You are on page 1of 52

BAB I

PENDAHULUAN
Asfiksia adalah progresif hipoksemia dan hiperkapnea yang disertai dengan
perkembangan progresif dari asidosis metabolik. Kejadian Asphyixia neonatorum
adalah suatu keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur
setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uteris dan hipoksia ini
berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau
segera setelah bayi lahir. Faktor tersebut diantaranya dalah adanya (1) penyakit
pada ibu sewaktu hamil seperti hipertensi, gangguan atau penyakit paru, dan
gangguan kontraksi uterus, (2) pada ibu yang kehamilannya beresiko, (3) faktor
plasenta, seperti janin dengan solusio plasenta, (4) faktor janin itu sendiri, seperti
terjadi kelainan pada tali pusat antara janin dan jalan lahir, serta (5) faktor
persalinan seperti partus lama atau partus dengan tindakan tertentu.1,2,3
Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan
ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami
episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari
berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama.
Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh
dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih
besar.2 Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa
sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai
penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis
neonatorum dan kelahiran prematur.1,3 Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan
setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup dengan morbiditas jangka panjang
seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan belajar.4 Menurut hasil riset
kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian perinatal di Indonesia
adalah gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%)
dan sepsis neonatorum (12.0%).5
Penyebab utama kematian pada minggu pertama kehidupan adalah
komplikasi kehamilan dan persalinan seperti asfiksia, sepsis dan komplikasi berat
lahir rendah. Kurang lebih 99% kematian ini terjadi di negara berkembang dan

1
sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan pengenalan dini dan pengobatan
yang tepat.1
Mengingat besaran masalah penyakit asfiksia neonatorum ini makan
penulis ingin membahas lebih dalam tentang asfiksia neonatorum mulai dari
definisi hingga tatalaksananya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINSI
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda :
 Ikatan Dokter Anak Indonesia
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai
dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.1
 WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir.2
 ACOG dan AAP
Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi
kondisi sebagai berikut:3
 Nilai Apgar menit kelima 0-3
 Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)
 Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)
 Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan
kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem
renal).
Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang
dan ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang
mengalami episode hipoksia iskemi yang signifikan saat lahir memiliki
risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai
pertimbangan utama.4
II. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus
di seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir
mati yang lebih besar. Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-
6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia
setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur.1,3

3
Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat
lahir kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy,
retardasi mental dan gangguan belajar.4 Menurut hasil riset kesehatan dasar
tahun 2007, tiga penyebab utama kematian perinatal di Indonesia adalah
gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%)
dan sepsis neonatorum (12.0%). 5

III. ETIOLOGI
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses
persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat
bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan
pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal
maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia.5
Perubahan pertukaran gas dan transport oksigen selama kehamilan
dan persalinan akan mempengaruhi oksigenasi sel-sel tubuh yang
selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan fungsi sel. Gangguan fungsi sel
ini dapat ringan dan sementara atau menetap, tergantung dari perubahan
homeostatis yang terdapat pada janin. Perubahan homeostatis ini
berhubungan erat dengan beratnya dan lamanya anoksia atau hipoksia yang
diderita dan mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi sistem
kardiovaskuler. 6
Toweil (1966) menggolongkan penyebab asphyxia neonatorum terdiri dari
1. Faktor Ibu
 Hipoksia ibu
Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika
atau anestesia dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan
segala akibatnya.
 Gangguan aliran darah uterus
Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan
berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan ke janin. Hal ini sering
ditemukan pada (a) Ganguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni,
hipotoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, (b) Hipotensi

4
mendadak pada ibu karena perdarahan, (c) Hipertensi pada penyakit
akiomsia dan lain-lain.
2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan
kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan
mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta
dan lain-lain.
3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah
dalam pcmbuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara
ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan :
tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher kompresi tali pusat antar janin
dan jalan lahir dan lain-lain.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa
hal, yaitu : (a) Pemakaian obat anestesia/analgetika yang berlebihan pada
ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin. (b)
Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial.(c)
Kelainan konginental pada bayi, misalnya hernia diafrakmatika
atresia/stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.
IV. FAKTOR RESIKO
Lee, dkk.(2008) melakukan penelitian terhadap faktor risiko
antepartum, intrapartum dan faktor risiko janin pada asfiksia neonatorum.
Didapatkan bahwa gejala-gejala penyakit maternal yang dilaporkan 7 hari
sebelum kelahiran memiliki hubungan yang bermakna terhadap
peningkatan risiko kematian akibat asfiksia neonatorum. Gejala gejala
tersebut adalah demam selama kehamilan, perdarahan pervaginam,
pembengkakan tangan,wajah atau kaki, kejang, kehamilan ganda juga
berhubungan kuat dengan mortalitas asfiksia neonatorum .Bayi yang lahir
dari wanita primipara memiliki risiko mortalitas asfiksia neonatorum yang
lebih tinggi, sedangkan adanya riwayat kematian bayi sebelumnya tidak
bermakna dalam memperkirakan kematian akibat asfiksia neonatorum.

5
Partus lama dan ketuban pecah dini juga meningkatkan risiko asfiksia
neonatorum secara bermakna.4,5
Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian
akibat asfiksia neonatorum. Risiko tersebut meningkat 1.61 kali lipat pada
usia kehamilan 34-37 minggu dan meningkat 14.33 kali lipat pada usia
kehamilan < 34 minggu.4 Kortikosteroid perlu diberikan 7 hari sebelum
kelahiran hingga paling lambat 24 jam sebelum bayi lahir untuk
meningkatkan maturasi paru fetus. Pada suatu studi kohort dikatakan bahwa
penggunaan kortikosteroid antenatal adalah faktor protektif terhadap
sindroma distres respirasi (OR: 0.278; 95%KI: 0.177-0.437).5
.

Gambar 1 . Faktor Resiko Asfiksia Neonatorum5


V. PATOFISIOLOGI
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen
atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada
di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen
(pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat
melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah

6
dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus
arteriosus kemudian masuk ke aorta.5
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai
sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam
jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara
akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar
alveoli. 5
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan
tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik.
Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh
darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran
darah bekurang. 5
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan
tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran
pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh
pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung
oksigen kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh
tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan
oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat
kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus
arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus
arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen
untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. 5
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan
menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama
dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya.
Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi
pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh
darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.
5

7
Bila terdapat gangguaan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama
kehamilan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini
akan mempengaruhi fugsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan
menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat
reversibel/tidak tergantung kepada berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia
yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (Primany apnea) disertai
dengan penurunan frekuensi jantung selanjutnya bayi akan memperlihatkan
usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur.
Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi
selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (Secondary apnea). Pada
tingkat ini ditemukan bradikardi dan penurunan tekanan darah. 7
Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula gangguan
metabolisme dan pemeriksaan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi.
Pada tingkat pertama dan pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan
asidoris respiratorik, bila gangguan berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi
metabolisme anaerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh , sehingga
glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang. Asam
organik terjadi akibat metabolisme ini akan menyebabkan tumbuhnya
asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan
kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya
hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi
jantung terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel
jaringan termasuk otot jantung sehinga menimbulkan kelemahan jantung
dan pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan akan
tingginya resistensinya pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke
paru dan kesistem tubuh lain akan mengalami gangguan. Asidosis dan
gangguan kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap
sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi menimbuikan kematian atau gejala
sisa pada kehidupan bayi selanjutnya. 7

