Professional Documents
Culture Documents
e
k
d
em
ie
sr
id e k a a n
In d on e s i a
#MERDEKATapi
Temukan
kami di
Kontributor
Project Manager
Muhammad Reza
Catatan Redaksi
“Kita bikin apa nih untuk 17 Agustus nanti?’
Editor Pertanyaan siang bolong itu langsung berbuah meeting seketika, dan
Hardiana Noviantari kelar sesingkat-singkatnya. Kami sudah sepakat sejak malas untuk lagi-
lagi merayakan Hari Kemerdekaan dengan artikel hura-hura, semisal
“Inilah 7 Lomba Kemerdekaan yang Harus Kamu Tahu...” atau “Aku
Editorial Cinta Indonesia Seperti Aku Cinta Kamu...”.
Darin Rania
Pertama, merayakan tak harus selalu dengan keriaan.
Audina Galeshita
Kedua, harus diakui Indonesia sedang memprihatinkan.
Maka kami rilis e-book edisi terbaru ini dengan tagar #MerdekaTapi.
Sedemikian banyak “tapi” di balik status administrasi Indonesia yang
Design & layout merdeka. Kami ajak kamu merenung, mempertanyakan kembali apa
Zulfahri Akbar yang sebenarnya kita rayakan di tiap 17 Agustus. Apakah benar kita
sudah merdeka? Seyakin apa bahwa rakyat Indonesia sudah tak
terbelenggu dan leluasa memperjuangkan kemakmuran bersama?
@hipwee
Hipwee E-book| 2
hipwee
Editor in Chief
hipwee
Soni Triantoro
1
10+ Barang Sehari-hari di
2
5 Bukti Kita Tidak Lagi
Indonesia dan Asal Bisa 100% Berbahasa
Perusahaan Pemiliknya, Indonesia. Coba Sendiri
Dari Aqua Sampai Big Cola Deh, Sulit Banget!
4
Selalu Percaya Bahwa
Negara Kita Kaya Sumber
3
5 Alasan Kenapa Orang Asia Daya Alam itu Bahaya. Cek
Kayak Indonesia, Demen Dulu Faktanya Sekarang!
Pakai Jasa ART. Beda dari
Amrik atau Eropa
6
6 Kebiasaan Kita yang
5
8 Bukti Kalau Orang Negeri
Ini Masih Sering Merasa Sebenarnya Termasuk
Inferior. Suka Minder Nggak Korupsi. Nggak Heran Kalau
Jelas ke Orang Asing Koruptor Terus Bermunculan
8
11 Potret Kemerdekaan yang
7
Realita Pendidikan di
Indonesia yang Hobi Ganti- Tidak Merata di Indonesia.
ganti Aturan. Sering Berasa Seakan-akan Berasa Hidup di
Kayak Kelinci Percobaan Negara Lain
Memilih Pemimpin
9 10
Merdeka tapi Mau Punya di Indonesia Tak
Tanah di Negeri Sendiri Lebih Mudah dari
Saja Susahnya Minta Judi Bola
Ampun
10+ Barang Sehari-hari di Indonesia ini
Ternyata Dimiliki Oleh Asing, Dari Aqua
Sampai Big Cola
Kalau lagi bahas gimana caranya memajukan negeri ini, kayaknya sering deh dengar imbauan
untuk selalu 'mencintai produk dalam negeri'. Meski jelas itu prinsip yang baik untuk selalu dipraktikkan,
tapi sebenarnya apakah orang-orang tahu atau bisa membedakan, mana yang produk dalam negeri dan
produk luar negeri. Soalnya, lihat aja cara kita seringkali menyebut (semua) air minum dengan merek air
mineral kemasan populer- Aqua. Kira-kira pada tahu nggak ya orang-orang kalau Aqua itu termasuk
produk asing?
Cuma sekadar mau ngecek aja sih, kamu tahu nggak asal perusahaan multinasional yang bikin
produk kita sehari-hari?
