Professional Documents
Culture Documents
Pemerintah daerah harus mengalokasikan belanja daerah secara adil dan merata
agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi,
khususnya dalam pemberian pelayanan umum. Oleh karena itu, untuk dapat
mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran, maka dalam perencanaan
anggaran belanja perlu diperhatikan (1) Penetapan secara jelas tujuan dan sasaran,
hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; (2) Penetapan prioritas
kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional.
Belanja daerah adalah semua kewajiban pemda (pemerintah daerah) yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih (ekuitas dana) dalam periode tahun
anggaran yang bersangkutan. Makna pegeluaran belanja berbeda dengan
pengeluaran pembiayaan. Pemda tidak akan mendapatkan pembayaran kembali atas
pengeluaran belanja yang telah terjadi, baik pada tahun anggaran berjalan maupun
pada tahun anggaran berikutnya. Sedangkan pengeluaran pembiayaan merupakan
pengeluaran yang akan diterima kembali pembayarannya pada tahun anggaran
berjalan atau pada tahun anggaran berikutnya.
belanja daerah baru mencakup dana perimbangan, yang terdiri dari dana bagi hasil
(DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Namun, seiring
dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua, maka sejak tahun 2002, alokasi anggaran belanja
daerah juga mencakup dana otonomi khusus untuk Provinsi Papua, dan dana
penyeimbang/penyesuaian untuk daerah-daerah yang menerima DAU lebih kecil dari
tahun sebelumnya. Selain itu, sejak tahun 2003, DAK juga diperluas cakupannya
menjadi DAK dana reboisasi (DAK DR), dan DAK non-dana reboisasi (DAK Non-DR).
Dilihat dari daya serap anggarannya, realisasi anggaran belanja daerah setiap
tahunnya mengalami peningkatan. Dalam tahun 2003, realisasi belanja daerah
mencapai Rp120,3 triliun (5,9 persen terhadap PDB), sedangkan dalam tahun 2004
realisasi belanja daerah menjadi Rp129,7 triliun (5,6 persen terhadap PDB), atau
mengalami peningkatan 7,8 persen. Selanjutnya, dalam tahun 2005, realisasi belanja
daerah diperkirakan mencapai Rp149,6 triliun (5,7 persen terhadap PDB) atau
meningkat sebesar 15,3 persen dari realisasinya dalam tahun sebelumnya.
Peningkatan alokasi anggaran belanja daerah ini antara lain berkenaan dengan lebih
tingginya penerimaan dalam negeri, yang membawa konsekuensi pada lebih
tingginya DBH, DAU, dan DAK DR. Selain itu, peningkatan alokasi anggaran belanja
ke daerah tersebut juga berkaitan dengan adanya penyesuaian persentase DAU,
yaitu semula 25 persen dari penerimaan dalam negeri (PDN) neto hingga tahun
2003, menjadi 25,5 persen dari PDN neto dalam tahun 2004 dan tahun 2005.
Struktur belanja yang digunakan dalam penyusunan APBD sampai dengan APBD
T.A. 2006 masih mengacu kepada Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Sementara itu,
laporan realisasi APBD T.A. 2006 tersebut harus mengacu pada Standar Akuntansi
Pemerintahan (PP No. 24 Tahun 2005). Oleh karena itu, perlu dipahami bagaimana
teknik mengonversi dari struktur belanja versi Kepmendagri 29/2002 ke versi Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Tabel 7.1
154 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia
C. Belanja Modal
b.1 B. Belanja Modal:
· Belanja Aset Tetap b.2 b.1 Belanja Aset Tetap
· Belanja Aset Lainnya b.2 Belanja Aset Lainnya
D. Belanja Bagi Hasil dan Bantuan
Keuangan a.7
· Bagi hasil a.4
· Subsidi a.6
· Bantuan keuangan/sosial a.5
· Hibah
C C. Belanja Lain-lain/Tak Terduga
E. Belanja Tidak Tersangka
Klasifikasi Ekonomi
Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan
aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal
meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan,
peralatan, dan aset tak berwujud.
