You are on page 1of 26

7 BELANJA DAERAH

” Sejak dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal


pada tahun 2001, anggaran belanja daerah, dari tahun ke tahun
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, baik dari segi cakupan jenis
dana yang didaerahkan, maupun dari besaran alokasi dana yang
didaerahkan”

“Belanja daerah diprioritaskan dalam rangka pelaksanaan urusan


pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang
terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.”

Bab ini membahas tentang berbagai jenis belanja daerah.


Setelah mempelajari bab ini Saudara diharapkan mampu untuk
menjelaskan hal-hal yang terkait dengan:
§ Klasifikasi Belanja Daerah.
§ Pengakuan dan Pelaporan Belanja.
§ Analisis Belanja untuk Penilaian Kinerja.
§ Subsidi untuk Pelayanan Masyarakat.
§ Penganggaran Belanja Daerah pada APBD.
152 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia

Pemerintah daerah harus mengalokasikan belanja daerah secara adil dan merata
agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi,
khususnya dalam pemberian pelayanan umum. Oleh karena itu, untuk dapat
mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran, maka dalam perencanaan
anggaran belanja perlu diperhatikan (1) Penetapan secara jelas tujuan dan sasaran,
hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; (2) Penetapan prioritas
kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional.

Belanja daerah adalah semua kewajiban pemda (pemerintah daerah) yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih (ekuitas dana) dalam periode tahun
anggaran yang bersangkutan. Makna pegeluaran belanja berbeda dengan
pengeluaran pembiayaan. Pemda tidak akan mendapatkan pembayaran kembali atas
pengeluaran belanja yang telah terjadi, baik pada tahun anggaran berjalan maupun
pada tahun anggaran berikutnya. Sedangkan pengeluaran pembiayaan merupakan
pengeluaran yang akan diterima kembali pembayarannya pada tahun anggaran
berjalan atau pada tahun anggaran berikutnya.

Istilah belanja (expenditure) sebagaimana yang dilaporkan dalam laporan


realisasi anggaran pemerintah, juga mempunyai pengertian yang berbeda dengan
istilah beban (expense) yang dilaporkan dalam laporan keuangan bisnis
(perusahaan). Belanja yang dilaporkan dalam laporan realisasi anggaran pemerintah
merupakan pengeluaran kas yang sudah terjadi selama tahun berjalan (cash basis).
Sedangkan beban yang dilaporkan dalam laporan keuangan bisnis (laporan rugi laba)
adalah nilai perolehan (cost) sumber daya yang telah digunakan. Sebagai contoh,
belanja perlengkapan kantor yang dilaporkan dalam laporan realisasi anggaran
pemerintah adalah jumlah pembelian tunai perlengkapan kantor dalam tahun berjalan
(meskipun pada akhir tahun masih ada saldo perlengkapan kantor); sedangkan
beban perlengkapan kantor yang dilaporkan dalam laporan keuangan bisnis adalah
nilai perolehan perlengkapan kantor yang telah digunakan dalam tahun tersebut,
yaitu nilai perolehan (pembelian) dikurangi saldo akhir perlengkapan kantor.

Berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,


belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan
urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja
penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud diprioritaskan untuk
melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya
memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan
dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta
mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat
sebagaimana dimaksud diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar
pelayanan minimal berdasarkan urusan wajib pemerintahan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Sejak dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada


tahun 2001, anggaran belanja daerah, dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan
yang cukup signifikan, baik dari segi cakupan jenis dana yang didaerahkan, maupun
dari besaran alokasi dana yang didaerahkan. Dalam tahun 2001, alokasi anggaran
Belanja Daerah 153

belanja daerah baru mencakup dana perimbangan, yang terdiri dari dana bagi hasil
(DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Namun, seiring
dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua, maka sejak tahun 2002, alokasi anggaran belanja
daerah juga mencakup dana otonomi khusus untuk Provinsi Papua, dan dana
penyeimbang/penyesuaian untuk daerah-daerah yang menerima DAU lebih kecil dari
tahun sebelumnya. Selain itu, sejak tahun 2003, DAK juga diperluas cakupannya
menjadi DAK dana reboisasi (DAK DR), dan DAK non-dana reboisasi (DAK Non-DR).
Dilihat dari daya serap anggarannya, realisasi anggaran belanja daerah setiap
tahunnya mengalami peningkatan. Dalam tahun 2003, realisasi belanja daerah
mencapai Rp120,3 triliun (5,9 persen terhadap PDB), sedangkan dalam tahun 2004
realisasi belanja daerah menjadi Rp129,7 triliun (5,6 persen terhadap PDB), atau
mengalami peningkatan 7,8 persen. Selanjutnya, dalam tahun 2005, realisasi belanja
daerah diperkirakan mencapai Rp149,6 triliun (5,7 persen terhadap PDB) atau
meningkat sebesar 15,3 persen dari realisasinya dalam tahun sebelumnya.
Peningkatan alokasi anggaran belanja daerah ini antara lain berkenaan dengan lebih
tingginya penerimaan dalam negeri, yang membawa konsekuensi pada lebih
tingginya DBH, DAU, dan DAK DR. Selain itu, peningkatan alokasi anggaran belanja
ke daerah tersebut juga berkaitan dengan adanya penyesuaian persentase DAU,
yaitu semula 25 persen dari penerimaan dalam negeri (PDN) neto hingga tahun
2003, menjadi 25,5 persen dari PDN neto dalam tahun 2004 dan tahun 2005.

Klasifikasi Belanja Daerah

Klasifikasi belanja menurut Kepmendagri 29/2002 vs PP 24/2005

Struktur belanja yang digunakan dalam penyusunan APBD sampai dengan APBD
T.A. 2006 masih mengacu kepada Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Sementara itu,
laporan realisasi APBD T.A. 2006 tersebut harus mengacu pada Standar Akuntansi
Pemerintahan (PP No. 24 Tahun 2005). Oleh karena itu, perlu dipahami bagaimana
teknik mengonversi dari struktur belanja versi Kepmendagri 29/2002 ke versi Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP).

Berdasarkan Kepmendagri 29/2002, belanja daerah mula-mula dibagi ke dalam


dua bagian, yaitu: Bagian Belanja Aparatur Daerah dan Bagian Belanja Pelayanan
Publik. Masing-masing bagian belanja tersebut dirinci menurut kelompok belanja
yang meliputi Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan serta
Belanja Modal. Setiap kelompok belanja dirinci menurut jenis belanja. Jenis belanja
dirinci menurut objek belanja. Selanjutnya setiap objek belanja dirinci menurut rincian
objek belanja. Sedangkan di dalam SAP, tidak mengenal adanya pembagian ke
dalam Bagian Belanja Aparatur Daerah dan Bagian Belanja Pelayanan Publik. Di
samping itu, tidak ada pengelompokkan ke dalam Belanja Administrasi Umum
maupun Belanja Operasi dan Pemeliharaan. Pengklasifikasian belanja daerah
berdasarkan SAP pada dasarnya lebih sederhana.

Tabel 7.1
154 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia

Pemetaan Struktur Belanja Daerah

Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 (X) ke (Y) PP No. 24 Tahun 2005


(X) (Y)
A. Belanja Administrasi Umum A. Belanja Operasi
· Belanja Pegawai a.1 a.1 Belanja Pegawai
· Belanja Barang dan Jasa a.2.1 a.2 Belanja Barang dan Jasa
· Bunga a.3 a.2.1 Belanja Barang Pakai Habis
· Belanja Perjalanan Dinas a.2.3 a.2.2.Belanja Pemeliharaan
· Belanja Pemeliharaan a.2.2 a.2.3. Belanja Perjalanan Dinas
a.3 Bunga
B. Belanja Operasi dan Pemeliharaan a.4 Subsidi
· Belanja Pegawai a.1 a.5 Hibah
· Belanja Barang dan Jasa a.2.1 a.6 Bantuan Keuangan/Sosial
a.2.3 a.7 Bagi Hasil
· Belanja Perjalanan Dinas
a.2.2
· Belanja Pemeliharaan

C. Belanja Modal
b.1 B. Belanja Modal:
· Belanja Aset Tetap b.2 b.1 Belanja Aset Tetap
· Belanja Aset Lainnya b.2 Belanja Aset Lainnya
D. Belanja Bagi Hasil dan Bantuan
Keuangan a.7
· Bagi hasil a.4
· Subsidi a.6
· Bantuan keuangan/sosial a.5
· Hibah
C C. Belanja Lain-lain/Tak Terduga
E. Belanja Tidak Tersangka

Klasifikasi Belanja menurut PP No. 24/2005

Berdasarkan SAP (PP No. 24/2005), belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi


ekonomi (jenis belanja), organisasi, dan fungsi. Penjelasan lebih lanjut untuk setiap
klasifikasi dapat diuraikan sebagai berikut.