8
Gambar 2 . Pathway Asfiksia Neonatorum5

9
Gambar 3. Mekanisme cedera hipoksik-iskemik yang berkontribusi pada cedera otak
jangka panjang dan disabilitas8

10
VI. DIAGNOSIS

A. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas
waktu lahir dan lahir tidak bernafas/menangis.5 Pada anamnesis juga
diarahkan untuk mencari faktor resiko. 10

B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis, skor apgar dipakai untuk menentukan
derajat berat ringannya asfiksia 10

Klinis 0 1 2
Warna Biru Pucat Tubuh merah, Merah seluruh
Kulit
ekstremitas biru tubuh
(Appearance)
Frekuensi Tidak Ada <100x/ menit >100x/menit
Jantung
(Pulse)
Rangsangan Tidak Ada Gerakan sedikit Batuk/ Bersin
Refleks

(Grimace)
Tonus Otot Lunglai Fleksi ekstremitas Gerakan aktif

(Activity)

Pernafasan Tidak ada Menangis lemah / Menangis kuat


(Respiratory) terdengar seperti
meringis atau
mendengkur
Tabel 1 . APGAR Score11

Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi


adalah kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan
kompleks untuk kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut

11
jantung, sirkulasi darah dan refleks-refleks primitif seperti mengisap dan
mencari puting susu, salah satu cara menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan
nilai apgar. (IDAI, 1998)11

1. Skor apgar 7-10 ( Vigorous Baby). Dalam hal ini bayi di anggap sehat
dan tidak memerlukan tindakan istimewa. 12
2. Skor apgar 4-6 (Mild-moderate asphyxia)- Asfiksia sedang. Pada
pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit,
tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
12

3. A. Asfiksia berat. Skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis akan terlihat
frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis
berat, dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.

B. Asfiksia berat dengan henti jantung. Dimaksudkan dengan henti


jantung ialah keadaan (a) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih
dari 10 menit sebelum lahir lengkap, (b) bunyi jantung bayi menghilang
post partum. Dalam hal ini pemeriksaan fisis lainnya sesuai dengan yang
ditemukan pada penderita asfiksia berat. 12
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit
ke-5, bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan
tiap 5 menit sampai skor menjadi 7. Nilai apgar berguna untuk menilai
keberhasilan resusitasi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan
untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir
bila bayi tidak menangis. 10
C. Pemeriksaan Penunjang
- Foto Polos dada
- Laboratorium : Darah rutin, analisa gas darah 10
Pada pemeriksaan analisa gas darah, menunjukkan hasil
:
 Pa O2 < 50 mm
H2O

12
 PaCO2> 55 mm
H2O
 pH < 7,30
Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan
penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa :
 Darah perifer lengkap
 Pemeriksaan radiologi/foto dada
 Analisis gas darah sesudah lahir
 Pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi
 Gula darah sewaktu
 Pemeriksaan USG Kepala
 Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Pemeriksaan
EEG Kalium)
 Ureum kreatinin
 CT scan kepala
 Laktat
VII. PENATALAKSANAAN
Prinsip manajemen bayi baru lahir yang mengalami cedera
hipoksik-iskemik dan berisiko cedera sekunder adalah:13
1. Identifikasi awal bayi dengan risiko tinggi Tanda yang mungkin
didapat adalah denyut jantung janin abnormal, bayi depresi berat (skor
APGAR rendah dan berkepanjangan), perlu resusitasi (intubasi, kompresi
dada, pemberian epinefrin), asidosis berat (pH umbilikal <7,0 dengan atau
base deficit ≥16 mEq/L), diikuti hasil pemeriksaan neurologis awal
abnormal atau hasil EEG abnormal.13
2. Perawatan suportif intensif Untuk memfasilitasi perfusi dan
nutrisi otak yang adekuat, dibutuhkan perawatan suportif seperti koreksi
gangguan hemodinamis (hipotensi, asidosis metabolik),ventilasi adekuat,
koreksi gangguan metabolik seperti kadar glukosa, kalsium, magnesium,
dan elektrolit lainnya, penanganan kejang, serta monitor kegagalan fungsi
organ-organ lain.3,14 Salah satu faktor utama perawatan intensif adalah
menjaga ventilasi dan perfusi adekuat. Kekurangan oksigen akan

13
menyebabkan gangguan autoregulasi serebrovaskuler dengan konsekuensi
bertambahnya cedera sel-sel otak. Sedangkan hiperoksia berat pada awal
masa kehidupan akan menyebabkan peningkatan stres oksidatif yang pada
akhirnya memperburuk status neurologis jangka panjang.13,5
3. Pertimbangan intervensi untuk memperbaiki proses cedera otak
yang sedang terjadi.13 Intervensi terapi neuroprotektif dapat dipilah menjadi
intervensi farmakologi dan non-farmakologi. Meskipun banyak terapi
neuroprotektif telah diteliti, hingga saat ini tidak ada agen neuroprotektif
yang aman dan efektif mengobati sekuele neurologis setelah kejadian HIE
pada neonatus.1 Tujuan terapi neuroprotektif adalah untuk mengurangi
kerusakan serebral dengan cara mengurangi pembentukan radikal bebas
yang toksik, menghambat masuknya kalsium berlebihan ke dalam neuron,
dan mengurangi edema serebral.1 Beberapa terapi farmakologi dan
nonfarmakologi mempunyai saat terapi optimal yang berbeda setelah
kejadian HIE.

Melatonin Kanabis Hipotermia

Allopurinol N-asetilsistein Magnesium Sulfat

Statin Iminobiotin Xenon

Melatonin Argon

Eritropoeitin Deferoxamine

Stem cell Kanabis

Tabel 2. Terapi neuroprotektif dan saat pemberian


yang optimal113
Intervensi Non-farmakologi
1. Terapi Hipotermia Saat ini terapi hipotermia merupakan terapi utama HIE
dan terbukti sangat efektif mengurangi risiko kematian dan disabilitas bayi
baru lahir usia gestasi ≥36 minggu dengan klasifikasi HIE derajat sedang dan
berat.1 Namun, defisit neurologis menetap pada 40- 50% pasien setelah terapi

