You are on page 1of 19

Seorang laki-laki berusia 40 tahun

menderita Leptospirosis

Oleh:
Agnes
10.2013.068
Kelompok: F7

Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Terusan Arjuna No. 6 – Jakarta Barat


e-mail: agnes.2013fk068@civitas.ukrida.ac.id
Pendahuluan

Leptospirosis merupakan penyakit hewan yang disebabkan oleh beberapa bakteri dari
bakteri patogen berbentuk spiral genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo
spirochaetales. Bakteri ini dengan flagellanya dapat menembus kulit atau mukosa manusia
normal. Penyakit leptospira tersebar terutama di daerah tropis dan subtropis.
Gejala klinis leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa,
meningitis, hepatitis, demam dengue, demam berdarah dengue dan demam virus lainnya,
sehingga seringkali tidak terdiagnosis. Keluhan-keluhan khas yang dapat ditemukan, yaitu:
demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun
dan merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan
paha.
Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim
tropis dan subtropis, dengan curah hujan tinggi (kelembaban), khususnya di negara
berkembang, dimana kesehatan lingkungannya kurang diperhatikan terutama. pembuangan
sampah. International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara insiden
leptospirosis tinggi dan peringkat tiga di dunia untuk mortalitas. Pada kasus skenario 4, seorang
laki-laki berusia 40 tahun datang dengan keluhan demam mendadak dan disertai nyeri pada
kedua betis serta nyeri tekan perut kanan atas. Dari skenario tersebut saya mendiagnosis pasien
tersebut menderita penyakit leptospirosis yang akan saya bahas di makalah ini.

Skenario 4
Seorang laki-laki berusia 40 tahun datang dengan keluhan demam tinggi sejak 4 hari
yang lalu. Demam dirasakan sepanjang hari dan sampai menggigil. Keluhan disertai nyeri pada
kedua betis dan nyeri perut kanan atas.

Pembahasan

Anamnesis
 Identitas
 Umur : 40 tahun
 Jenis kelamin : laki laki
 Keluhan Utama : Panas tinggi mengigil sejak 4 hari yang lalu

2
 Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang :Panas sepanjang hari disertai mengigil,
nyeri pada kedua betis dan nyeri pada bagian perut kanan atas

Pemeriksaan fisik
Kesadaran
Tekanan Darah :-
Nadi :-
Suhu :-
RR :-

 Inspeksi
■ Kesadaran
 Palpasi
■ Nyeri tekan epigastrium
 Pekusi (nyeri tekan +)
 Auskultasi Normal

Definisi
Leptospirosis adalah penyakit infeksi. Penyakit ini disebabkan oleh leptospira patogenik
dan memiliki manifestasi klinis yang luas, bervariasi mulai dari infeksi yang tidak jelas sampai
fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan, leptospirosis dapat muncul seperti influenza dengan
sakit kepala dan myalgia. Leptospirosis yang berat, ditandai oleh jaundice, disfungsi renal dan
diatesis hemoragik, dikenal dengan Weil’s syndrome.1

Epidemiologi
Leptospirosis adalah zoonosis penting dengan penyebaran luas yang mempengaruhi
sedikitnya 160 spesies mamalia. Tikus, adalah reservoir yang paling penting, walaupun
mamalia liar yang lain yang sama dengan hewan peliharaan dan domestic dapat juga
membawa mikroorganisme ini. Leptospira meningkatkan hubungan simbiosis dengan hostnya
dan dapat menetap pada tubulus renal selama beberapa tahun. 2
Transmisi leptospira dapat terjadi melalui kontak langsung dengan urin, darah, atau
jaringan dari hewan yang terinfeksi atau paparan pada lingkungan; transmisi antar manusia
jarang terjadi. Karena leptospira diekresikan melalui urin dan dapat bertahan dalam air selama

3
beberapa bulan, air adalah sarana penting dalam transmisinya. Epidemik leptospirosis dapat
terjadi melalui paparan air tergenang yang terkontaminasi. 2

Etiologi
Leptospira adalah spirochaeta yang berasal dari famili Leptospiraceae. Genus
Leptospira terdiri atas dua spesies: L.interrogans yang patogenik dan L.biflexa yang hidup
bebas. Organisme ini panjangnya 6 sampai 20 um dan lebarnya 0,1 um; kurang berwarna tetapi
dapat dilihat dengan mikroskop dengan pemeriksaan lapangan gelap dan setelah pewarnaan
silver. Leptospirosis membutuhkan media dan kondisi khusus untuk tumbuh; membutuhkan
waktu beberapa bulan agar kultur menjadi positif.3

