You are on page 1of 55

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 2

2.1. Cedera Kepala......................................................................................... 2

2.2. Herniasi Otak .......................................................................................... 13

BAB III LAPORAN KASUS......................................................................................... 24

3.1. Identitas Pasien ....................................................................................... 24

3.2. Anamnesis .............................................................................................. 24

3.3. Pemeriksaan Fisik................................................................................... 25

3.4. Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 27

3.5. Resume ................................................................................................... 29

3.6. Diagnosis Kerja ...................................................................................... 29

3.7. Penatalaksanaan...................................................................................... 30

3.8. Prognosis ................................................................................................ 30

3.9. Perkembangan Pasien dan Tatalaksana (ICU)........................................ 31

BAB IV PEMBAHASAN KASUS ................................................................................ 37

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 41

LAMPIRAN........................................................................................................................ 42

i
BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala dapat didefinisikan sebagai adanya gangguan pada fungsi otak akibat
1
dorongan fisik dari luar. Gangguan fungsi pada otak dapat bersifat sementara ataupun
permanen, dan dapat menghasilkan kelinan struktural pada otak. Klasifikasi cedera kepala
dapat dibagi berdasarkan tingkat kesadaran yaitu cedera kepala ringan dengan penilaian GCS
13-15, cedera kepala sedang dengan GCS 9-12, dan cedera kepala berat dengan penilaian
GCS 3-8. Kondisi paling sering dialami oleh pasien adalah cedera kepala ringan sebanyak
80%. Kejadian cedera kepala sedang <20%, tetapi meninggalkan kecacatan sebanyak 50%,
40% dari kasus cedera kepala sedang ditemukan adanya kelainan pada CT-Scan kepala dan
sebanyak 8% memerlukan tindakan pembedahan. Sebanyak 40% pasien dengan cedera
2
kepala berat mengalami kematian pada 48 jam pertama.

1
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA

2.1. CEDERA KEPALA

2.1.1. Definisi
Cedera kepala adalah adanya dorongan fisik dari luar kepala yang menyebabkan
gangguan pada fungsi otak. Dorongan fisik dari luar kepala dapat berupa kekerasan,
1
terjatuh, tertabrak kendaraan bermotor, ledakan, dan sebagainya.

2.1.2. Epidemiologi
Pasien dengan cedera kepala menurut Center for Disease Control and Prevention
(CDC) terjadi pada 1,7 juta kejadian setiap tahunnya di Amerika. Sebanyak 80%
pasien pasien dengan cedera kepala mendapatkan terapi dan dapat dipulangkan,
275.000 pasien dirawat karena cedera kepala. Sekitar 75% dari total kejadian pada
cedera kepala adalah cedera kepala ringan. Sekitar 52.000 orang dengan cedera kepala
mengalami kematian tiap tahunnya. Penyebab tersering pada pasien cedera kepala
adalah jatuh, banyak terjadi pada anak usia dibawah 14 tahun sebanayk 50% dan
orang dewasa usia diatas 65 tahun sebanyak 61%. Kasus kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan cedera kepala terjadi sebanyak 17%. Kasus kekerasan sebanyak 10%
menyebabkan cedera kepala. Kasus cedera kepala yang berhubungan dengan
konsumsi alkohol terjadi pada 12% dirawat di rumah sakit dengan cedera kepala.
Kasus ledakan yang menyebabkan cedera kepala banyak terjadi pada orang-orang
3
militer. Cedera kepala lebih sering terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita.

2.1.3. Anatomi
Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yaitu kulit, jaringan ikat, aponeurosis atau galea
aponeurotica, jaringan longgar areolar, dan pericranium. Karena banyaknya pembuluh
darah yang memperdarahi daerah kulit kepala, laserasi pada daerah kulit kepala dapat
4
menyebabkan perdarahan hebat terutama pada bayi dan anak-anak.

2
5
Gambar 1. Pembuluh darah pada kulit kepala

Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari 2 bagian yaitu bagian tempurung (cranial vault) dan
bagian basal. Bagian tempurung dari tulang tengkorak adalah tipis terutama bagian
temporal. Bentuk dari basal tulang tengkorak iregular sehingga ketika terjadi adanya
aselerasi dan deselerasi maka dapat menyebabkan trauma pada otak. Bagian dari basal
tulang tengkorak dapat dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu anterior fossa tempat dari
lobus frontal, middle fossa untuk lobus temporal, dan posterior fossa untuk
4
cerebellum dan brainstem bagian bawah.

Lapisan Meninges
Lapisan meninges terdiri dari 3 lapisan yaitu dura mater, arachnoid mater, dan pia
mater. Dura mater merupakan lapisan meninges terluar yang menempel pada bagian
dalam dari tulang tengkorak. Diantara dura mater (epidural space) terdapat pembuluh
darah yaitu arteri meningea. Arteri meningea yang paling sering terkena trauma
adalah arteri meningea media yang berada pada bagian temporal fossa. Trauma pada
5
arteri meningea dapat menyebabkan epidural hematoma.

3
4
Gambar 2. Lapisan meninges

5
Gambar 3. Arteri meningea dan dura mater
Di bawah dura mater terdapat arachnoid mater, yang merukapan lapisan transparan
5
tipis, tidak melekat pada dura sehingga terdapat rongga subdural (subdural space).

4
5
Gambar 4. Arachnoid mater dan bridging vein
Lapisan ketiga dari meninges adalah pia mater yang melekat pada permukaan otak.
Cairan serebrospinal mengisi ruang antara arachnoid mater dan pia mater yang disebut
rongga subarachnoid (arachnoid space), sebagai bantalan dari otak dan medula
4
spinalis.

4
Gambar 5. Cairan serebrospinal

Otak
Otak terdiri dari 3 bagian besar yaitu cerebrum, batang otak, dan cerebellum.
Cerebrum terdiri dari 2 bagian yaitu hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh
5
falx cerebri. Lobus frontal untuk mengatur fungsi eksekutif, emosi, motorik, dan
motor speech. Lobus parietal untuk fungsi sensori dan orientasi spatial. Lobus
temporal untuk regulasi memori. Lobus occipital bertanggung jawab untuk
pengelihatan. Batang otak terdiri dari otak tengah (midbrain), pons dan medulla
oblongata. Midbrain dan otak bagian atas terdiri atas reticular activating system. Pusat
cardiorespiratory berada di medulla oblongata dan diteruskan hingga ke medulla
5
spinalis. Cerebellum berfungsi untuk koordinasi dan keseimbangan.

2.1.4. Fisiologi
Konsep fisiologi yang terjadi pada cedera kepala terdiri dari tekanan intrakranial,
doktrin Monro-Kellie dan aliran darah otak. Terjadinya peningkatan pada tekanan
intrakranial dapat mengurangi aliran darah ke otak dan menyebabkan iskemia.
Tekanan intrakranial yang normal adalah 10 – 15 mmHg. Tekanan pada intrakranial
lebih dari 20 mmHg menyebabkan defisit neurologis yang berujung pada prognosis
yang buruk. Doktrin Monro-Kellie mengatakan bahwa total volume pada intrakranial
haruslah konstan, karena kranium itu rapuh dan tidak dapat mengembang. Aliran
darah vena dan cairan cerebrospinal dapat dikeluarkan dari intrakranial sebagai
3,4
kompensasi dari adanya tekanan atau pendesakkan dalam intrakranial.

4
Gambar 6. Doktrin Monro-Kellie

6
Vaskularisasi untuk ke otak pada normalnya dapat vasokonstriksi dan vasodilatasi
bergantung pada perubahan mean arterial blood pressure (MAP). Nilai MAP 50
mmHg – 150 mmHg adalah nilai yang dipertahankan dengan cara autoregulasi agar
otak mendapatkan suplai darah. Pada keadaan cedera kepala, dapat mengganggu
autoregulasi dari MAP ini dan dapat menyebabkan aliran darah ke otak terganggu.
Jika MAP terlalu rendah, maka dapat menyebabkan iskemik dan infark jaringan otak.
Jika MAP terlalu tinggi, dapat pula terjadi edema serebri. Vasokonstriksi dan
vasodilatasi pada pembuluh darah di otak juga dipengaruhi oleh kadar oxigen (PaO2)
4
dan karbon dioksida (PaCO2) dalam darah.

