You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masa Kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin.
Lamanya hamil normal adalah 280 hari dihitung dari hari pertama haid
terakhir. Kehamilan dibagi dalam 3 triwulan yaitu triwulan pertama
dimulai dari konsepsi sampai 3 bulan, triwulan kedua dari bulan
keempat sampai 6 bulan, triwulan ketiga dari bulan ketujuh sampai 9
bulan. Kehamilan melibatkan perubahan fisik maupun emosional dari
ibu serta perubahan sosial di dalam keluarga. Pada umumnya kehamilan
berkembang dengan normal dan melahirkan bayi sehat cukup bulan,
namun terkadang tidak sesuai dengan yang diharapkan sulit diketahui
sebelumnya bahwa kehamilan akan mengalami masalah atau tidak
(Prawirohardjo 2009, h. 1).
Kegawatdaruratan obstetric adalah suatu keadaan yang
datangnya tiba-tiba, tidak diharapkan, mengancam nyawa, sehingga
perlu penanganan yang cepat dan tepat untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas. Kegawatdaruratan obstetric diantaranya disebabkan oleh
hyperemesis gravidarum, preeklampsi & eklampsi serta pecah ketuban
dini.
Pada umumnya wanita dapat menyesuaikan dengan keadaan
meskipun demikian gejala mual muntah yang berat berlangsung sampai
4 bulan. Pekerjaan menjadi terganggu dan keadaan umum menjadi
buruk. Keadaan ini disebut hyperemesis gravuidarum. Keluhan gejala
dan perubahan fisiologi menentukan berat ringannya penyakit.
Hyperemesis gravidarum yang tidak mendapatkan penanganan yang
baik dapat pula menyebabkan kematian pada ibu hamil (Wiknjosastro,
2007).
Menurut Cunningham (2011) kriteria minimum untuk
mendiagnosis preeklampsia adalah adanya hipertensi disertai proteinuria
minimal. Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan
kejang tiba-tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil,
persalinan atau masa nifas yang menunjukan gejala preeklampsia
sebelumnya (Manuaba. 2007)
Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam obstetri
berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi
korioamnitis sampai sepsis yang meningkatkan morbiditas dan
mortalitas perinatal, dan menyebabkan infeksi ibu (Prawirohardjo 2009,
h. 218).
Mengingat kegawatdaruratan obstetric diantaranya disebabkan
oleh hyperemesis gravidarum, preeklampsi & eklampsi serta pecah
ketuban dapat menimbulkan komplikasi yang lebih berat dan
mempengaruhi status kesehatan ibu dan anak maka penulis tertarik
untuk membahas masalah-masalah tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


Dari latarbelakang diatas, dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana kasus kegawatdaruratan hyperemesis gravidarum ?
2. Bagaimana kasus kegawatdaruratan preeklampsi & eklampsi ?
3. Bagaimana kasus kegawatdaruratan pecah ketuban dini?

1.3. Tujuan
Tujuan dari rumusan masalah diatas adalah untuk mengetahui :
1. Kasus kegawatdaruratan hyperemesis gravidarum.
2. Kasus kegawatdaruratan preeklampsi & eklampsi.
3. Kasus kegawatdaruratan pecah ketuban dni.

1.4. Manfaat
Manfaat pembuatan makalah ini adalah dapat digunakan sebagai
bahan pengajaran dan pembelajaran di bidang pendidikan bagi penulis
maupun pembaca.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hyperemesis Gravidarum
A. Definisi