14
hipotermia.4 Tujuan utama terapi hipotermi adalah menurunkan metabolisme
otak, menyimpan energi, dan mencegah kegagalan energi sekunder dan
kematian sel, sehingga tidak terjadi fase cedera sekunder.16 Penurunan
temperatur hingga suhu 34,5±0,5°C untuk selective head cooling dan
33,5±0,5°C untuk whole-body cooling telah menjadi standar penanganan bayi
dengan cedera otak.9 Untuk setiap penurunan 1°core temperature, laju
metabolik serebral turun sebesar 6-7%.1 Dua metode terapi hipotermia, yaitu
wholebody cooling dan selective head cooling; belum ada metode yang
dianggap lebih superior.1 Mortalitas kedua metode tersebut tidak terlalu
berbeda, namun morbiditasnya berbeda; pada whole-body cooling terdapat
peningkatan frekuensi kejadian trombositopenia, koagulopati, dan/atau
kolestasis. Sedangkan kejadian kejang dan penggunaan obat antikonvulsan
lebih tinggi pada metode selective head cooling. 13
Terapi hipotermi dilakukan berdasarkan beberapa faktor berikut:13
 Berat lahir ≥1800 gram
 Hasil analisis gas darah
 Riwayat kejadian perinatal akut
 Skor APGAR
 Kebutuhan untuk resusitasi
 Pemeriksaan fisik (kejang, tingkat kesadaran, aktivitas spontan,
postur, tonus, refleks primitif, dan parameter sistem saraf otonom)
Saat tepat untuk memulai terapi hipotermi yang efektif dan optimal adalah
sesegera mungkin dalam usia kehidupan enam jam, serta dijaga hingga 48-72
jam.1,15 Selama terapi, beberapa parameter harus dipantau, antara lain laju dan
fungsi jantung, tekanan darah, elektrolit, gas darah, gula darah, faktor koagulasi.15
Setelah terapi selesai, proses penghangatan harus dilakukan bertahap dan perlahan
menggunakan selimut penghangat atau udara hangat.13,4
Efek samping jangka pendek terapi hipotermi adalah peningkatan sinus bradikardi
dan peningkatan signifikan trombositopenia. Namun, keuntungan terapi hipotermi
jauh lebih signifkan dibandingkan kejadian efek samping jangka pendek.13
2. Terapi Sel Punca/ Stem Cell Therapy Pada cedera hipoksik-iskemik,
terjadi kerusakan sel yang berakibat nekrosis dan apoptosis. Terapi sel punca

15
bertujuan untuk mengganti sel-sel rusak serta efek pelepasan faktor tropik dan
faktor anti-apoptosis yang memiliki efek antiinflamasi.10 Akan tetapi, jenis
dan sumber sel terbaik masih belum diketahui, kebanyakan peneliti
menggunakan sel punca neural atau sel punca mesenkimal. Beberapa
penelitian menggunakan darah tali pusat sebagai sumber sel punca karena
diketahui kaya akan sel punca; keuntungannya mudah didapat, kaya sel punca
primitif, tidak membutuhkan imunosupresan untuk transplantasi autologus,
dan dapat disimpan hingga ≥30 tahun. Sedangkan kerugiannya adalah jumlah
sel terbatas, berpotensi menularkan infeksi dan penyakit genetik.10,13
Intervensi Farmakologi
Secara umum, efek farmakologi yang diharapkan adalah efek antioksidan,
antiinflamasi, dan antiapoptosis. Efek antioksidan diharapkan dapat mengurangi
radikal bebas yang toksik dan menghambat masuknya kalsium yang berlebih ke
dalam sel saraf.1
Allopurinol memiliki efek antioksidan dan diketahui dapat mengurangi
pembentukan radikal bebas yang merusak jaringan dan dapat menjaga sawar darah
otak. Penelitian pada manusia menggunakan 500 mg allopurinol intravena sesaat
sebelum persalinan pada bayi yang dicurigai asfiksia janin. Dalam beberapa tahun
terakhir, cannabinoid diketahui memiliki fungsi neuroprotektor karena dapat
memodulasi respons neuronal dan glial. Selain itu, cannabinoid juga memiliki
fungsi sel endotelial, antieksitotoksik, antiinflamasi, efek vasodilator, dan mengatur
homeostasis kalsium.13
Makin banyak bukti klinis dan eksperimental bahwa recombinant human
erythropoietin (rhEPO) memiliki efek neuroprotektif dengan mengikat reseptor
EPO di neuron dan glia. Dosis rendah rhEPO (300 atau 500 U/kg) berhubungan
dengan penurunan risiko kematian dan disabilitas pada bayi HIE ringan cukup
bulan, sedangkan dosis tinggi rhEPO (2500 U/kg) diberikan dalam 48 jam pertama
kehidupan meningkatkan perbaikan perkembangan neurologis, menurunkan
aktivitas kejang, perbaikan abnormalitas EEG dalam 2 minggu, dan mengurangi
abnormalitas neurologis dalam 6 bulan pada bayi cukup bulan dengan HIE ringan
atau sedang.14

16
Banyak agen farmakologi lain yang memiliki efek antioksidan,
antiinflamasi, atau antiapoptosis seperti statin, xenon, argon, fenobarbital, MgSO4,
melatonin, dan N-asetilsistein.1 Masih diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap
manusia.14

17
Bagan 1 . Algoritma Resusitasi Neonatus (2015)

18
positif

langkah

Bagan 2 . Algoritma Resusitasi Neonatus (2010)5

19
Management of an asphyxiated newborn

20
Flowchart 2

Management of a newborn who has been resuscitated for moderate or severe birth asphyxia

Bagan 3 . Algoritma Resusitasi Neonatus15


Standard Treatment Protocol for management of common newborn conditions in small
hospitals
(Adapted from WHO Guidelines)

21
VIII. KOMPLIKASI
Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan berbagai macam gangguan organ.

Sistem Pengaruh

Sistem Saraf Pusat Ensefalopati hipoksik-iskemik, infark,


perdarahan intrakranial, kejang-kejang,
edema otak, hipotonia, hipertonia

Kardiovaskular Iskemia miokardium, kontraktilitas jelek,


bising jantung, insufisiensi trikuspidalis,
hipotensi

Pulmonal Sirkulasi janin persisten, perdarahan paru,


sindrom kegawatan pernapasan

Ginjal Nekrosis tubular akut atau korteks

Adrenal Perdarahan adrenal

Saluran Cerna Perforasi, ulserasi, nekrosis

Metabolik Sekresi ADH yang tidak sesuai,


hiponatremia, hipoglikemia, hipokalsemia,
mioglobinuria

Kulit Nekrosis lemak subkutan

Hematologi Koagulasi intravaskular tersebar

Tabel 2. Pengaruh Asfiksia (dikutip dari kepustakaan 8)

22
Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang
dilakukan.4

Komplikasi yang Sistem Organ Tindakan Pasca resusitasi


mungkin terjadi

Otak Apnu Pemantauan apnu

Kejang Bantuan ventilasi kalau perlu

Pemantauan gula darah, elektrolit

Pencegahan hipotermia

Pertimbangkan terapi anti kejang

Paru-paru Hipertensi Pulmoner Pertahankan ventilasi dan


Pneumonia oksigenasi
Pneumotoraks
Pertimbangkan antibiotika
Takipnu transien
Foto toraks bila sesak napas Sindrom
Defisiensi surfaktan
aspirasi Pemberian oksigen
alir bebas mekonium Tunda minum
bila sesak

Pertimbangkan pemberian
surfaktan

Kardiovaskuler Hipotensi Pemantauan tekanan darah dan frekuensi


jantung

Pertimbangkan inotropik (misal


dopamin) dan / atau
cairan penambah volume darah

23
Ginjal Nekrosis tubuler akut Pemantauan produksi urin

Batasi masukan cairan bila ada oliguria


dan volume vaskuler adekuat

Pemantauan kadar elektrolit

Gastrointestinal Ileus Tunda pemberian minum Berikan cairan


intravena Pertimbangkan nutrisi
Enterokolitis
parenteral
Nekrotikans

Metabolik/ Hipoglikemia Pemantauan gula darah


hematologik
Hipokalsemia Pemantauan elektrolit

Hiponatremia Pemantauan hematokrit

Anemia Pemantauan trombosit

Trombositopenia

Tabel 3. Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang
dilakukan (dikutip dari kepustakaan 4)

24
Stadium 2
Tanda Klinis Stadium 1 (Ringan) Stadium 3 ( Berat )
(Sedang)

Tingkat Kesadaran Hyperalert Letargi Stupor, Koma

Tonus Otot Normal Hipotonus Lemas

Postur Normal Fleksi Deserebrasi

Refleks Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada

Tendon/

Klonus

Mioklonus Tampak Tampak Tidak tampak

Refleks Moro Kuat Lemah Tidak ada

Pupil Midriasis Miosis Tidak ada.