Belanja bagi hasil. Digunakan untuk menganggarkan dana yang bersumber dari
pendapatan provinsi yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota atau pendapatan
kabupaten/kota yang dibagihasilkan kepada pemerintah desa sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Belanja bantuan keuangan/sosial. Digunakan untuk menganggarkan pemberian
bantuan berupa uang kepada pemerintah, pemerintah daerah lainnya, pemerintah
desa, badan/lembaga/organisasi sosial kemasyarakatan, partai politik dan organisasi
profesi. Belanja bantuan keuangan provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau kepada
pemerintah desa atau bantuan keuangan kabupaten/kota kepada pemerintahan desa
atau bantuan keuangan kabupaten/kota kepada pemerintah desa dapat
dikelompokkan ke dalam bantuan bersifat umum (block grant) atau bantuan bersifat
khusus (specific grant). Bantuan keuangan bersifat umum merupakan bantuan yang
penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada penerima bantuan.Bantuan
keuangan bersifat khusus merupakan bantuan yang diberikan kepada
kabupaten/kota/pemerintahan desa tertentu yang pedoman penggunaannya dapa
ditetapkan dalam peraturan kepala daerah sesuai dengan prioritas
provinsi/kabupaten/kota atau sesuai dengan usulan kabupaten/kota/ pemerintahan
desa yang membutuhkan.
Belanja modal. Digunakan untuk menganggarkan kegiatan yang menambah aset
daerah untuk dimiliki dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
kepada masyarakat yang nilai manfaatnya lebih dari 1 (satu) tahun.
Belanja tidak tersangka. Digunakan untuk menganggarkan pengeluaran guna
penanganan bencana alam, bencana sosial atau penyelenggaraan urusan
pemerintah daerah yang sangat mendesak diperlukan dalam rangka penyediaan
sarana dan prasarana pelayanan masyarakat yang dananya belum tersedia atau
tidak cukup tersedia dalam APBD.
Klasifikasi Organsiasi
Klasifikasi menurut organisasi yaitu klasifikasi berdasarkan unit organisasi
pengguna anggaran. Hal ini berarti bahwa belanja daerah disusun berdasarkan
satuan kerja perangkat daerah yang bertindak sebagai pusat-pusat
pertanggungjawaban uang/barang. Klasifikasi belanja menurut organisasi di
pemerintah daerah antara lain belanja Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), Sekretariat Daerah pemerintah provinsi/kabupaten /kota, dinas pemerintah
tingkat provinsi/kabupaten/kota, dan lembaga teknis daerah provinsi/kabupaten/kota.
Klasifikasi Fungsi
Belanja :
§ Pelayanan Umum
§ Ketertiban dan Keamanan
§ Ekonomi
§ Pertanian
§ Kesehatan
§ Pariwisata dan Budaya
§ Pendidikan
Klasifikasi belanja yang baru berdasarkan Permendagri 13/2006 tidak dikenal lagi
pengklasifikasian ke dalam bagian aparatur dan publik, dan juga tidak dikenal
kelompok belanja Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan.
Berikut ini digambarkan perbedaan klasifikasi belanja menurut kedua peraturan
tersebut.
Tabel 7.2
Perbandingan Klasifikasi Belanja Daerah Berdasarkan Dua Peraturan
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 (X) ke (Y) Permendagri No. 13 Tahun 2006
(X) (Y)
F. Belanja Administrasi Umum A. Belanja Tidak Langsung
· Belanja Pegawai a.1* a.1. Belanja Pegawai
· Belanja Barang dan Jasa b.2. a.2. Belanja Bunga
· Bunga a.2 a.3. Belanja Subsidi
· Belanja Perjalanan Dinas b.2 a.4. Belanja Hibah
· Belanja Pemeliharaan b.2 a.5. Belanja Bantuan Sosial
a.6. Belanja Bagi Hasil
G. Belanja Operasi dan Pemeliharaan a.7. Bantuan Keuangan
· Belanja Pegawai b.1 a.7. Belanja Tak Terduga
· Belanja Barang dan Jasa b.2
b.2
· Belanja Perjalanan Dinas
b.2 B. Belanja Langsung
· Belanja Pemeliharaan
b.1. Belanja Pegawai
b.3 b.2. Belanja Barang dan Jasa
H. Belanja Modal
Belanja Daerah 159
*belanja pegawai - belanja tidak langsung (a.1) adalah gaji dan tunjangan untuk PNS, kepala
daerah dan wakil kepala daerah; uang representasi dan tunjangan piminan dan anggota
DPRD. Sedangkan honor-honor PNS dan pegawai honorer masuk ke dalam belanja pegawai -
belanja langsung.
Belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari rekening Bendahara Umum
Daerah. Khusus pengeluaran melalui bendahara pengeluaran, pengakuannya terjadi
pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran tersebut disahkan oleh unit yang
mempunyai fungsi perbendaharaan. Pelaporan belanja pada laporan realisasi APBD
menggunakan basis kas. Hal ini berarti bahwa belanja yang dilaporkan dalam laporan
realisasi APBD adalah jumlah pengeluaran belanja yang sudah dibayarkan kas-nya.
Sedangkan belanja yang terhutang, yaitu belanja yang sudah terjadi tetapi belum
dibayar kas-nya sampai akhir tahun anggaran, akan dilaporkan di neraca sebagai
utang. Sesuai dengan basis akuntansi yang ditentukan dalam SAP bahwa untuk
penyusunan laporan realisasi APBD menggunakan basis kas dan untuk penyusunan
neraca menggunakan basis akrual.
Sesuai dengan pendekatan kinerja yang digunakan dalam penyusunan APBD, setiap
alokasi biaya (belanja) yang direncanakan harus dikaitkan dengan tingkat pelayanan
atau hasil yang diharapkan dapat dicapai. Kinerja pemda dapat diukur melalui
evalausi terhadap pelaksanaan APBD. Selanjutnya untuk mengukur kinerja keuangan
160 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia
Standar analisis belanja (SAB) merupakah salah satu komponen yang harus
dikembangkan sebagai dasar pengukuran kinerja keuangan dalam penyusunan
APBD dengan pendekatan kinerja. SAB adalah standar untuk menganalisis anggaran
belanja yang digunakan dalam suatu program atau kegiatan untuk menghasilkan
tingkat pelayanan tertentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. SAB digunakan
untuk menilai kewajaran beban kerja dan biaya setiap program atau kegiatan yang
akan dilaksanakan oleh unit kerja dalam satu tahun anggaran. Penilaian terhadap
usulan anggaran belanja dikaitkan dengan tingkat pelayanan yang akan dicapai
melalui program atau kegiatan.
Untuk memilah kontribusi belanja terhadap pencapaian prestasi kerja satuan kerja
perangkat daerah, jenis belanja dikelompokkan ke dalam belanja langsung dan
belanja tidak langsung. SAB merupakan hasil penjumlahan belanja langsung dan
belanja tidak langsung yang dialokasikan pada program dan kegiatan yang
bersangkutan. Jumlah tersebut menjadi standar untuk mengevaluasi program atau
kegiatan yang akan dilaksanakan oleh setiap unit kerja berdasarkan tingkat
pencapaian program atau kegiatan yang diharapkan. Seluruh belanja tidak langsung
dan belanja pegawai, belanja barang dan jasa pada belanja langsung merupakan
belanja operasi satuan kerja perangkat daerah.
Program atau kegiatan yang memperoleh alokasi belanja tidak langsung adalah
program atau kegiatan non investasi. Program atau kegiatan non investasi adalah
program atau kegiatan yang tidak menambah aset. Sedangkan program atau
kegiatan investasi, yaitu program atau kegiatan yang menambah aset, tidak
mendapat alokasi belanja tidak langsung. Salah satu teknik untuk mengalokasi
belanja tidak langsung tersebut adalah berdasarkan bobot belanja langsung untuk
setiap kegiatan non investasi, yaitu dengan rumus berikut:
Contoh:
Dalam tahun anggaran 2004 jumlah anggaran belanja tidak langsung adalah Rp
12.000. Data anggaran untuk kegiatan non investasi dalam tahun anggaran tersebut
adalah sebagai berikut:
Maka, kegiatan non investasi ’A’ akan mendapat alokasi belanja tidak langsung
sebesar:
0,20 X Rp 12.000 = Rp 2.400. Dengan demikian total anggaran belanja yang dapat
diatribusikan ke kegiatan non investasi ’A’ adalah:
162 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia
Tolok ukur kinerja merupakan komponen lainnya yang harus dikembangkan untuk
dasar pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja. Tolok ukur
kinerja adalah ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap unit kerja. Tolok ukur
kinerja atau indikator keberhasilan untuk setiap jenis pelayanan pada bidang-bidang
kewenangan diselenggarakan oleh unit organisasi perangkat daerah ditetapkan
dalam bentuk standar pelayanan yang ditetapkan oleh masing-masing pemda.
· Manfaat (benefit) yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat kemanfaatan yang
dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat dan pemda dari hasil yang
dicapai.
· Dampak (impact) yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan dampaknya terhadap
kondisi makro yang ingin dicapai dari manfaat.