2
Mual dan muntah yang terjadi pada kehamilan hingga usia 16
minggu. Pada keadaan muntah-muntah yang berat, dapat terjadi
dehidrasi, gangguan asam- basa dan elektrolit dan ketosis; keadaan
ini disebut hiperemesis gravidarum. (Kementerian kesehatan RI,
2013)
B. Diagnosis
Mual dan muntah sering menjadi masalah pada ibu hamil. Pada
derajat yang berat, dapat terjadi hiperemesis gravidarum, yaitu bila
terjadi:
a. Mual dan muntah hebat
b. Berat badan turun > 5% dari berat badan sebelum hamil
c. Ketonuria
d. Dehidrasi
e. Ketidakseimbangan elektrolit (Kementerian kesehatan RI,
2013)
C. Klasifikasi
Menurut Manuaba (2007) adapun gejala dan tanda sesuai
hyperemesis gravidarum tingkatannya, yaitu;
1. Hiperemesis gravidarum tingkat pertama:
a. Muntah berlangsung terus
b. Nafsu makan berkurang
c. Berat badan menurun
d. Kulit dehidrasi-tonusnya lemah
e. Nyeri di daerah epigastrium
f. Tekanandarah turun dan nadi meningkat
g. Lidah kering
h. Mata tampak cekung
2. Hiperemesis gravidarum tingkat kedua:
a. Penderita tampak lebih lemah
b. Gejala dehidrasi makin tampak mata cekung, turgor
kulit makin kurang, lidah kering dan kotor
c. Tekanan darah turun, nadi meningkat
d. Berat badan makin menurun
e. Mata icterus
f. Gejala hemokonsentrasi makin tampak: urine
berkurang, badan aseton dalam urine meningkat
g. Terjadinya gangguan buang air besar
h. Mulai tampak gejala gangguan kesadaran, menjadi
apatis

3
i. Napas berbau aseton
3. Hiperemesis gravidarum tingkat ketiga:
a. Muntah berkurang
b. Keadaan umum wanita hamil makin menurun:
tekanan darah turun, nadi meningkat, dan suhu
naik disertai keadaan dehidrasi makin jelas
c. Gangguan faal hati terjadi dengan manifestasi
icterus
d. Gangguan kesadaran dalam bentuk: somnolen
sampai koma dengan komplikasi susunan saraf
pusat (ensefalopati Wernicke), nistagmus-
perubahan arah bola mata, diplopia-gambar tampak
ganda, perubahan mental.
D. Faktor Predisposisi
Peningkatan hormon-hormon pada kehamilan berkontribusi
terhadap terjadinya mual dan muntah. Beberapa faktor yang terkait
dengan mual dan muntah pada kehamilan antara lain:
a. Riwayat hiperemesis gravidarum pada kehamilan
sebelumnya atau keluarga
b. Status nutrisi; wanita obesitas lebih jarang dirawat inap
karena hiperemesis.
c. Faktor psikologis: emosi, stress (Kementerian kesehatan RI,
2013)
E. Pathway

Gangguan hubungan
ibu-janin

4
Defisien volume
cairan

F. Tatalaksana
a. Tatalaksana Umum
1) Sedapat mungkin, pertahankan kecukupan nutrisi ibu,
termasuk suplementasi vitamin B6 dan asam folat di
awal kehamilan.
2) Anjurkan istirahat yang cukup dan hindari kelelahan.
b. Tatalaksana Khusus
1) Bila perlu, berikan 10 mg doksilamin dikombinasikan
dengan 10 mg vitamin B6 hingga 4 tablet/hari
(misalnya 2 tablet saat akan tidur, 1 tablet saat pagi,
dan 1 tablet saat siang).
2) Bila masih belum teratasi, tambahkan dimenhidrinat
50-100 mg per oral atau supositoria, 4-6 kali sehari
(maksimal 200 mg/hari bila meminum 4 tablet
doksilamin/piridoksin), ATAU prometazin 5-10 mg 3-
4 kali sehari per oral atau supositoria.
3) Bila masih belum teratasi, tapi tidak terjadi dehidrasi,
berikan salah satu obat di bawah ini:
 Klorpromazin 10-25 mg per oral atau 50-100
mg IM tiap 4-6 jam
 Proklorperazin 5-10 mg per oral atau IM atau
supositoria tiap 6-8 jam
 Prometazin 12,5-25 mg per oral atau IM tiap
4-6 jam
 Metoklopramid 5-10 mg per oral atau IM tiap
8 jam
 Ondansetron 8 mg per oral tiap 12 jam
4) Bila masih belum teratasi dan terjadi dehidrasi,
pasang kanula intravena dan berikan cairan sesuai