Refleks cahaya lemah

Kejang Tidak ada Sering Deserebrasi

EEG Normal Voltase rendah Burst suppresion ke


hingga isoelektrik

bangkitan

kejang

Lamanya <24 jam 24 jam – 14 hari Beberapa hari hingga


minggu

Hasil Baik Bervariasi Meninggal atau


cacat berat

Tabel 4. Klasifikasi derajat hypoxic-ischemic encephalopathy (Sarnat dan


Sarnat).12

25
IX. PROGNOSIS
Hasil akhir asfiksia perinatal bergantung pada apakah komplikasi
metabolik dan kardiopulmonalnya (hipoksia, hipoglikemia, syok)
dapat diobati, pada umur kehamilan bayi (hasil akhir paling jelek jika
bayi preterm), dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksik-
iskemik.16
Prognosis tergantung pada kekurangan O2 dan luasnya
perdarahan dalam otak. Bayi yang dalam keadaan asfiksia dan pulih
kembali harus dipikirkan kemungkinannya menderita cacat mental
seperti epilepsi dan bodoh pada masa mendatang. 16
Prognosis HIE berkisar antara kesembuhan total hingga
kematian, berkorelasi dengan saat dan lamanya cedera, derajat
keparahan cedera, dan manajemen terapi. Bayi dengan pH awal
darah tali pusat 20-25 mmol/L), postur deserebrasi, lesi basal
ganglia-thalamus berat, HIE berat hingga usia 72 jam, dan kurangnya
aktivitas spontan, meningkatkan risiko kecacatan dan kematian.8,16

26
AREA CEDERA
KEJADIAN DISABILITAS
OTAK

Akut, asfiksia Sedang Ganglia basalis, Atetoid atau CP distonik, gangguan


hampir total thalamus kognitif ringan

Berat Korteks serebri, basal Disabilitas berat, kuadriplegia spastik,


ganglia, thalamus gangguan visual kortikal, mikrosefali,
gangguan kognitif

Berlanjut, Sedang Area watershed Disabilitas sedang, kuadriplegia


asfiksia spastik, gangguan kognitif
parsial
Berat Kortikal ekstensif Kuadriplegia spastik, gangguan
kognitif berat, gangguan visual
kortikal, mikrosefali

Tabel 5. Hubungan antara saat kejadian asfiksia dengan area cedera otak dan tipe
disabilitas.13

27
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas
 Nama : By. Ny. S II
 Tanggal Lahir : 3 Agustus 2018
 Jenis Kelamin : Perempuan
 BBL : 1820 gram
 PB : 45 cm
 Alamat : Sumbersari Megaluh- Jombang
 RM : 414000
 Ayah:
o Nama : Tn. M
o Usia : 36 tahun
o Pekerjaan : Karyawan Swasta
o Pendidikan : SMA
 Ibu:
o Nama : Ny. S
o Usia : 30 tahun
o Pekerjaan : IRT
o Pendidikan : SMP

Summary of data base


Keluhan utama:
Bayi lahir UK 36-37 minggu
RPS :
Bayi G3P2001 UK 36-37 minggu+ GHHIU + letkep/letli+ inpartu kala 1
fase aktif+HbsAg (+)+fetal distress. Bayi I lahir SptB, langsung menangis, sisa
ketuban jernih, dengan BBL 1510 gr. Bayi II lahir SC, bayi lahir tidak langsung
menangis, sisa ketuban jernih. Dilakukan resusitasi bayi baru lahir. Dilakukan
HAIKAP  evaluasi pernafasan, FJ, dan warna kulit  bayi apnea, FJ < 100 
diberikan VTP  FJ < 60  diberikan VTP dan kompresi dada, lalu dilakukan

28
intubasi. apgar skor 1 menit (1), apgar skor 5 menit (1), apgar skor 10 menit (2),
apgar skor 15 menit (4)
• Kondisi bayi saat di NiCU : BB 1820 gram. Kondisi bayi nafas tidak
adekuat, sianosis (-), pernapasan cuping hidung (+), retraksi (+), terpasang
ventilator mode PCV fiO2 100%
Riwayat kehamilan ibu :
 G3P2001 UK 36-37 minggu+ GHHIU + letkep/letli+ inpartu kala 1 fase
aktif+HbsAg (+)+fetal distress. Bayi lahir SC.
 Aktivitas selama kehamilan tidak melakukan pekerjaan yang berat, hanya
melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak menyapu dan
mencuci, malam hari berhubungan badan.
 Selama kehamilan,trimester I sebanyak 3x kontrol bidan , trimester II 3x
kontrol ke bidan dan pada trimester III 3x.
 Riwayat diabetes mellitus (-), hipertensi (-), keputihan (-), keguguran (-)
Riwayat persalinan :
 Ibu melahirkan di OK IGD RSUD Jombang
 Usia kehamilan 36/37 minggu
 Bayi lahir SC, bayi lahir tidak langsung menangis
 Ketuban jernih
 Sudah diberikan Inj. Vitamin K 1 mg i.m dan gentamycin eye drop 1 tetes
OD/OS
Pemeriksaan Fisik
Kesan Umum : gerak tangis lemah
Tanda-tanda Vital :
- HR : 100 kali/menit
- RR : 30 kali/menit
- Suhu : 36,6°C
- CRT : >3 detik
Antropometri:
- BBL : 1820 gram
- Panjang Badan : 45 cm
- Lingkar kepala : 30 cm

29
- Lingkar Dada : 27 cm
- Lingkar abdomen : 26 cm

Ballard Score
Maturitas fisik
Total ballard score: 17+14 = 31 = 36 minggu

Sistem Neurologis
- Kesadaran : Letargi
- Aktivitas : Diam
- Pergerakan : Tidak Spontan
- Tonus : Hipotoni

30
- Kejang : (-)

Kepala dan Leher


- Tidak ada cephal hematoma, tidak ada Caput succadenum
- Anemis (-), ikterus (-)
- Hidung : Pernafasan cuping hidung (+)
- Mukosa mulut dan bibir basah, sianosis (-)
Sistem Pernafasan :
- Warna Kulit : putih pucat
- Kecepatan nafas : 30x/menit, ireguler
- Pernafasan : grunting (+), pergerakan simetris, retraksi(+)
- SuaraNafas : vesikuler, tidak ada ronchi maupun wheezing
Down score :
o Frekuensi nafas : 30x
o Sianosis : menghilang dengan oksigen
o Retraksi /PCH : Berat
o Air entry : tidak ada udara masuk