.
Gambar 1. Leptospira.4

Patogenesis
Leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran
darah dan berkembang lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh melalui darah. Kemudian
terjadi respon imunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan
dan terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih dapat
bertahan pada beberapa daerah yang terisolasi secara imunologi seperti didalam ginjal, hingga
bakteri bisa hidup disana dan keluar melalui urin. Leptospira dapat dijumpai dalam urin sekirat
8 hari sampai seminggu setelah infeks idan sampai berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun
kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosit dan mekanisme humoral. Kuman
ini dengan cepat akan lenyap dari darah setelah terbentuknya aglutinin. Setelah fase
leptospiremia, 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan
okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu. Tiga mekanisme yang terlibat dalam patogenesis
leptospira adalah: invasi bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi.

4
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksik yang bertanggung
jawab atas terjadinya keadaan patalogis pada beberapa organ. Lesi yang muncul akibat
kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan antara derajat
gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologik
yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari
organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur. Lesi
inflamasi menunjukkan adanya edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit, dan sel plasma.
Selain diginjal, leptospira bisa bertahan di otak dan mata. Bakteri ini bisa masuk ke cairan
serebrospinal dan terjadi meningitis yang sering menjadi komplikasi.
Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai
dua fase penyakit yang khas, yaitu:
1. Fase Leptospiremia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira didalam darah dan cairan serebrospinal. Hal ini
akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologis terbanyak yang terjadi
sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenal leptospira adalah ginjal,
hati, otot dan pembuluh darah.

Gambar 2. Penyebab Leptospira pada Organ.4


Fase leptospiremia berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di
frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis, pinggang disertai nyeri tekan.
Mialgia dapat diikuti dengan hipertensi kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga
didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai diare, bahkan pada 25% kasus disertai
penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif. Dan ikterus
50%. Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffision dan fotofobia. Pada kulit
dapat dijumpai rash yang berbentuk makular, makulopapular, atau urtikaria. Kadang-kadang
dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika

5
cepat ditangani pasien akan membaik, suhu kembali normal, penyembuhan organ-organ yang
terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit lebih
berat, demam turun setelah 7hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi
demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.
2. Fase Imun (fase leptospirurik)
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang mencapai
suhu 400C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat reasa sakit yang menyeluruh
pada leher, perut, otot-otot kaki, terutama betis. Terdapat pendarahan berupa epistaksis, gejala
kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik.pendarahan paling jelas terlihat pada fase
ikterik, purpura, ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang
paling sering. Conjungtiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan
tanda patognomosis untuk leptospirosis.Terjadinya meningitis
merupakantandapadafaseini.Walaupunhanya 50% gejaladantanda meningitis,
tetapipleositosispada CCS dijumpaipada 50-90% pasien.Tanda-tanda meningeal
dapatmenetapbeberapaminggutetapibiasanyahilangsetelah 1-2 hari.Pada fase ini leptospira
dapatdi temukan pada urin.

Patologi
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul
terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan
antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histiologik. Pada leptospirosis
lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional
yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada
struktur organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit dan sel
plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan
disfungsi hepatoseluler dengan retensi bile. Selain di ginjal leptospira juga dapat bertahan pada
otak dan mata. Leptospira dapat masuk kedalam cairan serebrospinalis pada fase leptospiremia.
Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang
terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah
ginjal, hati, otot dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ : 5
Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat tubular

6
nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan
invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.
Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan
leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.
Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium dapat
fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma.
Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada
miokardium dan endokarditis.
Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa local nekrotis, vakuolisasi dan
kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung
leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan
bertahan beberapa bulan walaupun antibody yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan
menyebabkan uveitis.
Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan
menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan/pteki pada mukosa, permukaan serosa
dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit
Leptospira mudah masuk kedalam cairan cerebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan
terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak pada saat
memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis.
Terjadi penebalan meninges dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis
yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L. Canicola
Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya disertai
perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinua. Penyakit weil ini
biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab weil disease adalah
serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh serotype copanhageni dan bataviae.
Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatic, atau disfungsi vascular.