5
dengan derajat hidrasi ibu dan kebutuhan cairannya,
lalu:
 Berikan suplemen vitamin B6 per IV
 Berikan dimenhidrinat 50 mg dalam 50 ml
NaCl 0,9% IV selama 20 menit, setiap 4-6
jam sekali
 Bila perlu, tambahkan salah satu obat berikut
ini:
 Klorpromazin 25-50 mg IV tiap 4-6
jam
 Proklorperazin 5-10 mg IV tiap 6-8
jam
 Prometazin 12,5-25 mg IV tiap 4-6
jam
 Metoklopramid 5-10 mg tiap 8 jam
per oral
 Bila perlu, tambahkan metilprednisolon 15-20
mg IV tiap 8 jam ATAU ondansetron 8 mg
selama 15 menit IV tiap 12 jam atau 1 mg/
jam terus-menerus selama 24 jam.
(Kementerian kesehatan RI, 2013)
Keterangan lainnya
Awasi komplikasi mual dan muntah serta hiperemesis
gravidarum, seperti gastroesopagheal reflux disease (GERD),
ruptur esofagus, perdarahan saluran cerna bagian atas, dan
defisiensi vitamin, terutama thiamine. (Kementerian kesehatan
RI, 2013)

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Hiperemesis Gravidarum


A. Pengkajian
a. Data Riwayat Kesehatan

6
1) Riwayat kesehatan sekarang

Pada riwayat kesehatan sekarang terdapat keluhan yang


dirasakan oleh ibu sesuai dengan gejala-gejala pada hiperemesis
gravidarum, yaitu : mual dan muntah yang terus menerus,
merasa lemah dan kelelahan, merasa haus dan terasa asam di
mulut, serta konstipasi dan demam. Selanjutnya dapat juga
ditemukan berat badan yang menurun. Turgor kulit yang buruk
dan gangguan elektrolit. Terjadinya oliguria, takikardia, mata
cekung, dan ikterus.

2) Riwayat kesehatan dahulu

 Kemungkinan ibu pernah mengalami hiperemesis


gravidarum sebelumnya

 Kemungkinan ibu pernah mengalami penyakit yang


berhubungan dengan saluran pencernaan yang
menyebabkan mual muntah.

3) Riwayat kesehatan keluarga

 Kemungkinan adanya riwayat kehamilan ganda pada


keluarga.

b. Data Fisik biologis

Data yang dapat ditemukan pada ibu dengan hiperemesis


gravidarum adalah mamae yang membengkak, hiperpigmentasi pada
areola mamae, terdapat kloasma garvidarum, mukosa membran dan

7
bibir kering, turgor kulit buruk, mata cekung dan sedikit ikterik, ibu
tampak pucat dan lemah, takikardi, hipotensi, serta pusing dan
kehilangan kesadaran.

c. Riwayat Menstruasi

 Kemungkinan menarkhe usia 12-14 tahun

 Siklus 28-30 hari

 Lamanya 5-7 hari.

 Banyaknya 2-3 kali ganti duk/hari.

 Kemungkinan ada keluhan waktu haid seperti nyeri, sakit


kepala, dan muntah.

d. Riwayat perkawinan

Kemungkinan terjadi pada perkawian usia muda.

e. Riwayat kehamilan dan persalinan.

 Hamil muda : ibu pusing, mual dan muntah, serta tidak ada
nafsu makan.

 Hamil tua : pemeriksaan umum terhadap ibu mengenai


kenaikan berat badan, tekanan darah, dan tingkat kesadaran.

f. Data psikologi

8
Riwayat psikologi sangat penting dikaji agar dapat diketahui
keadaan jiwa ibu sehubungan dengan perilaku terhadap kehamilan.
Keadaan jiwa ibu yang labil, mudah marah, cemas, takut akan
kegagalan persalinan, mudah menangis, sedih, serta kekecewaan
dapat memperberat mual muntah. Pola pertahanan diri (koping)
yang digunakan ibu bergantung pada pengalamannya terhadap
kehamilan serta dukungan dari keluarga dan perawat.

