Professional Documents
Culture Documents
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Umur : 5 tahun
Alamat : Brangsong
Agama : Islam
Nomor RM : 557XXX
Tanggal pemeriksaan : 18 Juni 2018
II. ANAMNESA
Keluhan Utama
Keluhan Obyektif : terdapat bercak-bercak merah pada hampir seluruh tubuh
Keluhan Subyektif : gatal di seluruh tubuh
Kualitas : Gatal
berkeringat
Faktor memperingan : -
Kronologi
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Soewondo Kendal dengan keluhan timbul
bercak merah pada dada kemudian menyebar keseluruh tubuh dan gatal-gatal
1
seluruh tubuh. Awalnya pasien mengeluh nyeri tenggorokan dan demam
sehingga pasien berobat ke dokter BPJS yang kemudian diberikan obat
paracetamol dan kotrimoksazol. Sebelum berobat pasien mengkonsumsi obat
paracetamol tetapi tidak ada keluhan apa-apa. Keluhan gatal dan timbul bercak
kemerahan muncul setelah sekitar beberapa jam pasien minum obat
kotrimoksazol untuk nyeri tenggorok.
Sosial Ekonomi
Biaya pengobatan menggunakan BPJS. Kesan ekonomi cukup.
Status Dermatologi
Inspeksi
Distribusi : Universal
2
Ad Regio : Wajah, leher , dada, perut, punggung, kedua tangan ,bokong,
kelamin, dan kedua kaki
Lesi : Multipel, diskret sebagian konfluens, bentuk bulat, batas
tegas, ukuran lentikular sampai plakat, menimbul, dan kering.
Efloresensi : Makula eritema, eksantema morbiliformis, skuama
3
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb : 11,6
Leukosit : 6,73
Trombosit : 288
Hematokrit : 33,9%
V. RESUME
Anak laki-laki datang dengan keluhan timbul bercak-bercak merah dimulai
dari dada kemudian menyebar keseluruh tubuh disertai gatal. Keluhan ini
muncul setelah beberapa jam minum obat kotrimoksazol. Menurut pengakuan
pasien, gatal semakin terasa terutama saat berkeringat. Terdapat keluhan lain
seperti demam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik. Pemeriksaan
dermatologi tampak makula eritema, urtikaria, eksantema morbiliformis,
skuama.
Drug Eruption
Urtikaria akut
Eritema multiforme
Eritroderma
4
VII. DIAGNOSIS KERJA
Drug eruption tipe maculopapular pada anak
VIII. TERAPI
UMUM: stop obat penyebab alergi (kotrimoksazol)
KHUSUS:
HARI I-III
IVFD:
- Infus RL 15 tpm
PO:
- Metilprednisolon 4mg/8jam
- Cetirizine syrup 1x1cth
TOPIKAL:
- Deksosimethason cream 0,25% 2x1 area nasal tipis-tipis
- Vaselin album pada bagian skuama
HARI IV
IVFD:
- Infus RL 15 tpm
PO:
- Metilprednisolon 4mg/12jam
- Cetirizine syrup 1x1cth
TOPIKAL:
- Deksosimethason cream 0,25% 2x1 area nasal tipis-tipis
- Vaselin album pada bagian skuama
HARI V-VI
IVFD:
- Infus aff
PO:
- Metilprednisolon 4mg/8jam
- Cetirizine syrup 1x1cth
TOPIKAL:
- Deksosimethason cream 0,25% 2x1 area nasal tipis-tipis
- Vaselin album pada bagian skuama
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Sanam : ad bonam
Ad Kosmetikum : ad bonam
5
X. EDUKASI
Menerangkan kepada pasien mengenai penyakit dan penatalaksanaannya
Menghentikan konsumsi obat yang dicurigai sebagai penyebabnya
Memberikan pengertian kepada penderita bahwa pengobatan untuk penyakitny
a membutuhkan waktu yang cukup lama, diharapkan pasien mau bersabar
Menganjurkan agar melakukan pengobatan secara teratur dan disiplin
Menjelaskan kepada pasien tentang penularan penyakitnya
Menjelaskan kepada pasien tentang risiko yang mungkin terjadi
Monitoring keadaan umum pasien
Memberikan motivasi kepada pasien
6
FOLLOW UP
I + - -
II + - -
III + - -
IV + - -
V BERKURANG - -
VI BERKURANG - -
7
DRUG ERUPTION
I. PENDAHULUAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit
atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang
biasanya sistemik. Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, dapat melalui
mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau infus. Juga dapat sebagai obat
kumur, obat mata, tapal gigi dan obat topical. Obat adalah zat yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat secara
topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan obat oleh
kulit.1
Obat semakin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga
reaksi terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug
reaction) atau RSO. Salah satu bentuk RSO adalah reaksi obat alergik (ROA).
Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA). 1
Konsekuensi dari penggunaan obat-obatan tersebut adalah peningkatan
morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Satu macam obat dapat
menyebabkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat
disebabkan oleh bermacam-macam obat. 1
Erupsi Obat dapat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang
mengancam jiwa manusia. Reaksi obat dapat terjadi hanya pada kulit ataupun
pada kelainan sistemik, seperti Sindrom Hipersensitivitas Obat (Drug
Hypersensitivity Syndrome) atau Toxic Epidermal Necrolysis. 2
II. EPIDEMIOLOGI
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi
obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi,
uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat
adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari
keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan.3
Sekitar 10% fixed drug eruption terjadi pada anak dan dewasa, usia paling
muda pernah dilaporkan adalah 8 bulan dan usia tertua adalah 87 tahun.(6)
8
Kajian dari NOEGROHOWATI (1999) mendapatkan fixed drug eruption (63%),
sebagai manifestasi klinis dari erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi
dan anak, disusul dengan erupsi eksematosa (3%) dan urtikaria (12%). 4
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative
Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap
pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada
bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. 3 Di internasional, drug
eruption terjadi pada 2-3% pasien rawat inap. 5
Di Amerika Serikat, lebih dari 100.000 kematian diakibatkan karena reaksi
simpang obat (RSO) atau adverse drug reactions yang serius. 3-6% pasien rawat
jalan dan 6-15% dari pasien rawat inap mengalami reaksi simpang obat yang
serius. Faktor yang berhubungan dengan meningkatnya risiko reaksi
hipersensitivitas obat adalah asma, SLE (Systemic Lupus Erythematosus), atau
pada pengguna beta bloker. Walaupun pasien atopik tidak banyak tersensitisasi
oleh obat, tetapi pasien atopic memiliki risiko tinggi untuk menghadapi reaksi
alergi serius.6
III. ETIOPATOGENESIS
a. Reaksi Simpang Obat dan Reaksi Obat Alergik
Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respon
terhadap obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis
normal pada penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit,
atau untuk modifikasi fungsi fisiologis.7
Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2 kelompok yaitu tipe A
dan tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim terjadi,
bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan dapat
terjadi pada tiap individu. Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari kasus- kasus
RSO. Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi, tidak lazim
terjadi, tidak bergantung pada dosis, dan sering tidak berhubungan dengan
farmakologi obat, serta hanya terjadi pada individu yang rentan. Reaksi ini
meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi (hipersensitivitas), dan
pseudoalergi. Sekitar 25 - 30% reaksi tipe B merupakan reaksi obat alergik.7
Belakangan ditambahkan beberapa tipe reaksi, yaitu reaksi yang
9
berhubungan dengan dosis dan waktu (tipe C), reaksi lambat (tipe D), efek
withdrawal (tipe E) dan kegagalan terapi yang tidk diharapkan (tipe F). Reaksi
tipe C tidak Iazim terjadi, dan berhubungan dengan dosis kumulatif, misalnya
pada ketergantungan benzodiazepin, nefropati analgetik serta penekanan
aksis hypothalamic - pituitary - adrenal oleh kortikosteroid. Tipe D dapat
dibagi menjadi 2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan dengan waktu (yang
kemudian disebut sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe E). Reaksi tipe D
tidak lazim terjadi, biasanya berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau
kadang - kadang terlihat setelah penggunaan obat, misalnya efek
karsinogenik dan teratogenik dari obat. Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim
terjadi, dan timbul segera setelah penghentian obat, misalnya pada opiate
withdrawal syndrome. Reaksi tipe F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis,
dan seringkali disebabkan oleh interaksi obat, misalnya pemberian dosis
kontrasepsi oral yang tidak adekuat, khususnya pada pemakaian penginduksi
enzim spesifik.6
Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan
dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya. ROA merupakan
bagian dari RSO (reaksi tipe B).6 ROA memiliki beberapa karakteristik klinis
tertentu, yaitu :
1. Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.
2. Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.
3. Umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.
4. Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis jauh
di bawah kisaran dosis terapeutik.
5. Adanya eosinofilia pada darah atau jaringan mendukung keterlibatan
proses alergi.
6. Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat.
10
1. Sifat Obat
Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum,
streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen
kompleks yang potensial untuk menyebabkan sensitisasi pada pasien.
Obat- obatan dengan berat molekul rendah(dibawah 1000 Dalton)
merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik.6
2. Pajanan Obat
Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk
tersensitisasi, sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil
untuk tersensitisasi. Aplikasi topikal menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Pemberian oral atau nasal menstimulasi
produksi imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang –
kadang IgM.
Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan
respons imunologik spesifik obat, contohnya adalah pada lupus
eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan lamanya pengobatan
hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia
hemolitik yang diinduksi penisilin 6,7
Dosis profilaksis tunggal antibiotika kurang mensensitisasi
dibandingkan dengan pengobatan parenteral lama dengan dosis tinggi.
Frekuensi pemberian obat dapat berdampak sensitisasi. Kerapnya
pemberian obat lebih memicu reaksi alergi, interval pengobatan makin
lama, maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.7
3. Usia
Secara umum reaksi obat alergik dapa terjadi pada seluruh golongan,
namun umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat
dibandingkan dengan dewasa, walaupun demikian ROA yang serius
dapat juga terjadi pada anak-anak. Bayi dan usia lanjut jarang
mengalami alergi obat dan kalau pun terjadi lebih ringan, hal tersebut
dikaitkan dengan imaturitas atau involusi sistem imun. 7.8
4. Genetik
Gen HLA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi obat.
Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu
11
dewasa yang orang tuanya mengalami reaksi alergi terhadap
antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap agen antimikroba;
sedangkan individu dengan orang tua tanpa reaksi alergi, hanya 1,7%
mengalami reaksi alergi. 6,7
5. Reaksi Obat Sebelumnya
Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat
sebelumnya. Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka
waktu tidak terbatas. Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi,
misalnya antara berbagai kelompok sulfonamid. Pasien dengan riwayat
hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi untuk terjadinya
sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi
penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi
terhadap antimikroba non-β-laktam. Reaksinya tidak terbatas pada
hipersensitivitas tipe cepat.7
6. Penyakit medis yang menyertai
Pasien dengan penyakit medis yang menyertai yang mempengaruhi
sistem imun seperti HIV-AIDS meningkatkan resiko dan frekuensi
terjadinya ROA.5 Hal tersebut terjadi akibat tertekannya sistem imun
sehingga tubuh mengalami defisiensi limfosit T supresor yang
mengatur sintesis antibodi IgE.2 Contoh lain adalah ruam
makulopapular setelah pemberian ampisilin yang lebih sering terjadi
selama infeksi virus Epstein-Barr dan di antara pasien dengan
leukemia limfatik. 6,7
7. Pengobatan medis yang menyertai
Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi
terhadap obat.7
12
Erupsi obat dengan mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik
(EOA).1,6
Mekanisme imunologik
EOA terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang sudah
mempunyai hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Obat dan metabolitnya
berfungsi sebagai hapten yang menginduksi antibody humoral. Terjadinya
reaksi hipersensitivitas karena obat harus dimetabolisme terlebih dahulu
menjadi produk yang secara kimia sifatnya reakif. Untuk memudahkan
pemahaman mengenai terjadinya erupsi obat alergik dilakukan klasifikasi
secara imunopatogenesis, yaitu : 6
1. Reaksi yang diperantarai oleh antibodi :
a) IgE : eritema, urtikaria, angioedema.
b) IgG : purpura, vaskulitis, erupsi morbiliformis.
2. Reaksi yang diperantarai oleh sel : fotosensitivitas
3. Reaksi yang kemungkinan didasari mekanisme imunologik
a) Eksantema fikstum /fixed drug eruption
b) Eritema multifomis (Stevens Johnson Syndrome)
c) Nekrolisis epidermal toksik
4. Reaksi tersangka alergi : reaksi Jarisch- Herxheimer.
13
obat-obatan merupakan senyawa kimia organik sederhana dengan berat
molekul rendah, sehingga merupakan imunogen lemah atau bahkan tidak
imunogenik.5,6 Obat-obatan dengan berat molekul rendah dapat menjadi
imunogenik bila obat atau metabolit obat berikatan dengan karier
makromolekul, seringkali melalui ikatan kovalen, membentuk kompleks
hapten-karier, sehingga pengolahan antigen menjadi efektif. 7,8 Untungnya,
sebagian besar obat merupakan molekul yang stabil dan memiliki sedikit
kemampuan atau tidak mampu (tidak cukup reaktif) membentuk ikatan
kovalen dengan komponen jaringan. Hal ini menerangkan rendahnya
insidens alergi obat.7 Ternyata terdapat beberapa obat dengan BM rendah
(misalnya polimiksin), yang bersifat irnunogenik tanpa konjugasi dengan
jaringan. Meski mekanisme yang pasti belum diketahui, imunogenesitas
suatu obat mungkin berhubungan dengan kemampuan obat membentuk
polimer rantai panjang. Sedangkan obat-obatan dengan berat molekul
tinggi merupakan antigen lengkap yang dapat menginduksi respons imun
dan memicu reaksi hipersensitivitas.6,7 Kecenderungan obat tertentu untuk
menimbulkan sensitisasi adalah karena obat tersebut memang cenderung
membentuk metabolit yang sangat reaktif.
Pemahaman baru tentang pengenalan obat oleh sistem imun
berdasarkan pada model hapten. Potensi obat untuk menjadi alergenik
sangat bergantung pada struktur kimia obat. Peningkatan ukuran molekul
dan kompleksitas berhubungan dengan peningkatan kemampuan untuk
memicu respons imun.6,7
Umumnya obat - obatan yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas
harus mengalami bioaktivasi atau metabolisme menjadi produk kimia yang
reaktif. Umumnya metabolisme obat dianggap sebagai proses
detoksifikasi, obat yang sebelumnya nonpolar dan larut lemak menjadi
lebih polar dan hidrofilik sehingga mudah dieksresi. Jika metabolit tidak
mengalami detoksifikasi yang adekuat, dapat menyebabkan toksisitas
langsung pada sel atau hipersensitivitas yang diperantarai imun.7
Metabolisme obat dibagi menjadi 2 langkah, yaitu reaksi fase I dan
reaksi fase II. Reaksi fase I adalah oksidasi - reduksi atau reaksi hidrolisis,
dan reaksi fase II adalah reaksi konjugasi yang menghasilkan
14
pembentukan senyawa inaktif yang mudah diekskresi.1,6 Reaksi oksidasi
membutuhkan isoenzim sitokrom P450, prostaglandin sintetase, dan
bermacam- macam peroksidase jaringan. Reaksi fase II diperantarai oleh
berbagai enzim antara lain epoksida hidrolase, glutation S-transferase
(GST), dan N-asetyl transferase (NAT).1 Untuk dapat menimbulkan reaksi
imunologik hapten harus bergabung dengan protein pembawa (carrier)
yang ada di dalam sirkulasi atau protein jaringan hospes. Carrier
diperlukan oleh obat atau metabolitnya untuk merangsang sel limfosit T
agar merangsang sel limfosit B membentuk antibodi terhadap obat atau
metabolitnya.8
Pada umumnya metabolit reaktif yang dibentuk pada fase I seringkali
mengalami detoksifikasi dan eliminasi secara cepat.1,6 Metabolit reaktif
obat yang tidak didetoksifikasi dapat mengikat protein atau asam nukleat,
sehingga menyebabkan nekrosis sel atau menyebabkan perubahan
produk gen. Reaksi tersebut merupakan efek toksik langsung. Hal ini
terjadi pada metabolit reaktif sulfonamid. Kemungkinan lain, metabolit
reaktif dapat bertindak sebagai hapten yang terikat secara kovalen dengan
makromolekul yaitu protein atau membran permukaan sel. Pengikatan
tersebut membentuk imunogen besar dan multivalen yang dapat
menginisiasi respon imun. Respon imun dapat langsung terhadap obat
atau rnetabolitnya, dapat pula terhadap determinan antigen baru
(neoantigen) yang terbentuk melalui kombinasi obat dengan protein,
misalnya trombositopelia karena kuinin, terbentuk antibodi IgG yang
spesifik untuk kuinin yang terikat pada permukaan trombosit.
