You are on page 1of 36

ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)

A. Definisi
Defek Septum Atrium (ASD) adalah kelainan defek yang menjurus ke
arah beban volume pada jantung bagian kanan, dimana septum atrium yang
matang terjadi proses embriologi yang rumit dan struktur tidak sempurna.
Bentuk atrial septal defek yang paling umum adalah menetapnya ostium
sekundum pada pertengahan septum (80 % kasus); bentuk yang lain adalah
ostium primum (terletak di septum bagian bawah) persisten yang dapat
disertai dengan kelainan katup mitralis atau bikuspidalis. Bentuk ketiga
adalah defek sinus venosus di septum di bagian atas. Keadaan ini sering
terjadi anomali aliran darah sebagian dari vena pulmonalis ke dalam vena
kava superior. Pada ketiga bentuk kasus ini darah yang mengandung oksigen
mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan sehingga meningkatkan output dan
aliran darah pulmonal.

B. Etiologi
Penyebab terjadinya kelainan defek jantung (ASD) secara pasti belum
diketahui. Akan tetapi terdapat faktor predisposisi penyebab terjadinya
kelainan defek yaitu Faktor lingkungan seperti infeksi pada kehamilan (Ibu
yang menderita Rubella), ibu hamil dengan alkoholik, usia pada saat hamil
lebih dari 40 tahun, ibu yang menderita DM dan obat seperti thalidomide.

C. Patofisiologi

 Antara minggu keempat dan ketujuh dari kehidupan fetalis, dua lembar
lipatan jaringan terbentuk memisahkan ruang menjadi atrium kiri dan
kanan. Septum primum, mempunyai dua defek tetapi ini secara normal
akan tertutup sewaktu bagian kedua, di mana terdapat suatu celah
sehingga dapat terjadi regurgitasi darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri
dan kemudian sebagian darah ini masuk ke atrium kanan. Akibatnya
tidak terjadi pembesaran atrium kiri meskipun terdapat juga insufisiensi
mitral
 Pada ostium sekundum ditutupi oleh lipatan septum sekundum. Pada
kehidupan fetalis lipatan septum sekundum bertindak sebagai katup yang
menyebabkan darah langsung masuk ke atrium kanan dari vena sistemik
tanpa melalui paru, yang kemudian mengalir masuk ke dalam atrium kiri.
Sewaktu sirkular pulmonal telah terbentuk septum sekundum menutup
dan pada sebagian besar kasus kedua lapis lipatan menjadi satu. Sebagian
besar kanak-kanak dan beberapa orang dewasa, lubang dapat dilalui
diantara kedua lapisan yang disebut lubang paten foramen ovale

D. Pemeriksaan Diagnostik
 Ekokardiografi dapat menunjukkan beban volume ventrikel kanan yang
berlebihan dengan adanya ventrikel dan atrium kanan yang membesar, dan
kadang-kadang tampak defeknya itu sendiri.
 Echo transesofageal dapat meningkatkan sensitivitas akan adanya pirau
yang kecil dan foramen ovale paten.
 Aliran radionuklir menilai besarnya pirau dari kiri ke kanan.
 MRI untuk menjelaskan anatominya.
 Kateterisasi jantung, masih merupakan diagnostic pasti, karena dapat
menunjukkan dengan jelas adanya peningkatan saturasi oksigen antara
vena cava dan ventrikel kanan akibat bercampurnya darah mengandung
oksigen dari atrium kiri, menilai beratnya pirau dan mengukur tahanan
vascular darah pulmonary.
 Angiografi kontras ventrikel kanan dan ventrikel kiri dapat menunjukkan
kelainan katup terkait atau anomaly aliran vena pulmonalis.

E. Manifestasi Klinis
Adapun tanda dan Gejala dari ASD, antara lain:
1. Sebagian besar pasien dengan defek yang ringan atau sedang tidak
menunjukkan gejala.
2. Pada pirau yang besar, timbul dispnea pada saat aktifitas, gagal jantung
dan infeksi saluran nafas
3. Terdengan murmur ejeksi sistolik yang cukup keras di sela iga kedua dan
ketiga akibat peningkatan aliran arteri pulmonalis.
4. Pada pemeriksaan palpasi terdapat kelainan ventrikel kanan yang
hiperdinamik di parasternal kiri.
5. Pada auskultasi terjadi bunyi jantung dua tanpa bising

F. Prognosis
Tanpa operasi umur rata-rata penderita defek fosa ovalis dan defek sinus
venosus adalah 40 tahun. Untuk defek atrioventrikuler lebih muda lagi.
Angka mortalitas ini meningkat 5 – 10 % apabila tekanan sistolik arteri
pulmonalis ≥ 60 mmHg. DSA sangat membahayakan karena selama
puluhan tahun tidak menunjukkan keluhan dalam perjalanannya.
Timbuilnya fibrilasi atrium dan gagal jantung merupakan gejala yang
berat.

G. Penatalaksanaan Medik

1. Defek Septum Atrium

DSA kecil tidak perlu oprerasi karena tidak menyebabkan gangguan


hemodinamik atau bahaya endokarditis infektif. DSA besar perlu tindakan
bedah yang dianjurkan dilakukan dibawah umur 6 tahun (pra sekolah).
Walaupun setelah operasi kemungkinan ventrikel kanan masih
menunjukkan dilatasi. Hal ini karena komplien otot jantung sudah
berkurang. Pada penutupan spontan DSA sangat kecil kemungkinannya
sehingga operasi sangat berarti. Defek fosa ovalis atau defek
atrioventrikuler dengan komplikasi ditutup dengan bantuan mesin jantung
paru
Hypertension Heart Disease (HHD)

Hipertensi adalah keadaan tekanan darah yang sama atau melebihi 140
mmHg sistolik dan atau sama atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang
yang tidak sedang mengkonsumsi obat antihipertensi.

