You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Spina bifida (yang dalam bahasa Inggris padanannya adalah split spine) atau celah pada tulang
belakang karena ada ruas-ruas tulang belakang yang gagal menyatu sejak proses awal
kehamilan. Tak tertutupnya secara sempurna tabung saraf embrionik, lazim disebut cacat
pembuluh saraf (neural tube defect/NTD), mengakibatkan cacat bawaan berupa tungkai
pengkor hingga kelumpuhan kaki, kehilangan kontrol buang air kecil dan buang air besar,
hingga gangguan tumbuh kembang lainnya.
Penyakit spina bifida atau sering dikenal sebagai sumbing tulang belakang adalah salah satu
penyakit yang banyak terjadi pada bayi. Penyakit ini menyerang medula spinalis dimana ada
suatu celah pada tulang belakang (vertebra). Hal ini terjadi karena satu atau beberapa bagian
dari vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh dan dapat menyebabkan cacat
berat pada bayi, ditambah lagi penyebab utama dari penyakit ini masih belum jelas. Hal ini
jelas mengakibatkan gangguan pada sistem saraf karena medula spinalis termasuk sistem saraf
pusat yang tentunya memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem saraf manusia. Jika
medula spinalis mengalami gangguan, sistem-sistem lain yang diatur oleh medula spinalis pasti
juga akan terpengaruh dan akan mengalami gangguan pula. Hal ini akan semakin memperburuk
kerja organ dalam tubuh manusia, apalagi pada bayi yang sistem tubuhnya belum berfungsi
secara maksimal.Di Amerika Serikat tercatat sekitar 5 per 10.000 kelahiran dengan cacat
pembuluh saraf (NTD) seperti spina bifida, encephalocele, dan pertumbuhan otak tak sempurna
(anencephaly). Di Indonesia diperkirakan tingkat NTD seperti spina bifida cukup tinggi, yaitu
15 per 10.000 kelahiran (Kompas, 14/9/2007).Spina bifida kira-kira muncul pada 2-3 dari 1000
kelahiran, tetapi bila satu anak telah terinfeksi maka resiko untuk anak yang lain menderita
spina bifida sepuluh kali lebih besar.
Spina bifida ditemukan juga pada ras hispanik dan beberapa kulit putih di Eropa, dan dalam
jumlah yang kecil pada ras Asia dan Afrika-Amerika. 95 % bayi yang lahir dengan spina bifida
tidak memiliki riwayat keluarga yang sama. Bagaimanapun juga, jika seorang ibu memiliki
bayi yang menderita spina bifida , maka resiko hal ini terulang lagi pada kehamilan berikutnya
akan meningkat.
Spina bifida tipe okulta terjadi pada 10 – 15 % dari populasi. Sedangkan spina bifida tipe
cystica terjadi pada 1 : 1000 kehamilan. Terjadi lebih banyak pada wanita daripada pria (3 : 2)
dan insidennya meningkat pada orang China.
Kelainan ini seringkali muncul pada daerah lumbal atau lumbo-sacral junction.(6, 10) Tetapi
juga dapat terjadi pada regio servikal dan torakal meskipun dalam skala yang kecil.
Beberapa masalah yang paling sering muncul pada kasus spina bifida adalah :
1. Arnold-Chiari Malformasi, 90% kasus muncul bersamaan dengan spina bifida dimana
sebagian massa otak menonjol ke dalam rongga spinal.
2. Hydrosefalus, 70-90% biasanya juga muncul bersamaan dengan spina bifida. Pada keadaan
ini terjadi peningkatan berlebihan dari liquor cerebrospinal.
3. Gangguan pencernaan dan gangguan kemih, dimana terjadi gangguan pada saraf yang
mempersarafi organ tersebut. Anak-anak sering mengalami infeksi kronik atau infeksi berulang
saluran kemih yang disertai kerusakan pada ginjal.
4. Gangguan pada ekstremitas terjadi ± 30% kasus. Gangguan dapat berupa dislokasi sendi
panggul, club foot. Gangguan ini dapat terjadi primer atau sekunder karena ketidakseimbangan
otot atau paralsis.
(ilmubedah.com)

