You are on page 1of 9

MANFAAT SENG BAGI IMUNITAS TUBUH

Sugeng Wiyono, SKM, M.Kes


Lektor Kepala Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes R.I Jakarta II

Seng atau zink (Zn) adalah mineral penting yang ikut membentuk lebih dari 300
enzim dan protein. Seng terlibat dalam pembelahan sel, metabolisme asam nukleat, dan
sintesis protein. Seng membantu kerja beberapa hormon termasuk hormon kesuburan, juga hormon
yang diproduksi oleh kelenjar di otak, tiroid, adrenal, dan timus. Seng lebih banyak terakumulasi
dalam tulang dibanding dalam hati merupakan organ utama penyimpan mineral mikro.
Jumlah terbanyak terdapat dalam jaringan epidermal (kulit, rambut,dan bulu), dan sedikit
dalam tulang, otot, darah, dan enzim. Seng merupakan komponen penting dalam enzim,
seperti karbonik-anhidrase dalam sel darah merah serta karboksi peptidase dan dehidrogenase
dalam hati. Seng juga sebagai salah satu komponen dalam jaringan tubuh, seng termasuk zat
gizi mikro yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara kehidupan, meski dalam jumlah yang
sangat kecil. Dari segi fisiologis, seng berperan untuk kekebalan, pertumbuhan dan
pembelahan sel, anti-oksidan, perkembangan seksual, seluler, adaptasi gelap, pengecapan,
serta nafsu makan.
Dari segi biokimia, seng sebagai komponen dari 200 macam enzim berperan dalam
pembentukan dan konformasi polisome, sebagai stabilisasi membran sel, sebagai ion bebas
ultra seluler, dan berperan dalam jalur metabolisme tubuh. Peranan terpenting seng bagi
makhluk hidup adalah untuk pertumbuhan dan pembelahan sel, sebab seng berperan pada
sintesis dan degradasi karbohidrat, lemak, protein, asam nukleat, dan pembentukan embrio.
Dalam hal ini, seng dibutuhkan untuk proses percepatan pertumbuhan, menstabilkan struktur
membran sel dan mengaktifkan hormon pertumbuhan. Seng juga berperan dalam sistem
kekebalan tubuh dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pada
defisiensi seng ditemukan limfopensi, menurunnya konsentrasi dan fungsi limfosit T dan B.
Selain itu, seng juga berperan dalam berbagai fungsi organ, misalnya keutuhan penglihatan
yang merupakan interaksi metabolisme antara seng dan vitamin A. Gejala rabun senja pada
defisiensi seng berkaitan pula dengan deplesi dehidrogenase retinal dan retional, akibat
gangguan keutuhan retina yang dipengaruhi oleh mineral seng. WHO menyatakan Indonesia
berisiko tinggi kekurangan asupan seng karena umumnya hanya mengonsumsi 50% dari angka
kecukupan gizi. Sebagai antioksidan kuat, seng mampu mencegah kerusakan sel dan

1
menstabilkan struktur dinding sel. Seng berperan dalam proses penyembuhan luka dengan
cara merangsang pembentukan dan pemindahan sel kulit ke daerah luka.

Berapa banyak seng yang dibutuhkan?


Menilai banyaknya seng yang dibutuhkan seseorang adalah sangat penting karena mencakup
banyak faktor yang harus diperhitungkan. Seng tersebar dalam semua organ, jaringan dan
cairan tubuh. Orang dewasa laki-laki dengan berat badan 70 kg mengandung 2 - 3 g seng;
deposito terbesar terdapat dalam otot dan tulang. Kebutuhan seng fisiologis yang sebenarnya
adalah banyaknya seng yang harus diabsorpsi untuk menggantikan pengeluaran endogen,
pembentukan jaringan, pertumbuhan dan sekresi susu. Jadi kebutuhan seng fisiologis
tergantung dari usia dan status fisiologis seseorang.