Kemungkinan lain, ikatan antara obat dan protein jaringan (komponen
jaringan lain) dapat mengubah tempat pengikatan obat pada molekul
protein jauh dari tempat pengikatan yang sesungguhnya. Perubahan pada
protein jaringan ini kemudian dapat dikenali sebagai benda asing oleh
sistem imun. Mekanisme ini terjadi pada drug-induced autoimmunity.
Contoh fenomena ini adalah sindrom lupus eritematosus sistemik yang
diinduksi hidralazin.5
Antigen harus memiliki multipel combining site (multivalen) sehingga
dapat memicu reaksi hipersensitivitas. Hal ini menyebabkan bridging
15
molekul antibodi IgE dan lgG atau reseptor antigen pada limfosit.
Konjugasi obat atau metabolitnya (hapten) dengan karier makromolekul
membentuk hapten-karier yang multivalen yang penting untuk inisiasi
respon imun dan elisitasi reaksi hipersensitivitas. Ligan yang univalen
(obat atau metabolitnya) dalam jumlah besar dapat menghambat respon
imun melalui kompetisi dengan konjugat multivalen pada reseptor yang
sama, oleh karena itu konsentrasi menentukan frekuensi, berat dan angka
kejadian ROA. 6,8
Kulit merupakan organ yang aktif bermetabolisme, mengandung enzim
untuk memetabolisme obat baik fase I maupun II. Isoenzim sitokrom P450
multiple berada di kulit. Netrofil, monosit dan keratinosit memiliki enzim
yang potensial yang dapat mengoksidasi obat menjadi metabolit reaktif.
Kulit juga merupakan organ imunologis yang mengandung sel Langerhans
dan sel dendritik pada pathogenesis ROA. Kombinasi aktivitas metabolik
mungkin dapat menerangkan mengapa kulit merupakan organ yang paling
sering mengalami ROA.6
2. Pengenalan Obat Oleh Sel T
Berbeda dengan sel B, sel T dapat mengenali antigen peptida hanya
melalui molekul major histocornpatibitity complex (MHC). Antigen eksogen
misalnya protein ditangkap oleh antigen presenting cell (APC), diproses
melalui perencanaan enzimatik menjadi peptida kecil, yang kemudian
dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+.
Sedangkan peptida pendek dari antigen endogen dipresentasikan molekul
MHC kelas I kepada se T CD 8+. Sel T tidak hanya mengenal suatu
peptida tetapi juga antigen nonpeptida baik alami atau sintetik, antara lain
lemak, fenil-pirofosfat, glukosa, logam, atau obat-obatan yang
dipresentasikan melalui MHC atau molekul sepert MHC kepada sel T.8
Mekanisme imunologik erupsi obat yang terpenting adalah presentasi
obat oleh APC, yaitu sel dedritik termasuk sel Langerhans kulit, kepada
limfosit T. Hal tersebut merupakan interaksi yang kompleks antara ikatan
haptenated peptide pada molekul MHC pada APC dan reseptor sel T.
Pengikatan ini dimodulasi oleh beberapa faktor termasuk sitokin,
haptenated peptide itu sendiri dan molekul adhesi antara sel T dan APC.
16
Beberapa kemungkinan presentasi obat oleh APC telah dikemukakan
sebagai berikut :8
a) Metabolisme obat ekstra hepatik (aktivasi intraseluler)
Kebanyakan obat didetoksifikasi intraseluler melalui isoenzim sitokrom
P450. Metabolisme obat melibatkan reaktive intermediate yang dapat
mengikat protein secara langsung. Jalan ini dialami sulfametoksasol,
dimana metabolit reaktif yang terbentuk (hidroksilamin dan nitroso
supranetoksasol) mengikat protein secara kovalen.
b) Aktivasi ekstraseluler
Aktivasi ekstraseluler dapat terjadi secara spontan atau melalui
metabolisme dependent myeloperoksidase. Reaktive intermediate
dapat mengikat secara langsung kompleks peptida - MHC atau
mengikat protein ekstraseluler. Ikatan protein obat tersebut akan
ditangkap APC dan diolah menjadi peptida - obat, yang kemudian
dipresentasikan molekul MHC pada permukaan.
