You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

Post traumatic stress disorder atau gangguan stres pasca trauma adalah
suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan
suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma seperti perang militer,
serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius peristiwa trauma ini
menyebabkan reaksi ketakutan. Gejala-gejala umum tersebut antara lain kenangan
yang muncul pertama kali berulang-ulang sangat mendalam dan mengganggu
akibat peristiwa tersebut berusaha menghindari keadaan- keadaan yang
mengingatkan pada peristiwa tersebut menjadi mati rasa secara emosional dan
suka menyendiri, sulit tidur, dan konsentrasi, ketakutan. Bila gejala-gejala
gangguan stres pasca trauma menjadi parah gangguan tersebut berkembang
menjadi gangguan stres pasca trauma setelah mengalami peristiwa yang sama.
Risiko akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena
banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana
anda terlibat didalamnya, dan seberapa hebatnya reaksi. Semetara itu penyebab
sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Penatalaksanaan
PTSD diantaranya: psikoterapi, psikofarmaka dengan SSRI, dan dengan
pendekatan psikologi.1,2,3,4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder adalah Gangguan kejiwaan
pada seseorang yang dialami dan berkembang setelah pengalaman traumatik, atau
menyaksikan suatu kejadian yang mengancam jiwa, mencederai luka, atau
ancaman terhadap integritas dari tubuh, biasanya diiringi dengan ketidakmampuan
seseorang untuk beradaptasi. Pengertian lain dari PTSD (Post Traumatic Stress
Disorder) adalah kecemasan patologis yang umumnya terjadi setelah seseorang
mengalami atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik dan jiwa
orang tersebut. Pengalaman traumatik ini dapat berupa:1,2
1. Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam (gempa bumi,
banjir, topan), kecelakan, kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh
diri, kematian anggota keluarga atau sahabat secara mendadak.
2. Trauma yang disebabkan individu menjadi korban dari interperpersonal
attack seperti: korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual,
penyerangan atau penyiksaan fisik, peristiwa kriminal (perampokan
dengan kekerasan), penculikan, menyaksikan perisiwa penembakan atau
tertembak oleh orang lain.
3. Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik bersenjata seperti: tentara
yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban perang
atau yang diserang, korban terorisme atau pengeboman, korban
penyiksaan (tawanan perang), sandera, orang yang menyaksikan atau
mengalami kekerasan.
4. Trauma yang disebabkan oleh penyakit berat yang diderita individu seperti
kanker, rheumatoid arthritis, jantung, diabetes, renal failure, multiple
sclerosis, AIDS dan penyakit lain yang mengancam jiwa penderitanya.

B. Faktor Risiko PTSD 5 ,6, 7, 8, 9


1. Jenis kelamin perempuan, 2 hingga 4 kali lipat dibandingkan pada laki-
laki meskipun laki-laki lebih cenderung mengalami kejadian traumatik.

2
2. Gangguan jiwa sebelumnya (preexisting anxiety disorder atau preexisting
major depression) berisiko 2 kali lipat dibandingkan mereka yang tidak
mengalami gangguan jiwa.
3. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang
bersangkutaan maupun keluarganya.
4. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
5. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial.
6. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya
problem menyesuaikan diri.
7. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.
8. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa
sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif
oleh suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi
dirinya.

C. Epidemiologi
Pada Studi community-based yang dilakukan di AS mendokumentasikan
prevalensi seumur hidup pada PTSD sekitar 8% dari populasi orang dewasa.
Menurut National Comorbidity Survey Replication gambaran ini sekitar 6,8 %.
Kejadian PTSD muncul paling tinggi terutama pada orang yang mengalami
trauma (muncul pada 1/3 hingga ¾ dari mereka yang mengalami pemerkosaan,
perang, penculikan, pengasingan dengan alasan politik, dan genosida. 6
Studi epidemiologi menunjukkan PTSD seringkali kronik, dengan jumlah
orang yang secara signifikan bergejala beberapa tahun setelah kejadian awal.
Untuk menegaskan pandangan ini, data epidemiologis menunjukkan frekuensi.
Sebagai contohnya,studi dari the National Vietnam Veterans Readjustment
menemukkan prevalensi seumur hidup, 30,9% hingga 15,2 % pada pria dan
26,9% hingga 8,5% pada perempuan. Pada populasi korban perkosaan, Illpatrick
dan colleagues menemukan prevalensi seumur hidup 75,8% dan prevalensi
39,4%. Pada studi oleh Pynoos and associates pada anak-anak menunjukkan
tingkat prevalensi 58,4% pada anak-anak yang mendapat serangan sniper di AS
dan 70,2% pada mereka yang terkena gempa bumi di Armenia. Kessler and
colleagues mendokumentasikan 1/3 dari mereka yang terdiagnosis PTSD gagal
sembuh setelah beberapa tahun. 6