Penyerapan seng pada individu sehat bervariasi antara 2 - 41% tergantung dari jenis
akanannya. Nilai absorpsi yang rendah terdapat dalam bahan makanan yang banyak
mengandung sereal, sedangkan yang tinggi berasal dari daging, susu dan produk-produk
kacang kedelai. Absorpsi seng sebagian besar terjadi di duodenum dan yeyunum proksimal.
Sel mukosa usus halus dapat menyekresi seng ke dalam usus halus atau menyerap seng dan
menyalurkannya ke dalam darah. Seng dalam plasma diangkut oleh albumin (60 - 70%) dan
α2 makroglobulin (30-40%). Sejumlah kecil diangkut oleh transferin dan asam amino bebas.
Seng sebagian besar disekresi dalam getah pankreas dan sedikit dalam empedu; jadi feses
merupakan jalan utama ekskresi seng. Molekul kecil yang membantu absorpsi atau sekresi
seng dikenal sebagai metallothioneine. Pengeluaran seng melalui saluran cerna besarnya 1-2
mg/hari, urine 0,1 - 0,9 mg/24 jam; 0,5 - 1,5 mg/hari melalui keringat, kuku, kulit dan rambut
(11,18). Kebutuhan seng harus memperhitungkan bioavailability dari bahan makanan yang
mengandung seng. Yang dimaksud dengan bioavailability seng adalah efek dari setiap proses;
baik fisik, kimia maupun fisiologis yang berpengaruh terhadap jumlah seng yang diserap dari
bahan makanan sampai menjadi bentuk biologis yang aktif untuk dapat dimanfaatkan bagi
kebutuhan fungsional.(21). Komponen makanan berperan penting terhadap bioavilability seng
karena adanya interaksi antara seng dan komponen-komponen makanan lainnya. Beberapa zat
seperti asam sitrat, asam palmitat dan asam pikolinik dapat meningkatkan penyerapan seng;
sedangkan fitat (inositol heksafosfat) dan serat (selulosa) menghambat absorpsi seng. Salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap bioavailability seng adalah kebutuhan sistemik. Pada
diet yang tidak adekuat tubuh menyesuaikan kebutuhan seng dengan mengubah seng yang
endogen. Keseimbangan (homeostasis) seng dalam tubuh tergantung pada absorpsi dan
ekskresi. Ekskresi seng akan menurun pada defisiensi seng. (19). Dengan demikian kebutuhan

2
tubuh akan seng tergantung pada pengaturan diet yang adekuat agar dapat menyediakan seng
bagi keperluan berbagai proses metabolisme dalam tubuh. Berbagai bahan makanan yang
merupakan sumber seng dapat di lihat pada tabel 2 di bawah ini.

Defisiensi Seng
Faktor lain yang dapat menimbulkan defisiensi seng adalah : 1).Pemasukan seng yang
kurang, 2). Absorbsi seng berkurang, 3). Pengeluaran seng yang berlebihan, 4).Utilisasi seng
berkurang, 5). Kebutuhan seng yang meningkat, 6). Kurangnya nafsu makan disertai dengan
penurunan berat badan, rabun senja, dan mudah terinfeksi, 7). Pengecapan dan penciuman
juga bisa terganggu karena sel-sel perasa rusak akibat berkurangnya enzim karbonik
anhidrase. Enzim hanya bisa terbentuk kalau ada seng, 8). Terhambatnya pertumbuhan, 9).
Kekurangan hormon kesuburan (hipogonadisme) dan 10). Melambatnya penyembuhan luka.
Tabel Gejala Klinis Defisiensi Seng
Defisiensi seng ringan Defisiensi seng berat
 Oligospermi  Alat-alat kelamin mengecil
 Dermatitis  Infeksi
 Pertumbuhan terhambat  Diare
 Penyembuhan luka terhambat  Perubahan neurologis
 Gangguan adaptasi gelap  Kematian
 Perubahan emosi

Pertumbuhan anak di usia balita merupakan hal yang menentukan perkembangan fisik
dan mental serta keberhasilan di usia selanjutnya. Pola makan bergizi seimbang pada usia ini
sangat penting, bukan hanya untuk perkembangan fisik, tetapi juga perkembangan
kecerdasaanya (Kurniasih,dkk, 2010). Namun, anak usia di bawah lima tahun (balita)
merupakan kelompok usia yang rentan terhadap gizi dan kesehatan. Pada masa ini daya tahan
tubuh anak masih belum kuat, sehingga risiko anak menderita penyakit infeksi lebih tinggi.
Penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak balita diantaranya adalah penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut atau ISPA (Harsono, 1999 dalam Maitatorum 2009). Disamping itu,
anak juga sering mempunyai kebiasaan makan yang buruk yaitu anak sering tidak mau makan
atau nafsu makan menurun, sehingga menyebabkan status gizinya menurun dan pada akhirnya
anak rentan terhadap suatu penyakit infeksi (Soetjiningsih, 1997).
Menurut studi longitudinal yang dilakukan oleh Yoon et al. (1997) pada anak dibawah
dua tahun di Metro Cebu-Philipina menyatakan bahwa terdapat pengaruh status gizi terhadap
kematian anak di bawah dua tahun. Penurunan berat badan anak akan meningkatkan 1,7 kali
risiko terjadinya ISPA (Yon et al, 1997 dalam Maitatorum, 2009). Kurang gizi pada anak akan

