansi aktif secara

metabolik. Mekanisme yang menyebabkan kerusakan jaringan ialah

stres oksidatif bersama deplesi glutation, kerusakan mitokondria,

disregulasi faktor pertumbuhan, dan potensiasi cedera yang diinduksi

sitokin. Konsumsi alkohol kronik dalam jumlah besar menyebabkan

peningkatan risiko kematian yang disebabkan oleh penyakit hati,

kanker, kecelakaan, dan bunuh diri (Bertram, 2010 : 374-375).

Takaran alkohol untuk menimbulkan gejala keracunan

bervariasi tergantung dari kebiasaan minum dan sensitivitas genetik

perorangan. Umumnya 35 gram alkohol (2 sloki whisky)

menyebabkan penurunan kemampuan untuk menduga jarak dan

kecepatan serta menimbulkan euforia. Alkohol sebanyak 75-80 gram

(setara 150-200 ml whisky) akan menimbulkan gejala keracunan akut

dan 250 - 500 gram alkohol (setara 500 - 1000 ml whisky) dapat

merupakan takaran fatal (Arif Budianto, 1997 : 115).

Sebagai gambaran di atas dapat dikemukakan di sini kadar

alkohol darah dari konsumsi 35 gram alkohol dengan menggunakan

rumus

a=cxpxr

a = jumlah alkohol yang diminum

c = kadar alkohol dalam darah

p = berat badan (kg)

r = konstanta (0,007)
17

Bila berat badan 60 kg, maka 35 = c x 60 x 0,007, atau berarti

kadar alkohol darahnya = 83,3 mg%.

Selanjutnya dapat disebutkan bahwa 75 gram alkohol setara

dengan kadar alkohol darah 178,5 mg% dan 250 gram setara 595 mg%

(Arif Budianto, 1997 : 115).

1. Hati dan Saluran Cerna

Penyakit hati merupakan komplikasi yang paling sering

dijumpai pada penyalahgunaan alkohol. Sekitar 15-30% peminum

alkohol berat yang kronik akan berkembang menjadi penyakit hati

berat. Perlemakan hati (fatty liver) merupakan suatu keadaan

reversibel, dapat berkembang menjadi hepatis alkoholik dan

akhirnya menjadi sirosis dan gagal hati. Patogenesis penyakit hati

alkoholik merupakan proses multifaktor yang melibatkan reaksi

metabolik oksidasi etanol di dalam hati, disregulasi oksidasi serta

sintesis asam lemak, aktivasi sistem kekebalan bawaan melalui

gabungan efek langsung etanol dan metabolit serta endotoksin

bakteri yang dapat masuk ke dalam hati sebagai akibat dari

berbagai perubahan yang diinduksi oleh etanol dalam saluran usus.

Konsumsi alkohol kronik merupakan penyebab pankreatitis kronik.

Selain efek toksik langsungnya pada sel asinar pankreas, alkohol

merubah permeabilitas epitel pankreas dan memicu pembentukan

plug protein serta batu yang mengandung kalsium karbonat.

Alkohol kronik dapat menyebabkan gastritis dan meningkatkan

kerentanan terhadap kehilangan protein dalam darah serta plasma


18

selama mengkonsumsi minuman keras, yang menyebabkan anemia

dan malnutrisi protein. Alkohol juga menyebabkan cedera usus

halus yang reversibel, diare, kehilangan berat badan, defisiensi

banyak vitamin. Malnutrisi akibat defisiensi makanan dan vitamin

yang disebabkan oleh malabsorbsi sering dijumpai pada orang-

orang alkoholik. Malabsorbsi vitamin yang larut dalam air

merupakan defisiensi vitamin yang paling berat (Bertram, 2010 :

375).

2. Sistem Saraf

 Toleransi dan Ketergantungan Fisik

Konsumsi alkohol dalam dosis tinggi dalam waktu

yang lama menimbulkan toleransi dan ketergantungan fisik

serta psikologi. Toleransi terhadap efek intoksikasi alkohol

merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan perubahan

yang sulit dipahami dalam sistem saraf serta perubahan

metabolik yang telah dijelaskan sebelumnya. Alkohol

mempunyai batas toleransi sehingga hanya terjadi peningkatan

dosis letal yang relatif kecil dalam peningkatan penggunaan

alkohol. Jika peminum alkohol kronik mengurangi atau

menghentikan konsumsi alkohol, akan mengalami sindrom

putus obat, yang menunjukan adanya ketergantungan fisik.