1 2
Aqua
Susu Dancow
Coca-Cola
Pepsodent
7
Sabun Rinso
Pampers
Philips
10
11
Samsung
Sabun Rinso
Merek ponsel Android satu ini mungkin pada banyak yang
tahu asalnya. Yup, Samsung itu berasal dari negeri Gingseng Di Indonesia, Unilever bikin banyak banget produk
Korea Selatan sehari-hari. Dari sampo sampai sabun cuci Rinso,
sebenarnya merek milik perusahaan Unilever
Lagi-lagi, nggak ada salahnya memakai produk-produk luar negeri di zaman yang serba
terkoneksi kayak sekarang. Toh kini sebenarnya mungkin tidak ada negara yang bisa bertahan
tanpa produk atau jasa negara lain. Cuma memang penting banget untuk terus memupuk rasa cinta
terhadap produk asli Indonesia, supaya perusahaan atau merek asli Indonesia juga bisa 'besar' dan
terkenal di dunia seperti produk-produk di atas.
Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus.
Tetapi aku memilih menjadi manusia merdeka
Bisa dong, 'kan kita orang asli Indonesia. Fenomena terkikisnya bahasa nasional
Tapi begitu dicoba, kamu bakal langsung ini tidak hanya terjadi di Indonesia.
sadar betapa susahnya berbicara dengan Hampir semua negara juga sedang
100% Bahasa Indonesia. Lihat saja kata- mengalami 'dilema bahasa' di tengah-
kata yang banyak mewarnai keseharian tengah tuntutan persaingan global. Wah
generasi 'now' seperti download, online, apakah itu memang nasib bahasa
atau gagdet? Apa coba Bahasa nasional seperti Bahasa Indonesia? Atau
Indonesianya? Yakin deh, pasti banyak ada cara untuk mencegahnya?
yang tidak tahu.
1
Sebagian besar generasi muda di Indonesia
lebih familiar dengan istilah bahasa asing
daripada Bahasa Indonesia
baik. Sedangkan saat berbicara dengan orang
asing, gunakan bahasa asing agar komunikasi
bisa terjalin dengan baik
2
Nggak bisa disangkal, penguasaan bahasa
asing adalah salah satu bagian dari
tuntutan era globalisasi. Tapi bukan berarti
melupakan Bahasa Indonesia ‘kan?
generasi muda Indonesia?
5
Nggak salah kok fasih berbahasa asing. Yang
penting jangan sampai melupakan Bahasa
Indonesia. Bagaimanapun sebagai orang
Indonesia, Bahasa Indonesia harus jadi
Era globalisasi memang memaksa generasi bahasa utama
muda untuk bisa berbahasa asing. Perusahaan
juga pasti meminta sertifikasi bahasa asing Mengutamakan Bahasa Indonesia,
sebagai syarat pelamarnya. Wajar aja generasi melestarikan bahasa daerah, dan menguasai
muda lebih peduli buat menguasai bahasa bahasa asing
asing untuk bisa mengikuti tuntutan zaman.
Tapi seharusnya hal itu nggak membuat kita Tiga prinsip itu harus jadi pedoman dalam
lupa menggunakan Bahasa Indonesia. Seperti menggunakan bahasa untuk kebutuhan sehari-
yang diungkapkan dalam Sumpah Pemuda, hari. Nggak ada yang salah dengan fasih
Bahasa Indonesia seharusnya jadi bahasa berbahasa asing, asalkan nggak bikin kita lupa
persatuan nusantara. dengan Bahasa Indonesia, bahasa persatuan,
sekaligus bahasa ibu kita. Nggak perlu sampai
3
Kebanyakan anak muda saat ini
menyelipkan bahasa asing cuma karena
ingin terdengar lebih gaul, meski
konteksnya tidak sesuai
jadi ahli Bahasa Indonesia, yang penting bisa
berbahasa Indonesia dengan baik untuk
berkomunikasi yang benar.
Kehangatan hubungan Ashanty dengan Asisten Rumah Tangga (ART)-nya, seringkali jadi objek
kekaguman warganet Indonesia. Cuma itu jelas bukan gambaran umum dari nasib ART atau pekerja
domestik di negeri ini. Banyak ART yang masih diperlakukan semena-mena dan benar-benar hidup
layaknya babu. Tanpa kontrak, jam kerja, atau sistem yang jelas.
Uniknya, tahukah kamu kalau kultur seperti ini, memiliki ART atau nanny untuk membantu urusan
rumah tangga, tampaknya banyak ditemui di negara-negara Asia seperti Indonesia? Di negara-negara
Eropa maupun Amerika Serikat, orang sekaya apapun biasa mengerjakan semua hal sendiri. Kenapa ya
bisa begitu?