Standar Biaya
Pengukuran Output
Pengukuran output merupakan komponen lainnya yang perlu dilakukan untuk dasar
pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja. Dalam kaitannya
dengan ukuran kinerja yang digunakan untuk organisasi-organisasi di sektor publik,
Anthony dan Young (2003) berpendapat sebagai berikut:
”No single overall measure of the performance of a nonprofit organization is
analogous to the profit measure in a for-profit company. The goals of
nonprofit organizations are usually complex and often intangible. The outputs
of such organizations frequently are difficult or imposible to measure”.
Tidak ada ukuran tunggal untuk mengukur kinerja secara umum dari organisasi-
organisasi nirlaba (seperti organisasi pemerintahan), seperti halnya laba yang dapat
dijadikan sebagai ukuran tunggal untuk mengukur kinerja secara umum dari
organisasi-organisasi yang mencari keuntungan (perusahaan). Hal ini disebabkan
antara lain karena tujuan organisasi nirlaba biasanya kompleks dan seringkali tidak
dapat dilihat secara jelas (intangible); output dari organisasi nirlaba sulit diukur atau
bahkan tidak mungkin diukur.
Secara umum, informasi output diperlukan untuk dua tujan: 1) untuk mengukur
efisiensi, yaitu rasio output terhadap input (contoh input adalah biaya atau belanja)
dan 2) untuk mengukur efektivitas, yaitu kesesuaian output aktual yang dihasilkan
dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan oleh organisasi. Di dalam perusahaan,
marjin kotor atau laba bersih dapat digunakan untuk mengukur kedua tujuan tersebut.
Akan tetapi, dalam organisasi nirlaba tidak ada ukuran moneter seperti itu, karena
164 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia
Banyak istilah yang digunakan untuk ukuran output tergantung pada apa yang
ingin diukur. Dalam pembahasan ini, akan diuraikan tiga kategori pengukuran dasar,
yaitu: indikator sosial, ukuran hasil dan ukuran proses.
Indikator Sosial. Merupakan ukuran yang luas atas output yang mencerminkan
pengaruh atau dampak dari pekerjaan suatu organisasi terhadap masyarakat. Akan
tetapi, sedikit sekali indikator sosial yang dapat dikaitkan dengan organisasi tertentu
sebab dalam kebanyakan kasus, kondisi masyarakat dipengaruhi juga oleh kekuatan-
kekuatan lain secara simultan sehingga sulit mengukur kinerja suatu organisasi atau
unit kerja tertentu berdasarkan indikator ini. Sebagai contoh, tingkat kejahatan di
sebuah kota dapat mencerminkan efektivitas organisasi kepolisian dan sistem
pengadilan, tetapi hal ini dipengaruhi juga oleh tingkat pengangguran, kondisi
perumahan/pemukiman, dan faktor-faktor lainnya yang tidak berhubungan dengan
organisasi-organisasi tersebut. Demikian halnya dengan tingkat kematian, sebagian
dipengaruhi oleh kualitas pelayanan atau perawatan kesehatan, tetapi juga
dipengaruhi oleh nutrisi, kebersihan lingkungan, keturunan, dan faktor lain.
Ukuran Hasil. Ukuran hasil berusaha untuk mengekspresikan output dalam suatu
istilah yang berhubungan dengan tujuan organisasi. Ukuran ini cenderung untuk
menghindari kesulitan inheren dalam indikator sosial. Idealnya, tujuan ditetapkan
dalam suatu istilah atau indikator yang terukur, dan ukuran output ditetapkan dalam
istilah atau indikator yang sama. Bila tidak mungkin untuk mengekspresikan tujuan
dalam istilah yang terukur, seperti yang sering terjadi, maka manajemen harus
melakukan spesifikasi tujuan dan mengukur hasil (kemajuan) organisasi dalam
mencapai tujuannya tersebut. Perancangan ukuran hasil yang tepat memberi
kontribusi pada keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Sebagai contoh,
apabila organisasi berorientasi pada klien (pelayanan masyarakat), ukuran hasilnya
harus dihubungkan dengan pelayanan apa yang harus dilakukan untuk kliennya.
Apabila pemerintah memberikan subsidi untuk harga atau biaya sebuah pelayanan
masyarakat, maka klien (masyarakat) akan membayar lebih rendah dibanding
dengan yang seharusnya ia bayar untuk pelayanan yang ia terima. Dengan kata lain,
klien membayar di bawah full cost dari pelayanan yang ia terima. Ada tiga bentuk
dasar subsidi: 1) untuk pelayanan tertentu, 2) untuk klien tertentu, 3) untuk semua
klien (Anthony dan Young, 2003).