Sampai saat ini, prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%,


sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar
14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab
penyakit jantung di Indonesia.

Bila tidak diatasi, tekanan darah tinggi akan mengakibatkan jantung bekerja
keras hingga pada suatu saat akan terjadi kerusakan yang serius. Otot jantung akan
menebal (hipertrofi) dan mengakibatkan fungsinya sebagai pompa menjadi
terganggu, selanjutnya jantung akan berdilatasi dan kemampuan kontraksinya
berkurang, yang pada akhirnya akan terjadi gagal jantung. Gagal jantung adalah
keadaan ketidakmampuan jantung sebagai pompa darah untuk memenuhi secara
adekuat kebutuhan metabolisme tubuh.

Gagal jantung yang disebabkan oleh hipertensi dikenal pula sebagai


penyakit jantung hipertensi (Hypertension Heart Disease). Penyakit jantung
hipertensi ditandai dengan adanya hipertrofi ventrikel kiri jantung sebagai akibat
langsung dari peningkatan bertahap tahanan pembuluh perifer dan beban akhir
ventrikel kiri. Faktor yang mempengaruhi proses terjadinya hipertrofi ventrikel
kiri adalah derajat dan lamanya peningkatan tekanan diastolik. Pengaruh faktor
genetik pada proses ini lebih jelas. Fungsi pompa ventrikel kiri selama hipertensi
juga berhubungan erat dengan hipertrofi ventrikel kiri.

Pada akhir abad 20, penyakit jantung dan pembuluh darah menjadi penyebab
utama kematian di negara maju dan negara berkembang. Berdasarkan Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, kematian akibat penyakit jantung
dan pembuluh darah di Indonesia sebesar 26,3%. Sedangkan data kematian di
rumah sakit akibat penyakit jantung hipertensi pada tahun 2005 adalah sebesar
16,7%.

A. Definisi

Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh


tidak terkontrolnya tekanan darah tinggi dalam waktu yang lama, yang ditandai
adanya hipertrofi ventrikel kiri (HVK) sebagai akibat langsung dari tingginya
tekanan darah tersebut. Hipertrofi ventrikel kiri pada penyakit jantung hipertensi
juga dipengaruhi oleh faktor neurohormonal.

B. Epidemiologi

Jumlah penderita penyakit jantung hipertensi masih belum diketahui


secara pasti. Namun, berdasarkan hasil studi yang ada, kebanyakan kasus
hipertensi akan bermanifestasi sebagai penyakit jantung. Hasil studi tersebut di
antaranya menyebutkan angka kejadian hipertrofi ventrikel kiri menurut hasil
EKG adalah sebanyak 2.9% pada pasien pria dan 1.5% pada pasien wanita.
Sedangkan menurut hasil ekokardiogram, hipertrofi ventrikel kiri terjadi pada 15-
20% pasien hipertensi. Pada pasien tanpa HVK didapatkan 33% di antaranya
mengalami disfungsi diastolik ventrikel kiri yang asimtomatik. Secara umum,
risiko kejadian HVK mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat pada pasien
dengan obesitas. Sekitar 50-60% penderita hipertensi akan mengalami risiko
untuk gagal jantung dengan risiko kejadian yang meningkat dua kali lipat pada
pria dan tiga kali lipat pada wanita.

C. Etiologi

Sebab utama penyakit jantung hipertensi adalah tekanan darah yang


meningkat dan berlangsung kronik. Sedangkan penyebab hipertensi sendiri sangat
beragam, pada orang dewasa sebab-sebab tersebut antara lain:

 Hipertensi primer/esensial/idiopatik yang terjadi pada 90% kasus


hipertensi pada orang dewasa.
 Hipertensi sekunder sebesar 10% dari kejadian hipertensi pada orang
dewasa yang disebabkan oleh:
 Penyakit ginjal:
o Stenosis arteri renalis
o Polycystic kidney disease
o Chronic renal failure
o Vaskulitis intrarenal
 Kelainan endokrin:
o Hiperaldosteronisme primer
o Feokromositoma
o Chusing syndrome
o Hiperplasia adrenal kongenital
o Hipotiroidisme dan hipertiroidisme
o Akromegali
o Hormon eksogen (kortikosteroid, estrogen),
simpatomimetik, monoamin oksidase inhibitor, tyramin
dalam makanan
 Sebab lain:
o Koarktasi aorta
o Tekanan intrakranial yang meningkat
o Sleep apnea
o Hipertensi sistolik terisolasi

D. Faktor Risiko

Faktor-faktor risiko penyakit jantung hipertensi antara lain adalah:

1. Ras
Ras Afrika-Amerika lebih rentan terkena penyakit jantung hipertensi.
Hal ini bahkan menjadi etiologi umum untuk kasus gagal jantung di
Amerika Serikat.
2. Jenis kelamin
Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria yang berusia di bawah 55
tahun, namun pada wanita hipertensi lebih banyak ditemukan pada usia di
atas 55 tahun. Hal ini kemungkinan terjadi karena seiring bertambahnya
usia maka tekanan darah akan semakin meningkat terutama pada pria. Tapi
setelah menopause tiba wanita akan mengalami peningkatan tekanan darah
yang lebih tajam dan mencapai angka tertinggi yang lebih tinggi daripada
pria.

3. Usia

Seiring bertambahnya usia maka tekanan darah akan semakin


meningkat. Hal ini sebanding dengan terjadinya penyakit jantung
hipertensi yang lebih banyak dialami oleh para lanjut usia.

E. Patogenesis

Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi berjalan cukup


kompleks, karena berhubungan dengan berbagai faktor, seperti
hemodinamik, struktural, neuroendokrin, selular, dan molekuler. Di satu
sisi, faktor-faktor tersebut saling berintegrasi dan akhirnya menyebabkan
perkembangan dan komplikasi dari hipertensi, sementara di sisi lain
tingginya tekanan darah memodulasi faktor-faktor tersebut. Meningkatnya
tekanan darah menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung
melalui dua cara, yaitu secara langsung oleh peningkatan afterload atau
beban akhir jantung, dan secara tidak langsung oleh perubahan
neurohormonal dan vaskuler terkait.

Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan kompensasi jantung


menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral
yang ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi
konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan
relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri
(hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA
memacu mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolik
ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan
kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi sistolik).3

HVK terjadi pada 15-20% pasien hipertensi dan angka kejadiannya


meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas. HVK adalah peningkatan
masa otot ventrikel kiri yang disebabkan oleh respon miosit pada berbagai
stimulus yang menyertai pada peningkatan tekanan darah. Hipertrofi
miosit timbul sebagai kompensasi dari beban akhir (afterload) yang
meningkat. Stimulus mekanis dan neurohormonal yang menyertai
hipertensi dapat mengaktivasi pertumbuhan sel miokardial dan ekspresi
gen yang berakhir pada HVK. Selain itu aktivasi sistem renin-angitensin-
aldosteron melalui aksi angiotensin II pada reseptor angiotensin I
menimbulkan pertumbuhan interstitium dan komponen matriks sel. Intinya
terjadinya HVK disebabkan oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan
antara miosit dan interstitium struktur miokard.

Terdapat beberapa pola HVK, di antaranya remodeling konsentrik,


HVK konsentrik, dan HVK eksentrik. HVK konsentrik adalah penebalan
ventrikel kiri dan massa ventrikel kiri dengan peningkatan tekanan
diastolik dan volume ventrikel kiri yang umumnya terjadi pada pasien
hipertensi. Sedangkan HVK eksentrik adalah penebalan ventrikel kiri tapi
lokasinya tidak beraturan, hanya meliputi beberapa bagian saja. HVK
konsentrik menunjukkan prognosis yang buruk untuk hipertensi.
Terjadinya HVK ini memiliki peran protektif pada respon peningkatan
tekanan dinding untuk mempertahankan cardiac output yang adekuat, yang
kemudian akan berkembang menjadi disfungsi miokardial diastolik disusul
sistolik.

Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris, infark jantung, dan


lain-lain) dapat terjadi karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis
dengan peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat dari HVK. HVK,
iskemia miokard dan gangguan fungsi endotel merupakan faktor utama
kerusakan miosit pada hipertensi.

Evaluasi pasien hipertensi atau penyakit jantung hipertensi ditujukan


untuk:

 Meneliti kemungkinan hipertensi sekunder


 Menetapkan keadaan prapengobatan
 Menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengobatan atau
faktor yang akan berubah karena pengobatan
 Menetapkan kerusakan organ target
 Menetapkan faktor risiko PJK lainnya

F. Diagnosis

Diagnosis penyakit jantung hipertensi ditegakkan berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.

Pada anamnesis ditemukan :

 Rasa berdebar, melayang, impotensi sebagai akibat dari peninggian


tekanan darah.
 Rasa cepat capek, sesak napas, sakit dada, bengkak pada kedua kaki
atau perut.
 Terdapat gangguan vaskular seperti epistaksis, hematuria, pandangan
kabur karena perdarahan retina, transient cerebral ischemic.
 Terdapat penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder, misalnya:
polidipsi, poliuria, kelemahan otot pada aldosteronisme primer,
peningkatan BB dengan emosi labil pada sindroma cushing. Pada
feokromositoma didapatkan keluhan episode sakit kepala, palpitasi,
banyak keringat, dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:


 Batas-batas jantung melebar
 Impuls apeks prominen
 Bunyi jantung S2 meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta
 Kadang-kadang ditemukan murmur diastolik akbat regurgitasi aorta
 Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat
peninggian tekanan atrium kiri
 Bunyi S3 (gallop ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dilatasi
ventrikel kiri
 Suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau kering
 Pemeriksaan perut untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, limpa,
ginjal, dan ascites
 Auskultasi bising sekitar kiri kanan umbilicus (renal artery stenosis)

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan


diagnosis penyakit jantung hipertensi antara lain:

 Pemeriksaan laboratorium awal, yang mencakup:


o Urinalisis: protein, leukosit, eritrosit, silinder
o Hemoglobin/hematokrit
o Elektrolit darah/kalium
o Ureum/kreatinin
o Gula darah puasa
o Kolesterol total, trigliserida, HDL dan LDL kolesterol
o Kalsium dan fosfor
o TSH
 Analisis gas darah
 Elektrokardiografi untuk menemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri
jantung. Pemeriksaan dengan elektrokardiografi menunjukkan HVK
pada sekitar 20-50% kasus, dan metode pemeriksaan ini masih
menjadi metode standard.
 Foto thorax untuk menemukan adanya pembesaran jantung atau
tanda-tanda bendungan

Gambaran radiologis :

Tanda-tanda radiologis HHD pada foto thorax (PA) adalah


seperti berikut:

 Keadaan awal batas kiri bawah jantung menjadi bulat


karena hipertrofi konsentrik ventrikel kiri.
 Pada keadaan lanjut, apeks jantung membesar ke kiri dan
ke bawah.
 Aortic knob membesar dan menonjol disertai kalsifikasi.
 Aorta ascenden dan descenden melebar dan berkelok, ini
disebut pemanjangan/elongatio aorta.
 Gagal Jantung Kiri
 Pada foto thorax gagal jantung, terlihat perubahan corakan
vaskuler paru
 Distensi vena di lobus superior, bentuknya menyerupai
huruf Y, dengan cabang lurus mendatar ke lateral.
 Batas hilus pulmo terlihat kabur.
 Menunjukkan adanya edema pulmonum keadaan awal.
 Terdapat tanda-tanda edema pulmonum, meliputi edema
paru interstisiel

Edema interstisiel

Edema ini menimbulkan septal lines yang dikenal sebagai


Kerley’s lines,yang ada 4 jenis, yaitu:

 Kerley A: garis panjang di lobus superior paru, berasal dari


daerah hilus menuju ke atas dan perifer.
 Kerley B: garis-garis pendek dengan arah horizontal tegak
lurus pada dinding pleura dan letaknya di lobus inferior,
paling mudah terlihat karena letaknya tepat di atas sinus
costophrenicus. Garis ini adalah yang paling mudah
ditemukan pada keadaan gagal jantung.
 Kerley C: garis-garis pendek, bercabang, ada di lobus
inferior. Perlu pengalaman untuk melihatnya, karena
hampir sama dengan pembuluh darah.
 Kerley D: garis-garis pendek, horizontal, letaknya
retrosternal. Hanya tampak pada foto lateral.

