You are on page 1of 45

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Umur : 5 tahun
Alamat : Brangsong
Agama : Islam
Nomor RM : 557XXX
Tanggal pemeriksaan : 18 Juni 2018

II. ANAMNESA

Autoanamnesis dengan pasien dan Alloanamnesis dengan ibu penderita di bangsal


dahlia RSUD Dr. H. Soewondo tanggal 18 Juni 2018 jam 10.00 WIB.

Keluhan Utama
Keluhan Obyektif : terdapat bercak-bercak merah pada hampir seluruh tubuh
Keluhan Subyektif : gatal di seluruh tubuh

Riwayat Penyakit Sekarang


 Onset : ± 1 hari SMRS

 Lokasi : kelopak mata, belakang telinga, leher, dada, perut,

punggung, selangkangan, kelamin, paha kanan dan kiri.

 Kualitas : Gatal

 Kuantitas : Gatal dirasakan terus menerus

 Faktor memperberat : Gatal dirasakan semakin bertambah apabila

berkeringat

 Faktor memperingan : -

 Gejala penyerta : pasien mengeluhkan demam

 Kronologi

Pasien datang ke IGD RSUD dr. Soewondo Kendal dengan keluhan timbul
bercak merah pada dada kemudian menyebar keseluruh tubuh dan gatal-gatal

1
seluruh tubuh. Awalnya pasien mengeluh nyeri tenggorokan dan demam
sehingga pasien berobat ke dokter BPJS yang kemudian diberikan obat
paracetamol dan kotrimoksazol. Sebelum berobat pasien mengkonsumsi obat
paracetamol tetapi tidak ada keluhan apa-apa. Keluhan gatal dan timbul bercak
kemerahan muncul setelah sekitar beberapa jam pasien minum obat
kotrimoksazol untuk nyeri tenggorok.

Riwayat penyakit dahulu

 Keluhan yang sama sebelumnya (-)


 Riwayat alergi makanan dan obat (-)
 Riwayat gigitan serangga (-)
 Riwayat atopi (-)

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa

Sosial Ekonomi
Biaya pengobatan menggunakan BPJS. Kesan ekonomi cukup.

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tekanan Darah : Tidak dilakukan
Nadi : 80x/m
Suhu : 36,8
Respirasi Rate : 18
Thorax : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn
BB : 15 kg

 Status Dermatologi
Inspeksi
 Distribusi : Universal

2
 Ad Regio : Wajah, leher , dada, perut, punggung, kedua tangan ,bokong,
kelamin, dan kedua kaki
 Lesi : Multipel, diskret sebagian konfluens, bentuk bulat, batas
tegas, ukuran lentikular sampai plakat, menimbul, dan kering.
 Efloresensi : Makula eritema, eksantema morbiliformis, skuama

3
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb : 11,6
Leukosit : 6,73
Trombosit : 288
Hematokrit : 33,9%

V. RESUME
Anak laki-laki datang dengan keluhan timbul bercak-bercak merah dimulai
dari dada kemudian menyebar keseluruh tubuh disertai gatal. Keluhan ini
muncul setelah beberapa jam minum obat kotrimoksazol. Menurut pengakuan
pasien, gatal semakin terasa terutama saat berkeringat. Terdapat keluhan lain
seperti demam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik. Pemeriksaan
dermatologi tampak makula eritema, urtikaria, eksantema morbiliformis,
skuama.

VI. DIAGNOSIS BANDING

 Drug Eruption
 Urtikaria akut
 Eritema multiforme
 Eritroderma

4
VII. DIAGNOSIS KERJA
Drug eruption tipe maculopapular pada anak
VIII. TERAPI
UMUM: stop obat penyebab alergi (kotrimoksazol)
KHUSUS:
 HARI I-III
IVFD:
- Infus RL 15 tpm
PO:
- Metilprednisolon 4mg/8jam
- Cetirizine syrup 1x1cth
TOPIKAL:
- Deksosimethason cream 0,25% 2x1 area nasal tipis-tipis
- Vaselin album pada bagian skuama
 HARI IV
IVFD:
- Infus RL 15 tpm
PO:
- Metilprednisolon 4mg/12jam
- Cetirizine syrup 1x1cth
TOPIKAL:
- Deksosimethason cream 0,25% 2x1 area nasal tipis-tipis
- Vaselin album pada bagian skuama

 HARI V-VI
IVFD:
- Infus aff
PO:
- Metilprednisolon 4mg/8jam
- Cetirizine syrup 1x1cth
TOPIKAL:
- Deksosimethason cream 0,25% 2x1 area nasal tipis-tipis
- Vaselin album pada bagian skuama
IX. PROGNOSIS

Ad Vitam : ad bonam
Ad Sanam : ad bonam
Ad Kosmetikum : ad bonam

5
X. EDUKASI
 Menerangkan kepada pasien mengenai penyakit dan penatalaksanaannya
 Menghentikan konsumsi obat yang dicurigai sebagai penyebabnya
 Memberikan pengertian kepada penderita bahwa pengobatan untuk penyakitny
a membutuhkan waktu yang cukup lama, diharapkan pasien mau bersabar
 Menganjurkan agar melakukan pengobatan secara teratur dan disiplin
 Menjelaskan kepada pasien tentang penularan penyakitnya
 Menjelaskan kepada pasien tentang risiko yang mungkin terjadi
 Monitoring keadaan umum pasien
 Memberikan motivasi kepada pasien

6
FOLLOW UP

GATAL TIMBUL LESI KELUHAN LAIN

BARU (DEMAM, NYERI PERUT)

I + - -

II + - -

III + - -

IV + - -

V BERKURANG - -

VI BERKURANG - -

7
DRUG ERUPTION

I. PENDAHULUAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit
atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang
biasanya sistemik. Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, dapat melalui
mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau infus. Juga dapat sebagai obat
kumur, obat mata, tapal gigi dan obat topical. Obat adalah zat yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat secara
topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan obat oleh
kulit.1
Obat semakin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga
reaksi terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug
reaction) atau RSO. Salah satu bentuk RSO adalah reaksi obat alergik (ROA).
Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA). 1
Konsekuensi dari penggunaan obat-obatan tersebut adalah peningkatan
morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Satu macam obat dapat
menyebabkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat
disebabkan oleh bermacam-macam obat. 1
Erupsi Obat dapat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang
mengancam jiwa manusia. Reaksi obat dapat terjadi hanya pada kulit ataupun
pada kelainan sistemik, seperti Sindrom Hipersensitivitas Obat (Drug
Hypersensitivity Syndrome) atau Toxic Epidermal Necrolysis. 2

II. EPIDEMIOLOGI
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi
obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi,
uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat
adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari
keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan.3
Sekitar 10% fixed drug eruption terjadi pada anak dan dewasa, usia paling
muda pernah dilaporkan adalah 8 bulan dan usia tertua adalah 87 tahun.(6)

8
Kajian dari NOEGROHOWATI (1999) mendapatkan fixed drug eruption (63%),
sebagai manifestasi klinis dari erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi
dan anak, disusul dengan erupsi eksematosa (3%) dan urtikaria (12%). 4
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative
Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap
pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada
bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. 3 Di internasional, drug
eruption terjadi pada 2-3% pasien rawat inap. 5
Di Amerika Serikat, lebih dari 100.000 kematian diakibatkan karena reaksi
simpang obat (RSO) atau adverse drug reactions yang serius. 3-6% pasien rawat
jalan dan 6-15% dari pasien rawat inap mengalami reaksi simpang obat yang
serius. Faktor yang berhubungan dengan meningkatnya risiko reaksi
hipersensitivitas obat adalah asma, SLE (Systemic Lupus Erythematosus), atau
pada pengguna beta bloker. Walaupun pasien atopik tidak banyak tersensitisasi
oleh obat, tetapi pasien atopic memiliki risiko tinggi untuk menghadapi reaksi
alergi serius.6

