You are on page 1of 9

ASKEP GNA (glomerulo nefritis akut)

A. KONSEP DASAR MEDIS

1. Pengertian

a. Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post


sterptokokus (GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai
glomeruli, sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A,
tipe nefritogenik di tempat lain.
b. Istilah yang digunakan yang mengacu pada sekelompok penyakit ginjal dimana
inflamasi terjadi di glomerulus.(Bruner & Suddarth, 2001, p: 1438)
c. Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal
terhadap bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi
kuman streptococcus. Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai
untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi
dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis.
Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi
klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan
penyakit dan prognosis. (http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Streptococcus.html.
Accessed April 8th, 2009)
d. Penykit peradangan ginjal bilateral.
(Price, Sylvia A, 2005, p: 924)

2. Etiologi
a. Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah infeksi
saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus
grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi
kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus.
b. Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan
disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya:
1) Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans, Gonococcus,
Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella typhi
2) Virus : Hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis
epidemika
3) Parasit: malaria dan toksoplasma
c. Mungkin faktor iklim,
d. keadaan gizi,
e. faktor alergi mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss.

3. Patofisiologi
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga terdapat
suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khsus yang merupakan unsur membran
plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah dan
bersirkulasi kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap
dalam membran basalis.selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan
peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat
lesi, yang kemudian terbentuk jaringan parut dan kehilangan permukaan penyaring.
Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan membran basalis
glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbu proliferasi sel-sel
endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya
kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke
dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria.
Agaknya kompleks komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul
subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-bungkah
pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak
membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.

4. Manifestasi klinis
a. Sakit kepala
b. Malaise
c. Edema
d. Proteinuria
e. Hematuria
f. Oliguria
g. Anoreksia
h. Kadang-kadang demam
i. Mual
j. Muntah
k. Nyeri panggul
l. Hipertensi

5. Komplikasi
a. Gagal ginjal akut & kronik
b. Hipertensi ensefalopati yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala
berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme
pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
c. Gagal jantung kongestif
d. Edema pulmoner
e. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung
dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah,
melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma.
f. Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan
kelainan di miokardium.
g. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang
menurun.

6. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4),
b. Hematuria makroskopik ditemukan hampir pada 50% penderita
c. Kelainan sedimen urine dengan eritrosit disformik
d. Leukosituria serta torak selulet
e. Granular
f. Eritrosit(++)
g. Albumin (+)
h. Silinder lekosit (+).
i. Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal
seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia.
j. Kadang-kadang tampak adanya proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik.
Komplomen hemolitik total serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah pada hampir
semua pasien dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit,
sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan
aktivasi jalur alternatif komplomen.
7. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk melindungi fungsi ginjal dan menangani komplikasi
dengan tepat.
a. Medis
1) Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi
beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus yang
mungkin masih, dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10
hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari
dibagi 3 dosis.
2) Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk
menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala
serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07
mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat
parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
3) Pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak
berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus
4) Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.
b. Keperawatan
1) Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8 minggu
untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir
menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit
tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2) Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah garam (1
g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila
suhu telah normal kembali.
3) Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada
penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan
4) bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah
cairan yang diberikan harus dibatasi.

8. Pendidikan pasien
a. Instruksikan pada pasien mencakup penjelasan dan penjadwalan evaluasi tindak lanjut
terhadap tekanan darah, tindakan urinalisis untuk protein, dan kadar BUN serta kreatinin
untuk menentukan perkembangan penyakit.
b. Pasien diinstruksikan untuk member tahu dokter jika gejala gagal ginjal terjadi (seperti:
keletihan, mual, muntah, haluaran urine berkurang).

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GLOMERULONEFRITIS

I. Pengkajian

1. Genitourinaria
o Urine keruh
o Proteinuria
o Penurunan urine output
o Hematuri
2. Kardiovaskuler
o Hipertensi
3. Neurologis
o Letargi
o Iritabilitas
o Kejang
4. Gastrointestinal
o Anorexia
o Vomitus
o Diare
5. Hematologi
o Anemia
o Azotemia
o Hiperkalemia
6. Integumen
o Pucat
o Edema

II. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan retensi air dan hipernatremia
o Kriteria / Evaluasi: Klien akan menunjukkan perfusi jaringan serebral normal
ditandai dengan tekanan darah dalam batas normal, penurunan retensi air,
tidak ada tanda-tanda hipernatremia.
o Intervensi :
a. Monitor dan catat Tekanan Darah setiap 1 – 2 jam perhari selama fase
akut.
Rasional: untuk mendeteksi gejala dini perubahan Tekanan Darah dan
menentukan intervensi selanjutnya.
b. Jaga kebersihan jalan nafas, siapkan suction
Rasional: serangan dapat terjadi karena kurangnya perfusi oksigen ke
otak
c. Atur pemberian anti Hipertensi, monitor reaksi klien.
Rasional: Anti Hipertensi dapat diberikan karena tidak terkontrolnya
Hipertensi yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal
d. Monitor status volume cairan setiap 1 – 2 jam, monitor urine output (N
: 1 – 2 ml/kgBB/jam).
Rasional: Monitor sangat perlu karena perluasan volume cairan dapat
menyebabkan tekanan darah meningkat.
e. Kaji status neurologis (tingkat kesadaran, refleks, respon pupil) setiap
8 jam.
Rasional: Untuk mendeteksi secara dini perubahan yang terjadi pada
status neurologis, memudahkan intervensi selanjutnya.
f. Atur pemberian diuretic : Esidriks, lasix sesuai order.
Rasional: Diuretic dapat meningkatkan eksresi cairan.
2. Peningkatan volume cairan berhubungan dengan oliguri
o Kriteria Evaluasi: Klien dapat mempertahankan volume cairan dalam batas
normal ditandai dengan urine output 1 - 2 ml/kg BB/jam.
o Intervensi:
a. Timbang BB tiap hari, monitor output urine tiap 4 jam.
Rasional: Peningkatan BB merupakan indikasi adanya retensi cairan,
penurunan output urine merupakan indikasi munculnya gagal ginjal.
b. Kaji adanya edema, ukur lingkar perut setiap 8 jam, dan untuk anak
laki-laki cek adanya pembengkakan pada skrotum
Rasional: Peningkatan lingkar perut danPembengkakan pada skrotum
merupakan indikasi adanya ascites.
c. Monitor reaksi klien terhadap terapi diuretic, terutama bila
menggunakan tiazid/furosemide.
Rasional: Diuretik dapat menyebabkan hipokalemia, yang
membutuhkan penanganan pemberia potassium.
d. Monitor dan catat intake cairan.
Rasional: Klien mungkin membutuhkan pembatasan pemasukan cairan
dan penurunan laju filtrasi glomerulus, dan juga membutuhkan
pembatasan intake sodium.
e. Kaji warna warna, konsentrasi dan berat jenis urine.
Rasional: Urine yang keruh merupakan indikasi adanya peningkatan
protein sebagai indikasi adanya penurunan perfusi ginjal.
f. Monitor hasil tes laboratorium
Rasional: Peningkatan nitrogen, ureum dalam darah dan kadar
kreatinin indikasi adanya gangguan fungsi ginjal.
3. Perubahan status nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan anorexia.
o Kriteria / Evaluasi: Klien akan menunjukan peningkatan intake ditandai
dengan porsi akan dihabiskan minimal 80%.
o Intervensi :
a. Sediakan makan dan karbohidrat yang tinggi.
Rasional: Diet tinggi karbohodrat biasanya lebih cocok dan
menyediakan kalori essensial.
b. Sajikan makan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan
klien.
Rasional: Menyajikan makan sedikit-sedikt tapi sering, memberikan
kesempatan bagi klien untuk menikmati makanannya, dengan
menyajikan makanan kesukaannya dapat menigkatkan nafsu makan.
c. Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
Rasional: Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa
kasus ginjal tidak dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk
membatasi pemasukan cairan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan fatigue.
o Kriteria / Evaluasi: Klien akan menunjukan adanya peningkatan aktivitas
ditandai dengan adanya kemampuan untuk aktivitas atau meningkatnya waktu
beraktivitas.
o Intervensi :
a. Buat jadwal/periode istirahat setelah aktivitas.
Rasional: Dengan periode istirahat yang terjadual menyediakan energi
untuk menurunkan produksi dari sisa metabolisme yang dapat
meningkatkan stress pada ginjal.
b. Sediakan / ciptakan lingkungan yang tenang, aktivitas yang menantang
sesuai dengan perkembangan klien.
Rasional: Jenis aktivitas tersebut akan menghemat penggunaan energi
dan mencegah kebosanan.
c. Buat rencana / tingkatan dalam keperawatan klien agar tidak dilakukan
pada saat klien sementara dalam keadaan istirahat pada malam hari.
Rasional: Tingkatan dalam perawatan/pengelompokan dapat
membantu klien dalam memenuhi kebutuhan tidurnya.
5. Gangguan istirahat tidurberhubungan dengan immobilisasi dan edema.
o Kriteria / Evaluasi: Klien dapat mempertahankan integritas kulit ditandai
dengan kulit tidak pucat, tidak ada kemerahan, tidak ada edema dan keretakan
pada kulit/bersisik.
o Intervensi:
a. Sediakan kasur busa pada tempat tidur klien
Rasional: Menurunkan resiko terjadinya kerusakan kulit.
b. Bantu merubah posisi tiap 2 jam.
Rasional: Dapat mengurangi tekanan dan memperbaiki sirkulasi,
penurunan resiko terjadi kerusakan kulit.
c. Mandikan klien tiap hari dengan sabun yang mengandung pelembab.
Rasional: Deodoran / sabun berparfum dapat menyebabkan kulit
kering, menyebabkan kerusakan kulit.
d. Dukung / beri sokongan dan elevasikan ekstremitas yang mengalami
dema.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi balik dari pembuluh darah vena
untuk mengurangi pembengkakan.
e. Jika klien laki-laki scrotum dibalut.
Rasional: Untuk mengurangi kerusakan kulit.

Daftar Pustaka

1. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Brunner and Suddarth edisi 8 volume 2,
Sozannie, Smeltzer and Brenda.E.Bare, penerbit EGC, Jakarta 2002.
2. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit buku 2 edisi 4, Penerbit EGC,
Jakarta 1995.
3. Buku saku Keperawatan Pediatri, Cecily L.Betz dan Linda A. Sowden, Edisi 3,
Penerbit EGC Jakarta 2002.
4. Pedoman Praktek Keperawatan, Sandra M.Nettina, Penerbit EGC, Jakarta.
5. Perawatan Anak Sakit, Ngastiyah, Penerbit EGC, Jakarta 1997.
6. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Barbara Engram, Volume I, Penerbit
EGC, Jakarta 1998.
7. Perawatan Medikal Bedah, Volume 3, Barbara C. Long, Bandung 1996.

Read more: Askep Glomerulo Nefritis Akut dan Kronis

You might also like