Dalamkondisi ini, seorang klien tidak dibebani ongkos yang sama dibanding klien lain
yang menerima pelayanan yang sama atau pelayanan yang dapat diperbandingkan.
Alasan dari subsidi ini adalah untuk memberikan pelayanan pada semua klien yang
memenuhi syarat (berhak), dimana sebagian dari klien mungkin tidak mampu untuk
membayar pada harga normal. Sebagai contoh, sekolah atau universitas memberikan
subsidi pada pelajar tertentu berupa bea siswa, pengurangan biaya pendidikan, atau
bantuan keuangan lainnya.
6) Belanja Pegawai
a) Besarnya penyediaan gaji pokok/tunjangan Pegawai Negeri Sipil Daerah
mempedomani ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 66 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketujuh atas Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri
Sipil;
b) Penganggaran gaji dan tunjangan ketiga belas PNS dan tunjangan jabatan
strukturan/fungsioanl dan tunjangan lainnya dibayarkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c) Dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan produktivitas PNS Daerah,
khususnya bagi PNS Daerah yang tidak menerima tunjangan jabatan
struktural, tunjangan jabatan fungsional atau yang dipersamakan dengan
tunjangan jabatan, diberikan tunjangan umum setiap bulan. Besarnya
tunjangan umum dimaksud berpedoman pada Peraturan Presiden RI No.
12 Tahun 2006 tentang Tunjangan Umum Bagi PNS;
d) Penyediaan dana penyelenggaraan asuransi kesehatan yang dibebankan
pada APBD berpedoman pada PP No. 28 Tahun 2003 tentang Subsidi dan
Iuran Pemerintah dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan bagi PNS
dan Penerima Pensiun serta Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan
Menteri Dalam Negeri No. 616.A/MENKES/SKB/VI/2004 No. 155 A Tahun
2004 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan bagi Peserta PT Askes (Persero)
dan Anggota Keluarganya di Puskesmas dan di Rumah Sakit Daerah;
e) Dalam merencanakan belanja pegawai supaya diperhitungkan ’accres’ gaji
paling tinggi 2,5% yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk
mengantisipasi adanya kenaikan gaji berkala, kenaikan pangkat, tunjangan
keluarga, dan penambahan jumlah pegawai akibat adanya mutasi;
f) Berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat (2) PP No. 58 Tahun 2005, kepada
PNS Daerah dapat diberikan tambahan penghasilan berdasarkan
pertimbangan yang objektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan
daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pemberian tambahan penghasilan
diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan
beban kerja atau tempat bertugas atau kondisi kerja atau kelangkaan
profesi atau prestasi kerja;
168 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia
g) Pegawai Negeri Sipil Daerah yang diperbantukan pada BUMD, BUMN, atau
unit usaha lainnya, pembayaran gaji dan penghasilan lainnya menjadi
beban BUMD, BUMN, atau unit usaha yang bersangkutan;
h) Sesuai dengan PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga
Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, Pemerintah Daerah tidak
diperkenankan mengangkat pegawai honorer/pegawai harian
lepas/pegawai tidak tetap. Pemberian penghasilan bagi pegawai
honorer/pegawai harian lepas/pegawai tidak tetap yang sudah ada
dianggarkan menyatu dengan program kegiatan yang melibatkan pegawai
dimaksud yang besarnya ditetapkan dengan keputusan kepala daerah
berdasarkan asas kepatutan dan kewajaran;
i) Pemberian honorarium bagi PNS supaya dibatasi dengan
mempertimbangkan asas efisiensi, kepatutan dan kewajaran serta
pemerataan penerimaan penghasilan, yang besarannya ditetapkan dengan
keputusan kepala daerah.
8) Belanja Modal
a) Belanja modal merupakan pengeluaran yang dianggarkan untuk
pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya untuk digunakan dalam
kegiatan pemerintahan yang memiliki kriteria sebagai berikut:
(1) Masa manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan;
(2) Merupakan objek pemeliharaan;
(3) Jumlah nilai rupiahnya material sesuai dengan kebijakan akuntansi.
b) Pengadaan software dalam rangka pengembangan sistem informasi
manajemen dianggarkan pada belanja modal.