III. ETIOPATOGENESIS
a. Reaksi Simpang Obat dan Reaksi Obat Alergik
Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respon
terhadap obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis
normal pada penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit,
atau untuk modifikasi fungsi fisiologis.7
Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2 kelompok yaitu tipe A
dan tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim terjadi,
bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan dapat
terjadi pada tiap individu. Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari kasus- kasus
RSO. Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi, tidak lazim
terjadi, tidak bergantung pada dosis, dan sering tidak berhubungan dengan
farmakologi obat, serta hanya terjadi pada individu yang rentan. Reaksi ini
meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi (hipersensitivitas), dan
pseudoalergi. Sekitar 25 - 30% reaksi tipe B merupakan reaksi obat alergik.7
Belakangan ditambahkan beberapa tipe reaksi, yaitu reaksi yang

9
berhubungan dengan dosis dan waktu (tipe C), reaksi lambat (tipe D), efek
withdrawal (tipe E) dan kegagalan terapi yang tidk diharapkan (tipe F). Reaksi
tipe C tidak Iazim terjadi, dan berhubungan dengan dosis kumulatif, misalnya
pada ketergantungan benzodiazepin, nefropati analgetik serta penekanan
aksis hypothalamic - pituitary - adrenal oleh kortikosteroid. Tipe D dapat
dibagi menjadi 2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan dengan waktu (yang
kemudian disebut sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe E). Reaksi tipe D
tidak lazim terjadi, biasanya berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau
kadang - kadang terlihat setelah penggunaan obat, misalnya efek
karsinogenik dan teratogenik dari obat. Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim
terjadi, dan timbul segera setelah penghentian obat, misalnya pada opiate
withdrawal syndrome. Reaksi tipe F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis,
dan seringkali disebabkan oleh interaksi obat, misalnya pemberian dosis
kontrasepsi oral yang tidak adekuat, khususnya pada pemakaian penginduksi
enzim spesifik.6
Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan
dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya. ROA merupakan
bagian dari RSO (reaksi tipe B).6 ROA memiliki beberapa karakteristik klinis
tertentu, yaitu :
1. Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.
2. Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.
3. Umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.
4. Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis jauh
di bawah kisaran dosis terapeutik.
5. Adanya eosinofilia pada darah atau jaringan mendukung keterlibatan
proses alergi.
6. Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat.

Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap obat,


yaitu faktor yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan
pajanan obat), serta faktor yang berhubungan dengan pasien (usia, genetik,
reaksi obat sebelumnya, penyakit dan pengobatan medis yang menyertai). 6

10
1. Sifat Obat
Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum,
streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen
kompleks yang potensial untuk menyebabkan sensitisasi pada pasien.
Obat- obatan dengan berat molekul rendah(dibawah 1000 Dalton)
merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik.6
2. Pajanan Obat
Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk
tersensitisasi, sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil
untuk tersensitisasi. Aplikasi topikal menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Pemberian oral atau nasal menstimulasi
produksi imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang –
kadang IgM.
Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan
respons imunologik spesifik obat, contohnya adalah pada lupus
eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan lamanya pengobatan
hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia
hemolitik yang diinduksi penisilin 6,7
Dosis profilaksis tunggal antibiotika kurang mensensitisasi
dibandingkan dengan pengobatan parenteral lama dengan dosis tinggi.
Frekuensi pemberian obat dapat berdampak sensitisasi. Kerapnya
pemberian obat lebih memicu reaksi alergi, interval pengobatan makin
lama, maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.7
3. Usia
Secara umum reaksi obat alergik dapa terjadi pada seluruh golongan,
namun umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat
dibandingkan dengan dewasa, walaupun demikian ROA yang serius
dapat juga terjadi pada anak-anak. Bayi dan usia lanjut jarang
mengalami alergi obat dan kalau pun terjadi lebih ringan, hal tersebut
dikaitkan dengan imaturitas atau involusi sistem imun. 7.8

4. Genetik
Gen HLA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi obat.
Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu

11
dewasa yang orang tuanya mengalami reaksi alergi terhadap
antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap agen antimikroba;
sedangkan individu dengan orang tua tanpa reaksi alergi, hanya 1,7%
mengalami reaksi alergi. 6,7
5. Reaksi Obat Sebelumnya
Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat
sebelumnya. Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka
waktu tidak terbatas. Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi,
misalnya antara berbagai kelompok sulfonamid. Pasien dengan riwayat
hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi untuk terjadinya
sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi
penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi
terhadap antimikroba non-β-laktam. Reaksinya tidak terbatas pada
hipersensitivitas tipe cepat.7
6. Penyakit medis yang menyertai
Pasien dengan penyakit medis yang menyertai yang mempengaruhi
sistem imun seperti HIV-AIDS meningkatkan resiko dan frekuensi
terjadinya ROA.5 Hal tersebut terjadi akibat tertekannya sistem imun
sehingga tubuh mengalami defisiensi limfosit T supresor yang
mengatur sintesis antibodi IgE.2 Contoh lain adalah ruam
makulopapular setelah pemberian ampisilin yang lebih sering terjadi
selama infeksi virus Epstein-Barr dan di antara pasien dengan
leukemia limfatik. 6,7
7. Pengobatan medis yang menyertai
Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi
terhadap obat.7

b. Erupsi Obat Alergik


Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang
biasanya sistemik. 1,6
Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan
imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. 1

12
Erupsi obat dengan mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik
(EOA).1,6
Mekanisme imunologik
EOA terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang sudah
mempunyai hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Obat dan metabolitnya
berfungsi sebagai hapten yang menginduksi antibody humoral. Terjadinya
reaksi hipersensitivitas karena obat harus dimetabolisme terlebih dahulu
menjadi produk yang secara kimia sifatnya reakif. Untuk memudahkan
pemahaman mengenai terjadinya erupsi obat alergik dilakukan klasifikasi
secara imunopatogenesis, yaitu : 6
1. Reaksi yang diperantarai oleh antibodi :
a) IgE : eritema, urtikaria, angioedema.
b) IgG : purpura, vaskulitis, erupsi morbiliformis.
2. Reaksi yang diperantarai oleh sel : fotosensitivitas
3. Reaksi yang kemungkinan didasari mekanisme imunologik
a) Eksantema fikstum /fixed drug eruption
b) Eritema multifomis (Stevens Johnson Syndrome)
c) Nekrolisis epidermal toksik
4. Reaksi tersangka alergi : reaksi Jarisch- Herxheimer.

Reaksi alergik yang secara (immediate), terjadi dalam beberappa menit


dan ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu
membahayakan jiwa maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat
(accelerated) timbul dari 1 sampai 72 jam sesudah pemberian obat dan
kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria. Kadang-kadang berupa rash
morbiliformis atau edema laring. Reaksi yang lambat (late) timbul lebih dari 3
hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini ditimbulkan oleh antibody
IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan exanthema dihubungkan dengan
antibody IgM.6
Aspek imnunopatogenesisnya adalah:
1. Metabolisme Obat dan Hipotesis Hapten
Suatu subtansi dikatakan merupakan imunogen lemah atau tidak
imunogenik bila berat molekul kurang dari 4000 Dalton.2 Sebagian besar

