You are on page 1of 4

Membicarakan tenatang perubahan pasal 6 ayat 1 UUD 1945 berarti membicarakan tentang hilangnya

roh orang indonesia asli atau pribumi yakni dengan dicabutnya hak istimewa pribumi selaku pejuang,
pendiri, pemilik dan penguasa republik

Membicarakan pribumi hendaknya tidak dimaknai sebagai sikap diskriminatif dan intoleran
sebab keberadaan pribumi bukanlah maya melainkan nyata, mereka memiliki hak asasi dan hak
istimewa yang harus diperhatikan dan dihormati oleh negara. PBB pun memperhatikan masalah
pribumi dimana terdapat pada deklarasi PBB tentang hak hak masyarakat pribumi, telah dikutip
majelis umum PBB dalam resolusi PBB 61/295.

Keprihatinan, bahwa masyarakat pribumi telah menderita ketidakadilan sejarah sebagai hasil
dari, timbal balik, kolonisasi dan pengambilalihan tanah, wilayah dan sumber-sumber daya
mereka, hal demikian tersebut yang pada dasarnya menghalangi mereka untuk berkembang
sesuai dengan kebutuhan dan keterwakilan mereka sendiri.

Menerima kenyataan bahwa masyarakat pribumi mengatur sendiri dalam perbaikan bidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya dengan tujuan untuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi
dan tekanan setiap kali hal tersebut muncul.

Mengakui, bahwa pada usaha pengembangan oleh masyarakat pribumi yang berpengaruh kepada
mereka dan tanah, wilayah dan sumber daya mereka akan membuat mereka mampu untuk
mempertahankan dan memperkuat institusi budaya dan tradisi dan untuk memajukan
pembangunan dan manejemen yang dan sesuai dengan aspirasi serta kebutuhan mereka.

Meyakini, bahwa deklarasi ini merupakan sebuah langkah penting kedepan terhadap pengakuan-
pengakuan, promosi dan perlindungan hak dan kebebasan masyarakat pribumi dan dalam
pengembangan sistem kegiatan PBB yang relevan dengan bidang ini.

Pasal-Pasal

Pasal-1. Masyarakat pribumi mempunyai hak untuk menikmati sepenuhnya, sebagai suatu
kelompok ataupun sebagai individu, atas segala HAM dan kebebasan mendasar seperti yang
tercantum dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM Internasional, dan Hukum HAM
Internasional.
Pasal-3. Masyarakat pribumi mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri, berdasarkan atas
hak tersebut mereka dengan bebas menentukan status politik mereka dan mengusahakan
pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

Pasal-4. Masyarakat pribumi dalam pelaksanaan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri
mempunyai hak atas otonomi atau untuk mengatur pemerintahan sendiri yang berhubungan
dengan urusan internal dan lokal, juga cara dan media untuk membiayai fungsi-fungsi otonomi
tersebut.

