You are on page 1of 12

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK YANG KEJANG DEMAM

I. Definisi
Kejang demam adalah kejang yang timbul pada saat bayi atau anak
mengalami demam akibat proses diluar intrakranial tanpa infeksi sistem saraf
pusat. Kejang perlu diwaspadai karena dapat terjadi berulang dan dapat
menyebabkan kerusakan sel-sel otak (Tikoalu J.R, 2009). Kejang demam
merupakan bangkitan kejang yang terjadi akibat adanya kenaikan suhu tubuh yang
lebih dari 38°C yang disebabkan oleh proses ekstrakarnium (Ngastiyah, 1997:
229)
Kejang demam adalah kejang yang terjadi akibat kenaikan suhu tubuh diatas
38,4ºC tanpa disertai infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit pada
anak diatas usia 1 bulan, tanpa riwayat kejang tanpa demam sebelumnya (Partini,
2013 : 65). Kejang demam ada 2 bentuk yaitu kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang
berlangsung singkat, kurang 15 menit dan umumnya dapat berhenti sendiri.
Kejangnya bersifat umum artinya melibatkan seluruh tubuh. Kejang tidak
berulang dalam 24 jam pertama. Kejang demam tipe ini merupakan 80% dari
seluruh kasus kejang demam. Kejang demam kompleks adalah kejang dengan satu
ciri sebagai berikut: kejang lama > 15 menit, kejang fokal / parsial satu sisi
tubuh, kejang > 1 kali dalam 24 jam ( Hartono, 2011 : 194).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan kejang
demam adalah bangkitan kejang yang terjadi akibat kenaikan suhu lebih dari 38°C
yang disebabkan oleh ekstrakranium yang sering dijumpai pada anak usia dibawah
5 tahun dan terdapat dua klasifikasi kejang demam yaitu kejang demam sederhana
dan kejang demam kompleks.

II. Etiologi
Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum diketahui dengan Pasti,
demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu tinbul
pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat
menyebabkan kejang (Mansjoer, 2000).
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian
besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu
tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8°C dan terjadi disaat suhu tubuh naik dan
bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh (Dona Wong L, 2008).
Kejang berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. kejang
demam cenderung ditemukan dalam satu keluarga, sehingga diduga melibatkan
faktor keturunan (faktor genetik). Kadang kejang yang berhubungan dengan
demam disebabkan oleh penyakit lain, seperti
keracunan, meningitis atau ensefalitis. Roseola atau infeksi oleh virus herpes pada
manusia juga sering menyebabkan kejang demam pada anak-
anak. Shigella pada Disentri juga sering menyebakan demam tinggi dan kejang
demam pada anak-anak (Mediacastore, 2011: 8).

III. Patofisiologi
Pada keadaan demam, kenaikan suhu sebanyak 1º C akan menyebabkan
kenaikan kebutuhan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat
sebanyak 20%. Pada seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai
65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron. Dalam waktu yang singkat terjadi difusi
dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, akibatnya terjadinya
lepasan muatan listrik. Lepasan muatan listrik ini dapat meluas ke seluruh sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah
kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung pada
tinggi atau rendahnya ambang kejang seseorang anak pada kenaikan suhu
tubuhnya. Kebiasaannya, kejadian kejang pada suhu 38ºC, anak tersebut
mempunyai ambang kejang yang rendah, sedangkan pada suhu 40º C atau lebih
anak tersebut mempunyai ambang kejang yang tinggi. Dari kenyataan ini dapat
disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang
kejang yang rendah (Latief et al., 2007).
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi
yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang
terpenting adalah glucose, sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara fungsi
paru-paru dan diteruskan keotak melalui system kardiovaskuler. Berdasarkan hal
diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi, dan dipecah
menjadi karbon dioksidasi dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri
dari permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui oleh ion Na + dan elektrolit
lainnya, kecuali ion clorida. Akibatnya konsentrasi K+dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah. Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel.
Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial membran dari neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan
konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak
misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari
patofisiologisnya membran sendiri karena penyakit/keturunan. Pada seorang anak
sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa
15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari
membran sel neuron dalam singkat terjadi dipusi di ion K+ maupun ion
Na+ melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas
keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang
berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan
gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea,
Na meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang
akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis ( Hidayat, 2009:
paragraf 4 ).
IV. WOC