3
Epidemiologi dari PTSD berdasarkan studi Community-based
epidemiological menunjukkan 70% dari individu yang mengalami trauma, yang
dipengaruhi oleh kejadian traumatik, faktor predisposisi dan faktor lingkungan
peritraumatik dalam memahami etiologi dari PTSD, terutama pada gangguan
interaksi dari 3 grup faktor. Perkembangan dari PTSD berhubungan dengan
kejadian yang dialami pasien, yang secara konsisten memiliki keterkaitan erat
dengan stress yang dialami dan risiko perkembangan PTSD. Keterkaitan ini
terdapat pada populasi orang yang mengalami trauma. 6
Respon kognitif dan afektif juga penting dalam menentukkan PTSD yang
dikembangkan. Kejadian traumatik didefinisikan dengan kejadian yang
melibatkan pengalaman atau menyaksikan kejadian nyata yang mengancam jiwa,
cedera berat, atau mengatahui kematian yang mengenaskan yang melibatkan
ketakutan yang mendalam, ketidakberdayaan, atau kejadian mengerikan. 6
1. Psikodinamika
Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman
terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang
tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku
simtomatik. Karena ego menjadi rentan, superego dapat menghukum dan
menyebabkan individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatik tersebut.
dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsif tidak terkendali.1,2
2. Biologis
Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons
biologik dan juga psikologik seseorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena
aktivitasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan
takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan
menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi
keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons
perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak yang
sangat berperan besar. Amigdala akan mengaktivasi beberapa neurotransmitter
serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa
traumatik yang mengancam nyawa sebagai respons tubuh untuk mengahdapi
peristiwa tersebut. Dalamwaktu beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa

4
tersebut, amigdala dengan segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus
berupa tanda darurat kepada: 2,5
1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)
2. Sistem saraf parasimpatis
3. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA)
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami
peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan
darah. Kondisi ini disebut ’flight or fight reaction’. Reaksi ini juga akan
meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot – otot skletal sehingga
membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika
mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang optimal. Reaksi
sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini bekerja
secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons yang berkaitan oleh sistem saraf
simpatis. Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada
waktu orang berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan
mengeluarkan Cortico-Releasing Factor (CFR) dan beberapa neuropeptida
regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan mensekresi
pengeluaran adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi
pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal.2,5
Jika seseorang mengalami tekanan maka tubuh secara alamiah akan
meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol; pengeluaran ke dua
zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin
berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh
dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam
menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa sistem tubuh yang
bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami
oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses
terminasi dari respons tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon
kortisol akan menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut.2, 5
Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung
untuk mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida dan juga katekolamin di
otak pada waktu menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang meningkat
ini akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Jika

5
hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan
tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya ‘konsolidasi berlebihan’
dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang dialami.2,5
Dari hasil penelitian, abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan, dan
eliminasi katekolamin yang memengaruhi fungsi otak di daerah lokus seruleus,
amigdala dan hipokampus. Hipersensitivitas pada lokus seruleus dapat
menyebabkan seseorang tidak dapat belajar. Amigdala sebagai penyimpan
memori. Hipokampus menimbulkan koheren naratif serta lokasi waktu dan ruang.
Hiperaktivitas dalam amigdala dapat menghambat otak membuat hubungan
perasaan dalam memorinya sehingga menyebabkan memori disimpan dalam
bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain.2
Faktor Biologi
Pasien dengan PTSD kronis mengalami peningkatan norepinephrine di
sirkulasi dan peningkatan reaktifitas alpha-2-adrenergic receptors. Perubahan ini
dihipotesiskan sesuai gejala somatik yang muncul pada individu dengan PTSD.
Studi neuroanatomi mengaitkan perubahan pada amygdala dan hippocampus pada
pasien dengan PTSD, MRI fungsional dan positron-emmision tomography yang
menunjukkan peningkatan pada aktifitas amygdala dan anterior paralimbic
region ke stimulus yang berhubungan dengan trauma. Maka, sebagai respon yang
beerhubungan dengan trauma, terjadi penurunan reaktifitas dari anterior cingulate
dan orbitofontal areas. Perubahan biologis ini menunjukkan gejala
neuroanatomical substrate untuk gejala yang termasuk karakteristik dari PTSD
(intrusive recollections dan gangguan kognitif lainnya). Bagaimanapun tidak
diketahui perubahan sebelumnya sebagai hasil terpaparnya trauma atau karena
menderita PTSD. 6, 7, 8, 9
Sympathetic Nervous System Alterations.
Terdapat assosiasi positif antar diagnosis PTSD dan akitivitas
cardiovascular, terutama individu yang telah didiagnosis PTSD dengan nadi yang
tinggi pada saat istirahat yang berkaitan dengan individu yang terpapar trauma
tanpa diagnosis PTSD dan kontrol yang tidak terpapar trauma, hal ini
menunjukkan studi dengan sampel PSTD kronis terdapat peningkatan urin
cathecolamine 24 jam, selain itu terdapat peningkatan aktivitas simpatis. Terdapat

