You are on page 1of 10

Kulit Gatal Berlebihan Hingga Mengelupas Setelah Minum Obat?

Waspada Gejala Stevens-Johnson Syndrome

Sindrom Steven-Johnson (SJS) termasuk penyakit yang cukup jarang di Indonesia, namun
merupakan kondisi yang serius. Penyakit ini menyebabkan kulit penderitanya gatal-gatal,
melepuh, bahkan sampai mengelupas akibat dari reaksi berlebihan terhadap obat dan infeksi
tertentu.

Orang yang terkena Stevens-Johnson Syndrome harus buru-buru dilarikan ke rumah sakit
untuk mendapatkan perawatan, sedangkan masa pemulihannya bisa memakan waktu
berminggu-minggu. Bahkan jika gejalanya sangat parah, penyakit ini bisa mengakibatkan
kematian. Baca terus untuk mengetahui sindrom Steven-Johnson selengkapnya.

Apa itu sindrom Steven-Johnson?

Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu sindrom (kumpulan gejala) langka yang terjadi karena
kulit dan membran mukosa menimbulkan reaksi berlebihan terhadap suatu obat atau infeksi.
Membran mukosa adalah lapisan kulit dalam yang melapisi berbagai rongga tubuh yang
memiliki kontak dengan lingkungan luar dan organ internal tubuh. Di beberapa bagian tubuh,
membran mukosa menyatu dengan kulit, misalnya pada lubang hidung, bibir, pipi dalam,
telinga, daerah kemaluan, dan anus.

Apa saja tanda dan gejala sindrom Steven-Johnson?

Sindrom ini diawali dengan gejala mirip flu seperti demam, batuk, mata terasa panas, dan
radang tenggorokan. Namun setelah beberapa hari akan diikuti ruam merah atau keunguan di
kulit yang terasa sakit dan menyebar atau bahkan melepuh, nyeri persendian, hingga
pembengkakan di wajah dan lidah. Dalam berbagai kasus, sel-sel di lapisan kulit terluar akan
mati sehingga kulitnya mulai mengelupas.

Apa saja penyebab munculnya sindrom Steven-Johnson?

Sindrom langka ini umumnya dipicu oleh penggunaan obat. Ada beberapa jenis obat-obatan
yang paling sering memicu sindrom Steven-Johnson antara lain adalah sebagai berikut:

 Obat-obat anti-asam urat, misalnya allopurinol


 Obat-obat Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) yang banyak dipakai untuk meredakan nyeri,
misalnya asam mefenamat, ibuprofen, asam salisilat, piroxicam
 Obat antibiotik, khususnya Penicillin
 Obat kejang, biasanya dipakai oleh pengidap epilepsi.

Meski demikian, gejala Steven-Johnson pada sebagian orang bisa juga dipicu oleh infeksi
virus atau kuman tertentu, antara lain sebagai berikut.

 Herpes (herpes simplex maupun herpes zoster)


 Influenza
 HIV
 Diphtheria
 Typhoid
 Hepatitis A
 Pneumonia

Dalam kasus tertentu, Stevens-Johnson Syndrome juga bisa dipicu oleh rangsang fisik seperti
radioterapi dan sinar ultraviolet. Namun kadang-kadang, penyebab pastinya tidak selalu bisa
dipastikan sehingga sulit untuk dicegah.

Apa saja komplikasi yang mungkin terjadi akibat sindrom Steven-Johnson?

Beberapa komplikasi yang akan muncul akibat sindrom Steven-Johnson, yaitu:

 Infeksi kulit sekunder (selulitis). Selulitis dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam
jiwa, termasuk sepsis.
 Infeksi darah (sepsis). Sepsis terjadi ketika bakteri dari infeksi memasuki aliran darah Anda
dan menyebar ke seluruh tubuh Anda. Sepsis adalah kondisi yang cepat berkembang dan
mengancam jiwa yang dapat menyebabkan kegagalan perfusi dan organ.
 Masalah mata. Ruam yang disebabkan oleh sindrom Stevens-Johnson juga dapat
menyebabkan peradangan di mata Anda. Dalam kasus ringan, sindrom ini bisa menyebabkan
iritasi dan mata kering. Pada kasus yang parah, dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
luas dan jaringan parut yang menyebabkan gangguan penglihatan bahkan kebutaan.
 Keterlibatan paru-paru. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal napas akut.
 Kerusakan kulit permanen. Ketika kulit Anda tumbuh kembali, mungkin ada kulit Anda tidak
akan bisa 100 persen kembali seperti semua. Umumnya terdapat benjolan, kelainan warna,
dan sangat mungkin akan menimbulkan bekas luka. Selain masalah kulit, sindrom ini juga
akan menyebabkan rambut Anda rontok, dan kuku jari tangan dan kuku kaki Anda mungkin
tidak tumbuh normal.