3
menyebabkan penurunan reaksi kekebalan tubuh yang berarti kemampuan untuk
mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Hal inilah yang menyebabkan
anak sangat potensial terkena penyakit infeksi seperti ISPA (Siswatiningsih, 2001 dalam
Maitatorum, 2009).
Selain seng sebagai zat gizi mikro, salah satu zat gizi makro yang lebih berpengaruh
terhadap sistem imun adalah protein. Penelitian lain yang dilakukan oleh Scrimshaw et.al
(1997) juga menyatakan bahwa asupan protein berpengaruh terhadap formasi antibodi,
penurunan serum imunoglobulin, penurunan secretory imunoglobulin A, penurunan fungsi
thymic dan kelenjar limfosit. Sedangkan zat gizi mikro yang paling berpengaruh tehadap
sistem imun adalah seng. Penelitian yang dilakukan oleh The Seng Against Plasmodium Study
Group (2002), menyatakan bahwa ada hubungan antara pemberian suplementasi seng
terhadap kejadian penyakit infeksi akut pada anak-anak. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Scrimshaw et.al (1997) juga menyatakan bahwa adanya hubungan antara asupan seng
terhadap sistem imunitas, yaitu berpengaruh terhadap limfosit dan fagositosit fungsi sel
(Maitatorum, 2009). Konsentrasi seng pada serum pada manusia akan rendah jika sedang
menderita infeksi. Konsentrasi seng yang rendah juga berakibat pada menurunnya daya tahan
tubuh, hingga keadaan defisiensi seng memudahkan timbulnya berbagai penyakit infeksi
(Pudjiadi, 1990). Selain seng, zat gizi mikro yang tidak kalah pentingnya terhadap sistem
imunitas adalah vitamin A. Defisiensi vitamin A merupakan masalah kesehatan yang nyata
pada balita. Selain untuk mencegah kebutaan, vitamin A berpengaruh pada fungsi kekebalan
tubuh (Almatsier, 2004). Sommer 1990 dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada anak-
anak yang menderita xerophtalmia mengalami risiko yang lebih tinggi terhadap penyakit
infeksi saluran pernafasan daripada yang tidak menderita xerophtalmia (Subowo, 2010)

Pengertian ISPA
Penyakit infeksi saluran pernafasan di Indonesia masih tergolong dalam penyakit utama
penyebab kematian. ISPA (Infeksi saluran Pernafasan Akut) merupakn salah satu penyebab
utama dari tingginya angka kematian dan angka kesakitan pada balitadan bayi di Indonesia.
Dalam Pelita IV penyakit tersebut mendapat prioritas tinggi dalam bidang kesehatan.
(Depkes, 1998 dalam Permatasari, 2009).
ISPA merupakan padanan dari Acute Respiratory Infection. Istilah ISPA mengandung
tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. (Ditjen PPM & PLP, 1995 dalam Lestari,
2001). Yang dimaksud dengan infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke
dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga manimbulkan gejala penyakit. Infeksi
4
saluran pernafasan akut (ISPA) mencakup infeksi akut sepanjang saluran pernafasan mulai
dari hidung sampai alveoli serta adneksanya, seperti ruang telinga tengah, sinus paranasalis
dan rongga pleura. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari
(Musgamy, 1996).
Insiden ISPA pada anak di negara berkembang maupun negara maju tidak berbeda, tetapi
jumlah angka kesakitan di negara berkembang lebih banyak. Berbagai laporan menyatakan
bahwa ISPA pada anak merupakan penyakit yang paling sering diderita pada anak, mencapai
kira-kira 50% dari semua penyakit balita. Umumnya infeksi mengenai saluran pernafasan
bagian atas (ISPA non pneumonia), hanya kurang dari 5% yang mengenai saluran pernafasan
bagian bawah (Permatasari, 2009).
Klasifikasi ISPA
Berdasarkan lokasi anatomi tubuh manusia, ISPA dikelompokan menjadi 2, yaitu :
a. Infeksi saluran pernafasan akut bagian atas adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai
struktur-struktur saluran nafas disebelah atas laring. Kebanyakan penyakit saluran nafas
mengenai bagian atas dan bawah secara bersama-sama atau berurutan, tetapi beberapa di
antaranya melibatkan bagian-bagian spesifik saluran nafas secara nyata. Yang tergolong
Infeksi Saluran Nafas Akut (ISPA) bagian atas diantaranya adalah : Nasofaringitis akut
(selesma), Faringitis Akut (termasuk Tonsilitis dan Faringotosilitis) dan rhinitis.
b. Infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah. Dinamakan sesuai dengan organ saluran
nafas mulai dari bagian bawah epiglottis sampai alveoli paru, misalnya, trakhetis,
bronchitis akut, pneumonia dan sebagainya (WHO, 2003).