Biaya buruh yang murah. Di negara maju, Perbedaan kultur negara-negara Barat
2 5
Jurang lebar antara orang kaya dan 'melayani' itu justru mengakar kuat di
miskin di negara-negara berkembang Asia negara-negara Asia karena
seringkali membuat warganya putus asa pengalamannya sebagai kaum terjajah
dan rela kerja apa aja
Yang lebih unik, negara yang punya kultur
Karena tingkat kesejahteraan yang tidak 'pembantu' ini justru negara-negara yang
merata, banyak rakyat ekonomi bawah rela dulunya terjajah lho. Negara penjajah seperti
melakukan pekerjaan apapun demi sesuap Belanda atau Inggris yang dulunya selalu
nasi. Dari pekerjaan kasar sampai dilayani 'dayang-dayang' pribumi kini punya
mengerjakan hal-hal kecil untuk orang lain. warga yang malah lebih suka hidup mandiri.
Bisa jadi, mental untuk selalu punya bawahan
Minimnya sistem keamanan sosial juga itu memang warisan zaman penjajahan.
3
jadi masalah. Bayangkan jika ada fasilitas
seperti day care profesional murah atau
gratis, keluarga muda mungkin tak harus
bergantung pada bantuan nanny
Kalau memang begitu adanya,
Di sisi lain, ketergantungan banyak warga
Indonesia terhadap tenaga ART sebenarnya semoga ke depan kita benar-
juga bisa sangat dipahami. Jika tidak ada jasa benar bisa jadi bangsa yang lebih
ART atau tenaga pengasuh yang terjangkau,
pasti banyak ibu muda yang tidak bisa merdeka ya. Bukan cuma satu
menyeimbangkan kehidupan berkeluarga dan kelompok saja yang merdeka,
karier profesionalnya. Beda ceritanya dengan
situasi di negara maju dengan program sejahtera, dan mampu berkarya,
jaminan sosial yang oke. tapi semua tanpa terkecuali.
Power isn't determined by your size,
but by the size of your heart and dreams
Luffy (One Piece)
#MERDEKATapi
Banyak orang yang merasa rendah diri dan menganggap segala sesuatu yang berbau asing
lebih baik. Meski bukan berarti harus membabi buta membenci segala sesuatu yang asing, ada
baiknya kita memikirkan kembali perilaku-perilaku di bawah ini guys. Jangan suka minder
nggak jelas sama orang asing gitu..
4
hidung mancung, dan wajah lonjong
5
mengemis buat bisa jalan-jalan
6
kebanyakan bukan orang Indonesia sendiri
8
Punya kesempatan buat sekolah di luar negeri itu nggak
salah, tetapi kalau terlalu bangga dan sombong itulah yang
jadi masalah. Indonesia punya universitas unggulan seperti
UI, ITB, dan UGM yang prestasinya di rangking dunia nggak
jelek. Toh kalau menganggap lulusan universitas luar akan
lebih sukses itu nggak selalu benar. Sukses nggak cuma
soal dimana belajarnya, tapi juga kualitas diri
#MERDEKATapi
Bahkan mungkin sering kita praktikkan sendiri. Mau tahu apa aja?
hehehe.. sori yaw ‘Jam Karet’ sayangnya sudah terlanjur jadi kepribadian
bangsa ini. Bahkan banyak yang sengaja ngaret dengan
alasan yang lain pasti telat dan malas menunggu
sendirian. Sadarkah kalian, kebiasaan terlambat ini
harus dihapuskan karena termasuk korupsi waktu?
Banyak pihak yang dirugikan karena kebiasaan
terlambat ini.
Eh, mas Iksan! Gimana kabarnya mas?
Anak istri baik? Masih sering nongkrong Kita seringkali memanfaatkan jabatan dan
di tempat biasa? Oh, iya saya hubungan kekeluargaan untuk memudahkan
Selanjutnya! pesan duluan yah! sesuatu
Kebiasaan di atas memang kelihatannya sepele bagi sebagian orang, tapi itu tetap saja
bentuk korupsi. Kalau dibiasakan terus menerus, bukan tidak mungkin merembet ke hal-hal
yang lebih besar kayak penggelapan uang perusahaan, dan lain-lain. Makanya sebenarnya
tidak mengherankan kalau negara ini terus ‘melahirkan’ koruptor.
Realita Pendidikan di Indonesia
yang Hobi Ganti-ganti Aturan.