Gejala klinis
gejala klinis beragam, mulai dari gejala ringan seperti demam yang tak terlalu tinggi
sampai berat seperti sindrom Weil. Masa tunas berkisar antara 2 – 26 hari (kebanyakan 7 – 13
hari dengan rata – rata 10 hari). Pada leptospirosis akan ditemukan perjalanan klinis bifasik,

7
yaitu leptospiremia di mana leptospira ditemukan dalam darah, fase imun, dan fase
penyembuhan. Pada fase leptospiremia timbul gejala demam yang mendadak, disertai gejala
sakit kepala terutama di bagian frontal, oksipital dan bitemporal. Pada otot akan timbul keluhan
mialgia dan nyeri tekan terutama pada otot gastroknemius, paha dan pinggang yang diikuti
dengan hiperestesia kulit. Pada fase yang berlangsung selama 4 – 9 hari ini juga dapat ditemui
gejala menggigil dan demam tinggi, mual, muntah, diare, batuk, sakit dada, hemoptisis,
penurunan kesadaran, dan injeksi konjungtiva. 6 Injeksi faringeal, kulit dengan ruam berbentuk
makular / makulopapular / urtikaria yang tersebar pada badan, splenomegali, dan hepatomegali.
Fase berikutnya adalah fase imun yang berkaitan dengan munculnya antibodi IgM sementara
konsentrasi C3 tetap normal. Manifestasi klinis fase ini lebih bervariasi dibandingkan pada fase
leptospiremia. Setelah gejala asimtomatik selama 1 – 3 hari, gejala klinis pada fase
leptospiremia yang sudah menghilang akan muncul kembali, dan kadang disertai meningismus.
Pada fase ini, demam jarang melebihi 390 C dan berlangsung selama 1 – 3 hari. Gejala lain yang
muncul pada fase imun ini adalah iridosiklitis, neuritis optik, mielitis, ensefalitis serta neuropati
perifer. Pada fase 3, yaitu fase penyembuhan yang biasanya terjadi pada minggu ke – 2 sampai
minggu ke – 4 dan dapat ditemukan demam atau nyeri otot yang kemudian berangsur – angsur
hilang.
Pada leptospirosis terdapat gambaran klinis yang khas, seperti sindrom Weil, meningitis
aseptikm pretibial fever, dan miokarditis. Pada sindrom Weil yang disebabkan
L.icterohaemorrhagiae maupun serogrup lain yang terdapat pada 1 – 6 % kasus leptospirosis,
ditemukan ikterus yang terkadang disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran,
dan demam bisa terjadi pada hari ke – 7 tapi pada kekambuhan terdapat demam sampai
beberapa minggu. Hati membesar dan nyeri tekan dengan serum glutamik oksaloasetat
transaminase (SGOT) meninggi, namun tidak melebihi 5 x normal dan bilirubin meninggi
sampai 40 mg% karena hambatan pada ekskresi bilirubin.6
Manifestasi gangguan ginjal ditandai dengan adanya proteinuria dan azotemia dan bila
berat dapat terjadi nekrosis tubular akut dan oligouria. Peninggian blood urea nitrogen (BUN)
yang hebat dapat terjadi pada hari ke – 5 sampai ke – 7. Pada sindrom Weil bisa juga terjadi
perdarahan karena proses vaskulitis difus di kapiler disertau hipoprotrombinemia dan
trombositopenia, misalnya epistaksis, hemoptisis, hematemesis, melena, perdarahan adrenal,
serta penumonitis hemoragik di paru. Meningitis aseptik terjadi pada 5 – 13% pasien
leptosirosis. Pada fase imun dari penyakit yang tersering disebabkan karena L. canicola ini,
terjadi pleiositosis yang hebat dan cepat dengan jumlah leukosit dalam cairan serebrospinal 10

8
– 100 / mm3. Kadang sampai 1000 dengan sel terbanyak adalah sel leukosit neutrofil dan sel
mononuklear. Glukosa dalam cairan serebrospinal bisa normal atau menurun.
Peninggian protein yang bisa tercapai 100 mg% dapat dipakai untuk membedakan
meningitis aseptik yang disebabkan leptospira dengan virus L. automnalis, karena tersering
menyebabkan pretibial fever yang onsetnya tiba – tiba dengan gambaran khas adanya ruam
berdiameter 3 – 5 cm yang menonjol dan eritematosa dengan distribusi yang simetris di daerah
pretibial. Pada 95% pasien ditemukan splenomegali . L.pomona yang biasanya menyebabkan
ruam pada badan kadang menyebabkan pretibial fever. Miokarditis disertao aritmia jantung
berupa fibrilasi atrial, flutter atrial, takikardi ventrikel dan ventricular premature beat dapat
disebabkan infeksi L. pomona dan L. grippotyphosa.