g. Data sosial ekonomi

Hiperemesis gravidarum bisa terjadi pada semua golongan ekonomi,


namun pada umumnya terjadi pada tingkat ekonomi menengah
kebawah. Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan
yang dimiliki.

h. Data penunjang

Data penunjang didapat dari hasil laboratorium, yaitu pemeriksaan


darah dan urine. Pemeriksaan darah yaitu nilai hemaglobin dan
hematokrit yang meningkat menunjukan hemokonsentrasi yang
berkaitan dengan dehidrasi. Pemeriksaan urinalis yaitu urine yang
sedikit dan konsentrasi yang tinggi akibat dehidrasi, juga
terdapatnya aseton di dalam urine.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Defisien volume cairan

2. Risiko gangguan hubungan ibu-janin (NANDA, 2018)

2.2 Preeklampsia dan Eklampsia


A. Definisi

9
Preeklampsia merupakan tekanan darah > 140/90 mmHg yang
timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria.
Menurut Cunningham (2011) kriteria minimum untuk mendiagnosis
preeklampsia adalah adanya hipertensi disertai proteinuria minimal.
Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan
kejang tiba-tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil,
persalinan atau masa nifas yang menunjukan gejala preeklampsia
sebelumnya (Manuaba. 2007)
B. Diagnosis
1. Preeklampsi
a. Preeklampsia Ringan
1) Tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20
minggu
2) Tes celup urin menunjukkan proteinuria 1+ atau
pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil >300
mg/24 jam
b. Preeklampsia Berat
1) Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20
minggu
2) Tes celup urin menunjukkan proteinuria ≥2+ atau
pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil >5 g/24
jam
3) Atau disertai keterlibatan organ lain:
4) Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis
mikroangiopati
5) Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran
kanan atas
6) Sakit kepala , skotoma penglihatan
7) Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
8) Edema paru dan/atau gagal jantung kongestif
9) Oliguria (< 500ml/24jam), kreatinin > 1,2 mg/dl
c. Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik
1) Ibu dengan riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum
usia kehamilan 20 minggu)

10
2) Tes celup urin menunjukkan proteinuria >+1 atau
trombosit <100.000 sel/uL pada usia kehamilan > 20
minggu (Kementerian kesehatan RI, 2013)
2. Eklampsi
Seluruh kejang eklamsia didahului dengan pre eklampsia.
Eklampsi digolongkan menjadi kasus antepartum, intrapartum
dan post partum, adapun tanda dan gejalanya sebagai berikut:
a. Eklamsia ringan
- Peningkatan tekanan darah >140/90 mmHg
- Keluarnya protein melalui urine (proteinuria) dengan
hasil lab proteinuria kuantitatif (esbach) >=300mg/24
jam
- Kenaikan berat badan lebih dari 1 kg seminggu
- Bengkak kedua kaki, lengan dan kelopak mata

b. Eklamsi berat
- Tekanan darah 160/110 mmHg
- Proteinuria kuantitatif > = 2 gr/24 jam
- Terdapat protein di dalam urine dalam jumlah yang
signifikan
- Trombosit kurang dari 100.000/mm3 . (Manuaba, 2007)

C. Pathway

Risiko gangguan
hubungan ibu-janin IBU-
JANIN
Resiko cedera pada
Ibu

11
D. Tatalaksana
Tujuan:

1. Menghentikan dan mencegah kejang


2. Memperbaiki keadaan umum ibu/janin seoptimal mungkin
3. Mencegah komplikasi
4. Terminasi kehamilan/persalinan dengan trauma seminimal
mungkin pada ibu.
Semua kehamilan dengan eklampsi harus diakhiri tanpa
memandang umur kehamilan dan keadaan janin.
Pertimbangannya adalah keselamatan ibu. Kehamilan diakhiri
bila sudah terjadi stabilisasi hemodinamika dan metabolisme ibu,
cara terminasi dengan prinsip trauma ibu seminimal mungkin
(Manuaba, 2007)
1. Pengobatan medikamentosa
Prinsip pengobatan eklampsia adalah Menghindari
tejadinya kejang berulang, mengurangi koma, meningkatkan
jumlah diuresis. Sedangkan menurut penanganan pada pasien
eclampsia.
a. Obat-obatan anti kejang
Pasien eklamsia harus ditangani di Rumah Sakit
diberi pengobatan awal untuk mengatasi kejang dan
pemberian obat Antihiperentensi. Berikan O2 4-6
liter/menit. Pasang infus D5 % 500 ml/ 6 jam dengan