13
obat-obatan merupakan senyawa kimia organik sederhana dengan berat
molekul rendah, sehingga merupakan imunogen lemah atau bahkan tidak
imunogenik.5,6 Obat-obatan dengan berat molekul rendah dapat menjadi
imunogenik bila obat atau metabolit obat berikatan dengan karier
makromolekul, seringkali melalui ikatan kovalen, membentuk kompleks
hapten-karier, sehingga pengolahan antigen menjadi efektif. 7,8 Untungnya,
sebagian besar obat merupakan molekul yang stabil dan memiliki sedikit
kemampuan atau tidak mampu (tidak cukup reaktif) membentuk ikatan
kovalen dengan komponen jaringan. Hal ini menerangkan rendahnya
insidens alergi obat.7 Ternyata terdapat beberapa obat dengan BM rendah
(misalnya polimiksin), yang bersifat irnunogenik tanpa konjugasi dengan
jaringan. Meski mekanisme yang pasti belum diketahui, imunogenesitas
suatu obat mungkin berhubungan dengan kemampuan obat membentuk
polimer rantai panjang. Sedangkan obat-obatan dengan berat molekul
tinggi merupakan antigen lengkap yang dapat menginduksi respons imun
dan memicu reaksi hipersensitivitas.6,7 Kecenderungan obat tertentu untuk
menimbulkan sensitisasi adalah karena obat tersebut memang cenderung
membentuk metabolit yang sangat reaktif.
Pemahaman baru tentang pengenalan obat oleh sistem imun
berdasarkan pada model hapten. Potensi obat untuk menjadi alergenik
sangat bergantung pada struktur kimia obat. Peningkatan ukuran molekul
dan kompleksitas berhubungan dengan peningkatan kemampuan untuk
memicu respons imun.6,7
Umumnya obat - obatan yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas
harus mengalami bioaktivasi atau metabolisme menjadi produk kimia yang
reaktif. Umumnya metabolisme obat dianggap sebagai proses
detoksifikasi, obat yang sebelumnya nonpolar dan larut lemak menjadi
lebih polar dan hidrofilik sehingga mudah dieksresi. Jika metabolit tidak
mengalami detoksifikasi yang adekuat, dapat menyebabkan toksisitas
langsung pada sel atau hipersensitivitas yang diperantarai imun.7
Metabolisme obat dibagi menjadi 2 langkah, yaitu reaksi fase I dan
reaksi fase II. Reaksi fase I adalah oksidasi - reduksi atau reaksi hidrolisis,
dan reaksi fase II adalah reaksi konjugasi yang menghasilkan

14
pembentukan senyawa inaktif yang mudah diekskresi.1,6 Reaksi oksidasi
membutuhkan isoenzim sitokrom P450, prostaglandin sintetase, dan
bermacam- macam peroksidase jaringan. Reaksi fase II diperantarai oleh
berbagai enzim antara lain epoksida hidrolase, glutation S-transferase
(GST), dan N-asetyl transferase (NAT).1 Untuk dapat menimbulkan reaksi
imunologik hapten harus bergabung dengan protein pembawa (carrier)
yang ada di dalam sirkulasi atau protein jaringan hospes. Carrier
diperlukan oleh obat atau metabolitnya untuk merangsang sel limfosit T
agar merangsang sel limfosit B membentuk antibodi terhadap obat atau
metabolitnya.8
Pada umumnya metabolit reaktif yang dibentuk pada fase I seringkali
mengalami detoksifikasi dan eliminasi secara cepat.1,6 Metabolit reaktif
obat yang tidak didetoksifikasi dapat mengikat protein atau asam nukleat,
sehingga menyebabkan nekrosis sel atau menyebabkan perubahan
produk gen. Reaksi tersebut merupakan efek toksik langsung. Hal ini
terjadi pada metabolit reaktif sulfonamid. Kemungkinan lain, metabolit
reaktif dapat bertindak sebagai hapten yang terikat secara kovalen dengan
makromolekul yaitu protein atau membran permukaan sel. Pengikatan
tersebut membentuk imunogen besar dan multivalen yang dapat
menginisiasi respon imun. Respon imun dapat langsung terhadap obat
atau rnetabolitnya, dapat pula terhadap determinan antigen baru
(neoantigen) yang terbentuk melalui kombinasi obat dengan protein,
misalnya trombositopelia karena kuinin, terbentuk antibodi IgG yang
spesifik untuk kuinin yang terikat pada permukaan trombosit.
Kemungkinan lain, ikatan antara obat dan protein jaringan (komponen
jaringan lain) dapat mengubah tempat pengikatan obat pada molekul
protein jauh dari tempat pengikatan yang sesungguhnya. Perubahan pada
protein jaringan ini kemudian dapat dikenali sebagai benda asing oleh
sistem imun. Mekanisme ini terjadi pada drug-induced autoimmunity.
Contoh fenomena ini adalah sindrom lupus eritematosus sistemik yang
diinduksi hidralazin.5
Antigen harus memiliki multipel combining site (multivalen) sehingga
dapat memicu reaksi hipersensitivitas. Hal ini menyebabkan bridging

15
molekul antibodi IgE dan lgG atau reseptor antigen pada limfosit.
Konjugasi obat atau metabolitnya (hapten) dengan karier makromolekul
membentuk hapten-karier yang multivalen yang penting untuk inisiasi
respon imun dan elisitasi reaksi hipersensitivitas. Ligan yang univalen
(obat atau metabolitnya) dalam jumlah besar dapat menghambat respon
imun melalui kompetisi dengan konjugat multivalen pada reseptor yang
sama, oleh karena itu konsentrasi menentukan frekuensi, berat dan angka
kejadian ROA. 6,8
Kulit merupakan organ yang aktif bermetabolisme, mengandung enzim
untuk memetabolisme obat baik fase I maupun II. Isoenzim sitokrom P450
multiple berada di kulit. Netrofil, monosit dan keratinosit memiliki enzim
yang potensial yang dapat mengoksidasi obat menjadi metabolit reaktif.
Kulit juga merupakan organ imunologis yang mengandung sel Langerhans
dan sel dendritik pada pathogenesis ROA. Kombinasi aktivitas metabolik
mungkin dapat menerangkan mengapa kulit merupakan organ yang paling
sering mengalami ROA.6
2. Pengenalan Obat Oleh Sel T
Berbeda dengan sel B, sel T dapat mengenali antigen peptida hanya
melalui molekul major histocornpatibitity complex (MHC). Antigen eksogen
misalnya protein ditangkap oleh antigen presenting cell (APC), diproses
melalui perencanaan enzimatik menjadi peptida kecil, yang kemudian
dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+.
Sedangkan peptida pendek dari antigen endogen dipresentasikan molekul
MHC kelas I kepada se T CD 8+. Sel T tidak hanya mengenal suatu
peptida tetapi juga antigen nonpeptida baik alami atau sintetik, antara lain
lemak, fenil-pirofosfat, glukosa, logam, atau obat-obatan yang
dipresentasikan melalui MHC atau molekul sepert MHC kepada sel T.8
Mekanisme imunologik erupsi obat yang terpenting adalah presentasi
obat oleh APC, yaitu sel dedritik termasuk sel Langerhans kulit, kepada
limfosit T. Hal tersebut merupakan interaksi yang kompleks antara ikatan
haptenated peptide pada molekul MHC pada APC dan reseptor sel T.
Pengikatan ini dimodulasi oleh beberapa faktor termasuk sitokin,
haptenated peptide itu sendiri dan molekul adhesi antara sel T dan APC.