Diagnosis
Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit, karena pasien biasanya datang
dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, syndrome syok toksik, demam
yang tidak diketahui asalnya dan diathesis hemoragik, bahkan beberapa kasus datang sebagai
pancreatitis. Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah
termasuk kelompok resiko tinggi. Gejala/keluhan didapati demam yang muncul mendadak,
sakit kepala terutama di bagian frontal, nyeri otot, mata merah/fotofobia, mual atau muntah.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardi, nyeri tekan otot, hepatomegali dan lain-
lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai lekositosis, normal atau sedikit
menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai
proteinuria, leukosituria dan torak (chest). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat
tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum, dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi
komplikasi pada ginjal. Trombositopeni terdapat pada 50% kasus. Diagnosis pasti dengan
isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi.
Kultur
Dengan mengambil specimen dari darah atau CSS selama 10 hari pertama perjalanan
penyakit. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil specimen pada fase
leptospiremia serta belum diberi antibiotic. Kultur urine diambil setelah 2-4 minggu onset
penyakit. Kadng-kadang kultur urin masih positif selama memerapa bulan atau tahun setelah
sakit. Untuk isolasi leptospira dari cairan atau jaringan tubuh, digunakan medium
Ellinghausen-McCullough-Johnson-Harris; atau medium Fletcher dan medium Korthof.
Spesimen dapat dikirim ke laboratorium untuk dikultur , karena leptospirosis dapat hidup

9
dalam heparin, EDTA atau sitrat sampai 11 hari. Pada specimen yang terkontaminasi, inokulasi
hewan dapat digunakan.

Serologi
Jenis uji serologi dapat dilihat pada table 3 pemeriksaan untuk mendeteksi adanya
leptospira dengan cepat adalah dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaktion (PCR), silver
stain, atau fluroscent antibody stain, dan mikroskop lapangan gelap.

Table 3. Jenis uji serologi pada Leptospirosis.6,7

Microscopic Agglutination Test (MAT) Macroscopic Slide AgglutinationTest (MSAT)

Uji carik celup : Enzyme linked immunosorbant assay


- Lepto Dipstick (ELISA)

- LeptoTek Lateral Flow Microcapsule agglutination test

Aglutinasi lateks kering Patoc-slide agglutination test (PSAT)


(LeptoTek Dry-Dot) Sensitized erythrocyte lysis test (SEL)
Indirect Fluorescent antibody test Counter immune electrophoresis (CIE)
(IFAT)
Indirect haemagglutination test (IHA)
Uji aglutinasi lateks
Complement fixation test
(CFT)

Diagnosis banding
Berikut ini merupakan diagnosis banding dari leptospirosis:

Demam Berdarah Dengue


Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue yang termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia, dan deatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau
penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue adalah demam berdarah
dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.8
10
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh
fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat.8
Pada tes laboratorium penderita DBD, akan ditemukan beberapa hal. Leukosit
pada penderita dapat normal ataupun menurun, mulai hari ketiga dapat ditemui
limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LBP)
>15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat. Trombosit pada
umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke-3 sampai 8. Terjadi kebocoran plasma
dibuktikan dengan peningkatan hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya
dimulai pada hari ke-3 demam. Pada albumin, dapat terjadi hipoproteinemia akibat
kebocoran plasma. Ureum dan kreatinin bisa juga terdeteksi bila terjadi kerusakan fungsi
ginjal.8
Hepatitis A
Hepatitis virus merupakan penyakit sistemik yang terutama mengenai hati. Salah
satu tipe hepatitis virus akut pada anak dan orang dewasa disebabkan oleh virus hepatitis
A (HAV) yang merupakan penyebab hepatitis virus tipe A (hepatitis infeksius).9
Masa inkubasi dari hepatitis A adalah 2-6 minggu. Semakin singkat masa inkubasi
mungkin disebabkan oleh banyaknya jumlah virus. Gejala-gejala di awal penyakit masih
belum jelas dan butuh penelitian lebih lanjut karena tidak setiap pasien mengalami
demam, hepatomegali, dan jaundice. Dalam fase prodromal, pasien mengalami flu ringan
gejala dari anoreksia, mual dan muntah, kelelahan, malaise, demam yang tidak tinggi
(biasanya <39.5oC), mialgia, dan sakit kepala ringan.10
Pada fase ikterus, yang pertama muncul adalah urin yang gelap (bilirubinuria).
Kotoran berwarna pucat juga akan muncul kemudian, biarpun tidak semua penderita
mengalaminya. Jaundice terjadi di kebanyakan orang dewasa yang hepatitis A akut.
Derajat ikterus juga bertambah seiring usia. Nyeri abdomen terjadi pada sekitar 40%
pasien. Athralgia dan ruam terjadi namun jarang bila dibandingkan dengan gejala-gejala
lain. Kambuhnya hepatitis A adalah gejala sisa yang tidak biasa dari infeksi akut, lebih
sering terjadi pada lansia.10
Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah.

