You are on page 1of 6

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Istarahat-Tidur pada Lansia

Fitri Maharani S / 1406544412

Istirahat-tidur merupakan salah satu aktivitas penting pada manusia, karena


banyak terjadi aktivitas di dalam tubuh manusia ketika istirahat-tidur. Beberapa
diantaranya yaitu pengembalian fungsi fisiologis dan psikologis manusia,
meningkatnya produksi hormon pertumbuhan, penurunan fungsi metabolisme, serta
peningkatan perbaikan jaringan tubuh dan sintesis proten (Miller, 2012). Namun
sekitar 57% lansia menyatakan mengalami masalah pada tidur mereka (Wallace,
2008). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi istirhat dan tidur pada lansia.
Pada LTM ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
perubahan siklus tidur pada lansia.
Menurut Wallace (2008), perubahan pola tidur pada lansia dipengarungi oleh
perubahan normal pada tubuh dan kondisi patologis. Sistem saraf dapat
mempengaruhi tidur. Perubahan ini mungkin terjadi pada bahan kimia, struktural, dan
tingkat fungsional dan dapat mengakibatkan disorganisasi sebuah tidur dan gangguan
ritme sirkadian (McCane & Huether, 2012 dalam Tabloski, 2014). Neurotransmitter
pada tidur berkontribusi pada batang otak, basal forebrain, dan daerah subcortical dan
cortical. Neyritransmitter seperti serotonin dan norephineprhine menjaga sebagian
bagian otak waspada saat tidur. Input sensori seperti suara bising dan cahaya dapat
menstimulasi reticula activating system dan menyebabkan lansia terbangun.
Perubahan normal pada tubuh lansia terkait siklus tidur dapat dipengaruhi oleh
perubahan pada sistem saraf seperti penurunan cerebral metabolic rate dan aliran
darah ke otak, penurunan jumlah sel neuron, serta perubahan pada struktur seperti
degenerasi neuron dan atrofi yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan waktu di
fase tidur dalam sehingga meningkatkan frekuensi lansia terbangun di malam hari
(Tabloski, 2014; Wallace, 2008). Terdapat hubungan peningkatkan frekuensi
terbangun selama tidur dan peningkatan total waktu yang dihabiskan untuk mencoba
tidur sehingga tidur menjadi kurang efisien. Sedangkan Miller (2012) menyatakan
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perubahan siklus tidur pada lansia yaitu
faktor psikososial, lingkungan, kondisi patologis, dan efek zat bioaktif.
Faktor psikososial berpengaruh cukup kuat pada lansia karena berhubungan
dengan kepercayaan dan perilaku terhadap tidurnya. Kepercayaan lansia yang keliru
akan tidur, pemahaman yang salah akan jumlah waktu tidur dan terbangun pada
malam hari sebagai gejala insomnia, memengaruhi perilaku lansia dengan mencari
pengobatan yang tidak diperlukan (Miller, 2012). Lansia mengalami kecemasan yang
berlebihan sehingga perilaku tersebut kerap terjadi.