Bagaimana cara pengobatan sindrom Stevens-Johnson?

Pertolongan pertama untuk mengatasi alergi obat pada sindrome Stevens-Johnson adalah
menghentikan konsumsi obat yang memicu alergi. Selanjutnya, penderita sindrom Steve
Johnson harus dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif.

Beberapa obat yang biasanya diberikan dokter untuk mengatasi sindrom Steven-Johnson
adalah memberikan obat antialergi (antihistamin) untuk meredakan gejala, atau kortikosteroid
untuk mengontrol peradangan yang terjadi jika gejalanya cukup parah.

Selain itu, terapi penunjang yang diberikan di rumah sakit meliputi rehidrasi atau penggantian
cairan tubuh yang hilang dengan menggunakan infus. Jika terjadi luka, lapisan kulit mati
harus dibersihkan kemudian lukanya ditutup dengan perban supaya tidak terjadi infeksi.

Bagaimana cara mencegah sindrom Steven-Johnson?

Ada beberapa langkah yang bisa Anda lakukan untuk mencegah sindrom langka ini, yaitu:

 Umumnya bagi masyarakat Asia, dianjurkan untuk melakukan uji genetika sebelum
mengonsumsi obat-obatan tertentu seperti carbamzepine.
 Konsultasikan ke dokter jika Anda memang memiliki riwayat penyakit ini.
 Hindari mengonsumsi obat-obatan yang bisa memicu kekambuhan jika sebelumnya Anda
pernah mengalami sindrom Steven-Johnson.
2.Sindrom Stevens-Johnson
Sindrom Stevens-Johnson adalah kelainan serius dan langka pada kulit, membran mukosa,
sekitar alat kelamin, dan mata. Membran mukosa adalah lapisan lunak dari jaringan yang
melapisi sistem pencernaan dari mulut hingga ke anus, serta saluran organ reproduksi dan
bola mata.

Sindrom ini umumnya muncul akibat reaksi tubuh terhadap obat atau infeksi. Orang yang
terkena sindrom Stevens-Johnson biasanya membutuhkan penanganan medis segera, serta
hGejala Sindrom Stevens-Johnson

Gejala yang muncul pada sindrom ini awalnya menyerupai gejala flu yaitu:

 Kelelahan.
 Batuk.
 Mata terasa panas.
 Radang mulut dan tenggorokan.
 Demam.

Namun setelah beberapa hari akan muncul gejala lanjutan berupa :

 Bentol-bentol berisi cairan.


 Ruam kulit berwarna kemerahan atau keunguan, yang menyebar dalam waktu beberapa
jam atau hari.
 Nyeri pada kulit.
 Nyeri persendian.
 Pembengkakan wajah dan lidah.
 Pengelupasan kulit.

Penyebab Sindrom Stevens-Johnson

Obat atau infeksi bisa memicu munculnya sindrom Stevens-Johnson. Beberapa obat-obatan
yang berisiko memicu sindrom Stevens-Johnson adalah:

 Obat asam urat.


 Pereda rasa sakit.
 Obat antibiotik.
 Obat kejang-kejang.
 Terapi radiasi.
 Beberapa obat anti inflamasi non-steroid.

Pada anak-anak, sindrom ini biasanya disebabkan oleh infeksi virus walaupun pada sedikit
kasus bisa disebabkan infeksi bakteri. Beberapa infeksi yang bisa menyebabkan sindrom
Stevens-Johnson adalah:

 Pneumonia.
 Hepatitis.
 HIV.
 Herpes.
 Gondongan.
 Flu.
 Virus Coxsackie dan Epstein-Barr.

Faktor Risiko Sindrom Stevens-Johnson

Beberapa faktor yang bisa membuat seseorang lebih rentan terkena sindrom Stevens-Johnson
adalah:

 Keluarga yang pernah mengidap Sindrom Steven-Johnson.