11
Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan
splenomegali.8
Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa keluhan
kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi
dan tulang, demam ringan, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan, dan kadang-kadang
dingin.8
Gejala yang klasik yaitu terjadinya “Trias Malaria” secara berurutan. Periode
dingin (15-60 menit): mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut
dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk,
diikuti dengan meningkatnya temperatur. Selanjutnya periode panas: penderita muka
merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan berkeringat.
Dilanjutkan dengan periode berkeringat: penderita berkeringat banyak dan temperatur
turun, dan penderita merasa sehat.8

Demam Tifoid
Masa tunas demam tifoid berlansung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang
khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini
ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksi,mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak di perut, batuk, dan epiktasis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat deman adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore dan malam
hari.

Tifoid Hepatitis
Tifoid Hepatitis adalah Presentasi langka dari demam Tifoid. Secara klinis dicurigai terjadi
pada pasien yang mengalami Hepatomegali dan jaundice dan terutama pada kasus dimana
pada tes fungsi hati sebagian besar menunjukan conjugated hyperbilirubinemia dan pada tes
serulogi viral hepatitis menunjukan hasil negatif. Tifoid Hepatitis lebih banyak terjadi pada
umur kurang dari 35 tahun dan lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan dengan perbandingan 3:2. Diagnosis klinis awal Tifoid Hepatitis sebagian besar
tergantung pada tingginya indeks kecurigaan yang tinggi terhadap penyakit ini disuatu daerah.
Tapi pada kebanyakan kasus, untuk memastikan pasien terkena Tifoid Hepatitis masih
mengandalkan dari hasil uji laboratorium. Di negara seperti Pakistan,jaundice lebih sering

12
dijumpai, sehingga sangat penting untuk berhati-hati dalam membedakan antara Viral
Hepatitis , Malaria Hepatitis dan Tifoid Hepatitis. Pasien yang mengalami demam, jaundice dan
hepatomagli awalnya diduga disebabkan Viral Hepatitis. Akan tetapi bila demam dengan suhu
37°C sampai dengan 39°C dan terlihat jaundice tipe sedang pada 6 sampai 10 hari diduga
mengalami Tifoid Hepatitis. 11

Komplikasi

Gagal Ginjal Akut.12


Keterlibatan ginjal pada gagal ginjal akut sangat bervariasi dari insufisiensi ginjal ringan
sampai gagal ginjal akut (GGA) yang fatal. Gagal ginjal akut pada leptospirosis disebut
sindroma pseudohepatorenal. Selama periode demam ditemukan albuminuria, piuria,
hematuria, disusul dengan adanya azotemia, bilirubinuria, urobilinuria. Manifestasi klinik gagal
ginjal akut pada leptospirosis ada 2 tipe yaitu gagal ginjal akut ologuri dan gagal ginjal akut
non-oliguri dengan tipe katabolic, dimana produksi ureum lebih tinggi dari 60mg%/24jam.
Disebut gagal ginjal oliguri bila produksi urin <500ml/24jam, dan disebut anuri bila produksi
urin <100ml/24jam. Prognosis gagal ginjal akut non oliguri lebuh baik disbanding gagal ginjal
non-ologuri.
Terjadinya gagal ginjal aku pada leptospirosis melalui 3 mekanisme:
Invasi atau nefrotoksik langsung dari leptospira
Invasi leptospira menyebabkan kerusakan tubulus dan glomerulus sebagai efek langsung
dari migrasi leptospira yang menyebar hematogen ke kapiler peritubuler menuju jaringan
interstitium tubulus dan lumen tubulus. Kerusakan jaringan tidak jelas apakah hanya efek
migrasi atau efek endotoksin leptospira.

