You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam memenuhi tujuan akhir kebijakan moneter yang adalah menjaga dan
memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi
yang rendah dan stabil maka Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI
Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan
perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi
dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat
kompleks dan memerlukan waktu (time lag).

Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi


tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme
ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan
instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variabel
ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi.
Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan
sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui
berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga
aset, dan jalur ekspektasi.

Oleh karena itu, dibutuhkan transmisi kebijakan moneter yang pada dasarnya
menggambarkan bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral dapat
mempengaruhi berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan sehingga pada akhirnya
dapat mencapai tujuan akhir yang ditetapkan.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka akan di rumuskan beberapa permasalahan


sebagai berikut:
1. Apa saja saluran transmisi kebijakan moneter?
2. Bagaimana pengertian inflasi secara utuh?
3. Bagaimana pengendalian inflasi di Indonesia?
4. Bagaimana koordinasi pengendalian inflasi di Indonesia?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Penulisan ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :


1. Untuk mengetahui saluran transmisi kebijakan moneter.
2. Untuk mengetahui inflasi secara utuh.
3. Untuk mengetahui bagaimana koordinasi pengendalian inflasi.

1.4 MANFAAT PENULISAN

Penulisan makalah ini memberi manfaat antara lain :

1. Bagi penulis :

a) Memberikan wawasan dan pengalaman dalam menyusun makalah.


b) Mampu memahami apa saluran transmisi kebijakan moneter dan bagaimana
pengendalian inflasi di Indonesia.

2. Bagi pembaca :
a) Memberi informasi mengenai apa itu inflasi dan penangannya
b) Memberi informasi bagaimana pengendalian inflasi di Indonesia
c) Memberi infomasi mengenai saluran transmisi kebijakan moneter

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER

Secara spesifik Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme transmisi kebijakan


moneter adalah “the process through which monetary policy decision are transmitted into
changes in real GDP and inflation”. Artinya, MTKM merupakan jalur-jalur yang dilalui
oleh kebijakan moneter untuk dapat mempengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter
yaitu pendapatan nasional dan inflasi. Pada Skema 1 terlihat kotak hitam yang
merupakan area MTKM atau jalur-jalur yang dilalui oleh suatu kebijakan moneter hingga
terwujudnya tujuan akhirnya kebijakan moneter yaitu inflasi.

Secara teoritis, konsep standar mekanisme transmisi kebijakan moneter dimulai


dari ketika bank sentral mengubah instrumen-instrumennya yang selanjutnya
mempengaruhi sasaran operasional, sasaran antara dan sasaran akhir. Misalnya Bank
Sentral (BI) menaikkan rSBI. Peningkatan tersebut akan mendorong naiknya Suku Bunga
Pasar Uang Antar Bank (rPUAB), suku bunga deposito, kredit perbankan, harga aset,
nilai tukar dan ekspektasi inflasi di masyarakat. Perkembangan ini mencerminkan
bekerjanya jalur-jalur transmisi moneter yang akan selanjutnya berpengaruh terhadap
konsumsi dan investasi, ekspor dan impor yang merupakan komponen permintaan
eksternal dan keseluruhan permintaan agregat.
2.1.1 Jalur-Jalur Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai
rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk
mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai
instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian

3
dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI
rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan
waktu (time lag).
Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut
sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini
menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen
moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan
keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut
terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor
riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur
suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.

Transimi Lima Jalur Versi BI

Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito
dan suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan,
Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui
penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI

4
Rate menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan
dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan
biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan
aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin
bergairah. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia
merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas
perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.
Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme
ini sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong
kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan
melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan
modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka
akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing
ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah
mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri
menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan
mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya
pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.
Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui
perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham
dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada
gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti
konsumsi dan investasi.
Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi
publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan
mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk
mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada
akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time
lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar
biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar

5
bekerja sangat cepat. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh
pada kecepatan tarnsmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko
perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate
biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk
memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan
kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan,
penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya
permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang
lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat
berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.

