You are on page 1of 5

Nama Anggota Kelompok 2 :

Mariatul Qiftiyah (P17221171011)

Maulidyah Rahmawati (P17221171012)

Alvian Aditya Permata Arifin (P17221171013)

Angelicca Sunja (P17221171014)

Dea Septiawati (P17221172015)

Aprilia Rachim (P17221172016)

Varida Suparno (P17221173017)

Mar’atus Silmiah (P17221173018)

Sisca Nofiyanti Setya Rahayu (P17221173019)

Muhammad Naufal Rizaldi (P17221173020)

BUKAN KASUS YANG PERTAMA KALI, BERIKUT


BEBERAPA ANAK MENINGGAL DUNIA USAI
MELAKUKAN IMUNISASI!
Selasa, 14 November 2017 12:03

TRIBUNSUMSEL.COM - Imunisasi adalah program pencegahan penyakit menular yang


diterapkan dengan memberikan vaksin sehingga orang tersebut imun atau resisten terhadap
penyakit. Program imunisasi dimulai sejak usia bayi hingga masuk usia sekolah. Tapi lain hal
nya yang dialami oleh anak malang tersebut. Sedih bukan kepalang dirasakan Junianto dan
Meisyah, mereka harus kehilangan anak sulung mereka, Jumiarti (9) tak lama setelah mendapat
imunisasi massal di sekolah. Jumiarti mengalami kelumpuhan, dan setelah dirawat tiga hari di
rumah sakit Muhammadiyah Palembang (RSMP), bocah perempuan ini meninggal dunia.

Peristiwa ini tidak diduga-duga oleh orangtua Jumiarti, pasalnya sebelum mendapatkan
imunisasi pada Jumat (10/11/2017) anak mereka dalam keadaan sehat. "Hari jumat itu, anak saya
bangunnya pagi jam 5 subuh. Dia semangat sekali katanya akan ada imunisasi di sekolah," kata
Meisyah saat dikunjungi di RSMP menunggui anaknya. Kejadian ini bukan yang pertama kali,
kejadian serupa juga menimpa didaerah lain. berikut informasi yang serupa,

Pertama beberapa waktu lalu warga Kelurahan Jogoyudan, Lumajang, Jawa Timur. Ia baru saja
kehilangan anak sulungnya, Safira Faradika (11). Menurut sang ayah, Agus Suroso, Faradika
meninggal dunia sehari setelah mengikuti imunisasi rubella di sekolah. Sebelum diimunisasi,
diakui Agus, Safira tidak masuk sekolah karena sakit demam. Kedua, Dimas, balita berusia 4
tahun warga Dusun Besole Desa RT 1 RW 3 Desa Darungan, Kecamatan Kademangan,
Kabupaten Blitar meninggal pasca diimunisasi MR.

Informasi dari beberapa warga sekitar tempat tinggalnya, Dimas dikabarkan meninggal 7 hari
lalu. Balita itu mengalami demam tinggi selama tiga hari. Keluarganya lalu membawanya ke RS
Aminah di Kota Blitar hingga akhirnya jiwanya tak tertolong.

Ketiga, Razqa Al Khalifi Pamuji, bayi berusia lima bulan, mengembuskan napas terakhirnya di
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur.kematian
Razqa. Agung Pamuji (25), ayah Razqa, warga Kelurahan Kalisari, Kecamatan Pasar Rebo,
Jakarta Timur, menuturkan, Razqa dalam kondisi sehat saat dibawa untuk ikut suntik imunisasi
DPT 3 di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Rabu (11/5/2016) lalu setelah suntik imunisasi
DPT 3 dilakukan pada pagi hari, Razqa mengalami demam tinggi pada sore hari.

