You are on page 1of 11

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN DENGAN PERILAKU

KEKERASAN

1. DEFINISI
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak
konstruktif. (Stuart dan Sundeen : 1995).
Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan atau
kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman(Stuart dan Sundeen : 2005).
Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap orang dapat bertindak keras tetapi ada
kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pria berusia 15-25 tahun, orang kota,
kulit hitam, atau subgroup dengan budaya kekerasan, peminum alkohol (Tomb, 2003 dalam
Purba, dkk : 2008). Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut (Purba dkk : 2008).
Sedangkan menurut Carpenito 2000, perilaku kekerasan adalah keadaan dimana
individu-individu beresiko menimbulkan bahaya langsung pada dirinya sendiri ataupun orang
lain.
Jadi, perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan individu yang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak
lingkungan.

2. ETIOLOGI
Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri, misalnya harga diri
rendah, dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap
diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan yang
diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak
mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan
keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.
Berikut ini ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku
kekerasan:
1) Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori
biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam
Purba dkk, 2008) yaitu:
a. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai
peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik
merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan
pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku
kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu
membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin,
dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif.
Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam
teorinya tentang respons terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif
dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif
dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan
lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit
seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

b. Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan
membuat konsep diri rendah. Agresif dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan
prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya
orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai
prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang
positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai
meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika
masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial
terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku
kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga
berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk
yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan.
Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
2) Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan:
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam
sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan
dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme
dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

3) PATOFISIOLOGI
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah merupakan bagian
kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan
kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan
dapat menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan.
Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara
eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku
depresi dan penyakit fisik. Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain, akan
memberikan perasaan lega, menurunkan ketegangan, sehingga perasaan marah dapat diatasi.
Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya dilakukan
individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak akan menyelesaikan masalah
bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah
laku destruktif, seperti tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun
lingkungan. Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena
merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa
marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan
rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif
yang ditujukan kepada diri sendiri.

4) MANIFESTASI KLINIK
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut:
1. Fisik
 Muka merah dan tegang
 Mata melotot/ pandangan tajam
 Tangan mengepal
 Rahang mengatup
 Postur tubuh kaku
 Jalan mondar-mandir
2. Verbal
 Bicara kasar
 Suara tinggi, membentak atau berteriak
 Mengancam secara verbal atau fisik
 Mengumpat dengan kata-kata kotor
 Suara keras
 Ketus
3. Perilaku
 Melempar atau memukul benda/orang lain
 Menyerang orang lain
 Melukai diri sendiri/orang lain
 Merusak lingkungan
 Amuk/agresif
4. Emosi
 Tidak adekuat
 Tidak aman dan nyaman
 Rasa terganggu, dendam dan jengkel
 Tidak berdaya
 Bermusuhan
 Mengamuk, ingin berkelahi
 Menyalahkan dan menuntut
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

1. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Farmakoterapi
1. Obat anti psikosis, phenotizin (CPZ/HLP)
2. Obat anti depresi, amitriptyline
3. Obat anti ansietas, diazepam, bromozepam, clobozam
4. Obat anti insomnia, phneobarbital
b. Terapi modalitas
1. Terapi keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu mengatasi masalah klien dengan
memberikan perhatian:
 BHSP
 Jangan memancing emosi klien
 Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan keluarga
 Memberikan kesempatan pada klien dalam mengemukakan pendapat
 Anjurkan pada klien untuk mengemukakan masalah yang dialami
 Mendengarkan keluhan klien
 Membantu memecahkan masalah yang dialami oleh klien
 Hindari penggunaan kata-kata yang menyinggung perasaan klien
 Jika klien melakukan kesalahan jangan langsung memvonis
 Jika terjadi PK yang dilakukan adalah:
 Bawa klien ketempat yang tenang dan aman
 Hindari benda tajam
 Lakukan fiksasi sementara
 Rujuk ke pelayanan kesehatan

2. Terapi kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan, ketrampilan social atau aktivitas lai
dengan berdiskusi dan bermain untuk mengembalikan kesadaran klien karena masalah
sebagian orang merupakan perasaan dan tingkah laku pada orang lain.
3. Terapi musik
Dengan music klien terhibur, rilek dan bermain untuk mengembalikan kesadaran
klien.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN

1. PENGKAJIAN
a. Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap
sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar,
pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya
kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan
refleks cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
b. Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi,
dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan
menuntut.
c. Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual,
peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya
diolah dalam proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien
marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi,
dan diintegrasikan.
d. Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi
marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan
dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan
mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat
mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan.
Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang
dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada pasien dengan perilaku kekerasan
adalah:
1. Resiko perilaku mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan perilaku kekerasan.
2. Perilaku kekerasan b. d harga diri rendah
3. Gangguan Konsep diri b. d harga diri rendah

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko perilaku mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan perilaku kekerasan.
Tujuan : Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya

Kriteria hasil:
 Klien dapat membina hubungan saling percaya
 Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
 Klien dapat mengidentifikasi tanda tanda perilaku kekerasan.