1.2 Tujuan
1.3 Rumusan Masalah
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Spina bifida ( Sumbing Tulang Belakang) adalah suatu kondisi dimana terdapat suatu
celah pada tulang belakang (vertebra), yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa
vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh. Keadaan ini biasanya terjadi pada
minggu keempat masa embrio.
Spina bifida merupakan suatu kelainan bawaan berupa defek pada arkus posterior tulang
belakang akibat kegagalan penutupan elemen saraf dari kanalis pada perkembangan awal dari
embrio (Chairuddin Rasyad, 1998).
Spina bifida merupakan suatu kelainan kongenital berupa defek pada arkus posterior
tulang belakang akibat kegagalan penutupan elemen saraf dari kanalis spinalis pada
perkembangan awal dari embrio.Pada stadium dini pembentukan lempeng neural terbentuk
celah neural yang kemudian membentuk pipa neural. Pipa neural inilah yang kemudian menjadi
jaringan otak dan medula spinalis. Ketika dalam kandungan, jaringan yang membentuk pipa
neural tidak menutup atau tidak tertutup secara sempurna. Ini menyebabkan adanya bagian
yang terbuka pada vertebra, yang mengelilingi dan melindungi korda spinalis. Proses
penutupan pipa neural ini berlangsung selama minggu keempat kehidupan embrio dan biasanya
sebelum wanita mengetahui kehamilannya dan berakhir. Proses neuralisasi mulai pada garis
tengah dorsal dan berlanjut ke arah sefal dan kaudal. Penutupan yang paling akhir terjadi pada
ujung posterior yaitu pada hari ke-28.Kadang-kadang alur saraf tersebut tidak menutup, ini
oleh karena kesalahan induksi oleh chorda spinalis yang terletak dibawahnya atau karena
pengaruh faktor-faktor teratogenik lingkungan sel-sel neuroepitel. Jaringan saraf dalam hal ini
tetap terbuka ke dunia luar. Gangguan proses ini menyebabkan defek pipa neural yang
kemudian digolongkan sebagai disrafisme. Disrafisme terbagi dua yakni kranial dan spinal.
Disrafisme spinal / mielodisplasia adalah anomali kongenital dari spinal yang
diakibatkan oleh kegagalan fusi dari struktur-struktur pada garis tengah. Bila lesinya hanya
terbatas pada tulang (arkus) posterior baik satu atau beberapa level, kelainan ini disebut sebagai
spina bifida. Jika elemen saraf ikut terlibat maka akan menimbulkan paralisis dan hilangnya
sensasi dan gangguan pada sfingter. Derajat dan lokalisasi defek yang terjadi bervariasi. Pada
keadaan yang ringan mungkin hanya ditemukan kegagalan fusi satu atau lebih dari satu arkus
posterior vertebra pada daerah lumbosakral. Terkadang kelainan ini tidak menimbulkan gejala
klinis yang signifikan. Seringkali apabila terjadi defek pada arkus posterior maka akan timbul
gangguan pada permukaan kulit yang menutupinya, yang tampak seperti lesung, seikat rambut,
massa lemak atau sinus kulit.

2.2 Etiologi

Penyebab spesifik dari spina bifida tidak diketahui,tetapi di duga akibat:

 Genetik
 Kekurangan asam folat pada masa kehamilan
 Lingkungan
 Kekurangan kadar vitamin maternal

Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya kelainan


kongenital antara lain:

1.Kelainan Genetik danKromosom.


Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas
kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang
mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang
bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant traits") atau kadang-kadang
sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya
kelainan kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-
langkah selanjutya. Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran ,
maka telah dapat diperiksa kemingkinan adanya kelainan kromosom selama
kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya.
Beberapa contoh kelainan kromosom autosomal trisomi 21 sebagai sindroma down
(mongolism). Kelainan pada kromosom kelamin sebagai sindroma turner.

2. Faktor Mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan
kelainan hentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ cersebut.
Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah
terjadinya deformitas suatu organ.

3. Faktor infeksi.
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi
pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya
infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan
dalam pertumbuhan suatu organ rubuh. Infeksi pada trimesrer pertama di samping
dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan
terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi
oleb virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella
pada trimester pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai
katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan
jantung bawaan. Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat
menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus,
infeksi toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah
adanya gangguan pertumbuhan pada system saraf pusat seperti hidrosefalus,
mikrosefalus, atau mikroftalmia.

4. Faktor obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama
kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital
pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dagat menimbulkan
kelainan kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya
fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita
hamil muda dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan
terjadinya kelainan kongenital, walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak
diketahui secara pasti. Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama,
dihindari pemakaian obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini
kadang-kadang sukar dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum
obat. Hal ini misalnya pada pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu,
pemakaian sitostatik atau prepaat hormon yang tidak dapat dihindarkan; keadaan
ini perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum kehamilan dan akibatnya
terhadapbayi.
6. Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan
kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes
mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila
dibandingkan dengan bayi yang normal.

7. Faktor radiasi
Radiasi pada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat menimbulkan
kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada
orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi pada gene yang
mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang
dilahirkannya. Radiasi untuk keperluan diagnostik atau terapeutis sebaiknya
dihindarkan dalam masa kehamilan, khususnya pada hamil muda.

8. Faktor gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat
menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan
menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi
yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi
protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan
kejadian &elainan kongenital.