 Melemahnya sistem kekebalan tubuh, biasanya akibat HIV/AIDS, transplantasi organ, atau
penyakit autoimun.
 Infeksi virus, seperti herpes, pneumonia virus, HIV, hepatitis.
 Pernah mengidap Sindrom Stevens-Johnson.
 Memiliki gen tertentu, seperti Gen HLA-B 1502 atau HLA-B 1508 yang membuat seseorang
akan berisiko terkena sindrom ini jika mengonsumsi obat kejang atau obat untuk gangguan
kejiwaan.

Diagnosis Sindrom Stevens-Johnson

Dokter biasanya akan melakukan beberapa langkah diagnosis pada pasien yang diduga
mengidap sindrom Stevens-Johnson. Beberapa langkah diagnosis tersebut adalah:

 Pemeriksaan fisik dan catatan medis. Seringkali dokter bisa mengidentifikasi sindrom ini
setelah mengevaluasi cacatan medis, kondisi fisik pasien, serta gejala-gejala yang dilaporkan
pasien.
 Biopsi kulit. Dokter akan mengambil sampel jaringan kulit untuk diteliti lebih lanjut di
laboratorium bila diperlukan.

Pengobatan Sindrom Stevens-Johnson

Pada banyak kasus, penderita sindrom Stevens-Johnson harus dibawa ke rumah sakit untuk
mendapatkan perawatan intensif. Jika penderita sedang menjalani pengobatan, maka
umumnya langkah pertama dokter adalah menghentikan pengobatan tersebut.

Beberapa obat-obatan yang biasanya diberikan dokter untuk mengatasi sindrom Stevens-
Johnson adalah:

 Obat antinyeri dengan dosis kuat, untuk meredakan nyeri akibat luka terbuka pada kulit.
 Obat kumur, yang mengandung anastesi dan antiseptik untuk membuat mulut mati rasa
sementara, sehingga proses menelan makanan menjadi lebih mudah.
 Antibiotik, apabila pasien diduga mengalami sepsis.
 Obat kortikosteroid, pemberian obat ini bertujuan untuk mengontrol peradangan yang
terjadi, dan diberikan sesuai dengan anjuran dokter.

Untuk mendukung proses penyembuhan tubuh penderita, dokter akan melakukan beberapa
perawatan pendukung, yaitu:
 Mengganti cairan tubuh dan nutrisi, karena kehilangan lapisan kulit bisa menyebabkan
hilangnya cairan tubuh. Penggantian cairan ini bisa melalui sebuah selang yang dimasukkan
dari hidung dan dihubungkan langsung ke lambung.
 Perawatan luka, mengompres dengan kain basah dan dingin akan meredakan nyeri pada
luka lecet.
 Perawatan mata, dokter mata akan memeriksa kondisi mata penderita dan memberikan
obat tetes mata jika diperlukan.

Jika tidak ditangani dengan benar, ada beberapa komplikasi bisa diidap oleh penderita
Sindrom Stevens-Johnson yaitu:

 Kerusakan organ dalam.


 Infeksi kulit sekunder (selulitis).
 Kerusakan kulit permanen, yang juga dapat menyebabkan rambut rontok, serta kuku jari
tangan dan kaki tumbuh tidak normal.
 Infeksi darah (sepsis).
 Gangguan mata, berupa kerusakan jaringan yang mampu menimbulkan kebutaan.

Pencegahan Sindrom Stevens-Johnson

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah sindrom Stevens-Johnson yaitu:

 Terutama orang-orang keturunan Tiongkok, Asia Tenggara, atau India, lakukanlah uji
genetika sebelum mengonsumsi obat-obatan tertentu seperti carbamazepine.
 Jika pernah menderita Sindrom Stevens-Johnson sebelumnya, hindari konsumsi obat-obatan
yang bisa memicunya.
 Konsultasikan dengan dokter bila ada keluarga dengan riwayat penyakit ini.
3.SINDROM STEVEN-JOHNSON
SINDROM STEVEN-JOHNSON
Ariyanto Harsono, Anang Endaryanto

BATASAN

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi


mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa
orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de
Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa,
sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.

PATOFISIOLOGI

Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.
Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri,
parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,
kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain
(penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum
jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi
kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau
metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh
limfosit T yang spesifik.

GEJALA KLINIK/Symptom

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal,
sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi
dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.

Setelah itu akan timbul lesi di :

 Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir
seluruh tubuh.
 Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah.
Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran
mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra.
Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
 Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata
edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik
dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset
sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan
sampai 31 tahun.

DIAGNOSA

Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa,
mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk
target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman
serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi
kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa
kasus-kasus atipik.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana


manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk
daripada SSJ.