12
kecepatan 20 tetes permenit. pasang kateter urin, pasang
guedel atau spatel. Bahu diganjal kainsetebal 5 cm agar
lebih defleksi sedikit. Posisi tempat tidur dibuat sedikit
fowler agar kepala tetap tinggi. Fiksasi pasien agar tidak
jatuh.

DOSIS DAN CARA PEMBERIAN MGSO4


1) Loading dose : 4 g MgSO4 40% dalam 100 cc NaCL :
habis dalam 30 menit (73 tts / menit)
2) Maintenance dose : 6 gr MgSO4 40% dalam 500 cc
Ringer Laktat selama 6 jam : (28 tts/menit)
3) Awasi : volume urine, frekuensi nafas, dan reflex
patella setiap jam
4) Pastikan tidak ada tanda-tanda intoksikasi magnesium
pada setiap pemberian MgSO4 ulangan
5) Bila ada kejang ulangan : berikan 2g MgSO4 40%, IV

. Bila syarat pemberian MgSO4 tidak terpenuhi di berikan:

a. Diazepam: dosis awal 20 mg IM atau 10 mg IV


perlahan dalam 1 menit atau lebih. Dosis
pemeliharaan D5% 500 ml + 40 mg diazepam tpm
dan dosis maksimum 2000 ml/ 24 jam. Pemberian
diazepam lebih disukai pada eklamsia puerpuralis
karena pada dosis tinggi menyebabkan hipotonik
neonatus.

b. Fenobarbital: 120-140 mg IV perlahan dengan


kecepatan tidak melebihi 60 mg/ menit. Dosis
maksimal 1000 mg.

Perawatan kalau kejang

a. Kamar isolasi yang cukup tenang

b. Pasang sudep lidah ke dalam mulut

13
c. Kepala direndahkan dan orofaring dihisap

d. Oksigenasi yang cukup

e. Fiksasi badan di tempat tidur harus cukup longgar


agar tidak terjadi fraktur.

Perawatan kalau koma

a. Monitoring kesadaran dan dalamnya koma dan


tentukan skor tanda vital

b. Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan


makanan penderita.

c. Pada koma yang lama bila nutrisi parenteral tidak


mungkin maka berikan dalam bentuk per NGT.

2. Memperbaiki keadaan umum ibu


a. Infus D5%
b. Pasang CVP untuk :
Pemantauan keseimbangan cairan (pertimbangan
pemberian low molekul Dextran)
c. Pemberian kalori (D10%)
d. Koreksi keseimbangan asam basa (pada asidosis
maka diberikan NaBic/Meylon 50 meq iv)
e. Koreksi keseimbangan elektrolit (didasarkan atas
hasil pemeriksaan lain)
3. Mencegah Komplikasi
a. Obat-obatan hipertensi, diberikan pada penderita
dengan TD 180/110 mmHg atau lebih
b. Diuretika, hanya diberikan atas indikasi edema dan
kelainan fungsi ginjal (apabila faktor pre renal sudah
diatasi)

14
c. Kardiotonika, diberikan atas indikasi ; ada tanda-
tanda payah jantung, edema paru, nadi 120 x/menit,
sianosis, diberikan digitalis cepat dengan cedilanid
d. Antibiotika spektrum luas.
e. Antipiretika dan atau kompres alcohol
f. Kortikosteroid