Reaksi immunologi

Reaksi immunologi berlangsung cepat, adanya kompleks immune dalam sirkulasi dan
endapan komplemen dan adanya electron dance bodies pada glomerulus membuktikan adanya
proses immune cmplexs glomerulonephritis, dan terjadi tubule interstitial nefritis (TIN).
1. Reaksi non spesifik terhadap infeksi seperti infeksi yang lain

Iskemia ginjal
 Hipovolemia dan hipotensi akibat adanya:
- Intake cairan yang kurang

13
- Meningkatnya evaporasi oleh karena demam
- Pelepasan kinin, histamine, serotonin, prostaglandin semua ini akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi kebocoran albumin dan cairan
ekstravaskuler.
- Pelepasan sitokin akibat kerusakan endotel yang menyebabkan permeabilitas sel dan
vaskuler meningkat.
- Hipovolemia dan hemokonsentrasi akan merangsang RAA dan menyebabkan
vasokonstriksi.
- Hiperfibrinogenemia akibat kerusakan endotel kapiler (DIC) menyebabkan
viskositas darah meningkat.

Iskemia ginjal, glomerulonefritis dan TIN, invasi kuman menyebabkan terjadinya


nekrosis (GGA) sehingga terjadi pelepasan mediator inflamasi (TNF-α, IL-1, PAF, PDGF-β,
TXA2, LTC4, TGF-β) dan terekspresinya leucocyte adhesion molecules yang akan meregulasi
fungsi leukosit sebagai respon adanya renal injury.
Bentuk gagal ginjal akut pada leptospirosis:
a. Gagal ginjal akut oliguria

Temasuk disini adalah produksi urine <600ml/24jam dan penderita sudah dalam keadaan
hidrasi yang baik, kadar kreatinin darah >2gr%. Terjadi kira-kira pada 54% penderita
leptospirosis, dan mempunyai mortalitas yang tinggi serta prognosis yang kurang baik. Faktor-
faktor yang meramalkan prognosis kurang baik adalah:
- Adanya oliguri atau anurinyang berlangsung lama
- BUN selalu meningkat >60mg%/24jam
- Ratio ureum urine : ureum darah, tidak meingkat

b. Gagal ginjal akut non-ologuri


Terdapat 50% darin leptospirosis, produksi urine >600ml/24jam, mortalitas lebih rendah
dibandingkan GGA oliguri. GGA oliguri mempunyai prognosis yang kurang baik, dengan
mortalitas 50-90%.

Histopatologi dengan pemeriksaan mikroskop electron:


1. pada GGA oliguri, Nampak adanya gambaran obstruksi tubulus, nekrosis tubulus dan
endapan komplemen pada membrane basalis glomerulus, dan infiltrasi sel radang pada
jaringan interstitialis.
2. Pada GGA non-oliguri, Nampak edema pada tubulus dan jaringan interstitium tanpa
adanya nekrosis. Duktus kolektiferus pars medularis resisten terhadap vasopressin,
sehingga tidak mampu memekatkan urin dan terjadi poliuria.
14
Perubahan abnormal elektrolit dan hormone pada GGA leptospirosis:
1. Hipokalemia, terjadi oleh karena peningkatan ”fractional urinary excretion” (Fe)
kalium yang diikuti FeNa. Hal ini oleh karena sekresi K + meningkat dan adanya
gangguan reabsorbsi Natrium oleh tubulus proximal. Fe K+ dan FeNa berkorelasi
dengan beratnya GGA.
2. Hormon kortisol dan aldosteron meningkat dan akan meningkatkan eksresi kalium
lewat urine. Sehingga makin menambah hipokalemia, sehingga perlu penambahan
kalium.
3. CD3, CD4 menurun, Limfosit B meningkat, bersifat reversible.

Perdarahan Paru.13

Kelainan paru berupa hemorrhagic pneumonitis, patogenesisnya tidak jelas diduga akibat
dari endotoksin langsung yang kemudian menyebabkan kersakan kapiler. Hemoptisis terjadi
pada awal septicemia. Perdarahan terjadi pada leura, alveoli, trakheobronkhial, kelainan
berupa: kongesti septum paru, perdarahan alveoli yang multifocal, infiltrasi sel mononuclear.
Manifestasi klinis: batuk, blood tinged sputum sampai terjadi hemoptisis masif sehingga
menyebabkan asfiksia.