Faktor psikososial yang sering mengganggu kuantitas dan kualitas tidur pada
lansia yaitu ansietas, demensia, dan depresi (Miller, 2012). Ansietas dan demensia
menyebabkan lansia sulit untuk tidur, penurunan waktu di fase tidur dalam dan fase
REM, sering terbangun di malam hari dan susah tertidur kembali, penurunan waktu
tidur, serta sering tidur di siang hari (Miller, 2012). Studi menunjukan bahwa 50-75%
lansia yang mengalami Alzheimer atau demensia tipe lain mengalami gangguan pada
tidurnya (Rose et al, 2010). Beberapa hal yang dapat menyebabkan gangguan tidur
pada lansia yang mengalami demensia yaitu degradasi jalur saraf yang berfungsi
memulai dan mempertahankan tidur, perubahan pada hypothalamic suprachiasmatic
nucleus yang berperan sebagai circadian peacemaker, serta modifikasi atau
perubahan pada area batang otak atau jalur yang mengatur siklus bangun-tidur (Rose
et al, 2010). Namun, berketerbalikan dengan ansietas dan demensia, lansia yang
mengalami depresi justru memiliki waktu tidur yang lebih lama, sering terbangun di
malam hari, serta merasa kurang istirahat ketika pagi hari (Miller, 2012).
Lansia dengan sedikit atau tidak memiliki kegiatan yang menarik, tuntutan
pekerjaan, dan tanggung jawab sosial, atau rangsangan lingkungan mungkin merasa
sulit untuk membangun pola tidur yang sehat. Lansia dengan demensia atau depresi
yang hidup sendiri sangat rentan terhadap terganggunya pola tidur karena mereka
cenderung untuk tinggal di tempat tidur seharian, kurang motivasi, sulit
berkonsentrasi. Akhirnya dalam banyak setting, jikka lansia menghabiskan waktu
diruangan yang sama, kurangnya diferensiasi anatara ruang untuk kegiatan bangun
dan tidur dapat menganggu pola tidur.
Selain itu, status hubungan merupakan salah satu faktor pskososial yang
memengaruhi pola tidur lansia. Lansia yang memiliki pasangan memiliki waktu tidur
yang lebih lama dan kualitas tidur yang lebih baik. Hal tersebut berdasarkan pada
studi yang menyatakan bahwa lansia yang menikah dan masih memiliki pasangan
menunjukkan kesejahteraan psikososial yang lebih tinggi dibandingkan lansia yang
tidak menikah dan tidak memiliki pasangan (Chen, Waite & Lauderdale, 2015).
Namun, kualitas hubungan dalam pernikahan juga menentukan kualitas tidur lansia.
Pada lansia yang menikah dengan kualitas hubungan yang negatif dengan
pasangannya memiliki keluhan dalam kesulitan tidur sehingga menurunkan kualitas
tidurnya (Chen, Waite & Lauderdale, 2015).
Selanjutnya, faktor lingkungan merupakan salah satu faktor risiko yang
mempengaruhi pola tidur lansia. Contohnya pada lansia yang hidup dengan orang lain
terdapat tuntutan harus berbagi tempat tidur dengan orang lain. Hal tersebut terjadi
ketika lansia dipindahkan ke institusi baik rumah sakit maupun rumah perawatan.
Institusi memiliki stresor yang membuat lansia sulit untuk tidur. Biasanya pada
malam pertama, lansia akan sulit tidur dilingkungan yang baru. Pada seting institusi,
suasana yang kurang tenang, privasi kurang, konflik pada beberapa orang, dan tidur
dekat dengan orang lain merupakan faktor yang menyebabkan perubahan pola tidur
pada lansia.
Selain lingkungan yang baru, faktor lingkungan yang turut memengaruhi pola
tidur lansia adalah suhu, bunyi, dan cahaya. Pertama, suhu lingkungan yang terlalu
rendah atau tinggi dapat mempengaruhi kenyamanan lansia saat tidur. Pada wanita
menopause, lingkungan yang panas dapat meningkatkan kejadian berkedip di malam
hari sehingga mengganggu tidurnya (Miller, 2012). Kedua, lansia usia diatas 40 tahun
memiliki pendengaran yang lebih sensitif sehingga seringkali terbangun walaupun
dengan bunyi berintensitas rendah (Miller, 2012). Disisi lain, bunyi melalui musik
dapat memberikan dampak positif terhadap tidur lansia. Sebuah studi menyatakan
bahwa mendengarkan musik yang ringan, rendah, dan tanpa lirik merupakan
intervensi yang efektif pada lansia utuk meningkatkan kualitas tidurnya (Shum,
Taylor, Thayala & Chan, 2014). Hal tersebut disebabkan musik yang ringan, rendah,
dan instrumental dapat memberikan efek terapeutik dengan menurunkan ansietas dan
meningkatkan relaksasi. Ketiga, pencahayaan yang kuat dapat memengaruhi irama
sirkadian dan pola tidur lansia (Miller, 2012). Pada malam hari terutama ketika tidur,
paparan cahaya seperti menggunakan lampu dapat mengganggu tidur, namun ketika
tubuh tidak terpapar oleh cahaya ketika siang hari juga dapat menyebabkan gangguan
pada tidur karena berhubungan dengan kebutuhan tubuh akan cahaya untuk
memproduksi melatonin sebagai hormon yang mengatur beberapa fungsi fisiologis
tubuh termasuk tidur, suhu tubuh, dan ritme sirkadian (Miller, 2012). Dengan
demikian, tidur yang adekuat wajib untuk dipenuhi khususnya bagi lansia dengan
proses penuaan
Faktor patofisiologi seperti proses patologis, sakit fisik atau ketidaknyamanan seperti kram
dibetis atau kaki otot, gangguan neuromuskuler dan sebagainya merupakan faktor fisiologis yang
dapat mengganggu pola tidur terutama tahap tidur REM. Penelitian telah menemukan korelasi antara
gangguan tidur dan kondisi patofisiologis, yaitu keganasan, nyeri kronis, diabetes mellitus, penyakit
Parkinson, penyakit ginjal kronis, dan PPOK (Garcia, 2008 dalam Miller, 2012). Dua gangguan
neuromuskuler yaitu Restless Leg Syndrome (RLS) dan gerakan tungkai periodik dalam tidur (PLMS)
telah menjadi topik yang menarik terkait gangguan tidur sejak pertengahan 1970-an.