2.3 Anatomi
Gambar 1:

Sum-sum Tulang Belakang dan Medulla Spinalis

Korda spinalis manusia memanjang dari foramen magnum hingga setinggi vertebra
lumbar pertama atau lumbar kedua. Rata-rata panjangnya 45 cm pada pria dan 42 cm pada
wanita, memiliki bentuk seperti silinder pada segmen servikal atas dan segmen thorakal, dan
bentuk oval di segmen servikal bawah dan segmen lumbar, yang merupakan tempat pleksus
nervus brachial dan nervus lumbosakral.Pada tahap awal pertumbuhan fetal, korda spinalis ini
mengisi sepanjang kanalis vertebra. Saat bayi lahir, korda spinalis ini memanjang ke bawah
sampai ke batas bawah dari vertebra lumbar III. Pada akhir dewasa muda, korda spinalis
mencapai posisi seperti orang dewasa, dimana ia berhenti setinggi discus intervertebra lumbar
I dan lumbar II. Tempat dimana korda spinalis berakhir berubah seiring pertumbuhan karena
kolumna vertebralis bertumbuh lebih cepat dari pada korda spinalis. Panjang dari korda spinalis
secara keseluruhan adalah 70 cm. Korda spinalis mengalami pembesaran di dua tempat, yaitu
servikal (segmen C III- Th II) dan lumbar (segmen LI-SIII). Ini merupakan tempat saraf yang
menginnervasi ekstremitas atas dan bawah. Ujung bawah korda spinalis meruncing
membentuk konus medullaris.Korda spinalis manusia terbagi atas 31 segmen (8 segmen
servikal, 12 segmen thorakal, 5 segmen lumbal, 5 segmen sacral, dan 1 coccygeal) dimana dari
masing-masing segmen, kecuali segmen servikal yang pertama, memiliki sepasang root dorsal
dan root ventral dan sepasang nervus spinalis. Segmen servikal pertama hanya memiliki root
ventral. Root ventral dan dorsal bergabung di foramina intervertebralis untuk membentuk
nervus spinalis. Nervus spinalis meninggalkan kanalis vertebralis melalui foramina
intervertebralis: Servikal I muncul di atas atlas; servikal VIII muncul antara servikal VII dan
thorakal I. Nervus spinal lain keluar di bawah vertebra yang berkesesuaian.

Karena perbedaan tingkat pertumbuhan dari korda spinalis dan kolumna vertebralis,
segmen korda spinalis tidak sesuai dengan kolumna vertebranya. Ditingkat servikal, ujung
spinal vertebra sesuai dengan tingkat kordanya; tapi tulang servikal VI sesuai dengan tingkat
korda spinalis VII. Pada regio thorakal atas, ujung spinal berada dua segmen di atas korda
spinalis yang berkesesuaian, jadi thorakal IV sesuai dengan korda segmen ke VI. Pada regio
thorakal bawah dan lumbar atas, beda antara tingak vertebra dan korda adalah tiga segmen, jadi
spinal thorakal X sesuai dengan lumbar I. Kumpulan akar saraf lumbosakral di filum terminale
disebut cauda equina.
2.4 Klasifikasi

Klasifikasi Spina Bifida

Spina bifida dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Spina Bifida Okulta


Bentuk ini merupakan spina bifida yang paling ringan. Kelainan seperti ini biasanya
terdapat didaerah sacrolumbal, sebagian besar ditutupi oleh kulit dan tidak tampak dari luar
kecuali adanya segumpal kecil rambut diatas daerah yang dihinggapi. Pada keadaan seperti
ini medula spinalis dan saraf-saraf biasanya normal dan gejala-gejala neurologik tidak
ditemukan. Spina Bifida Okulta sering didiagnosis secara tidak sengaja saat seseorang
mengalami pemeriksaan X-ray atau MRI untuk alasan yang lain. Pada neural tube defek
(NTD) jenis ini, tidak terjadi herniasi dari menings melalui defek pada vertebra. Lesi yang
terbentuk terselubung atau tersembunyi di bawah kulit. Pada tipe ini juga tidak disertai
dengan hidrosefalus dan malformasi Chiari II.

Seringkali lesi pada kulit berupa hairy patch, sinus dermal, dimple, hemangioma atau
lipoma dan kadang-kadang timbul gangguan neurologik pada regio torakal, lumbal, dan
sakral. Pada masa pertumbuhan anak-anak dapat pula ditemukan paralisis spastik yang
ringan.Deteksi dini pada spina bifida okulta sangatlah penting mengingat bahwa fungsi
neurologis hanya dapat dipertahankan dengan tindakan intervensi bedah secara dini dan
tepat.
Kelompok ini mencakup kelainan-kelainan : lipoma spinal, sinus dermal,
lipomielomeningokel, diastematomielia, hipertrofi filum terminale dan meningokel sakral
anterior.

a. Lipoma spinal

Perkembangan embriologis lipoma spinal tidak diketahui secara terperinci.