2.1.5. Klasifikasi Cedera kepala


Klasifikasi cedera kepala dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu dari derajat
keparahan cedera kepala dan morfologi cedera kepala. Derajat keparahan cedera
kepala dapat dibedakan menjadi cedera kepala ringan dengan penilaian skor GCS 13-
15, cedera kepala sedang dengan penilaian skor GCS 9-12 dan cedera kepala berat
4
dengan penilaian skor GCS 3-8.

4
Gambar 7. Skor GCS (Glasgow Coma Scale)

Pada cedera kepala dapat dibagi lagi menjadi 2 klasifikasi yaitu kerusakan primer dan
kerusakan sekunder. Kerusakan primer disebabkan langsung oleh mekanisme trauma
itu sendiri, yang termasuk adalah kontusio, hematoma, laserasi, dan kerusakan dari
luka penetrasi. Kerusakan sekunder adalah hasil dari cascade pada perubahan
intraserebral. Kaskade sekunder pada cedera kepala meliputi pergeseran kalsium dan
ion, kerusakan mitokondria, produksi radikal bebas, dan enzim yang menyebabkan
7
kematian sel. Glutamat dilepaskan ke presinaptik dalam jumlah yang banyak. Adanya
aktivasi dari reseptor postsinaptik seperti N-metil-d-aspartat, α-amino-3-metil-4-
hidroksi-5-isoxazole asam propionat, dan lainnya. Aktivasi dari reseptor-reseptor
membuat sel penuh dengan kalsium dan mengganggu keseimbangan ion-ion penting
seperti kalium dan natrium. Pergeseran dari ion ini menyebabkan terganggunya fungsi
normal sel dan mekanisme protektif sel yang normal. Adanya pergeseran ion dan
kalsium menyebabkan kerusakan mitokondria, produksi radikal bebas, sel kehilangan
energi dan intergritas membran, kerusakan transport ion, dan sejumlah kerusakan
lainnya. Hasil akhir dari banyaknya sel yang rusak adalah kematian sel atau nekrosis.
Kerusakan selular mengaktifkan sejumlah mekanisme yang berujung pada produksi
sitokin dan enzim proinflamasi. Inflamasi yang tadinya merupakan proses natural
dalam tubuh menjadi patologis yang menyebabkan kerusakan pada jalur neuronal.
Kerusakan pada jalur neuronal menyebabkan matinya sel-sel neuron. Kerusakan
seluler juga menyebabkan edema sitotoksik (akibat hilangnya intergritas membran
dan pertukaran ion) dan edema ekstraselular. Akibat adanya edema maka terjadi
peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan
menyebabkan iskemia akibat kompresi dari pembuluh darah. Herniasi dari jaringan
2
otak dapat terjadi dan dapat berujung kepada kematian.

Klasifikasi berdasarkan morfologi dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu fraktur
tulang tengkorak dan lesi intrakranial. Fraktur tulang tengkorak dapat dibagi menjadi
fraktur tempurung dan fraktur basilar. Lesi intrakranial dapat dibagi menjadi dua yaitu
4
lesi fokal dan lesi difus.

4
Tabel 1. Klasifikasi cedera kepala

8
Derajat Ringan Skor GCS 13-15
keparahan
Sedang Skor GCS 9-12
Berat Skor GCS 3-8

Morfologi Fraktur tulang Tempurung Linear vs stellate


tengkorak
Depresi/non depresi
Terbuka/tertutup
Basilar Dengan/tanpa kebocoran CSF
Dengan atau tanpa kelumpuhan
nervus tujuh

9
Lesi Fokal Epidural
intrakranial
Subdural
Intercereberal
Difus Konkusio
Kontusio multipel
Hypoxia/trauma iskemik
Trauma axon
Trauma pada tempurung tulang tengkorak yang tersering adalah fraktur depresi pada
bagian temporal yang berhubungan dengan terjadinya cedera juga pada otak dan
pembuluh darah. Fraktur linear pada tempurung tulang tengkorak yang melintasi arteri
meningea media dapat menyebabkan terjadinya epidural hematoma. Fraktur terbuka
pada tulang tengkorak dapat meningkatkan resiko terjadinya kebocoran dari cairan
cerebrospinal dan infeksi karena terpapar oleh lingkungan luar. Fraktur pada basal
tulang tengkorak dapat diidentifikasi dengan gejala patonomonik yaitu adanya
raccoon’s eyes atau panda bear eyes yang terjadi akibat rembesan darah dari anterior
fossa ke jaringan periorbital, battle signs (ekimosis pada mastoid) dan adanya
kebocoran dari cairan cerebrospinal dari hidung (rhinorrhea), telinga (otorrhea),
disfungsi dari saraf kranialis VII dan VIII yang dapat terjadi langsung ataupun
4,5
beberapa hari kemudian.

Gambar 8. Tanda patonomonik dari fraktur basal tulang tengkorak (kiri) dan fraktur depresi
5
tulang tengkorak (kanan)

Lesi interkranial dapat berupa lesi fokal maupun difus. Lesi fokal dapat dibagi
menjadi tiga yaitu hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma
intercerebral. Hematoma epidural adalah perdarahan yang terjadi diantara dura mater
dan bagian dalam dari tulang tengkorak. Terjadi sekitar 2% dari kejadian cedera
kepala. Sering terjadi pada regio temporal dan parietal, dan sekitar 90% hematoma
epidural berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak. Pembuluh darah yang sering
terkena adalah arteri meningea media. Gejala klasik yang akan timbul pada pasien
dengan hematoma epidural adalah adanya lucid interval. Lucid interval adalah adanya
episode sadar diantara dua episode tidak sadar setelah terjadinya trauma. Pada
pemeriksaan CT Scan kepala akan didapatkan gambaran hiperdens, bentuk bikonveks
5
diantara jaringan otak dan tulang tengkorak.

4,5
Gambar 9. Hematoma epidural

Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara dura mater dan arachnoid
mater. Hematoma subdural lebih sering terjadi dibandingkan dengan hematoma
epidural, kejadiannya sekitar 15% dari pasien yang mengalami cedera kepala. Faktor
resiko dari hematoma subdural adalah orang tua. Pada orang usia lanjut, jaringan otak
mengalami penurunan volume sehingga menciptakan rongga subdural menjadi
bertambah. Dengan adanya pertambahan pada rongga subdural, maka bridging vein
yang melekat pada tulang tengkorak dan permukaan jaringan otak akan merenggang.
Ketika seseorang mengalami trauma, jaringan otak akan mengalami aselerasi dan
deselerasi yang mengakibatkan robeknya bridging vein. Pada gambaran CT Scan
kepala maka akan didapatkan gambaran hiperdens, bentuk konveks (cresent-shape)
4,5
yang berada antara tulang tengkorak dan jaringan otak.

10
3
Gambar 10. Hematoma subdural

Hematoma intercerebral adalah perdarahan yang terjadi diantara jaringan otak.


Perdarahan intercerebral sering berhubungan dengan kontusio atau memar pada
jaringan otak. Sebanyak 20-30% pasien dengan cedera kepala berat mengalami
kontusio. Kontusio sering terjadi pada lobus frontal dan temporal, meskipun dapat
terkena juga pada daerah otak yang lainnya. Lesi memar pada jaringan otak terdiri
dari perdarahan, jaringan infark dan nekrosis. Lesi coup biasa ditemukan di tempat
terjadinya perlukaan. Lesi countercoup berada pada daerah yang berlawanan dengan
tempat terjadinya perlukaan. Lesi konsutio dalam hitungan hari ataupun jam dapat
4,5
berubah menjadi hematoma intercerebral.