Restless Leg Syndrome (RLS) atau sindrom kaki gelisah adalah kelainan umum yang
memengaruhi sistem saraf tubuh yang mana terjadi dorongan atau gerakan kaki hampir tidak dapat
ditahan oleh tubuh, gejala RLS biasanya terjadi pada ritme sirkadian (berulang sekitar 24 jam) dengan
tingkat keparahan yang memuncak pada pukul 23.00-03.00. RLS dapat mengganggu tidur lansia baik
ketika saat memulai tidur atau mempertahankan tidur (Ferri et al, 2008;. Spiegelhalder & Hornyak,
2008 dalam Miller, 2012). Pada orang demensia, RLS mungkin menjadi penyebab motor gelisah dan
berkeliaran (Martin & Ancoli-Israel, 2008). Studi prevalensi RLS di kelompok usia menemukan
kisaran 9% sampai 35% untuk lansia (Wolkove,Elkholy, Baltzan, & Palayew, 2007). RLS juga bisa
disebabkan atau diperparah oleh zat bioaktif,termasuk kafein, sakarin, dan psikoaktif obat
(Spiegelhalder & Hornyak, 2008). Berikut tabel daftar proses patofisiologi yang terjadi pada lansia
dan pengaruhnya terhadap tidur (Miller, 2012).

PLMS juga dikenal sebagai nocturnal myoclonus adalah terjadinya kontraksi singkat otot,

berjarak pada interval sekitar 20 sampai 40 detik, yang menyebabkan kaki tersentak. PLMS bisa
terjadi lebih dari 200 kali setiap malam. Studi menunjukkan bahwa terjadinya PLMS meningkat
seiring dengan usia, dengan tingkat prevalensi 45% di antara lansia (Wolkove et al., 2007). PLMS
bisa terjadi terhadap seorang dengan keluhan insomnia, sering arousals, dan peningkatan kantuk di
siang hari. Selain peningkatan usia, risiko faktor PLMS termasuk kafein, alkohol, dan obat-obatan
tertentu (misalnya, benzodiazepin dan antidepresan).

Sedangkan faktor yang terakhir yaitu efek dari konsumsi atau penggunaan zat bioaktif
seperi efek medikasi dan zat kimia, konsumsi kafein, alkohol, dan nikotin (Miller, 2012).
Konsumsi alkohol memiliki efek menenangkan di awal namun mencegah terjadinya fase
tidur dalam, menekan fase REM, dan meningkatkan kemungkinan bangun di paruh kedua
malam, konsumsi kafein dapat menyebabkan terjaga saat malam hari, dan konsumsi nikotin
terutama dengan dosis tinggi dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada sistem respirasi
sehingga dapat mengganggu tidur lansia (Tabloski, 2014; Miller, 2012). Selain itu efek
samping dari obat yang dikonsumsi oleh lansia juga dapat mempengaruhi pola tidur lansia
seperti konsumsi diuretik menyebabkan sering terbangun di malam hari untuk ke kamar
mandi, serta antihipertensi, bronkodilator, kortikosteroid, antihistamin yang dapat
menyebabkan insomnia, mimpi buruk, kelelahan di siang hari, kesulitan memulai tidur, dan
sering terbangun di malam hari (Tabloski, 2014; Rose et al, 2010).

Daftar Pustaka

Chen, J., Waite, L., & Lauderdale, D. (2015). Marriage, Relationship Quality, and Sleep
among U.S. Older Adults. Journal Of Health And Social Behavior, 56(3), 356-377.
- Miller, C.A. (2012). Nursing for Wellness in Older Adults 6th Ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
- Wallace, M. (2008). Essentials of Gerontological Nursing. New York: Springer.
- Watson, P.L; Ceriana, P; & Fanfulla, F. (2013). Delirium: Is Sleep Important?. Best Pract
Res Clin Anaesthesiol. Vol 26(3), hal 355-366.
- Rose, K.M; Fagin, C.M; & Lorenz, R. (2010). Sleep Disturbance in Dementia: What they
are and what to do. J Gerontol Nurs. Vol 36(9), hal 9-14.
Tabloski, P.A. (2014). Gerontological Nursing. New Jersey: Pearson Education

Wolkove, N., Elkholy, O., Baltzan, M., Palayew, M. (2007) Sleep and aging: 1.Sleep disoeder
commonly found in older people. Canadian Medical Association Journal,17, pp.1299-1304.
[AVAILABLE) http://www.cmaj.ca/content/176/9/1299

You might also like