You are on page 1of 6

Edema

Edema adalah akumulasi volume abnormal cairan interstisial dalam ruang-ruang


yang mengelilingi sel. Hal ini dapat disebabkan oleh setiap faktor yang
meningkatkan aliran cairan dari kapilar menuju jaringan atau mengurangi aliran
baliknya ke kapilar. (Sloane, 2003)

Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan edema: (Sloane, 2003)


1. Peningkatan tekanan hidrostatik (tekanan filtrasi) dalam kapilar yang terjadi
akibat gagal jantung
Jantung hipoefektif hanya memompa sedikit darah yang mengakibatkan
pembendungan darah dalam sistem vena dan obstruksi vena. Gagal jantung
juga mengakibatkan hanya sedikit darah yang mengalir ke ginjal sehingga
terjadi retensi cairan pada ginjal. Ini akan mengakibatkan peningkatan
volume darah yang tidak sanggup dipompa ke luar oleh ginjal yang gagal.
Akibatnya adalah peningkatan tekanan dalam kapilar, sehingga semakin
banyak cairan yang keluar menuju jaringan.
2. Penurunan tekan osmotik koloid plasma yang mengganggu dinamika
kapilar dapat disebabkan oleh kehilangan protein plasma berskala besar
karena penyakit ginjal atau karena kekurangan protein dalam diet
(malnutrisi).
3. Obstruksi limfatik mencegah pengembalian normal cairan interstesial atau
protein ke sirkulasi. Ini dapat disebabkan oleh prosedur pembedahan atau
infeksi yang mengakibatkan pemotongan saluran limfe.
4. Peningkatan permeabilitas membran kapilar akibat proses inflamasi
menyebabkan kebocoran cairan dan protein ke dalam ruang interstisia.
Histamin dan zat berkaitan yang dilepas oleh jaringan rusak tersebut akan
meningkatkan permeabilitas kapilar.

Pengkajian Edema (Trayes, Studdiford, Pickle, & Tully, 2013)