Sering Berasa Kayak
Kelinci Percobaan
Tiap ganti tahun ajaran atau mungkin tiap ganti menteri pendidikan, sistemnya diganti
atau direvisi melulu. Kok kita jadi berasa kayak kelinci percobaan banget sih ya. Kira-kira
sistem mana sih yang menurut kamu paling pas buat diberlakukan di Indonesia? Yuk bahas
bareng Hipwee News & Feature!
Zaman penjajahan dulu, hanya orang Belanda Sistem ini juga cenderung menimbulkan persaingan
atau anak bangsawan yang bisa diterima di yang tidak sehat. Dari tingginya angka kecurangan,
sekolah sampai bagaimana hasil sekolah bertahun-tahun dan
masa depan sekolah selanjutnya hanya ditentukan
Benar adanya ketika orang bijak zaman dulu berujar dalam waktu satu hari.
'knowledge is power' untuk menggambarkan
bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa jadi sumber
kekuatan. Makanya mungkin baru setelah lebih dari Karena ingin membangun sistem pendidikan
300 tahun menjajah Indonesia, Belanda yang lebih adil dan merata, pemerintah akhirnya
memperkenalkan sistem pendidikan formal untuk memperkenalkan zonasi
rakyat Indonesia sebagai Politik Balas Budi pada
tahun 1901. Bukan standar kualifikasi sekolah masing-masing
Namun sekolah-sekolah awal bikinan Belanda pun atau hasil nilai ujian nasional, sistem zonasi ini
hanya bisa dinikmati pribumi yang punya 'darah mengatur semua calon siswa harus mendaftar
biru'. Selama zaman penjajahan, garis keturunan sesuai zona atau wilayah domisili. Sistem tersebut
bisa dibilang jadi faktor utama yang menentukan diharapkan bisa menyetarakan input siswa dan
kamu bisa sekolah atau nggak. kualitas pendidikan di Indonesia. Tapi
pelaksanaannya tahun ini justru menyebabkan
Pasca kemerdekaan, pendidikan adalah hak kontroversi besar.
semua warga negara. Awalnya, sekolah biasanya
punya tes masuknya sendiri Tiap sistem punya pro-kontranya masing-masing.
Tapi kecenderungan 'ganti menteri, ganti
Nah sebelum ada sistem ujian akhir bertaraf kurikulum' dan kurangnya sosialisasi, bikin
nasional kayak EBTANAS, UAN, atau UN, ujian masuk pelaksanaannya sering carut marut
sekolah biasanya ada di tangan sekolah masing-
masing. Tiap sekolah punya kuasa untuk Aturan yang berubah-ubah hampir tiap tahun ajaran,
menentukan kualifikasi siswa yang akan diterima. jelas membuat banyak siswa merasa jadi 'kelinci
Sekilas sistem ini terlihat yang paling simpel, calon percobaan' dari pergantian kurikulum, standar
siswa tinggal mempersiapkan diri mengerjakan ujian kelulusan, atau sistem penerimaan siswa baru. Tiap
masuk di sekolah yang diminati. tahunnya, orangtua murid juga harus belajar keras
memahami sistem baru atau revisi-revisinya demi
Nah baru setelah itu, nilai ujian nasional dipakai memastikan buah hatinya mendapatkan pendidikan
untuk mendaftar jenjang sekolah berikutnya. terbaik.
Sekolah unggulan jadi makin unggul dengan
sistem ini Emang rumit banget sih kalau bahas pendidikan
Indonesia, tapi kalau menurut kalian gimana guys?
Mungkin supaya ada standar nasional yang jelas dan
bisa terukur, nilai hasil ujian nasional akhirnya
dipakai sebagai patokan masuk ke jenjang
pendidikan selanjutnya. Kesenjangan kualitas
sekolah tambah mengerucut dengan sistem ranking
nilai UN ini.
#MERDEKATapi
Agar mata benar-benar terbuka dan hati kita sadar kalau masih
banyak saudara kita di luar sana yang bahkan belum tersentuh air
bersih, yuk ini ketahui realita di daerah pedalaman dan perbatasan.
Pendidikan yang belum merata itu sebenarnya Supaya bisa bermimpi lebih tinggi, mereka
udah jadi "lagu lama". Tapi sedihnya, masalah satu
juga perlu difasilitasi
ini kayak belum ada solusi yang berarti.