Klasifikasi Ekonomi

Klasifikasi ekonomi adalah pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis


belanja untuk melaksanakan suatu aktivitas. Klasifikasi ekonomi meliputi kelompok
belanja operasi, belanja modal, dan belanja tak terduga. Masing-masing kelompok
belanja tersebut dirinci menurut jenisnya. Belanja daerah menurut jenisnya disusun
sesuai dengan kebutuhan satuan kerja perangkat daerah.
Belanja Daerah 155

Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari


pemerintah daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Berdasarkan rincian
jenisnya, belanja operasi terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang, bunga,
subsidi, hibah, bantuan sosial, dan bagi hasil.

Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan
aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal
meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan,
peralatan, dan aset tak berwujud.

Belanja lain-lain/tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang


sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana
alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan
dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.

Dengan demikian, jenis-jenis belanja daerah berdasarkan klasifikasi ekonomi


(jenisnya) teridiri atas:
a. Belanja pegawai;
b. Belanja barang dan jasa;
c. Belanja bunga;
d. Belanja subsidi;
e. Belanja hibah;
f. Belanja bantuan keuangan/sosial;
g. Belanja bagi hasil;
h. Belanja modal; dan
i. Belanja lain-lain / tidak tersangka
Penjelasan dari masing-masing jenis belanja adalah sebagai berikut:
Belanja pegawai. Digunakan untuk menganggarkan belanja penghasilan pimpinan
dan anggota DPRD, gaji pokok dan tunjangan kepala daerah dan wakil kepala
daerah serta gaji pokok dan tunjangan pegawai negeri sipil.
Belanja barang dan jasa. Digunakan untuk menganggarkan belanja barang, jasa,
ongkos kantor, perjalanan dinas dan pemeliharaan.
Belanja bunga. Digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga
hutang/pinjaman daerah baik yang bersifat pinjaman jangka pendek maupun
pinjaman jangka panjang.
Belanja subsidi. Digunakan untuk menganggarkan subsidi kepada masyarakat baik
secara langsung maupun melalui lembaga yang sah untuk mendukung kemampuan
daya beli masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan
kesejahteraan masyarakat.
Belanja hibah. Digunakan untuk menganggarkan bantuan dalam bentuk uang
kepada pihak-pihak tertentu yang tidak mengikat yang terlebih dahulu dituangkan
dalam suatu naskah perjanjian antara pemerintah daerah dengan penerima hibah.
Pihak-pihak tertentu seperti kepada: pemerintah, pemerintah provinsi,
kabupaten/kota, pemerintah daerah di luar wilayah provinsi, atau hibah dari
kabupaten/kota kepada provinsi, kabupaten/kota dalam wilayah provinsi atau dari
provinsi, kabupaten/kota kepada perusahaan daerah/BUMD, perusahaan
negara/BUMN dan masyarakat.
156 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia

Belanja bagi hasil. Digunakan untuk menganggarkan dana yang bersumber dari
pendapatan provinsi yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota atau pendapatan
kabupaten/kota yang dibagihasilkan kepada pemerintah desa sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Belanja bantuan keuangan/sosial. Digunakan untuk menganggarkan pemberian
bantuan berupa uang kepada pemerintah, pemerintah daerah lainnya, pemerintah
desa, badan/lembaga/organisasi sosial kemasyarakatan, partai politik dan organisasi
profesi. Belanja bantuan keuangan provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau kepada
pemerintah desa atau bantuan keuangan kabupaten/kota kepada pemerintahan desa
atau bantuan keuangan kabupaten/kota kepada pemerintah desa dapat
dikelompokkan ke dalam bantuan bersifat umum (block grant) atau bantuan bersifat
khusus (specific grant). Bantuan keuangan bersifat umum merupakan bantuan yang
penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada penerima bantuan.Bantuan
keuangan bersifat khusus merupakan bantuan yang diberikan kepada
kabupaten/kota/pemerintahan desa tertentu yang pedoman penggunaannya dapa
ditetapkan dalam peraturan kepala daerah sesuai dengan prioritas
provinsi/kabupaten/kota atau sesuai dengan usulan kabupaten/kota/ pemerintahan
desa yang membutuhkan.
Belanja modal. Digunakan untuk menganggarkan kegiatan yang menambah aset
daerah untuk dimiliki dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
kepada masyarakat yang nilai manfaatnya lebih dari 1 (satu) tahun.
Belanja tidak tersangka. Digunakan untuk menganggarkan pengeluaran guna
penanganan bencana alam, bencana sosial atau penyelenggaraan urusan
pemerintah daerah yang sangat mendesak diperlukan dalam rangka penyediaan
sarana dan prasarana pelayanan masyarakat yang dananya belum tersedia atau
tidak cukup tersedia dalam APBD.

Klasifikasi Organsiasi
Klasifikasi menurut organisasi yaitu klasifikasi berdasarkan unit organisasi
pengguna anggaran. Hal ini berarti bahwa belanja daerah disusun berdasarkan
satuan kerja perangkat daerah yang bertindak sebagai pusat-pusat
pertanggungjawaban uang/barang. Klasifikasi belanja menurut organisasi di
pemerintah daerah antara lain belanja Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), Sekretariat Daerah pemerintah provinsi/kabupaten /kota, dinas pemerintah
tingkat provinsi/kabupaten/kota, dan lembaga teknis daerah provinsi/kabupaten/kota.

Klasifikasi Fungsi

Belanja daerah menurut fungsi disusun berdasarkan penyelenggaraan urusan


pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, klasifikasi menurut fungsi adalah
klasifikasi yang didasarkan pada fungsi-fungsi utama pemerintah daerah dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Belanja daerah menurut program dan
kegiatan disusun sesuai dengan kebutuhan dalam rangka melaksanakan fungsi
pemerintahan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah.
Contoh klasifikasi belanja menurut fungsi adalah sebagai berikut:
Belanja Daerah 157

Belanja :
§ Pelayanan Umum
§ Ketertiban dan Keamanan
§ Ekonomi
§ Pertanian
§ Kesehatan
§ Pariwisata dan Budaya
§ Pendidikan

Klasifikasi Belanja Berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005

Berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja


daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis
belanja.
1. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi
pemerintahan daerah.
2. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari:
· Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan; dan
· Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara.

Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan menurut


kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.
Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan
keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari:
a. Pelayanan umum;
b. Ketertiban dan keamanan;
c. Ekonomi;
d. Lingkungan hidup;
e. Perumahan dan fasilitas umum;
f. Kesehatan;
g. Pariwisata dan budaya;
h. Pendidikan; serta
i. Perlindungan sosial.

3. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan


pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
4. Klasifikasi belanja menurut jenis belanja terdiri dari:
a. Belanja pegawai;
b. Belanja barang dan jasa;
c. Belanja modal;
d. Bunga;
e. Subsidi;
f. Hibah;
g. Bantuan sosial;
h. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan
i. Belanja tidak terduga.
158 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia

Perbandingan Klasifikasi Belanja Berdasarkan Kepmendari 29/2002 vs


Permendagri 13/2006
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 903/2429/SJ Tanggal 21
September 2005 Perihal Pedomaan Penyusunan APBD T.A. 2006 dan
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD T.A. 2005, penyusunan APBD T.A. 2006
secara umum masih mengacu ke Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 dan
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002. Sedangkan penyusunan APBD
untuk tahun anggaran 2007 sudah harus mengacu kepada Peraturan Pemerintah No.
58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah juncto
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan
APBD T.A. 2007.

Klasifikasi belanja yang baru berdasarkan Permendagri 13/2006 tidak dikenal lagi
pengklasifikasian ke dalam bagian aparatur dan publik, dan juga tidak dikenal
kelompok belanja Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan.
Berikut ini digambarkan perbedaan klasifikasi belanja menurut kedua peraturan
tersebut.

Tabel 7.2
Perbandingan Klasifikasi Belanja Daerah Berdasarkan Dua Peraturan

Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 (X) ke (Y) Permendagri No. 13 Tahun 2006
(X) (Y)
F. Belanja Administrasi Umum A. Belanja Tidak Langsung
· Belanja Pegawai a.1* a.1. Belanja Pegawai
· Belanja Barang dan Jasa b.2. a.2. Belanja Bunga
· Bunga a.2 a.3. Belanja Subsidi
· Belanja Perjalanan Dinas b.2 a.4. Belanja Hibah
· Belanja Pemeliharaan b.2 a.5. Belanja Bantuan Sosial
a.6. Belanja Bagi Hasil
G. Belanja Operasi dan Pemeliharaan a.7. Bantuan Keuangan
· Belanja Pegawai b.1 a.7. Belanja Tak Terduga
· Belanja Barang dan Jasa b.2
b.2
· Belanja Perjalanan Dinas
b.2 B. Belanja Langsung
· Belanja Pemeliharaan
b.1. Belanja Pegawai
b.3 b.2. Belanja Barang dan Jasa
H. Belanja Modal
Belanja Daerah 159

b.3. Belanja Modal


I. Belanja Bagi Hasil dan Bantuan
Keuangan
· Bagi hasil a.6
· Subsidi a.3
· Bantuan keuangan/sosial a7, a5
· Hibah a.4

J. Belanja Tidak Tersangka a.7

*belanja pegawai - belanja tidak langsung (a.1) adalah gaji dan tunjangan untuk PNS, kepala
daerah dan wakil kepala daerah; uang representasi dan tunjangan piminan dan anggota
DPRD. Sedangkan honor-honor PNS dan pegawai honorer masuk ke dalam belanja pegawai -
belanja langsung.

Pengakuan dan Pelaporan Belanja

Belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari rekening Bendahara Umum
Daerah. Khusus pengeluaran melalui bendahara pengeluaran, pengakuannya terjadi
pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran tersebut disahkan oleh unit yang
mempunyai fungsi perbendaharaan. Pelaporan belanja pada laporan realisasi APBD
menggunakan basis kas. Hal ini berarti bahwa belanja yang dilaporkan dalam laporan
realisasi APBD adalah jumlah pengeluaran belanja yang sudah dibayarkan kas-nya.
Sedangkan belanja yang terhutang, yaitu belanja yang sudah terjadi tetapi belum
dibayar kas-nya sampai akhir tahun anggaran, akan dilaporkan di neraca sebagai
utang. Sesuai dengan basis akuntansi yang ditentukan dalam SAP bahwa untuk
penyusunan laporan realisasi APBD menggunakan basis kas dan untuk penyusunan
neraca menggunakan basis akrual.

Realisasi anggaran belanja dilaporkan sesuai dengan klasifikasi yang ditetapkan


dalam dokumen anggaran. Koreksi atas pengeluaran belanja (penerimaan kembali
belanja) yang terjadi pada periode pengeluaran belanja dibukukan sebagai
pengurang belanja pada periode yang sama. Apabila diterima pada periode
berikutnya, koreksi atas pengeluaran belanja dibukukan dalam pendapatan lain-lain.
Akuntansi belanja disusun selain untuk memenuhi kebutuhan pertanggungjawaban
sesuai dengan ketentuan, juga dapat dikembangkan untuk keperluan pengendalian
bagi manajemen dengan cara yang memungkinkan pengukuran kegiatan belanja
tersebut.

Analisis Belanja untuk Penilaian Kinerja

Sesuai dengan pendekatan kinerja yang digunakan dalam penyusunan APBD, setiap
alokasi biaya (belanja) yang direncanakan harus dikaitkan dengan tingkat pelayanan
atau hasil yang diharapkan dapat dicapai. Kinerja pemda dapat diukur melalui
evalausi terhadap pelaksanaan APBD. Selanjutnya untuk mengukur kinerja keuangan
160 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia

pemda, menurut Kepmendagri 29/02 perlu dikembangkan standar analisis belanja


(SAB), tolok ukur kinerja, dan standar biaya.

Standar Analisis Belanja

Standar analisis belanja (SAB) merupakah salah satu komponen yang harus
dikembangkan sebagai dasar pengukuran kinerja keuangan dalam penyusunan
APBD dengan pendekatan kinerja. SAB adalah standar untuk menganalisis anggaran
belanja yang digunakan dalam suatu program atau kegiatan untuk menghasilkan
tingkat pelayanan tertentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. SAB digunakan
untuk menilai kewajaran beban kerja dan biaya setiap program atau kegiatan yang
akan dilaksanakan oleh unit kerja dalam satu tahun anggaran. Penilaian terhadap
usulan anggaran belanja dikaitkan dengan tingkat pelayanan yang akan dicapai
melalui program atau kegiatan.

SAB pada dasarnya merupakan standar belanja yang dialokasikan untuk


melaksanakan suatu program atau kegiatan pada tingkat pencapaian yang
diinginkan. SAB dihitung oleh masing-masing unit kerja berdasarkan proyeksi jumlah
anggaran belanja setiap program atau kegiatan. Usulan anggaran belanja yang tidak
sesuai dengan SAB akan ditolak atau direvisi sesuai standar yang diinginkan.
Penerapan SAB pada dasarnya akan memberikan manfaat antara lain: 1) mendorong
setiap unit kerja untuk lebih selektif dalam merencanakan program dan kegiatan; 2)
menghindari adanya belanja yang kurang efektif dalam upaya pencapaian kinerja; 3)
mengurangi tumpang tindih belanja dalam kegiatan investasi dan non investasi.
Belanja langsung dan Belanja tidak langsung

Untuk memilah kontribusi belanja terhadap pencapaian prestasi kerja satuan kerja
perangkat daerah, jenis belanja dikelompokkan ke dalam belanja langsung dan
belanja tidak langsung. SAB merupakan hasil penjumlahan belanja langsung dan
belanja tidak langsung yang dialokasikan pada program dan kegiatan yang
bersangkutan. Jumlah tersebut menjadi standar untuk mengevaluasi program atau
kegiatan yang akan dilaksanakan oleh setiap unit kerja berdasarkan tingkat
pencapaian program atau kegiatan yang diharapkan. Seluruh belanja tidak langsung
dan belanja pegawai, belanja barang dan jasa pada belanja langsung merupakan
belanja operasi satuan kerja perangkat daerah.

Belanja langsung merupakan belanja yang dipengaruhi secara langsung oleh


adanya program dan kegiatan satuan kerja perangkat daerah yang kontribusinya
terhadap pencapaian prestasi kerja dapat diukur. Jenis belanja langsung terdiri dari
belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal. Belanja pegawai,
belanja barang dan jasa dianggarkan untuk kegiatan yang keluarannya tidak
menambah aset daerah. Belanja modal dianggarkan untuk kegiatan-kegiatan yang
keluarannya menambah aset daerah. Belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta
belanja modal dapat dianggarkan secara sekaligus untuk mendanai kegiatan dalam
rangka mencapai prestasi kerja yang ditetapkan.

Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak dipengaruhi secara


langsung oleh ada atau tidaknya program dan kegiatan satuan kerja perangkat
Belanja Daerah 161

daerah yang pengaruh kontribusinya terhadap pencapaian prestasi kerja sukar


diukur. Penganggaran belanja tidak langsung mempertimbangkan asas ekonomis,
efisien dan efektif. Jenis belanja yang termasuk dalam kelompok belanja tidak
langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah,
belanja bagi hasil, belanja bantuan, dan belanja tidak tersangka.

Belanja tidak langsung pada dasarnya merupakan belanja yang digunakan


secara bersama-sama (common cost) untuk melaksanakan seluruh program atau
kegiatan unit kerja. Oleh karena itu, dalam penghitungan ASB anggaran belanja tidak
langsung dalam satu tahun anggaran harus dialokasikan ke setiap program atau
kegiatan yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

Program atau kegiatan yang memperoleh alokasi belanja tidak langsung adalah
program atau kegiatan non investasi. Program atau kegiatan non investasi adalah
program atau kegiatan yang tidak menambah aset. Sedangkan program atau
kegiatan investasi, yaitu program atau kegiatan yang menambah aset, tidak
mendapat alokasi belanja tidak langsung. Salah satu teknik untuk mengalokasi
belanja tidak langsung tersebut adalah berdasarkan bobot belanja langsung untuk
setiap kegiatan non investasi, yaitu dengan rumus berikut:

Jumlah anggaran belanja langsung


kegiatan non investasi bersangkutan Jumlah anggaran belanja tidak
X langsung untuk satu tahun
anggaran
Jumlah anggaran belanja langsung
seluruh kegiatan non investasi

Contoh:
Dalam tahun anggaran 2004 jumlah anggaran belanja tidak langsung adalah Rp
12.000. Data anggaran untuk kegiatan non investasi dalam tahun anggaran tersebut
adalah sebagai berikut:

Jenis kegiatan Jumlah Anggaran Bobot Keterangan


Non investasi Belanja Langsung
Kegiatan A Rp 2.000 0,20 2.000 / 10.000
Kegiatan B Rp 3.000 0,30 3.000 / 10.000
Kegiatan C Rp 5.000 0,50 5.000 / 10.000
Jumlah Rp 10.000 1,00

Maka, kegiatan non investasi ’A’ akan mendapat alokasi belanja tidak langsung
sebesar:
0,20 X Rp 12.000 = Rp 2.400. Dengan demikian total anggaran belanja yang dapat
diatribusikan ke kegiatan non investasi ’A’ adalah:
162 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia

- anggaran belanja langsung = Rp 2.000,-


- alokasi belanja tidak langsung = Rp 2.400,-
jumlah = Rp 4.400,-

Tolok Ukur Kinerja

Tolok ukur kinerja merupakan komponen lainnya yang harus dikembangkan untuk
dasar pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja. Tolok ukur
kinerja adalah ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap unit kerja. Tolok ukur
kinerja atau indikator keberhasilan untuk setiap jenis pelayanan pada bidang-bidang
kewenangan diselenggarakan oleh unit organisasi perangkat daerah ditetapkan
dalam bentuk standar pelayanan yang ditetapkan oleh masing-masing pemda.

Penetapan standar pelayanan merupakan cara untuk menjamin dan mendukung


kewenangan untuk menyelenggarakan pelayan oleh pemda dan sekaligus
merupakan akuntabilitas pemda. Penetapan standar pelayanan untuk daerah provinsi
mengacu pada indikator-indikator pelayanan minimal yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat. Standar pelayanan untuk kabupaten/kota ditetapkan oleh kepala
daerah bersangkutan dengan berpedoman pada standar pelayanan minimal yang
ditetapkan oleh gubernur.

Selain standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan, setiap daerah


mengembangkan standar pelayanan dan indikator keberhasilan program atau
kegiatan yang menjadi tolok ukur kinerja. Pengembangan indikator keberhasilan
menggunakan kriteria sbb.:
· Relevan, secara logis dan langsung berhubungan dengan tujuan dan sasaran
unit program atau kegiatan dari unit kerja.
· Mudah dipahami, dapat dikomunikasikan dengan jelas.
· Konsisten, digunakan secara seragam dalam perencanaan, penganggaran,
akuntansi dan pelaporan.
· Dapat dibandingkan, dapat menunjukkan perkembangan dan perbedaan kinerja
program atau kegiatan yang sejenis.
· Andal, diperoleh dari sistem data yang terkendali dan dapat diverifikasi.

Tingkat pelayanan yang diinginkan pada dasarnya merupakan indikator kinerja


yang diharapkan dapat dicapai oleh pemda dalam melaksanakan kewenangannya.
Selanjutnya untuk penilaian kinerja dapat digunakan ukuran penilaian didasarkan
pada indikator sbb.:
· Masukan (input), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besaran
sumber-sumber daya: SDM , dana, material, waktu, dan sebagainya.
· Keluaran (output), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan produk (barang atau jasa)
yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan yang
digunakan.
· Hasil (outcome) yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang
dapat dicapai berdasarkan keluaran program atau kegiatan yang sudah
dilaksanakan.
Belanja Daerah 163

· Manfaat (benefit) yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat kemanfaatan yang
dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat dan pemda dari hasil yang
dicapai.
· Dampak (impact) yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan dampaknya terhadap
kondisi makro yang ingin dicapai dari manfaat.

Sebagai catatan, berdasarkan PP 8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja


Instansi Pemerintah, indikator kinerja yang digunakan cukup sampai indikator hasil
(outcome) dan tidak sampai mengukur manfaat dan dampak.

Standar Biaya

Standar biaya merupakan komponen lainnya yang harus dikembangkan untuk


pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja. Standar biaya adalah
harga satuan unit biaya yang berlaku bagi masing-masing daerah. Penetapan
standar biaya akan membantu penyusunan anggaran belanja suatu program dan
kegiatan bagi daerah yang bersangkutan. Pengembangan standar biaya harus
dilakukan secara terus-menerus sesuai dengan perkembangan harga yang berlaku di
masing-masing daerah.

Pengukuran Output

Pengukuran output merupakan komponen lainnya yang perlu dilakukan untuk dasar
pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja. Dalam kaitannya
dengan ukuran kinerja yang digunakan untuk organisasi-organisasi di sektor publik,
Anthony dan Young (2003) berpendapat sebagai berikut:
”No single overall measure of the performance of a nonprofit organization is
analogous to the profit measure in a for-profit company. The goals of
nonprofit organizations are usually complex and often intangible. The outputs
of such organizations frequently are difficult or imposible to measure”.

Tidak ada ukuran tunggal untuk mengukur kinerja secara umum dari organisasi-
organisasi nirlaba (seperti organisasi pemerintahan), seperti halnya laba yang dapat
dijadikan sebagai ukuran tunggal untuk mengukur kinerja secara umum dari
organisasi-organisasi yang mencari keuntungan (perusahaan). Hal ini disebabkan
antara lain karena tujuan organisasi nirlaba biasanya kompleks dan seringkali tidak
dapat dilihat secara jelas (intangible); output dari organisasi nirlaba sulit diukur atau
bahkan tidak mungkin diukur.

Secara umum, informasi output diperlukan untuk dua tujan: 1) untuk mengukur
efisiensi, yaitu rasio output terhadap input (contoh input adalah biaya atau belanja)
dan 2) untuk mengukur efektivitas, yaitu kesesuaian output aktual yang dihasilkan
dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan oleh organisasi. Di dalam perusahaan,
marjin kotor atau laba bersih dapat digunakan untuk mengukur kedua tujuan tersebut.
Akan tetapi, dalam organisasi nirlaba tidak ada ukuran moneter seperti itu, karena
164 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia

pendapatan bagi organisasi nirlaba tidak merupakan aproksimasi output


sesungguhnya. Dengan demikian, perlu dicari alternatif cara untuk mengukur output
bagi organisasi nirlaba.