31
o Merintih : merintih
o Total : 7 (Ancaman gagal nafas)
Sistem cardiovaskular:
- Suara jantung : reguler, HR 100 x/menit
- Auskultasi : dengar dengan mudah, S1 S2 tunggal
- Murmur : tidak
- Denyut nadi perifer : normal
- CRT : >3 detik
Sistem gastrointestinal:
- Inspeksi : flat
- Bising usus : (+) normal
- Palpasi abdomen : soefl, turgor kulit baik
- Umbilicus : tidak ada tanda-tanda infeksi, pus tidak ada
- Anus : ada
Pemeriksaan Laboratorium :
Clue and Cue :
 Bayi perempuan usia 0 hari
 GHHIU+ letkep/letli + 36/37 mgg
 BKB
 BBLR
 lahir tidak langsung menangis
 Gerak tangis lemah
 Sianosis (+)
 Dyspnea (+)
 Pernapasan cuping hidung (+)
 Retraksi dinding dada (+)
 AS 1-1-2-4
 Skor down 7
 Ballard score 36 minggu

Problem List :
- Asfiksia berat

32
- RDS
- BBLR
Initial Diagnosis :
 BKB+BBLR+Asfiksia Berat
Planing Diagnosis : DL, CRP
Planing Therapy :
 Perawatan BBL dan tali pusat
 Inj Vit K
 Tetes Mata Gentamycin
 Pasang Ventilator PCV PIP 13/ PEEP 5 FiO2 21% rate 60x/menit
 Inf. D10% 150 cc/24 jam
 Inj Loading Aminophylin 12 mg IV  Maintanance2x5 mgIV
Planing Monitoring
- Saturasi oksigen dan gerak napas
- Tanda-tanda distress napas
- Tanda bahaya dan infeksi
- Tanda-tanda vital
Planing Edukasi
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang keadaan pasien
 Menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan
 Menjelaskan tentang tatalaksana yang akan diberikan kepada pasien
 Menjelaskan tentang komplikasi dan prognosis yang mungkin akan terjadi
 Menjelaskan kepada orang tua dan keluarga pasien untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi bayi.
Hasil Laboratorium:
DL(3/8/2018)
Hb : 17,4
Leukosit : 16.650
Hct : 54,1
Eritrosit : 4.420.000
Trombosit : 323.000
Eosinofil : 3

33
Basofil : 2
Batang : -
Segmen : 17
Limfosit : 66
Monosit : 11
I/T Ratio : 0,18
CRP : 5

DL (6/8/2018)

Hb : 16,9
Leukosit : 6.820
Hct : 46,3
Eritrosit : 4.360.000
Trombosit : 218.000
Eosinofil : 2
Basofil : 3
Batang : -
Segmen : 49
Limfosit : 36
Monosit : 11
I/T Ratio : 0,01
BGA (7/8/2018 jam 09.10)
pH :6,89

pCO2 :13,3

pO2 :119,3

HCO3- :2,5

Base Excess :-29,5

O2 Sat :94,9

Ct CO2 :2,9

Anion gap :24,1

Natrium :129,0

34
Kalium :3,59

BGA (7/8/2018 jam 19.32)


pH :7,50

pCO2 :57,8

pO2 :32,3

HCO3- :46,2

Base Excess :23,0

O2 Sat :65,7

Ct CO2 :48,0

A-aDO2 : 43,1

Anion gap :35,1

Natrium :169,1

Kalium :4,49

Kultur Darah (7/8/2018) : Tidak Ada Pertumbuhan.

35
TGL/ SUBJEK OBJEK Assesement Planning
JAM

Pasien kiriman OK GT BB HR RR S BKB+BBLR+ - Perawatan BBL


IGD dengan lemah 1820 160 60 36,6 Asfiksia dan tali pusat
3/8
G3P2001 uk 36- - Inj Vit K
K/L : a/i/c/d -/-/+/+ PCH (+) Berat - Tetes Mata
14. 37
25 minggu+GHHIU+l Gentamycin
Th : simetris, retraksi (+) ves +/+ rh -/- wh -/-,
etkep+letli+inpart - Pasang
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-) Ventilator PCV
u kala 1 fase
aktif+hbsAg (+)+ PIP 13/ PEEP 5
Abd : soefl, BU (+)
fetal distress. FiO2 21% rate
Bayi lahir tidak Ext : HKM, CRT > 3’’ 60x/menit
- Inf. D10% 150
langsung
cc/24 jam
menangis,
- Inj Loading
dilakukan
Aminophylin 12
resusitasi dan
mg IV 
intubasi. Saat ini
Maintanance2x
pasien dipasang
5 mgIV
ventilator mode
pcv fio2 100%.
4/8 Pasien sesak, GT BB HR RR S BKB+BBLR+ -TPN (F1D12,5
instab suhu (-), lemah 1805 156 60 37,0 Asfiksia 120 cc, AA 60 cc,
terpasang Lipid 10 cc)
K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+) Berat
ventilator mode - Ventilator PCV
PCV FiO2 21% PIP 13/ PEEP 5
Th : simetris, retraksi (+) ves +/+ rh -/- wh -/-,
FiO2 21% rate
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
60x/menit
Abd : soefl, BU (+) -inj aminophylin
2x5 mg
Ext : HKM, CRT < 3’’ -oral care 3x1 ml

5/8 Pasien sesak, GT BB HR RR S BKB+BBLR+ -TPN (F1D12,5


instab suhu (-), lemah 1755 157 60 36,8 Asfiksia 120 cc, AA 60 cc,
terpasang Lipid 10 cc)
K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+) Berat
ventilator mode - Ventilator PCV
PCV FiO2 21% PIP 13/ PEEP 5
Th : simetris, retraksi (+) ves +/+ rh -/- wh -/-,
FiO2 21% rate
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
60x/menit
Abd : soefl, BU (+) -inj aminophylin
2x5 mg
Ext : HKM, CRT < 3’’ -oral care 3x1 ml

GT BB HR RR S Dx:

36
6/8 Sesak berkurang, lemah 1755 160 56 38,2 BKB+BBLR+ -DL ulang
instab suhu (+) Asfiksia -Kultur darah
K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+)
jam 08.00 38,4C, Tx:
Berat + susp.
jam 12.00 38,0C, Th : simetris, retraksi (+) ringan, ves +/+ rh -/- -TPN (F2D12,5
jam 04.00 38,2C, wh -/-, S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-) Sepsis 140 cc, AA 85 cc,
terpasang lipid 18 cc)
ventilator, nafas Abd : soefl, BU (+) -O2 ventilator
spontan (+) Ext : HKM, CRT < 3’’ SIMV FiO2 21%
rate 30 (CPAP
test)
-inj vicilin sx
2x135 mg(h1)
-inj gentamycin
1x10 mg(h1)
-inj aminophylin
2x5 mg
7/8 (07.00) Pasien GT BB HR RR S BKB+BBLR+ Dx:
sesak, SpO2 34%, lemah 1755 140 60 37,0 Asfiksia -BGA I
HR 90x/menit, Berat + -BGA II post
ETT pluging, K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+) susp. Sepsis pemberian nabic
dilakukan intubasi Tx :
Th : simetris, retraksi (+) ringan, ves +/+ rh -/-
ulang  HR -TPN (F2D12,5
wh -/-, S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
140x/mnt, SpO2 155 cc, AA 85 cc,
89%, RR 60x/mnt. Abd : soefl, BU (+) lipid 30 cc)
Terpasang -O2 ventilator
ventilator mode Ext : HKM, CRT < 3’’ PCV 13/5 fiO2
PCV 13/5 fio2 21% rate 60.
21% rate 60%. -inj vicilin 2x275
(12.00) mg(h2)
melaporkan hasil -inj gentamycin
BGA. 1x10 mg (h2)
(19.00) -inj aminophylin
Melaporkan hasil 2x5 mg
BGA II post -oral care asi 4x1
nabic terapi ml
lanjut. -nystatin 3x1 ml
Jam 12.00
-nabic 17,5
cc+WI 50 cc/ jam
(diberikan 2x)

37
8/8 Sesak berkurang, GT BB HR RR S BKB+BBLR+ -TPN (F2D12,5
instab (+) jam lemah 1715 158 58 37,3 Asfiksia 150 cc, AA 85 cc,
16.00 37,8c, Berat + lipid 25 cc)
terpasang K/L : a/i/c/d -/+/-/- PCH (-) susp. Sepsis -O2 ventilator
ventilator, nafas PCV 13/5 fiO2
Th : simetris, retraksi (-), ves +/+ rh -/- wh -/-,
spontan (+) 21% rate 60.
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
-inj vicilin 2x275
Abd : soefl, BU (+) mg(h3)
-inj gentamycin
Ext : HKM, CRT < 3’’, edema (-) 1x10 mg (h3)
-inj aminophylin
2x5 mg
-oral care asi 3x1
ml
-nystatin 3x1 ml
-termoregulasi
-fototerapi 1x24
jam.
9/8 Sesak berkurang, GT BB HR RR S BKB+BBLR+ -TPN (F2D12,5
instab (-), lemah 1720 150 60 36,8 Asfiksia 600 cc, AA 85 cc,
terpasang Berat + lipid 25 cc)
ventilator mode K/L : a/i/c/d -/-/-/- PCH (-) susp. Sepsis -O2 ventilator
PCV, nafas SIMV+PCV 13/5
Th : simetris, retraksi (-), ves +/+ rh -/- wh -/-,
spontan (+) fiO2 21% rate 20.
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
-inj vicilin 2x275
Abd : soefl, BU (+) mg(h4)
-inj gentamycin
Ext : HKM, CRT < 3’’, edema (-) 1x10 mg (h4)
-inj aminophylin
2x5 mg
-ASI 4x1 ml 
4x2 ml.
-nystatin 3x1 ml
-termoregulasi

38
10/ Sesak berkurang, GT BB HR RR S BKB+BBLR+ -TPN (F2D12,5
8 instab (-), lemah 1720 160 55 37,0 Asfiksia 155 cc, AA 85 cc,
terpasang Berat + lipid 30 cc)
ventilator, nafas K/L : a/i/c/d -/+/-/- PCH (-) susp. Sepsis -O2 CPAP / PSV
spontan (+) 5/21%
Th : simetris, retraksi (-), ves +/+ rh -/- wh -/-,
-inj vicilin 3x175
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
mg(h5)
Abd : soefl, BU (+) -inj gentamycin
1x10 mg (h5)
Ext : HKM, CRT < 3’’, edema (-) -inj aminophylin
2x5 mg
-oral care asi 3x1
ml
-nystatin 3x1 ml
-ASI 4x1 ml 
4x2 ml.

11/ Sesak berkurang, GT BB HR RR S BKB+BBLR+ -TPN (F2D12,5


8 instab (-), lemah 1735 150 60 36,8 Asfiksia 600 cc, AA 85 cc,
terpasang O2 Berat + lipid 25 cc)
NCPAP FiO2 21%, K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+) susp. Sepsis -O2 ventilator
nafas spontan (+), NCPAP FiO2
Th : simetris, retraksi (+), ves +/+ rh -/- wh -/-,
minum melalui 21%.
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
sonde, tumpah (-) -inj vicilin 2x275
Abd : soefl, BU (+) mg(h6)
Hasil Kultur : tidak
-inj gentamycin
ada pertumbuhan Ext : HKM, CRT < 3’’, edema (-) 1x10 mg (h6)
-inj aminophylin
2x5 mg
-ASI 4x1 ml 
4x2 ml.
-nystatin 3x1 ml

39
12/ Sesak berkurang, GT BB HR RR S BKB+BBLR+ -TPN (F2D12,5
8 instab (-), lemah 2030 158 60 37 Asfiksia 600 cc, AA 85 cc,
terpasang O2 Berat + lipid 25 cc)
NCPAP FiO2 21%, K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+) Sepsis -O2 ventilator
nafas spontan (+), NCPAP FiO2
Th : simetris, retraksi (+), ves +/+ rh -/- wh -/-,
minum melalui 21%.
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
sonde, tumpah (-) -inj vicilin 2x275
Abd : soefl, BU (+) mg(h7)
-inj gentamycin
Ext : HKM, CRT < 3’’, edema (+) 1x10 mg (h7)
Hasil kultur: tidak
ada pertumbuhan -inj aminophylin
2x5 mg
-ASI 4x1 ml 
4x2 ml.
-nystatin 3x1 ml
13/ Sesak berkurang, GT BB HR RR S BKB+BBLR+ -TPN (F2D12,5
8 instab (-), lemah 2035 155 58 36,5 Asfiksia 600 cc, AA 85 cc,
terpasang O2 Berat + lipid 25 cc)
NCPAP FiO2 21%, K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+) Sepsis -O2 ventilator
nafas spontan (+), NCPAP FiO2
Th : simetris, retraksi (+), ves +/+ rh -/- wh -/-,
minum melalui 21%.
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
sonde, tumpah (-) -Albumin 20%
Abd : soefl, BU (+) 2x10 cc selang
12 jam, prelasix
Ext : HKM, CRT < 3’’, edema (+) 2 mg
-inj vicilin 2x275
mg(h7)
-inj gentamycin
1x10 mg (h7)
-inj aminophylin
2x5 mg
-ASI 4x1 ml 
4x2 ml.
-nystatin 3x1 ml
-minimal
handling
-PMK

