You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

Asfiksia merupakan salah satu manifestasi yang terjadi akibat neonatus belum mampu
beradaptasi pada lingkungan ekstrauterine setelah lahir. Asfiksia ditandai dengan kegagalan
neonatus melakukan pernafasan secara spontan dan teratur, bisa disebabkan karena fungsi paru
yang belum matur, terjadi obstruksi di saluran napas akibat aspirasi cairan amnion atau kelainan
anatomi dari system pernafasan bayi. Keadaan ini membutuhkan penanganan segera, untuk
mencegah terjadinya hipoksia yang dapat berakibat kerusakan otak secara irreversible.1
Tanda dan gejala asfiksia adalah tidak bernafas atau megap-megap, sianosis, penurunan
kesadaran, DJ > 160x/mnt atau < 100x/menit tidak teratur, mekonium dalam air ketuban pada
janin letak kepala. Akibat asfiksia akan bertambah buruk bila penanganan bayi tidak dilakukan
secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul. Penangana
asfiksia pada bayi berupa penanganan awal dan tindakan resusitasi.
Respiratory distress of the newborn (RDN) merupakan keadaan gawat napas pada
neonatus yang ditandai oleh satu atau lebih tanda adanya peningkatan usaha napas, yaitu
takipneu, pernapasan cuping hidung , merintih dan retraksi hingga sianosis. Berdasarkan teori,
gejala dan tanda klinis yang ditemui pada RDN antara lain dispneu, merintih ( grunting ),
takipneu (pernafasan >60x/menit), retraksi dinding toraks, pernapasan cuping hidung dan
sianosis. Gejala - gejala ini timbul dalam 24 jam pertama sesudah lahir dengan derajat yang
berbeda, tetapi biasanya gambaran sindrom gawat nafas sudah nyata pada usia 4 jam. Dispneu
merupakan suatu tanda peningkatan usaha napas untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Takipneu
adalah mekanisme kompensasi terhadap hiperkarbia, hipoksemia atau asidosis, namun tidak
spesifik untuk menun6ukkan gangguan pernapasan, kardiovaskular, metabolik atau penyakit
sistemik; sedangkan merintih merupakan upaya ekspirasi lama melawan glottis yang tertutup
sebagian dan mencegah atelektasis pada alveolar. Retraksi merupakan bukti penggunaan otot-
otot tambahan pada cervical, suprasternal, maupun subcostal akibat penurunan komplians paru
atau hambatan saluran napas. selain itu dapat ditemukan adanya pernapasan cuping hidung
sebagai mekanisme kompensasi untuk meningkatkan diameter saluran napas atas dan
menurunkan hambatan dan usaha napas.2

1
Etiologi RDN dapat berasal dari intrapulmonal maupun ekstrapulmonal, dan tersering
berkaitan dengan intrapulmonal seperti respiratory distress syndrom (RDS) or hyaline membrane
disease (HMD), pneumonia, transient tachypnea of the newborn (TTN), dan meconium
aspiration syndrome (MAS). 2

2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Tanggal masuk : 24 Februari 2018
Nama : Bayi H
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 24 Februari 2018 (16.35 WITA)

II. ANAMNESIS
Bayi laki-laki lahir tanggal 24 februari 2018 lahir sectio caesarea atas indikasi gagal
vakum dan gagal induksi sebanyak 3 kali. Pada saat lahir bayi tidak langsung menangis (+),
sianosis (+) yang menghilang dengan pemberian O2, retraksi dinding dada (+), merintih (+),
air ketuban bercampur mekonium dan berbau, APGAR SCORE, 3/5, dilakukan resusitasi
sampai tahap VTP. BBL 3.800 gram, PBL 49 cm.
Riwayat maternal: Saat hamil usia ibu 36 tahun, kehamilan cukup bulan, riwayat
kehamilan G3P1A1.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanda-tanda vital
Denyut jantung : 148x/menit
Suhu : 36,50C
Respirasi : 80 x/m
CRT : <2 detik
Berat Badan : 3.800 gram
Panjang Badan : 49 cm
Lingkar kepala : 37 cm
Lingkar dada : 37,5 cm
Lingkar perut : 32 cm
Lingkar lengan : 10,5 cm
 Sistem neurologi :
Aktivitas : Berkurang