1. Jalur Suku Bunga (Interest Rate Channel)

Jalur ini dinamakan jalur suku bunga karena jalur ini menekankan peranan perubahan
struktur suku bunga di sector keuangan yang ditransmisikan ke suku bunga
menengah/panjang yang selanjutnya memengaruhi permintaan dan akhirnya berpengaruh
terhadap inflasi. (Taylor , 1995) dan Biofinger (2001:80).

Jalur suku bunga pada dasarnya merupakan pandangan Keynesian dimana suku
bunga riil jangka panjang paling berpengaruh dalam perekonomian dan dapat dijelaskan
dengan skema IS-LM. Pandangan tradisional ISLM Keynesian tentang mekanisme
transmisi moneter dapat ditandai dengan skema berikut ini yang menunjukkan efek dari
ekspansi moneter:

M ↑ => ir ↓=> I↑ => Y ↑


Dimana M ↑ menunjukkan kebijakan moneter ekspansif yang mengarah ke penurunan
suku bunga riil (ir ↓), yang pada gilirannya menurunkan biaya modal, menyebabkan
kenaikan pengeluaran investasi (I ↑), sehingga mengarah ke peningkatan permintaan
agregat dan kenaikan output (Y ↑).
Meskipun Keynes menekankan awalnya saluran ini sebagai operasi melalui
keputusan bisnis tentang pengeluaran investasi, penelitian terakhir diketahui bahwa
keputusan konsumen tentang perumahan dan pengeluaran konsumen untuk barang tahan

6
lama juga merupakan keputusan investasi. Dengan demikian, tingkat bunga saluran
transmisi moneter diuraikan dalam skema di atas juga berlaku untuk belanja konsumen di
mana (I) mewakili perumahan dan pengeluaran konsumen terhadap barang tahan lama.

Faktanya adalah tingkat bunga riil yang berdampak pada pengeluaran daripada
tingkat nominal memberikan mekanisme penting untuk bagaimana kebijakan moneter
dapat menstimulasi ekonomi, bahkan jika tingkat bunga nominal menghantam batas
bawah (floor) selama episode inflasi. Dengan tingkat bunga nominal pada batas bawah
nol, ekspansi jumlah uang beredar (M ↑) dapat meningkatkan tingkat harga yang
diharapkan (Pe ↑) inflasi dan karenanya diharapkan (Πe ↑), sehingga menurunkan tingkat
bunga riil (ir ↓) , bahkan ketika tingkat bunga nominal adalah tetap nol, dan pengeluaran
merangsang melalui saluran suku bunga di atas: yaitu
M ↑ => Pe ↑ => Πe ↑ => ir ↓ => I ↑ => Y ↑

Mekanisme ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter masih bisa efektif,


bahkan ketika tingkat bunga nominal telah didorong ke nol oleh otoritas moneter.
Memang, mekanisme ini adalah elemen kunci dalam diskusi monetaris mengapa
perekonomian AS tidak terjebak dalam perangkap likuiditas selama Depresi Besar dan
mengapa kebijakan moneter ekspansif bisa mencegah penurunan tajam dalam output
selama periode ini.

Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku
ekonomi proses perputaran uang, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur
suku bunga dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Tahap pertama, kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral akan


berpengaruh terhadap suku bunga jangka pendek (misalnya suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia dan Pasar Uang Antar Bank) di pasar uang
rupiah. Perkembangan ini selanjutnya akan mempengaruhi suku bunga
deposito yang diberikan perbankan pada simpanan masyarakat dan
suku bunga kredit yang dibebankan bank kepada para debiturnya.
Proses transmisi suku bunga tersebut biasanya tidak berlangsung secara

7
segera, artinya ada tenggat waktu, terutama karena kondisi internal
perbankan dalam manajemen aset dan kewajibannya.
2. Tahap kedua, transmisi suku bunga dari sektor keuangan ke sektor riil
akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi
terjadi terutama karena bunga deposito merupakan komponen dari
pendapatan masyarakat (income effect) dan bunga kredit sebagai
pembiayaan konsumsi (substitution effect). Sementara itu, pengaruh
suku bunga terhadap permintaan investasi terjadi karena suku bunga
kredit merupakan komponen biaya modal (cost of capital), di
samping yield obligasi dan dividen saham, dalam pembiayaan investasi.
Pengaruh melalui investasi dan konsumsi tersebut selanjutnya akan
berdampak pada besarnya permintaan agregat dan pada akhirnya akan
menentukan tingkat inflasi dan output riil dalam ekonomi.