V. Manifestasi Klinis
Secara teoritis pada klien dengan Kejang Demam didapatkan data-data antara
lain klien kurang selera makan (anoreksia), klien tampak gelisah, badan klien
panas dan berkeringat, mukosa bibir kering (Ngastiyah, 1997).
Manifestasi klinis kejang demam antara lain :
a. Kejang umum biasanya di awali kejang tonik kemudian klonik berlangsung
10 sampai 15 menit
b. Frekuensi takikardia pada bayi sering di atas 150 – 200 permenit
c. Pulsasi arteri melemah dan tekanan nadi mengecil yang terjadi sebagai
akibat menurunnya curah jantung
d. Gejala bendungan system vena : Hepatomegali, Peningkatan vena jugularis
( Wongjingkang, 2012 : Paragraf 2 )
Kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik
klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak
tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau
menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Adapun tanda-
tanda kejang demam meliputi :
a. Demam yang biasanya di atas (38,9 º C)
b. Jenis kejang (menyentak atau kaku otot)
c. Gerakan mata abnormal (mata dapat berputar-putar atau ke atas)
d. Suara pernapasan yang kasar terdengar selama kejang
e. Penurunan kesadaran
f. Kehilangan kontrol kandung kemih atau pergerakan usus
g. Muntah
h. Dapat menyebabkan mengantuk atau kebingungan setelah kejang dalam waktu
yang singkat (Lyons, 2012)

VI. Klasifikasi Kejang Demam


Kejang demam dapat dibedakan menjadi 2 jenis:
A. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat,
kurang 15 menit dan umumnya dapat berhenti sendiri. Kejangnya bersifat umum
artinya melibatkan seluruh tubuh. Kejang tidak berulang dalam 24 jam pertama.
Kejang demam tipe ini merupakan 80% dari seluruh kasus kejang demam.

B. Kejang demam kompleks adalah kejang dengan satu ciri sebagai berikut:
kejang lama > 15 menit, kejang fokal / parsial satu sisi tubuh, kejang > 1 kali
dalam 24 jam ( Hartono, 2011 : 194 ).

VII. Prognosis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada
pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan
kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus dan kelainan ini biasanya terjadi
pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal
(Hartono, 2011 : 196).
VIII. Komplikasi
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya terjadi
hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula-mula
kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis
di otak sehingga terjadi epilepsy.
Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan kejang
demam:
a.Pneumonia aspirasi
b.Asfiksia
c.Retardasi mental

IX. Pemeriksaan Penunjang


Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam mengevaluasi kejang
demam, diantaranya sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam,
atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer,
elektrolit, gula darah dan urinalisis (Saharso et al., 2009). Selain itu, glukosa
darah harus diukur jika kejang lebih lama dari 15 menit dalam durasi atau
yang sedang berlangsung ketika pasien dinilai (Farrell dan Goldman, 2011).
b. Fungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasein kejang
demam pertama. Pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk bayi kurang dari 12
bulan, bayi antara 12 - 18 bulan dianjurkan untuk dilakukan dan bayi > 18
bulan tidak rutin dilakukan pungsi lumbal. Pada kasus kejang demam hasil
pemeriksaan ini tidak berhasil (Pusponegoro dkk, 2006).
c. EEG (Elektroensefalografi)
Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan setelah kejang demam
sederhana namun mungkin berguna untuk mengevaluasi pasien kejang yang
kompleks atau dengan faktor risiko lain untuk epilepsi. EEG pada kejang
demam dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang
bilateral, sering asimetris dan kadang-kadang unilateral (Jonston, 2007).
d. CT-Scan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan
(CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan
dan dilakukan jika ada indikasi seperti kelainan neurologis fokal yang menetap
(hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefali,
spastisitas), terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran
menurun, muntah berulang, UUB membonjol, paresis nervus VI, edema papil)
(Saharso et al., 2009).