6
demonstrasi berulang terhadap peninggian sympathetic arousal pada pasien
dengan PTSD yang direkonstruksi ulang saat trauma. 6, 7, 8, 9
Meskipun kondisi ini dapat dijelaskan dengan keterkaitan trauma dengan
respon fisiologis yang meningkat pada pasien dengan PTSD, namun tidak
menjelaskan individu yang mengalami seseorang individu dapat mengalami
perkembangan PTSD, sementara individu yang lain tidak. Dapat dihipotesiskan
terdapat perbedaan suskeptibilitas untuk membentuk PTSD pada masing-masing
variasi individu dibandingkan dengan individu lain, maka individu yang
mengalami kejadian traumatik lebih sering mengalami PTSD. 6, 7, 8, 9
Terdapat disfungsi otak pada individu dengan PTSD, dimana terdapat
pembangkitan potensial yang abnormal. Pada ERP dapat menggagaskan pasien
dengan PTSD mengalami penghambatan kortikal pada stimulus dengan intensitas
tinggi, gangguan pada memori dan konsentrasi, defisit auditorik dan peningkatan
perhatian pada stimulus yang berkaitan dengan trauma. Bagaimanapun perlu
dilakukan studi lanjutan pada PSTD. 6, 7, 8, 9
Respon psychophysiological pada pemaparan trauma yang akut dapat
memprediksi perkembangan PTSD, individu yang selamat setelah kejadian
traumatik mengalami peningkatan nadi selama 1 minggu. 6, 7, 8, 9
Faktor Neuroendokrin
Pada individu yang mengalami PTSD terjadi upaya untuk
mempertahankan homeostasis, terjadi perubahan endogen, stress-responsive
neurohormon, seperti cortisol, epinephrine, norepinephrine, vasopressin,
oxytocin, pada stress awal terjadi perubahan The hypothalamic-pituitary-adrenal
yaitu hypothalamic dan extrahypothalamic corticotropin-releasing hormon,
monoaminergic, dan gamma-amniobutyric acid/ benzodiazepine systems, stress
juga menunjukkan perubahan struktural dan fungsional pada otak seperti depresi,
dari data terlihat kelainan terutama pada The hypothalamic-pituitary-adrenal
(HPA) axis secara ekstensif dipelajari dalam sistem neuroendokrin pada pasien
dengan PTSD. Penemuan penting yaitu: berkurangnya ekskresi cortisol urin 24
jam, supersuppresion pada cortisol setelah pemberian low-dose dexamethasone,
menumpulnya respon corticotropin pada corticotropin releasing-hormone dan
peningkatan reseptor glukokortikoid, hal ini menunjukkan PTSD kronis diikuti

7
oleh supersuppresion pada emergency HPA response pada stress akut. Hal ini
dapat terjadi karena proteksi diri individu pada toksisitas tingginya corticosteroid
yang muncul pada pemaparan berulang stress yang mengingatkannya terhadap
trauma. Selain itu perubahan aksis HPA terhadap perubahan reseptor
glukokortikoid berkaitan dengan beratnya gejala PTSD, tetapi tidak dengan less
specific anxiety dan depressive symptoms, pada penelitian dengan sampel veteran
AS perang vietnam yang bertarung langsung yang mengalami PTSD memiliki
cortisol yang lebih rendah dibandingkan veteran AS perang Vietnam yang tidak
bertarung langsung yang mengalami PTSD 6, 7, 8, 9
Jadi faktor neuroendokrin pada PTSD menunjukkan abnormalitas yang
spesifik, dibandingkan gangguan jiwa lainnya, pada pasien dengan PTSD
menunjukkan negative feedback inhibiton dengan berlebihannya respon cortisol
terhadap dexamethasone, disertai peningkatan reseptor glukokortikoid dan
cortisol basal, penemuan ini kontras terhadap pasien dengan depresi mayor yaitu
wanita dengan childhood abuse dengan didiagnosis current major depression
menunjukkan 6 kali lipat respon adrenocorticotropic hormone terhadap stress
terjadi penumpulan respon cortisol terhadap dexamethasone disertai pengurangan
jumlah reseptor glukokortikoid dan cortisol basal pada studi biologi longitudinal
terdapat penurunan kortisol 15 μg/dL hingga ke 30 μg/dL, selain itu efek ini juga
dipengaruhi fight-or-flight reactions. 6, 7, 8, 9
Sleep Studies
Pada studi didapatkan dua kriteria jelas yang berhubungan dengan keluhan
tidur pada individu dengan PTSD:nightmare dengan kejadian traumatik,
kegagalan untuk memulai dan mempertahankan tidur, data selanjutnya
menggagaskan kesulitan tidur pada individu dengan PTSD dengan aktivitas
motorik yang berlebih dan awakening with somatic anxiety symptoms. Terdapat
juga komplain pada penggunaan polysomnography pada studi, terutama pada
pasien dengan waktu tidur yang kurang atau efisiensi, dan peningkatan kesadaran
pada pasien PTSD. Terdapat juga dokumentasi pada pasien dengan PTSD dengan
gangguan nafas akibat tidur. PTSD juga dikaitkan dengan REM yang
terfragmentasi. 6,20
Faktor Psychological