Sindrom putus obat karena alkohol secara klasik terdiri dari

hipereksitabilitas pada kasus yang ringan dan kejang, psikosis

toksik, dan delirium tremens pada kasus-kasus berat. Dosis,


19

ferkuensi, dan lama konsumsi alkohol menentukan intensitas

sindrom putus obat. Jika dosis konsumsi alkohol telah terlalu

tinggi, hanya dengan mengurangi konsumsi alkohol dapat

menimbulkan tanda putus obat.

Ketergantungan psikologis terhadap alkohol ditandai

dengan keinginan kompulsif untuk mengalami efek kepuasan

alkohol dan untuk yang masih pemabuk, merupakan suatu

keinginan kuat untuk mengkonsumsi alkohol yang dapat

dimulai oleh rangsangan lingkungan yang berhubungan dengan

konsumsi minuman keras di masa lalu (Bertram, 2010 : 375-

376).

 Neurotoksisitas

Konsumsi alkohol dalam waktu yang lama (bertahun-

tahun) dapat menyebabkan defisit neurologi. Kelainan

neurologik yang sering dijumpai adalah cedera saraf perifer

simetris menyeluruh, yang dimulai dengan parestesia bagian

distal tangan dan kaki. Seorang alkoholik kronik juga

memperlihatkan ganguan gaya berjalan dan ataksia yang

disebabkan oleh perubahan degeneratif dalam sistem saraf

pusat. Gangguan lainnya ialah demensia, dan kadang-kadang

penyakit demielinisasi (Bertram, 2010 : 376).

 Sindrom Wernicke-Korsakoff

Jarang dijumpai tapi penting yang ditandai dengan

kelumpuhan otot-otot mata eksternal, ataksia, dan delirium


20

yang dapat memburuk menjadi koma atau kematian. Sindrom

ini berhubungan dengan defisiensi tiamin tetapi jarang terlihat

pada ketiadaan alkoholisme. Alkohol juga dapat mengganggu

ketajaman penglihatan, penglihatan kabur tanpa rasa nyeri yang

timbul beberapa minggu setelah mengkonsumsi alkohol dalam

jumlah besar (Bertram, 2010 : 376).

3. Sistem Kardiovaskular

 Kardimiopati dan Gagal jantung

Konsumsi alkohol berkadar tinggi dalam waktu lama

berhubungan dengan kardiomiopati dilatasi akibat hipertrofi

dan fibrosis ventrikel. Alkohol menyebabkan sejumlah

perubahan sel jantung yang dapat menyebabkan terjadinya

kardiomiopati. Perubahan-perubahan tersebut termasuk

gangguan membran, tertekannya fungsi mitokondria dan

retikulum sarkoplasma, penumpukan fosfolipid dan asam

lemak di dalam sel, serta up-regulation kanal kalsium

bergantung tegangan. Pasien yang mengidap kardiomiopati

dilatasi akibat alkohol mengalami perburukan lebih signifikan

dibandingkan pasien yang mengidap kardiomiopati dilatasi

yang idiopatik (Bertram, 2010 : 376).

 Aritmia

Konsumsi minuman keras berkadar tinggi

menyebabkan aritmia atrium dan ventrikel. Pasien yang

mengalami sindrom putus alkohol dapat berkembang menjadi


21

aritmia yang berat yang dapat mencerminkan gangguan

metabolisme kalium atau magnesium serta peningkatan

pelepasan katekolamin. Kejang, sinkop, dan kematian

mendadak saat putus konsumsi alkohol dapat disebabkan oleh

aritmia (Bertram, 2010 : 376).

 Hipertensi

Alkohol diperkirakan sebagai penyebab sekitar 5 %

kasus hipertensi sehingga membuat alkohol menjadi penyebab

hipertensi revesibel. Penyebab tersebut tidak terkait dengan

obesitas, asupan garam, minum kopi, dan merokok. (Bertram,

2010 : 373).