Tanda dan Gejala ISPA


Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan
gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih
berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin
meninggal. Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda
laboratoris. Tanda-tanda klinis tersebut antara lain: 1). Pada sistem respiratorik adalah:
tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis,
suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing. 2). Pada sistem cardial
adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan cardiac arrest. 3). Pada sistem
cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil bendung, kejang dan
koma. 4). Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak. Sedangkan sebagai tanda-

5
tanda laboratoris adalah : 1).hypoxemia, 2). hypercapnia dan 3). acydosis (metabolik dan atau
respiratorik) (Depkes, 2001).

Faktor Risiko ISPA


Kejadian ISPA berada pada 10 penyakit terbesar yang sering diderita oleh bayi dan balita.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian ISPA, yaitu :
a. Kondisi Fisik Rumah, rumah yang tidak memiliki cukup aliran udara bersih dan
penghuninya sering menghisap asap dapur atau asap rokok yang terkumpul dalam rumah
akan mudah terkena ISPA. Ada Hubungan pula antara rumah yang terlalu sempit dengan
kejadian penyakit, khususnya penyakit infeksi. (Notoatmodjo,2003)
b. Status Gizi, keadaan gizi yang buruk juga merupakan faktor risiko yang penting untuk
ISPA. James (1972), membandingkan antara kelompok bayi dan anak balita yang gizinya
kurang dengan kelompok yang gizinya normal, dan didapatkan bahwa risiko ISPA pada
anak yang gizinya kurang adalah 19 kali. Selain itu dia membandingkan 83 anak balita
gizi buruk dengan 54 balita normal dan mendapatkan bahwa durasi ISPA meningkat secara
bermakna dari 10,9 hari untuk anak normal menjadi 14,5 hari untuk anak yang beratnya
kurang (Sutrisna, 1993 dalam Musgamy, 1996).
Hadirnya penyakit infeksi pada tubuh anak akan membawa pengaruh terhadap keadaan
gizi anak. Adanya infeksi mengakibatkan penghancuran jaringan tubuh, baik oleh bibit
penyakit itu sendiri maupun penghancuran untuk memperoleh protein yang diperlukan
untuk pertahanan tubuh. (Moehji, 1988). Dalam keadaan gizi yang buruk maka reaksi
kekebalan tubuh akan menurun. Gizi buruk mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap
produksi zat kekebalan di dalam tubuh. Penurunan produksi zat kekebalan akan
mengakibatkan mudahnya bibit penyakit masuk ke dalam tubuh. (Moehji, 1988)
Pada penelitian Ramdani (2011) diperoleh data bahwa 53,4% balita ISPA mengalami
defisiensi protein, baik defisiensi ringan, sedang maupun berat. Sedangkan 70% balita
yang tidak ISPA memiliki asupan protein yang normal. (Ramdani, 2011
c. Asupan Seng
Seng berperan dalam fungsi kekebalan, yaitu dalam fungsi sel T dan dalam pembentukan
antibodi oleh sel B (Almatsier, 2004). Di Indonesia, data defisiensi seng masih terbatas.
Sejauh ini belum dijumpai penelitian seng dalam skala besar di Indonesia. Hal ini
disebabkan rentannya kontaminasi penanganan spesimen sejak persiapan, pelaksanakan
dan pemrosesan baik di lapangan maupun di laboratorium untuk penentuan seng. Secara