4
Gambar 11. Hematoma intercerebral

Lesi difus pada cedera kepala dapat dibagi menjadi empat yaitu konkusio, kontusio
multipel, hipoksia/trauma iskemik dan trauma axonal. Konkusio atau cedera kepala
ringan terjadi akibat benturan, atau perlukaan pada daerah kepala yang sifatnya tidak

11
mengancam jiwa. Gejala yang ditimbulkan dibagi menjadi 4 grup yaitu masalah
memori, masalah fisik, masalah emosional dan gangguan tidur yang dapat terjadi
dalam hitungan hari atau bahkan pada beberapa kasus tertentu dapat menetap dalam
4,5,6
hitungan bulan atau tahun.
6
Tabel 2. Kategori gejala pada cedera kepala ringan

Masalah memori Masalah fisik Masalah emosional Gangguan tidur

12
- Kesulitan - Nyeri kepala - Cemas - Lebih sedikit /
berpikir jernih banyak tidur
- Mual dan muntah - Merasa sedih
- Sulit konsentrasi dibandingkan
- Gangguan - Lebih emosional biasanya
- Sulit mengingat keseimbangan
- Mudah marah - Susah untuk
informasi baru
- Pusing tertidur
- Gangguan
pengelihatan
- Lemas
- Sensitif terhadap
suara atau cahaya

Trauma axon dapat terjadi akibat adanya kombinasi dari rotasional aselerasi dan
deselerasi ketika terjadi trauma sehingga terjadi robekan antara jalur axon dan kapiler.
Kejadian yang paling sering menyebabkan trauma axonal adalah kecelakaan lalu
lintas dengan kecepatan tinggi. Axon yang rentan untuk mengalami trauma berada di
cerebral white matter, corpus callosum, dan batang otak. Trauma axon merupakan
kesatuan yang kompleks dimana peregangan pada axon dapat menyebabkan
perubahan permeabilitas pada axon yang mengganggu transpor dari axon itu sendiri
dan metabolisme selular yang berujung dengan cepat atau lambat kepada kematian
3
sel.

2.1.6. Resusitasi
 Primary
survey
Airway
Memastikan jalur pernafasan tidak ada yang terhambat termasuk tindakan
untuk suction dan inspeksi benda asing pada saluran pernafasan. Fraktur pada
facial, mandibular, trakea ataupun laring dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi jalan nafas. Dilakukan manuver chin-lift atau jaw-thrust agar jalan
nafas dapat terbuka. Pada pasien dengan cedera kepala berat dimana GCS < 8
maka dapat dilakukan intubasi. Dapat diberikan neck collar untuk

13
mempertahankan posisi kepala agar tidak hiperekstensi dan mempertahankan
4
posisi agar jalan nafas terbuka.
Breathing
Dapat dilakukan pemeriksaan pada bagian toraks secara menyeluruh dan cepat
untuk mengetahui adanya gangguan dari ventilasi. Pada pasien dengan cedera
kepala harus dipastikan mendapatkan asupan oksigen yang cukup untuk
mencegah terjadinya kerusakan sekunder pada otak. Saturasi oksigen dalam
4
darah dipertahankan >98%.
Circulation
Kegagalan dalam sirkulasi pada pasien trauma dapat berasal dari berbagai
sumber perlukaan, antara lain kuranganya volume darah, cardiac output dan
perdarahan. Observasi awal yang dapat dilakukan adalah memeriksa
kesadaran dimana ketika volume darah tidak mencukupi hingga ke otak maka
dapat terjadi penurunan kesadaran. Warna kulit dapat menjadi indikator untuk
pasien dengan hipovolemik, pasien dengan kondisi pucat, dan ekstremitas
yang dingin. Nadi terutama bagian sentral (arteri carotis atau femoralis) harus
diperiksa untuk kualitas, rate dan regularitasnya. Sumber perdarahan dapat
berasal dari internal atau eksternal. Jika sumber perdarahan eksternal, maka
dapat dilakukan penekanan manual pada daerah yang terluka. Perdarahan
internal dapat terjadi pada daerah dada, abdomen, retroperitoneum, pelvis, dan
bagian tulang panjang. Pada pasien dengan cedera kepala, keadaan euvolemia
harus dipertankan dengan menggunakan produk darah, ataupun cairan
4
isotonik.
Disability
Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan singkat dan cepat. Dilakukan
pemeriksaan tingkat kesadaran pasien menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS), reflek cahaya, dan defisit neurologis fokal. Pemeriksaan doll’s eye
movement (oculocephalic), tes kalorik dengan air dingin (oculovestibular) dan
reflek kornea dapat dilakukan oleh dokter bedah saraf. Dolls’s eye tidak boleh
4
dilakukan sampai dapat dipastikan tidak ada cedera pada bagian cervical.
Exposure
Semua pakaian pasien dapat dibuka untuk mengetahui adanya perlukaan pada
4
daerah tubuh yang lain.
 Secondary survey
Pada secondary survey, dapat dilakukan pemeriksaan status generalisata secara
lebih mendetail dibandingkan pada primary survey. Pemeriksaan neurologis yang
dapat dilakukan pada secondary survey adalah pemeriksaan GCS, lateralisasi, dan
reaksi pupil. Setelah dilakukan pemeriksaan status generalisata dan neurologis
secara mendetail dan kondisi pasien sudah stabil, pemeriksaan CT-Scan pada
pasien dengan cedera kepala harus segera dilakukan dan dapat diulang 24 jam
berikutnya jika didapatkan kontusio atau hematoma pada hasil CT-Scan awal.
Penemuan bermakna pada CT-Scan dapat meliputi pembengkakan pada bagian
kulit kepala, hematoma subgaleal di daerah yang terkena trauma. Fraktur tulang
kepala dapat dilihat dengan lebih baik menggunakan bone window, tetapi dapat
juga terlihat pada soft-tissue window. Penemuan penting pada CT-Scan kepala pada
pasien dengan cedera kepala adalah perdarahan intrakranial, kontusio, pergeseran
midline (efek massa) dan hilangnya sisterna. Pergeseran midline 5mm atau lebih
biasanya mengindikasikan perlunya operasi untuk evakuasi perdarahan yang
4
menyebabkan pergeseran.

2.1.7. Algoritma Cedera Kepala


Cedera Kepala Ringan
Pada pasien dengan cedera kepala ringan, gejala yang dapat timbul adalah
disorientasi, amnesia, hilang kesadaran sesaat pada pasien yang sadar penuh. Dapat
pula ditanyakan mengenai kejadian pada saat trauma untuk mengetahui adanya
amnesia anterograde atau retrograde. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya
kelainan neurologis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah CT-Scan
untuk melihat adanya kelainan pada otak seperti perdarahan, dan bone window untuk
melihat adanya kelainan pada tulang. Pasien dengan cedera kepala ringan yang harus
dilakukan CT-Scan adalah pasien dengan GCS kurang dari 15 dalam 2 jam setelah
kejadian trauma, dicurigai adanya fraktur terbuka atau depresi, adanya tanda-tanda
dari fraktur basal tulang tengkorak, adanya episode muntah lebih dari 2x, dan pasien
dengan usia lebih dati 65 tahun. Pasien yang dipertimbangkan untuk melakukan CT-
Scan pada cedera kepala ringan adalah pasien yang hilang kesadaran lebih dari 5
menit, hilang ingatan lebih dari 30 menit sebelum kejadian, pasien yang trauma
dengan mekanisme trauma yang hebat (tertabrak oleh kendaraan bermotor, terlempar
dari kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian 3 kaki atau 1 meter), adanya nyeri
4
kepala yang hebat, dan adanya defisit neurologis fokal.

4
Tabel 3. Indikasi CT-Scan pasien dengan cedera kepala ringan

Pasien cedera kepala ringan dapat dirawat inap dan dirujuk ke bedah saraf jika ada
kelainan pada hasil CT-Scan kepala, adanya gejala simptomatis yang menetap, dan
adanya kelainan neurologis yang menetap. Pasien yang sadar dan asimptomatis dapat
diobservasi, jika kondisi stabil maka pasien dapat dipulangkan dengan syarat dirumah
harus diobservasi selama 24 jam pertama, jika ada tanda-tanda seperti penurunan
kesadaran, nyeri kepala yang hebat, maka pasien harus segera kembali ke rumah
4
sakit.

4
Gambar 12. Algoritma tatalaksana cedera kepala ringan

Cedera Kepala Sedang


Pasien dengan cedera kepala sedang masih dapat mengikuti instruksi sederhana
meskipun pasien dalam keadaan bingung, terdapat gejala defisit neurologis fokal.
CT-Scan harus segera dilakukan pada pasien dengan cedera kepala sedang dan harus
segera menghubungi dokter bedah saraf. Pasien seharusnya dirawat di ICU untuk
observasi ketat dalam 12 hingga 24 jam pertama. Dapat dipertimbangkan untuk CT-
Scan ulangan jika ada kelainan pada hasil CT-Scan yang pertama dan adanya
4
penurunan status neurologis.
4
Gambar 13. Algoritma tatalaksana cedera kepala sedang

Cedera Kepala Berat


Pasien dengan cedera kepala berat sudah tidak dapat mengikuti perintah. Harus
segera dilakukan CT-Scan untuk mengetahui adanya kelainan pada otak maupun
4
tulang dan jaringan di sekitarnya.

