Hubungan Status Nutrisi Pasien (Malnutrision Inflamation Score) dengan
Anemia Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis Reguler
1.1 Latar Belakang
Pada saat ini duni kesehatan sedang memperhatikan adanya peningkatan Penyakit Tidak Menular (PTM) dan tidak terkecuali penyakit ginjal yang berkahir dengan tindakan hemodialisa. Tingginya lonjakan kasus penyakit tidak menular dituding sebagai beban yang banyak menyerap dana Jaminan Kesehatan Nasional dan menjadi salah satu penyebab Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus mengalami defisit. Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek menyebutkan biaya penyakit tidak menular Penghabiskan sekitar 30% atau sebesar Rp16,9 triliun dari anggaran JKN. Kasus PTM meningkat dari 37% pada 1990 menjadi 57% pada 2015. Negara kita sedang mengalami transisi dari penyakit menular ke penyakit tidak menular,” dari halaman bisnis .com Jakarta, Selasa (25/10/2016). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan , beberapa jenis penyakit katastropik dengan jumlah klaim paling signifikan antara lain penyakit jantung, stroke, diabet, kanker, penyakit ginjal, hepatitis, thalassemia, leukemia, hemophilia dan lain-lain. Hemodialisa menjadi penyakit ginjal yang menyumbang devisit anggaran JKN paling tinggi di bandingkan yang lain. Fenomena adanya kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan JKN menjadai salah satu penyebab tingginya klaim pasien Hemodialisa. Saat ini pelaynanan hemodialisa sudah cukup banyak walupun belum sesuai dengan kebutuhan pelayanannya, sistem JKN memberi kesempatan semua penderita gagal ginjal terminal untuk menjalani HD tanpa pungutan biyaya. Gagal ginjal dapat dibedakan menjadi gagal ginjal akut, kronis dan terminal (GGT) atau juga sering disebut End Stage Renal Desease (ESRD). Penyakit gagal ginjal terminal merupakan keadaan yang dapat terjadi karena penyakit ginjal akut yang berulang menjadi kronis tahap akhir (gagal ginjal tahap V) dan akhirnya ditetapkan sebagai gagal ginjal terminal dimana ginjal hanya menyisakan kurang dari 15% Laju Filtras Glomerulus (Sukandar: 2007) Saat ini hampir setengah juta penderita gagal ginjal kronik tahap V atau Gagal Ginjal Terminal (GGT) menjalani tindakan HD untuk memperpanjang hidupnya. Tindakan ini mengalami perkembangan yang cukup pesat walaupun beberapa penderita tetap mengalami masalah medis saat pelaksanaan HD. Beberapa masalah medis yang bisa terjadi pada penderita yang mengalami HD seperti gangguan hemodinamik, gangguan koagulasi, gangguan pada sistem saraf dan gangguan kardiovaskular. Jumlah pasien baru terus meningkat dari tahun ke tahun di indonesia, baik itu pasien baru maupun pasien aktif. Pasien baru adalah pasien yang baru pertama kali menjalani dialisis sedangkan pasien aktif adalah seluruh pasien baik pasien sekarang maupun tahun-tahun sebelumnya. Data dari Indonesian Renal Registry peningkatan pasien baru dan pasien aktif di Indonesia dari tahun 2007- 2015 menunjukan tahun 2007 pasien baru 4977, pasien aktif 1855, 2008 pasien baru 5392, pasien aktif 1936, 2009 pasien baru 8193, pasien aktif 4707, 2010 pasien baru 9649, pasien aktif 5184, 2011 pasien baru 15353, pasien aktif 6951, 2012 pasien baru 19621, pasien aktif 1961, 2013 pasien baru 15128, pasien aktif 9396, 2014 pasien baru 17194, pasien aktif 11689, 2015 pasien baru 21050, pasien aktif 30554. Kasus gagal ginjal kronik di dunia semakin meningkat saat ini, meningkatnya lebih dari 50%. Tanpa pengendalian yang cepat dan tepat pada tahun 2015 penyakit ginjal diperkirakan bisa menyebabkan kematian hingga 36 juta penduduk dunia. Menurut United State Renal Data System (USRDS) di