3. Tidak ada aktivasi
Jalan ini melibatkan pengikatan obat secara langsung, dan agak labil
kepada kompleks peptida - MHC. Obat ini dapat mengikat MHC, peptida
atau keduanya. Tidak dibutuhkan pengikatan dengan protein sebelumnya,
ambilan (uptake) maupun pengolahan, serta metabolisme untuk
presentasi.8
Diferensiasi subset Th bergantung pada konsentrasi antigen, sifat
APC, dan faktor lingkungan mikro (misalnya hormon). Keberadaan IL-4
menyebabkan polarisasi kuat kepada Th2, sedangkan diferensiasi Th1
diinduksi oleh IFN-γ atau TGF - β, terutama tanpa keberadaaan IL-4. Th2
menstimulasi produksi sel mast, eosinofil dan antibodi IgE. IL-4
bertanggung jawab pada produksi IgE, IL-5 untuk eosinofilia, dan
kombinasi IL-3, IL-4, dan IL-10 untuk produksi sel mast. Sedangkan sitokin
yang dihasilkan Th1 memperantarai respons imun yang berbeda-beda.
Aktivasi makrofag oleh IFN-γ, dan lebih luas lagi oleh TNF dan
granulocyte macrophage colony stimulating factor. Th1 juga
memperantarai respon imflamasi seluler kompleks yang dikenal sebagai
hipersensitivitas tipe lambat, dan dengan sekresi IFNγ dan TNF, juga
17
berefek sitotoksik langsung ke berbagai tipe sel. Jadi, tiap subset Th
menginduksi dan meregulasi kumpulan fungsi efektor yang saling
berkaitan yang bekerja pada antigen dan patogen yang spesifik. 8
18
sel efektor yang diperantarai komplemen. Gabungan obat-antibodi-
komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah
eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel sehingga
reaksi tipe ini disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik.3,6,8
Reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme ; pertama,
obat terikat secara kovalen pada membran sel dan antibodi kemudian
mengikat obat dan mengaktivasi komplemen (misalnya penisilin);
kedua kompleks obat-antibodi yang terbentuk, terikat pada permukaan
sel dan mengaktivasi komplemen (rnisalnya sefalosporin); ketiga obat
yang terikat pada permukaan sel menginduksi respons imun yang
mengikat langsung antigen spesifik jaringan (misalnya α-methyl-dopa).
Contoh obat yang menimbulkan reaksi ini adalah sedormid (sedatif)
yang dapat mengikat trombosit dan imunoglobulin yang terbentuk
terhadapnya sehingga menghancurkan trombosit (trombositopenia)
dan menimbulkan pulpura. Kloramfenikol dapat mengikat sel darah
putih dan mengakibatkan agranulositosis. Fenasetin, klorpromazin,
penisilin, kina, dan sulfonamid dapat mengikat sel darah merah,
mengakibatkan anemia hemolitik. 6
c) Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi
(antibodi IgG atau IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan
mengaktifkan komplemen.1 Komplemen yang teraktivasi kemudian
melepaskan berbagai mediator diantaranya enzim-enzim yang dapat
merusak jaringan seperti macrophage chermotatic factor. 1,5 Makrofag
dikerahkan ketempat tersebut melepas enzim yang dapat merusak
jaringan. Komplemen juga membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin)
yang merangsang sel mast dan basofil rnelepas granul. Komplemen
juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan di
jaringan.6
Mekanisme tipe III diduga terlibat pada banyak erupsi obat, meliputi
urtikaria, vaskulitis dan eritema multiforme. Lesi urtikaria dapal juga
terlihat pada awal reaksi yang diikuti demam, limfadenopati, dan
artralgia.1 Reaksi ini berhubungan dengan kompleks imun dalam
19
sirkulasi terdiri atas antibodi IgG dan obat, yang mengaktifkan kaskade
komplemen, menyebabkan pembentukan anafilatoksin (C3a, C5a). 8
Selanjutnya terjadi pelepasan histamin dan mediator lain dari sel mas
dan basofil. Reaksi ini lebih sering disebabkan oleh sulfonamid dan
penisilin. Pada vaskulitis yang diinduksi obat, reaksi diperkirakan
disebabkan oleh deposit kompleks imun obat dan IgG pada endotel
pembuluh kulit kecil yang menyebabkan peradangan yang diperantarai
komplemen. Pada eritema multiforme, peradangan yang diperantarai
kompleks imun mungkin berperan atau metabolisme yang diperantarai
IgE yang bertanggung jawab, melibatkan elemen reaksi fase lambat. 6
d) Tipe IV(Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini tidak melibatkan immunoglobulin, melainkan limfosit,
APC dan sel Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada
limfosit.1 Limfosit T yang sudah tersensitisasi mengenali antigen dan
12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen menyebabkan
pembebasan serangkaian limfokin, antara lain marcrophage inhibilition
factor dan macrophage activation factor. Makrofag yang diaktifikan
dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh klasiknya adalah
dermatitis kontak alergik.1
Erupsi eksematosa, eritroderma, dan fotoalergik merupakan reaksi
tipe IV. Reaksi tipe ini melibatkan limfosit efektor yang spesifik yang
juga terlibat pada purpura, sindrom Lyell’s, bulosa, likhenoid, dan
erupsi obat yang menyerupai lupus. Mekanisme tipe IV bersama-sama
tipe III terlibat pada erupsi makulo-papular, fixed drug eruption, dan
eritema nodosum.6
Pada kenyataannya, reaksi-reaksi ini tidak selalu berdiri sendiri,
namun dapat bersama sama. Limfosit T berperan pada inisiasi respons
antibodi, dan antibodi bekerja sebagai essensial link pada beberapa
reaksi yang diperantarai sel, misalnya ADCC.