4. Darah

Alkohol mempengaruhi hematopoesis secara tak langsung

melalui efek metabolik dan nutrisional serta dapat juga secara

langsung dengan menghambat proliferasi semua elemen di dalam

sel pada sumsum tulang. Gangguan hematologik yang sering

dijumpai ialah anemia ringan yang disebabkan oleh defisiensi asam

folat akibat penggunaan alkohol. Anemia defisiensi besi dapat

disebabkan oleh perdarahan saluran cerna dan juga dianggap dapat

menyebabkan beberapa sindrom hemolitik, sebagian disertai

dengan hiperlipidemia dan penyakit hati berat (Bertram, 2010 :

377).
22

5. Sistem Endokrin dan Keseimbangan elektrolit

Konsumsi alkohol kronik mempunyai efek penting pada

sistem endokrin serta pada cairan dan keseimbangan elektrolit.

Laporan klinis ginekomastia dan atrofi testis pada pecandu alkohol

dengan atau tanpa sirosis menunjukan gangguan keseimbangan

hormon steroid. Pecandu alkohol dengan penyakit hati kronik

dapat mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,

termasuk asites, edema, dan efusi. Perubahan kalium di seluruh

tubuh yang diinduksi oleh muntah dan diare serta aldosteronisme

sekunder berat juga dapat menimbulkan kelemahan otot dan dapat

diperberat oleh terapi diuretik. Sebagian pasien pecandu alkohol

mengalami hipoglikemia yang mungkin sebagai akibat dari

gangguan glukoneogenesis hati. Sebagian pecandu juga menderita

ketosis yang disebabkan oleh faktor lipolitik yang berlebihan

terutama peningkatan hormon pertumbuhan dan kortisol (Bertram,

2010 : 377).

6. Sistem Imun

Alkohol menghambat fungsi imun pada sebagian jaringan

(misalnya paru), sementara memicu fungsi imun menjadi hiperaktif

yang patologik pada jaringan lain (misalnya, hati, pankreas).

Pajanan akut dan kronis terhadap alkohol mempunyai efek yang

sangat berbeda pada sistem imun. Jenis perubahan imunologik

yang terjadi pada paru termasuk supresi fungsi makrofag alveolar,

inhibisi kemoktasis granulosit, dan penurunan jumlah serta fungsi


23

sel T. Pada hati, terjadi peningkatan fungsi sel utama pada sistem

imun bawaan (misalnya, sel Kupfer, sel stelata hati) dan

peningkatan produksi sitokin. Selain menimbulkan kerusakan di

hati dan pankreas akibat inflamasi yang disebabkan oleh konsumsi

alkohol tingkat tinggi yang kronik, perubahan imunologik ini

cenderung menyebabkan terjadinya infeksi, terutama di paru dan

memperburuk morbiditas dan meningkatkan risiko mortalitas

pasien yang mengidap pneumonia (Bertram, 2010 : 377).

7. Peningkatan Risiko Kanker

Konsumsi alkohol kronik meningkatkan risiko kanker

pada mulut, faring, laring, esofagus, dan hati. Beberapa bukti juga

menunjukan adanya peningkatan risiko kanker payudara pada

wanita. Sebelum menentukan ambang batas konsumsi alkohol

yang dapat menimbulkan kanker, dibutuhkan lebih banyak lagi

informasi mengenai hal tersebut. Alkohol tampaknya bukan

merupakan karsinogen pada berbagai sistem percobaan. Walaupun

metabolit utamanya, asetaldehid, dapat merusak DNA, karena

dapat sebagai jenis oksigen reaktif yang dihasilkan melalui

peningkatan aktivitas sitokrom P450. Faktor lain yang terlibat

dalam hubungan antara alkohol dan kanker meliputi perubahan

metabolisme folat dan efek inflamasi kronik yang dipicu oleh

pertumbuhan (Bertram, 2010 : 378)