16
Beberapa kemungkinan presentasi obat oleh APC telah dikemukakan
sebagai berikut :8
a) Metabolisme obat ekstra hepatik (aktivasi intraseluler)
Kebanyakan obat didetoksifikasi intraseluler melalui isoenzim sitokrom
P450. Metabolisme obat melibatkan reaktive intermediate yang dapat
mengikat protein secara langsung. Jalan ini dialami sulfametoksasol,
dimana metabolit reaktif yang terbentuk (hidroksilamin dan nitroso
supranetoksasol) mengikat protein secara kovalen.
b) Aktivasi ekstraseluler
Aktivasi ekstraseluler dapat terjadi secara spontan atau melalui
metabolisme dependent myeloperoksidase. Reaktive intermediate
dapat mengikat secara langsung kompleks peptida - MHC atau
mengikat protein ekstraseluler. Ikatan protein obat tersebut akan
ditangkap APC dan diolah menjadi peptida - obat, yang kemudian
dipresentasikan molekul MHC pada permukaan.
3. Tidak ada aktivasi
Jalan ini melibatkan pengikatan obat secara langsung, dan agak labil
kepada kompleks peptida - MHC. Obat ini dapat mengikat MHC, peptida
atau keduanya. Tidak dibutuhkan pengikatan dengan protein sebelumnya,
ambilan (uptake) maupun pengolahan, serta metabolisme untuk
presentasi.8
Diferensiasi subset Th bergantung pada konsentrasi antigen, sifat
APC, dan faktor lingkungan mikro (misalnya hormon). Keberadaan IL-4
menyebabkan polarisasi kuat kepada Th2, sedangkan diferensiasi Th1
diinduksi oleh IFN-γ atau TGF - β, terutama tanpa keberadaaan IL-4. Th2
menstimulasi produksi sel mast, eosinofil dan antibodi IgE. IL-4
bertanggung jawab pada produksi IgE, IL-5 untuk eosinofilia, dan
kombinasi IL-3, IL-4, dan IL-10 untuk produksi sel mast. Sedangkan sitokin
yang dihasilkan Th1 memperantarai respons imun yang berbeda-beda.
Aktivasi makrofag oleh IFN-γ, dan lebih luas lagi oleh TNF dan
granulocyte macrophage colony stimulating factor. Th1 juga
memperantarai respon imflamasi seluler kompleks yang dikenal sebagai
hipersensitivitas tipe lambat, dan dengan sekresi IFNγ dan TNF, juga

17
berefek sitotoksik langsung ke berbagai tipe sel. Jadi, tiap subset Th
menginduksi dan meregulasi kumpulan fungsi efektor yang saling
berkaitan yang bekerja pada antigen dan patogen yang spesifik. 8

Aktivasi ThI menyebabkan produksi sitokin sepertiI IL-2 dan IFN-γ,


yang mengakibatkan aktivasi sel T sitotoksik, serta menyebabkan reaksi
seperti dermatitis kontak, eksim obat, NET, atau erupsi mortibiliformis.
Aktivasi Th2 menyebabkan produksi IL-4, IL-5, IL-13, dan produksi
antibodi IgE yang mengakibatkan reaksi klinis seperti urtikaria anafilaksis. 8
4. Klasifikasi Reaksi Alergik
Reaksi Obat Alergik dibagi dalam 4 tipe reaksi hipersensitivitas oleh
Coombs dan Gell yaitu Tipe I (Reaksi hipersensitivitas cepat/reaksi
anafilaktik), tipe II (Reaksi sitotoksik), tipe III (Reaksi komplek imun), dan
tipe IV (Reaksi hipersensitivitas tipe lambat). Reaksi tipe I - III diperantarai
oleh antibodi spesifik obat, sementara reaksi tipe IV oleh limfosit T spesifik
obat. ROA pada beberapa keadaan dapat sesuai dengan salah satu dari
keempat tipe tersebut, namun pada umumnya sulit untuk
mengklasifikasikan ROA ini ke dalam sistem Coombs dan Gell, karena
mekanisme yang bertanggung jawab untuk elisitasi belum diketahui.1,8
a) Tipe I (Reaksi Anafilaktik)
Pajanan pertama kali terhadap obat tidak menimbulkan reaksi yang
merugikan, tetapi pajanan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi.
Terjadi jika obat atau metabolitnya mengikat sekurang - kurangnya 2
molekul IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basophil
sehingga mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil serta
pelepasan histamin dan berbagai mediator lain (misal serotonin,
bradikinin, heparin, SRSA leukotrien dan prostaglandin) dari sel.
Gambaran klinis yang khas tipe I adalah urtikaria dengan atau tanpa
angioederma. Selain itu juga bisa terjadi spasme bronkus, muntah dan
yang paling bahaya adalah reaksi anafilaktik. Penisilin merupakan
penyebab utama erupsi obat tipe cepat yang IgE dependent.3,6-8
b) Tipe II (Reaksi sitotoksik)
Tipe II terjadi jika antibodi IgG atau IgM mengikat antigen di
permukaan sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh

18
sel efektor yang diperantarai komplemen. Gabungan obat-antibodi-
komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah
eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel sehingga
reaksi tipe ini disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik.3,6,8
Reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme ; pertama,
obat terikat secara kovalen pada membran sel dan antibodi kemudian
mengikat obat dan mengaktivasi komplemen (misalnya penisilin);
kedua kompleks obat-antibodi yang terbentuk, terikat pada permukaan
sel dan mengaktivasi komplemen (rnisalnya sefalosporin); ketiga obat
yang terikat pada permukaan sel menginduksi respons imun yang
mengikat langsung antigen spesifik jaringan (misalnya α-methyl-dopa).
Contoh obat yang menimbulkan reaksi ini adalah sedormid (sedatif)
yang dapat mengikat trombosit dan imunoglobulin yang terbentuk
terhadapnya sehingga menghancurkan trombosit (trombositopenia)
dan menimbulkan pulpura. Kloramfenikol dapat mengikat sel darah
putih dan mengakibatkan agranulositosis. Fenasetin, klorpromazin,
penisilin, kina, dan sulfonamid dapat mengikat sel darah merah,
mengakibatkan anemia hemolitik. 6
c) Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi
(antibodi IgG atau IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan
mengaktifkan komplemen.1 Komplemen yang teraktivasi kemudian
melepaskan berbagai mediator diantaranya enzim-enzim yang dapat
merusak jaringan seperti macrophage chermotatic factor. 1,5 Makrofag
dikerahkan ketempat tersebut melepas enzim yang dapat merusak
jaringan. Komplemen juga membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin)
yang merangsang sel mast dan basofil rnelepas granul. Komplemen
juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan di
jaringan.6
Mekanisme tipe III diduga terlibat pada banyak erupsi obat, meliputi
urtikaria, vaskulitis dan eritema multiforme. Lesi urtikaria dapal juga
terlihat pada awal reaksi yang diikuti demam, limfadenopati, dan
artralgia.1 Reaksi ini berhubungan dengan kompleks imun dalam

19
sirkulasi terdiri atas antibodi IgG dan obat, yang mengaktifkan kaskade
komplemen, menyebabkan pembentukan anafilatoksin (C3a, C5a). 8
Selanjutnya terjadi pelepasan histamin dan mediator lain dari sel mas
dan basofil. Reaksi ini lebih sering disebabkan oleh sulfonamid dan
penisilin. Pada vaskulitis yang diinduksi obat, reaksi diperkirakan
disebabkan oleh deposit kompleks imun obat dan IgG pada endotel
pembuluh kulit kecil yang menyebabkan peradangan yang diperantarai
komplemen. Pada eritema multiforme, peradangan yang diperantarai
kompleks imun mungkin berperan atau metabolisme yang diperantarai
IgE yang bertanggung jawab, melibatkan elemen reaksi fase lambat. 6
d) Tipe IV(Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini tidak melibatkan immunoglobulin, melainkan limfosit,
APC dan sel Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada
limfosit.1 Limfosit T yang sudah tersensitisasi mengenali antigen dan
12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen menyebabkan
pembebasan serangkaian limfokin, antara lain marcrophage inhibilition
factor dan macrophage activation factor. Makrofag yang diaktifikan
dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh klasiknya adalah
dermatitis kontak alergik.1
Erupsi eksematosa, eritroderma, dan fotoalergik merupakan reaksi
tipe IV. Reaksi tipe ini melibatkan limfosit efektor yang spesifik yang
juga terlibat pada purpura, sindrom Lyell’s, bulosa, likhenoid, dan
erupsi obat yang menyerupai lupus. Mekanisme tipe IV bersama-sama
tipe III terlibat pada erupsi makulo-papular, fixed drug eruption, dan
eritema nodosum.6
Pada kenyataannya, reaksi-reaksi ini tidak selalu berdiri sendiri,
namun dapat bersama sama. Limfosit T berperan pada inisiasi respons
antibodi, dan antibodi bekerja sebagai essensial link pada beberapa
reaksi yang diperantarai sel, misalnya ADCC.