4
Gambar 14. Algoritma tatalaksana cedera kepala berat
2.1.8. Tatalaksana Medikamentosa
Tujuan utama dari tatalaksana trauma pada kepala adalah untuk mencegah adanya
kerusakan sekunder pada otak yang sudah mengalami trauma. Pengobatan
medikamnetosa yang dapat diberikan pada pasien dengan cedera kepala adalah
pemberian cairan intravena, keadaan hiperventilasi sementara, manitol, saline
hipertonik, barbiturate, dan antikonvulsan. Cairan intravena dan produk darah harus
segera diberikan ketika melakukan resusitasi pada pasien dengan cedera kepala agar
kondisi pasien tetap dipertahankan pada kondisi normovolemia. Harus juga
diperhatikan agar tidak kelebihan cairan yang dapat menyebabkan pada edema
serebri. Cairan hipotonik tidak dianjurkan untuk digunakan. Cairan yang mengandung
glukosa juga tidak dianjurkan karena dapat berujung pada hiperglikemia. Cairan yang
dianjurkan adalah ringer laktat atau normal saline. Kadar sodium juga harus di
4
monitor agar tidak menjadi hiponatremia yang dapat menyebabkan edema serebri.
Kondisi normocarbia disarankan pada kebanyakan pasien. kondisi hiperventilasi
bekerja dengan cara menurunkan kadar PaCO2 yang menyebabkan vasokonstriksi
dari pembuluh darah. Kondisi hiperventilasi yang aggresif dan berkepanjangan juga
dapat menyebabkan iskemik pada jaringan otak. Kadar PaCO2 pada keadaan
hiperventilasi dapat mencapai hingga dibawah 30 mmHg. Keadaan hiperkarbia
dimana PaCO2 >45 mmHg maka akan terjadi vasodilatasi dan meningkatkan tekanan
intrakranial dimana itu harus dicegah. Secara keseluruhan kondisi PaCO2 dapat
dipertahankan pada 35 mmHg yaitu nilai terbawah dari kadar normal. Keadaan
hiperventilasi dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan kondisi hematoma yang
4
bertambah luas pada keadaan yang membutuhkan tindakan emergensi kraniotomi.
Manitol digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial. Kadar manitol yang biasa
digunakan adalah 20% dari cairan (20g manitol per 100ml cairan). Tidak boleh
digunakan pada pasien dengan hipotensi karena menyebabkan eksaserbasi hipotensi
dan iskemik serebri. Kerusakan neurologis yang akut seperti terjadinya dilatasi pupil,
hemiparesis, atau hilang kesadaran merupakan indikasi untuk pemberian manitol
dimana kondisi pasien adalah euvolemia. Pada kondisi seperti ini dapat diberikan
manitol blus (1g/kg) dapat diberikan dalam waktu cepat (lebih dari 5 menit) dan
dilakukan pemeriksaan CT-Scan atau langsung dilakukan tindakan operatif jika lesi
4
intrakranial sudah diidentifikasi.
Salin hipertonik digunakan juga untuk mengurangi tekanan intrakranial yang
meningkat. Konsentrasi yang digunakan adalah 3%-23,4%, yang lebih memungkinkan
menjadi pilihan terbaik pada pasien dengan hipotensi. Barbiturate dapat digunakan
untuk mengurangi tekanan intrakranial yang sulit untuk diturunkan. Tidak boleh
digunakan pada keadaan hipotensi atatu hipovolemia. Efek samping dari barbiturat
sendiri adalah hipotensi. Barbiturate tidak disarankan untuk resusitasi pada keadaan
4
akut.
Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
cedera kepala tertutup dan 15% dari pasien dengan cedera kepala berat. Tiga faktor
utama yang terkait tingginya insiden epilepsi adalah kejang terjadi dalam minggu
pertama, hematoma intrakranial, dan fraktur depresi tulang tengkorak. Kejang akut
dapat dikontrol menggunakan antikonvulsan, akan tetapi pemberian antikonvulsan
terlalu dini tidak akan mengubah kejang traumatis jangka panjang. Antikonvulsan
juga dapat menghambat pemulihan otak, sehingga digunakan ketika benar-benar
membutuhkan. Antikonvulsan yang digunakan saat ini adalah fenitoin dalam kondisi
akut. Pada orang dewasa dosis awal yang diberikan adalah 1gram fenitoin diberikan
secarai intravena dan tidak lebih cepat dari 50mg/menit. Dosis pemeliharaan adalah
100mg/8jam, dengan dosis titrasi hingga mencapai kadar untuk terapi. Diazepam
ataupun lorazepam dapat digunakan juga sebagai tambahan hingga kejang berhenti.
Jika kejang berlanjut terus menerus dapat dilakukan anestesi secara umum. Kejang
yang berkepanjangan (30 hingga 60 menit) dapat menyebabkan kerusakan sekunder
4
pada otak.

2.1.9. Tatalaksana Pembedahan


Tatalaksana pembedahan dapat dilakukan jika terdapat perlukaan pada kulit kepala,
fraktur depresi kepala, masa intrakranial, dan luka penetrasi pada kepala. Pada kasus
dengan perlukaan pada kulit kepala dapat dilakukan pembersihan luka dan inspeksi
dengan teliti sebelum dilakukan penjahitan kulit kepala.
Kriteria tindakan pembedahan fraktur depresi tengkorak adalah sebagai berikut:
4

Depresi lebih besar dari 8-10mm (atau lebih besar dari ketebalan tengkorak)
Gangguan fungsi otak yang terkait dengan tekanan atau cedera otak yang
mendasari
Kebocoran cairan serebrospinal
Fraktur depresi yang terbuka atau fraktur yang terekspos oleh luka di kulit kepala

9-10
Gambar 15. Indikasi pembedahan hematoma intrakranial

Epidural hematoma >30 mL volume dengan pergeseran > 5 mm dari garis tengah di
ruang supratentorial harus dievakuasi secepatnya. Sementara untuk hematoma
subdural, evakuasi hematoma dianjurkan apabila ketebalan mencapai ≥ 10 mm
dengan pergeseran ≥ 5 mm dari garis tengah. Evakuasi bedah hematoma
intraparenkim traumatis diindikasikan pada volume > 20 mL jika berada di lobus
frontal atau temporal atau > 50 mL di lokasi lain. Ringkasan indikasi untuk operasi
9-10
pengangkatan hematoma intrakranial ditunjukkan pada Gambar 15.
Pada pasien cedera kepala dengan adanya massa intrakranial maka harus dilakukan
tindakan operatif oleh dokter bedah saraf. Jika berada di daerah yang tidak ada dokter
bedah saraf maka harus langsung segera dirujuk.
Pada pasien dengan luka penetrasi pada kepala, CT-Scan sangat direkomendasikan.
Foto polos kepala dapat dilakukan jika tidak ada CT-Scan untuk melihat adanya
peluru dalam kepala atau benda asing yang besar. Pasien dengan luka penetrasi yang
melibatkan orbitfacial atau region pterional sebaiknya dilakukan angiografi untuk
mencari adanya aneurisma traumatic atau arteriovenous fistula. Jika didapatkan
penemuan pada CT-Scan berupa kontusio yang besar, hematoma atau perdarahan
intraventrikular maka tingkat mortalitas meningkat terutama jika melibatkan kedua
hemisfer. Antibiotik broad-spectrum sebagai profilaksis dapat diberikan pada pasien
dengan trauma penetrasi pada kepala. Benda asing yang penetrasi ke dalam jaringan
otak (contoh : panah, pisau, dan lain-lain) harus tetap didiamkan ditempatnya sampai
trauma vaskular dan tatalaksana bedah saraf sudah dievaluasi dan dilakukan.
Pencabutan benda asing yang penetrasi pada jaringan otak dapat membuat kejadian
4
trauma vaskular dan perdarahan intrakranial yang fatal.