8
Bila terjadi kegagalan dalam adaptasi 3 fase stress dapat menyebabkan
PTSD, 3 fase stress itu antara lain: (1) Fase Initial yaitu fase dengan realisasi
kejadian yang menyakitkan yang meenyebabkan kemarahan, kesedihan, dan
penyesalan, (2) Fase Denial yaitu fase dengan karakterisitik defense againt
intrusion of memories pada kejadian traumatik, dimana pasien menunjukkan
kegagalan memori pada kejadian, yang mengingatkan mereka pada kejadian
traumatik, dan menggunakan fantasi mereka untuk melawan persepsi yang
realistis pada kejadian, (3) Fase Intrusive yaitu fase dengan karakteristik
hypervigilance, terkejut yang berlebihan, tidur, gangguan mimpi, intrusive dan
repetitive trauma-related thoughts, dan kebingungan.11
Model Perilaku
Teori kondisi dapat membantu dalam menjelaskan proses dengan stimulus
yang berkaitan dengan kejadian traumatik dengan respon emosi pada individu
yang mengalami PTSD. Kondisi-kondisi penyerta yang terjadi saat kejadian
traumatik selain kejadian traumatik itu sendiri dapat direspon pasien sebagai
kejadia traumatik, dengan respon pasien berupa takut, ketidakberdayaan dengan
respon emosi yang kuat, sebagai contoh, perempuan yang diperkosa
(unconditioned stimulus) di lorong gelap (conditioned stimulus) oleh laki-laki
(conditioned stimulus) memiliki respon rasa takut pada conditioned stimulus dan
unconditioned stimulus, dapat merasa ketakutan ketika berada di lorong gelap atau
diikuti seorang laki-laki. Perilaku menghindar dapat berkembang dengan anxietas
yang berkaitan dengan conditioned stimulus. Sebagai contoh perempuan yang
diperkosa takut keluar ketika gelap atau diikuti laki-laki. Terapi perilaku dapat
menggunakan prinsip pemaparan yang memerlukan konfrontasi pada situasi yang
ditakuti dan dapat mengurangi anxietas. 6, 7, 8, 9
Proses Kognitif dan Informasi
Pemaparan terhadap kejadian traumatik yang berat atau tidak dapat
diprediksi, mengakibatkan kegagalan proses dan asimilasi dengan pengalaman
yang cukup untuk secara efektif menerima akibatnya, selain itu bila periode
traumatiknya berkepanjangan, kesulitan dan asimilasi yang tidak lengkap dapat
terjadi. Pengalaman dipertahankan pada memori aktif, mengakibatkan seseorang

9
dengan kesadaran saat siang atau malam. Pada pengalaman yang menyakitkan
terjadi penghindaraan untuk mengingat kejadian traumatik. 6,7
Rasa takut dapat dijelaskan dengan struktur kognitif dengan tiga unsur:
stimulus, respon dan arti. Untuk mengurangi rasa takut, memori terhadap rasa
takut harus diaktifkan kemudian informasi baru diberikan untuk merubah struktur
rasa takut. Intervensi kognitif dapat digunakan untuk mengenali dan merubah
maladaptive cognitions dan menggantikan interpretasi dari bahaya dengan
interpretasi yang realistis dan aman, dengan harapan pasien dapat
mengintegrasikan informasi baru pada struktur rasa takut, mengakibatkan
pemikiran realistis terhadap derajat bahaya. 5, 6, 7, 8, 9,10, 11
Faktor Genetic-Familial
Dari literatur yang ada, dibuat berdasarkan pertarungan langsung pada
veteran AS laki-laki, dengan survey populasi umum dan pemerkosaan traumatik
yang berkaitan dengan PTSD, didapatkan hasil berdasarkan genetik dengan
kluster tiga gejala (intrusive, avoidant, dan gejala hyperarousal) pada
pemeriksaan terhadap pengaruh genetik dan lingkungan pada pertarungan
langsung, post traumatic stress disorder, dan penggunaan alkohol pada kembar
identik laki-laki, menemukan bahwa penggunaan alkohol berkaitan dengan gen
yang mempengaruhi kerentanan terhadap pertarungan langsung yang juga
mempengaruhi kerentanan terhadap gejala PTSD dan konsumsi alkohol.
Merupakan catatan penting, untuk mengetahui faktor lingkungan yang unik pada
kembar tidak lebih penting dari pengaruh genetik terhadap pertarungan langsung
dan gejala PTSD, dimana pengaruh lingkungan terlihat setara dengan pengaruh
genetik terhadap konsumsi alkohol, secara keseluruhan kejadian ini
menggagaskan pada riwayat psychiatric, baik personal maupun pada anggota
keluarga, meningkat dengan terpaparnya trauma dan perkembangan PTSD setelah
terpapar, dengan kata lain orang tua dengan PTSD berkaitan dengan rendahnya
kadar cortisol pada anak-anakya, yang menunjukkan kerentanan yang berkaitan
dengan gejala akut atau kronik dari PTSD. 6, 7, 8, 9, 10, 11,18, 19 Namun pada penelitian
Jesica M didapatkan hasil tidak ada hubungan antara PTSD dengan penggunaan
obat dan alcohol.20
Faktor Lainnya