Pada kasus–kasus ini, elemen spinal normal tetap ada namun lokasinya abnormal.
Lipoma spinal adalah keadaan di mana terdapat jaringan lemak yang masuk di dalam
jaringan saraf, sehingga terjadi kerusakan dan mengakibatkan disfungsi neurologis.

Pada umumnya tidak ada kelainan neurologis, tetapi kadang terjadi, karena
dengan bertambahnya usia, lipoma akan membesar dan menekan sistem saraf. Lipoma
seperti ini dapat berupa lipomeningomielokel atau melekat pada meningomielokel.
Pemeriksaan radiologik dilakukan seperti pada meningokel.
c. Sinus dermal
Sinus dermal merupakan lubang terowongan (traktus) di bawah kulit mulai dari
epidermis menuju lapisan dalam, menembus duramater dan sampai ke rongga
subarakhnoid. Tampilan luarnya berupa lesung atau dimpel kulit yang kadang
mengandung sejumput rambut di permukaannya dan kebanyakan di daerah lumbal.
Biasanya kelainan ini asimptomatik, namun bila menembus duramater, sering
menimbulkan meningitis rekuren.

c. Lipomielomeningokel
Lipomielomeningokel sering kali terdeteksi sebagai suatu gumpalan lemak pada
bagian belakang tubuh terutama di daerah lumbo-sakral. Kelainan ini kerap dikaitkan
sebagai deformitas kosmetik, namun sebenarnya ia merupakan suatu kompleks anomali
kongenital yang bukan hanya terdiri dari infiltrasi perlemakan jaringan saraf saja, tetapi
juga mengandung meningokel atau meningomielokel yang besar.

d. Diastematomielia

Diastematomielia merupakan salah satu manifestasi disrafisme spinal yang jarang


terjadi dan terdiri atas komponen-komponen :

1. Terbelahnya medula spinalis menjadi dua hemikord. Duramater dapat tetap


satu atau membentuk septa.
2. Ada tulang rawan yang menonjol dari korpus vertebra dan membelah kedua
hemikord diatas.
3. Lokasi diastematomielia biasanya di daerah toraks atau torako-lumbar, dan
juga biasanya ada abnormalitas vertebra (hemivertebra). Ciri khas dari
kelainan ini adalah adanya sejumput rambut dari daerah yang ada
diastematomielia.

2. Spina Bifida Aperta (cystica)


. Bentuk cacat tabung saraf tempat kantong selaput otak menonjol melalui lobang.
Kulit diatas pembengkakan biasanya tipis, tekanan pada kantong menyebabkan fontanella
menonjol. Spina Bifida Aperta dapat terjadi 2 keadaan :

a. Meningokel

Adalah ketika kantung berisi cairan cerebro-tulang belakang (cairan yang mengelilingi
otak dan sumsum tulang belakang) dan meninges (jaringan yang meliputi sumsum tulang
belakang), tidak ada keterlibatan saraf. meningens menonjol melalui vertebra yang tidak
utuh dan teraba sebagai suatu benjolan dari cairan dibawah kulit.
Meningokel melibatkan meningen, yaitu selaput yang bertanggung jawab untuk
menutup dan melindungi otak dan sumsum tulang belakang. Meningokel memiliki gejala
lebih ringan daripada myelomeningokel karena korda spinalis tidak keluar dari tulang
pelindung, Meningocele adalah meningens yang menonjol melalui vertebra yang tidak utuh
dan teraba sebagai suatu benjolan berisi cairan di bawah kulit dan ditandai dengan
menonjolnya meningen, sumsum tulang belakang dan cairan serebrospinal. Meningokel
seperti kantung di pinggang, tapi disini tidak terdapat tonjolan saraf corda spinal. Seseorang
dengan meningocele biasanya mempunyai kemampuan fisik lebih baik dan dapat
mengontrol saluran kencing ataupun kolon.
b. Myelomeningokel

Myelomeningokel ialah jenis spina bifida yang kompleks dan paling berat, dimana
korda spinalis menonjol dan keluar dari tubuh, kulit diatasnya tampak kasar dan merah.
Penaganan secepatnya sangat di perlukan untuk mengurangi kerusakan syaraf dan infeksi
pada tempat tonjolan tesebut. Jika pada tonjolan terdapat syaraf yang mempersyarafi otot
atau extremitas, maka fungsinya dapat terganggu, kolon dan ginjal bisa juga terpengaruh.
Jenis myelomeningocale ialah jenis yang paling sering dtemukan pada kasus spina bifida.
Kebanyakan bayi yang lahir dengan jenis spina bifida juga memiliki hidrosefalus,
akumulasi cairan di dalam dan di sekitar otak.