2. Jalur Kredit (Credit Channel)

Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit berasumsi bahwa


fungsi intermediasi perbankan tidak selalu berjalan normal, sehingga yang lebih
berpengaruh terhadap ekonomi riil adalah kredit perbankan. Selain dana yang tersedia,
perilaku penawaran kredit perbankan juga dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap
prospek usaha debitur dan kondisi perbankan itu sendiri seperti permodalan (CAR),
jumlah kredit macet, Loan to Deposit Ratio (LDR). Selain itu, tidak semua permintaan
kredit debitur dapat dipenuhi oleh bank, khususnya karena kondisi keuangan debitur yang
dinilai oleh bank tidak feasible antara lain karena tingginya rasio utang terhadap terhadap
modal (leverage), risiko kredit macet, moral hazard, dan sebagainya. Adanya informasi
yang tidak simetris antara bank dengan debitur seperti itu menyebabkan pasar kredit tidak
selalu berada dalam keseimbangan.

Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku
ekonomi dalam tahapan proses perputaran uang dalam ekonomi, mekanisme transmisi
kebijakan moneter melalui jalur kredit adalah sebagai berikut.

8
1. Interaksi antara bank sentral dengan perbankan terjadi di pasar uang
rupiah. Interaksi ini terjadi karena di satu sisi bank sentral melakukan
operasi moneter untuk pencapaian sasaran operasionalnya baik
berupa uang primer ataupun suku bunga jangka pendek, dan di sisi
lain bank melakukan transaksi di pasar uang untuk pengelolaan
likuiditasnya. Interaksi ini akan mempengaruhi tidak saja
perkembangan suku bunga jangka pendek di pasar uang, tetapi juga
besarnya dana yang akan dialokasikan bank dalam bentuk instrumen
likuiditas maupun untuk penyaluran kreditnya
2. Jalur kredit lebih menekankan pentingnya pasar kredit dalam
mekanisme transmisi kebijakan moneter yang tidak selalu berada
dalam kondisi keseimbangan karena adanya informasi yang tidak
simetris (asymmetric information) atau sebab lain. Dalam kaitan ini,
terdapat dua jenis jalur yang mempengaruhi transmisi moneter dari
sektor keuangan ke sektor riil, yaitu jalur kredit bank dan neraca
perusahaan. Jalur kredit bank lebih menekankan pada perilaku bank
yang cenderung melakukan seleksi kredit karena informasi asimetris
atau sebab-sebab lain tersebut. Di sisi lain, saluran neraca perusahaan
lebih menekankan pada kondisi keuangan perusahaan yang
berpengaruh dalam penyaluran kredit, khususnya
kondisi leverage perusahaan.
3. Jalur Harga Aset (Asset Price Channel)

Jalur harga aset merupakan pandangan Monetarist yang menyatakan bahwa


pengaruh kebijakan moneter terjadi melalui pergeseran portfolio investasi yang dimiliki
masyarakat.Kebijakan moneter akan mempengaruhi jumlah dana dalam portfolio para
pelaku ekonomi (wealth effect) dan relokasi dari suatu jenis aset ke jenis aset lain dalam
portfolio sesuai dengan expected returns and risks dari masing-masing bentuk aset.
Pengetatan moneter meningkatkan suku bunga yang mengakibatkan pelaku
ekonomi lebih suka memegang aset dalam bentuk obligasi atau deposito daripada saham.
Minat untuk berinvestasi dalam kegiatan ekonomi riil menjadi berkurang sehingga laju
pertumbuhan ekonomi menurun.