Edema alveolar

 Terjadi pengurangan lusensi paru yang difus mulai dari


hilus sampai perifer bagian atas dan bawah. Gambaran ini
dinamakan butterfly appearance/butterfly pattern, atau bat’s
wing pattern.
 Batas kedua hilus menjadi kabur.

 Echocardiografi, dilakukan karena dapat menemukan HVK lebih dini


dan lebih spesifik (spesifisitas sekitar 95-100%).

Indikasi Echocardiografi pada pasien hipertensi adalah:

- Konfirmasi gangguan jantung atau murmur


- Hipertensi dengan kelainan katup
- Hipertensi pada anak atau remaja
- Hipertensi saat aktivitas, tetapi normal saat istirahat
- Hipertensi disertai sesak napas yang belum jelas sebabnya
(gangguan fungsi diastolik atau sistolik)
o Echocardiografi-Doppler dapat dipakai untuk menilai fungsi
diastolik (gangguan fungsi relaksasi ventrikel kiri, pseudonormal tipe
restriktif)

G. Penatalaksanaan

Tatalaksana medis untuk pasien dengan penyakit jantung hipertensi


dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:

1. Penatalaksanaan untuk tekanan darah yang meningkat


2. Pencegahan dan penatalaksanaan dari penyakit jantung hipertensi
Dalam menatalaksana peningkatan tekanan darah, target tekanan
darah harus <140/90 mmHg pada pasien tanpa diabetes atau gagal ginjal
kronik (chronic kidney disease) dan <130/90 mmHg pada pasien yang
memiliki penyakit tersebut.

Ada beragam strategi dalam tatalaksana penyakit jantung hipertensi,


misalnya modifikasi pola makan, aerobic exercise secara teratur,
penurunan berat badan, atau penggunaan obat untuk hipertensi, gagal
jantung sekunder disfungsi diastolik dan sistolik ventrikel kiri, coronary
artery disease, serta aritmia.

 Modifikasi pola makan


Penelitian membuktikan bahwa diet dan gaya hidup yang sehat
dengan atau tanpa kombinasi dengan penggunaan obat dapat menurunkan
tekanan darah dan mengurangi simptom dari gagal jantung dan
memperbaiki hipertrofi vetrikel kiri (HVK). Diet khusus yang dianjurkan
adalah diet sodium, tinggi potasium (pada pasien dengan fungsi ginjal
yang normal), makan buah-buahan segar dan sayur-sayuran, rendah
kolesterol dan rendah konsumsi alkohol.

Diet rendah sodium dengan atau tanpa kombinasi dengan


pengunaan obat-obatan mengurangi tekanan darah pada kebanyakan
African Americans. Restriksi sodium tidak menstimulasi kompensasi dari
renin-angiotensin system dan dapat memiliki efek antihipertensi.
Rekomendasi intake sodium per hari adalah 50-100 mmol, setara dengan
3-6 g garam, yang rata-rata mengurangi tekanan darah 2-8 mmHg.

Banyak penelitian epidemiologi menunjukkan, asupan tinggi


potasium diasosiasikan dengan menurunnya tekanan darah. Potasium yang
diberikan secara intravena mengakibatkan vasodilatasi, yang dipercaya
dimediasi oleh nitric oxide pada dinding pembuluh darah. Buah dan
sayuran segar direkomendasikan untuk pasien yang memiliki fungsi ginjal
yang normal.

Asupan rendah kolesterol adalah profilaksis untuk pasien dengan


penyakit jantung koroner.

Konsumsi alkohol yang berlebihan dihubungkan dengan


peningkatan tekanan darah pada peningkatan massa dari ventrikel kiri.