Selain itu, Bahasa Indonesia sebagai bahasa Di daerah perbatasan, mati listrik itu
ibu tampaknya juga masih jadi kendala di kejadian rutin
berbagai wilayah terutama yang memang
belum tersentuh teknologi Boro-boro teknologi atau transportasi canggih, listrik
dan lampu sebagai kebutuhan dasar saat ini aja masih
Seperti penduduk di pedalaman Aceh Timur yang masih sangat minim. Ada pun kadang cuma bisa dinikmati
belum bisa membedakan P, V, dan F. Siswa masih sering beberapa jam dalam sehari
salah menulis "Polisi" jadi "Volisi"
Air juga minim, padahal air yang kurang
Masih awam sama yang namanya internet
bersih bisa jadi sumber penyakit
Kekurangan tenaga medis karena emang Jadi kendala juga kalau mau membangun
jarang ada yang mau ditempatkan di transportasi di sana
pedalaman terpencil
Mereka jadi tertinggal jauh sama kita juga karena akses
Tidak sedikit juga yang malah tidak punya tempat atau infrastruktur jalan dari/menuju ke sana masih
perawatan kesehatan. Kalau ada juga pasti fasilitas dan sangat buruk
tenaga medisnya kurang memadai
Tidak jarang juga karena edukasi masih kurang,
Harus bertahan tinggal di rumah yang kurang mereka malah kena tipu perusahaan besar yang
pengen memanfaatkan sumber daya alam di sana
layak
http://dengerin.swaragamafm.com/
Kemerdekaan punya banyak tujuan,
salah satunya adalah untuk membuatmu berhenti
berpikir bahwa bangsa asing selalu lebih baik
Hipwee
#MERDEKATapi Mau Punya Tanah
di Negeri Sendiri Saja
Susahnya Minta Ampun
Ketika bicara tanah, maka kita disuguhi dua kategori yang paling
rentan: tanah untuk tinggal dan tanah untuk menghidupi (baca:
menanam). Dua-duanya tidak terdengar baik di Indonesia.
Mau tinggal
dimana?
Salah satu topik kongko terfavorit di usia-usia transisi mahasiswa-pekerja adalah membahas “mau
punya rumah di mana?”. Jenis obrolan ini kini membawa hawa suram dan pesimistis bagi tongkrongan.
Harga tanah terus melonjak dikarenakan penguasaan lahan yang terkonsentrasi secara besar-besaran pada
sekelompok orang dan perusahaan besar, termasuk para pengembang, investor serta kumpulan pemilik
modal. Mereka leluasa membeli lahan dalam skala ribuan hektare untuk diolah dan dijual kembali dengan
keuntungan dua-tiga kali lipat. Tak heran hotel dan apartemen baru menjamur di mana-mana, entah yang
menginap siapa. Tujuan utamanya memang investasi. Sampai muncul gerakan sosial bernama “Jogja Ora
Didol”. Laiya ora didol, lha sudah laku kok.
Fakta ngenesnya adalah tak sedikit pihak asing di balik investor dan para penguasa tanah-tanah itu.
Alangkah lucunya sebuah negeri mengaku merdeka di kala rakyatnya mencari tanah dan rumah untuk
sekadar tinggal saja susah sekali. Suatu kala, mungkin kita akan berpikir, “Ini masih di Indonesia kan?”, “Ini
negeri sendiri kan?” di tiap jengkalnya. Serasa orang kalah main monopoli, tiap kocokan dadu harus sangat
untung-untungan agar tak menginjak aset kepunyaan asing, sehingga tak kena kewajiban bayar sewa terus-
menerus sampai gameover.
Mau makan
apa?
Ini lebih mencekam lagi. Sementara masih empot-empotan memenuhi kebutuhan papan, persoalan
pangan pun bikin waswas. Biang keroknya sama, yakni masalah ketiadaan tanah, dalam hal ini adalah lahan
untuk menanam yang diganyang pembangunan tak berkesadaran lingkungan.
Ketahanan pangan nasional tengah terancam. Di dalam konteks Pulau Jawa saja, Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2016 mencatat bahwa jumlah konflik agraria terus meningkat sampai
ratusan kasus. Mulai dari perjuangan warga Kendeng menolak pembangunan dua pabrik semen level
internasional, yakni Indocement dan Semen Indonesia. Kasus limbah beracun di Lidarkowo, Jawa Timur pun
belum kelar, sementara warga Pesanggaran di Banyuwangi masih jatuh bangun melindungi gunung
Tumpang Pitu dari tambang emas sampai dituduh komunis segala.