2.2. HERNIASI OTAK

2.2.1. Definisi
Herniasi otak adalah kondisi medis yang sangat berbahaya di mana jaringan otak
menjadi berpindah dalam beberapa cara karena peningkatan tekanan intrakranial
(tekanan di dalam tengkorak). Kenaikan tekanan menyebabkan otak diperluas, tetapi
karena memiliki tempat untuk masuk ke dalam tengkorak, maka otak menjadi rusak
parah. Dalam beberapa kasus, herniasi otak dapat diobati, tetapi dalam kasus lain itu
akan menyebabkan koma dan kematian pada akhirnya.
Herniasi Otak merupakan pergeseran dari otak normal melalui atau antar wilayah ke
tempat lain karena efek massa.Biasanya ini komplikasi dari efek massa baik dari
11
tumor, trauma, atau infeksi.

2.2.2. Etiologi
Herniasi dapat disebabkan oleh sejumlah faktor yang menyebabkan efek massa dan
meningkatkan tekanan intrakranial (TIK). Termasuk diantaranya cedera otak
traumatis, stroke, atau tumor otak . Herniasi sering kali berakibat fatal karena terjadi
tekanan yang ekstrim pada bagian-bagian otak yang dapat menyebabkan iskemia
hingga nekrosis. Karena itu, langkah-langkah tepat yang diambil dalam mencegah
kondisi ini adalah dengan mengurangi tekanan intrakranial.
11
Herniasi otak dapat disebabkan oleh:
• Massa tumor primer/metastasis
• Abses
• Pendarahan
• Hidrocephalus
• Stroke yang menyebabkan pembengkakan otak
Sebuah herniasi otak dapat terjadi:
• Antara daerah-daerah di dalam tengkorak, seperti yang dipisahkan oleh sebuah
membran kaku yang disebut tentorium
• Melalui pembukaan alami di dasar tengkorak yang disebut foramen magnum
• Melalui bukaan dibuat selama operasi otak.

2.2.3. Klasifikasi
Terdapat beberapa tipe herniasi otak diantaranya herniasi subfalcine, herniasi sentral,
herniasi uncal, dan herniasi serebelotonsilar.

Gambar 16. Tipe herniasi otak

Herniasi Subfalcine
Herniasi subfalcine terjadi pada pasien dengan massa yang terjadi pada bagian lobus

20
frontal yang menyebabkan girus cingulate herniasi melewati falx serebri.7 Herniasi
subfalcine merupakan herniasi yang paling sering terjadi diantara semua tipe herniasi
otak. Gejala yang ditimbulkan saat terjadi herniasi subfalcine adalah penurunan
kesadaran, kelemahan ekstrimitas bawah kontralateral. Pada gambaran radiologi,
karakterisitik dari herniasi subfalcine adalah adanya pergeseran dari septum
pellucidum, tanduk anterior dari ventrikel lateral terlihat tipis dan adanya kompresi
8
arteri serebral anterior.

21
8
Gambar 17. Herniasi subfalcine

Herniasi Uncal
Herniasi uncal terjadi ketika bagian dari uncus berpindah melalui superstelar sisterna.
Herniasi pada bagian uncal menyebabkan adanya penekanan pada otak tengah. Gejala
yang dapat timbul adalah dilatasi pupil karena adanya penekanan pada nervus III,
hemiparesis kontralateral karena terkena di traktus kortikospinal yang menyilang di
bawah otak tengah, penurunan kesadaran karena adanya distorsi dari jalur ascending
arousal system dimana mereka melalui otak tengah. Adanya dilatasi pupil tanpa
2,7,8
disertai adanya penurunan kesadaran bukan berasal dari herniasi uncal.

8
Gambar 18. Herniasi uncal
Herniasi Sentral
Herniasi sentral (juga disebut "herniasi transtentorial") terjadi ketika diencephalon
(thalamus dan hipotalamus) dan bagian medial dari lobus temporalis dipaksa untuk
melewati lekukan di tentorium. Yang sering menjadi penyebab utama terjadinya
herniasi sentral adalah edema serebral yang bersifat difus yang biasa terlihat pada
pasien dengan cedera kepala berat. Gejala yang prominen adalah pupil pinpoint
2,7,8
bilateral, Babinski’s sign bilateral, peningkatan tonus otot.
8
Gambar 19. Herniasi sentral

Herniasi Serebelotonsilar
Herniasi serebelotonsilar terjadi ketika tonsil serebelar turun ke bawah melalui
foramen magnum yang menyebabkan terjadinya kompresi dari medulla oblongata dan
spinal cord bagian servikal. Herniasi sereberotonsilar dapat menyebabkan disfungsi
7,8
dari jantung dan fungsi pernafasan.

8
Gambar 20. Herniasi serebelotonsilar

2.2.4. Penatalaksanaan
Pilihan tatalaksana herniasi sangat bervariasi. Sebagai aturan umum, langkah pertama
adalah mengurangi tekanan intrakranial untuk mencegah kerusakan lebih lanjut ke
otak. Tergantung pada apa yang menyebabkan tekanan, ini mungkin dapat diatasi
dengan obat untuk menguras kelebihan cairan atau dengan tindakan bedah. Jika
tekanan intrakranial dapat distabilkan, langkah berikutnya adalah menilai tingkat
kerusakan, dan mempertimbangkan pilihan pengobatan. 7,8
Herniasi otak adalah darurat medis.Tujuan pengobatan adalah untuk menyelamatkan
nyawa pasien. Untuk membantu membalikkan atau mencegah herniasi otak, tim
medis akan memperlakukan meningkat pembengkakan dan tekanan di dalam otak.
Tatalaksana yang mungkin diperlukan antara lain: 7,8
• Pemasangan drain ke otak untuk membantu mengeluarkan cairan
• Kortikosteroid, seperti deksametason, terutama jika ada tumor otak
• Pengobatan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh seperti diuretik manitol atau
lainnya, yang dapat mengurangi tekanan di dalam tengkorak
• Intubasi endotrakeal dan peningkatan laju pernapasan (hiperventilasi) untuk
mengurangi tingkat karbon dioksida (CO2) dalam darah
• Menghilangkan bekuan darah jika ada pendarahan yang menyebabkan herniasi.
BAB III LAPORAN

KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. M
No. RM : 0026-26-95
Usia : 51 tahun
TTL : Tulungagung, 11/10/1965
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status pernikahan : Menikah
Alamat : Dsn. Jatisari RT 04/01
No. HP : 081906300141
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa

3.2. Anamnesis
Diambil secara : Autoanamnesis
Tanggal : 25 Maret 2017
Jam : 14.40 WIB

Keluhan Utama

Pasien tidak sadarkan diri setelah kecelakaan lalu lintas 40 menit SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien tidak sadarkan diri setelah kecelakaan lalu lintas 40 menit SMRS. Pasien
diantar dengan mobil polisi setelah terjadi kecelakaan lalu lintas tabrak motor dengan
motor, kurang lebih jam 14.00 WIB berlokasi di depan Kodim Cilegon. Menurut
kesaksian, sesaat setelah kejadian, pasien segera tidak sadarkan diri. Tidak ada kejang
atau muntah sepanjang perjalanan dari lokasi kecelakaan ke RS.
Riwayat Penyakit Dahulu

Menurut pengakuan keluarga, pasien belum pernah mengalami kecelakaan atau


benturan kepala sebelumnya. Riwayat diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung,
penyakit ginjal maupun perdarahan yang sukar berhenti semua disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Menurut pengakuan keluarga, tidak ada anggota keluarga dari sisi pasien yang
memiliki penyakit keturunan.

Riwayat Alergi

Menurut pengakuan keluarga, pasien tidak memiliki alergi terhadap obat-obatan dan
makanan tertentu.