Dalam ketiadaan ukuran laba, analisis efisiensi dan efektivitas memerlukan


ukuran substitusi yang memadai untuk output. Masalah pengukuran output dalam
ukuran nonmoneter bukan unik-nya organisasi nirlaba. Karena masalah yang sama
dihadapi juga oleh pusat-pusat pertanggungjawaban dalam sebuah perusahaan (for-
profit organization) dimana discretionary cost begitu menonjol (contoh biaya riset dan
pengembangan, hukum).

Banyak istilah yang digunakan untuk ukuran output tergantung pada apa yang
ingin diukur. Dalam pembahasan ini, akan diuraikan tiga kategori pengukuran dasar,
yaitu: indikator sosial, ukuran hasil dan ukuran proses.

Indikator Sosial. Merupakan ukuran yang luas atas output yang mencerminkan
pengaruh atau dampak dari pekerjaan suatu organisasi terhadap masyarakat. Akan
tetapi, sedikit sekali indikator sosial yang dapat dikaitkan dengan organisasi tertentu
sebab dalam kebanyakan kasus, kondisi masyarakat dipengaruhi juga oleh kekuatan-
kekuatan lain secara simultan sehingga sulit mengukur kinerja suatu organisasi atau
unit kerja tertentu berdasarkan indikator ini. Sebagai contoh, tingkat kejahatan di
sebuah kota dapat mencerminkan efektivitas organisasi kepolisian dan sistem
pengadilan, tetapi hal ini dipengaruhi juga oleh tingkat pengangguran, kondisi
perumahan/pemukiman, dan faktor-faktor lainnya yang tidak berhubungan dengan
organisasi-organisasi tersebut. Demikian halnya dengan tingkat kematian, sebagian
dipengaruhi oleh kualitas pelayanan atau perawatan kesehatan, tetapi juga
dipengaruhi oleh nutrisi, kebersihan lingkungan, keturunan, dan faktor lain.

Ukuran Hasil. Ukuran hasil berusaha untuk mengekspresikan output dalam suatu
istilah yang berhubungan dengan tujuan organisasi. Ukuran ini cenderung untuk
menghindari kesulitan inheren dalam indikator sosial. Idealnya, tujuan ditetapkan
dalam suatu istilah atau indikator yang terukur, dan ukuran output ditetapkan dalam
istilah atau indikator yang sama. Bila tidak mungkin untuk mengekspresikan tujuan
dalam istilah yang terukur, seperti yang sering terjadi, maka manajemen harus
melakukan spesifikasi tujuan dan mengukur hasil (kemajuan) organisasi dalam
mencapai tujuannya tersebut. Perancangan ukuran hasil yang tepat memberi
kontribusi pada keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Sebagai contoh,
apabila organisasi berorientasi pada klien (pelayanan masyarakat), ukuran hasilnya
harus dihubungkan dengan pelayanan apa yang harus dilakukan untuk kliennya.

Ukuran Proses. Disebut juga sebagai ukuran produktivitas, berkaitan dengan


aktivitas yang dilakukan oleh suatu organisasi. Sebagai contoh, jumlah permintaan
KTP yang dapat diselesaikan per hari-nya oleh kelurahan, jumlah surat yang selesai
diketik per hari-nya oleh seorang sekretaris, jumlah luas lantai yang dapat
dibersihkan oleh seorang petugas kebersihan, dan sebagainya. Perbedaan esensial
antara ukuran hasil dengan ukuran proses adalah ukuran hasil berorientasi pada
hasil akhir (ends oriented), sedangkan ukuran proses berorientasi pada proses
kerjanya (work oriented). Ukuran proses berhubungan dengan apa yang harus
Belanja Daerah 165

dilakukan oleh individu untuk membantu organisasi mencapai tujuannya. Sehingga,


ukuran proses membantu manajer dalam mengukur efisiensi. Karena ukuran ini tidak
dapat mengukur efektivitas, biasanya ukuran ini digunakan untuk mengukur kinerja
individu atau kelompok atau unit kerja yang tidak secara langsung berhubungan
dengan pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.

Subsidi untuk Pelayanan Masyarakat

Apabila pemerintah memberikan subsidi untuk harga atau biaya sebuah pelayanan
masyarakat, maka klien (masyarakat) akan membayar lebih rendah dibanding
dengan yang seharusnya ia bayar untuk pelayanan yang ia terima. Dengan kata lain,
klien membayar di bawah full cost dari pelayanan yang ia terima. Ada tiga bentuk
dasar subsidi: 1) untuk pelayanan tertentu, 2) untuk klien tertentu, 3) untuk semua
klien (Anthony dan Young, 2003).

Subsidi untuk pelayanan tertentu


Pemerintah dapat memutuskan untuk menetapkan harga atas pelayanan tertentu
lebih rendah dari harga normalnya. Harga ini disebut harga subsidi. Kebijakan ini
ditujukan untuk mendorong penggunaan pelayanan tertentu oleh klien yang tidak
mampu membayar pada harga normal. Atau pemerintah ingin agar klien memilih
pelayanan tertentu di luar alasan ketidakmampuan mereka untuk membayar.
Meskipun pemerintah tidak menggunakan kos (harga perolehan) sebagai dasar
untuk penetapan harga, tetapi perhitungan kos aktual perlu dilakukan agar dapat
mengetahui berapa selisih antara harga yang dibebankan pada klien dengan kost
aktualnya. Informasi mengenai selisih harga tersebut dapat digunakan oleh
pemerintah untuk pengambilan keputusan. Sebagai contoh, bila harga sebuah
pelayanan tidak menutup kos aktualnya, pemerintah dapat mengambil beberapa
alternatif keputusan berikut ini:
· Menerima kerugian, menganggap bahwa pelayanan tersebut sangat penting
bagi kehidupan masyarakat, sehingga subsidi harus dipertahankan.. Sebagai
contoh, pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat kurang
mampu, seperti puskesmas, harus dipertahankan subsidinya.
· Mengurangi kos variabel atau kos tetap yang berhubungan secara langsung
dengan pelayanan untuk mengurangi kerugian (defisit).
· Meningkatkan volume (apabila pelayanan memiliki kontribusi marjin yang
positif, dimana terdapat suatu volume breakeven).
· Meningkatkan harga untuk mengurangi kerugian (defisit).
· Mengurangi pelayanan tersebut secara bertahap.

Subsidi untuk klien tertentu


166 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia

Dalamkondisi ini, seorang klien tidak dibebani ongkos yang sama dibanding klien lain
yang menerima pelayanan yang sama atau pelayanan yang dapat diperbandingkan.
Alasan dari subsidi ini adalah untuk memberikan pelayanan pada semua klien yang
memenuhi syarat (berhak), dimana sebagian dari klien mungkin tidak mampu untuk
membayar pada harga normal. Sebagai contoh, sekolah atau universitas memberikan
subsidi pada pelajar tertentu berupa bea siswa, pengurangan biaya pendidikan, atau
bantuan keuangan lainnya.

Subsidi untuk semua klien


Sejumlah pelayanan pemerintah mendapat subsidi yang berlaku untuk semua klien.
Dalam kondisi ini, semua klien membayar harga di bawah harga normal dari
pelayanan yang mereka terima. Sebagai contoh antara lain: sekolah negeri,
puskesmas. Pelayanan seperti ini umumnya merupakan kebutuhan vital dan
mendasar bagi masyarakat yang harus mendapat prioritas utama dan perhatian
serius dari pemerintah.