Yang paling heboh belakangan adalah proyek bandara baru di Kulon Progo, New Yogyakarta
International Airport (NYIA) yang sudah menggusur ratusan rumah dan sawah (yang terbukti suburnya ).
Bandara ini memang dibangun lantaran Bandara Adi Sutjipto dipandang sudah tak lagi cukup memenuhi
kebutuhan penerbangan di Jogja. Naik pesawat memang penting, tapi--sejak kuota internet tidak bisa
dimakan—lebih penting mana dengan menjaga ketahanan pangan? Mudah-mudahan kamu sedang lapar
saat membaca artikel ini.
Salah besar jika mengira segala bentuk pembangunan Indonesia adalah seutuhnya kepentingan
masyarakat. Ini adalah kolaborasi berbagai kepentingan elit (pejabat politik, korporat, asing, dll.) yang
dibungkus dengan tuntutan kepada rakyat untuk mendukung tiap-tiap program pemerintah atas nama
“warga negara yang baik”, termasuk jika harus mengorbankan segala sesuatunya.
Pertanyaannya, apakah kita masih patut memakai diksi “tanah air” jika “tanah” dan “air” tak benar-
benar dimiliki oleh rakyat Indonesia sendiri? Kita perlu lebih peduli dan posesif terhadap tanah dan sumber
daya alam negeri, terutama tatkala menemui kebijakan atau kasus-kasus konflik terkaitnya, setidaknya agar
“merdeka” bagi Indonesia tak sekadar status administrasi.
Memilih Pemimpin
di Indonesia
Tak Lebih Mudah
dari Judi Bola
Babak genting pemilu 2019 sudah dimulai dengan adu kebijakan yang pasti dan layak kita jadikan panduan
pamer cawapres, dan--meminjam istilah acara pertimbangan menentukan pilihan dukungan. Asumsi
televisi,--ratingnya tinggi. Seperti ada Christopher ini didukung oleh temuan Lembaga Survei Indonesia
Nolan di balik ini semua, banyak plot twist. Tapi karena yang bekerja sama dengan Australian National
saya tak ada minat direkrut menjadi komentator University. Semua partai mengaku berpijak pada
politik oleh tiviwan, kita bahas yang adem-adem saja. pancasila, mendukung emansipasi, menyukai
kebaruan dibanding tradisi, dan menolak ideologi kiri
Kurang dari sepekan lagi, kita akan merayakan (kendati sejumlah indikator lain sebenarnya
peringatan 73 tahun Indonesia merdeka, tapi mengarahkan mereka ke sana, ealah). Semua juga
perkembangan pemilu 2019 mengingatkan bahwa mengklaim diri mendukung Reformasi dibanding
kita belum benar-benar beranjak. Masih hampir sama Orde Baru, meski itu Golkar, Gerindra dan Hanura
seperti zaman kolonial, hari ini pun kita tak benar- y a n g p u n y a s e j a r a h s e b a g a i "d a l a n g " d i
benar punya kuasa untuk menentukan pemimpin kita kepemimpinan Orde Baru.
sendiri. Merdeka seharusnya tidak seperti ini.
Satu-satunya jurang yang cukup memisahkan adalah
Nyoblos di pemilu adalah bentuk partisipasi politik perihal sebesar apa partai mendudukkan peran Islam
paling kentara yang bisa kita lakukan. Tapi tidak benar- dalam politik, PDI dan Nasdem di satu kutub jauh
benar mudah, agaknya cuma untung-untungan. berseberangan dengan kutub lainnya yang berisi PPP,
Semacam cap cip cup atau hitung kancing dalam ilusi PKS, dan PAN. Namun, ini tak berarti implementasi
demokrasi. Demokrasi yang semestinya tidak terhadap program dan kebijakannya berbeda. Besar
sesederhana terwujud dengan bisa "memilih tanpa kemungkinan omong doang.
paksaan", melainkan juga diberikan kondisi yang ideal
untuk menentukan pilihan. Misalnya, kita harus
mengantongi informasi yang cukup akan program- Tidak kaget, karena ideologinya
program dan arah ideologi yang ditawarkan oleh tiap- memang cuma menang dan bagi-bagi kursi
tiap calon.
Hipwee
Podcast
hanya di Spotify
“
True independence and freedom
can only exist in doing what's right
Albert Camus
”
e-book series