Mekanisme Non-Imunologis
Reaksi “pseudo-allergik” menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody
dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan
20
kontras media. Ada teori yang menyatakan bahwa ada satu atau lebih
mekanisme yang terlibat, pelepasan mediator sel mast dengan cara
langsung, aktivasi langsung dari sy=istem komplemen , atau pengaruh
langsung pada metabolisme enzim arakidonat sel.9
Efek kedua diakibatkan oleh proses farmakologik obat terhadap tubuh
yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena
penggunaan kemoterapi antikanker. Penggunaan obat-obat tertentu secara
progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan
mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata difus.9
21
Gambar 1. Erupsi Eksantematosa
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352
22
fenobarbital, dan bahkan retinoid.1,6 Penyebab utama adalah antibiotika β
laktam, dan arti epilepsi. Harus diingat bahwa tidak semua eksantem
morbiliformis atau makulopapular diinduksi oleh obat. Infeksi tertentu
khususnya virus dapat menginduksi eksatem yang sukar dibedakan
dengan yang diinduksi oleh obat. Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan
dengan penggunaan antibiotika terutama kelompok penisilin.6
b. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria dan angioedema merupakan erupsi obat tersering kedua.
Urtikaria merupakan reaksi vascular di kulit dengan adanya oedema
setempat yang pucat atau kemerahan dengan halo yang timbul mendadak
dan terasa gatal serta panas. Lesi urtika biasanya hilang dalam beberapa
jam, jarang lebih dari 24 jam dan secara serentak muncul lesi urtika yang
baru pada tempat yang lain. Ukuran lesi urtika bervariasi antara beberapa
milimeter hingga 10-20 cm. Urtikaria yang diinduksi obat seringkali diikuti
demam dan gejala umum lain berupa malaise, vertigo, dan sakit
kepala.3,6,8
23
Gambar 2. Urtikaria
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2005.
24
Gambar 3. Angiooedema
Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003
25
Gambar 4. Fixed drug eruption
Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003
26
.
Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV. Terdapat
peningkatan jumlah limfosit T baik helper maupun supresor. Limfosit T helper
/ sitotoksik epidermis ditemukan dekat dengan keratinosit yang nekrotik. 5,7
Limfosit T yang menetap di lesi kulit berperan dalam memori imunologis dan
menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang sama. Ditemukannya
keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan peningkatan ICAM 1 (yang
terlibat dalam interaksi antara keratinosit dan limfosit) dan FILA-DR.
Peningkatan ekspresi ICAM-1 menjelaskan migrasi limfosit T ke epidermis.
Beberapa obat penyebab FDE adalah sulfonamid, tetrasiklin, barbiturat,
fenazon, fenitoin, trimetoprim, dan analgesik.1,5
d. Dermatitis Eksfoliativa(Eritroderma)
DE atau eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya
disertai skuama. DE biasanya muncul dalam beberapa minggu atau bahkan
beberapa hari setelah penggunaan obat. Erupsi berupa eritema diseluruh
tubuh diikuti deskuamasi terutama pada telapak tangan dan kaki 3. Proses
dapat berlanjut beberapa minggu atau bulan setelah penghentian obat. Pada
eritroderma karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama, skuama baru
timbul pada stadium penyembuhan. 6,12
Gambar 6. Dermatitis eksfoliativa, erupsi dan skuama di wajah, lengan dan tubuh.
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
27
EGC ; 2005.
28
Gambar 7. Purpura pada tungkai bawah
Sumber Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003
f. Vaskulitis
Vaskulitis adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa
29
palpable purpura yang mengenai kapiler.3 Vaskulitis ditandai dengan adanya
inflamasi dan nekrosis pembuluh darah.3 Bentuk tersering adalah vaskulitis
yang mengenai kapiler dan venul. Vaskulitis dapat hanya terbatas pada kulit,
atau dapat melibatkan organ lain, antara lain hepar, ginjal, dan sendi. Ukuran
dan jumlah lesi bervariasi. Biasanya distribusi simetris pada ekstremitas
bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam, malaise,
myalgia dan anoreksia.3,5 Vaskulitis clapat terjadi pada semua umur, dengar
awitan rata-rata pada dekade kelima.
Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme reaksi
tipe III, jadi berhubungan dengan deposit kompleks imun. Obat hanya salah
satu penyebab vaskulitis.2 Obat-obatan yang dianggap sebagai penyebab
adalah penisilin, sulfonamid, tiourasil, hidantoin, iodida, alopurinol, tiazid,
NSAID, antidepresan, antiaritmia.3,4
g. Reaksi fotoalergik
Fotosensitivitas dapat berupa fenomena non imunologik fototoksik, atau
reaksi imunologik fotoalergik.2 Reaksi fotoalergik bergantung pada obat,
respons imun dan cahaya. UVA (320-400nm) terlibat pada sebagian besar
reaksi fotoalergik. Reaksi fotoalergik dapat diinduksi oleh obat topikal atau
sisternik.13
Gambaran klinis reaksi fotoalergik sama dengan gambaran dermatitis
kontak alergi pada umumnya. Reaksi kulit diawali di daerah yang terpajan
sinar matahari, kemudian dapat meluas yang tidak terpajan matahari. 3 Reaksi
fotoalergik terhadap photosensitizer sistemik lebih jarang dibandingkan
dengan yang diinduksi kontaktan.6
30
Gambar 8. Ruam pada reaksi fotoalergik
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2005.
31
target. Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi(>38 0C), dan pustule-
pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti
deskuamasi selama beberapa hari.3
Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustule intraepidermal atau
subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrate
polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinophil atau nekrosis fokal sel-sel
keratinosit.3
Terdapat 2 perbedaan utama antara PEGA dan psoriasis pustulosa yaitu
PEGA terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada PEGA pustule-
pustul pada kulit yang eritematosa dan demam lebih cepat menghilang, selain
itu gambaran histopatologik juga berbeda.3
32
Gambar 10. Eritema nodusum pada tungkai bawah
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2005.
33
dan tipe vesikobulosa.3
34
paada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.1
Penyebab utama dari SSJ adalah alergi obat(>50% kasus). Penyebab
lainnya adalah infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma dan
radiasi. Banyak obat yang menjadi penyebab sindrom ini, yang tersering
adalah sulfonamid, antikonvulsan aromatik, beberapa NSAID dan alopurinol
yang bertaggung jawab pada 2/3 kasus SSJ. Aminopenisillin dan
klormenazon juga dilaporkan sebagai penyebab tersering. Penyakit ini serupa
dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik).
Gambaran klinis tergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama
SSj dan NET adalah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat
akan terjadi aktivasi sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga
sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis, sedangkan CD8
pada sel epidermis. Keratinositepidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2 dan
MHC II. Sel Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF di epidermis
meningkat.1,7
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia < 3 tahun karena imunitas belum
begitu berkembang.Keadaan umumnya dapat bervariasi dari ringan sampai
berat. Mulainya penyakit akut dapat disertai dengan gejala prodromal berupa
demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. 1
35
vesikel dan bula.3 Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Disamping itu juga terdapat purpura. Pada bentuk yang berat
kelainannya generalisata. Kelainan selaput lender di orifisium yang tersering
ialah pada mukosa mulut(100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang
alat genital(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang(masing-
masing 8% dan 4%). Kelainanna berupa vesikel dan bula yang cepat
memecah sehingga terjadi erosierosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di
mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang
sering tampaik ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Lesi di mukosa mulut
dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sulit/tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar
bernapas. Kelainan mata terjadi pada 80% diantara semua kasus, yang
tersering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu dapat pula berupa
konjungtivitis purulent, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis dan
iridosiklitis. Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, selain itu dapat pula
terjadi kehilangan darah/cairan, gangguan keseimbangan elektrolit, syok dan
ebutaan karena gangguan lakrimasi. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak
khas.3
36
Gambar 13. Gambaran pasien Sindrom Stevens Jhonson
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2005.
37
misalnya bronkopneumonia yang menyebabkan kematian. Contoh antibiotic
yang biasa digunakan adak=lah ciprofloksasin 2 x 400 mg iv, klindamisin 2 x
600 mg iv sehari, ceftriakson 2 gr 1 x 1 sehari. Untuk mengurangi efek
samping kortikosteroid diberikan diet yang rendah garam dan tinggi protein
karena kortikosteroid bersifat katabolic.Setelah seminggu diperiksa pula
kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan KCl 3
x 500 mg.1
Pada pasien dengan lesi di mulut dan tenggorokan yang menyebabkan
sulit/tidak dapat menelan dapat diberikan infus seperti dextrose 5%, NaCl 9%
dan Ringer Laktat dengan perbandingan 1:1:1 dalam 1 labu yang diberikan 8
jam sekali. Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari,
maka dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari
berturut-turut. Efek transfusi darah (whole blood) adalah sebagai
imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah
diberi transfuse leukosit cepat menjadi normal. Selain itu darah juga
mengandung banyak sitokin dan leukosit jadi meninggikan daya tahan.
Indikasi pemberian transfuse pada SSJ dan NET adalah : 1
1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah
2 hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg
deksametason sehari dan NET 40mg sehari.
2. Bila terdapat purpura generalis
3. Jika terdapat leukopenia
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vit.C 500
mg atau 1000 mg sehari iv. Terapi topical tidak sepenting terapi sistemik.
Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak,
untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle
Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta tebal kehitaman data
diberikan emolien misalnya krim urea 10%.1
38
berat daripada SSJ, sehingga jika pengobatan tidak cepat dan tepat dapat
menyebabkan kematian. NET ialah penyakit berat, gejala terpenting ialah
epidermolisis generalisata (karena sel sasarannya adalah epidermis), dapat
disertai kelainan pada selaput lender di orifisium dan mata. 3,5 Etiologinya
sama dengan SSJ. Penyebab utama juga alergi obat yang berjumlah 80-95%
dari semua pasien. NET merupkan penyakit yang berat dan sering
menyebabkan kematian karena gangguan cairan dan elketrolit atau karena
sepsis. NET disertai periode prodromal berupa demam, rhinitis, konjungtivitis,
yang bertahan beberapa hari hingga minggu yang dapat disertai dengan
penurunan kesadaran(spoor-komatosa), selanjutnya lesi kulit berkembang
cepat, biasanya dalam 3 hari. Awalnya, pasien merasakan seperti terbakar
atau nyeri pada lesi eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan
bula dan dapat disertai dengan purpura. Bula dan pengelupasan
kulit(epidermolisis) pada area yang luas mengakibatkan tanda Nikolsky positif
pada kulit yang eritematosa, yaitu kulit yan ditekan dan digeser maka kulit
akan terkelupas.1.5
Komplikasi yang dapat terjadi adalah pada ginjal yang berupa nekrosis
tubular akut akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama
dengan glomerulonephritis. Diagnosis banding NET adalah SSJ, Dermatitis
kontak iritan karena baygon dan Staphylococcus Scalded Skin
39
Syndrome(SSSS).3
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilaksanakan untuk membantu memastikan
penyebab erupsi obat alergik :6
a. Pemeriksaan in vivo :
1. uji tempel (patch test)
2. uji tusuk (prick/scratch test)
3. uji provokasi (exposure test)
Pemeriksaan tersebut memerlukan persiapan untuk menghadapi
kemungkinan reaksi anafilaksis.
b. Perneriksaan in vitro :
1. Yang diperantarai antibodi :
a) Hemaglutinasi pasif
b) Radio immunoassay
c) Degranulasi basofil
d) Tes fiksasi komplemen
2. Yang diperantarai sel :
a) Tes transformasi limfosit
b) Leucocyte migration inhibition test
Pemilihan pemeriksaan tersebut didasarkan atas mekanisme imunologis yang
mendasari erupsi obat. Namun perlu diingat bahwa pemeriksaan tersebut
merupakan pemeriksaan penunjang dan hasilnya memerlukan interpretasi yang
teliti.1
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis erupsi obat berdasarkan :
a. Anamnesis : adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan
obat sehingga perlu ditanyakan obat-obat/jamu yang didapat, kelainan yang
40
timbul akut atau beberapa hari setelah konsumsi obat, rasa gatal yang dapat
disertai demam yang biasanya subfebril.
b. Pemeriksaan Klinis (Kelainan kulit yang ditemukan) : adanya kelainan klinis
sesuai dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang diikuti
penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan
oleh obat tersebut. Perlu diperhatikan distribusi lesi yang menyebar, simetris
atau setempat, bentuk kelainan yang timbul (urtikaria, purpura, eksantema,
papul, eritroderma, eritema nodusum).
c. Pemeriksaan khusus ; saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitif dan
dapat dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik.
VIII. PENGOBATAN
Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena
kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau
metabolitnya. Pengobatan dibagi dalam:
41
20 menit, meskipun penderita masih harus diamati selama 24 jam
berikutnya untuk mencegah komplikasi.
2. Pada reaksi tipe yang lain : Penghentian penggunaan obat tersangka
umumnya cukup memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat-
ringannya reaksi, pemberian kortikosteroid (prednison 40 – 100 mg/hari)
dan antihistamin dapat dipertimbangkan.l
42
atau 2,5%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang
menyeluruh dan skuamasi dapat diberi salep lanolin 10% yang dioleskan
sebagian-sebagian.
IX. PROGNOSIS
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya
dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk,
misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan sindrom Leyll dan sindrom Steven-
Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena. 1
X. KESIMPULAN
Banyak tipe erupsi yang dapat disebabkan oleh obat, dan tiap obat dapat
memicu timbulnya erupsi obat alergi. Oleh karena itu sebelum memberikan terapi
obat, harus dipertimbangkan besar kecilnya resiko, keuntungan serta kerugian dari
terapi tersebut. Dengan mengetahui imunopatogenesis, faktor resiko, manifestasi
klinis EOA dan edukasi pada pasien, serta penulisan resep yang tepat dapat
menurunkan morbiditas EOA.
Apabila terjadi EOA dan obat tersangka penyebab erupsi tersebut telah dapat
dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil
yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat
ditunjukkan bilamana diperlukan, sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang
memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik.
43
DAFTAR PUSTAKA
44
12. Revuz J, Allanore LV. Drug Reactions. In : Bolognia JL, et al, editor. Dermatology
Volume 1. 2nd ed. Spain : Mosby Elsevier ; 2008. p 301-19.
13. James WD, Berger TG, Elston DM. Drug Eruption. In : Andrew’s Disease of The
Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2006. p 115-38.
14. Paller AS, Manchini AJ. The Hipersensitivity Syndromes. In : Hurwitz Clinical
Pediatric Dermatology. 4th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2011. p 454-69.
15. Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat.
In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
45