1. Riwayat
Riwayat harus mencakup waktu edema, apakah berubah dengan posisi,
unilateral atau bilateral, baik riwayat pengobatan dan pengkajian untuk
penyakit sistemik. Riwayat tentang penyakit pada jantung, ginjal, thyroid,
atau hati juga harus dikaji. Edema akut pada anggota tubuh kurang dari 72
jam kebanyakan karakteristik dari deep venous thrombosis (DVT), selulitis,
kista poplitea pecah, sindrom kompartmen akut dari trauma, atau inisiasi
baru dari calcium channel blockers. Akumulasi kronis dari edema secara
umum karena onset atau eksaserbasi kondisi sistemik kronis, seperti
Congestive Hearth Failure (CHF), penyakit ginjal, atau penyakit hati.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus mengkaji untuk penyebab sistemik edema, meliputi
gagl jantung, penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit thyroid. Edema
juga harus dievaluasi terkait pitting, tenderness dan perubahan kulit.
Pitting menggambarkan lekukan yang tetap di area edema setelah diberikan
tekanan. Ini terjadi ketika cairan di ruang interstisial memiliki konsentrasi
protein yang rendah, yang berhubungan dengan penurunan tekanan onkotik
plasma dan gangguan yang disebabkan oleh peningkatan tekanan kapiler.
Pemeriksaan ekstermitas bawah harus fokus pada medial malleolus, tibia,
dan dorsal. Pitting edema juga terjadi pada tahap awal lymphedema karena
masuknya cairan kaya protein ke interstisial, sebelum fibrosis dari jaringan
subkutan. Tenderness untuk palpasi area edema berhubungan dengan DVT
dan sindrom nyeri regional kompleks type 1 (distrofi refleks simpatik).
Perubahan suhu, warna kulit, dan tekstur kulit memberikan petunjuk untuk
penyebab edama. Contohnya pada DVT akut dan selulitis menyebabkan
suhu lebih hangat pada area edema. Karena deposito hemosiderin,
insufisiensi vena kronis sering dengan kulit kemerahan pada medial
malleolus. Ketika insufisiensi vena berlangsung dapat menyebabkan
lipodermatosklerosis, yang ditandai dengan jaringan sklerosis dan
hiperpigmentasi, fibrosis dan deposisi hemosiderin dapat menyebabkan
ulkus vena pada medial malleolus. Myxedema dari hipotiroidisme
menunjukkan kulit kering, tebal dengan nonpitting edema periorbital dan
kekuning-kuningan di atas lutut, siku, telapak tangan, dan telapak kaki.
Myxedema pretibial lokal mungkin disebabkan
oleh penyakit Graves . Pada tahap akhir sindrom nyeri regional kompleks,
kulit mungkin muncul berkilau dengan perubahan atrofik. Pada tahap awal
lymphedema, kulit pucat sedangakan pada tahap selanjutnya menjadi
fibrosis, menebal dan verukosa.
Pemeriksaan kaki penting pada ekstermitas bawah. Pada pasien dengan
lhymphedema yang merupakan akumulasi patologis jaringan adiposa di
ekstermitas, kaki pada umumnya terhindar meskipun pergelangan kaki
sering menonjol karena ada bantalan lemak malleolar. Lhypedema juga
dapat melibatkan ekstermitas atas.
3. Tes Diagnostik
Tes laboratorium digunakan untuk mendiagnosa penyebab edema sistemik:
tes Brain Natriuretic Peptida (BNP) untuk CHF, pengukuran kreatinin dan
urinalysis untuk penyakit ginjal, dan pengukuran enzim dan albumin untuk
penyakit hepar. Tes D-dimer untuk mendiagnosa Deep Vein Thrombosis
(DVT). Namun, tes ini memiliki spesifitas yang rendah, dan konsentrasi D-
dimer dapat meningkat tanpa adanya trombosis.
4. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi vena menggambarkan model pilihan dalam evaluasi
perkiraan DVT. Kompresi USG dengan atau tanpa gelombang Doppler
analisis memiliki sensitivitas tinggi (95%) dan spesifitas (96%) untuk
trombosis proksimal; namun, sensitifitasnya lebih rendah untuk vena calf
(73%). USG dupleks juga dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
insufisiensi vena kronis.
5. Lymfoskintigrafi
Aliran getah bening tidak dapat dideteksi dengan ultrasonografi. Oleh
karena itu, linfoskintigrafi radionuklida tidak langsung, menunjukkan
pengisian yang tidak ada atau tertunda pada saluran limfatik, merupakan
metode pilihan untuk mengevaluasi lympedema ketika diagnosa tidak bisa
dibuat secara klinis.
6. Magnetic Resonance Imaging
Pasien dengan edema unilateral ekstermitas bawah yang tidak menunjukkan
trombosis proksimal pada USG dupleks mungkin memerlukan imaging
tambahan untuk mendiagnosa penyebab edema jika kecurigaan klinis untuk
DVT tetap tinggi. Angiografi resonansi magnetik dengan venografi dari
ekstermitas bawah dan pelvis dapat digunakan untuk mengevaluasi DVT
pelvis intrinsik atau ekstrinsik atau paha. Kompresi vena iliac kiri oleh arteri
iliaka kanan (sindrom May-Thurner) harus dicurigai pada wanita usia antara
18-30 tahun yang menunjukkan edema ekstermitas kiri. Magnetik resonance
imaging dapat membantu dalam mendiagnosa etiologi muskuloskeletal,
seperti kista poplitea. T1-weighted magnetic resonance lymphangiography
dapat digunakan untuk memvisualisasikan saluran limfatik secara langsung
ketika dicurigai lymphedema.
7. Studi Lain
Ekokardiografi untuk mengevaluasi tekanan arteri pulmonal
direkomendasikan untuk pasien apnea tidur obstruktif dan edema. Dalam
penelitian pasien apneu tidur obstruktif 93% dari mereka dengan edema
mengalami tekanan arteri kanan. Hipertensi pulmonal lama dianggap
sebagai penyebab edema berhubungan dengan apnea tidur obstruktif.
Walaupun, satu penelitian ditemukan bahwa meskipun proporsi tinggi
pasien dengan edema apnea tidur obstruktif (lebih dari dua pertiga), hampir
sepertiga dari pasien ini tidak memiliki hipertensi pulmonal, yang
menunjukkan korelasi yang lebih kuat antara edema dan apnea tidur
obstruktif dari yang dijelaskan oleh kemunculan hipertensi pulmonal saja.
Penanganan
Prinsip Terapi Edema: (Effendi & Pasaribu, 2009)
1. Penanganan penyakit yang mendasari
2. Mengurangi asupan natrium dan air, baik dari diet maupun intervena
3. Meningkatkan pengeluaran natrium dan air
a. Diuretik : hanya sebagai terapi paliatif bukan kuratif
b. Tirah baring, local pressure
4. Hindari faktor yang memperburuk penyakit dasar: diuresis yang berlebihan
menyebabkan pengurangan volume plasma, hipotensi, perfusi yang
inadekuat, sehingga diuretik harus diberikan dengan hati-hati
Terapi edema harus mencakup terapi penyebab yang mendasarinya yang
reversibel (jika memungkinkan), pengurangan asupan sodium harus dilakukan
untuk meminimalisir retensi air. Tidak semua pasien edema memerlukan terapi
farmakologis; pada beberapa pasien terapi non farmakologis sangat efektif seperti
pengurangan asupan natrium (yakni kurang dri jumlah yang dieksresikan oleh
ginjal) dan menaikkan kaki di atas level dari atrium kiri. Tetapi pada kondisi
tertentu diuretik harus diberikan bersamaan dengan terapi non farmakologis.
Pemilihan obat, rute pemberian, dan dosisi akan sangat tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, berat ringannya penyakit dan urgensi dari penyakitnyya. Efek
diuretik berbeda berdasarkan tempat kerjanya pada ginjal. Klasifikasi diuretik
berdasarkan tempat kerja: (Effendi & Pasaribu, 2009)
1. Diuretik yang bekerja pada tubulus proksimalis
a. Carbonic anhydrase inhibitor: asetazolamid (Diamoks)
b. Phosphodiesterase inhibitor: teofilin (diduga diperantai cyclic
adenosine monophosphat)
2. Diuretik yang bekerja pada loop of henle
Sodium-pottasium chloride inhibitors: bumetanid (Bumeks), ethacrynic
acid (Edecrin), furosemid (Lasix)
3. Diuretik yang bekerja pada tubulus kontortus distal
Sodium chloride inhibitors: klortalidon (Higroton), hidroklorotiazid
(Esidriks), metolazon (Diulo)
4. Diuretik yang bekerja pada cortical collecting tubule
a. Antagonisaldosteron: spirono lakton (Aldakton)
b. Sodium channel blokers: amilorid (Midamor), triamterene (Direnium)