.
24

2.3.5.Tanda dan Gejala Keracunan

Tanda dan gejala keracunan alkohol adalah dipengaruhi oleh

seberapa besar kadar alkohol dalam darah. Kadar alkohol yang rendah

sekitar, 10-20 mg% sudah menimbulkan gangguan berupa penurunan

keapikan ketrampilan tangan dan perubahan tulisan tangan, kadar 30-

40 mg% telah timbul penciutan lapangpandang, penurunan ketajaman

penglihatan, dan pemanjangan waktu refraksi. Sedangkan pada kadar

kurang lebih 80 mg% telah terjadi gangguan penglihatan 3 dimensi,

kedalaman pandangan dan gangguan pendengaran. Selain itu tampak

pula gangguan pada kehidupan psikisnya yaitu penurunan kemampuan

memusatkan perhatian, konsentrasi, asosiasi, dan analisa. Ketrampilan

mengemudi mulai menurun pada kadar alkohol darah 30-50 mg% dan

lebih jelas lagi pada kadar 150 mg%. Alkohol dengan kadar dalam

darah 200 mg% menimbulkan gejala banyak bicara, ramai (boisterous

behavior), refleks menurun, kadang-kadang nistagmus dan sering

terdapat pelebaran pembuluh darah kulit. Dalam kadar 250-300 mg%

menimbulkan gejala penglihatan kabur, tak dapat mengenali warna,

kojungtiva merah, dilatasi pupil (jarang konstriksi), diplopia, sukar

memusatkan pandangan atau penglihatan dan nistagmus. Bila kadar

dalam darah dan otak makin meningkat akan timbul pembicaraan

kacau, tremor tangan dan bibir, ketrampilan menurun, inkoordinasi

otot dan tonus otot muka menghilang. Dalam kadar 400-500 mg%,

aktivitas motorik hilang sama sekali, timbul stupor atau koma,


25

pernafasan perlahan dan dangkal, kemudian suhu tubuh menurun (Arif

Budianto, 1997 : 115-116).

2.4. Aspek Medikolegal

Penyalahgunaan alkohol merupakan penyebab atau paling tidak

sebagai faktor pencetus dari kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri serta

berbagai tindak pidana lainnya. Dengan demikian pemeriksaan alkohol

dalam setiap tindak pidana perlu dilakukan baik pemeriksaan terhadap diri

korban maupun terhadap pelaku kejahatan, dengan tujuan membuat jelas

dan terang kasus yang bersangkutan. Pecandu alkohol sering menjadi korban

kecelakaan, seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh dan tenggelam, selain itu

mereka dapat pula menjadi pelaku kejahatan atau sebagai korban dari

kejahatan. Berkaitan dengan adanya berbagai tindakan yang merugikan atau

mengancam nyawa orang lain, di Indonesia telah ditetapkan peraturan yang

mengatur tentang penyalahgunaan alkohol dan dampaknya di dalam

lingkungan masyarakat. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), pasal 492, ayat 1; “Barang siapa dalam keadaan mabuk di muka

umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam

keamanan orang lain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan

hati-hati atau dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu lebih dahulu

agar jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam

dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling

banyak tiga ratus lima puluh ribu rupiah “(Idries, 2008).


26

2.5. Penegakan Diagnosis

2.7.1.Anamnesa

 Pasien keracunan yang hidup

Riwayat mabuk ada hubungan dengan bicara cadel,

ataksia , dan gangguan dalam membuat penilaian yang umumnya

terjadi pada tahap awal keracunan alkohol. Gejala-gejala lainnya

tergantung pada dosis yang tertelan. Riwayat yang diperoleh

bervariasi dengan waktu timbulnya gejala (Michael D Levine,

2015).

 Pasien keracunan yang meninggal

Informasi mengenai kematian akibat keracunan alkohol

dapat diperoleh dari orang lain (alo-anamnesa) yang membawa

korban ke rumah sakit, berada di dekat korban saat terjadi kematian

atau yang melihat secara langsung kematian korban.

2.7.2.Pemeriksaan Fisik

 Pasien keracunan yang hidup

Pada orang hidup, bau alkohol yang keluar dari udara

pernapasan merupakan petunjuk awal. Petunjuk ini harus

dibuktikan dengan pemeriksaan kadar alkohol darah, baik melalui

pemeriksaan udara pernapasan atau urin, maupun langsung dari

darah vena (Arif Budianto, 1997 : 117).

 Pasien keracunan yang mati

Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas.

Mungkin ditemukan gejala-gejala yang sesuai dengan asfiksia.


27

Seluruh organ menunjukan ada tanda perbendungan, darah lebih

encer, dan berwarna merah gelap. Mukosa lambung menunjukan

tanda perbendungan, kemerahan, dan tanda inflamasi tapi kadang-

kadang tidak ada kelainan (Arif Budianto, 1997 : 117).