10
Meskipun penelitian sistematis telah dilakukan, individu yang mengalami
trauma berulang dan berkelanjutan, terutama yang berasal dari interpersonal, lebih
mungkin mengalami PTSD. Trauma yang melibatkan berkurangnya community
atau support structures. Karena social support memiliki efek buffering,
berkurangya support dapat menjadi faktor kerentanan. Perempuan memiliki risiko
PTSD yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. 6
Pada umumnya individu yang mempunyai karakter extrovert atau lebih
berpikir positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini.
Karakteristik dari peristiwa traumtik yang dialami juga akan mempengaruhi jenis
reaksi psikologis yang bakan terjadi, seperti :5
 Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami
 Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan
seseorang
 Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun
personal)
 Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa
traumatik tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang
lain pada saat kejadiaan itu atau dia hanya menyelamatkan dirinya
sendiri.
Setelah mengalami peristiwa traumatik, maka sistem keyakinan dan latar belakang
budaya yang dianut oleh individu yang bersangkutan, serta dukungan sosial dari
lingkungan sekelilingnya akan memegang peranan yang penting bagi individu
untuk menyesuaikan dirinya kembali.5
C. Gejala
Klien dengan PTSD dapat saja tidak menunjukkan gejala-gejala khas
PTSD secara kontinu dan dalam kurun waktu yang tentu. Gejala dapat timbul
sewaktu-waktu bergantung pada stimuli yang diterima klien. Gejala PTSD,
meskipun tidak spesifik, meliputi indikasi yang khas. Terdapat tiga tipe gejala,
flight, fight, dan freeze. Ansietas dan penghindaran merupakan gejala flight.
Meningkatnya amarah dan perilaku kekerasan merupakan gelaja fight, sedangkan
kekebasan, disasosiasi, dan alterasi dalam persepsi diri merupakan karakteristik
freeze (APA, 2000). Tiga tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD adalah:1,2,3,12
1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan:

11
 selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah
dialami
 flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan
terulang kembali)
 nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang
membuatnya sedih)
 reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh
kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
2. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan:
 menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau
percakapan yang berhubungan dengan trauma.
 kehilangan minat terhadap semua hal
 perasaan terasing dari orang lain
 emosi yang dangkal.
3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan:
 susah tidur
 mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah
 susah berkonsentrasi
 kewaspadaan yang berlebih
 respon yang berlebihan atas segala sesuatu

D. Akibat
Gangguan stress pascatraumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah
gangguan fisik, kognitif,emosi,behavior (perilaku),dan sosial. 2,3
1. Gejala gangguan fisik:4
 pusing
 gangguan pencernaan
 sesak napas
 tidak bisa tidur
 kehilangan selera makan,
 impotensi, dan sejenisnya.
2. Gangguan kognitif:4
 gangguan pikiran seperti disorientasi,
 mengingkari kenyataan,
 linglung, melamun berkepanjangan, lupa,
 terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan,
 tidak fokus dan tidak konsentrasi
 tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang
sederhana,
 tidak mampu mengambil keputusan.
3. Gangguan emosi :4

12
 halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya,
dan memerlukan perawatan aktif yang dini),
 mimpi buruk,
 marah,
 merasa bersalah, malu, kesedihan yang berlarut-larut,
 kecemasan dan ketakutan.
4. Gangguan perilaku :4
 menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal.
Contoh, duduk berjam-jam dan perilaku repetitif (berulang-ulang).
5. Gangguan sosial:4
 memisahkan diri dari lingkungan,
 menyepi,
 agresif, prasangka,
 konflik dengan lingkungan, merasa ditolak atau sebaliknya sangat
dominan.

Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III:4,12


 Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu
6 bulan setelah kejadian traumatic berat (masa laten yang berkisar antara
beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu
mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asalkan
manifestasi klinisnya khas dan tidak dapat alternatif kategori gangguan
lainnya
 Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang - bayang atau
mimpi – mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang – ulang
kembali (flashbacks).
 Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis terapi tidak khas.
 Satu “sequel” menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah kejadian trauma, diklasifikasikan
dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah
mengalami katastrofa).