9
Kebijakan moneter berpengaruh terhadap perkembangan harga-harga aset lain,
baik harga aset finansial seperti yield obligasi dan harga saham, maupu harga aset fisik
khususnya harga aset properti dan emas. Transmisi ini terjadi karena penanaman dana
oleh para investor dalam portofolio investasinya tidak saja berupa simpanan di bank dan
instrumen lainnya di pasar uang rupiah dan valuta asing, tetapi juga bentuk obligasi,
saham, dan aset fisik. Dengan demikian, perubahan suku bunga dan nilai tukar maupun
besarnya investasi di pasar uang rupiah dan valuta asing akan berpengaruh pula terhadap
volume dan harga obligasi, saham, dan aset fisik tersebut.
Pengaruh kebijakan moneter terhadap perkembangan harga aset selanjutnya akan
berdampak pada berbagai aktifitas sektor rill. Mekanisme transmisi melalui jalur harga
aset ini terjadi melalui pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi bagi para investor,
baik karena perubahan kekayaan yang dimiliki maupun perubahan tingkat pendapatan
yang dikonsumsi yang timbul dari penerimaan hasil penanaman aset finansial dan asset
fisik tersebut. Selain itu, pengaruh harga aset terhadap sektor riil juga terjadi pada
permintaan investasi oleh perusahaan. Hal ini disebabkan oleh perubahan harga aset
tersebut, baik yield obligasi, return saham, dan harga set properti, berpengaruh terhadap
biaya modal yang harus dikeluarkan dalam produksi dan investasi oleh perusahaan.
Selanjutnya, pengaruh harga aset pada konsumsi dan investasi tersebut akan
mempengaruhi pula permintaan agregat dan pada akhirnya akan menentukan tingkat
output riil dan inflasi dalam ekonomi.

4. Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel)

Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme
ini sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong
kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan

10
melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan
modal ke dalam instrumen-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka
akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing
ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah
mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri
menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan
mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya
pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.

Mengenai interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi
dalam proses perputaran uang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Pada tahap awal, operasi moneter oleh bank sentral akan
mempengaruhi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung
terhadap perkembangan nilai tukar. Pengaruh langsung terjadi
sehubungan dengan operasi moneter melalui intervensi, jual atau
beli, valuta asing dalam rangka stabilisasi nilai tukar. Sementara itu,
pengaruh tidak langsung terjadi karena operasi moneter yang
dilakukan oleh bank sentral mempengaruhi perkembangan suku
bunga dipasar uang dalam negeri sehingga mempengaruhi perbedaan
suku bunga didalam negeri dan suku bunga di luar negeri (interest
rate differential), yang selanjutnya akan mempengaruhi besarnya
aliran dana dari dan ke luar negeri.

11
2. Pada tahap kedua, perubahan nilai tukar berpengaruh baik langsung
maupun tidak langsung terhadap perkembangan harga-harga barang
dan jasa di dalam negeri. Pengaruh langsung terjadi karena
perubahan nilai tukar mempengaruhi pola pembentukan harga oleh
perusahaan dan ekspektasi inflasi oleh masyarakat, khususnya
terhadap barang impor. Sementara itu, pengaruh tidak langsung
terjadi karena perubahan nilai tukar mempengaruhi kegiatan ekspor
dan impor, yang pada gilirannya berdampak pada output dan
perkembangan harga-harga barang dan jasa.

5. Jalur Ekspektasi Inflasi (Expectation Inflation Channel)


Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi
ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang
diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong
pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih
tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen
melalui kenaikan harga.

12
2.1.2 Indikator Efektifitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Efektivitas MTKM diukur dengan dua indikator, yaitu: (1). Berapa kecepatan
atau tenggat waktu (time lag) dan (2). Kekuatan variabel-variabel pada jalur tranmsisi
moneter dalam merespons shock SBI hingga terwujudnya sasaran akhir. Indikator
kecepatan diukur dari berapa time lag yang dibutuhkan oleh variable-variabel dalam
suatu jalur untuk merespons shock instrumen kebijakan hingga tercapainya sasaran akhir
(inflasi).
Indikator kekuatan variabel dalam merespons shock suatu variabel diukur dengan order
of magnitude. Jika order of magnitude suatu variabel semakin lebar (jauh dari titik
keseimbangan), maka semakin kuat variabel tersebut merespons shock instrumen
moneter atau perubahan variabel lainnya. Indikator untuk kekuatan respons juga dapat
dilihat dari Uji VD.