Amerika Serikat prevalensi penyakit gagal ginjal kronis meningkat sebesar 20 – 25% setiap tahunnya (Nadhiroh, 2013). Kejadian Gagal Ginjal Akut (GGA) dilaporkan di Inggris oleh Ali dkk (2007) dengan metode RIFLE angka kejadian GGA di populasi yang sangat tinggi, yaitu 1.811 kasus/juta penduduk dan Acute on Cronic Renal Failure sebesar 336 kasus /juta penduduk. Di negara berkembang di perkirakan 40-60 kasus perjuta penduduk pertahunnya. Pada tahun 2003, Mehta dkk hasil penelitian PICARD (Program to Improved Care in Akute Renal Disease) angka kejadian pasien GGA yang dirawat di ICU sebagai berikut, dari 618 pasien yang dirawat di ICU, 41% wanita dan 59% laki-laki dengan umur rata-rata 59,5 tahun. Penyakit yang menyertai (co-morbid) pasien ini yaitu 3% penyakit ginjal kronis, 37% arteri koroner, 29% diabetes, dan 21% penyakit liver kronis dimana sebagian pasien (64%) memerlukan tindakan dialisis. Angka kematian pasien GGA di rumah sakit masih tetap tinggi, yaitu sekitar 30-50% pada pasien di bangsal biasa dan sekitar 70-80% pada pasien dengan perawatan intensif (Roesli, 2008). Data yang masuk ke pusat Indonesian Renal Registry menunjukan peningkatan penderita gagal ginjal terminal dari tahun 2007,2008,2009 dan 2015 baik di tingkat nasional (Indonesia), Provinsi (Jawa Barat) maupun Kota/Kabupaten (Bandung), di Indonesia pada tahun 2007 terdapat 1886, tahun 2008 terdapat 2823, tahun 2009 terdapat 3635 dan pada tahun 2015 terdapat 15758, di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 terdapat 962, tahun 2008 terdapat 1110, tahun 2009 terdapat 1374 dan tahun 2015 terdapat 6305, sedangkan di Kabupaten/Kota bandung tahun 2007 terdapat 726, tahun 2008 terdapat 834, tahun 2009 terdapat 976. Data diatas belum mencakup keseluruhan karena ada renal unit yang belum melakukan registrasi atau baru saja dibentuk. Dari data diatas, terlihat pasien GGT setiap tahunnya mengalami peningkatan terus menerus. Implikasinya adalah pelayanan kesehatan HD menjadi kebutuhan primer bagi pasien GGT. Hemodialisis adalah suatu Terapi Pengganti Ginjal (TGP) buatan dengan tujuan mengeliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein) dan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan dialisat melalui selaput membran semipermiabel yang berperan sebagai ginjal buatan. (Sukandar, 2007). HD merupakan jenis TGP yang banyak di pilih di indonesia. Data yang didapat dari Pusat Indonesian Renal Registry menunjukan peningkatan tindakan HD rutin di Indonesia tahun 2008 terdapat 195060, tahun 2009 terdapat 314714, tahun 2010 terdapat 348469, tahun 2011 terdapat 505928. Pada pasien gagal ginjal terminal hemodialisi berfungsi untuk mempertahankan kehidupan untuk menggantikan ekresi ginjal ± 70-80%. Akan tetapi, hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya fungsi hormonal dan endokrin. Salah satu dampak hormonal yang utama pada pasien gagal ginjal terminal adalah penurunan hormon eritropoitin untuk pembentukan sel darah merah yang menimbulkan komplikasi homeopoesis yaitu anemia renal (Sukandar 2007) Menurut Sukandar (2006) dialisis yang adekuat akan tercapai atau optimal jika diantaranya dapat mencapai hal-hal berikut ini : aliran darah lebih dari 300 ml/mnt, aliran dialisat 500 ml/mnt, dialiser sangat permeabel dan bukan dialiser pakai ulang (Re-Use), karena dialiser juga akan berkaitan dengan cleareance yaitu kemampuan membran dalam mengeliminasi darah per unit satuan waktu dibagi dengan perbedaan konsentrasi darah yang masuk dan dialisat yang masuk (volume darah/UF dan aliran dialisat) selama menjalani HD, Urea Ratio Rate (URR) lebih dari 65%, TD 12-15 jam/minggu. Pencapaian adekuasi