Penganggaran Belanja Daerah pada APBD

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2006 Tentang


Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2007, belanja daerah yang dianggarkan dalam
APBD, supaya mempedomani hal-hal sebagai berikut:

1) Belanja daerah diprioritaskan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan


yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-
undangan.
2) Belanja dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib digunakan untuk
melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya
memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan
pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang
layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.
3) Belanja daerah disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang
berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan. Hal tersebut
bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanaan anggaran serta
memperjelas efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran.
4) Penyusunan belanja daerah diprioritaskan untuk menunjang efektivitas
pelaksanaan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dalam
rangka melaksanakan urusan pemerintah daerah yang menjadi tanggung
jawabnya. Peningkatan alokasi anggaran belanja yang direncanakan oleh setiap
SKPD harus terukur yang diikuti dengan peningkatan kinerja pelayanan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
5) Pengguna dana perimbangan diprioritaskan untuk kebutuhan sebagai berikut:
a) Penerimaan dana bagi hasil pajak supaya diprioritaskan untuk mendanai
perbaikan lingkungan pemukiman diperkotaan dan diperdesaan,
pembangunan irigasi, jaringan jalan dan jembatan;
Belanja Daerah 167

b) Penerimaan dana bagi hasil sumber daya alam diutamakan


pengalokasiannya untuk mendanai pelestarian lingkungan areal
pertambangan, perbaikan dan penyediaan fasilitas umum dan fasilitas
sosial, fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan untuk tercapainya
standar pelayanan minimal yang ditetapkan peraturan perundang-
undangan;
c) Dana alokasi umum diprioritaskan penggunaannya untuk mendanai gaji
dan tunjangan pegawai, kesejahteraan pegawai, kegiatan operasi dan
pemeliharaan serta pembangunan fisik sarana dan prasarana dalam rangka
peningkatan pelayanan dasar dan pelayanan umum yang dibutuhkan
masyarakat;
d) Dana alokasi khusus digunakan berdasarkan pedoman yang ditetapkan
oleh pemerintah.

6) Belanja Pegawai
a) Besarnya penyediaan gaji pokok/tunjangan Pegawai Negeri Sipil Daerah
mempedomani ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 66 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketujuh atas Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri
Sipil;
b) Penganggaran gaji dan tunjangan ketiga belas PNS dan tunjangan jabatan
strukturan/fungsioanl dan tunjangan lainnya dibayarkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c) Dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan produktivitas PNS Daerah,
khususnya bagi PNS Daerah yang tidak menerima tunjangan jabatan
struktural, tunjangan jabatan fungsional atau yang dipersamakan dengan
tunjangan jabatan, diberikan tunjangan umum setiap bulan. Besarnya
tunjangan umum dimaksud berpedoman pada Peraturan Presiden RI No.
12 Tahun 2006 tentang Tunjangan Umum Bagi PNS;
d) Penyediaan dana penyelenggaraan asuransi kesehatan yang dibebankan
pada APBD berpedoman pada PP No. 28 Tahun 2003 tentang Subsidi dan
Iuran Pemerintah dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan bagi PNS
dan Penerima Pensiun serta Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan
Menteri Dalam Negeri No. 616.A/MENKES/SKB/VI/2004 No. 155 A Tahun
2004 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan bagi Peserta PT Askes (Persero)
dan Anggota Keluarganya di Puskesmas dan di Rumah Sakit Daerah;
e) Dalam merencanakan belanja pegawai supaya diperhitungkan ’accres’ gaji
paling tinggi 2,5% yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk
mengantisipasi adanya kenaikan gaji berkala, kenaikan pangkat, tunjangan
keluarga, dan penambahan jumlah pegawai akibat adanya mutasi;
f) Berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat (2) PP No. 58 Tahun 2005, kepada
PNS Daerah dapat diberikan tambahan penghasilan berdasarkan
pertimbangan yang objektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan
daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pemberian tambahan penghasilan
diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan
beban kerja atau tempat bertugas atau kondisi kerja atau kelangkaan
profesi atau prestasi kerja;
168 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia

g) Pegawai Negeri Sipil Daerah yang diperbantukan pada BUMD, BUMN, atau
unit usaha lainnya, pembayaran gaji dan penghasilan lainnya menjadi
beban BUMD, BUMN, atau unit usaha yang bersangkutan;
h) Sesuai dengan PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga
Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, Pemerintah Daerah tidak
diperkenankan mengangkat pegawai honorer/pegawai harian
lepas/pegawai tidak tetap. Pemberian penghasilan bagi pegawai
honorer/pegawai harian lepas/pegawai tidak tetap yang sudah ada
dianggarkan menyatu dengan program kegiatan yang melibatkan pegawai
dimaksud yang besarnya ditetapkan dengan keputusan kepala daerah
berdasarkan asas kepatutan dan kewajaran;
i) Pemberian honorarium bagi PNS supaya dibatasi dengan
mempertimbangkan asas efisiensi, kepatutan dan kewajaran serta
pemerataan penerimaan penghasilan, yang besarannya ditetapkan dengan
keputusan kepala daerah.

7) Belanja Barang dan Jasa


a) Penyediaan anggaran untuk belanja barang pakai habis disesuaikan
dengan kebutuhan nyata dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi
SKPD dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan.
Oleh karena itu, perencanaan pengadaan barang didahului dengan
evaluasi persediaan barang serta barang dalam pemakaian;
b) Penganggaran pengadaan software untuk sistem informasi manajemen
keuangan daerah dicantumkan dalam belanja barang dan jasa. Jika
software tersebut dapat dioperasikan sesuai dengan fungsinya, harus
dikapitalisasi menjadi aset daerah;
c) Dalam upaya meningkatkan dan memberdayakan kegiatan perekonomian
daerah, perencanaan pengadaan barang dan jasa mengutamakan hasil
produksi dalam negeri dan melibatkan pengusaha kecil, menengah dan
koperasi;
d) Dalam merencanakan kebutuhan barang, pemerintah daerah supaya
menggunakan daftar inventarisasi barang milik pemerintah daerah dan
standar penggunaan barang sebagai dasar perencanaan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 2006 tentang
Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Daerah;
e) Penganggaran belanja untuk penggunaan energi agar mempedomani
Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi;
f) Penyusunan rencana kebutuhan pengadaan barang dan jasa
mempedomani ketentuan tentang standar satuan harga barang dan jasa
yang ditetapkan dalam keputusan kepala daerah;
g) Belanja perjalanan dinas baik dalam daerah maupun luar daerah untuk
melaksanakan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pelayanan masyarakat dianggarkan dalam jenis belanja barang dan jasa;
h) Penyediaan belanja perjalanan dinas dalam rangka studi banding dibatasi
baik jumlah orang, jumlah hari maupun frekuensinya dan dilakukan secara
selektif tidak terlalu lama meninggalkan tugas dan tanggung jawab yang
diamanatkan dalam ketentuan perundang-undangan. Pelaksanaan studi
Belanja Daerah 169

banding dapat dilakukan sepanjang memiliki nilai menfaat guna kemajuan


daerah yang hasilnya dipublikasikan kepada masyarakat;
i) Perjalanan dinas keluar negeri agar mempedomani:
(1) Instruksi Presiden No. 11 Tahun 2005 tentang Perjalanan Dinas ke
Luar Negeri;
(2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 20 Tahun 2005 tentang Pedoman
Perjalanan Dinas Luar Negeri bagi Pejabat/Pegawai di lingkungan
Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Daerah dan Pimpinan serta
Anggota DPRD.
j) Penugasan untuk mengikuti undangan dalam rangka workshop, seminar,
dan lokakarya atas undangan atau tawaran dari organisasi/lembaga
tertentu di luar instansi pemerintah supaya dilakukan secara selektif agar
tidak membebani belanja perjalanan dinas;
k) Standar biaya perjalanan dinas yang ditetapkan dalam peraturan kepala
daerah agar mempedomani Keputusan Menteri Keuangan No.
7/KMK.02/2003 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat
Negara, Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Tidak Tetap.

8) Belanja Modal
a) Belanja modal merupakan pengeluaran yang dianggarkan untuk
pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya untuk digunakan dalam
kegiatan pemerintahan yang memiliki kriteria sebagai berikut:
(1) Masa manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan;
(2) Merupakan objek pemeliharaan;
(3) Jumlah nilai rupiahnya material sesuai dengan kebijakan akuntansi.
b) Pengadaan software dalam rangka pengembangan sistem informasi
manajemen dianggarkan pada belanja modal.