2.2 PENGENDALIAN INFLASI DI INDONESIA

Pertama yang dimaksud dengan Inflasi adalah suatu keadaan dimana terdapat
kenaikan harga barang atau jasa umum secara terus-menerus berkaitan dengan
mekanisme pasar yang disebabkan oleh berbagai faktor baik konsumsi masyarakat yang
meningkat, kelebihan likuiditas, hingga ketidaklancaran proses distribusi barang.
Dengan kata lain inflasi bisa dikatakan proses penurunan nilai mata uang secara kontinu.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan
tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-
barang lain.

2.2.1 JENIS-JENIS INFLASI

Berdasarkan Sifatnya
1. Inflasi merayap (creeping inflation)
Ditandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% per tahun).
Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan persentase yang kecil serta
dalam jangka yang relatif lama.

13
2. Inflasi menengah (galloping inflation)
Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar, (biasanya double digit
atau bahkan triple digit) dan kadang kala berjalan dalam waktu yang relatif
pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Artinya, harga-harga minggu/bulan
ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya. Efeknya terhadap
perekonomian lebih berat daripada inflasi yang merayap (creeping inflation).
3. Inflasi tinggi (hyper inflation)
Merupakan inflasi yang paling parah akibatnya. Harga-harga naik sampai
lima atau enam kali. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan
uang. Nilai uang merosot dengan tajam, sehingga ingin ditukarkan dengan
barang. Perputaran uang makin cepat, harga naik secara akselerasi. Biasanya
keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja
(misalnya ditimbulkan oleh adanya perang) yang dibelanjai/ditutup dengan
mencetak uang.

Berdasarkan kepada sumber atau penyebab kenaikan harga-harga yang


berlaku

1. Inflasi Tarikan Permintaan


Inflasi ini biasanya terjadi pada masa perekonomian berkembang dengan pesat.
Kesempatan kerja yang tinggi mencipkan tingkat pendapatan yang tinggi dan
selanjutnya menimbulkan pengeluaran yang melebihi kemampuan ekonomi
mengeluarkan barang dan jasa.

14
Grafik menunjukkan hubungan antara harga barang (P), jumlah yang diminta dan
ditawarkan (Q) dan keseimbangan harga (E). Terjadinya Demand Pull Inflation
ketika permintaan akan barang dan jasa meningkat, maka kurva permintaan total
(D) bergeser dari D1D1 ke D2D2. Ketika itu para pedagang akan mengambil
keuntungan dengan menaikkan harga barang dari P1 ke P2. Sehingga pada saat
itu, terjadi inflasi dan menimbulkan harga keseimbangan baru dari E1 ke E2.
2. Inflasi Desakan Biaya
inflasi yang terjadi karena kenaikan biaya produksi. Biaya produksi yang naik
akan mendorong naiknya harga-harga barang dan jasa. Selain itu, kenaikan biaya
produksi akan mengakibatkan turunnya jumlah produksi sehingga penawaran
menjadi berkurang, jika penawaran berkurang sedangkan permintaan
diasumsikan tetap, maka akibatnya harga-harga akan naik.

15
Grafik diatas menunjukkan perilaku produsen ketika menghadapi situasi dimana
harga produksi mengalami peningkatan. Ketika terjadi kenaikan harga produksi
maka menaikkan harga dari P1 ke P2 tetapi dia justru akan menurunkan jumlah
barang/jasa yang dihasilkan dari Q1 ke Q2 sehingga akan menggeser kurva
penawaran dari S1S1 menjadi S2S2. Hal ini dilakukan agar produsen tidak terus
merugi sambil menunggu harga produksi kembali turun.

Berdasarkan Asal dari Inflasi

1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)


Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul misalnya karena defisit anggaran
belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, gagal panen dan sebagainya.
2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)
Inflasi yang terjadi karena pengaruh inflasi dari luar negeri karena adanya
perdagangan antarnegara. Jika suatu negara mengalami inflasi maka inflasi
tersebut dapat menular ke negara-negara lain yang memiliki hubungan dagang
dengannya. Contohnya, jika negara kita mengimpor faktor-faktor produksi
(berupa bahan baku dan mesin) serta mengimpor barang-barang jadi (seperti
motor, mesin cuci, dan kipas angin) dari Jepang, maka jika di Jepang harga
faktor-faktor produksi dan barang jadi tersebut naik (inflasi), otomatis negara kita
juga akan mengalami inflasi. Sebab barang-barang yang kita buat dengan
faktorfaktor produksi dari Jepang tentu akan dijual lebih mahal, dan
barangbarang jadi dari Jepang pun dijual lebih mahal.