Intervensi Rasional
Bina hubungan saling percaya : salam Hubungan saling percaya
terapeutik, empati, sebut nama perawat memungkinkan terbuka pada perawat
dan jelaskan tujuan interaksi. dan sebagai dasar untuk intervensi
selanjutnya.

Beri kesempatan mengungkapkan Informasi dari klien penting bagi


perasaan. perawat untuk membantu kien dalam
menyelesaikan masalah yang
konstruktif.

Bantu klien mengungkapkan perasaan Pengungkapan perasaan dalam suatu


jengkel / kesal. lingkungan yang tidak mengancam
akan menolong pasien untuk sampai
kepada akhir penyelesaian persoalan.
Observasi tanda perilaku kekerasan. Mengetaui perilaku yang dilakukan
oleh klien sehingga memudahkan untuk
intervensi.

2. Perilaku kekerasan b. d harga diri rendah

Tujuan : Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal

Kriteria hasil:
 Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
 Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
 Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
 Klien dapat menetapkan/ merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang
dimiliki.
 Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuannya

Intervensi Rasional
Bina hubungan saling percaya, Hubungan saling percaya
memungkinkan klien terbuka pada
perawat dan sebagai dasar untuk
intervensi selanjutnya.

Diskusikan kemampuan dan aspek Mengidentifikasi hal-hal positif yang


positif yang dimiliki klien. masih dimiliki klien.

Setiap bertemu klien hindarkan dari Pemberian penilaian negatif dapat


memberi penilaian negatif menurunkan semangat klien dalam
hidupnya.

Utamakan memberi pujian yang Utamakan memberi pujian yang


realistis. realistis.

Minta klien untuk memilih satu Agar klien dapat melakukan kegiatan
kegiatan yang mau dilakukan di rumah yang realistis sesuai kemampuan yang
sakit. dimiliki.

Beri kesempatan klien untuk mencoba Tujuan utama dalam penghayatan


kegiatan yang telah direncanakan pasien adalah membuatnya
menggunakan respon koping mal
adaptif dengan yang lebih adaptif.

Beri pendidikan kesehatan pada Meningkatkan pengetahuan keluarga


keluarga tentang cara merawat klien dalam merawat klien secara bersama.
dengan harga diri rendah.

3. Gangguan Konsep diri b. d harga diri rendah

Tujuan Pasien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan dengan orang
lain
Kriteria hasil:

1) Ekspresi Wajah bersahabat , menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau
berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, klien mau duduk
berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi

Intervensi
Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi tcrapeutik.
Sapa pasien dengan ramah laik verbal maupun non verbal
 Perkenalkan diri dengan sopan
 Tanyakan nama iengkap pasien dan nama panggilan disukai pasien
 Jelaskan tujuan pertemuan
 Jujur dan menepati janji
 Tunjukkan sikap empati dan menerima pasien apa adanya
 Beri perhatian kepada pasien dan perhatikan kebutuhan dasar pasien
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi keperawatan yang dilakukan harus sesuai dengan intervensi
keperawatan yang telah diibuat sebelumnya.

5. EVALUASI KEPERAWATAN

Dari apa yang telah dipaparkan diatas untuk mengukur apakah tujuan dan kriteria
sudah tercapai, perawat dapat mengobservasi perilaku klien. Menurut iyus Yosep ada
beberapa perilaku yang dapat diindikasikan sebagai evaluasi yang positif yaitu :

1. Identifikasi sesuatu yang dapat membangkitkan kemarahan klien.


2. Bagaimana keadaan klien saat marah dan benci panda orang lain.
3. Sudahkan klien menyadari akibat dari marah dan pengaruhnya pada orang lain
4. Buatlah komentar yang kritikal
5. Apakah klien sudah mampu mengespresikan sesuatu yang berbeda.
6. Klien mampu menggunakan aktifitas secara fisik untuk mengurangi perasaan
marahnya.
7. Mampu mentoleransi rasa marahnya.
8. Konsep diri klien sudah meningkat
9. Kemandirian dalam berfikir dan aktivitas.

You might also like