40
14/ Sesak berkurang, GT BB HR RR S BKB+BBLR+ TPN (F2D12,5
8 instab (-), lemah 2040 159 55 36,9 Asfiksia 600 cc, AA 85 cc,
terpasang O2 Berat + lipid 25 cc)
NCPAP FiO2 30%, K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+) Sepsis + -O2 ventilator
nafas spontan (+) gagal nafas NCPAP FiO2
Th : simetris, retraksi (+), ves +/+ rh -/- wh -/-,
30%.
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
-Albumin 20%
Abd : soefl, BU (+) 2x10 cc selang
12 jam, prelasix
Ext : HKM, CRT < 3’’, edema (+) 2 mg
-inj vicilin 2x275
mg(h8)
-inj gentamycin
1x10 mg (h8)
-inj aminophylin
2x6 mg
(dinaikkan 10%)
-nystatin 3x1 ml
-minimal
handling
-PMK
-puasa
15/ Sesak (+) GT BB HR RR S BKB+BBLR+ -TPN (F2D12,5
8 terpasang O2 lemah 2055 155 48 36,5 Asfiksia 600 cc, AA 85 cc,
CPAP mode Berat + lipid 25 cc)
bhipasic apnea K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+) Sepsis + -O2 ventilator
FiO2 21%. gagal nafas CPAP mode
Th : simetris, retraksi (+), ves +/+ rh -/- wh -/-,
phipasic apnea
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
FiO2 21%.
Abd : soefl, BU (+) -Albumin 20%
2x10 cc selang
Ext : HKM, CRT < 3’’, edema (+) 12 jam, prelasix
2 mg.
-inj vicilin 2x275
mg(h9)
-inj gentamycin
1x10 mg (h9)
-inj aminophylin
2x6 mg
-nystatin 3x1 ml
-puasa

41
16/ Sesak (+), GT BB HR RR S BKB+BBLR+ -TPN (F2D12,5
8 terpasang CPAP lemah 2060 127 60 36,9 Asfiksia 600 cc, AA 85 cc,
mode Bhipasic Berat + lipid 25 cc)
apnea FiO2 30%, K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+) Sepsis + -O2 ventilator
puasa. gagal nafas NCPAP FiO2
Th : simetris, retraksi (+), ves +/+ rh -/- wh -/-,
21%.
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
-inj vicilin 3x175
Abd : soefl, BU (+) mg(h10)
-inj gentamycin
Ext : HKM, CRT < 3’’, edema (+) 1x10 mg (h10)
-inj aminophylin
2x5 mg
-PO cafein 1x10
mg
-nystatin 3x1 ml
-puasa
17/ Jam 06.35, Sat O2 GT BB HR RR S BKB+BBLR+ -TPN (F2D12,5
8 turun menjadi lemah 2060 112 30 36,6 Asfiksia 600 cc, AA 85 cc,
73%, HR Berat + lipid 25 cc)
112x/menit, RR K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+) Sepsis + -O2 ventilator
30x/menit, gagal nafas SIMV FiO2 30%
Th : simetris, retraksi (+), ves +/+ rh -/- wh -/-,
t=36,9. Sianosis 15/6 RR
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
(+) gasping (+). 40x/menit.
Dilakukan Abd : soefl, BU (+) -inj meropenem
Resusitasi dan 3x75 mg
intubasi, Ext : HKM, CRT < 3’’, edema (+) -PO cafein 1x10
terpasang mg
ventilator SIMV -nystatin 3x1 ml
FiO2 30% 15/6 RR -puasa
40x/menit.

18/ Jam 05.00 KU GT BB HR RR S BKB+BBLR+ -


8 jelek,HR : lemah 2060 127 25 36,8 Asfiksia
127x/menit, Berat +
saturasi O2 40- K/L : a/i/c/d -/-/+/+ PCH (+) Sepsis +
60%, gasping (+), gagal nafas
Th : simetris, retraksi (+), ves +/+ rh -/- wh -/-,
respon (-)sianosis
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
(+) cutis
mermorata (+) Abd : soefl, BU (+)
sklerem (+)
terpasang CPAP Ext : HKM, CRT < 3’’, edema (+)
FiO2 40%.

42
Jam 06.30 KU
semakin jelek,
SpO2 30-40%, HR
40-50x/menit,
sianosis sentral.
Bagging aktif, KIE
keluarga.

Jam 06.50 HR
tidak terdengar,
pupil midriasis,
refleks kornea (-),
pasien dinyatakan
meninggal.

43
BAB IV

PEMBAHASAN

Bayi G3P2001 UK 36-37 minggu+ GHHIU + letkep/letli+ inpartu kala 1


fase aktif+HbsAg (+)+fetal distress. Bayi I lahir SptB, langsung menangis, sisa
ketuban jernih, dengan BBL 1510 gr. Bayi II lahir SC, bayi lahir tidak langsung
menangis, sisa ketuban jernih. Pada bayi ke II atau bayi Ny. S II, bayi mengalami
asfiksia. Asfiksia adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir
atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia
dan asidosis (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009). Etiologi dari asfiksia dapat
disebabkan oleh karena faktor ibu, faktor plasenta, faktor fetus, dan faktor neonatus.
Pada bayi Ny. S II, penyebab dari asfiksia yang dialami bisa dikarenakan oleh faktor
plasenta yang mengalami gangguan dikarenakan fisiologis dari partus adalah
terjadinya kontraksi uterus secara spontan setelah bayi dilahirkan (Cunningham et
al, 2010).

Pada kasus ini, faktor resiko bayi Ny. S II mengalami asfiksia adalah faktor
resiko intrapartum dan faktor resiko janin. Bayi Ny. S II mengalami malpresentasi
dengan posisi bayi letak lintang, sehingga menyulitkan untuk terjadi nya partus
spontan. Pada Bayi Ny. S II sudah dilakukan versi, tetapi gagal sehingga persalinan
pada bayi Ny. S II dilakukan secara SC. Selain itu faktor resiko janin yang dapat
menyebabkan asfiksia adalah prematuritas dan BBLR. Bayi Ny. S II mengalami
prematuritas dan BBLR karena ibu mempunyai kehamilan ganda (gemeli),
sehingga yang seharusnya pasien belum lahir dan belum terjadi rangsangan
kontraksi uterus, pada Ny. S II terjadi rangsangan kontraksi dikarenakan uterus
yang terisi dengan 2 fetus.

Dari pemeriksaan fisik BBL, didapatkan Apgar Score 1 menit (1), apgar
skor 5 menit (1), apgar skor 10 menit (2), apgar skor 15 menit (4). Hal ini
menunjukkan bahwa bayi mengalami asfiksia berat, dimana apgar skor
menunjukkan 0-3 yang berarti Pada pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi
jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang
pucat, refleks iritabilitas tidak ada (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009)

44
Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium darah
lengkap pada saat setelah lahir. Pada penatalaksanaan asfiksia dilakukan HAIKAP
 evaluasi pernafasan, FJ, dan warna kulit  bayi apnea, FJ < 100  diberikan
VTP  FJ < 60  diberikan VTP dan kompresi dada, lalu dilakukan pertimbangan
intubasi. Hal ini sesuai dengan alur resusitasi AHA 2015 seperti gambar dibawah
berikut :

45
Gambar 4.1 Resusitasi Neonatus AHA 2015

46
Setelah dilakukan intubasi dan terpasang ETT, disambungkan ke ventilator
mode PCV PIP 13/ PEEP 5 FiO2 21% rate 60x/menit. Selain itu bayi juga diberikan
D10% 150 cc/24 jam, hal ini sesuai dengan algoritma resusitasi pada asfiksia berat
menurut WHO pada gambar berikut ini :