3.3. Pemeriksaan Fisik


Primary Survey
Airway : Clear
Breathing : 28 x/menit
Circulation : Nadi 160 x/menit, TD 130/80 mmHg, SpO2 95%
Disability : E1M3V1 (GCS=5)

Exposure : buka pakaian & cegah hipotermia

Secondary Survey
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran/GCS : Koma / E1M3V1 (GCS=5)
Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Denyut Nadi : 160 x/menit, reguler


Laju Pernafasan : 28 x/menit
o
Suhu Aksilla : 36,7 C
Saturasi O2 : 95%
Status Generalisata
Kepala & leher : Pupil 3mm/3mm, RCL reaktif lambat + /+ ()

THT : Otorrhea -/+ (auricula sinistra), rhinorrhea -/-


Thoraks : Paru : ves +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung : S1 S2, reguler, murmur (-), gallop (-)


Abdomen : Datar, supel, BU (+) N, NT (-)

Ektremitas : Akral hangat

Status Lokalis
Regio temporo-parietal sinistra
Look : tampak darah kering dan segar, tidak ditemukan luka terbuka
Feel : pemeriksaan krepitasi tidak dilakukan
Move : tidak dilakukan

Status Neurologis
Rangsang Menigeal : Kaku kuduk (-) Brudzinksy I-II (-), Lasegue (-) Kernig (-)
Nervus Kranialis : II-III : RCL +/+ RCTL +/+ lambat

IX : Deviasi uvula (-)


Reflek Patologis : tidak dilakukan

(diharapkan positif)
Reflek Fisiologis : tidak dilakukan

(diharapkan meningkat pada sisi tubuh kanan)


Sensorik : tidak dapat dinilai

Motorik : tidak dilakukan


(diharapkan ada lateralisasi ke kiri)
Koordinasi : tidak dapat dinilai

Fungsi Luhur : tidak dapat dinilai


3.4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (25-03-2017)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL SATUAN

1. Hemoglobin 14,3 13,0 – 16,0 g/dl


2. Hematokrit 44,4 40,0 – 48,0 %
3
3. Leukosit 9,93 5,0 – 10,00 10 /µ L
3
4. Platelet 210 150,00 – 440,00 10 /µ L

1. Kreatinin 0,9 0,5 – 1,5 mg/dl


2. Ureum 27 15 – 45 mg/dl
3. Natrium 141 135 – 155 mmol/L
4. Kalium 3,2 3,6 – 5,0 mmol/L
5. ALT (SGOT) 24 0 – 41 U/L
6. AST (SGPT) 30 0 – 38 U/L

1. TCO2 27 23 – 27 mmol/L
2. pH 7,34 7,35 – 7,45 -
3. PCO2 50 35 – 45 mmHg
4. PO2 405 80 – 105 mmHg
5. HCO3 24 22 – 26 mmol/L
6. BE 0 (-2) – (+3) mmol/L
7. Saturasi O2 100 95 – 98 %

CT Scan Kepala (25-03-2017)


(Hasil CT Scan kepala di lampiran)

Sulsi menyempit, ventrikel lateral kiri terdesak


Lesi hiperden intraparenkim & edema perifokal temporal kiri, ± 30 x 25 x 21 mm
Lesi hiperden salt-pepper kortikal temporo-parietal kanan
Hiperdensitas falks serebri
Struktur garis tengah tidak bergeser
Arteri basilar tidak melebar, tidak ditemukan tanda arteri serebri media
Tidak ditemukan lesi pada orbita, sela, suprasella, serebelum, pons, CPA
Perdarahan sinus paranasal, kavum nasi, nasofaring
Pneumatisasi sel udara mastoid bilateral baik, perdarahan mastoid kiri, telinga tangah
kiri, MAE, MAI kiri
Fraktur kominutif depresi os temporo-parietal kiri, dinding kanalis akustikus eksterna,
fosa mandibula kiri, dinding sinus paranasal, os nasal, os sfenoid kiri, os zigoma kiri,
subluksasi sendir temporo-mandibular kiri.

Kesan : - Perdarahan intraserebri, edema serebri temporal kiri

- Perdarahan intraserebri kortikal temporo-parietal kanan

- Perdarahan subdural temporo-parietal kanan

- Hematom falks serebri

- Perdarahan mastoid kiri, telinga tengah kiri, MAE, MAI kiri

- Perdarahan sinus paranasal, kavum nasi

- Fraktur kominutif depresi os temporo-parietal kiri, dinding kanalis


akustikus eksterna, fosa mandibula kiri, dinding sinus paranasal, os
nasal, os sfenoid kirim os zigoma kiri. Subluksasi sendi temporo-
mandibular kiri.

Rontgen Thorax AP (25-03-2017)

28
Trakea di tengah, terpasang ETT dengan ujung distal berjarak 30 mm di atas karina
Jantung : kesan tidak membesar, aorta baik
Paru : hilus tidak menebal, tidak ditemukan infiltrat
Diafragma tidak mendatar, sinus kostofrenik baik, fisura minor tervisualisasi
Tulang-tulang kosta, klavikula, skapula intak.

Kesan : - Morfologi jantung paru dalam batas normal

- Ujung distal ETT berjarak 30 mm di atas karina

3.5. Resume
Laki-laki, 51 tahun, diantar dengan mobil polisi, datang dalam keadaan tidak sadar.
Pasien merupakan korban kecelakaan lalu lintas tabrak motor dengan motor,
kejadian sekitar 40 menit SMRS di depan Kodim Cilegon. Setelah kejadian, pasien
segera tidak sadarkan diri. Selama perjalanan dari lokasi ke RS tidak ada kejang atau
muntah.

Primary survey di UGD pada pasien didapatkan airway: clear, breathing: 28 x/menit,
circulation: nadi 160 x/menit, tekanan darah 130/80 mmHg, saturasi 95%, disability:
E1M3V1 (GCS 5). Pada secondary survey, ditemukan pupil isokor 3mm/3mm reaktif
lambat +/+ menurun, otorrhea auricula sinistra, tidak ada luka terbuka pada regio
temporo-parietal sinistra.

Hasil pemeriksaan penunjang laboratorium menunjukkan adanya asidosis respiratorik


ringan belum terkompensasi. Temuan CT Scan kepalayang bermakna menunjukkan
adanya edema serebri, perdarahan intraserebri temporal kiri dengan ukuran ± 30 x 25

29
× . × . ,
x 21 mm (estimasi volume = = = 7,8 mL), perdarahan subdural

temporo-parietal kanan dan fraktur kominutif depresi os temporo-parietal sinistra.

3.6. Diagnosis Kerja


Cedera kepala berat
ICH temporo-parietal sinistra
SDH temporo-parietal kanan
Fraktur kominutif depresi os temporo-parietal sinistra

30
3.7. Penatalaksanaan
Non-Farmakologis (UGD)

Intubasi ETT + Ambu bag


Pasang monitor
Head up 30°
Pasang DC

Farmakologis (UGD)

IVFD RL 20 tpm - 15.00


Stesolid 5 mg (IV) - 15.00
Citicholine 500 mg (IV) - 15.25

Instruksi dr. Anton Sirait, Sp.BS

Ikaneuron 1 x 1 amp (IV drip 16 tpm)


Mannitol 4 x 200 cc (IV)
Merosan 3x1g (IV)
Asam traneksamat 3 x 500 mg (IV)
Vitamin K 3 x 1 amp (IV)
Neurolin 2x1g (IV)
Ondansetron 3 x 4 mg (IV)
Ketopain 3 x 1 amp (IV)
Sucralfat syrup 3 x 2 cth (PO)

Instruksi dr. Elmore, Sp.An

Masuk ICU
Pasang ventilator mode ASV
Pasang OGT

3.8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam

30
3.9. Perkembangan Pasien dan Tatalaksana (ICU)

Tanggal/Jam Perkembangan Pasien

Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa kondisi pasien


membutuhkan ventilator dan akan dipasang ventilator sesuai
instruksi dr. Elmore, Sp.An.
25 22.45
Dilakukan pemasangan ventilator mode ASV, minute volume 100,
April
2017 FiO2 40%, PEEP +5
TD: 154/108 mmHg, HR: 160 x/m, RR: 25x/m, S: 37 °C

23.30 TD: 107/80 mmHg, HR: 94 x/m, RR: 25x/m, SpO2: 100%

S: -
O: KU / Kes: TSB / E1M3VT (GCS=4T)
TD: 169/114 mmHg, HR: 160 x/m, RR: 29x/m, SpO2: 100%
A: Cedera kepala berat + ICH temporo-parietal sinistra + SDH
temporo-parietal kanan +Fraktur kominutif depresi os temporo-
parietal sinistra
P: Advis dr. Anton, Sp.BS via telepon:
08.15
 Pethidin 10 mg drip/12 jam, dalam NaCl dgn syringe pump
Advis dr. Elmore, Sp.An via telepon:
 Spul OGT  masih mengalir cairan kecoklatan  puasakan.
Bila sudah jernih, beri Ensure 6 x 100cc
 Pranza 2 x 40 mg (IV)
Terapi lainnya dilanjutkan