Liver Failure.13

Terjadinya ikterik pada hari ke 4-6, dapat juga terjadi pada hari ke-2 atau ke-9. Pada hati
terjadi nekrosis sentrolobuler dengan proliferasi sel Kupfer. Terjadi ikterik pada leptospirosis
disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1. Kerusakan sel hati.
2. Gangguan fungsi ginjal, yang akan menurunkan sekresi bilirubin, sehingga
meningkatkan kadar bilirubin darah.
3. Terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler akan meningkatkan
kadar bilirubin.
4. Proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intrahepatik.

Kerusakan parenkim hati disebabkan antara lain: penurunan hepatic flow dan toksinyang
dilepas leptospira. Gambaran histopatologi tidak spesifik pada leptospirosis, karena disosiasi
sel hati, proliferasi histiositik dan perubahan peri porta terlihat juga pada penyakit infeksi yang
parah.

Perdarahan gastrointestinal

15
Perdarahan terjadi akibat adanya lesi endotel kapiler.

Shock.13

Infeksi akan menyebabkan terjadinya perubahan homeostasis tubuh yang mempunyai peran
pada timbulnya kerusakan jaringan, perubahan ini adalah hipovolemia, hiperviskositas
koagulasi. Hipovolemia terjadi akibat intake cairan yang kurang, meningkatnya permeabilitas
kapiler oleh efek dari bahan-bahan mediator yang dilepaskan sebagai respon adanya infeksi.
Koagulasi intravaskuler, sifatnya minor, terjadi peningkatan LPS yang akan mempengaruhi
keadaan pada mikrosirkulasi sehingga terjadi stasis kapiler dan anoxia jaringan.
Hiperviskositas, akibat dari peleasan bahan-bahan mediator terjadi permeabilitas kapiler
meningkat, keadaan ini menyebabkan hipoperfisi jaringan sehingga menyokong terjadinya
disfungsi organ. 1,13

Miokarditis

Komplikasi pada kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa gangguan sistem


konduksi, miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan arteritis koroner. Manifestasi klinis
miokarditis sangat bervariasi dari tanpa keluhan sampai bentuk yang berat berupa gagal jantung
kongesif yang fatal. Keadaan ini diduga sehubungan dengan kerentanan secara genetic yang
berbeda-beda pada setiap penderita. 11
Manifestasi klinik miokarditis jarang didapatkan pada saat puncak infeksi karena akan
tertutup oleh manifestasi penyakit infeksi sistemik dan batu jelas saat fase pemulihan. Sebagian
akan berlanjur menjadi bentuk kardiomiopati kongesif / dilated. Juga akan menjadi penyebab
aritmia, gangguan konduksi atau payah jantung yang secara structural dianggap normal. 11
Enchepalophaty

Didapatkan gejala meningitis atau meningoenchepalitis, nyeri kepala, pada cairan


cerebrospinalis (LCS) didapatkan pleositosis, santokrom, hitung sel leukosit 10-100/mm 3, sel
terbanyak sel leukosit neutrofil atau sel mononuclear, glukosa dapat normal atau rendah,
protein meningkat (dapat mencapai 100mg%). Kadang-kadang didapatkan tanda-tanda
menngismus tanpa ada kelainan LCS, sindroma Gullian Barre. Pada pemeriksaan patologi
didapatkan: infiltrasi leukosit pada selaput otak dan LCS yang pleositosis. Setiap serotip
leptospira yang patologis mungkin dapat menyebabkan meningitis aseptic, paling sering
Conikola, Icterohaemorrhagiae dan Pamoma.