13
Kriteria diagnostik untuk gangguan stress pascatraumatik (Tabel dari DSM
IV) diagnostik dan stastitical manual of mental disorder ed 4 : Orang yang telah
terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana terdapat kedua dari berikut ini,
orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan sesuatu kejadian yang
berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang
serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain, respon
berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.4
Berdasarkan DSM IV, ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin
akan meningkatkan gangguan stress pasca trauma, yaitu:5
1. Kekerasan personal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan
perampokan)
2. Penculikan
3. Penyanderaan
4. Serangan militer
5. Serangan teroris
6. Penyiksaan
7. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang
8. Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat oleh manusia
9. Kecelakaan mobil yang berat
10. Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan

E. Diagnosis banding
Gejala stres pasca traumatik sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik
dan gangguan cemas menyeluruh. Hal ini dikarenakngan ketiganya berhubungan
dengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Pada gangguan stres pasca
traumatik relasi waktu antara kejadian traumatik dan gejala dan selalu teringat
akan trauma yang terjadi.3,4

F. Prognosis
Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna, 40% terus menderita gejala
ringan, 20% terus menderita gejala sedang dan 10% tidak berubah atau
memburuk. Umumnya orang yang sanagt muda atau sangat tua lebih mengalami
kesulitan. Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi gangguan stres pasca
traumatik muncul dalam waktu singkat, durasinya singkat, fungsi premorbid yang
baik, dukungan sosial yang baik dan tidak ada kondisi penyalahgunaan zat.

14
Tingkat pemulihan tertinggi pada 12 bulan setelah gejala, 33-50% menjadi
chrnoic psychiatric disorder. 2,3,11

G. Penatalaksanaan
Psikoterapi ada dua tipe yaitu psikoterapi utama yang dapat digunakan
adalah terapi paparan, pasien dihadapkan pada keadaan traumatik secara perlahan-
lahan dan bergradasi untuk mencapai desentisasi. Kedua yaitu manajemen stres
dengan cara mengajari pasien cara menangani stres termasuk teknik relaksai,
seperti dengan teknik-teknik mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-
pikiran. Pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah. Terapi kelompok dan
terapi keluarga, serta modifikasi pola hidup, seperti diet yang sehat mengatur
konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya.4,5
Farmakoterapi dengan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI),
seperti sertralin dan paroxetin, karena cukup efektif, dan aman. SSRI mengurangi
semua gejala pada gangguan stres pasca traumatik berupa gejala kecemasan dan
depresi. Golongan buspirone juga dapat digunakan seperti imipramin dan
amitriptilin. Dosis yang digunakkan sama seperti pada pasien depresi. Obat-obat
lain yang digunakkan seperti monoamine oxidaseinhibitors (MAOIS), trazodone
dan anticonvulsan. Haloperidol dapat digunakan pada kondisi agitasi atau psikotik
akut.4
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD,
tatalaksana gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan : 5
1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan
berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa
serius lainnya.
2. Anti depressan golongan SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk
kasus ini.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.
4. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik
yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.

Penatalaksaan pada psychology pada pasien dengan PTSD dikategorikan


menjadi lima jenis yaitu:11,13

15
1. Psychodynamic Therapy (PDT)
Psikoterapi psikodinamik untuk PTSD biasanya berfokus pada teknik yang
meningkatkan kesadaran pasien tentang isi dan proses pemikiran dan perasaan tak
sadar yang terkait dengan peristiwa traumatis. PDT juga menangani mekanisme
pertahanan maladaptif yang diperkirakan memicu gejala PTSD dengan membantu
pasien menghadapi makna istimewa kejadian traumatis. Secara khusus, teori
psikodinamik PTSD menunjukkan bahwa terapi dapat membantu pasien
memahami efek dari kejadian traumatis pada kepribadian mereka, menanamkan
dalam konteks pengalaman mereka saat ini. Ini juga memberi wawasan kepada
pasien tentang pengaruh mereka sendiri terhadap asimilasi kejadian traumatis ke
dalam kehidupan mereka saat ini. PDT menyelidiki makna peristiwa traumatis
yang ditafsirkan, respons individu terhadapnya dan perilaku yang berkembang
setelahnya, dengan harapan membantu pasien mengembangkan wawasan tentang
faktor-faktor yang mengaktifkan kembali pengalaman traumatis. Tujuan PDT
adalah untuk membantu pasien mendapatkan penguasaan atas pengalaman
internal mereka melalui penanganan yang lebih efektif.15
2. Cognitive-behavioral Therapy (CBT)
Terapi kognitif-perilaku terdiri dari kombinasi CPT dan PE dan mencakup
lima tahap: (a) memahami dampak trauma (psikoedukasi), klarifikasi tegas
tentang kesusahan, dan penentuan tujuan pengobatan; (b) merekonstruksi
peristiwa traumatis; dan (c) mengidentifikasi 'pemikiran terpendam' dan hubungan
antara pemikiran dan perasaan tertekan seperti itu. Fokus pada tahap ini adalah
pada titik-titik terjebak asimilasi (misalnya, 'Salahku temanku meninggal'), di
mana individu mengubah rincian sebuah acara untuk mempertahankan
keyakinannya saat ini (misalnya, 'saya memegang kendali atas misi jadi salahku
temanku meninggal'), berusaha untuk mengubah keyakinan pasien dan
membuatnya lebih realistis (misalnya,' saya bisa mengendalikan beberapa hal, tapi
bukan segalanya). Pada tahap ini, terapis dan pasien mencoba untuk
mengidentifikasi dan menantang generalisasi reaksi berbasis trauma yang
berlebihan terhadap situasi non-traumatis (misalnya, 'Jika saya membuat
kesalahan, seseorang akan mati'); (d) paparan in vivo (mis., pergi ke lokasi adalah
pertempuran terjadi). Terapis dan pasien mengeksplorasi makna peristiwa