9) Belanja DPRD
a) Penganggaran belanja DPRD mempedomani ketentuan PP No. 37 Tahun
2005 tentang Perubahan atas PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan
Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD serta Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 188.31/006/BAKD tanggal 4 Januari 2006
Perihal Tambahan Penjelasan Terhadap PP No. 37 Tahun 2005.
b) Belanja pimpinan dan anggota DPRD yang meliputi uang representasi,
tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan,
tunjangan panitia musyawarah, tunjangan komisi, tunjangan panitia
anggaran, tunjangan badan kehormatan, tunjangan alat kelengkapan
lainnya, tunjangan khusus PPh pasal 21, tunjangan perumahan, uang duka
tewas dan wafat serta pengurusan jenazah dan uang jasa pengabdian
dianggarkan dalam belanja DPRD. Sedangkan belanja tunjangan
kesejahteraan dan belanja penunjang kegiatan DPRD dianggarkan dalam
Belanja Sekretariat DPRD.
c) Pajak penghasilan yang dikenakan terhadap penghasilan pimpinan dan
anggota DPRD berpedoman pada PP No. 45 Tahun 1994 tentang Pajak
Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota ABRI dan
para Pensiunan atas Penghasilan yang dibebankan Kepada Keuangan
Negara atau Keuangan Daerah, Keputusan Menteri Keuangan RI No.
170 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia

636/KMK.04/1994 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan bagi Pejabat


Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata RI dan Para
Pensiunan atas Penghasilan yang dibebankan kepada Keuangan Negara
atau Keuangan Daerah. Pajak penghasilan pimpinan dan anggota DPRD
yang dibebankan pada APBD dianggarkan pada objek belanja tunjangan
khusus PPh Pasal 21.
d) Untuk penganggaran belanja penunjang operasional pimpinan DPRD dan
tunjangan komunikasi intensif bagi pimpinan dan anggota DPRD dapat
dianggarkan pada kode rincian objek belanja berkenaan dalam pos DPRD.
Belanja dimaksud dapat dilaksanakan sepanjang ketentuan yang
mengaturnya telah ditetapkan oleh pemerintah.

10) Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah


a) Penganggaran belanja kepala daerah dan wakil kepala daerah berpedoman
pada ketentuan PP No. 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
b) Gaji dan tunjangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dan biaya
penunjang operasional kepala daerah dan wakil kepala daerah dianggarkan
pada belanja tidak langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah.
c) Belanja rumah tangga, beserta pembelian inventaris/perlengkapan rumah
jabatan dan kendaraan dinas serta biaya pemeliharaannya, biaya
pemeliharaan kesehatan, belanja perjalanan dinas dan belanja pakaian
dinas kepala daerah dan wakil kepala daerah dianggarkan pada belanja
langsung sekretariat daerah.
d) Penganggaran belanja kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan
satu kesatuan dalam belanja kepala daerah dan wakil kepala daerah atau
tidak dianggarkan secara terpisah dan pengaturannya lebih lanjut
ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
e) Bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan
sementara maka pengaturan hak-hak keuangan kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah tersebut, mengacu pada Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri Nomor 841.1/3150/SJ tanggal 12 Desember 2005 tentang Hak-hak
Keuangan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang
diberhentikan sementara.

11) Penyediaan dana untuk penanggulangan bencana alam / bencana sosial dan /
atau memberikan bantuan kepada daerah lain dalam penanggulangan bencana
alam / bencana sosial dapat memanfaatkan saldo anggaran yang tersedia dalam
Sisa Lebih Perhitungan APBD Tahun anggaran sebelumnya dan / atau dengan
melakukan penggeseran Belanja Tidak Terduga atau dengan melakukan
penjadwalan ulang atas program dan kegiatan yang tidak mendesak, dengan
ketentuan sbb.:
a) Penyediaan kredit anggaran untuk memobilisasi tenaga medis dan obat-
obatan, logistik/sandang dan pangan supaya diformulasikan ke dalam RKA-
SKPD yang secara fungsional terkait dengan pelaksanaan kegiatan
dimaksud.
Belanja Daerah 171

b) Penyediaan kredit anggaran untuk bantuan keuangan yang akan disalurkan


kepada provinsi/kabupaten/kota yang dilanda bencana alam/bencana sosial
dianggarkan pada Belanja Bantuan Keuangan.
c) Sambil menunggu perubahan APBD Tahun anggaran berkenaan, kegiatan
atau pemberian bantuan keuangan tersebut di atas dapat dilaksanakan
dengan cara melakukan perubahan peraturan kepala daerah tentan
penjabaran APBD untuk selanjutnya ditampung dalam raperda tentang
perubahan APBD T.A. berkenaan. Apabila penyediaaan kredit anggaran
untuk kegiatan atau bantuan keuangan dilakukan setelah perubahan APBD
agar dicantumkan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
d) Pemanfaatan saldo anggaran yang tersedia dalam Sisa Lebih Perhitungan
APBD T.A. sebelumnya dan/atau dengan melakukan penggeseran Belanja
Tidak Terduga untuk bantuan penanggulangan bencana alam/bencana
sosial dilaporkan kepada DPRD.
e) Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran
yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam
rancangan perubahan APBD dan apabila keadaan daruruat terjadi setelah
ditetapkannya perubahan ABPD, pemerintah daerah dapat melakukan
pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, dan pengeluaran tersebut
disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.
f) Penentuan kriteria keperluan mendesak sebagaimana diamanatkan dalam
penjelasan Pasal 28 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD, yang
antara lain mencakup:
(1) Program dan kegiatan pelayanan dasar masyarakat yang
anggarannya belum tersedia dalam tahun anggaran berjalan; dan
(2) Keperluan mendesak lainnya yang apabila ditunda akan menimbulkan
kerugian yang lebih besar bagi pemerintah daerah dan masyarakat.

12) Belanja Subsidi


a) Belanja subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada
perusahaan/lembaga tertentu yang bertujuan agar harga jual produk/jasa
yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat.
b) Belanja subsidi ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD yang
dasar pelaksanaannya ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.

13) Belanja Hibah


a) Belanja hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian uang, barang
dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya,
perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang
secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan
tidak mengikat serta tidak secara terus menerus. Uang dan barang yang
diberikan dalam bentuk hibah harus digunakan sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan dalam naskah perjanjian hibah daerah.
b) Pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa dilakukan
setelah mendapat persetujuan DPRD.
c) Hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau
pemerintah daerah lainnya dapat diberikan dalam rangka menunjang
172 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia

peningkatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah dan layanan


dasar umum sepanjang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
d) Hibah dapat diberikan kepada perusahaan daerah dalam rangka
menunjang peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan hibah kepada
badan/lembaga/organisasi swasta dan/atau kelompok masyarakat /
perorangan sepanjang berpartisipasi dalam penyelenggaraan
pembangunan daerah.
e) Pemberian hibah dalam bentuk uang dapat dianggarkan apabila
pemerintah daerah telah memenuhi seluruh kebutuhan belanja urusan
wajib guna memenuhi standar pelayanan minimal yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
f) Pemberian hibah dalam bentuk barang dapat dilakukan apabila barang
tersebut tidak mempunyai nilai ekonomis bagi pemerintah daerah yang
bersangkutan tetapi bermanfaat bagi pemerintah atau pemerintah daerah
lainnya dan/atau kelompok masyarakat/perorangan.