 Aerobic exercise secara teratur


o Lakukan aerobic exercise secara teratur 30 menit sehari, 3-4 kali
seminggu.
o Olahraga yang teratur, seperti berjalan, berlari, berenang, atau
bersepeda menunjukkan penurunan tekanan darah dan
meningkatkan kesehatan dari jantung dan pembuluh darah karena
meningkatkan fungsi endotelial, vasodilatasi perifer, menurunkan
denyut nadi istirahat, dan mengurangi level dari katekolamin.
o Isometric dan strenuous exercise harus dihindari.
 Pengurangan berat badan
Kegemukan banyak dihubungkan dengan hipertensi dan HVK.
Penurunan berat badan secara bertahap (1 kg/minggu) sangat dianjurkan.
Penggunaan obat-obatan untuk mengurangi berat badan harus dilakukan
dengan perhatian yang khusus.
 Farmakoterapi
o Penatalaksanaan dari hipertensi dan penyakit jantung hipertensi
dengan menggunakan diuretika tiazide, beta-blockers dan
kombinasi alpha dan beta-blockers, calcium channel blockers,
ACE inhibitors, angiotensin receptor blockers, dan direct
vasodilators seperti hydralazine.
o Kebanyakan pasien membutuhkan 2 atau lebih obat antihipertensi
untuk mencapai target tekanan darah.
o Diuretika tiazide adalah obat pilihan pertama pada pasien dengan
hipertensi tanpa komplikasi.
o Obat-obatan dari kelas yang lain diberikan atas indikasi.
 Calcium channel blocke: selektif untuk hipertensi sistolik
pada pasien yang tua
 ACE inhibitors: pilihan pertama untuk pasien dengan
diabetes dan/atau dengan disfungsi ventrikel kiri
 Angiotensin receptor blockers: alternatif untuk pasien yang
memiliki efek samping dari ACE inhibitors.
 Beta-blockers: pilihan pertama pada pasien dengan gagal
jantung karena disfungsi sistolik ventrikel kiri, pasien
dengan ischemic heart disease dengan atau tanpa riwayat
myocardial infarction, dan pasien dengan thyrotoxicosis.
 Obat-obat intravena pada pasien hipertensi emergensi, yaitu
nitroprusside, labetalol, hydralazine, enalapril, dan beta-
blockers (tidak digunakan untuk pasien dengan gagal
jantung akut ataupun dekompensata).
 Tatalaksana untuk HVK
o HVK meningkatkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.
Obat-obatan di atas dapat mengurangi HVK. Data dari
metaanalisis yang terbatas dikemukakan, ACE inhibitors
memiliki keunggulan yang lebih untuk menangani HVK.
 Tatalaksana untuk LV diastolic dysfunction
o Kelas-kelas tertentu dari obat antihipertensi (ACE inhibitors,
beta-blockers, dan nondihydropyridine calcium channel
blockers) dapat meningkatkan echocardiographic parameters
pada disfungsi diastolik yang simptomatik dan asimptomatik
serta simptom dari gagal jantung..
o Penggunaan diuretik dan nitrat untuk pasien dengan gagal
jantung karena disfungsi diastolik harus dengan hati-hati. Obat
ini dapat menyebabkan hipotensi yang berat dengan menurunkan
preload.

 Tatalaksana untuk LV systolic dysfunction


o Diuretik (biasanya loop diuretics) digunakan untuk tatalaksana
LV systolic dysfunction.
o ACE inhibitors untuk mengurangi preload dan afterload dan
mencegah kongesti paru maupun sistemik.
o Beta-blockers (cardioselective atau mixed alpha and beta),
seperti carvedilol, metoprolol XL, dan bisoprolol, untuk
meningkatkan fungsi dari ventrikel kiri serta mengurangi angka
mortalitas dan morbiditas dari gagal jantung.
o Spironolakton dosis rendah mengurangi angka mortalitas dan
morbiditas NYHA grade III atau IV dari gagal jantung, yang
menggunakan ACE inhibitor.

 Tatalaksana dari kardiak aritmia


o Tatalaksana disesuaikan dengan jenis aritmia dan penyebab LV
dysfunction.
o Antikoagulan dapat digunakan pada pasien dengan atrial fibrilasi.
H. Prognosis

Prognosis pada pasien penyakit jantung hipertensi bermacam-macam


sesuai dengan durasi, tingkat keparahan, dan tipe penyakit yang terjadi. Risiko
komplikasi bergantung pada besarnya hipertrofi yang terjadi pada ventrikel kiri.
Semakin besar kelainan yang diderita oleh ventrikel kiri, maka komplikasi yang
akan timbul juga akan menjadi semakin besar. Mengobati penyakit dasar yaitu
hipertensi akan sangat berpengaruh terhadap progresivitas yang terjadi.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu


seperti ACE-Inhibitor, Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat mengatasi
hipertropi ventrikel kiri dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan
gagal jantung akibat penyakit jantung hipertensi. Bagaimanapun juga, penyakit
jantung hipertensi adalah penyakit yang serius yang memiliki resiko kematian
mendadak.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

A. Definisi
PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang
dapat dicegah dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonari yang
signifikan, yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan yang berbeda pada tiap
individual. Penyakit paru kronik ini ditandai dengan keterbatasan aliran udara di
dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, biasanya
disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas
berbahaya.

B. Etiologi

Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda
dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana jika
kita mengambil kesimpulan bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi yang
berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan.
Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat memberikan
kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung kepada jumlah dari
partikel yang terinhalasi oleh individu tersebut.
Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan
partikel gas berbahaya. Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Faktor risiko genetik yang paling
sering dijumpai adalah defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor
sirkulasi utama dari protease serin.

C. Faktor Resiko

Faktor risiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-


partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya :
1. Asap rokok
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala
respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi dari
pada orang yang tidak merokok.Risiko untuk menderita PPOK bergantung
pada “dosis merokok”nya, seperti umur orang tersebut mulai merokok, jumlah
rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang tersebut merokok.
Enviromental Tobacco Smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat
mengalami gejala-gejala respiratorik dan PPOK dikarenakan oleh partikel-
partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru
“terbakar”.
Risiko terkena PPOK akibat merokok dapat diketahui melalui penilaian
derajat berat merokok seseorang berdasar Indeks Brinkman (IB), yakni
perkalian antara jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun. Terbagi dalam 3 kategori yaitu:
1). Perokok ringan : 0-200 batang-tahun
2). Perokok sedang : 200-600 batang-tahun
3). Perokok berat : ≥600 batang-tahun.
Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa
waktu menjadi perokok, semakin besar risiko dapat mengalami PPOK.
2. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)
3. Indoor Air Pollution (IAP) atau polusi di dalam ruangan
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang,
kayu bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi
untuk memasak, pemanas dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya.
Sehingga IAP memiliki tanggung jawab besar jika dibandingkan dengan polusi
di luar ruangan seperti gas buang kendaraan bermotor. IAP diperkirakan
membunuh 2 juta wanita dan anak-anak setiap tahunnya.
4. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu jalanan.
5. Infeksi saluran nafas berulang
6. Jenis kelamin
Dahulu, PPOK lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita.
Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa
ini prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan oleh
perubahan pola dari merokok itu sendiri. Beberapa penelitian mengatakan
bahwa perokok wanita lebih rentan untuk terkena PPOK dibandingkan perokok
pria.
7. Status sosio ekonomi dan status nutrisi
8. Asma
9. Usia
Onset usia dari PPOK ini adalah pertengahan