2.2.2 PENYEBAB INFLASI

Setiap negara pasti mengalami inflasi, inflasi yang terjadi dapat disebabkan oleh
faktor yang berbeda-beda. Beberapa penyebab inflasi diantaranya bisa disebabkan oleh
sektor ekspor-impor, tabungan atau investasi, pengeluaran dan penerimaan negara, sektor
pemerintah dan swasta. Untuk lebih jelasnya, perhatikan beberapa uraian berikut:

16
1. Inflasi Karena Kenaikan Permintaan (Demand Pull Inflation)

Inflasi seperti ini terjadi karena adanya kenaikan permintaan untuk beberapa jenis
barang. Dalam hal ini, permintaan masyarakat meningkatkan secara agregat
(aggregate demand). Peningkatan permintaan ini dapat terjadi karena peningkatan
belanja pada pemerintah, peningkatan permintaan akan barang untuk diekspor, dan
peningkatan permintaan barang bagi kebutuhan swasta. Kenaikan permintaan
masyarakat (aggregate demand) ini mengakibatkan harga-harga naik karena
penawaran tetap. .
2. Inflasi Karena Biaya Produksi (Cost Pull Inflation)

Inflasi seperti ini terjadi karena adanya kenaikan biaya produksi. Kenaikan pada
biaya produksi terjadi akibat karena kenaikan harga-harga bahan baku, misalnya
karena keberhasilan serikat buruh dalam menaikkan upah atau karena kenaikan harga
bahan bakar minyak. Kenaikan biaya produksi mengakibatkan harga naik dan
terjadilah inflasi.

3. Inflasi Karena Jumlah Uang Yang Beredar Bertambah

Teori ini diajukan oleh kaum klasik yang mengatakan bahwa ada hubungan
antara jumlah uang yang beredar dan harga-harga. Bila jumlah barang itu tetap,
sedangkan uang beredar bertambah dua kali lipat maka harga akan naik dua kali lipat.
Penambahan jumlah uang yang beredar dapat terjadi misalnya kalau pemerintah
memakai sistem anggaran defisit. Kekurangan anggaran ditutup dengan melakukan
pencetakan uang baru yang mengakibatkan harga-harga naik.

2.2.3 DAMPAK INFLASI

Setelah mengetahui mengenai inflasi, Inflasi sebagai suatu gejala ekonomi


tentunya akan memiliki dampak terhadap kegiatan ekonomi masyarakat. Untuk
membahas ini tentunya terlebih dahulu kita ingat kembali tentang kegiatan ekonomi.
Kegiatan ekonomi terdiri atas kegiatan konsumsi, produksi dan distribusi. Adapun
dampak inflasi dapat dijelaskan di bawah ini:

17
Dampak Positif Inflasi :
1. Masyarakat akan semakin selektif dalam mengkonsumsi
2. Produksi akan diusahakan seefisien mungkin dan konsumtifisme dapat ditekan
3. Tingkat pengangguran cenderung menurun karena masyarakat akan tergerak
untuk melakukan kegiatan produksi dengan cara mendirikan atau membuka usaha
4. Bagi pengusaha barang-barang mewah (high end) yang mana barangnya lebih
laku pada saat harganya semakin tinggi (masalah prestise)

Dampak Negatif :
1. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan
investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat.
2. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta
serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga
sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke
waktu.
3. Distribusi barang relative tidak stabil dan terkonsentrasi dalam jangka pangjang
akan membangkrutkan produsen.
4. Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilaimata
uang semakin menurun. Memang tabungan menghasilkan bunga, namun jika
tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan
menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena untuk
berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari
tabungan masyarakat.
5. Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan,
karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah
dibandingkan pada saat meminjam.
6. Bagi produsen, inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada
akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan
produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu.
Bahkan bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut
mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).