9) Belanja DPRD
a) Penganggaran belanja DPRD mempedomani ketentuan PP No. 37 Tahun
2005 tentang Perubahan atas PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan
Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD serta Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 188.31/006/BAKD tanggal 4 Januari 2006
Perihal Tambahan Penjelasan Terhadap PP No. 37 Tahun 2005.
b) Belanja pimpinan dan anggota DPRD yang meliputi uang representasi,
tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan,
tunjangan panitia musyawarah, tunjangan komisi, tunjangan panitia
anggaran, tunjangan badan kehormatan, tunjangan alat kelengkapan
lainnya, tunjangan khusus PPh pasal 21, tunjangan perumahan, uang duka
tewas dan wafat serta pengurusan jenazah dan uang jasa pengabdian
dianggarkan dalam belanja DPRD. Sedangkan belanja tunjangan
kesejahteraan dan belanja penunjang kegiatan DPRD dianggarkan dalam
Belanja Sekretariat DPRD.
c) Pajak penghasilan yang dikenakan terhadap penghasilan pimpinan dan
anggota DPRD berpedoman pada PP No. 45 Tahun 1994 tentang Pajak
Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota ABRI dan
para Pensiunan atas Penghasilan yang dibebankan Kepada Keuangan
Negara atau Keuangan Daerah, Keputusan Menteri Keuangan RI No.
170 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia
11) Penyediaan dana untuk penanggulangan bencana alam / bencana sosial dan /
atau memberikan bantuan kepada daerah lain dalam penanggulangan bencana
alam / bencana sosial dapat memanfaatkan saldo anggaran yang tersedia dalam
Sisa Lebih Perhitungan APBD Tahun anggaran sebelumnya dan / atau dengan
melakukan penggeseran Belanja Tidak Terduga atau dengan melakukan
penjadwalan ulang atas program dan kegiatan yang tidak mendesak, dengan
ketentuan sbb.:
a) Penyediaan kredit anggaran untuk memobilisasi tenaga medis dan obat-
obatan, logistik/sandang dan pangan supaya diformulasikan ke dalam RKA-
SKPD yang secara fungsional terkait dengan pelaksanaan kegiatan
dimaksud.
Belanja Daerah 171
Belanja Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Permendagri No. 21 Tahun 2004.
Ikhtisar
Belanja daerah adalah semua kewajiban pemda (pemerintah daerah) yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih (ekuitas dana) dalam periode tahun
anggaran yang bersangkutan. Makna pegeluaran belanja berbeda dengan
pengeluaran pembiayaan. Pemda tidak akan mendapatkan pembayaran kembali atas
pengeluaran belanja yang telah terjadi, baik pada tahun anggaran berjalan maupun
pada tahun anggaran berikutnya.
Struktur belanja daerah yang digunakan untuk APBD tahun anggaran 2006
masih mengikuti aturan yang ditetapkan dalam Kepmendagri (Keputusan Menteri
Dalam Negeri) No. 29 Tahun 2002. Akan tetapi, struktur belanja daerah untuk APBD
tahun anggaran 2007, sudah harus mengacu kepada PP No. 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Struktur belanja daerah yang digunakan
untuk APBD tahun anggaran 2006 masih mengikuti aturan yang ditetapkan dalam
Kepmendagri (Keputusan Menteri Dalam Negeri) No. 29 Tahun 2002. Akan tetapi,
struktur belanja daerah untuk APBD tahun anggaran 2007, sudah harus mengacu
kepada PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan
aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal
meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan,
peralatan, dan aset tak berwujud.
Belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari rekening Bendahara Umum
Daerah. Khusus pengeluaran melalui bendahara pengeluaran, pengakuannya terjadi
pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran tersebut disahkan oleh unit yang
mempunyai fungsi perbendaharaan. Pelaporan belanja pada laporan realisasi APBD
menggunakan basis kas. Sesuai dengan pendekatan kinerja yang digunakan dalam
penyusunan APBD, setiap alokasi biaya (belanja) yang direncanakan harus dikaitkan
dengan tingkat pelayanan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai. Kinerja pemda
dapat diukur melalui evalausi terhadap pelaksanaan APBD. Selanjutnya untuk
mengukur kinerja keuangan pemda, berdasarkan Kepmendagri No. 29 tahun 2002,
perlu dikembangkan standar analisis belanja, pemilahan belanja langsung dan tidak
langsung, tolok ukur kinerja, dan standar biaya.
176 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia
Pertanyaan:
˜™