D. Klasifikasi

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease


(GOLD) 2008, dibagi atas 4 derajat :
1. Derajat I: PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum).Keterbatasan aliran
udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1> 80% Prediksi). Pada derajat ini,
orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
2. Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% <
VEP1< 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam
tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas
yang dialaminya.
3. Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk
(VEP1 / KVP < 70%; 30%  VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang
semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang
yang berdampak pada kualitas hidup pasien.
4. Derajat IV: COPD sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 <
30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas
kronik dan gagal jantung kanan.
E. Patofisiologi
Obstruksi jalan napas merupakan manifestasi yang paling menonjol dan
paling sukar ditanggulangi oleh karena menunjukkan tingkat perjalanan
penyakit yang lanjut, umumnya ireversibel progresif. Penekanan terapi
terhadap obstruksi jalan napas merupakan masalah pengobatan yang
terpenting, oleh karena itu perlu dipahami benar mekanisme obstruksi jalan
napas pada penderita PPOK. Mekanisme tersebut adalah :
a. Obstruksi sekret pada saluran-saluran napas akibat produksi sekret yang
berlebihan disertai penebalan kelenjar-kelenjar mukus submukosa,
secara potensial merupakan komponen yang reversibel dari obstruksi
jalan napas.
b. Peradangan saluran napas.
Sekret yang purulen merupakan manifestasi yang jelas dari adanya
radang saluran napas, perubahan sifat/warna sputum sangat penting
untuk menilai adanya infeksi akut atau eksaserbasi, juga secara
potensial reversibel.
c. Kontraksi otot bronkus (bronkospasme).
Pada penderita bronkitis kronik sering terdapat penebalan otot polos
bronkus walaupun tidak seperti pada asma.
d. Hilangnya daya lenting jaringan paru (elastic recoil) irreversibel.

F. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan hingga berat. Padapemeriksaan fisis tidak ditemukan
kelainan jelas dan tanda inflasi paruDiagnosis PPOK di tegakkan
berdasarkan :
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan
lahir rendah (BBLR),
- Iinfeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi
udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

- Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
di leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
- Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
- Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorongke bawah
- Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa.
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer

Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan


dan pernapasan pursed – lips breathing.

Blue bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,


terdapat edema tungkai dan ronkibasah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer.

Pursed - lips breathing

Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan


ekspirasi yang memanjang.Sikapini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai
mekanismetubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada
gagal napas kronik.

2. Pemeriksaan penunjang
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ).Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %.
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK danmemantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupunkurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagidan sore, tidak lebih dari
20%.
• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -
20 menit kemudiandilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan< 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin: Hb, ht, leukosith
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)

G. Diagnosis banding
Untuk penegakan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan
adanya asma, gagal jantung kongestif, TB paru, dan sindrom obstruksi pasca TB
paru.
Tabel Diagnosis Banding PPOK
Diagnosis Gambaran Klinis
PPOK  Onset usia pertengahan
 Gejala progresif lambat
 Riwayat merokok (lama dan jumlah rokok)
 Sesak saat aktivitas
 Hambatan aliran udara umumnya ireversibel
Asma  Onset usia dini
 Gejala bervariasi dari hari ke hari
 Gejala pada waktu malam / dini hari lebih menonjol
 Dapat ditemukan alergi, rinitis, dan atau eksim
 Riwayat asma dalam keluarga
 Hambatan aliran udara umumnya reversibel
Gagal Jantung  Riwayat hipertensi
Kongestif  Ronki basah halus di basal paru pada auskultasi
 Gambaran foto toraks tampak pembesaran jantung
dan edema paru
 Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan obstruksi

Bronkiektasis  Sputum purulen dalam jumlah banyak


 Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
 Ronki basah kasar pada auskultasi dan jari tabuh
 Gambaran foto toraks tampak honeycomb
appearance dan penebalan dinding bronkus
Tuberkulosis  Onset semua usia
 Gambaran foto toraks tampak infiltrat
 Konfirmasi mikrobiologi (Basil Tahan Asam / BTA)
Sindrom Obstruksi  Riwayat pengobatan anti tuberkulosis adekuat
Pasca TB (SOPT)  Gambaran foto toraks bekas TB : fibrosis dan
kalsifikasi minimal
 Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi yang
tidak reversibel
Bronkiolitis Obliteratif  Onset usia muda dan bukan perokok
 Riwayat reumatoid artritis atau pajanan
 Gambaran CT pada ekspirasi tampak area hipodens
Panbronkiolitis Difus  Sebagian besar pasien adalah laki-laki dan bukan
perokok
 Hampir semuanya memiliki riwayat sinusitis kronik
 Gambaran foto toraks dan HRCT tampak bayangan
putih (radioopaq) nodular sentrilobular kecil yang
difus dan hiperinflasi

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma


obstruksi pasca TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma atau
gagal jantung kongestif. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial, dan gagal
jantung kongestif dapat dilihat pada tabel berikut :

TabelPerbedaan Klinis dan Hasil Pemeriksaan Spirometri pada PPOK,


Asma, dan Gagal Jantung Kongestif
Kategori PPOK Asma Gagal Jantung
Kongestif
Onset usia > 45 tahun Segala usia Segala usia
Riwayat keluarga Tidak ada Ada Tidak ada
Pola sesak napas Terus-menerus, Hilang timbul Timbul pada
bertambah berat waktu aktivitas
dengan aktivitas
Ronki Kadang-kadang + ++
Mengi Kadang-kadang ++ +
Vesikuler Melemah Normal Meningkat
Spirometer Obstruksi ++ Obstruksi ++ Obstruksi +
Restriksi + Restriksi ++
Reversibilitas < ++ +
Pencetus Partikel toksik Partikel sensitif Penyakit jantung
kongestif

Perbedaan PPOK, Asma dan SOPT

H. Tatalaksana

Tujuan Penatalaksanaan PPOK meliputi:


1. Mencegah progresivitas penyakit
2. Mengurangi gejala
3. Meningkatkan toleransi Latihan
4. Mencegah dan mengobati komplikasi
5. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
6. Mencegah atau meminimalkan efek samping obat
7. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
8. Meningkatkan kualitas hidup penderita
9. Menurunkan angka kematian
Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu
tujuan selama tatalaksana PPOK.Tujuan tersebut dapat dicapai melalui 4
komponen program tatalaksana:
1. Evaluasi dan Monitor Penyakit
Riwayat penyakit yang rinci pada pasien yang dicurigai atau pasien
yang telah didiagnosis PPOK digunakan untuk evaluasi dan monitoring
penyakit :
 Pajanan faktor risiko, jenis zar, dan lamanya terpajan.
 Riwayat timbulnya gejala atau penyakit.
 Riwayat keluarga PPOK atau penyakit paru lain, misalnya asma dan
TB paru.
 Riwayat eksaserbasi atau perawatan di rumah sakit akibat penyakit
paru kronik lainnya.
 Penyakit komorbid yang ada, misalnya penyakit jantung, rematik, atau
penyakit yang menyebabkan keterbatasan aktivitas.
 Rencana pengobatan terkini yang sesuai dengan derajat PPOK.
 Pengaruh penyakit terhadap kehidupan pasien seperti keterbatasan
aktivitas, kehilangan waktu kerja dan pengaruh ekonomi, perasaan
depresi / cemas.
 Kemungkinan untuk mengurangi faktor risiko terutama berhenti
merokok.
 Dukungan dari keluarga.
PPOK merupakan penyakit progresif, artinya fungsi paru akan
menurun seiring dengan bertambahnya usia. Monitor penting yang harus
dilakukan adalah gejala klinis dan fungsi paru..

2. Menurunkan Faktor Risiko


Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling
efektif dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan
memperlambat progresivitas penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok (5A):
 Ask (Tanyakan)
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
 Advice (Nasihati)
Dorongan kuat untuk semua perokok untuk berhenti merokok.
 Assess (Nilai)
Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal : dalam 30 hari ke
depan).
 Assist (Bantu)
Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan
konseling praktis, menyediakan dukungan sosial pengobatan,
merekomendasikan penggunaan dari farmakoterapi.
 Arrange (Atur)
Jadwal kontak lebih lanjut.

3. Tatalaksana PPOK Stabil2


 Edukasi
 Farmakologi (Obat-obatan)
- Bronkodilator (antikolinergik, β2 agonis, golongan xantin)
- Kombinasi SABA (Short Acting β2Agonist) + antikolinergik
- Kombinasi LABA (LongActing β2Agonist) + kortikosteroid
- Antioksidan
- Dipertimbangkan mukolitik
 Non-farmakologi
- Rehabilitasi
- Terapi oksigen
- Nutrisi
- Vaksinasi influenza
- Ventilasi non-mekanik
- Intervensi bedah

4. Tatalaksana PPOK Eksaserbasi2


Gejala eksaserbasi :

 Batuk makin sering/hebat


 Produksi sputum bertambah banyak
 Sputum berubah warna
 Sesak napas bertambah
 Keterbatasan aktivitas bertambah
 Terdapat gagal napas akut pada gagal napas kronik
 Kesadaran menurun
Penatalaksanaan eksaserbasi akut dapat dilakukan di poliklinik rawat jalan,
unit gawat darurat, ruang rawat, dan ruang ICU.

Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi :

 Optimalisasi penggunaan obat-obatan :


- Bronkodilator
 Agonis β2 kerja singkat kombinasi dengan antikolinergik
perinhalasi (nebuliser)
 Xantin intravena (bolus dan drip)
- Kortikosteroid sistemik
- Antibiotik
 Golongan makrolid baru (Azithromisin, Roksitromisin,
Klaritromisin)
 Golongan kuinolon respirasi
 Sefalosporin generasi III / IV
- Mukolitik
- Ekspektoran
- Diuretika bila ada retensi cairan
 Terapi oksigen
 Terapi nutrisi
 Rehabilitasi fisik dan respirasi
 Evaluasi progresivitas penyakit
 Edukasi
Indikasi rawat pasien PPOK antara lain :

 Eksaserbasi sedang dan berat


 Terdapat komplikasi
 Infeksi saluran napas berat
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik
 Gagal jantung kanan
Adapun indikasi rawat di ruang ICU yaitu :

 Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau


ruang rawat.
 Kesadaran menurun, letargi, atau kelemahan otot-otot respirasi.
 Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan
PaO2 < 50 mmHg atau PaCO2 > 50 mmHg memerlukan ventilasi
mekanis (invasif atau non-invasif).
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan
adalah :

 Pengetahuan dasar tentang PPOK


 Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
 Cara pencegahan perburukan penyakit
 Menghindari pencetus (merokok)
 Penyesuaian aktivitas
2. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi berat derajat
penyakit.Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi (dihisap melalui
saluran nafas), kecuali pada eksaserbasi digunakan bentuk oral atau
sistemik.Nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang.Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat
(slow release) atau obat berefek panjang (long acting).Pdpi Macam-
macam bronkodilator adalah : golongan antikolinergik, golongan
agonis beta-2, kombinasi antikolinergik dan beta-2, dan golongan
xantin.

b. Anti inflamasi
Digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral
(diminum) atau injeksi intravena (ke dalam pembuluh darah). Ini
berfungsi untuk menekan inflamasi yang terjadi. Pilihan utama adalah
golongan metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan jangka
panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Uji steroid
positif adalah bila dengan pemberian steroid oral selama 10 – 14 hari
atau inhalasi selama 6 minggu – 3 bulan menunjukkan perbaikan
gejala klinis atau fungsi paru.

c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Tidak dianjurkan
penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi. Pilihan
antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat.
Antibiotik yang digunakan untuk lini pertama adalah amoksisilin dan
makrolid. Dan untuk lini kedua diberikan amoksisilin dikombinasikan
dengan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon dan makrolid baru.

d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas
hidup.Pemakaian antioksidan yang direkomendasikan oleh
Internasional dan nasional guideline adalah N-acetylcysteine (NAC).
NAC selain sebagai agen mukolitik, juga berperan sebagai antioksidan
dan anti-inflamasi, serta imunomodulator.
Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin. NAC sebagai agen
mukolitik bekerja dengan cara menghancurkan/memecah jembatan
disulfida dari makromolekul mukoprotein yang terdapat dalam sekresi
bronkial, sehingga mukus menjadi lebih encer, serta bekerja dengan
cara memperbaiki kerja silia saluran napas.