X. Penatalaksanaan
a. Terapi Farmokologi
Pada saat terjadinya kejang, obat yang paling cepat diberikan untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-
2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal sebanyak 20
mg.
Obat yang dapat diberikan oleh orangtua atau di rumah adalah
diazepam rektal. Dosisnya sebanyak 0,5-0,75 mg/kg atau 5 mg untuk anak
dengan berat badan kurang daripada 10 kg dan 10 mg untuk anak yang
mempunyai berat badan lebih dari 10 kg. Selain itu, diazepam rektal dengan
dosis 5 mg dapat diberikan untuk anak yang dibawah usia 3 tahun atau dosis
7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun. Apabila kejangnya belum berhenti,
pemberian diapezem rektal dapat diulangi lagi dengan cara dan dosis yang
sama dengan interval waktu 5 menit. Anak seharusnya dibawa ke rumah sakit
jika masih lagi berlangsungnya kejang, setelah 2 kali pemberian diazepam
rektal. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-
0,5 mg/kg (UUK Neurologi IDAI, 2006).
Jika kejang tetap belum berhenti, dapat diberikan fenitoin secara
intravena dengan dosis awal 10-20 mg/ kg/ kali dengan kecepatan 1 mg/ kg/
menit atau kurang dari 50 mg/menit. Sekiranya kejang sudah berhenti, dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/ kg/ hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika
kejang belum berhenti dengan pemberian fenitoin maka pasien harus dirawat
di ruang intensif. Setelah kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari jenis kejang demam, apakah kejang demam sederhana atau
kompleks dan faktor risikonya (UUK Neurologi IDAI, 2006).
Seterusnya, terapi antipiretik tidak mencegah kejang kekambuhan.
Kedua parasetamol dan NSAID tidak mempunyai manfaatnya untuk
mengurangi kejadian kejang demam. Meskipun mereka tidak mengurangi
risiko kejang demam, antipiretik sering digunakan untuk mengurangi demam
dan memperbaiki kondisi umum pasien. Dalam prakteknya, kita menggunakan
metamizole (dipirone), 10 sampai 25 mg/ kg/ dosis sampai empat dosis harian
(100 mg/ kg/ hari), parasetamol 10 sampai 15 mg/ kg/ dosis, juga sampai
empat dosis harian (sampai 2,6 g/hari) dan pada anak-anak di atas usia enam
bulan, diberikan ibuprofen sebanyak 5 sampai 10 mg/ kg/ dosis dalam tiga atau
empat dosis terbagi (sampai 40 mg/ kg/ hari pada anak-anak dengan berat
kurang dari 30 kg dan 1200 mg) (Siqueira, 2010).
Pengobatan jangka panjang atau rumatan hanya diberikan jika kejang
demam menunjukkan ciri-ciri berikut seperti kejang berlangsung lebih dari 15
menit, kelainan neurologi yang nyata sebelum atau selapas kejadian kejang
misalnya hemiparesis, paresis Todd, palsi serebal, retardasi mental dan
hidrosefalus, dan kejadian kejang fokal. Pengobatan rumat dipertimbangkan
jika kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam, kejang demam terjadi
pada bayi kurang dari 12 bulan dan kejang demam berlangsung lebih dari 4
kali per tahun. Obat untuk pengobatan jangka panjang adalah fenobarbital
(dosis 3-4 mg/ kgBB/ hari dibagi 1-2 dosis) atau asam valproat (dosis 15-40
mg/ kgBB/ hari dibagi 2-3 dosis). Dengan pemberian obat ini, risiko
berulangnya kejang dapat diturunkan dan pengobatan ini diberikan selama 1
tahun bebas kejang, kemudian secara bertahap selama 1-2 bulan (Saharso et
al., 2009).