2.7.3.Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium

Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan pemeriksaan

kuantitatif kadar alkohol darah. Kadar alkohol dari udara

ekspirasi dan urin dapat dipakai sebagai pilihan kedua. Untuk

korban meninggal, sebagai pilihan kedua dapat diperiksa kadar

alkohol dalam otak, hati, atau organ lain atau cairan tubuh seperti

cairan serebrospinalis. Penentuan kadar alkohol dalam lambung

saja tanpa menentukan kadar alkohol dalam darah hanya

menunjukan bahwa orang tersebut telah minum alkohol. Pada

mayat, alkohol dapat berdifusi dari lambung ke jaringan

sekitarnya termasuk ke dalam jantung, sehingga untuk

pemeriksaan toksikologi, diambil darah dari pembuluh darah

vena perifer (kubiti atau femoralis) (Arif Budianto, 1997 : 118).

Salah satu cara penentuan semikuantitatif kadar alkohol

dalam darah darah atau urin yang cukup sederhana adalah teknik

modifikasi mikrodifusi (Conway) adalah sebagai berikut :

1. Letakkan 2 ml reagen antie ke dalam ruang tengah. Reagen

antie dibuat dengan melarutkan 3,70 gm Kalium dikromat ke


28

dalam 150 ml air. Kemudian ditambahkan 280 ml asam sulfat

dan terus diaduk. Encerkan dengan 500 ml akuades.

2. Sebarkan 1 ml darah atau urin yang akan diperiksa dalam

ruang sebelah luar dan masukkan 1 ml kalium karbonat jenuh

dalam ruang sebelah luar pada sisi berlawanan.

3. Tutup sel mikrodifusi, goyangkan dengan hati–hati supaya

darah atau urin bercampur dengan larutan bikarbonat.

4. Biarkan tejadi difusi selama 1 jam pada temperatur ruang.

Kemudian angkat tutup dan amati perubahan warna pada

reagen antie. Warna kuning kenari menunjukan hasil negatif.

Perubahan warna kuning kehijauan menunjukan kadar etanol

sekitar 80 mg%, sedangkan warna hijau kekuningan

menunjukan kadar etanol sekitar 300 mg%.

Kadar alkohol darah yang diperoleh pada pemeriksaan belum

menunjukan kadar alkohol darah pada saat kejadian. Hal ini akibat

pengambilan darah yang dilakukan beberapa saat setelah kejadian, sehingga

perhitungan kadar alkohol darah saat kejadian harus dilakukan. Meskipun

kecepatan eliminasi kira–kira 14–15 mg%, namun dalam perhitungan harus

juga dipertimbangkan kemungkinan kesalahan pengukuran dan kesalahan

perkiraan kecepatan eliminasi. Gruner (1975) menganjurkan 10 mg% per

jam digunakan dalam perhitungan. Sebagai contoh, bila ditemukan kadar

alkohol darah 50 mg% yang diperiksa 3 jam setelah kejadian, akan

memberikan angka 80 mg % pada saat kejadian (Arif Budianto, 1997 : 118).


29

Kadar etanol setelah kematian mungkin tidak mencerminkan kadar

tertinggi yang diminum oleh individu, karena orang tersebut mungkin sudah

koma selama beberapa waktu, yang dipengaruhi oleh metabolisme etanol

(Wagner, 2009 : 64).

Selain dari darah, bahan lain untuk menganalisis alkohol adalah

vitreous. Vitreous, dengan kandungan air yang tinggi, memiliki proporsional

lebih terhadap alkohol dibandingkan darah pada saat kesetimbangan.

Dengan demikian, pada kesetimbangan, untuk setiap unit alkohol dalam

darah berbanding dengan 1,2 unit alkohol di vitreous. Kadar alkohol

vitreous 0.120 g / dL setara dengan 0.100 g / dL etil alkohol dalam darah.

Karena lokasinya terisolasi, kesetimbangan alkohol vitreous dengan alkohol

dalam darah terlambat 1-2 jam. Dengan demikian, kadar alkohol vitreous

dapat digunakan untuk menganalisa kembali waktu kejadian. Hal ini

menjadi informasi adanya kadar alkohol dalam darah selama 1-2 jam

sebelum kematian (Dimaio et al , 2001 : 516).