Demam tinggi itu disebut biasa terjadi seusai imunisasi sehingga pihak Puskesmas Kecamatan
Pasar Rebo membekali Razqa obat puyer untuk demam.(Tribunsumsel.com/Abu Hurairah)

Artikel ini telah tayang di Tribunsumsel.com dengan judul Bukan Kasus Yang Pertama Kali,
Berikut beberapa Anak Meninggal Dunia Usai Melakukan
Imunisasi!, http://sumsel.tribunnews.com/2017/11/14/bukan-kasus-yang-pertama-kali-berikut-
beberapa-anak-meninggal-dunia-usai-melakukan-imunisasi?page=all
Penulis: Gen Milenial
Editor: Mochamad Krisnariansyah
Tanggapan dari kasus di atas :

Dalam kasus diatas, termasuk kedalam kasus yang berat dikarenakan sampai
menyebabkan kematian pada anak. Selama ini, persepsi awam dan juga kalangan petugas
menganggap semua kelainan dan kejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi
alergi terhadap vaksin. Akan tetapi, telah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Comittee, Institute of
Medicine (IOM) United State of America (USA), menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi
secara kebetulan saja (koinsidensi). Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah
akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (programmatic errors). (Akib, 2011)

Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (KN PP KIPI), KIPI
adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi.

KIPI adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa reaksi
vaksin, reaksi suntikan, efek farmakologis, kesalahan prosedur, koinsiden atau hubungan kausal
yang tidak dapat ditentukan. (Akib, 2011; Kemenkes RI, 2013)

KIPI serius merupakan kejadian medis setelah imunisasi yang tak diinginkan yang
menyebabkan rawat inap atau perpanjangan rawat inap, kecacatan yang menetap atau signifikan
dan kematian, serta menimbulkan keresahan di masyarakat. (Kemenkes, 2013)
Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan (KomNas-PP) KIPI mengelompokkan
etiologi KIPI dalam 2 (dua) klasifikasi, yaitu klasifikasi lapangan (untuk petugas di lapangan)
dan klasifikasi kausalitas (untuk telaah Komnas KIPI). (Kemenkes RI, 2013)
Risiko KIPI selalu ada pada setiap tindakan imunisasi. Komda KIPI dibentuk di provinsi
guna menjalin kerja sama antara pakar terkait, instansi kesehatan, dan pemerintah daerah
setempat, sesuai dengan otonomi daerah. Apabila tidak ditemukan kasus KIPI, maka setiap 6
bulan (Juli dan Desember) Dinas kesehatan kabupaten/kota harus melapor nihil (zero report).
(Menkes, 2005)
Untuk kasus KIPI dengan reaksi yang ringan, seperti reaksi lokal, demam, dan gejala-
gejala sistemis yang dapat sembuh sendiri, tidak perlu dilaporkan. Reaksi lokal yang berat
(seperti pembengkakan hingga ke sendi yang paling dekat; nyeri; kemerahan pembengkakan
lebih dari 3 hari; atau membutuhkan perawatan di rumah sakit), terutama jika ditemukan kasus
berkelompok sebaiknya dilaporkan. Kejadian reaksi lokal yang mengalami peningkatan
frekuensi, walaupun tidak berat, juga sebaiknya dilaporkan. Kasus ini bisa menjadi pertanda
kesalahan program atau menjadi masalah untuk batch vaksin tertentu. (Kemenkes, 2005) Jika
ada keraguan apakah suatu kasus harus dilaporkan atau tidak, sebaiknya dilaporkan, agar
mendapat umpan balik positif apabila kasus tersebut dilaporkan.
KN PP KIPI membagi penyebab KIPI menjadi 5 kelompok faktor etiologi menurut
klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:
1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors) Sebagian kasus KIPI
berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi
kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin.
Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
 Dosis antigen (terlalu banyak)
 Lokasi dan cara menyuntik
 Sterilisasi semprit dan jarum suntik
 Jarum bekas pakai
 Tindakan aseptik dan antiseptik
 Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
 Penyimpanan vaksin
 Pemakaian sisa vaksin
 Jenis dan jumlah pelarut vaksin
 Tidak memperhatikan petunjuk produsen
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat
kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun
tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa
sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak
langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.

3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)


Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih
dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan.
Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik
dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan
tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra,
indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya
termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan
ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

4. Faktor kebetulan (koinsiden)


Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja
setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian
yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik
serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.

5. Penyebab tidak diketahui


Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah
satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil
menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan
dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.

You might also like