Mekanisme Non-Imunologis
Reaksi “pseudo-allergik” menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody
dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan

20
kontras media. Ada teori yang menyatakan bahwa ada satu atau lebih
mekanisme yang terlibat, pelepasan mediator sel mast dengan cara
langsung, aktivasi langsung dari sy=istem komplemen , atau pengaruh
langsung pada metabolisme enzim arakidonat sel.9
Efek kedua diakibatkan oleh proses farmakologik obat terhadap tubuh
yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena
penggunaan kemoterapi antikanker. Penggunaan obat-obat tertentu secara
progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan
mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata difus.9

IV. GAMBARAN KLINIS


ROA dapat mengenai setiap organ, seperti darah, pulmo, hepar, dan renal,
tetapi yang tersering mengenai kulit (EOA).3,7 Manifestasi EOA yang tersering
(erupsi morbiliformis, urtikaria, angioedema, fixed drug eruption), yang terberat
(sindroma Stevens – Jhonson, nekrosis epidermal toksik), serta beberapa
manifestasi lain berupa dermatitis kontak alergik, dermatitis eksfoliative, purpura,
vaskulitis, reaksi fotoalergik, eritema multiformis dan eritema nodosum. 1,7
a. Erupsi Makulopapular atau Morbiliformis
Erupsi makulopapular atau morbiliformis atau disebut juga erupsi
eksantematosa merupakan EOA yang paling sering dijumpai dan dapat
diinduksi oleh hampir semua obat. Erupsi ini timbul generalisata dan
simetris, dan dapat terdiri atas eritema, makula yang berkonfluens,
dan/atau papul yang tersebar di wajah, telapak tangan dan kaki. Membran
mukosa tidak terkena. Lesi biasanya mucul dalam 1 – 2 minggu setelah
inisial terapi, tapi kadang-kadang dapat muncul setelah obat dihentikan.
Lesi selalu diikuti dengan gejala pruritus, dapat pula diikuti demam, edema
fasial / kelopak mata, malaise, dan nyeri sendi yang biasanya hilang
dalam beberapa hari sampai minggu setelah obat dihentikan. Erupsi dapat
hilang tanpa penghentian obat, namun hal ini sangat jarang terjadi.
Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif menjadi eritroderma atau
dermatitis eksfoliativa dengan melanjutkan terapi.1,5=6

21
Gambar 1. Erupsi Eksantematosa
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352

Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa eksantematosa generalisata


akut (PEGA) yang ditandai dengan erupsi bulosa yang muncul mendadak
diikuti malaise dan demam tinggi. Lesi kulit berupa vesikopapula, pustul,
dan bula yang terjadi harnpir diseluruh tubuh. Mernbran mukosa jarang
terlibat. Gambaran klinis menyerupai psoriasis pustular.1,10
Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat belum
diketahui dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu mekanisme,
yaitu mekanisme reaksi tipe III dan tipe IV. Reaksi ini terjadi setelah
beberapa hari pemberian obat dan tidak terjadi setelah pemberian dosis
pertama, hal ini menunjukkan perlunya periode sensitisasi sebelum reaksi
terjadi. Beberapa erupsi makulopapular diperantarai oleh sel T. Baru-baru
ini dilaporkan keterlibatan sel T CD8+ dalam mekanisme terjadinya erupsi
obat morbiliformis dan bulosa. Keterlibatan limfosit CD8+ dalam erupsi
obat dihasilkan dari bioaktivasi obat menjadi intemediate reaktif.
Intemediate reaktif intraseluler ini mengikat protein sitoplasma secara
kovalen, kemudian dipresentasikan oleh MHC kelas I kepada sel T
CD8+.6,8
Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisillin,
NSAID, sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol, tetrasiklin, eritromisis,

22
fenobarbital, dan bahkan retinoid.1,6 Penyebab utama adalah antibiotika β
laktam, dan arti epilepsi. Harus diingat bahwa tidak semua eksantem
morbiliformis atau makulopapular diinduksi oleh obat. Infeksi tertentu
khususnya virus dapat menginduksi eksatem yang sukar dibedakan
dengan yang diinduksi oleh obat. Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan
dengan penggunaan antibiotika terutama kelompok penisilin.6
b. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria dan angioedema merupakan erupsi obat tersering kedua.
Urtikaria merupakan reaksi vascular di kulit dengan adanya oedema
setempat yang pucat atau kemerahan dengan halo yang timbul mendadak
dan terasa gatal serta panas. Lesi urtika biasanya hilang dalam beberapa
jam, jarang lebih dari 24 jam dan secara serentak muncul lesi urtika yang
baru pada tempat yang lain. Ukuran lesi urtika bervariasi antara beberapa
milimeter hingga 10-20 cm. Urtikaria yang diinduksi obat seringkali diikuti
demam dan gejala umum lain berupa malaise, vertigo, dan sakit
kepala.3,6,8

23
Gambar 2. Urtikaria
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2005.

Angioedema terjadi bila pembengkakan juga terjadi pada dermis dan


jaringan subkutan, ditandai dengan edema setempat yang hanya
berkembang pada lokasi tertentu saja.1 Edema biasanya simetris. Daerah
predileksinya adalah bibir, kelopak mata, gentalia eksterna, dan punggung
tangan dan kaki.1,6 Edema pada glottis, laring dan lidah merupakan reaksi
edema yang paling berat dan tanpa pertolongan pertama dapat
menqakibatkan kematian akibat asfiksia. Penyebab tersering ialah penisilin,
asam asetilsalisilat dan NSAID.1

24
Gambar 3. Angiooedema
Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003

Urtikaria selain diperantarai reaksi tipe I, juga dapat merupakan bagian


dari reaksi tipe III. Mekanisme terjadinya urtikaria diperantarai IgE, dan juga
melalui pembentukan kompeks imun. Penyebab tersering urtikaria adalah
penisillin, asam asetisalisilat, dan NSAID lain. Sebuah penelitian
mengungkapkan bahwa antibiotika β-laktam (melalui mekanisme alergi)
bertanggung jawab pada sepertiga kasus, dan NSAID (melalui mekanisme
pseudoalergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus lainnya dari reaksi
urtikaria yang diinduksi obat.

c. Fixed Drug Eruption (FDE)


FDE atau disebut juga exantema fikstum adalah satu-satunya EOA yang
selalu diprovokasi oleh obat atau bahan kimia.1 Tidak ada faktor etiologi lain
yang dapat mengelisitasi. FDE merupakan EOA yang sering dijumpai ketiga.
Gambaran FDE berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan
biasanya numular, pada kasus yang berat dapat timbul bula. Tempat
predileksi adalah di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-
laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi yang
kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat. 1 Lesi
kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama dan baru hilang
bahkan sering menetap. Kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang
sama.11

25
Gambar 4. Fixed drug eruption
Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003

Obat yang sering menyebabkan FDE ialah sulfonamide, barbiturate,


trimethoprim dan analgesic. Ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter
hingga sentimeter. Dengan pemberian obat inisial, lesi soliter dapat
terbentuk. Pada pemberian ulang obat penyebab, lesi terjadi tidak hanya
pada lokasi biasanya, tapi juga pada tempat lain.1

Gambar 5. Fixed drug erupsi pada genitalia akibat sulfonamide


Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003

26
.

Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV. Terdapat
peningkatan jumlah limfosit T baik helper maupun supresor. Limfosit T helper
/ sitotoksik epidermis ditemukan dekat dengan keratinosit yang nekrotik. 5,7
Limfosit T yang menetap di lesi kulit berperan dalam memori imunologis dan
menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang sama. Ditemukannya
keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan peningkatan ICAM 1 (yang
terlibat dalam interaksi antara keratinosit dan limfosit) dan FILA-DR.
Peningkatan ekspresi ICAM-1 menjelaskan migrasi limfosit T ke epidermis.
Beberapa obat penyebab FDE adalah sulfonamid, tetrasiklin, barbiturat,
fenazon, fenitoin, trimetoprim, dan analgesik.1,5

d. Dermatitis Eksfoliativa(Eritroderma)
DE atau eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya
disertai skuama. DE biasanya muncul dalam beberapa minggu atau bahkan
beberapa hari setelah penggunaan obat. Erupsi berupa eritema diseluruh
tubuh diikuti deskuamasi terutama pada telapak tangan dan kaki 3. Proses
dapat berlanjut beberapa minggu atau bulan setelah penghentian obat. Pada
eritroderma karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama, skuama baru
timbul pada stadium penyembuhan. 6,12

Gambar 6. Dermatitis eksfoliativa, erupsi dan skuama di wajah, lengan dan tubuh.
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

27
EGC ; 2005.

Mekanisme yang pasti belum diketahui, diduga melalui mekanisme tipe


IV. DE dapat berasal dari erupsi eksantematosa jika obat penyebab masih
dilanjutkan.2 DE selain diinduksi obat, juga dapat merupakan perluasan
penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya seperti psoriasis, atau berkaitan
dengan limfoma hodgkin, leukemia, dan keganasan lainnya. 1,5 Banyak obat
yang dapat menjadi penyebab DE, namun yang paling sering adalah
sulfonamid, penisilin, barbiturat, karbamazepin, fenitoin, fenilbutason,
allopurinol, dan garam emas.1
e. Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit/mukosa berupa
bercak/pembengkakan berwarna merah/kebiruan yang tidak hilang bila
ditekan.1 Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat.
Erupsi biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, termasuk pergelangan
kaki atau tungkai bagian bawah dengan penyebar keatas. Erupsi terdiri atas
makula atau bercak kecil berbatas tegas berwarna merah kecoklatan yang
tidak hilang dengan penekanan, dan disertai rasa gatal. 1,5 Kelainan dapat
berupa Petekie (makula merah, diameter 2-3 mm, merah, kemudian  coklat
& akhirnya menghilang), Ekimosis (makula kebiruan, sedikit bengkak,
diameter > 2-3 mm, letak kelainan lebih dalam; kemudian  menguning &
akhirnya menghilang), Vebeses (purpura berbentuk linear), Hematoma
(kumpulan darah dalam jaringan kulit / mukosa. Berjumlah cukup banyak 
pembengkakkan & fluktuasi)1

28
Gambar 7. Purpura pada tungkai bawah
Sumber Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003

Purpura karena hipersensitivitas obat dapat diakibatkan oleh


trombositopenia. Mekanisme trombositopenia berhubung dengan
pembentukan kompleks antigen antibodi dengan afinitas pada trombosit.
Teryata banyak obat yang menyebabkan kerusakan kapiler tanpa mengenai
tombosit. Tipe ini dikenal sebagai purpura non trombositopenik atau purpura
vascular/purpura primer. Purpura non trombositopenik/purpura sekunder
secara umum berkaitan dengan deposit kompleks imun di dinding venula.
Beberapa obat penyebab purpura trombositopenik adalah asam
asetilsalisilat, karbamazepin, indometasin, isoniazid, nitrofurantoin,
penisilinamin, fenitoin, dan derivatnya, derivat pirazolon, quinidin, sulfonamid,
dan tiourasil. Sedangkan beberapa obat penyebab purpura non
trombositopenik adalah ampisilin, penisilin, sulfatrimetoprim, sulfonamid,
asam asetilsalisilat.5

f. Vaskulitis
Vaskulitis adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa

29
palpable purpura yang mengenai kapiler.3 Vaskulitis ditandai dengan adanya
inflamasi dan nekrosis pembuluh darah.3 Bentuk tersering adalah vaskulitis
yang mengenai kapiler dan venul. Vaskulitis dapat hanya terbatas pada kulit,
atau dapat melibatkan organ lain, antara lain hepar, ginjal, dan sendi. Ukuran
dan jumlah lesi bervariasi. Biasanya distribusi simetris pada ekstremitas
bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam, malaise,
myalgia dan anoreksia.3,5 Vaskulitis clapat terjadi pada semua umur, dengar
awitan rata-rata pada dekade kelima.
Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme reaksi
tipe III, jadi berhubungan dengan deposit kompleks imun. Obat hanya salah
satu penyebab vaskulitis.2 Obat-obatan yang dianggap sebagai penyebab
adalah penisilin, sulfonamid, tiourasil, hidantoin, iodida, alopurinol, tiazid,
NSAID, antidepresan, antiaritmia.3,4

g. Reaksi fotoalergik
Fotosensitivitas dapat berupa fenomena non imunologik fototoksik, atau
reaksi imunologik fotoalergik.2 Reaksi fotoalergik bergantung pada obat,
respons imun dan cahaya. UVA (320-400nm) terlibat pada sebagian besar
reaksi fotoalergik. Reaksi fotoalergik dapat diinduksi oleh obat topikal atau
sisternik.13
Gambaran klinis reaksi fotoalergik sama dengan gambaran dermatitis
kontak alergi pada umumnya. Reaksi kulit diawali di daerah yang terpajan
sinar matahari, kemudian dapat meluas yang tidak terpajan matahari. 3 Reaksi
fotoalergik terhadap photosensitizer sistemik lebih jarang dibandingkan
dengan yang diinduksi kontaktan.6

30
Gambar 8. Ruam pada reaksi fotoalergik
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2005.

Reaksi fotoalergik diperantarai oleh limfosit dan merupakan reaksi


hipersensitivitas tipe lambat serupa dengan dermatitis kontak alergik. Reaksi
fotoalergik membutuhkan fase induksi dan elisitas. Periode sensitisasi dapat
beberapa hari sampai beberapa bulan. Konsentrasi obat yang dibutuhkan
untuk elisitasi dapat sangat kecil.2 sebagaian besar reaksi fotoalergik
disebabkan oleh agen topikal, antara lain sulfonamid, fenotiazin, dan
halogennated salicylanilides. Fotoalergen sistemik, misalnya fenotiazin,
klorpromazin, sulfa, tiazid, kuinidin, dan griseofulvin dapat menimbulkan
reaksi fotoalergik.1,6

h. Pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA)


Penyakit pustulosis eksemantosa generalisata akut(PEGA) atau acute
generalized exanthematous pustulosis(AGEP) jarang terjadi, diduga
disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas
terhadap merkuri, dan dermatitis kontak.3
Kelainan kulitnya berupa pustule-pustul miliar non-folikular yang timbul
pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi

31
target. Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi(>38 0C), dan pustule-
pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti
deskuamasi selama beberapa hari.3
Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustule intraepidermal atau
subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrate
polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinophil atau nekrosis fokal sel-sel
keratinosit.3
Terdapat 2 perbedaan utama antara PEGA dan psoriasis pustulosa yaitu
PEGA terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada PEGA pustule-
pustul pada kulit yang eritematosa dan demam lebih cepat menghilang, selain
itu gambaran histopatologik juga berbeda.3

i. Eritema nodosum (EN)


EN merupakan EOA yang jarang terjadi. Kelainan kulit berupa eritema
yang lunak dan nodus yang nyeri dengan eritema diatasnya disertai gejala
umum berupa demam, malese dan artritis tidak biasa pada EN yang diinduksi
obat. Distribusi lesi simetris dengan tempat predileksinya di daerah tungkai
bawah. Pada kasus yang berat dapat mengenai paha dan lengan. Awitan EN
cepat namun regresi perlahan. EN dapat pula disebabkan oleh beberapa
penyakit lain misalnya tuberculosis, infeksi streptokokus, dan leprae.

32
Gambar 10. Eritema nodusum pada tungkai bawah
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2005.

Terdapat beberapa pertentangan apakah obat dapat menyebabkan EN.