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala bervariasi tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis
dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala,
sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh
korda spinalis maupun nakar saraf yang terkena.
Gejalanya dapat berupa :
 Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru
lahir.
 Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya.
 Kelumpuhan / kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki.
 Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang).
 Lekukan pada daerah sakrum.
2.6 Patofisiologi
Spina bifida disebabkan oleh kegagalan dari tabung saraf untuk menutup selama
bulan pertama embrio pembangunan (sering sebelum ibu tahu dia hamil). Biasanya
penutupan tabung saraf terjadi pada sekitar 28 hari setelah pembuahan. Namun, jika
sesuatu yang mengganggu dan tabung gagal untuk menutup dengan baik, cacat tabung
saraf akan terjadi. Obat seperti beberapa Antikonvulsan, diabetes, setelah seorang
kerabat dengan spina bifida, obesitas, dan peningkatan suhu tubuh dari demam atau
sumber-sumber eksternal seperti bak air panas dan selimut listrik dapat meningkatkan
kemungkinan seorang wanita akan mengandung bayi dengan spina bifida. Namun,
sebagian besar wanita yang melahirkan bayi dengan spina bifida tidak punya faktor
risiko tersebut, sehingga meskipun banyak penelitian, masih belum diketahui apa yang
menyebabkan mayoritas kasus. Beragam spina bifida prevalensi dalam populasi
manusia yang berbeda dan bukti luas dari strain tikus dengan spina bifida menunjukkan
dasar genetik untuk kondisi. Seperti manusia lainnya penyakit seperti kanker, hipertensi
dan aterosklerosis (penyakit arteri koroner), spina bifida kemungkinan hasil dari
interaksi dari beberapa gen dan faktor lingkungan. Penelitian telah menunjukkan bahwa
kekurangan asam folat (folat) adalah faktor dalam patogenesis cacat tabung saraf,
termasuk spina bifida.

2.7 Pathway
2.7 Komplikasi

Komplikasi lain dari spina bifida yang berkaitan yang berkaitan dengan kelahiran
antara lain adalah :
 Paralisis Cerebri
 Retardasi Mental
 Atrofi Otot
 Osteoporosis
 Fraktur (akibat penurunan massa otot).
2.8 Faktor Resiko
 Umur (bayi baru lahir)
 Kekurangan asam folat

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pada trimester
pertama wanita hamil menjalani pemeriksaan darah yang disebut Triple Screen. Tes ini
merupakan tes penyaringan untuk spina bifida, sindroma down dan kelainan bawaan
lainnya. 85 % wanita yang mengandung bayi dengan spina bifida akan memiliki kadar
serum alfa feytoprotein yang tinggi. Tes ini memiliki angka positif palsu yang tinggi,
karena itu jika hasilnya positif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk
memperkuat diagnosis. Dilakukan USG yang biasanya dapat menemukan adanya spina
bifida.
Kadang dilakukan amniosentesis (analisa cairan ketuban)
Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan berikut :
 Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan.
 USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pada korda spinalis
maupun vertebra.
 CT-Scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk menentukan
lokasi dan luasnya kelainan.

2.10 Penatalaksanaan
1.Penatalaksanaan Medis
Pembedahan mielomeningokel dilakukan pada periode neonatal untuk
mencegah ruptur. Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal dan pirau CSS pada
bayi hidrocefalus dilakukan pada saat kelahiran. Pencangkokan pada kulit diperlukan
bila lesinya besar. Antibiotic profilaktik diberikan untuk mencegah meningitis.
Intervensi keperawatan yang dilakukan tergantung ada tidaknya disfungsi dan berat
ringannya disfungsi tersebut pada berbagai sistem tubuh.Berikut ini adalah obat-obat
yang dapat diberikan :
 Antibiotic digunakan sebagai profilaktik untuk mencegah infeksi
saluran kemih (seleksi tergantung hasil kultur dan sensitifitas).
 .Antikolinergik digunakan untuk meningkatkan tonus kandung kemih.
 . Pelunak feces dan laksatif digunakan untuk melatih usus dan
pengeluaran feces.(Cecily L Betz dan Linda A Sowden, 2002, halaman
469)
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Pre – operasi