Asuhan Keperawatan Pada Ibu Preeklampsi & Eklampsi


A. Pengkajian
a. Data Subyektif
1) Umur biasanya sering terjadi pada primi gravida , < 20 tahun
atau > 35 tahun
2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tensi,
oedema, pusing, nyeri epigastrium, mual muntah,
penglihatan kabur
3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia,
vaskuler esensial, hipertensi kronik, DM
4) Riwayat kehamilan : riwayat kehamilan ganda, mola
hidatidosa, hidramnion serta riwayat kehamilan dengan pre
eklamsia atau eklamsia sebelumnya
5) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan
pokok maupun selingan
6) Psiko sosial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat
menyebabkan kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan
moril untuk menghadapi resikonya
b. Data Obyektif
 Pemeriksaan Fisik

1) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24


jam
2) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, lokasi edema
3) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya
fetal distress

15
4) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat
pemberian SM ( jika refleks + )
 Pemeriksaan penunjang
1) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur,
diukur 2 kali dengan interval 6 jam
2) Laboratorium : protein uri dengan kateter atau midstream
( biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2
pada skala kualitatif ), kadar hematokrit menurun, BJ urine
meningkat, serum kreatini meningkat, uric acid biasanya > 7
mg/100 ml
3) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu
4) Tingkat kesadaran ; penurunan GCS sebagai tanda adanya
kelainan pada otak
5) USG ; untuk mengetahui keadaan janin
6) NST : untuk mengetahui kesejahteraan janin
B. Diagnosa Keperawatan
1) Risiko gangguan hubungan ibu-janin (NANDA, 2018)
2) Risiko cedera pada ibu (SDKI, 2016)

2.3 Ketuban Pecah Dini


A. Definisi
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban
sebelum persalinan atau dimulainya tanda inpartu (Kementerian
kesehatan RI, 2013)
B. Diagnosis
Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan inspekulo. Dari anamnesis didapatkan penderita
merasa keluar cairan yang banyak secara tiba-tiba. Kemudian
lakukan satu kali pemeriksaan inspekulo dengan spekulum steril
untuk melihat adanya cairan yang keluar dari serviks atau
menggenang di forniks posterior. Jika tidak ada, gerakkan sedikit
bagian terbawah janin, atau minta ibu untuk mengedan/batuk.

16
Pemeriksaan dalam sebaiknya tidak dilakukan kecuali akan
dilakukan penanganan aktif (melahirkan bayi) karena dapat
mengurangi latensi dan meningkatkan kemungkinan infeksi.
Pastikan bahwa:
1) Cairan tersebut adalah cairan amnion dengan
memperhatikan:
a. Bau cairan ketuban yang khas.
b. Tes Nitrazin: lihat apakah kertas lakmus berubah dari
merah menjadi biru. Harap diingat bahwa darah, semen,
dan infeksi dapat menyebabkan hasil positif palsu
c. Gambaran pakis yang terlihat di mikroskop ketika
mengamati sekret servikovaginal yang mengering
2) Tidak ada tanda-tanda in partu
Setelah menentukan diagnosis ketuban pecah dini,
perhatikan tanda-tanda korioamnionitis. (Kementerian
kesehatan RI, 2013)

C. Pathway

17
D. Faktor predisposisi
1) Riwayat ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya
2) Infeksi traktus genital
3) Perdarahan antepartum
4) Merokok (Kementerian kesehatan RI, 2013)
E. Tatalaksana
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kasus
KPD yang cukup bulan, jika tidak segera mengakhiri kehamilan
akan menaikkan insidensi bedah Caesar, dan kalau menunggu
persalinan spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis.
Kasus KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara aktif
harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau
menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi waktu
pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi
yang akan memperburuk prognosis janin.
Risiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan
adalah RDS dibandingkan dengan sepsis.Oleh karena itu, pada
kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan
waktu yang optimal untuk persalinan.Pada umur kehamilan 34
minggu atau lebih biasanya paru-paru sudah matang,
chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsis pada janin merupakan
sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin.
Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung
berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya
periode laten. Ada 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam
mengambil sikap atau tindakan terhadap KPD yaitu, umur

18
kehamilan dan ada atau tidaknya tanda-tanda infeksi pada ibu.
Adapun penatalaksanaannya sebagai berikut:

