Professional Documents
Culture Documents
Tidur dan istirahat merupakan salah satu bagian terpenting dalam sistem fisiologis
tubuh manusia. Miller (2012) pun menyatakan bahwa sepertiga dari kehidupan manusia
digunakan untuk aktivitas tidur dan istirahat. Tidur dan istirahat menjadi kebutuhan penting
bagi individu di segala tahap perkembangan, termasuk lansia. Akan tetapi, perubahan fisiologis
akibat penuaan pada lansia dapat memengaruhi tidur. Lembar tugas ini akan membahas
mengenai gangguan tidur pada lansia
Secara umum, gangguan tidur yang dialami lansia akibat penuaan adalah
ketidakcukupan dan ketidakefektian tidur sehingga menhasilkan tidur yang tidak berkualitas
(Miller, 2012). Selanjutnya, Miller (2012) juga menjelaskan bahwa keluhan umum lansia yang
berkaitan dengan tidur diantarnaya adalah sulit tidur, mengantuk di siang hari, dan gangguan
saat tidur di malam hari atau perilaku abnormal saat tidur. Gangguan pola tidur yang umum
dialami lansia seringkali berkaitan dengan status kesehatannya, misalnya dipengaruhi oleh
nyeri akibat penyakit kronis dan lainnya. Gejala gangguan tidur ditandai dengan sulit tidur,
sulit membedakan siang dan malam, bangun terlalu pagi, dan terbangun sepanjang malam
(Martin, 2017).
Masalah tidur utama yang dikeluhkan lansia adalah insomnia. Insomnia adalah keluhan
ketiga pada lansia setelah sakit kepala dan demam (Xiong, 2016). Gangguan tidur hampir
dialami oleh 80% komunitas lansia di perkotaan, 20 hingga 50 % diantaranya adalah insomnia
yang kejadiannya semakin meningkat dengan pertambahan usia, serta lebih rentan pada wanita
dibandingkan laki-laki. Insomnia atau sulit tidur adalah gangguan dalam memulai dan menjaga
tidur, dimana sangat umum di alami oleh lansia. Tidur yang buruk dapat berpengaruh pada
banyak hal diantaranya : kelemahan, kelemahan fungsi kognitif, menurunnya kualitas hidup,
meningkatnya depresi dan ansietas, kesulitan dalam menjaga keseimbangan dan mobilitas,
meningkatnya risiko jatuh (Miller, 2012).
Selain insomnia, lansia juga bisa mengalami kelebihan tidur, atau dikenal sebagai
Excessive daytime sleepiness (mengantuk di siang hari). Miller (2012) menjelaskan bahwa
excessive daytime sleepiness merupakan ketidakmampuan mempertahankan kesadaran yang
ditandai dengan hipersomnolen (tertidur sewaktu-waktu dalam 24 jam). hal ini berbeda dengan
kelelahan yang ditandai dengan kesulitan menjaga fungsi tubuh bekerja secara maksimal.
Lansia yang mengalami gejala ini dapat terganggu dalam hal kualias hidupnya, baik dari segi
fisik, psikologis, maupun kognitifnya (Xiong, 2016). Secara umum, gejala ini dapat
menghambat produktivitas lansia yang seharusnya dapat bekerja secara maksimal pada siang
hari.
Selain kedua gejala di atas, seperti yang dijelaskan oleh Miller (2012), lansia juga mengalami
gangguan saat tidur di malam hari yang memengaruhi pola tidurnya. Gejala ini jelas dapat
memengaruhi kualitas tidur lansia. Gejala umumnya adalah lansia sering terbangun pada
malam hari, bisa berkaitan dengan banyak kondisi. Xiong (2016) menjelaskan, salah satu
penyebab dari gejala ini ialah nyeri kronik penyakit seperti nyeri akibat osteoarthritis. Gejala
ini perlu diperhatikan, dan perlu dikaji lebih lanjut pada lansia yang memiliki riwayat penyakit
kronis karena lansia dengan penyakit kronik membutuhkan tidur dengan kualitas baik.
Ada beberapa gangguan tidur lain yang dialami lansia berkaitan dengan kondisi yang
bersifat patologis, yakni obstructive sleep apnea (OSA) dan periodic limb movement in sleep
(PLMS). OSA dijelaskan oleh Xiong (2016) sebagai kondisi kurang bernapas saat tidur yang
bisa jadi bersifat obstruktif (okslusi jalan napas atas), sentral (penyakit neurologis primer), atau
gabungan dari keduanya. Selanjutnya Xiong (2016) menjelaskan bahwa lansia dengan OSA
bisanya mengalami terbangun dengan keadaan terengah-engah dan sulit mengenali malam,
serta terkaget kaget selama tidur. Martin et al dalam Xiong (2016) menjelaskan bahwa
prevalensi OSA (mengalami apnea lebih dari lima kali per jam) dalam setting komunitas lansia
adalah 28% pada laki-laki dan 20% pada wanita, serta pada pasien lansia, prevalensinya lebih
tinggi yakni 33%. Lansia dengan OSA sebaiknya dihindarkan dengan pengobatan sedarif dan
hipnotik karena dapat memperparah sleep apnea (Xiong, 2016).
PLMS, atau dikenal sebagai nocturnal myoclonus ialah sentakkan yang membangunkan
seseorang dari tidur, bersifat repetetif, baik unilateral maupun bilateral (Xiong, 2016). Dalam
peneltiian yang dilakukan secara acak dari 427 lansia, 45% diantaranya mengalami PLMS
berhubungan dengan ketidakpuasan akibat tidur, tidur sendirian, dan menendang saat malam
hari. Kejadian PLMS meningkat seiring dengan pertambahan usia (Xiong, 2016).
Gangguan tidur pada lansia merupakan salah satu hal penting yang perlu dikaji oleh
perawat. Kebutuhan tidur lansia juga perlu diperhatikan agar manfaat tidur yang sebenarnya
dapat didapatkan oleh lansia. Perawat perlu memerhatikan segala hal ini karena tidur
merupakan salah satu kebtuhan dasar dan dapat mengembalikan fungsi tubuh secara optimal.
Daftar Pustaka
Arenson, et. al. (2009). Reichel’s Care of the Elderly : clinical aspects of aging sixth
edition. Cambridge : Cambridge Press