2.6. Diagnosis Banding

Dalam mendiagnosis pasien hidup yang keracunan alkohol dapat

ditemukan berbagai gangguan atau gejala lain yang dapat mirip dengan

keracunan alkohol, serta dapat menyulitkan untuk menetapkan suatu

diagnosis keracunan alkohol.

2.6.1.Masalah Medis

 Intoksikasi alkohol sedang ditandai dengan disinhibisi dan

intoksikasi berat ditandai dengan delirium, ataksia, atau bahkan


30

koma. Keadaan-keadaan yang mengancam jiwa seperti trauma

kepala, dan kelainan neurologi ataupun keadaan metabolit seperti

hipoglikemia.

 Gangguan keracunan alkohol bisa meniru gejala imsomnia

(Thompson, 2016).

2.6.2.Masalah Psikiatri.

Beberapa gangguan psikiatri yang tidak diinduksi oleh

alkohol dapat muncul, seperti :

 Distimia dan gangguan depresi dengan atau tanpa gejala bunuh

diri.

 Ansietas adalah gejala putus alkohol yang umum tetapi biasanya

berkurang dalam beberapa hari.

 Skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya boleh dibingungkan

dengan delirium tremens atau halusinasi alkoholik karena

kewujudan halusinasi (Thompson, 2016).

2.7. Terapi

2.7.1.Farmakoterapi

 Penatalaksanaan keracunan akut

Tujuan utama penanganan keracunan alkohol akut adalah

mencegah depresi napas yang berat dan aspirasi muntahan. Kadar

rata-rata alkohol dalam darah pada kasus berat berkisar 400 mg/dL.

Perubahan metabolik memerlukan pengobatan hipoglikemi dan

ketosis dengan pemberian glukosa. Pasien yang dehidrasi dan


31

muntah harus segera diberikan larutan elektrolit. Bila muntah

hebat, diberi kalium dalam jumlah besar selama fungsi ginjalnya

baik. Yang sangat penting ialah mengetahui penurunan kadar fosfat

serum yang mungkin diperberat dengan pemberian glukosa

(Bertram, 2010 : 378-379).

Jika pasien dibawa cepat, dapat dilakukan bilasan

lambung. Ini harus dilakukan dengan natrium bikarbonat. Jika

pasien datang terlambat, bilasan lambung tidak diindikasikan

karena menghilangkan hanya sejumlah kecil alkohol dari saluran

pencernaan. Jika korban sadar, bilasan lambung harus dilakukan

hanya setelah melindungi jalan napas dengan tabung endotrakeal.

Keracunan alkohol harus dibedakan dari keracunan barbiturat,

kepala cedera, kecelakaan kardiovaskular dan hipoglikemia. CT

scan kepala harus dilakukan jika diperlukan. Cairan intravena tidak

boleh diberikan dalam dosis besar. Hemodialisis dapat dilakukan

pada kasus berat. Pemulihan dapat terjadi sesuai pada waktunya

jika tidak ada komplikasi (RK Sharma, 2011 : 290).

 Penatalaksanaan keracunan kronik

Aspek yang paling penting dalam pengobatan ini adalah

untuk mendidik dan memotivasi pecandu untuk meninggalkan

alkohol. Aspek psikologis harus diperhatikan dengan baik.

Konselor harus menghabiskan waktu dalam mengatasi krisis

emosional pecandu. Pengobatan medis terdiri dari:


32

1. Pengobatan ketergantungan

Gejala ketergantungan harus diobati dengan

karbamazepin yang cukup efektif bahkan dalam mengobati

delirium. Klormetiazol juga digunakan untuk pengobatan

gejala ketergantungan. Obat-obat ini diberikan dalam jangka

waktu 1-2 minggu dan ditarik kembali perlahan untuk

mengurangi dosis. Beberapa dokter melaporkan hasil yang baik

dengan klonidin (RK Sharma, 2011 : 291-292).

2. Terapi Antabuse
Ketika pasien sudah stabil dari reaksi ketergantungan,

terapi antabuse dapat dimulai. Tujuan terapi antabuse adalah

untuk mendetoksifikasi individu. Keinginan tak terpuaskan

minum alkohol dapat diobati dengan antabuse. Obat yang

umum digunakan adalah disulfiram (tetra-etilthiuram

disulfida). Antabuse mengganggu metabolisme oksidatif

etanol di tingkat asetaldehida. Hasilnya, jika alkohol

dikonsumsi bersamaan dengan terapi antabuse, akan ada

akumulasi asetaldehida yang menyebabkan gejala yang tidak

menyenangkan seperti berkeringat, palpitasi, berdenyut sakit

kepala, mual dan muntah, nyeri dada, hipotensi dan vertigo.