14) Bantuan Sosial


a) Bantuan sosial untuk organisasi kemasyarakatan harus selektif dan
memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya. Pemberian bantuan tidak
secara terus menerus/tidak berulang setiap tahun anggaran pada
organisasi kemasyarakatan yang sama.
b) Untuk memenuhi fungsi APBD sebagai instrumen keadilan dan pemerataan
dalam upaya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat,
bantuan dalam bentuk uang dapat dianggarkan apabila pemerintah daerah
telah memenuhi seluruh kebutuhan belanja urusan wajib guna terpenuhinya
standar pelayanan minimal yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.
c) Untuk optimalisasi fungsi APBD sebagaimana diamanatkan dalam
ketentuan Pasal 16 ayat (3) PP No. 58 Tahun 2005 pengalokasian bantuan
sosial tahun demi tahun harus menunjukkan jumlah yang semakin
berkurang agar APBD berfungsi sebagai instrumen pemerataan dan
keadilan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengurangan jumlah bantuan sosial bertujuan agar dana APBD dapat
dialokasikan mendanai program-program dan kegiatan pemerintahan
daerah yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, menciptakan
lapangan kerja / mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya
serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Dengan
demikian dapat dihindari adanya diskriminasi pengalokasian dana APBD
yang hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu saja.
d) Penyediaan anggaran untuk bantuan kepada partai politik mengacu kepada
PP No. 29 Tahun 2005 dan Permendagri No. 32 Tahun 2005 sebagaimana
diubah dengan Permendagri No. 25 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Permendagri No. 32 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengajuan,
Penyerahan dan Laporan Penggunaan Bantuan Keuangan kepada Partai
Politik serta dianggarkan dalam bantuan sosial.
e) Dalam rangka penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 99
PP No. 58 Tahun 2005, organisasi kemasyarakatan dan partai politik yang
Belanja Daerah 173

menerima bantuan dana APBD berkewajiban menyampaikan laporan


pertanggungjawaban atas penggunaan dana bantuan tersebut kepada
kepala daerah. Oleh karena itu, pengaturan mengenai tata cara pemberian
bantuan dana APBD kepada organisasi kemasyarakatan dan partai politik
supaya ditetapkan dalam peraturan kepala daerah.

15) Belanja Bagi Hasil


Belanja bagi hasil digunakan untuk menganggarkan dana bagi hasil yang
bersumber dari pendapatan provinsi kepada kabupaten/kota atau pendapatan
kebupaten/kota kepada pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah
tertentu kepada pemerintah daerah lainnya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.

16) Belanja Bantuan Keuangan


a) Bantuan keuangan digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan
yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota,
pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah lainnya atau dari
pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah
daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan
kemampuan keuangan.
b) Bantuan keuangan yang bersifat umum peruntukan dan penggunaannya
diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah/pemerintah desa
penerima bantuan. Sedangkan bantuan keuangan yang bersifat khusus
peruntukan dan pengelolaannya diarahkan/ditetapkan oleh pemerintah
daerah pemberi bantuan. Untuk pemberi bantuan bersifat khusus dapat
mensyaratkan penyediaan dana pendamping dalam APBD atau anggaran
pendapatan dan belanja desa penerima bantuan.
c) Penganggaran untuk alokasi dana desa mempedomani ketentuan PP No.
72 Tahun 2005 tentang desa.
d) Bantuan keuangan tersebut disalurkan ke kas daerah/desa yang
bersangkutan.

17) Belanja Tidak Terduga


Belanja tidak terduga merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak
biasa/tanggap darurat dalam rangka pencegahan dan gangguan terhadap
stabilitas penyelenggaraan pemerintahan demi terciptanya keamanan dan
ketertiban di daerah dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan
bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya,
termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun
sebelumnya yang telah ditutup. Pengembalian atas kelebihan penerimaan
daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup harus didukung dengan
bukti-bukti yang sah.

18) Pendanaan Pilkada


Bagi daerah yang melaksanakan kegiatan Pilkada Tahun 2007, penganggaran
terhadap penyelenggaraan Pilkada agar berpedoman pada Permendagari No.
12 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
174 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia

Belanja Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Permendagri No. 21 Tahun 2004.

Ikhtisar

Belanja daerah adalah semua kewajiban pemda (pemerintah daerah) yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih (ekuitas dana) dalam periode tahun
anggaran yang bersangkutan. Makna pegeluaran belanja berbeda dengan
pengeluaran pembiayaan. Pemda tidak akan mendapatkan pembayaran kembali atas
pengeluaran belanja yang telah terjadi, baik pada tahun anggaran berjalan maupun
pada tahun anggaran berikutnya.

Struktur belanja daerah yang digunakan untuk APBD tahun anggaran 2006
masih mengikuti aturan yang ditetapkan dalam Kepmendagri (Keputusan Menteri
Dalam Negeri) No. 29 Tahun 2002. Akan tetapi, struktur belanja daerah untuk APBD
tahun anggaran 2007, sudah harus mengacu kepada PP No. 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Struktur belanja daerah yang digunakan
untuk APBD tahun anggaran 2006 masih mengikuti aturan yang ditetapkan dalam
Kepmendagri (Keputusan Menteri Dalam Negeri) No. 29 Tahun 2002. Akan tetapi,
struktur belanja daerah untuk APBD tahun anggaran 2007, sudah harus mengacu
kepada PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).

Berdasarkan SAP belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis


belanja), organisasi, dan fungsi. Klasifikasi ekonomi adalah pengelompokan belanja
yang didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktivitas. Klasifikasi
ekonomi meliputi kelompok belanja operasi, belanja modal, dan belanja tak terduga.
Masing-masing kelompok belanja tersebut dirinci menurut jenisnya. Belanja daerah
menurut jenisnya disusun sesuai dengan kebutuhan satuan kerja perangkat daerah.

Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari


pemerintah daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Berdasarkan rincian
jenisnya, belanja operasi terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang, bunga,
subsidi, hibah, bantuan sosial, dan bagi hasil.

Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan
aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal
meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan,
peralatan, dan aset tak berwujud.

Belanja lain-lain/tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang


sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana
alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan
dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.
Belanja Daerah 175

Dengan demikian, jenis-jenis belanja daerah berdasarkan klasifikasi ekonomi


(jenisnya) teridiri atas:
a. Belanja pegawai;
b. Belanja barang dan jasa;
c. Belanja bunga;
d. Belanja subsidi;
e. Belanja hibah;
f. Belanja bantuan keuangan/sosial;
g. Belanja bagi hasil;
h. Belanja modal; dan
i. Belanja lain-lain / tidak tersangka.

Belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari rekening Bendahara Umum
Daerah. Khusus pengeluaran melalui bendahara pengeluaran, pengakuannya terjadi
pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran tersebut disahkan oleh unit yang
mempunyai fungsi perbendaharaan. Pelaporan belanja pada laporan realisasi APBD
menggunakan basis kas. Sesuai dengan pendekatan kinerja yang digunakan dalam
penyusunan APBD, setiap alokasi biaya (belanja) yang direncanakan harus dikaitkan
dengan tingkat pelayanan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai. Kinerja pemda
dapat diukur melalui evalausi terhadap pelaksanaan APBD. Selanjutnya untuk
mengukur kinerja keuangan pemda, berdasarkan Kepmendagri No. 29 tahun 2002,
perlu dikembangkan standar analisis belanja, pemilahan belanja langsung dan tidak
langsung, tolok ukur kinerja, dan standar biaya.
176 Keuangan Daerah: Perspektif Desentralisasi Fiskal
dan Pengelolaan APBD di Indonesia

Pertanyaan:

Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan jelas.

1. Jelaskan perbedaan belanja daerah dengan pengeluaran pembiayaan !


berikan contohnya masing-masing !

2. Jelaskan perbedaan struktur belanja berdasarkan Kepmendagri 29/2002 vs


PP 24/2005 !

3. Kapankah suatu pengeluaran belanja diakui ? dan berdasarkan basis apa


belanja dilaporkan dalam laporan realisasi anggaran ?

4. Jelaskan pengertian belanja langsung dan tidak langsung berdasarkan


konsep Kepmendagri 29/2002 !

5. Jelaskan apakah relevansi pengelompokkan belanja ke dalam belanja


langsung dan tidak langsung dalam kaitannya dengan pengukuran prestasi
kerja dari program atau kegiatan satuan kerja !

˜™

You might also like