dialisis secara akut dapat dinilai melalui dua cara yaitu, dengan penilaian terhadap pencapaian berat badan kering (berat badan tanpa overhidrasi) dan pencapaian melalui hasil laboratorium yaitu penurunan ureum melalui perhitungan Urea Ratio Rate (URR), dimana URR harus mencapai lebih dari 65% untuk dinyatakan adekuasi HD berhasil per sesi HD, atau dengan pencapaian Kt/V lebih dari 1,2. (Keterangan : K : Klirens urea dari dialiser, V : Volume distribusi urea, t : Waktu dialisis) (Sukandar, 2006 dalam Sumpena 2002, NKF -DOQI). Pencapaian adekuasi yang buruk tentunya akan berdampak pada gangguan fisiologis tubuh secara umum karena berkaitan dengan eliminasi zat sisa dalam tubuh, salah satunya adalah Gangguan Gastro Intestinal Track (GIT) sebagai dampak azotemia berupa respom mual , muntah dan anoreksia yang timbul karena penimbunan sisa metabolit tubuh uremukum, selain itu iritasi saluran GIT karena ureum memberi dampak yang buruk terhadap status nutrisi pasien (Daugridas,2007; Lang.2006,Pernefri, 2003). Penelitian oleh National Cooperative Dialisis Study (NCDS), merupakan penelitian prospektif skala luas pertama yang menilai Adekuasi Hemodialisis (AHD). Re-evaluasi dari data NCDS menunjukkan bahwa Kt/V kurang dari 0,8 dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas, sedangkan Kt/V lebih dari 1,2 dihubungkan dengan mortalitas yang rendah. (Morgan, dkk 2002). Sedangakan pada penelitian Lowrie G (1994) melaporkan konsentrasi albumin serum kurang dari 3,5 g/L memiliki prediksi kenaikan resiko kematian. Dampak uremikum berkepanjangan juga menyebabkan peningkatan proses uremic inflamantory yang berhubungan dengan kenaikan β2Mikroglobulin plasma. Deposit β2Mikroglobulin juga sering ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal dengan sindroma azotemia karena adekuasi HD yang belum tercapai . Dalam hal ini dampak uremikum karena HD yang tidak adekuat meningkatkan akselerasi inflamasi yang memperburuk kondisi malnutrisi (Sukandar:2006, Daugridas, 2007) Salah satu penilaian status nutrisi yang sangat baik untuk pasien HD adalah dengan menggunakan Malnutrition Inflamation Score (MIS). Malnutrition Inflamation Score (M.I.S) adalah variasi SGA yang memiliki korelasi lebih erat dibandingkan SGA konvensional dalam hal prediksi perawatan di rumah sakit 12 bulan kedepan, angka kematian total, inflamasi serta anemia pada pasien dialisis (PERNEFRI.2011) MIS adalah sistem skoring yang murah dan mudah dikerjakan terdiri dari skor 0 dampai 30 untuk menilai malnutrisi energi protein dan inflamasi. MIS terdiri dari 4 bagian ( riwayat nutrisi, pemeriksaan fisik, IMT, dan nilai laboratorium) dan 10 komponen. Masing-masing komponen memiliki 4 tingkat derajat malnutrisi, mulai dari 0 (normal) sampai 3 (Sangat abnormal). Penjumlahan dari kesepuluh komponen MIS dapat berkisar dari 0 (normal) sampai 30 (malnutrisi berat), skor yang lebih tinggi menunjukan derajat malnutrisi dan inflamasi yang lebih berat. Dalam penelitian ini peneliti mengklasifikasikan penjumlahan MIS kedalam menjadi 2 bagian yaitu < 6 (tanpa malnutrisi), > 6 (malnutrisi) (Yamada et al.2005,). Arterosklerosis merupakan faktor risiko klasik penyakit kardiovaskular (PKV) yang disebabkan sinergisme berbagai mekanisme seperti malnutrisi, stres oksidasi, dan inflamasi kronik, pasien HD dengan status malnutrisi akan menyebabkan sel-sel mononuklear memproduksi cytosine disertai penurunan respon imunologik. (Sukandar:2006). Salah satu faktor yang berkaitan dengan malnutrisi pasien HD adalah pencapaian adekuasi dialisis (URR<65% atau Kt/V < 1,0), kelainan biokimia seperti asidosis yang berdampak pada gangguan gastrointestinal seperti