Dosis disulfiram yang biasa digunakan ialah 250 mg/hari untuk

waktu yang lama (RK Sharma, 2011 : 292).


33

2.7.2.Non Farmakoterapi

Pengobatan non farmakoterapi ialah dengan memberikan

motivasi dan konseling kepada pasien yang dilakukan pada saat proses

intervensi dan rehabilitasi seperti berikut.

 Memberi edukasi pada pasien dan keluarga mengenai

penyalahgunaan alkohol serta berbagai masalah yang akan

dihadapi. Keluarga berperan penting dalam mendukung

keberhasilan pengobatan yang dijalani oleh pasien.

 Menekankan kepada pasien mengenai tanggung jawab terhadap

diri sendiri, keluarga dan sosial serta segala perkara yang dilakukan

aMemotivasi pasien mengenai obatan lain yang diberikan seperti

disulfiram yang dapat menyebabkan pasien sulit untuk

mengkomsumsi alkohol lagi dan mempercepat proses rehabilitasi

(MA Shuckit, 2000).

2.8. Komplikasi

Alkohol mempengaruhi hampir setiap sistem organ, dan pecandu

alkohol sangat berisiko untuk dapat terjadi sirosis hati, perdarahan

gastrointestinal, pankreatitis, kardiomiopati, trauma, gangguan kesehatan

mental, dan berbagai macam kanker. Berikut adalah beberapa komplikasi

yang disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol.


34

a. Hipoglikemia

Penyakit hati yang parah dapat menyebabkan hipoglikemia.

Hipoglikemia terjadi karena penurunan jumlah hepatosit yang berfungsi.

b. Kerusakan hati karena pengaruh alkohol menyebabkan fibrosis hati yang

progresif.

c. Karsinoma sel hati

Karsinoma hepatoseluler terjadi pada hampir 5 % pasien sirosis

karena transformasi keganasan meningkat pada bentuk penyakit hati

kronik, khusunya sirosis yang salah satunya bisa disebabkan karena

mengkonsumsi alkohol.

d. Varises

Varises dapat terjadi sewaktu aliran darah yang melalui hati

terhambat karena kerusakan hati. Hal ini akan meningkatkan tekanan

vena porta hepatika. Sebagai respon terhadap peningkatan tekanan vena

portae, terjadi pembesaran pembuluh-pembuluh darah yang

beranastomosis dengan vena portae, misalnya pembuluh darah di

permukaan usus dan esofagus bagian bawah.

e. Penyakit jantung

Konsumsi alkohol berkadar tinggi dalam waktu lama

berhubungan dengan kardiomiopati dilatasi akibat hipertrofi dan fibrosis

ventrikel. Alkohol menyebabkan sejumlah perubahan sel jantung yang

dapat menyebabkan terjadinya kardiomiopati. Perubahan-perubahan

tersebut termasuk gangguan membran, tertekannya fungsi mitokondria


35

dan retikulum sarkoplasma, penumpukan fosfolipid dan asam lemak di

dalam sel, serta up-regulation kanal kalsium bergantung tegangan.

f. Pankreatitis

Konsumsi alkohol kronik merupakan penyebab pankreatitis

kronik. Selain efek toksik langsungnya pada sel asinar pankreas, alkohol

merubah permeabilitas epitel pankreas dan memicu pembentukan plug

protein serta batu yang mengandung kalsium karbonat (Michael D

Levine, 2015, Lars Grim, 2015, Bertram, 2010, McPhee et al, 2012).

2.9. Prognosis

Pada umumnya prognosisnya baik, asalkan pasien dapat

menghindari penggunaan alkohol yang kronis dan komplikasi jangka

pendek dari penyalahgunaan alkohol (Elizabeth Fernandez, 2015).


BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Keracunan alkohol dapat terjadi ketika mengkonsumsi alkohol secara

berlebihan serta akan menyebabkan berbagai gangguan terutama pada

sistem saraf pusat dan fungsi sistem tubuh yang lain.