6
keseluruhan, sekitar 800.000 anak yang meninggal per tahun berkaitan dengan defisiensi
seng (Ramdani, 2011).
Salah satu penelitian tentang seng dilakukan oleh Bhandari el al, menemukan bahwa
suplementasi seng secara rutin dapat menurunkan insiden pneumonia. Tetapi sebelum
diberikan suplementasi seng, pada awal penelitian anak juga diberikan vitamin A dosis
tinggi sehingga penerunan insiden pneumonia ini mungkin disebabkan oleh vitamin A
tersebut (Bhandari,dkk, 2002 dalam Sudiana, 2005). Gangguan fungsi imunitas terjadi
diantaranya karena defisiensi seng yang akhirnya mengakibatkan kerentanan terhadap
infeksi, termasuk ISPA. (Shankar,dkk, 1998 dalam Sudiana, 2005). Berdasarkan penelitian
Sudiana (2005) diperoleh kesimpulan bahwa anak-anak yang tidak diberikan suplementasi
seng memiliki risiko dua kali terkena ISPA, namun suplementasi ini tidak berpengaruh
terhadap lama ISPA. Suplementasi seng menurunkan kejadian ISPA sebesar 38% (Sudiana,
2005).
d. Status Imunisasi DPT
ISPA merupakan penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi DPT. Vaksin DPT
lebih efektif dalam melindungi terhadap penyakit daripada melindungi dari infeksi. Infeksi
alam memberikan kekebalan mutlak terhadap ISPA selama masa kanak-kanak, sedangkan
perlindungan akibat imunisasi kurang lengkap karena masih ditemukan ISPA pada anak
yang telah mendapat imunisasi engkap walaupun dengan gejala ringan (Masdelina, 2007).
******************

Daftar Pustaka
1. Adhi, et al., Perbedaan Kadar Seng Serum dan Kadar C-Reactive Protein pada Anak
Balita dengan Kadar Serum Retinol Normal dan Tidak Normal (Jakarta: Jurnal Gizi Klinik
Indonesia, 2010).

2. Almatsier, S, Prinsip dasar Ilmu Gizi (Jakarta: Gramedia, 2004).

3. Depkes RI, Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA (Jakarta, 2001)

4. Depkes RI, Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Banten tahun 2007 (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dekes RI, 2009).

5. Hananto, A, et al, Uji Sensitifitas secara In Vivo dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Resistensi Plasmodium Falciparum Terhadap Klorokuin (Studi di Kintap Kabupaten Tanah
Laut Provinsi Kalimantan Selatan ( Yogyakarta : Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Gajah Mada, 2001).
7
6. Kaswadi, Hubungan Unsur-Unsur Lingkungan Fisik Perumahan dengan Insiden Diare
dan ISPA Balita di Jawa Timur Tahun 1992, Skripsi (Depok: FKM Universitas Indonesia,
1995).

7. Kurniasih, et al., Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang (Jakarta: Gramedia, 2010).

8. Lestari, S, Hubungan Kondisi Kesehatan Lingkungan Rumah dengan Kesakitan ISPA di


Kecamatan Setiabudi – Jakarta Selatan, Skripsi (Depok: FKM Universitas Indonesia,
2001).

9. Maitatorum, E, Hubungan Status Gizi, Asupan Protein dan Asupan Seng dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Anak Balita di RW VII
Kelurahan Sewu Kecamatan Brebes Kora Surakarta, skripsi sarjana (Surakarta: FKM
Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2009).

10. Masdelina, Hubungan kejadian ISPA dan Faktor lain dengan Status Gizi Balita di
Puskesmas Karawaci Baru Kota Tangerang, Skripsi (Jakarta : Fakultas Ilmu-Ilmu
Kesehatan Universitas Esa Unggul, 2007).

11. Musgamy, HA, Efek Pemberian Ampisilin Terhadap ISPA Non Pneumonia Pada Balita
Kekurangan Gizi (Depok: FKM Universitas Indonesia, 1996).

12. Notoatmodjo,S, Ilmu Kesehatan Masyarakat (Jakarta : Rineka Cipta, 2003).

13. Permatasari, C, Faktor Risiko Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Ringan,
Skripsi ( Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009).

14. Pudjiadi, S, Ilmu Gizi Klinis pada Anak (Jakarta: DSAK, 1990).

15. Ramdani, F, Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada Balita ISPA dan Tidak ISPA di
Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat, Skripsi ( Bogor : Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, 2011).

16. Soetjiningsih, ASI : Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan (Jakarta: EGC, 1997).

17. Subowo, Imunologi Klinik (Jakarta: Sugeng Seto, 2010).

18. Sudiana, NI, Pengaruh Suplementasi Seng terhadap Morbiditas Diere dan Infeksi
Saluran Pernafasan Akut pada Anak Umur 6 bulan sampai 2 Tahun, (Semarang: Program
Pendidikan Dokter Spesialis 1 Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2005).

19. Yunita, Ria; Perbedaan Status Gizi, Asupan Protein, Seng dan Vitamin A Antara
Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Non Pneumonia Dan Tidak Ispa Pada
Balita Di Rw 06 Kelurahan Cempaka Putih Kecamatan Ciputat Timur Tangerang
Selatan, Program Studi Ilmu Gizi FIKes Universitas Esa Unggul (Skripsi), Jakarta, 2011

20. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi; Angka Kecukupan Gizi; Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 2004

8
21.

You might also like