b. Terapi Non-Farmakologi
Tindakan pada saat kejang di rumah, (Ngastiyah, 2005, Mahmood et
al., 2011 dan Capovilla et al., 2009):
1)Baringkan pasein di tempat yang rata.
2)Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasein.
3)Semua pakaian ketat yang mengganggu pernapasan harus dibuka misalnya
ikat pinggang.
4)Tidak memasukkan sesuatu banda ke dalam mulut anak.
5)Tidak memberikan obat atau cairan secara oral.
6)Jangan memaksa pembukaan mulut anak.
7)Monitor suhu tubuh.
8)Pemberikan kompres dingin dan antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh
yang tinggi.
9)Posisi kepala seharusnya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung.
10)Usahakan jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen.
11)Menghentikan kejang secepat mungkin dengan pemberian obat
antikonvulsan yaitu diazepam secara rektal.
Pengobatan kejang berkepanjangan di rumah sakit, (Capovilla et al.,
2009):
1)Hilangkan obstruksi jalan napas.
2)Siapkan akses vena.
3)Monitor parameter vital (denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah,
SaO2).
4)Berikan oksigen, jika perlu (SaO2 <90%)
5)Mengadministrasikan bolus intravena diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg
pada kecepatan infus maksimal 5 mg/menit, dan menangguhkan ketika kejang
berhenti. Dosis ini dapat diulang jika perlu, setelah 10 menit.
6)Memantau kelebihan elektrolit dan glukosa darah.
Jika kejang tidak berhenti, meminta saran seorang spesialis (ahli anestesi, ahli
saraf) untuk pengobatan.

XI. Asuhan Keperawatan


a) Pengkajian
a.Identitas pasien dan keluarga
1) Nama Pasien (initial), umur, jenis kelamin,agama, suku bangsa dan
alamat
2) Nama Ayah (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan
bangsa
3) Nama Ibu (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan
bangsa.
b. Kesehatan fisik
1) Pola nutrisi
Tidak ada nafsu makan (anoreksia), mual dan bahkan dapat
disertai muntah. Perlu dikaji pola nutrisi sebelum sakit, porsi makan
sehari – hari, jam makan, pemberian makan oleh siapa, frekuensi
makan, nafsu makan, serta alergi terhadap makanan.
2) Pola eliminasi
3) Pola tidur
Yang perlu dikaji meliputi jam tidur, waktu tidur dan lamanya
tidur serta kebiasaan sebelum tidur.
4) Pola hygiene tubuh
Mengkaji mengenai kebiasaan mandi, cuci rambut, potong
kuku dan rambut.
5) Pola aktifitas
Anak tampak lemah, gelisah atau cengeng.
c. Riwayat kesehatan yang lalu
1) Riwayat prenatal
Dikaji mengenai kehamilan ke berapa, tempat pemeriksaan
kehamilan, keluhan ibu saat hamil, kelainan kehamilan dan obat –
obatan yang diminum saat hamil.
2) Riwayat kelahiran
Kelahiran spontan atau dengan bantuan – bantuan, aterm atau
premature. Perlu juga ditanyakan berat badan lahir, panjang badan,
ditolong oleh siapa dan melahirkan di mana.
3) Riwayat yang berhubungan dengan hospitalisasi
Pernahkah dirawat di rumah sakit, berapa kali, sakit apa,
pernahkah menderita penyakit yang gawat.
4) Riwayat kesehatan dalam keluarga
dikaji kemungkinan ada keluarga yang pernah menderita
kejang.
5) Tumbuh kembang
Mengkaji mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak
sesuai dengan tingkat usia, baik perkembangan emosi dan sosial.
6) Imunisasi
Yang perlu dikaji adalah jenis imunisasi dan umur
pemberiannya. Apakah imunisasi lengkap, jika belum apa alasannya.
d.Riwayat penyakit sekarang
1)Awal serangan : Sejak timbul demam, apakah kejang timbul setelah
24 jam pertama setelah demam
2)Keluhan utama : Timbul kejang (tonik, klonik, tonik klonik), suhu
badan meningkat
3)Pengobatan : Pada saat kejang segera diberi obat anti konvulsan dan
apabila pasien berada di rumah, tiindakan apa yang dilakukan untuk
mengatasi kejang.
4)Riwayat sosial ekonomi keluarga
Pendapatan keluarga setiap bulan, hubungan sosial antara
anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya.
5)Riwayat psikologis
Reaksi pasien terhadap penyakit, kecemasan pasien dan orang
tua sehubungan dengan penyakit dan hospitalisasi.