PENATALAKSANAAN

Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi
yang diberikan biasanya adalah :

 Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.


 Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
 Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,
kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat
dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid
menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
 Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat
(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-
12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
 Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
 Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
 Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
 Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya
klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
PROGNOSIS

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan
berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih
berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Darmstadt GL, Sidbury L. Vesicobullous disorders. In: Behrman RE, Kliegman


RM, Jenson HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB
Saunders 2004. pp. 2181-4.
2. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity
syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.
3. Gruchalla R. : Understanding drug allergies. J Allergy Clin Immunol 2000; 105
: S637-44.
4. Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for bioactivation and covalent binding
within epidermal keratinocytes in sulfonamide-induced cutaneous drug
reactions. J Invest Dermatol 2000; 114 : 1164–73.
5. Yawalkar N, Egli F, Hari Y. Infiltration of cytotoxic T cells in drug-induced
cutaneous eruptions. Clin Exp Allergy 2000; 30 : 847-55.
6. Yawalkar N, Shrikhande M, Hari Y. Evidence for a role for IL-5 and eotaxin in
activating and recruiting eosinophils in drug-induced cutaneous eruptions. J
Allergy Clin Immunol 2000; 106 : 1171-76.
4.Sindrom Stevens-Johnson
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Stevens-Johnson syndrome (SJS) atau sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal


necrolysis (TEN)[1][2] atau nekrolisis epidermal toksik adalah penyakit kulit yang
disebabkan oleh alergi atau infeksi. Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang
mengakibatkan kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas/memisahkan diri dari
dermis. Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang memengaruhi kulit
dan selaput lendir.

Meskipun pada umumnya kasus sindrom ini tidak diketahui penyebabnya (idiopatik),
biasanya penyebab utama yang paling sering dijumpai adalah akibat dari alergi obat-obatan
tertentu, infeksi virus dan atau keduanya, pada kasus tertentu yang sangat jarang ditemukan
sindrom ini berhubungan dengan kanker.

Daftar isi

 1 Klasifikasi
 2 Gejala
 3 Prognosis
 4 Diagnosa
 5 Referensi
 6 Pranala luar

Klasifikasi

Dalam dunia medis, sindrom Stevens-Johnson dapat dianggap dan disepakati sebagai bentuk
ringan dari nekrolisis epidermal toksik yang kondisi ini baru pertama kali diakui pada tahun
1922.[2]

Sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik ini kadang dikelirukan dan tidak
sama dengan eritema multiforme/infeksi herpes. Walau eritema multiforme kadang-kadang
disebabkan oleh alergi dan reaksi terhadap obat, namun kasusnya lebih sering diakibatkan
oleh hipersensitivitas tipe III reaksi terhadap infeksi virus, yang kebanyakan diakibatkan oleh
virus Herpes simpleks dan relatif lebih jinak. Meskipun sindrom Stevens-Johnson dan
nekrolisis epidermal toksik kadang pula disebabkan oleh infeksi, namun penderitanya lebih
sering diakibatkan oleh alergi dan efek samping dari obat-obatan tertentu. Namun sindrom ini
lebih berbahaya dibandingkan dengan infeksi virus herpes.

Gejala

Sindrom Stevens-Johnson biasanya dimulai dengan demam, sakit tenggorokan, kelelahan,


dan nyeri pada persendian. Kebanyakan penderita salah didiagnosa dan diobati dengan
antobiotik. Ulkus dan lesi (melepuhnya kulit) mulai muncul pada selaput lendir, hampir selalu
di daerah oral/mulut dan juga di daerah genital dan anal. Gejala ini sangat menyakitkan dan
bisa mengakibatkan menurunnya nafsu makan dan minum bagi yang mengalami gejala di
daerah mulut. Konjungtivitis mata terjadi sekitar 30% pada anak-anak penderita sindrom ini.
Ruam lesi/melepuhnya kulit muncul sekitar satu inci pada wajah, lengan dan kaki dan juga
telapak tangan, namun biasanya tidak muncul di bagian kulit kepala. [3]

Prognosis

Pada kasus yang tidak berat prognosisnya cukup baik, dan penyembuhan terjadi sekitar kurun
waktu 2 sampai 3 minggu. Kematian berkisar antara 5 sampai 15% pada kasus yang berat
dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih
berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.[4][5]

Diagnosa

Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa,
mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk
target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman
serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi
kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa
kasus-kasus atipik.[5][4]

You might also like