3
Kesadaran : letargi
Fontanela : menonjol (+)
Sutura : belum menutup
Refleks cahaya : (+/+), namun saat kejang terjadi miosis (+/+)
Kejang : (-)
Tonus otot : baik
 Sistem pernapasan
Sianosis : (+) pada tubuh, sesaat setelah lahir
Merintih : ada
Apnea : tdk ada
Retraksi dinding dada : ada
Pergerakan dinding dada : simetris
Cuping hidung : ada
Bunyi pernapasan : bronchovesicular +/+
Bunyi tambahan : wheezing -/-, rhonchi -/-.
Skor Down
Frekuensi Napas :1
Merintih :2
Sianosis :1
Retraksi :2
Udara Masuk :0
Total skor : (ada gawat napas)
WHO : Gangguan napas sedang
 Sistem hematologi :
Pucat : tidak ada
Ikterus : tidak ada
 Sistem kardiovaskuler
Bunyi Jantung : SI dan SII murni reguler
Murmur : tidak ada
Gallop : tidak ada

4
 Sistem Gastrointestinal
Dinding abdomen : Tampak datar, distensi (-)
Muntah : tidak ada
Diare : tidak ada
Residu lambung : tidak ada
Organomegali : tidak ada
Peristaltik : (+), kesan normal
Umbilikus
Pus : tidak ada
Kemerahan : tidak ada
Edema : tidak ada
Bau : tidak berbau

 Sistem Genitalia.
Keluaran : tidak ada
Anus imperforata : tidak ada
Scrotum : Hidrokel (-)
 Skor Ballard:
Meturitas neuromuskular Maturitas fisik
- Sikap tubuh :5 - Kulit :4
- Persegi jendela :4 - Lanugo :3
- Recoil lengan :4 - Payudara :4
- Tanda selempang : 4 - Mata/Telinga :3
- Sudut poplitea :3 - Permukaan plantar : 4
- Tumit ke kuping : 3 - Genital :4
Skor 45
Usia kehamilan : 42 minggu
Interpretasi : Aterm

5
Menurut kurva Lubchenco diatas, didapatkan bahwa bayi tergolong bayi cukup bulan, sesuai
masa kehamilan ( BCB + SMK).

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 GDS = 94 mg/dl
V. RESUME
Bayi laki-laki lahir tanggal 24 februari 2018 lahir sectio caesarea atas indikasi
gagal vakum dan gagal induksi sebanyak 3 kali. Pada saat lahir bayi tidak langsung
menangis (+), sianosis (+) yang menghilang dengan pemberian O2, retraksi dinding dada
(+), merintih (+), air ketuban bercampur mekonium dan berbau, APGAR SCORE, 3/5,
dilakukan resusitasi sampai tahap VTP. BBL 3.800 gram, PBL 49 cm.
Riwayat maternal: Saat hamil usia ibu 36 tahun, kehamilan cukup bulan, riwayat
kehamilan G3P1A1.

TTV : Denyut jantung 148x/menit, Suhu 36,50C, Respirasi 80 x/m.


CRT : > 2 detik
Berat Badan : 3800 gram
Kesadaran : letargi, Tonus otot: baik
Total skor Down : 6 (ada gawat napas), Skor WHO : Gangguan napas sedang

6
Diare (-), umbilikus tidak berbau
Pemeriksaan lab: GDS = 94 mg/dl

VI. DIAGNOSIS :
Asfiksia berat + RDN (Respiratory Distress Syndrome)
VII.TERAPI
 Non Medikamentosa
- berikan kehangatan
- atur posisi bayi
- bersihkan jalan napaas dan isap lendir
- keringkan tubuh bayi sambil memberikan rangsangan taktil
- atur posisi kembali
- memberikan aliran bebas O2
- melakukan resusitasi sampai VTP (ventilasi tekanan positif)
- O2 2 lpm

 Medikamentosa
- IVFD Dextrose 5% 8 tpm
- Injeksi Cefotaxime 100 mg/12 jam /IV
- Injeksi Gentamicin 20 mg/24 jam /IV
- Injeksi Dexamethason 0,5 mg/8 jam/IV

VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN


- Darah rutin
- GDS

7
DISKUSI KASUS

Asfiksia neonatorum adalah keadaan neonatus yang tidak dapat bernapas secara spontan,
teratur dan adekuat beberapa saat setelah lahir.Setelah lahir, neonatus mengalami suatu masa
peralihan dari kehidupan intrauterine ke kehidupan ekstrauterine.3 Didalam uterus, paru janin
tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau pengeluaran karbondioksida, karena paru janin terisi
cairan amnion. Paru paru janin berkembang didalam uterus, akan tetapi alveoli di paru janin
masih terisi oleh cairan dan pembuluh darah yang ada di paru janin mengalami kontriksi.
Sebelum lahir, hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena kontriksi
pembuluh darah janin.Karena itu, hampir seluruh darah melalui duktus arteriosus masuk ke
aorta.3