26 TD: 157/102 mmHg, HR: 160 x/m, RR: 27x/m, S: 39.2 °C


April 19.40
Advis dr jaga: Extra Sanmol drip 1 g
2017
SBP
TEKANAN DARAH
mmHg (26 April 2017) DBP
200
180
160
140
120
100
80
60
40

Jam
0
00:00…
01:00…
02:00…
03:00…
04:00…
05:00…
06:00…
07:00…
08:00…
09:00…
10:00…

12:00…
13:00…
14:00…
15:00…
16:00…
17:00…
18:00…
19:00…
20:00…
21:00…
22:00…
23:00…
11:00…

31
x/menit
HEART RATE
(26 April 2017)
250
200
150
100
50 Jam
0
00:00…
01:00…
02:00…
03:00…
04:00…
05:00…
06:00…
07:00…
08:00…
09:00…
10:00…

12:00…
13:00…
14:00…
15:00…
16:00…
17:00…
18:00…
19:00…
20:00…
21:00…
22:00…
23:00…
11:00…
x/menit
SUHU
(26 April 2017)
39,5
39
38,5
38
37,5
37
36,5
Jam
35,5
00:00…
01:00…
02:00…
03:00…
04:00…
05:00…
06:00…
07:00…
08:00…
09:00…
10:00…

12:00…
13:00…
14:00…
15:00…
16:00…
17:00…
18:00…
19:00…
20:00…
21:00…
22:00…
23:00…
11:00…

Visite dr. Muhdiar, Sp.BS:


S: -
O: KU / Kes: TSB / E1M3VT (GCS=4T)
16.00 TD: 169/114 mmHg, HR: 160 x/m, RR: 27x/m, S: 39.5 °C
A: stqa
P:  Tambah PCT drip 4 x 1 g (IV)
 Terapi lainnya dilanjutkan
27
April Visite dr. Elmore, Sp.An:
2017 S: -
O: KU / Kes: TSB / E2M3VT (GCS=5T)
TD: 157/94 mmHg, HR: 152 x/m, RR: 26x/m, S: 39.2 °C
21.50 Abdomen distended (-)
A: Kontusio Serebri + ICH +SDH ec Cedera kepala berat
P:  Diet cair  6 x 200 kkal
 IVFD RL:NaCl = 1:1  1000 cc/hari
 Terapi lainnya dilanjutkan

32
TEKANAN DARAH SBP
mmHg (27 April 2017)
DBP
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
Jam
0
00:00…
01:00…
02:00…
03:00…
04:00…
05:00…
06:00…
07:00…
08:00…
09:00…
10:00…

12:00…
13:00…
14:00…
15:00…
16:00…
17:00…
18:00…
19:00…
20:00…
21:00…
22:00…
23:00…
11:00…
x/menit
HEART RATE
(27 April 2017)
200

150

100

Jam
0
00:00…
01:00…
02:00…
03:00…
04:00…
05:00…
06:00…
07:00…
08:00…
09:00…
10:00…

12:00…
13:00…
14:00…
15:00…
16:00…
17:00…
18:00…
19:00…
20:00…
21:00…
22:00…
23:00…
11:00…

SUHU
ºC (27 April 2017)
40
39,5
39
38,5

Jam
37,5
00:00…
01:00…
02:00…
03:00…
04:00…
05:00…
06:00…
07:00…
08:00…
09:00…
10:00…

12:00…
13:00…
14:00…
15:00…
16:00…
17:00…
18:00…
19:00…
20:00…
21:00…
22:00…
23:00…
11:00…

Visite dr. Anton, Sp.BS:


S: -
28 O: KU / Kes: TSB / E1M3VT (GCS=4T). Pupil 2mm/2mm, RC - / -
April 09.00 TD: 160/114 mmHg, HR: 139 x/m, RR: 26x/m, S: 40,3 °C
2017 A: Cedera kepala berat + ICH temporo-parietal sinistra + SDH
temporo-parietal kanan +Fraktur kominutif depresi os temporo-
parietal sinistra

33
36
37
38
39
40
41
0
100
150
200
0
40
60
80
100
120
140
160
180
200
10.30

ºC
00:00… 00:00… 00:00…

mmHg

x/menit
S: -

01:00… 01:00… 01:00…


02:00… 02:00… 02:00…
A: stqa

03:00… 03:00… 03:00…


04:00… 04:00… 04:00…
05:00… 05:00… 05:00…
06:00… 06:00… 06:00…
P: Terapi dilanjutkan

P: Terapi dilanjutkan

07:00… 07:00… 07:00…


08:00… 08:00… 08:00…
Visite dr. Elmore, Sp.An:

09:00… 09:00… 09:00…


10:00… 10:00… 10:00…
11:00… 11:00… 11:00…

SUHU
12:00… 12:00…

(28 April 2017)


12:00…

(28 April 2017)


(28 April 2017)

13:00… 13:00… 13:00…

HEART RATE
O: KU / Kes: TSB / E1M3VT (GCS=4T)

14:00… 14:00… 14:00…


TEKANAN DARAH

15:00… 15:00… 15:00…


16:00… 16:00… 16:00…
17:00… 17:00… 17:00…
18:00… 18:00… 18:00…
19:00… 19:00… 19:00…
20:00… 20:00… 20:00…
TD: 145/83 mmHg, HR: 141 x/m, RR: 27x/m, S: 40,4 °C

21:00… 21:00… 21:00…


22:00… 22:00… 22:00…

Jam
Jam
23:00… 23:00…
Jam

23:00…
SBP
DBP

34
Visite dr. Elmore, Sp.An:
S: -
O: KU / Kes: TSB / E1M3VT (GCS=4T)
TD: 110/83 mmHg, HR:141x/m, RR:27x/m, S:42°C, SpO2: 97%
Abdomen distended (-), Urine 1850 cc/hari (0,6 cc/kg/jam)
09.15
A: Cedera kepala berat + ICH + SDH + Kontusio serebri
P:  Stop Pethidin
 Stop Ketopain
 Stop Ondansetron
 Terapi lainnya dilanjutkan

TD: 78/37 mmHg, HR: 144 x/m, RR: 25x/m, S: 42.2°C, SpO2: 75%
12.00 Informed consent ke keluarga mengenai kondisi pasien yang semakin
menurun. Keluarga menyetujui DNR.

13.00 TD: 50/20 mmHg, HR: 80 x/m, RR: 26x/m, S: 42,3°C, SpO2: 70%

EKG asistol, nadi karotis tak teraba


13.40 Pupil 4mm/4mm, reflek cahaya -/-
Pasien dinyatakan meninggal

TEKANAN DARAH SBP


29 DBP
180
April
2017 160
140
120
100
80
60
40

Jam
0
00:00…
01:00…
02:00…
03:00…
04:00…
05:00…
06:00…
07:00…
08:00…
09:00…
10:00…

12:00…
13:00…
14:00…
15:00…
16:00…
17:00…
18:00…
19:00…
20:00…
21:00…
22:00…
23:00…
11:00…

x/menit
HEART RATE
(29 April 2017)
200

150

100

Jam
0
00:00…
01:00…
02:00…
03:00…
04:00…
05:00…
06:00…
07:00…
08:00…
09:00…
10:00…

12:00…
13:00…
14:00…
15:00…
16:00…
17:00…
18:00…
19:00…
20:00…
21:00…
22:00…
23:00…
11:00…

35
SUHU
ºC (29 April 2017)
42,5
42
41,5
41
40,5

Jam
39,5 00:00…
01:00…
02:00…
03:00…
04:00…
05:00…
06:00…
07:00…
08:00…
09:00…
10:00…

12:00…
13:00…
14:00…
15:00…
16:00…
17:00…
18:00…
19:00…
20:00…
21:00…
22:00…
23:00…
11:00…
Melaporkan ke dr. Anton, Sp.BS dan dr. Elmore, Sp.An
13.50 COD: Henti jantung & nafas post cedera kepala berat + ICH + SDH +
kontusio serebri + herniasi serebri.