Pada pemberian furosemid oral, jumlah yang diabsorbsi berkisar 10-80%


(rata-rata 50%), sementara bumetanide dan torsemide diabsorbsi hampir sempurna
yaitu berkisar 80-100%. Diuretik golongan tiazid dan hidroklorotiiazid dieksresikan
ke urin dalam bentuk tidak berubah. Pemberian diuretik juga harus
mempertimbangkan waktu paruh dari diuretik tersebut, golongan tiazid memiliki
waktu paruh yang panjang sehingga dapat diberikan satu kali atau dua kali sehari,
sementara loop diuretic seperti bumetanid mempunyai waktu paruh satu jam,
torsemid 3-4 jam sehingga pemberiannya harus lebih sering. Efek dari loop diuretic
dapat menghilang segera, kemudian ginjal mulai mereabsorbsi natrium dan
meniadakan efek dari diuretik. Proses ini disebut post diuretik sodium chloride
retention. Sehingga restriksi natrium sangat penting bagi pasien yang mendapat
loop diuretic. (Effendi & Pasaribu, 2009)

Daftar Pustaka
Effendi, I., & Pasaribu, R. (2009). Edema Patofisiologi dan Penanganannya. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid I , 515-518.

Sloane, E. (2003). Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.

Trayes, K. P., Studdiford, J. S., Pickle, S., & Tully, A. S. (2013). Edema: Diagnosis
and Management. American Family Physician, 88(2), 102-110.

Pengkajian Tambahan:
- Lama terjadinya edema
- Perubahan suhu, warna kulit dan tekanan pada bagian edema

You might also like