Asfiksia perinatal adalah keadaan dimana fetus atau neonates mengalami kekurangan
oksigen (hipoksia) atau menurunya perfusi (iskemia) ke berbagai macam organ. Keadaan ini
menyebabkan gangguan fungsi dan perubahan biokimia sehingga dalam jaringan timbul laktik
asidosis. Pengaruh hipoksia dan iskemik tidak sama, tetapi keduanya berhubungan erat saling
tumpang tindih. Kedua faktor tersebut menyebabkan asfiksia.Asfiksia dapat terjadi pada waktu
pre, peri dan postnatal.1, 4

Bermacam macam penyebab yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu: 5,6

1) Gangguan oksigenasi pada ibu hamil


2) Penurunan aliran darah dari ibu ke plasenta atau dari plasenta ke fetus
3) Gangguan pertukaran gas yang melalui plasentaa atau fetus
4) Peningkatan kebutuhan fetal oksigen.

Kemungkinan penyebab asfiksia berat pada kasus ini adalah air ketuban yang bercampur
mekonium yaitu sehingga mengalamai fetal distress. Fetal distress merupakan keadaan dimana
janin tidak menerima oksigen yang cukup sehingga mengalami hipoksia.

Faktor resiko untuk terjadinya asfiksia neonatorum adalah :4


a. Faktor ibu
- Preeklampsia dan eklampsia
- Perdarahan antepartum abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

8
- Partus lama atau partus macet
- Demam sebelum dan selama persalinan
- Infeksi berat (malaria, sifilis, TB, HIV)
- Kehamilan lebih bulan (lebih 42 minggu kehamilan)
b. Faktor plasenta dan tali pusat
- Infark plasenta
- Hematom plasenta
- Lilitan tali pusat
- Tali pusat pendek
- Simpul tali pusat prolapsus tali pusat
c. Faktor bayi
- Bayi kurang bulan/ prematur (kurang 37 minggu kehamilan)
- Air ketuban bercampur mekonium
- Kelainan kongenital yang memberi dampak pada pernapasan bayi
- Makrosomia
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan dan
melahirkan atau periode segera setelah lahir. Banyak keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia
pada janin. Menurut Lee et. al, faktor risiko asfiksia terbagi atas 3, yaitu :4
a. Antepartum: primiparitas, demam selama kehamilan, anemia, pendarahan
antepartum, riwayat kehamilan neonatus sebelumnya, hipertensi pada
kehamilan.
b. Intrapartum: Malpresentasi, partus lama, ketuban bercampur mekonium,
preeklamsia, ruptur membran prematur, prolaps umbilikus, makrosomia

Selama asfiksia timbul produksi metabolism anaerob, yaitu asam laktat. Selama
perfusinya jelek, maka asam laktat akan tertimbun dalam jaringan local. Pada asidosis yang
sistemik, maka maka asam laktat akan dimobilisasi dari jaringan ke seluruh tubuh seiring
dengan perbaikan perfusi. Hipoksia akan menganggu metabolism oksidatif serebral sehingga
asam laktat meningkat dan pH menurun, dan akibatnya menyebabkan proses glikolisis anaerobic
tidak efektif dan produksi ATP berkurang. Jaringan otak yang mengalami hipoksia akan
meningkatkan penggunaan glukosa. Adanya asidosis yang disertai dengan menurunya glikolisis,
hilangnya autoregulasi serebrovaskular, dan menurunya fungsi jantung, menyebabkan iskemia
9
dan menurunya distribusi glukosa pada setiap jaringan.Cadangan glukosa menjadi berkurang,
cadangan energy berkurang, dan timbunan asam laktat meningkat. Selama hipoksia
berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak menurun, dan adanya kombinasi
proses hipoksik-iskemik menyebabkan kegagalan sekunder dari oksidasi fosforisasi dan produksi
ATP menurun. Mekanisme kerusakan tingkat seluler pada neonates yang mengalami asfiksia
sedang dalam penelitian. Teori yang dianut kematian sel otak melalui proses apoptosis dan
nekrosis tergangtung perjalanan prosesnya akut atau kronis, lokasi, dan stadium perkembangan
parenkim otak yang cedera.4