16
traumatis dan kebenaran interpretasi mereka terhadap kejadian tersebut dengan
mengacu pada tahap ini dan tahap pengobatan lainnya; dan akhirnya, (e)
penghentian dan ringkasan. Selama tahap ini, pasien dapat terus memeriksa
pikirannya tentang trauma saat dia merangkum pengobatan. Pada tahap penutup
ini, terapis dan pasien memutuskan apakah mereka telah mencapai tujuan
pengobatan dan meninjau kembali alat yang telah diperoleh pasien selama proses
berlangsung. Dipercaya bahwa dengan meninjau pencapaian pengobatan dengan
terapis, pasien dapat meninjau kembali kemungkinan kesimpulan yang tidak
akurat yang telah dia capai mengenai peristiwa traumatis tersebut, dirinya sendiri,
orang lain dan dunia pada umumnya.15,17

3. Flooding Techniques
Pada penatalaksanaan ini dilakukan exposure, desensitization atau teknik
exposure terarah, terapi ini dapat mengatasi gejala intrusive dan hyperarousal,
kelemahan terapi ini adalah tidak dapat menatalaksana avoidance symptom, dan
dapat memperberat gejalanya.11
4. Training in Coping Skills
Pada penatalaksaan ini dilakukan untuk meningkatkan self-control
symptom dan meningkatkan adaptive respone pada anxiety, yang terbagi menjadi
2 fase yaitu: fase edukasi dan fase coping skill, fase edukasi, memberikan
pemahaman yang rasional untuk menjaga kepercayaan diri, sedangkan pada fase
coping skill, diajarkan cara melakukan relaksasi diri, untuk menghambat negative
rumination dan mempertahankan rasa percaya diri, penatalaksaan ini efektif
mengurangi reexperiencing, intrusive, dan avoidance symptom pada korban
pemerkosaan.11
5. Eye Movement Desensitization Reprocessing (EMDR)
Pada terapi ini dilakukan exposure pada kejadian traumatik dengan mata
terbuka, selama verbalisasi kognisi dan emosi yang berkaitan dengan trauma,
diikuti dengan visual saccadic eye movements agar menghasilkan fear-
antagonistic state sehingga menghasilkan relaksasi dan systemic
desensitization.11,14,17
Komorbiditas

17
Pada beberapa studi pasien dengan PTSD juga mengalami gangguan tidur
yaitu gangguan untuk memulai dan mempertahankan tidur. 11 Gangguan tidur yang
berhubungan dengan PTSD biasanya mengacu pada insomnia (onset dan
perawatan) dan mimpi buruk posttraumatic. Laporan subjektif dan data objektif
mengenai kualitas tidur dan kontinuitas berdasarkan, misalnya, polysomnography
(PSG), menunjukkan bahwa kebanyakan orang dengan PTSD juga menderita
setidaknya 1 bentuk masalah tidur. Memang, sebuah studi tinjauan meta-analitik
terhadap 20 studi PSG menemukan bahwa mereka yang memiliki PTSD telah
mengalami peningkatan Rapid Eye Movement (REM), dan penurunan tidur
gelombang lambat, dibandingkan dengan yang tanpa diagnosis. Gangguan tidur
dengan demikian dianggap sebagai "ciri khas" PTSD. Selanjutnya, di samping
temuan bahwa PTSD dapat mendahului atau menyebabkan masalah tidur, sebuah
tinjauan menunjukkan adanya hubungan dua arah yang kompleks antara
keduanya. Gangguan tidur, seperti insomnia, kelainan REM dan mimpi buruk,
yang diukur segera setelah terpapar peristiwa traumatis ditemukan terkait dengan
peningkatan risiko onset dan perawatan.16