Dengan adanya kerja silia yang membaik ini, maka akan sedikit
mukus yang melekat pada epitel dan menyebabkan penetrasi
antibiotika ke dalam jaringan akan meningkat, dan hal ini akan
mengurangi kolonisasi bakteri. Efek ini dikenal sebagai anti adherens
bacteria dari NAC.

e. Mukolitik (pengencer dahak)


Tidak diberikan secara rutin. Hanya diberikan terutama pada
eksaserbasi akut, karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi,
terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang lengket dan
kental. Tetapi obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka
panjang.

f. Antitusif
Diberikan dengan hati-hati.Diberikan hanya bila terdapat batuk
yang sangat mengganggu. Penggunaan secara rutin merupakan
kontraindikasi.

3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan.Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
dalam sel dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ
lainnya.

Harus berdasarkan analisis gas darah, baik pada penggunaan


jangka panjang atau eksaserbasi. Pemberian yang tidak hati-hati dapat
menyebabkan hiperkapnia dan memperburuk keadaan.Penggunaan jangka
panjang pada PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas
hidup.

Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari) pada PPOK


derajat IV dengan :

 PaO2< 55 mmHg, atau SO2< 88% dengan atau tanpa hiperkapnia


 PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2< 88% disertai hipertensi pulmonal,
edema perifer karena gagal jantung, polisitemia
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan gagal
napas kronik. Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
intubasi atau tanpa intubasi. Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU
pada eksaserbasi berat. Ventilasi mekanik non-invasif digunakan di ruang
rawat atau di rumah sebagai perawatan lanjutan setelah eksaserbasi pada
PPOK berat.

5. Operasi Paru
Bulektomi, bedah reduksi volume paru, dan tranplantasi paru
merupakan opsi bedah yang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
PPOK yang sangat berat. Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang
besar atau transplantasi paru (masih dalam proses penelitian di negara
maju). Rujukan kepada spesialis bedah thorax diindikasikan untuk menilai
lebih lanjut kecocokan prosedur ini untuk pasien.

6. Vaksinasi Influenza
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil.
Vaksinasi influenza dipertimbangkan diberikan pada :

 Pasien usia di atas 60 tahun


 Pasien PPOK sedang, berat, dan sangat berat
7. Nutrisi
Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi, disebabkan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperapnea menyebabkan
terjadinya hipermetabolisme.

8. Rehabilitasi
Rehabilitasi PPOK bertujuan untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK. Program ini
dapat dilaksanakan baik di luar maupun di dalam Rumah Sakit oleh suatu
tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan
psikolog. Program rehabilitasi ini terdiri dari latihan fisik, psikososial dan
latihan pernapasan.

Jika ditujukan untuk pasien dengan PPOK (atau gangguan


kesulitan pernapasan lainnya), program yang komprehensif pada
rehabilitasi pulmoner dapat meningkatkan kapasitas kerja, fungsi
psikososial, dan kualitas hidup. Program ini tidak memperpanjang hidup
atau fungsi pulmoner, namun telah terbukti mengurangi frekuensi rawat
inap.

Tabel Penatalaksanaan Menurut Derajat PPOK

Derajat Karakteristik Rekomendasi Pengobatan


Derajat I :  VEP1 80% prediksi  Bronkodilator kerja singkat (SABA,
PPOK Ringan (normal spirometer) atau antikolinergik kerja singkat bila perlu)
VEP1/KVP < 70%  Pemberian anti kolinergik kerja lama
 Dengan atau tanpa sebagai terapi pemeliharan
gejala
Derajat II :  50% < VEP1< 80%  Pengobatan reguler dengan bronkodilator :
PPOK Sedang prediksi atau VEP1/KVP - Antikolinergik kerja lama sebagai terapi
< 70% pemeliharan + LABA + Simtomatik
 Dengan atau tanpa  Rehabilitasi
gejala
Derajat III :  30% < VEP1< 50%  Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih
PPOK Berat prediksi atau VEP1/KVP bronkodilator :
< 70% - Antikolinergik kerja lama sebagai terapi
 Dengan atau tanpa pemeliharan + LABA + Simtomatik
gejala - Kortikosteroid inhalasi bila memberikan
respon klinis atau eksaserbasi berulang
 Rehabilitasi
Derajat IV :  VEP1 < 30% prediksi  Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih
PPOK Sangat atau VEP1 < 50% bronkodilator :
Berat prediksi disertai gagal - Antikolinergik kerja lama sebagai terapi
napas kronik atau pemeliharan + LABA
VEP1/KVP < 70% - Pengobatan pada komplikasi
- Kortikosteroid inhalasi bila memberikan
respon klinis atau eksaserbasi berulang
 Rehabilitasi
 Terapi oksigen jangka panjang bila gagal
napas
 Pertimbangkan terapi pembedahan

Prognosis
Prognosis PPOK dubia, tergantung dari derajat, penyakit paru
komorbid, penyakit komorbid lain. Prognosis jangka pendek maupun jangka
panjang bergantung pada umur dan gejala klinis waktu berobat. Penderita
yang berumur kurang dari 50 tahun dengan :

 Sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.


 Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan
meninggal.

You might also like