Gambar 4.2 . Algoritma Resusitasi Neonatus

Selain itu, juga dilakukan termoregulasi untuk mencegah hipotermia


maupun hipertermia, dilakukan maintanance oksigen dan ventilasi dengan

47
memasang monitor saturasi O2, maintanance perfusi, maintanance GDA, dan
waspada terhadap kejang. Terapi lain yang diberikan kepada pasien adalah injeksi
Aminofilin loading dose 12 mg dan maintanance dose 2x 5 mg. Hal ini berhubungan
pada kejadian apnea of prematurity (AOP) yang merupakan komplikasi tersering
pada bayi prematur dengan prevalens mencapai 25-50% dan kejadiannya
meningkat seiring dengan berkurangnya usia gestasi. AOP dihubungkan dengan
imaturitas batang otak sebagai pusat pernafasan, sehingga pemberian aminofilin
menstimulasi susunan saraf pusat, terbukti dengan meningkatkan usaha nafas dan
menurunkan ambang sensitif untuk hiperkapni, dan meningkatkan kontraktilitas
diafragma. Aminofilin diberikan dengan loading dose 6 mg/kgBB/dose dan
maintanance dose 2,5 mg/kgBB/dose dengan pemberian tiap 12 jam (pharmacy
departement, the royal womens hospital Australia, 2005).

48
BAB V
KESIMPULAN
Asfiksia adalah progresif hipoksemia dan hiperkapnea yang disertai dengan
perkembangan progresif dari asidosis metabolik. Kejadian Asphyixia neonatorum
adalah suatu keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur
setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uteris dan hipoksia ini
berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau
segera setelah bayi lahir. Faktor tersebut diantaranya dalah adanya (1) penyakit
pada ibu sewaktu hamil seperti hipertensi, gangguan atau penyakit paru, dan
gangguan kontraksi uterus, (2) pada ibu yang kehamilannya beresiko, (3) faktor
plasenta, seperti janin dengan solusio plasenta, (4) faktor janin itu sendiri, seperti
terjadi kelainan pada tali pusat antara janin dan jalan lahir, serta (5) faktor
persalinan seperti partus lama atau partus dengan tindakan tertentu.1,2,3

Bila terdapat gangguaan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama


kehamilan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fugsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian.
Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel/tidak tergantung kepada berat
dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu
(Primany apnea) disertai dengan penurunan frekuensi jantung selanjutnya bayi
akan memperlihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh
pernafasan teratur. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak
dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (Secondary apnea). Pada
tingkat ini ditemukan bradikardi dan penurunan tekanan darah.7

Prinsip manajemen bayi baru lahir yang mengalami cedera hipoksik-


iskemik dan berisiko cedera sekunder adalah:13 1. Identifikasi awal bayi dengan
risiko tinggi Tanda yang mungkin didapat adalah denyut jantung janin abnormal,
bayi depresi berat (skor APGAR rendah dan berkepanjangan), perlu resusitasi
(intubasi, kompresi dada, pemberian epinefrin), asidosis berat (pH umbilikal <7,0
dengan atau base deficit ≥16 mEq/L), diikuti hasil pemeriksaan neurologis awal
abnormal atau hasil EEG abnormal.13

49
2. Perawatan suportif intensif Untuk memfasilitasi perfusi dan nutrisi otak yang
adekuat, dibutuhkan perawatan suportif seperti koreksi gangguan hemodinamis
(hipotensi, asidosis metabolik), ventilasi adekuat, koreksi gangguan
metabolik seperti kadar glukosa, kalsium, magnesium, dan elektrolit lainnya,
penanganan kejang, serta monitor kegagalan fungsi organ-organ lain.3,14 3.
Pertimbangan intervensi untuk memper baiki proses cedera otak yang sedang
terjadi.13 Intervensi terapi neuroprotektif dapat dipilah menjadi intervensi.
Hasil akhir asfiksia perinatal bergantung pada apakah komplikasi
metabolik dan kardiopulmonalnya (hipoksia, hipoglikemia, syok) dapat
diobati, pada umur kehamilan bayi (hasil akhir paling jelek jika bayi
preterm), dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksik-iskemik.16

50
DAFTAR PUSTAKA

1 IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan


Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2009.h. 272-276. (level of evidence IV)

2 World Health Organization. Basic Newborn Resuscitation: A Practical Guide-


Revision. Geneva: World Health Organization; 1999. Diunduh dari:
www.who.int/reproductivehealth/publications/newborn_resus_citation/index.h
tml.

3 American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and


Gynaecologists. Care of the neonate. Guidelines for perinatal care. Gilstrap LC,
Oh W, editors. Elk Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics; 2002:
196-7.

4 Lee, et.al. Risk Factors for Neonatal Mortality Due to Birth Asphyxia in
Southern Nepal: A Prospective, Community-Based Cohort Study. Pediatrics
2008; 121:e1381e1390 (doi:10.1542/peds.2007-1966). (Level of evidence IIb)

5 Departemen kesehatan republik Indonesia. 2008. Pencegahan dan


penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum.

6 Desfauza, Evi. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Asphyxia


Neonatorum Pada bayi Baru Lahir yang Dirawat di RSU Dr. Pirngadi Medan.
2007. Medan :Universitas Sumatera Utara.

7 Hidayat, A. Aziz Alimul. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan


Kebidanan. 2008. Jakarta : Salemba Medika.

8 Davidson JO, Wassink G, Heuji LG, Bennet L, Gunn AJ. Therapeutic


hypothermia for neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy – where to from
here? Frontiers in Neurology 2015;6(198):1-10.

9 American Academy of Pediatrics dan American Heart Association.


Bukupanduan resusitasi 51eonates. Edisi ke-5, 2006

10 Utomo, Martono Tri. Asfiksia Neonatorum. Cited on : December 28th. 2011.


Updated on : 2006. Available on http://www.pediatrik.com

51
11 Desfauza, Evi. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Asphyxia
Neonatorum Pada bayi Baru Lahir yang Dirawat di RSU Dr. Pirngadi Medan.
2007. Medan :Universitas Sumatera Utara.

12 Dr. Rusepno Hassan,dkk. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Info
Medika Jakarta : Fakultas Kedokteran UI.

13 Anggriawan Alonso. Tinjauan Klinis Hypoxic Ischemic Encephalopathy.


CDK-243..Vol 43.No 8. 2016 (Dokter PTT Puskesmas Seba, Kabupaten Sabu
Raijua, NTT,Indonesia)

14 Davidson JO, Wassink G, Heuji LG, Bennet L, Gunn AJ. Therapeutic


hypothermia for neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy – where to from
here? Frontiers in

Neurology 2015;6(198):1-10

15 For additional / next level management please refer to WHO Guidelines


(Managing Newborn Problems and Pocket Book of Hospital Care of Children),
http://www.ontop-in.org/sick-newborn/, http://www.newbornwhocc.org/
16 Behrman, Kliergman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vol. 1.

Jakarta : EGC.
17 Artanti, Rohsiswatmo, Rosalina. Laporan kasus berbasis bukti: Perbandingan
Keamanan Aminofilin dan Kafein pada Bayi Prematur dengan Apnea
Prematuritas. Sari Pediatri. Vol 19, No.2. 2017.

52

You might also like