2. Beberapa hal yang ditemukan saat pemeriksaan pasien keracunan

alkohol yang hidup ialah pasien biasanya bicara cadel, ataksia, pada

keadaan yang lebih berat menyebabkan koma dan adanya bau alkohol

udara pernapasan. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan

pemeriksaan kuantitatif kadar alkohol darah.

3. Pemeriksaan keracunan alkohol pada korban meninggal dengan

mengetahui informasi kematian pasien dari orang lain (alo-anamnesa)

atau adanya gejala-gejala yang sesuai dengan asfiksia, darah lebih

encer, berwarna merah gelap, mukosa lambung menunjukan tanda

perbendungan, kemerahan, dan inflamasi. Diagnosis pasti dapat

ditegakkan terutama dengan pemeriksaan kuantitatif kadar alkohol

darah, udara ekspirasi dan urin.

36
37

3.2. Saran

Meskipun belum ditemukan data yang akurat mengenai angka

kejadian penyakit atau kematian akibat penyalahgunaan alkohol di Papua,

namun akhir-akhir ini sudah dapat terlihat bahwa banyaknya masyarakat

yang mengkonsumsi alkohol dan tentu dapat meningkatkan angka kejadian

penyakit dan kematian di Papua, oleh sebab itu penulis menyarankan hal-

hal sebagai berikut :

1. Perlunya penyuluhan minimal sebulan sekali pada masyarakat di Papua

tentang bahaya konsumsi alkohol, baik secara langsung maupun melalui

organisasi sosial kemasyarakatan, seperti : ketua RT dan RW, tokoh-

tokoh adat ataupun pemimpin umat beragama.

2. Kepada pemerintah untuk memberlakukan suatu peraturan daerah yang

dengan tegas melarang pendistribusian, pengedaran serta konsumsi

minuman beralkohol di Papua.


DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto Arif, et al. 1997. Ilmu kedokteran Forensik edisi 1. Bagian


Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta

Degei Yermias. 2015. Tradisi Papua Dalam Minuman Keras. Kompasiana.


http://www.kompasiana.com/miking/tradisi-papua-dalam-minuman-
keras-miras. (diakses pada : 29 mei 2016)

Dimaio J Vincent, et al. 2001. Forensic Pathology Second Edition. CRC


Press. Florida (USA) Fernandez Elizabeth. 2016.

Ethanol Toxicity. Medscape. http://emedicine.medscape.com/article/1010220-


overview#showall. (diakses pada : 29 mei 2016)

Grimn Lars, et al. 2015. Chronic Alcohol Abuse. Medscape.


http://reference.medscape.com/features/slideshow/complications-
alcoholism. (diakses pada : 7 juni 2016)

Gunawan, G.S. 2012. Farmakologi dan Terapi edisi V. Badan Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Katzung G Bertram. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 10. EGC.
Jakarta

Levine D Michael, et al. 2015. Alcohol Toxicity. Medscape.


http://emedicine.medscape.com/article/812411-overview#showall.
(diakses pada : 25 mei 2016)McPhee J Stephen, et al. 2012.
Patofisiologi Penyakit edisi 10. EGC. JakartaSharma, R.K. 2011.
Concise Textbook of Forensic Medicine and Toxicology edisi 3.
Global Education Consultants. New Delhi

Shuckit MA. 2000. Drug and Alcohol Abuse, A Clinical Guide to Diagnosis
and Treatment 5thed. Springer Science Business Media 311-315. New
York (USA)

Suhardi. 2011. Preferensi Peminum Alkohol di Indonesia Menurut Rikesdas


2007. Pusat Teknologi Terapan Kesehatan Dan Epidemiologi Klinik.
154-164
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=70988&val=488
2. (diakses pada : 3 mei 2016)

Thompson Warren, et al. 2016. Alcoholism Diferential Diagnoses. Medscape.


http://emedicine.medscape.com/article/285913-differential. (diakses
pad: 7 juni 2016)

38
39

Wagner A Scott. 2009. Death Scene Investigation. CRC Press. New York
(USA)

WHO. 2014. Global Report on Alcohol and Health. (diakses pada : 28 april
2016)WHO. 2016. Suicide. (diakses pada : 27 april 2016)

You might also like