Parameter bayi asfiksia adalah seperti yang dikemukakan oleh Virginia Apgar dengan skor
Apgar, dengan penggolongan sebagai berikut:4
- Nilai Apgar 7 – 10 = Baik
- Nilai Apgar 4 – 6 = Asfiksia ringan – sedang
- Nilai Apgar 0 – 3 = Asfiksia berat
Pada kasus ini bayi mengalami asfiksia berat dilihat dari skor apgar 3/5. Yang dimana pada
pemeriksaan fisik didapatkan pernapasan 80 kali/menit, bayi lahir tidak menangis, merintih,
sianosis menghilang saat diberi 02. Berdasarkan tabel faktor risiko diatas maka dapat
disimpulkan bayi mengalami asfiksia, selain itu gagal vakum dan gagal induksi sebanyak 3 kali
ikut mendukung terjadinya asfiksia pada kasus ini. Gagal vakum berarti memberikan tekanan
atau interfensi kepada bayi yang bisa menyebabkan fetal distress sehingga kompensasi yang
diberikan yaitu terjadinya peningkitan HR dan RR. Sedangkan gagal induksi menandakan bahwa
persalinan berlangsung lama dimana bisa menyebabkan ibu kehilangan kekuatan dan menjadi
lemas sehingga upaya mengambil napas atau menghirup O2 menjadi berkurang dan sirkulasi atau
pertukaran O2 pada bayi terganggu dan menyebabkan fetal distress.

Gangguan napas pada bayi baru lahir adalah keadaan bayi yang sebelumnya normal atau
bayi dengan asfiksia yang sudah berhasil diresusitasi tetapi beberapa saat kemudian mengalami
gangguan napas. Gangguna napas dapat disebabkan oleh adanya kelainan paru (pneumonia),
kelainan jantung (penyakit jantung bawaan, disfungsi miokardium), kelainan SSP, hipoglikemia,
asidosis, kelainan anatomi dan kelainan lain seperti sindrom aspirasi meconium, transient
tacipneu of the newborn, dan penyakit membrane hyaline. Gangguan napas terdiri dari kumpulan

10
gejala: frekuensi napas lebih dari 60 kali/menit, atau kurang dari 30 kali/menit, tampak sianosis,
terdapat retraksi dinding dada, merintih dan apneu.7

Segera setelah janin lahir dan mulai menarik napas terjadi inflasi paru yang
mengakibatkan peningkatan tekanan hidrolik yang menyebabkan cairan berpindah ke interstitial.
Volume darah paru juga meningkat pada saat bayi menarik napas,tetapi cairan dalam paru belum
mulai berkurang sampai 30-60 menit post natal dan lengkap diabsorbsi dalam 24 jam. Cairan
dalam lumen paru mengandung protein kurang dari 0,3 mg/ml, cairan dalam interstitial paru
mengandung protein kurang lebih 30 mg/ml. Perbedaan kandungan protein ini menyebabkan
perbedaan tekanan osmotic lebih dari 10 cm H2O, yang mengakibatkan cairan berpindah dari
lumen ke interstitial. Peningkatan aktivitas Na-K, ATP ase epitel paru selama proses persalinan
menyebabkan peningkatan absorbsi cairan ke interstitial. Masuknya udara ke paru saat menarik
napas tidak hanya mendorong cairan ke interstitial tetapi juga mengakibatkan tekanan
hidrostatistik dalam sirkulasi paru menurun dan meningkatkan aliran darah paru sehingga secara
keseluruhan akan meningkatkan luas permukaan vascular yang
efektif untuk mendrainase cairan. Pernapasan spontan juga akan menurunkan tekanan intra
thorakal sehingga menurungkan tekanan vena sistemik yang akhirnya meningkatkan drainase
melalui system limfe. 8
Penyebab TTN beleum diketahui secara pasti namun dicurigai melalui 3 proses yaitu 1.
Penyerapan cairan paru janin terganggu disebabkan oleh gangguan penyerapan cairan paru
janin dari sistem limfatik paru dan gangguan mekanik, pada bayi yang lahir secara Caesar
karena kurangnya pemerasan toraks yang normal vagina, yang memaksa cairan paru keluar.
Volume cairan yang meningkat menyebabkan penurunan fungsi paru-paru dan meningkatkan
resistensi saluran napas menyebabkan takipnea dan retraksi dinding dada. 2. Pulmonary
immaturity . beberapa penelitian mencatat bahwa derajat ringan imaturitas paru merupakan
faktor utama dalam penyebab TTN. Para penulis menemukan rasio L-S matang tanpa
fosfatidilgliserol (Adanya fosfatidilgliserol mengindikasikan selesai pematangan paru). Bayi
yang lahir dengan usia kehamilan 36 minggu resiko lebih tinggi kena TTN dibandingkan
dengan usia 38 minggu. 3. Kekurangan surfaktan ringan. Salah satu penelitian kekurangan
surfaktan ringan merupakan penyebab terjadinya TTN. Gejala klinis pada pasien TTN biasanya
mirip dengan gejala distress respiratory antara lain: Takipnea (>60 kali/menit), retraksi pada