Segera setelah lahir daerah yang terpapar harus dikenakan kasa steril yang
direndam salin yang ditutupi plastik, atau lesi yang terpapar harus ditutupi kasa
yang tidak melekat, misalnya telfa untuk mencegah jaringan syaraf yang
terpapar menjadi kering.
1. Perawatan prabedah neonatus rutin dengan penekanan khusus pada
mempertahankan suhu tubuh yang dapat menurun dengan cepat. Pada
beberapa pusat tubuh bayi ditempatkan dalam kantong plastik untuk
mencegah kehilangan panas yang dapat terjadi akibat permukaan lesi
yang basah.
2. Suatu catatan aktivitas otot pada anggota gerak bawah dan spingter anal
akan dilakukan oleh fisioterapist.
3. Lingkaran oksipito-frontalis kepala diukur dan dibuat grafiknya.
b. Pasca operasi
1. Perawatan pasca bedah neonatus umum
2. Pemberian makanan peroral dapat diberikan 4 jam setelah pembedahan.
3. Jika ada drain penyedotan luka maka harus diperiksa setiap jam untuk
menjamin tidak adanya belitan atau tekukan pada saluran dan terjaganya
tekanan negatif dalam wadah. Cairan akan berhenti berdrainase sekitar
2 atau 3 hari pasca bedah, dimana pada saat ini drain dapat diangkat.
Pembalut luka kemungkinan akan dibiarkan utuh, dengan inspeksi yang
teratur, hingga jahitan diangkat 10 – 12 hari setelah pembedahan.

4. Akibat kelumpuhan anggota gerak bawah, maka rentang gerakan pasif


yang penuh dilakukan setiap hari. Harus dijaga agar kulit di atas
perinium dan bokong tetap utuh dan pergantian popok yang teratur
dengan pembersihan dan pengeringan yang seksama merupakan hal
yang penting.
5. Prolaps rekti dapat merupakan masalah dini akibat kelumpuhan otot
dasar panggul dan harus diusahakan pemakaian sabuk pada bokong .
6. Lingkaran kepala diukur dan dibuat grafik sekali atau dua kali
seminggu. Seringkali terdapat peningkatan awal dalam pengukuran
setelah penutupan cacad spinal dan jika peningkatan ini berlanjut dan
terjadi perkembangan hidrosefalus maka harus diberikan terapi yang
sesuai. (Rosa.M.Sacharin,1996).

2.11.Pencegahan
 Resiko terjadinya spina bifida bisa dikurangi dengan mengkonsumsi asam
folat.
 Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus ditangani sebelum wanita
tersebut hamil, karena kelainan ini terjadi sangat dini.
 Pada wanita hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi asam folat sebanyak 0,4
mg/hari. Kebutuhan asam folat pada wanita hamil adalah 1 mg/hari.

2.12 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SPINA BIFIDA

A. Pengkajian
Pengumpulan data subyektif maupun obyektif pada gangguan system
persarafan sehubungan dengan spina bifida tergantung dari komplikasi pada organ vital
lainnya. Pengkajian keperawatan spina bifida meliputi anamnesa, riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
1. Anamnesa
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register,
asuransi kesehatan, diagnosa medis. Keluhan utama yang sering menjadi alasan
klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah adanya gejala dan tanda serupa
dengan tumor medulla spinalis dan defisit neurologis. Keluhan adanya lipoma pada
lumbosakral merupakan tanda penting dari spina bifida.
2. Riwayat penyakit saat ini
Adanya keluhan defisit neurologis dapat bermanifestasi sebagai gangguan
motorik (paralisis motorik anggota gerak bawah) dan sensorik pada ekstremitas
inferior dan/atau gangguan kandung kemih dan sfringter lambung. Keluhan
adanyadeformitas kaki unilateral dan kelemahan otot kaki merupakan cacat yang
tersering. Kaki kecil dapat terjadi ulkus trofik dan pes kavus. Keadaan ini dapat
disertai defisit sensorik, terutama pada distribusi L3 dan S1. Keluhan gangguan
sfringter kandung kemih ditemukan pada 25% bayi dengan keterlibatan neurologis,
menimbulkan inkontinensia urine, kemih menetes, dan infeksi saluran kemih
rekuren. Biasanya disertai pula dengan kelemahan sfringter ani dan gangguan
sensorik daerah perianal. Gangguan neurologis dapat berangsur-angsur memburuk,
terutama selama pertumbuhan massa remaja.
3. Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat pertumbuhan
dan perkembangan anak, riwayat pernahkah mengalami meningomielokel
sebelumnya, riwayat infeksi ruang subarakhnoid (terkadang juga meningitis kronis
atau rekuren), riwayat tumor medulla spinalis, poliomyelitis, cacat perkembangan
tulang belakang, seperti diastematomielia dan deformitas kaki.( Arif,
Muttaqin.2008: 418).
4. Pengkajian psikososial
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien dan keluarga (orang
tua) untuk menilai respons terhadap penyakit yang diderita dan perubahan peran
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada klien dan orang tua yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal.
5. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per system (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan dari klien.
a. Keadaan umum
Pada keadaan spina bifida umumnya mengalami penurunan kesadaran
(GCS < 15) terutama jika sudah terjadi defisit neurologis luas dan terjadi
perubahan pada tanda-tanda vital.
b. B1 (Breathing)
Perubahan pada system pernafasan berhubungan dengan inaktivitas
yang berat. Pada beberapa keadaan, hasil dari pemeriksaan fisik ini didapatkan
tidak ada kelainan.
c. B 2 (Blood)
Nadi bradikardia merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak.
Kulit kelihatan pucat menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam
darah. Hipotensi menunjukan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-
tanda awal dari suatu syok.
d. B3 (Brain)
Spina bifida menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakarnial. Pengkajian B3(Brain)
merupakan peemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian
pada system lainnya.
1. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indicator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafaan. Tingkat
kesadaran spina bifida biasanya adalah compass mentis.
2. Pemeriksaan fungsi serebri
 Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya.
Nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah. Aktivitas motorik
pada klien spina bifida tahap lanjutan biasanya mengalami
perubahan status mental.
 Fungsi intelektual : pada beberapa keadaan klien spina bifida tidak
didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori jangka pendek
maupun jangka panjang.
3. Pemeriksaan saraf cranial
 Saraf I : fungsi penciuman normal
 Saraf II : fungsi pengelihatan baik. Kecuali
apabila spina bifida disertai peningkatan TIK yang lama akan
didapatkan papiledema.
 Saraf III, IV, dan VI : biasanya tidak ada kelainan pada saraf-
saraf ini
 Saraf V : biaanya tidak ada kelainan dalam proses
mengunyah
 Saraf VII : persepsi pengecapan biasanya tidak ada
perubahan
 Saraf VIII : biasanya tidak didapatkan adanya perubahan
fungsi pendengaran
 Saraf IX dan X : kemampuan menelan baik. Tidak ada kesukaran
membuka mulut.
 Saraf XI : mobilitas leher biasanya normal
 Saraf XII : indra pengecapan tidak mengalami perubahan