18
7. Dampak Inflasi Terhadap Ekspor. Pada keadaan inflasi, daya saing untuk barang
ekspor berkurang. Berkurangnya daya saing terjadi karena harga barang ekspor
semakin mahal. Inflasi dapat menyulitkan para eksportir dan negara. Negara
mengalami kerugian karena daya saing barang ekspor berkurang, yang
mengakibatkan jumlah penjualan berkurang. Devisa yang diperoleh juga semakin
kecil.

Secara umum inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara,


mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif,
kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca
pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat

2.2.4 CARA PENGENDALIAN INFLASI DI INDONESIA

Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga


yang berasal dari sisi permintaan aggregat (demand management) relatif terhadap
kondisi sisi penawaran. Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespon kenaikan
inflasi yang disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan yang bersifat sementara
(temporer) yang akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.

Sementara inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi
penawaran ataupun yang bersifat kejutan (shocks) seperti kenaikan harga minyak dunia
dan adanya gangguan panen atau banjir Dari bobot dalam keranjang IHK, bobot inflasi
yang dipengaruhi oleh faktor kejutan diwakili oleh kelompok volatile food dan
administered prices yang mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK.

Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi


sangat terbatas apabila terdapat kejutan (shocks) yang sangat besar seperti ketika terjadi
kenaikan harga BBM di tahun 2005 dan 2008 sehingga menyebabkan adanya lonjakan
inflasi.

Dengan pertimbangan bahwa laju inflasi juga dipengaruhi oleh faktor yang
bersifat kejutan tersebut maka pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan

19
koordinasi antara pemerintah dan BI melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi
baik dari kebijakan fiskal, moneter maupun sektoral. Lebih jauh, karakteristik inflasi
Indonesia yang cukup rentan terhadap kejutan-kejutan (shocks) dari sisi penawaran
memerlukan kebijakan-kebijakan khusus untuk permasalahan tersebut.

Dalam tataran teknis, koordinasi antara pemerintah dan BI telah diwujudkan


dengan membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian
Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia
dan departmen teknis

terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang


Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan,
Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008 pembentukan
TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI
diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah
sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan.

2.2.5 KOORDINASI PENGENDALIAN INFLASI DI INDONESIA

Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Sementara itu, sumber tekanan inflasi Indonesia tidak hanya berasal dari sisi
permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia. Dari hasil penelitian, karakteristik
inflasi di Indonesia masih cenderung bergejolak yang terutama dipengaruhi oleh sisi
suplai (sisi penawaran) berkenaan dengan gangguan produksi, distribusi maupun
kebijakan pemerintah. Selain itu, shocks terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan
pemerintah terkait harga komoditas strategis seperti BBM dan komoditas energi lainnya
(administered prices).

Berdasarkan karakteristik inflasi yang masih rentan terhadap shocks tersebut, untuk
mencapai inflasi yang rendah, pengendalian inflasi memerlukan kerjasama dan

20
koordinasi lintas instansi, yakni antara Bank Indonesia dengan Pemerintah. Diharapkan
dengan adanya harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan tersebut, inflasi yang rendah dan
stabil dapat tercapai yang pada gilirannya mendukung kesejahteraan masyarakat.

Gambar I. Koordinasi Antara Bank Indonesia dan Pemerintah Dalam Pengendalian


Inflasi

Menyadari pentingnya peran koordinasi dalam rangka pencapaian inflasi yang rendah
dan stabil, Pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Tim Pemantauan dan
Pengendalian Inflasi (TPI) di level pusat sejak tahun 2005. Penguatan koordinasi
kemudian dilanjutkan dengan membentuk Tim Pengendalian Inflasi di level daerah
(TPID) pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani tugas dan peran TPI di level
pusat dan TPID di daerah, maka pada Juli 2011 terbentuk Kelompok Kerja Nasional
(Pokjanas) TPID yang diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat
efektivitas peran TPID. Keanggotaan Pokjanas TPID adalah Bank Indonesia, Kemenko
Perekonomian dan Kemendagri.