1) Konservatif:
a. Rawat di rumah sakit
b. Beri antibiotika: Ampisillin 4x500mg atau Gentamycin 1x80mg.
c. Umur kehamilan <32-34 minggu: dirawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
d. Usia kehamilan 32-34 minggu, bila masih keluar air ketuban >12
jam, maka dipertimbangkan untuk partus percobaan atau SC atau
terminasi kehamilan.
e. Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda infeksi intrauterine)
f. Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid selama memacu
kematangan paru-paru janin.
2) Aktif:
a. Kehamilan > 35 minggu: induksi oksitosin, bila gagal dilakukan
seksio sesaria. Cara induksi: 1 ampul syntocinon dalam Dekstrose
5%, dimulai 4 tetes/menit, tiap ¼ jam dinaikkan 4 tetes sampai
maksimum 40 tetes/menit.
b. Pada keadaan CPD, letak lintang dilakukan seksio sesaria.
c. Bila ada tanda infeksi: berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan
diakhiri. (Manuaba, 2007)

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Ketuban Pecah Dini


A. Pengkajian
Riwayat penyakit
a. Riwayat kesehatan sekarang ibu datang dengan pecahnya
ketuban sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu
dengan atau tanpa komplikasi
b. Riwayat kesehatan dahulu
- Adanya trauma sebelumnya akibat efek
pemeriksaan amnion
- Sintesi ,pemeriksaan pelvis dan hubungan seksual

19
- Infeksi vagiana /serviks oleh kuman sterptokokus
- Selaput amnion yang lemah/tipis
- Posisi fetus tidak normal
- Kelainan pada otot serviks atau genital seperti
panjang serviks yang pendek
- Multiparitas dan peningkatan usia ibu serta
defisiensi nutrisi.
c. Pemeriksaan fisik
- Genitalia
 Inspeksi :kebersihan ada/tidaknya tanda-tanda
REEDA(Red,Edema,discharge,approxiamatel
y); pengeluaran air ketuban (jumlah
,warna,bau dan lender merah mda kecoklatan
 Palpas :pembukaan serviks(0-4)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko Infeksi
2. Risiko gangguan hubungan ibu-janin (NANDA, 2018)

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan

20
Pada masa kehamilan terdapat kegawatdaruratan pada ibu
meliputi hyperemis gravidarum, preeklampsi & eklampsi serta
ketuban pecah dini.
Hiperemesis gravidarum merupkan mual dan muntah yang
terjadi pada kehamilan hingga usia 16 minggu. Pada keadaan
muntah-muntah yang berat, dapat terjadi dehidrasi, gangguan asam-
basa dan elektrolit dan ketosis.
Preeklampsia merupakan tekanan darah > 140/90 mmHg yang
timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria.
Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang
tiba-tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil.
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban
sebelum persalinan atau dimulainya tanda inpartu.
Semua penyulit dalam kegawatdaruratan tersebut memiliki
gejala, peyebab serta diperlukan penatalaksanaan yang tepat untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang dapat menyebabkan kematian
ibu dan janin.
3.2 Saran
Sebagai tenaga kesehatan khususnya seorang perawat kita harus
memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengatasi semua
kondisi kegawatdaruratan dalam kehamilan dengan cepat, tepat untuk
menghindari kematian ibu dan janin.

Daftar Pustaka

Bulechek, G.M. Butcher, H.K. Dochterman, J.M. Wagner, C.M. 2016.


Nursing Interventions Classification (NIC). Singapore : Elsevier
Global Rights.
Cunningham FG, Gant NF. 2011. Dasar-Dasar Ginekologi & Obstetri.
Jakarta: Penerbit Buku EGC.

21
Herman, T.H. 2015-2017. NANDA Internasional Inc. Diagnosis
Keperawatan: definisi & klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan Pedoman Bagi Tenaga
Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Manuaba, IGB. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC.
Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M.L. Swanson, E. 2016. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Singapore: Elsevier Global
Rights
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI

22

You might also like