4. Sistem motorik
Inspeksi umum, didapatkan paralisis spastik, deformitas kaki
unilateral ( kaki kecil)dan kelemahan otot kakimerupakan cacat yang
tersering. Paralisis motorik terutama mengenai anggota gerak bawah.
5. Sistem sensorik
Kehilangan sensasi sensorik anggota gerak bawah. Paralisis sensorik
biasanya bersama-sama dengan paralisis motoric dengan distribusi yang
sama.

e. B4 (Bladder)
Pada spina bifida tahap lanjut, klien mungkin mengalami inkontinensia
urine karena konfusi dan ketidakmampuan untuk menggunakan system
perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol
sfringter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini,
dilakukan katerisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang
berlanjut menunjukan kerusakann neurologis luas.
f. B5 (Bowel)
Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukan kerusakan
neurologis luas. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan
kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising
usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis.
g. B6 (Bone)
Adanya deformitas pada kaki merupkan salah satu tanda penting spina
bifida. Disfungsi motor paling umum adalah kelemahan ekstremitas bawah.
Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralisis spastis dan
mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat
6. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan cairan amnion janin, ultrasonografi, atau konsentrasi alpha- fetoprotein
serum materal akan dapat mendeteksi masalah prenatal. Ultrasonografi, CT scan, MRI, dan
mielografi akan mengevalusi lesi, jumlah saraf yang terlibat. ( Mary E. Muscari, 2005)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan ( insisi luka operasi)
2. Inkontinensia urinarius refleks berhubungan dengan gangguan neurologis
3. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas
4. ansietas ( orang tua ) berhubungan dengan kurang terpapar informasi