16
Pengobatan

Tabel 2. Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis.14


Indikasi Regimen Dosis
Leptospirosis ringan Doksisilin 2 x 100 mg
Ampisilin 4 x 500-750 mg
Amoksisilin 4 x 500 mg
Leptospirosis sedang dan Penisilin G 1.5 juta unit / 6 jam (iv)
Ampisilin 1 gram / 6 jam (iv)
berat
Amoksisilin 1 gram / 6 jam (iv)
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/minggu

Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan
dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Gangguan
fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien.
Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer.6,7
Pemberian antibiotic harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari
setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotic pilihan dapat dilihat pada table 4. Untuk
kasus leptospirosis berat, pemberian intra vena penicillin G, amoxicillin, ampicillin atau
eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotika
oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau amoksisilin maupun sepalosporin.6,7
Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu
diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiremia). Pada
pemberian penisilin dapat muncul reaksi Jarisch – Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah
pemberian intra vena, yang menunjukkan adanaya aktifitas anti leptospira. Tindakan suportif
diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan
cairan, elektrolit dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara
umum. Kalau terjadi azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialysis. 6,7

Prognosis
Secara umum, apabila kasus ditangani dengan baik dan dengan pemberian perawatan
sesuai yang dianjurkan memiliki prognosis baik. Tergantung keadaan umum pasien, umur,
virulensi leptospira, dan ada tidaknya kekebalan yang didapat. Kematian juga biasanya terjadi
akibat sekunder dari faktor pemberat seperti gagal ginjal, atau perdarahan dan terlambatnya
pasien mendapat pengobatan. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5% pada umur
dibawah 30 tahun dan meningkat pada usia lanjut (30-40%).
17
Pencegahan
Pencegahan leptospirosis khususnya didaerah tropis sangat sulit. Banyaknya hospes
perantara dan jenis serotipe sulit untuk dihapuskan. Pencegahan pada manusia juga sulit karena
tidak memungkinkan menghilangkan reservoir infeksi yang besar pada hewan.5
Pencehagan leptospirosis dapatdilakukandengancara :
 Pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular penyakit
Leptospirosis
 Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki, tangan serta
bagiantubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah
 Pembersihan tempat-tempat air dan kolam-kolam renang sangat membantu
dalam usaha mencegah penyakit Leptospirosis
 Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko yang
tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan
 Vaksinasi terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak dengan vaskin
strain local
 Mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi masyarakat, rumah-rumah
penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-hewan tersebut
 Pengamatan terhadap hewan rodent yang ada disekitar penduduk, terutama di
desa dengan melakukan penangkapan tikus untuk diperiksa terhadap kuman
Leptospirosis
 Kewaspadaan terhadap Leptospirosis pada keadaan banjir
 Pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara lain

Kesimpulan
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan leptospira. Manusia
terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur), tanaman yang telah dikotori
oleh air seni hewan-hewan penderita Leptospirosis. Bakteri leptospira masuk kedalam tubuh
melaui selaput lender (mukosa) mata, hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui
saluran pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi
leptospira.Bila ditangani dengan cepat dan tepat, prognosis baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Brooks, Geo F: Mikrobiologi kedokteran ed 23, Jakarta, 2008, EGC.


2. Fauci, Anthony S: Harrison's principles of internal medicine ed 17, United States of
America, 2008, Mc Graw Hill.
18
3. Ganon WF: Buku ajar fisiology kedokteran ed 20, Jakarta, 2003, EGC.
4. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture notes kedokteran klinis. Edisi VI.
Jakarta:Erlangga;2007.h.177-91.
5. Price, Sylvia A: Patofisiologi, Jakarta, 2006, EGC.
6. Sherwood, Lauralee: Fisiologi manusia dari sel ke sistem ed 2, Jakarta, 2001, EGC.
7. Sudoyo, Aru W: Buku ajar ilmu penyakit dalam ed 4, Jakarta, 2006, Pusat Penerbitan
Departmen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
8. Sutanto, Inge: Parasitologi kedokteran ed 4, Jakarta, 2008, Balai Penerbit FKUI.
9. Willms JL, Schneiderman H, Algranati PS. Diagnosis fisik: evaluasi diagnosis dan
fungsi di bangsal. Jakarta: EGC; 2005.h. 30-1.
10. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, dan
adelberg. Edisi ke-23. Jakarta: EGC; 2008.h.346-8, 478-85.
11. Hepatitis A Clinical Presentation, diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/177484-clinical, 23 November 2014.
12. Abdul BaqiDurrani. Typhoid Hepatitis,diunduhdari :
http://www.jpma.org.pk/full_article_text.php?article_id=4689, 23 November 2014
13. Sion ML et al. Acute renal failure caused by leptospirosis and hantavirus infection in an
urban hospital. European Journal of Internal Medicine 13. 2002. 264-8
14. Leptospirosis, Diunduhdari : http://eprints.undip.ac.id/12852/1/2005PPDS4403.pdf, 23
November 2014

19

You might also like