36
BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Cedera Kepala Berat

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, salah satu diagnosis kerja
yang ditegakkan ialah cedera kepala berat (CKB), mengingat adanya riwayat trauma kepala
yang terjadi 40 menit SMRS disertai dengan keadaan tidak sadar. Glasgow Coma Scale
(GCS) yang dnilai pada primary survey didapatkan E1M3V1. Pada kondisi trauma kepala
yang diikuti dengan skor GCS 3-8, diagnosis cedera kepala berat sudah dapat ditegakkan.
Tatalaksana awal yang dilakukan pada cedera kepala berat antara lain:

4
Gambar 14. Algoritma tatalaksana cedera kepala berat

Intracranial Hematoma (ICH)

Setelah dilakukan tatalaksana awal cedera kepala berat dan stabilisasi hemodinamik,
dilakukan CT-Scan pada pasien. Hasil CT-Scan menunjukkan adanya lesi hiperden
intraparenkim & edema perifokal temporal kiri, ± 30 x 25 x 21 mm (estimasi volume =
× . . ,
= = 7,8 mL). Lesi hiperden pada CT-Scan ini menunjukkan adanya darah
pada
parenkim otak, dengan demikian diagnosis ICH dapat ditegakkan.

37
Gambar 21. CT-Scan potongan aksial (kiri) dan coronal (kanan) Tn.M

Evakuasi bedah hematoma intraparenkim traumatis diindikasikan pada volume > 20 mL jika
9-10
berada di lobus frontal/ temporal atau > 50 mL di lokasi lain. Jika melihat kondisi ICH
pada pasien ini (7,8 mL di regio temporo-parietal), tindakan evakuasi bedah belum
diindikasikan.

Subdural Hematoma (SDH)


Selain ditemukan ICH pada CT-Scan, juga ditemukan lesi hiperden berbentuk konveks
(crescent-shape) pada regio temporo-parietal kanan. Temuan ini sesuai dengan karakteristik
SDH, dengan demikian diagnosis dapat ditegakkan. Pada potongan aksial, dapat dilihat
ketebalan hematoma ± 5 mm. Estimasi volume SDH = . × × = = 10,5

mL.
Gambar 22. CT-Scan potongan aksial (kiri) dan coronal (kanan) Tn.M
Jika dilihat dari angka estimasi volume SDH, ketebalan hematom kurang dari 10 mm dan
tidak adanya pergeseran struktur garis tengah, maka tindakan pembedahan belum
diindikasikan untuk pasien ini.

9-10
Gambar 15. Indikasi pembedahan hematoma intrakranial

Fraktur Depresi Tulang Tengkorak


Melihat dari riwayat kecelakaan tabrak motor dengan motor ditambah dengan adanya hilang
kesadaran, ada kemungkinan besar terjadi benturan sangat keras pada kepala pasien.
Benturan ini dapat menyebabkan terjadinya fraktur pada tulang tengkorak. Jenis fraktur yang
kemungkinan terjadi dapat diperkirakan dari gejala dan tanda klinis yang muncul pada
pemeriksaan fisik. Pada pasien ini didapatkan otorrhea dari MAE sinistra dan darah kering
serta darah segar di regio temporo-parietal sinistra. Berdasarkan temuan ini, beberapa
kemungkinan tipe fraktur yang terjadi diantaranya fraktur basis cranii, fraktur depresi os
temporo-parietal, fraktur linear os temporo-parietal dan fraktur terbuka os temporo-parietal.
Namun, setelah dilakukan pembersihan darah kering, tidak ditemukan luka terbuka sehingga
kemungkinan fraktur terbuka dapat disingkirkan.
Setelah dilakukan CT-Scan, hasil yang didapatkan adalah adanya fraktur kominutif depresi os
temporo-parietal sinistra.

Gambar 23. CT-Scan bone window (kiri) dan rekonstruksi 3D (kanan) Tn.M
Kriteria tindakan pembedahan fraktur depresi tengkorak adalah sebagai berikut:
4

Depresi lebih besar dari 8-10mm (atau lebih besar dari ketebalan tengkorak)
Gangguan fungsi otak yang terkait dengan tekanan atau cedera otak yang mendasari
Kebocoran cairan serebrospinal
Fraktur depresi yang terbuka atau fraktur yang terekspos oleh luka di kulit kepala
Berdasarkan kriteria tersebut, pasien ini memenuhi 1 kriteria yaitu gangguan fungsi otak yang
terkait dengan tekanan atau cedera otak yang mendasari.

Herniasi Serebri
Pada pemeriksaan CT-Scan hari-I perawatan di RS, meskipun terdapat massa hematom yang
mendesak jaringan otak, tidak ditemukan adanya herniasi otak, baik itu herniasi subfalsin,
transcalvarial, sentral, uncal atau cerebellotonsilar. Namun pada CT-Scan kepala tampak
girus melebar dan sulsi menyempit, menandakan adanya edema serebri.

Memasuki hari-II perawatan, suhu badan terus meningkat (>38 °C) tanpa fokus infeksi yang
jelas dan dalam pemberian parasetamol drip 4 x 1 g (IV). Kondisi ini dapat disebabkan oleh
terganggunya fungsi termoregulasi yang berpusat pada hipotalamus. Pada tahap ini, ada
kemungkinan sudah terjadi adanya efek penekanan massa terhadap hipothalamus.

Pada hari-V perawatan, pasien terus mengalami perburukan kondisi. Tekanan darah dan
heart rate semakin menurun secara cepat diikuti dengan kenaikan suhu hingga tertinggi
mencapai
40,2°C. Pupil yang awalnya 3mm/3mm reaktif lambat, kini menjadi 4mm/4mm non-reaktif.
Pada pukul 13.40, terjadi henti jantung dengan EKG asistol, nadi karotis tak teraba, dan
terjadi henti nafas spontan setelah ventilator dilepas.

Penyebab kematian paling fatal pada pasien ini adalah herniasi serebri yang menekan pusat
pernafasan dan jantung di medulla oblongata. Tipe herniasi yang mungkin terjadi adalah
herniasi cerebellotonsilar akibat peningkatan tekanan intrakranial efek penekanan massa
disertai edema serebri.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Struchen MA, Ritter LM. Training Session 1a: Basic Definition of TBI, Mechanism of
Injury, and Epidemiology.
http://www.tbicommunity.org/resources/publications/vr_manual/pdf/session1a.pdf
(Accessed 2 April 2017).

2. Wright DW, Merck LH. Chapter 254. Head Trauma in Adults and Children. In: Tintinalli
JE, Stapczynski J, Ma O, Cline DM, Cydulka RK, Meckler GD, T. eds. Tintinalli's
Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide, 7e. New York, NY: McGraw-Hill;
2011. http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=348&Sectionid=40381742. (Accessed 2 April 2017).

3. Watanabe TK, Marino MH. Traumatic Brain Injury. In: Maitin IB, Cruz E. eds.
CURRENT Diagnosis & Treatment: Physical Medicine & Rehabilitation. New York,
NY: McGraw-Hill; 2014. http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=1180&Sectionid=70377685. (Accessed 2 April 2017).

4. ACS Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Support, 9th ed. Chicago:
Americans College of Surgeons; 2012.

5. Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter's Neurology, 2nd ed. Philadelphia:
Elsevier; 2012.

6. U.S. Department of Health and Human Services Centers for Disease Control and
Prevention. Facts about Concussion and Brain Injury.
http://www.cdc.gov/concussion/pdf/Facts_about_Concussion_TBI-a.pdf. (Accessed 2
April 2017).

7. Pandey AS, Thompson B. Neurosurgery. In: Doherty GM. eds. CURRENT Diagnosis &
Treatment: Surgery, 14e. New York, NY: McGraw-Hill; 2014.
http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?bookid=1202&Sectionid=71524516.
(Accessed 2 April 2017).

8. Halliday A. Cerebral Herniation Syndromes.


https://www.peacehealth.org/Documents/Neuro%202012%20Halliday%20Presentation.
pdf. (Accessed 2 April 2017).

9. Bullock M, Chesnut R, Ghajar J, et al. Surgical management of acute epidural


hematomas. Neurosurgery. 2006;58:S2-7-S2-15.

10. Bullock M, Chesnut R, Ghajar J, et al. Surgical management of acute subdural


hematomas. Neurosurgery. 2006;58:S2-16-S12-24.

41
LAMPIRAN

42
43
44
45
46

You might also like