C. Intervensi.

No. DX Intervensi ( NOC) NIC Rasional


1. Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Pantau 1. Prningkatan
tindakan keperawatan tanda dan suhu tubuh
berhubungan selama 3 x 24 jam gejala dan denyut
dengan trauma diharapkan klien infeksi jantung
terbebas dari tanda (suhu mengidentifi
jaringan ( insisi dan gejala infeksi.
tubuh, kasi adanya
luka operasi) Dengan kriteria hasil : denyut infeksi.
1. Suhu normal
jantung dan 2. Mencegah
36,5 -37,5 0 C
penampilan terjadinya
2. Leukosit dalam
luka). komplikasi
batas normal (
2. Melakukan pada luka
5700-18000),
perawatan dan
bayi )
luka memfasilitasi
3. Cuci penyembuha
tangan n luka
setiap 3. Mencegah
sebelum terjadinya
dan infeksi
sesudah nosokomial
melakukan 4. Nilai leukosit
tindakan merupakan
keperawata indicator
n adanya
4. Monitor infeeksi
nilai 5. Nutrisi yang
leukosit baik dapat
5. Tingkatkan meningkatka
intake n imun
nutrisi 6. Mencegah
6. Kalaborasi terjadinya
dalam infeksi
pemberian
antibiotik
2. Inkontinensia Setelah dilakukan 1. Kaji 1. Sebagai data
tindakan keperawatan pola dasar untuk
urinarius refleks selama 3 x 24 jam berkem intervensi
berhubungan diharapkan integritas ih dan selanjutnya
kulit dekat kelamin tingkat 2. Perawatan
dengan gangguan tetap baik dengan
inkonti yang baik
neurologis kriteria hasil : nensia dapat
1. Tidak
urin mencegah
mengalami
2. Berikan iritasi pada
kerusakan kulit
perawat kulit klien.
karena selalu
an pada 3. Agar
basah terkena
kulit keluarga
urine
klien dapat
yang berpartisipasi
basah dalam
karena perawatan
urin ( klien
dilap 4. Mencegah
dengan terjadinya
air infeksi
hangat
kemudi
an dilap
kering
dan
diberi
bedak ).
3. Ajarkan
keluarg
a
perawat
an kulit
klien.
4. Beri
terapi
antibakt
eri
sesuai
progra
m
dokter
3. Resiko Setelah dilakukan 1. Monitor 1. Melihat
tindakan keperawatan adanya adanya
kerusakan selama 3 x 24 jam kemerahan tanda-tanda
integritas kulit diharapkan kerusakan pada kulit kerusakan
integritaskulit tidak 2. Gunakan integritas
berhubungan terjadi dengan kriteria Kasur kulit
dengan hasil : penurun 2. Mengurangi
penurunan 1. Klien akan
tekanan tekanan kulit
memiliki
mobilitas 3. Ubah atau jaringan
warna kulit
posisi 3. Mengubah
normal
pasien posisi dapat
2. Tidak ada
setiap dua mengurangi
ulkus
jam sekali lama
dekubitus
4. Pertahanka penekanan
n tempat jaringan
tidur yang dapat
bersih, menyebabka
kering dan n decubitus
bebas dan dapat
kerutan meningkatan
sirkulasi
darah
4. Mencegah
ulkus
dekubitus
4. ansietas ( orang Setelah dilakukan 1. Kaji 1. Mengetahui
tindakan keperawatan tingkat koping
tua ) selama 3 x 24 jam kecemasan individu
berhubungan diharapkan ansietas 2. Jelaskan 2. Khyalan
berkurang dengan tentang yang
dengan kurang kriteri hasil :
semua disebabkan
terpapar 1. Klien tidak prosedur kesalahpaha
informasi menangis operasi man dapat
2. Klien yang akan meningkatka
menggunakan dijalani n tingkat
teknik distraksi anak ansietas
untuk 3. Berikan 3. Membina
meredahkan kesempatan hubungan
ansietas kepada saling
keluarga percaya
untuk 4. Mengalihkan
mengungka pikiran klien
pkan dari ansietas
perasaan 5. Membantu
4. Ajarkan orang tua
klien menghadapi
teknik keadaan sakit
disttraksi pada
seperti anaknya
menonton 6. Membantu
tv untuk menenangka
meredahka n klien
n ansietas
5. Rujuk klien
pada
perawat
keluarga
atau
komunitas
bila perlu.
6. Kolaborasi
dengan
dokter
dalam
pemberian
obat untuk
menurunka
n asietas
bila perlu

D. IMPLEMENTASI
Sesuaikan dengan intervensi
E. EVALUASI
S :
O :
A :
P :

BAB III

PENUTUP
TOLONGG BUAT YA AKU UDH
ELEKK

DAN SEDUKK MAKASI


DAFTAR PUSTAKA

Rasjad, Chairuddin. Penyakit Akibat Lesi Medula Spinalis dalam: Pengantar Ilmu Bedah
Orthopedi. Edisi Ketiga. Jakarta: Yarsif Watampone; 2009. Hal 257-9.

Anonim. Spina Bifida (Sumbing Tulang Belakang) [Online] 2010, [cited April 5th, 2010];
Available from URL: http://www.medicastore.com
Betz, Cecily L,dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.
Catzel, Pincus. 1994. Kapita Selekta Pediatri. Edisi II. Editor : Adrianto, Petrus. Jakarta :
EGC.
Muttaqin,Arif.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta:Salemba Medika,2008.
Rendle, John Dkk. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak Edisi 6 Jilid 2. Bina Rupa Aksara: Jakarta
Sacharin, Rosa M. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Editor : Ni Luh Yasmin. Jakarta:
EGC.
Sadler,Embriologi Kedokteran.Edisi Sepuluh.Jakarta:Buku Kedokteran EGC,2010.
Wong,Donna L.et all.Buku Ajar Keperawatan Pedriatik.EdisiEnam.Jakarta:Buku
Kedokteran EGC,2009.

You might also like