18
BAB. III
KESIMPULAN

Gangguan stres pasca trauma adalah gangguan kecemasan yang timbul


setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-
peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu
kecelakaan yang serius.
Perempuan lebih berisiko mengalami gangguan stres pasca trauma,
meskipun pemaparan kejadian traumatik lebih sering pada laki-laki, terdapat
penurunan fungsi untuk menyelesaikan tugas pada pasien dengan gangguan ini,
yang berpengaruh pada activity daily living, yaitu terputusnya social group,
karena pasien merasa hubungan sosial diantaranya merenggang, yang
menghambat proses pemulihan.
Peristiwa ini menyebabkan reaksi ketakutan, tak berdaya. Stresor adalah
penyebab utama terjadinya gangguan stres pasca trauma. Stresor berupa kejadian
yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang parah, kekerasan pada
anak atau pasangan, bencana alam, perang, atau dipenjara.
Penatalaksanaan gangguan stress pasca trauma dapat dilakukan dengan
psikoterapi berupa terapi individu maupun terapi kelompok dan farmakoterapi.
Psikoterapi yang sering dilakukan untuk PTSD dikategorikan menjadi 5 jenis,
yakni Psychodynamic Therapy (PDT), Cognitive-behavioral Therapy (CBT),
Flooding Techniques, Training in Coping Skills dan Eye Movement
Desensitization Reprocessing (EMDR).
Pada pasien dengan PTSD juga mengalami gangguan tidur yang biasanya
mengacu pada insomnia dan mimpi buruk post traumatik.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Hibbert A, Godwin A, dan Dear F. Rujukan cepat psikiatri. Jakarta:


Cendika. EGC; 2009
2. Kaplan HI, Sadock BJ dan Grebb J. Sinops`is Psikiatri, Jilid 2. Tangerang:
Binarupa Aksara; 2007 h: 68-75.
3. Mansjoer T, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius; 2008
4. David A. Buku saku psikiatri PPDGJ III. edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2004
5. Elvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Gangguan Stres Pasca Trauma Dalam:
Elvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;2010 h: 254-264
6. Kay J dan Tasman A. Anxiety Disorders: Traumatic Stress Disorders.
Dalam: Kay J dan Tasman A Essentials of Psychiatry. Tottenham: John
Wiley & Sons; 2006 h: 627-638.
7. Van der Kolk B. Psychobiology of Post Traumatic Stress Disorder. Dalam:
Panksepp J ed. Textbook of Biological Psychiatry, Wiley-Liss, Inc. New
Jersey; 2004 h: 319-344.
8. Fairbank JA, Ebert L, dan Caddell JM. Post Traumatic Stress Disorder.
Dalam: Sutker PB dan Adams HE. Comprehensive Handbook of
Psychopathology 3ed. New York: Kluwer Academic Publishers; 2002 h:
183-209.
9. First MB dan Tasman A. Anxiety Disorders: Traumatic Stress Disorders.
Dalam: First MB dan Tasman A. Clinical Guide to the Diagnosis and
Treatment of Mental Disorders. Tottenham: John Wiley & Sons; 2006 h:
326-334.
10. Benedek DM. Acute Stress Disorder and Post Traumatic Stress Disorder
in the Disaster Environment. Dalam: Ursano RJ, Fullerton CS, Wiesaeth L,
dan Raphael B. Textbook of Disaster Psychiatry. New York: Cambdrige
University Press; 2007 h: 140-163.
11. Ebert MH, Loosen PT, dan Nurcombe B. Post Traumatic Stress Disorder
Dalam: Ebert MH, Loosen PT, dan Nurcombe B. Current Diagnosis &
Treatment in Psychiatry. New York: McGraw-Hill Companies; 2007 h:
Ch.23.

20
12. Maslim. R. Skizofrenia. Diagnosa Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya; 2013. h: 78 – 79.
13. Christine A. Courtois, Chair Jeffrey Sonis, Vice-Chair, dkk. Clinical
Practice Guideline for the Treatment of Posttraumatic Stress Disorder
(PTSD) in Adults. Guideline Development Panel for the Treatment of
PTSD in Adults. American Psychological Association; 2017.
14. Maria M. Steenkamp, PhD. Brett T. Litz, PhD, dkk. Psychotherapy for
Military-Related PTSD A Review of Randomized Clinical Trials. American
Medical Association. 2015;314(5):489-500.
15. Ofir Levi. Yair Bar-Haim, dkk. Cognitive–Behavioural Therapy and
Psychodynamic Psychotherapy in the Treatment of Combat-Related Post-
Traumatic Stress Disorder: A Comparative Effectiveness Study. Clinical
Psychology and Psychotherapy. 2015:23(4):285-376.
16. Fiona Yan-Yee Ho, Christian S. Chan, dkk. Cognitive-behavioral therapy
for sleep disturbances in treating posttraumatic stress disorder symptoms:
A meta-analysis of randomized controlled trials. Clinical Psychology
Review. 2016:43(1):90-102.
17. Thomas E, Renate W, dkk. Meta-analysis of psychological treatments for
posttraumatic stress disorder in adult survivors of childhood abuse.
Clinical Psychology Review. 2014:34(8):645-657.
18. Neil P, Pamela A, dkk. Psychological interventions for post-traumatic
stress disorder and comorbid substance use disorder: A systematic review
and meta-analysis. Clinical Psychology Review. 2015:38(1):25-38.
19. Tim K, Hein H, dkk. Assessing traumatic experiences in screening for
PTSD in substance use disorder patients: What is the gain in addition to
PTSD symptoms? Psychiatry Research. 2015:226(1):328-332.
20. Jessica M, Robert K, dkk. Effect of traumatic event reexposure and PTSD
on substance use disorder treatment response. Drug and Alcohol
Dependence. 2016:158(2):126-131.

21

You might also like