e. Pemeriksaan fisik
1) Pengukuran pertumbuhan : Berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala
2) Pengukuran fisiologis : Suhu biasanya di atas 38 C, nadi cepat,
pernafasan (mungkin dyspnea nafas pendek, nafas cepat, sianosis)
3) Keadaan umum : Pasien tampak lemah, malaise
4) Kulit : Turgor kulit dan kebersihan kulit
5) Kepala : Bagaimana kebersihan kulit kepala dan warna rambut serta
kebersihannya
6) Mata : Konjungtiva, sklera pucat / tidak, pupil dan palpebra
7) Telinga : Kotor / tidak, mungkin ditemukan adanya Otitis Media
Akut / Kronis
8) Hidung umumnya tidak ada kelainan
9) Mulut dan tenggorokan : Bisa dijumpai adanya tonsillitis
10) Dada : Simetris / tidak, pergerakan dada
11) Paru – paru : Bronchitis kemungkinan ditemukan
12) Jantung : Umumnya normal
13) Abdomen : Mual – mual dan muntah
14) Genetalia dan anus : Ada kelainan / tidak
15) Ekstremitas : Ada kelainan / tidak
b) Diagnosa Keperawatan
Adapun masalah keperawatan pada klien dengan kasus Febrile
Convulsion menurut Ngastiyah (19997) adalah :
a. Resiko tinggi terhadap kerusakan sel otak berhubungan dengan kejang
b. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme rata-rata, proses
infeksi
c. Resiko terjadi bahaya / komplikasi berhubungan dengan aktifitas kejang
d. Gangguan rasa aman dan nyaman berhubungan dengan tindakan invasif,
prosedur tindakan
e. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi.
Menurut Doenges (2000), diagnosa keperawatan pada Febrile
Convulsion adalah :
a. Resiko terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan kesadaran,
kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
b. Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan dengan
gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial
c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal rata-rata,
proses infeksi
d. Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi, dan aturan pengobatan
berhubungan dengan kurang informasi.
Sedangkan menurut Carpenito (1990), diagnosa keperawatan yang
terdapat pada kasus Febrile Convulsion adalah :
a. Resiko tinggi tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan
relaksasi lidah, sekunder terhadap gangguan inversi otot.
b. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme rata-rata, proses
infeksi.

DAFPUS

Setyawati, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada An. R Dengan Kejang


Demam Di Ruang Melati II RSUD Dr. Moewardi Surakarta (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
ARIFIN, S. (2017). ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. A DENGAN
KEJANG DEMAM SEDERHANA (KDS) DI RUANG KANTHIL RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH BANYUMAS(Doctoral dissertation, UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PURWOKERTO).
YATI, N. N. I. (2015). ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN
HIPERTERMI PADA PASIEN FEBRILE CONVULSIONS (KEJANG
DEMAM) DI RUANG HIJIR ISMAIL DI RSI A. YANI SURABAYA.

You might also like