mual, anoreksia, malabsorpsi serta perdarahan karena uremikum. Di lapangan sering petugas yang terkait pelayanan dialisis terlena dengan rutinitas pekerjaan tanpa melakukan evaluasi untuk memperbaiki derajat kesehatan pasien selama menjalani dialisis, status niutrisi dan adekuasi diperkirakan mempunyai peranan dan hubungan satu sama lain yang sangat penting dalam meningkatkan derajat kesehatan pasien HD, akan tetapi evaluasi keduanya jarang di ikuti dengan tindak lanjut yang menyeluruh. Melihat peningkatan penderita GGT yang memerlukan tindakan hemodialisis, tentunya akan menuntut semua pihak untuk menjamin ketersediaan pelayanan hemodialisis, tetapi dalam kenyataanya tidak semudah yang diharapkan bahwa sarana hemodialisis, akan tersedia dan memenuhi kebutuhan sesuai dengan jumlah pasien yang terus meningkat, akhirnya pasien yang divonis gagal ginjal terminal dan disarankan menjalani HD regular terpaksa menjalani HD dengan dosis minimal, yaitu dalam interval 1 minggu sekali dengan lama cuci darah yang sama seperti pasien yang sudah terjadwal rutin (regular). Pencapaian adekuasi HD merupakan hal penting untuk mencegah berbagai gangguan fisiologis lain terutama hal-hal lain yang berhubungan dengan gejala azotemia seperti mual-mual yang akhirnya akan menurunkan asupan nutrisi dan akan menurunkan derajat kesehatan pasien secara umum, maka dengan itu berbagi data dari penelitian yang dilakukan tim kesehatan dapat menjadi referensi dalam mengambil kebijakan untuk memperbaharui berbagai penatalaksanaan Hemodialisa terutama yang berbentuk standar prosedur oprasional (SPO). Maka berdasarkan fenomena diata penulis ingin melihat lebih jauh “Hubungan Adekuasi Hemodialisis Dengan Status Nutrisi Pasien (Malnutrision Inflamation Score (Mis)) Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis Reguler”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut: “Hubungan Adekuasi Hemodialisis Dengan Status Nutrisi Pasien (Malnutrision Inflamation Score) Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis Reguler ? “
1.3 Tujuan Penelitian
A. Tujuan Umum Untuk mengetahui Hubungan Adekuasi Hemodialisis Dengan Malnutrision Inflamation Score (MIS) Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis Reguler. B. Tujuan Khusus 1) Mendeskripsikan adekuasi dialysis 2) Mendeskripsikan status nutrisi : MIS 3) Mengetahui Hubungan dan faktor resiko Adekuasi Hemodialisis Dengan Malnutrision Inflamation Score (Mis) Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis Reguler”
1.4 Manfaat Penelitian
A. Manfaat Teoritis 1) Mendapatkan dasar (evident base) dan sumber informasi yang bermanfaat bagi bagi ilmu pengetahuan khususnya ilmu keperawatan medikal bedah dalam bidang asuhan keperawatan medikal bedah 2) Hasil penelitian ini diharapkan menjadi tambahan referensi ilmiah khususnya masalah penatalaksanaan hemodialisis B. Manfaat Praktis 1) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan reperinsi dalam membuat suatu kebijakan di instalasi HD RSHS terutama berkaitan dengan standar prosedur operasional dan perencanan pelayanan HD berdasarkan evident base. 2) Untuk perawat HD diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh adekuasi HD terhadap status nutrisi pasien dan memberikan acuan dalam memberikan PENKES terhadap pasien dan keluarganya. 3) Khusus untuk unit HD diharapkan dapat menjadi pemicu semangat untuk melakukan penelitian selanjutnya sebagai upaya meningkatkan pelayanan kesehatan di bidang hemodialisis. 4) Untuk organisasi Perhimpunan Perawat Ginjal Intensif Indonesia (PPGII) diharapkan menjadi referensi dan pemicu semangat anggotanya dalam melakukan penelitian terutama di bidang HD.