21
Gambar II. Keterkaitan Antara TPI, Pokjanas TPID dan TPID

2.2.6 UPAYA PEMERINTAH DALAM PENGENDALIAN INFLASI

Koordinasi BI dan pemerintah yang semakin baik berperan penting dalam


mengendalikan inflasi tahun ini. Inflasi kelompok volatile food tercatat cukup rendah seiring
dengan terjaganya kecukupan pasokan bahan pangan. Kondisi tersebut didukung koordinasi
Bank Indonesia dan Pemerintah, antara lain melalui Tim Pengendali Inflasi (TPI) dan TPI daerah
(TPID). Yaitu mendorong peningkatan produksi dan memperbaiki distribusi, serta
meminimalkan berbagai distorsi harga bahan pangan.

Sejalan dengan itu, kelompok administered prices atau harga yang dikendalikan
pemerintah diperkirakan mengalami inflasi yang rendah, bahkan berpotensi deflasi. Pencapaian
tersebut ditopang oleh menurunnya harga energi dunia sejalan dengan penurunan harga Solar
dan diskon tarif listrik industri golongan tertentu melalui paket kebijakan ekonomi jilid III.
Sementara itu, inflasi inti tetap terkendali berkat dukungan ekspektasi inflasi yang terjaga,
pelemahan nilai tukar rupiah yang terbatas dan permintaan domestik yang relatif lemah.

Untuk memperkuat pengendalian inflasi tahun 2016, khususnya yang berasal dari sisi
harga yang dikendalikan dan harga bahan makanan bergejolak (volatile food), diperlukan
sinkronisasi kebijakan yang lebih kuat, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Pasalnya,
rencana kenaikan tarif listrik tahun depan berpotensi mendorong kenaikan inflasi dari sisi
administered prices.

22
Sementara itu, tekanan inflasi volatile food diperkirakan dapat berasal dari keterbatasan
pasokan sejumlah bahan pangan, termasuk beras. Penyebabnya adalah dampak El Nino yang
akan berpengaruh terhadap produksi pertanian.

Berdasarkan kondisi dan gambaran itulah, BI dan pemerintah merumuskan enam langkah
strategis untuk mengendalikan inflasi tahun depan.

1. Menerapkan peta jalan (roadmap) pengendalian inflasi sebagai acuan program TPI dan
TPID.
2. Mengaktifkan sekretariat pengendalian inflasi di Kementerian Koordinator
Perekonomian untuk mempermudah koordinasi di antara pusat dan daerah.
3. Melibatkan KPPU dan penegak hukum untuk mengatasi permasalahan struktur pasar
komoditas pangan.
4. Menyelenggarakan Rakornas VII TPID pada Agustus 2016, yaitu setelah penetapan
kepala daerah baru hasil pemilihan umum kepala daerah (Pilkada).
5. Berupaya mengendalikan inflasi komoditas pangan sebagai antisipasi tantangan inflasi
harga yang diatur pemerintah (administered prices) tahun 2016.
6. Memperkuat bauran kebijakan BI untuk memastikan tetap terjaganya stabilitas
makroekonomi, khususnya pencapaian target inflasi tahun depan.

23
BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter (MTKM) merupakan jalur-jalur yang
dilalui oleh kebijakan moneter untuk dapat mempengaruhi sasaran akhir kebijakan
moneter yaitu pendapatan nasional dan inflasi.
2. Bahwa Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur,
diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset,
dan jalur ekspektasi.

3.2 SARAN
Melalui pemaparan mengenai saluran transmisi kebijakan moneter dan
pengendalian inflasi di Indonesia tersebut sudah kita ketahui berbagai macam
upaya bank sentral dalam mengendalikan inflasi. Selanjutnya adalah
bagaimana mengimplementasikan dan mengaplikasikan setiap upaya-upaya
yang direncanakan pemerintah khususnya untuk tahun depan agar inflasi di
Indonesia tetap stabil.

24
DAFTAR PUSTAKA

http://www.bi.go.id

Warjiyo, Perry. (2004). Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia. Buku


Seri Kebanksentralan No. 11, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK).
Bank Indonesia

https://aeyogy.wordpress.com/tag/saluran-transmisi-kebijakan-moneter/

Sukirno,sadono. 2011. Makro ekonomi teori pengantar. Jakarta : Raja Grafindo Persada

25

You might also like