Dewan juri yang terhormat, Jerdral Soedirman pernah mengatakan “Pertahankan Rumah
dan Pekarangan. Pesan ini menunjukkan itulah karakter dan mental kejuangan orang Indonesia
asli dan pejuang pendiri Republik. Jiwa nasionalisme dan patriotiknya sangat kuat. Karekter dan
mental kejuangan tersebut, tentu juga dimiliki oleh anggota BPUPKI dan PPKI, selaku perumus
“dasar negara” dan “undang-undang dasar” untuk Indonesia merdeka. Berkaitan dengan mosi
kita kali ini, tidaklah mungkin para founding fathers merumuskan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945
mengenai syarat Presiden dan Wakil Presiden harus seorang bangsa Indonesia asli tanpa
pertimbangan dan tujuan jangka panjang. Mereka mengetahui bahwa sejalan dengan
pertambahan penduduk, tidak berkembangnya geografi dan berkurangnya sumber daya alam,
jelas akan mempengaruhi geopolitik, geostrategi, dan geoekonomi negara-negara di dunia.
Perubahan ini tentunya akan melahirkan pemikiran globalis, liberalis, kapitalis, dan neokolonis.
Indonesia bak zambrud khatulistiwa dan ratna mutu manikam dunia, jelas menjadi incaran
mereka. Inilah kemudian yang menjadi ketakutan para founding fathers, mereka yang melihat
dan merasakan langsung perjuangan, pertumpahan darah untuk memerdekakan bangsa ini dari
para penjajah takut jika Indonesia dipimpin oleh bukan orang Indonesia asli akan menjadi sebuah
negara jajahan secara de facto. Oleh karena itu para pendiri negara mensyaratkan presiden wakil
presiden harus seorang bangsa Indonesia asli bahkan ketika syarat presiden harus beragama
Islam, syarat presiden dan wakil presiden harus orang Indonesia asli terus dipertahankan sebab
diyakini bahwa bangsa Indonesia asli tentu memiliki loyalitas dan kesetiaan penuh terhadap ibu
pertiwi sehingga akan sulit bagi pihak asing untuk kemudian melakukan invasi-invasi gelap
untuk merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Belajar dari sejarah awal masuknya colonial
Belanda di Nusantara yang berkedokkan VOC….. yang kemudian secara perlahan berupaya
menguasai nusantara hingga bangsa pribumi menjadi golongan masyarakat dengan derajat paling
rendah di negeri sendiri dibawah para pendatang, golongan Eropa dan Timur Asing, menjadi
budak yang cuma makan sisa di negeri sendiri selama berabad-abad lamanya, maka setelah
kemerdekaan, para pendiri negara menjadikan ini suatu momentum perubahan sejarah bahwa
Indonesia harus dipimpin oleh orang-orang bangsa Indonesia asli.

Dewan juri yang amat terpelajar sadar tidak sadar syarat presiden dan wakil presiden
Indonesia Indonesia harus bangsa Indonesia asli secara yuridis sudah menjadi konvensi
ketatanegaraan kita, bisa dilihat dari sejak kemerdekaan hingga sekarang, selama 73 tahun
Indonesia selalu dipimpin oleh orang Indonesia asli dalam artian bumiputera, sebut saja
Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan
Joko Widodo, termasuk juga para Wakil Presiden yaitu Mohammad Hatta, Sultan
Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, Tri Sutrisno, BJ
Habibi, Megawati, Hamzah Haz, Jusuf Kalla dan Budiono Dengan demikian dalam praktik
ketatanegaraan Indonesia, dapat dikatakan warga negara “keturunan” belum pernah menjabat
sebagai Presiden maupun Wakil Presiden. Praktik tersebut adalah sebuah konvensi alias
kebiasaan ketatanegaraan. Konvensi ketatanegaran sendiri memiliki kedudukan yang penting
dalam proses penyelenggaraan bernegara. Ia merupakan salah satu sumber hukum formil dalam
hukum tata negara. Bahkan UUD 1945 Sebelum Perubahan di dalam Penjelasannya
menguraikan: “Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar
negara itu. Undang-Undang ialah hukum dasar yang tertulis sedang di sampingnya Undang-
Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang
timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak terulis”.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia,


konvensi ketatanegaraan sebagai kaidah hukum tidak tertulis harus diperhatikan dan ditaati.
Walaupun Penjelasan UUD 1945 telah dihapuskan melalui perubahan pada tahun 2002, namun
konvensi ketatanegaran tetap mempunyai posisi yang penting. Hal tersebut tidak lain karena
hukum tata negara sangat erat kaitannya dengan politik dalam arti organisasi kekuasaan,
sehingga tidak hanya terbatas pada kelembagaannya saja tetapi proses atau cara-cara
memperoleh, menjalankan, bahkan mempertahankan kekuasaan. Menurut Bagir Manan, hal
tersebut hanya mungkin tercapai tidak semata-mata dengan menaati hukum tetapi berbagai
tuntutan moral atau etik yang tertuang dalam konvensi. Dengan mendasarkan pemahaman
terhadap kedudukan konvensi tersebut, maka konvensi ketatanegaraan berupa Presiden maupun
Wakil Presiden itu ialah orang Indonesia asli merupakan praktik yang layak dihormati. Karena
apabila tidak, maka mungkin saja akan dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan negara
yang kompleks, terjadinya pelanggaran kaidah hukum dan yang lebih parah dapat mengancam
tatanan demokrasi. Model konvensi ketatanegaraan inilah yang dapat dijadikan solusi atas
wacana mengembalikan syarat Presiden ialah orang Indonesia asli didalam UUDNRI Tahun
1945

You might also like