Biasanya dengan Imunofluoresen langsung gagal menunjukkan deposit imun,
tapi kadang-kadang terdapat IgG atau IgM. Reaksi imunologis yang
menyebabkan inflamasi di pembuluh darah subkutan mungkin mencetuskan
lesi.
Obat-obatan yang dianggap sering menyebabkan EN adalah sulfonamid,
bromida, dan kontrasepsi oral.1 Obat-obatan lain seperti penisilin, barbiturat,
dan salisilat lebih jarang menyebabkan EN.2

j. Eritema Multiforme (EM)


Eritema Multiforme atau disebut juga Herpes iris, dermatostomatitis dan
eritema eksudativum multiforme merupakan erupsi mendadak dan rekuren
pada kulit dan kadang-kadang pada selaput lendir dengan gambaran
bermacam-macam spectrum(polimorfik) dan gambaran khas bentuk iris.
Pada kasus yang berat disertai symptom konstitusi dan lesi vesikel.
Penyebab yang pasti belum diketahui. Obat merupakan penyebab EM pada
10-20% kasus, sisanya kemungkinan disebabkan oleh infeksi dan penyakit
lain.1,5
Gejala klinis berupa spektrum yang bervariasi dari erupsi lokal kulit dan
selaput lendir sampai bentuk berat berupa kelainan multi system yang dapat
menyebabkan kelainan. Terdapat dua tipe dasar yaitu tipe macula eritema

33
dan tipe vesikobulosa.3

Gambar 11. Eritema Multiformis


Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In:
Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

Tipe makula-eritema mendadak, simetris dengan tempat predileksi di


punggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas , dan selaput
lender. Pada keadaan berat mengenai badan. Lesi tidak terjadi serentak,
tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu. Gejala khas ialah bentuk iris(target
lesion) yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau
eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat
dan kemudian lingkaran yang merah.3
Pada tipe vesikobulosa lesi mula-mula berupa macula, papul,dan urtika
yang kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini dapaat juga
mengenai selaput lender.3 Pada pemeriksaan darah tepi tidak ditemukan
kelainan, pada kasus yang berat dapat terjadi anemia dan proteinuria ringan. 3

k. Sindroma Stevens Johnson (SSJ)


Sindrom Steven Johnson (SSJ) disebut juga eritema multiforme mayor
merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lender dan orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan

34
paada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.1
Penyebab utama dari SSJ adalah alergi obat(>50% kasus). Penyebab
lainnya adalah infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma dan
radiasi. Banyak obat yang menjadi penyebab sindrom ini, yang tersering
adalah sulfonamid, antikonvulsan aromatik, beberapa NSAID dan alopurinol
yang bertaggung jawab pada 2/3 kasus SSJ. Aminopenisillin dan
klormenazon juga dilaporkan sebagai penyebab tersering. Penyakit ini serupa
dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik).
Gambaran klinis tergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama
SSj dan NET adalah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat
akan terjadi aktivasi sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga
sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis, sedangkan CD8
pada sel epidermis. Keratinositepidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2 dan
MHC II. Sel Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF  di epidermis
meningkat.1,7
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia < 3 tahun karena imunitas belum
begitu berkembang.Keadaan umumnya dapat bervariasi dari ringan sampai
berat. Mulainya penyakit akut dapat disertai dengan gejala prodromal berupa
demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. 1

Gambar 12. Contoh lesi pada Sindrom Stevens Johnson


Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2005.
Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput
lender di orifisium dan kelainan mata. Kelainan kulit terdiri atas eritema,

35
vesikel dan bula.3 Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Disamping itu juga terdapat purpura. Pada bentuk yang berat
kelainannya generalisata. Kelainan selaput lender di orifisium yang tersering
ialah pada mukosa mulut(100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang
alat genital(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang(masing-
masing 8% dan 4%). Kelainanna berupa vesikel dan bula yang cepat
memecah sehingga terjadi erosierosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di
mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang
sering tampaik ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Lesi di mukosa mulut
dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sulit/tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar
bernapas. Kelainan mata terjadi pada 80% diantara semua kasus, yang
tersering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu dapat pula berupa
konjungtivitis purulent, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis dan
iridosiklitis. Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, selain itu dapat pula
terjadi kehilangan darah/cairan, gangguan keseimbangan elektrolit, syok dan
ebutaan karena gangguan lakrimasi. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak
khas.3

36
Gambar 13. Gambaran pasien Sindrom Stevens Jhonson
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2005.

Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi


dari perubahan dermal ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh.
Kelainan berupa3:
1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis
superficial
2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subdermal
4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa
5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
Diagnosis banding SSJ adalah NET karena NET merupakan bentuk parah
dari SSJ. Apabila terdapat epidermolisis generalisata maka diangnosanya
adalah NET. Keadaan umum pada NET lebih buruk.3
Obat yang dianggap sebagai kausanya harus dihentikan, termasuk jamu
dan adiktif. Pengobatan yang diberikan jika keadaan umum pasien baik dan
lesi tidak menyeluruh adalah dengan prednisone 30-40mg sehari. Jika
keadaan umum pasien kurangbaik atau lesi menyeluruh pasien harus dirawat
inap. Penggunaan kortikosteroid merupakan life-saving, dapat digunakan
injeksi deksametason dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Setelah
beberapa hari (2-3 hari) bila masa krisis telah teratasi, keadaan membaik dan
tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi maka
dosis diturunkan 5 mg setiap harinya dan setelah mencapai 5 mg sehari lalu
diganti dengan tablet kortikosteroid. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Selain deksametason dapat pula digunakan metilprednisolon degan dosis
setara. Kelebihan metilprednisolon adalah efek sampingnya lebih sedikit
dibandingkan dengan dengan deksametason namun harganya lebih mahal.
Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan
berkurang sehingga harus diberikan antibiotic untuk mencegah infeksi,

37
misalnya bronkopneumonia yang menyebabkan kematian. Contoh antibiotic
yang biasa digunakan adak=lah ciprofloksasin 2 x 400 mg iv, klindamisin 2 x
600 mg iv sehari, ceftriakson 2 gr 1 x 1 sehari. Untuk mengurangi efek
samping kortikosteroid diberikan diet yang rendah garam dan tinggi protein
karena kortikosteroid bersifat katabolic.Setelah seminggu diperiksa pula
kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan KCl 3
x 500 mg.1
Pada pasien dengan lesi di mulut dan tenggorokan yang menyebabkan
sulit/tidak dapat menelan dapat diberikan infus seperti dextrose 5%, NaCl 9%
dan Ringer Laktat dengan perbandingan 1:1:1 dalam 1 labu yang diberikan 8
jam sekali. Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari,
maka dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari
berturut-turut. Efek transfusi darah (whole blood) adalah sebagai
imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah
diberi transfuse leukosit cepat menjadi normal. Selain itu darah juga
mengandung banyak sitokin dan leukosit jadi meninggikan daya tahan.
Indikasi pemberian transfuse pada SSJ dan NET adalah : 1
1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah
2 hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg
deksametason sehari dan NET 40mg sehari.
2. Bila terdapat purpura generalis
3. Jika terdapat leukopenia
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vit.C 500
mg atau 1000 mg sehari iv. Terapi topical tidak sepenting terapi sistemik.
Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak,
untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle
Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta tebal kehitaman data
diberikan emolien misalnya krim urea 10%.1

l. Nekrosis Epidermal Toksik (NET)


NET disebut juga Sindrom Lyell merupakan penyakit yang berat, lebih

38
berat daripada SSJ, sehingga jika pengobatan tidak cepat dan tepat dapat
menyebabkan kematian. NET ialah penyakit berat, gejala terpenting ialah
epidermolisis generalisata (karena sel sasarannya adalah epidermis), dapat
disertai kelainan pada selaput lender di orifisium dan mata. 3,5 Etiologinya
sama dengan SSJ. Penyebab utama juga alergi obat yang berjumlah 80-95%
dari semua pasien. NET merupkan penyakit yang berat dan sering
menyebabkan kematian karena gangguan cairan dan elketrolit atau karena
sepsis. NET disertai periode prodromal berupa demam, rhinitis, konjungtivitis,
yang bertahan beberapa hari hingga minggu yang dapat disertai dengan
penurunan kesadaran(spoor-komatosa), selanjutnya lesi kulit berkembang
cepat, biasanya dalam 3 hari. Awalnya, pasien merasakan seperti terbakar
atau nyeri pada lesi eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan
bula dan dapat disertai dengan purpura. Bula dan pengelupasan
kulit(epidermolisis) pada area yang luas mengakibatkan tanda Nikolsky positif
pada kulit yang eritematosa, yaitu kulit yan ditekan dan digeser maka kulit
akan terkelupas.1.5

Gambar 14. Nekrosis Epidermal Toksik


Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2005.