11
dada, sianosis, merintih, terlihat nafas cuping hidung. Takipnu ini bersifat sementara dimana
penyembuhan biasa terjadi dalam 48-72 jam setelah kelahiran.9

Penyebab gangguan pernafasan pada bayi baru lahir beragam dan multisistemik.
Penyebab pulmonal mungkin terkait dengan perubahan selama perkembangan paru normal atau
transisi ke kehidupan ekstrauterine. Perkembangan paru normal terjadi dalam 5 fase (Tabel 2).
Penyakit pernafasan dapat terjadi akibat kelainan perkembangan yang terjadi sebelum atau
sesudah kelahiran. Malformasi perkembangan awal meliputi stasis trakeoesofagus, serapan
bronkopulmoner (massa abnormal jaringan pulmonal yang tidak terhubung dengan pohon
thtracheobronkial), dan kista bronkogenik (percabangan pohon trakeobronkial abnormal).
Kemudian dalam malformasi paru gestasiparenchymal, termasuk malformasi kongenitaloidoid
bawaan atau hipoplasia paru dari hernia diafragma bawaan atau oligohidramnion berat dapat
terjadi. Penyakit pernafasan yang lebih umum, seperti TTN, RDS, pneumonia neonatal, MAS,
dan hipertensi pulmonal persisten pada bayi baru lahir (PPHN), diakibatkan komplikasi selama
masa kelahiran sebelum masa transisi. Meskipun alveoli dewasa hadir pada usia 36 minggu,
banyak sindrom alveolar dan mikrovaskularisasi terjadi secara postnatal. Paru tidak sepenuhnya
berkembang sampai usia 2 sampai 5 tahun. Karena itu, penyakit paru perkembangan juga bisa
terjadi setelah lahir. Bronchopulmonardysplasia (BPD), misalnya, adalah penyakit paru yang
signifikan yang menyebabkan prematuritas karena alveolarive yang ditangkap dalam
mengembangkan paru-paru yang terpapar ventilasi mekanis, oksigen dan mediator peradangan
lainnya sebelum perkembangan normal selesai. Seperti yang didefinisikan oleh kebutuhan
oksigen yang sedang berlangsung pada usia gestasi 36 minggu yang disesuaikan, BPD
mempengaruhi hingga 32% bayi prematur dan 50% bayi dengan berat lahir rendah.2

12
Untuk faktor resiko Riwayat Perinatal yang Berhubungan dengan Penyakit Pernapasan
Umum pada Bayi yang Baru Lahir dapat dilihat pada tabel 4.

Pada kasus ini bayi dilahirkan secara sesar atas indikasi gagal vacuum, gagal induksi dan
air ketuban bercampur mekonium yang menyebabkan fetal distress. Berdasarkan kurva
luchencho didapatkan skor 45 (estimasi umur kehamilan 42 minggu). Artinya Cukup bulan lalu
riwayat maternal pada saat ibu hamil tidak mengalami demam. Berdasarkan keadaan tersebut,
penyebab gangguan pernafasan pada kasus ini yaitu transient tachypneu of the newborn(TTN).
Selain itu TTN pada kasus ini merupakan lanjutan dari asfiksia yang tidak teratasi dengan baik.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Kosim M.S., Yunato A., Dewi R., Sarosa G.I., dan Usman A., 2008. Buku Ajar Neonatologi.
ed I. pp: 127-137. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
2. Reuter,S. 2014. Respiratory Distress In the Newborn. Pediatric in riview an official journal
of the american academy of pediatrics: South Dacota
3. Rosiswatmo R., 2012. Sari Pediatri, Vol. 14. Pp: 79-82. Jakarta. Badan Penerbit IDAI
4. Tim Poned IDAI. 2009. Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir. Tim Poned UKK Perinatologi IDAI
5. Obsetrician and Gynecologist. From : < www.acog.org>. Committee Opinion.2013 . Weight
Gain During Pregnency. The American College of
6. Behrman, Kliegman & Arvin., 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol I, ed 15. pp: 589-
598. Jakarta. EGC
7. Klaus. Penatalaksanaan Neonatus Risiko Tinggi. EGC. 2000
8. Rudolph dkk. Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 3. EGC. 2006
9. Nkadi PO, Merritt TA, Pillers DA. An overview of pulmonary surfactant in the neonate:
genetics, metabolism, and the role of surfactant in health and disease. Mol Genet Metab
2009;97:95–101.

14

You might also like