Komplikasi yang dapat terjadi adalah pada ginjal yang berupa nekrosis
tubular akut akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama
dengan glomerulonephritis. Diagnosis banding NET adalah SSJ, Dermatitis
kontak iritan karena baygon dan Staphylococcus Scalded Skin

39
Syndrome(SSSS).3

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilaksanakan untuk membantu memastikan
penyebab erupsi obat alergik :6
a. Pemeriksaan in vivo :
1. uji tempel (patch test)
2. uji tusuk (prick/scratch test)
3. uji provokasi (exposure test)
Pemeriksaan tersebut memerlukan persiapan untuk menghadapi
kemungkinan reaksi anafilaksis.

b. Perneriksaan in vitro :
1. Yang diperantarai antibodi :
a) Hemaglutinasi pasif
b) Radio immunoassay
c) Degranulasi basofil
d) Tes fiksasi komplemen
2. Yang diperantarai sel :
a) Tes transformasi limfosit
b) Leucocyte migration inhibition test
Pemilihan pemeriksaan tersebut didasarkan atas mekanisme imunologis yang
mendasari erupsi obat. Namun perlu diingat bahwa pemeriksaan tersebut
merupakan pemeriksaan penunjang dan hasilnya memerlukan interpretasi yang
teliti.1

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis erupsi obat berdasarkan :
a. Anamnesis : adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan
obat sehingga perlu ditanyakan obat-obat/jamu yang didapat, kelainan yang

40
timbul akut atau beberapa hari setelah konsumsi obat, rasa gatal yang dapat
disertai demam yang biasanya subfebril.
b. Pemeriksaan Klinis (Kelainan kulit yang ditemukan) : adanya kelainan klinis
sesuai dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang diikuti
penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan
oleh obat tersebut. Perlu diperhatikan distribusi lesi yang menyebar, simetris
atau setempat, bentuk kelainan yang timbul (urtikaria, purpura, eksantema,
papul, eritroderma, eritema nodusum).
c. Pemeriksaan khusus ; saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitif dan
dapat dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik.

VII. DIAGNOSIS BANDING 5


a. Dermatitis Kontak Iritan
b. Pitiriasis Rosea
c. Urtikaria, selain karena obat

VIII. PENGOBATAN
Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena
kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau
metabolitnya. Pengobatan dibagi dalam:

a. Pengobatan kausal : 
 Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka

(apabila obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk


rnenghindari obat yang mempunyai struktur kimia dengan obat tersangka
(satu golongan).
b. Pengobatan simtomatik :Pengobatan dilaksanakan sesuai dengan tipe reaksi
yang mendasarinya :
1. Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I) : Bila terjadi syok dapat diberikan
epinefrin 1 : 1000 sebanyak 0,3 – 0,5 ml secara subkutan atau intravena.
Antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan, tetapi bukan merupakan
pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi dapat diatasi dalam waktu 15 –

41
20 menit, meskipun penderita masih harus diamati selama 24 jam
berikutnya untuk mencegah komplikasi.
2. Pada reaksi tipe yang lain : Penghentian penggunaan obat tersangka
umumnya cukup memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat-
ringannya reaksi, pemberian kortikosteroid (prednison 40 – 100 mg/hari)
dan antihistamin dapat dipertimbangkan.l

Pengobatan dapat diberikan secara 1:


1. Sistemik
a) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sisteik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet prednisone(1
tablet=5mg). Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis
medikamentosa, purpura, eritema nodusum, eksantema fikstum, dan
PEGA karena alergi obat, dosis standar untuk orang dewasa adalah
3x10 mg prednisone sehari. Pada eritroderma dosisnya adalah 3x10
mg sampai 4x 10 mg sehari.
b) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika terdapat
rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau dibandingkan
dengan kortikosteroid.
2. Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah
kering atau basah. Kalau keadaan kering, seperti apda eritema atau
urtikaria, dapat diberikan bedak, contohnya bedak salisilat 2% ditambah
dengan antipruritus, misalnya menthol ½ - 1% untuk mengurangi rasa
gatal. Kalau keadaan membasah seperti dermatitis medikamentosa perlu
dikompres, misalnya kompres larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk
purpura dan eritema nodusum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada
eksantema fikstum jika kelainan membasah dapat diberikan kompres dan
jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1%

42
atau 2,5%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang
menyeluruh dan skuamasi dapat diberi salep lanolin 10% yang dioleskan
sebagian-sebagian.

IX. PROGNOSIS
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya
dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk,
misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan sindrom Leyll dan sindrom Steven-
Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena. 1

X. KESIMPULAN
Banyak tipe erupsi yang dapat disebabkan oleh obat, dan tiap obat dapat
memicu timbulnya erupsi obat alergi. Oleh karena itu sebelum memberikan terapi
obat, harus dipertimbangkan besar kecilnya resiko, keuntungan serta kerugian dari
terapi tersebut. Dengan mengetahui imunopatogenesis, faktor resiko, manifestasi
klinis EOA dan edukasi pada pasien, serta penulisan resep yang tepat dapat
menurunkan morbiditas EOA.
Apabila terjadi EOA dan obat tersangka penyebab erupsi tersebut telah dapat
dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil
yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat
ditunjukkan bilamana diperlukan, sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang
memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergi. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aishah S, editor.


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Cetakan ketiga. Jakarta : FK UI ; 2008.
h 154-8.
2. Shear NH, Knowles SR, Shapiro L. Cutaneous Reactions to Drugs. Dalam : Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell, editor. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York : McGrawHill ; 2008. p 355-
62.
3. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical Press. 2006 (cited 2013 July 19) Available from :
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf.
4. Partogi D. Fixed Drug Eruption. 2009 (cited 2013 July 19). Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3411/1/08E00858.pdf
5. Blume JE, Elston DM. Drug Eruption. New York : Emedicine (Updated 2013 April 8;
cited 2013 July 19).
6. Riedl MA, Casillas AM. Adverse Drug Reactions: Types and Treatment Options. Am
Fam Physician. 2003 (cited 2013 July 18). Available from :
http://www.aafp.org/afp/2003/1101/p1781.html.
7. Budi Iman. Erupsi Obat Alergik. 2008 (cited 2013 July 18). Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3400/1/08E00602.pdf.
8. DeSwarte RD, Patterson R. Drug allergy. Dalam : Patterson R, et al. Alergic
Diseases. Edisi ke-5. Philadelpia : Lippincott-Raven Publisher ; 1997. p 317 – 352.
9. Bratawidjaya KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Bratawidjaya KG, Rengganis I.
Imunologi Dasar. Edisi ke-8. Jakarta : FKUI ; 2009. h 106 – 129.
10. Purwanto SL. Alergi Obat. Dalam : Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976.
(cited 2013 19 July). Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files-
07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht
11. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 2005.

44
12. Revuz J, Allanore LV. Drug Reactions. In : Bolognia JL, et al, editor. Dermatology
Volume 1. 2nd ed. Spain : Mosby Elsevier ; 2008. p 301-19.
13. James WD, Berger TG, Elston DM. Drug Eruption. In : Andrew’s Disease of The
Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2006. p 115-38.
14. Paller AS, Manchini AJ. The Hipersensitivity Syndromes. In : Hurwitz Clinical
Pediatric Dermatology. 4th ed. Canada : Saunders Elsevior ; 2011. p 454-69.
15. Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat.
In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

45

You might also like