You are on page 1of 24

BAB 1

PENDAHULUAN

Perdarahan postpartum adalah salah satu penyebab paling penting dari


kematian ibu. Kematian maternal di Amerika sekitar 7-10 wanita /100.000
kelahiran hidup. Statistik nasional mendeteksi 8% kematian maternal disebabkan
oleh perdarahan post partum. American college of Obstetricians and
Gynecologists memperkirakan 140.000 kematian maternal pertahun ataupun 1
perempuan meninggal tiap 4 menitnya [1]. Indonesia tercatat sebagai negara
dengan angka kematian maternal yang masih tinggi. Selain faktor kemiskinan dan
masalah aksesiblitas penanganan kelahiran, 75% hingga 85% kematian maternal
disebabkan obstetri langsung, terutama akibat perdarahan. Padahal 90% dari
kematian itu bisa dihindari [1].
Berdasarkan SDKI survey terakhir tahun 2007 Angka Kematian Ibu
Indonesia sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup, meskipun demikian angka
tersebut masih tertinggi di Asia. Tiga faktor utama penyebab kematian ibu
melahirkan yakni, pendarahan, hipertensi saat hamil atau pre eklamasi dan infeksi.
Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu yaitu 28% [3].
Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40-60%) kematian ibu
melahirkan di Indonesia. Perdarahan pasca persalinan adalah kehilangan darah
melebihi 500 ml yang terjadi setelah bayi lahir [4].
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan postpartum dini
(50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme
ini. Walau kebanyakan ibu sudah memeriksakan kehamilannya di pusat pelayanan
kesehatan secara teratur, namun 70% persalinan masih terjadi dirumah.
Masalahnya, sangat sedikit pihak yang mengetahui diagnosis dan pengelolaan
perdarahan akibat keadaan darurat ini. Jika saja hal ini bisa dilakukan, bukan
mustahil angka kematian ibu dapat ditekan [5].

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Uterus


Uterus terbentuk seperti buah avokad atau buah peer yang sedikit gepeng,
ke arah antefleksi (depan belakang): ukurannya sebesar telur ayam dan
mempunyai rongga. Dindingnya terdiri atas otot-otot polos. Ukuran panjang
uterus 7-7,5 cm, lebar sekitar 5,25 cm, tebal 2,5 cm, dan tebal dinding 1,25 cm.
letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksio (serviks ke depan
dan membentuk sudut dengan vagina, demikian pula korpus uteri ke depan dan
membentuk sudut dengan serviks uteri) [5].

Gambar 1 : Anatomi Uterus


Uterus terdiri dari fundus uteri, korpus uteri, dan serviks uteri. Fundus
uteri adalah bagian uterus proksimal. Korpus uteri merupakan bagian uterus yang
terbesar sebagai tempat janin berkembang, rongga yang terdapat di korpus uteri
disebut kavum uteri (rongga rahim). Serviks uteri terdiri atas pars vaginalis
serviks uteri yang dinamakan porsio, pars supravaginalis serviks uteri yaitu bagian
serviks yang berada diatas vagina [5].

2
Saluran yang terdapat pada serviks disebut kanalis servikalis terbentuk
sebagai saluran lonjong dengan panjang 2,5 cm. Pintu saluran serviks sebelah
dalam disebut ostium uteri internum, dan pintu di vagina disebut ostium uteri
eksternum. Secara histologi uterus terdiri atas endometrium di korpus uteri dan
endoserviks di serviks uteri, otot-otot polos, lapisan serosa yakni peritoneum
viserale [5].
Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar dan jaringan
dengan banyak pembuluh darah yang berkeluk-keluk. Endometrium melapisi
seluruh kavum uteri dan mempunyai arti penting dalam siklus haid pada seorang
wanita dalam masa reproduksi [6]. Pada masa haid, endometrium sebagian besar
dilepaskan, untuk kemudian tumbuh lagi pada fase proliferasi dan selanjutnya ke
fase sekretorik. Lapisan otot-otot polos dibagian dalam berbentuk sirkuler, dan
disebelah luar berbentuk longitudinal. Diantara kedua lapisan itu terdapat lapisan
otot oblik, berbentuk anyaman, dan lapisan ini paling penting pada persalinan oleh
karena sesudah plasenta lahir, uterus berkontraksi kuat dan menjepit pembuluh-
pembuluh darah yang terbuka [5, 7].
Vaskularisasi uterus diberikan oleh arteria uterine sinistra et dekstra yang
terdiri dari ramus asendens dan ramus desendens. Pembuluh darah ini berasal dari
a.iliaka interna (a.hipogastrika) yang melalui dasar ligamentum latum, masuk ke
dalam uterus di daerah serviks kira-kira 1,5 dari forniks vagina. Vaskularisasi
uterus yang lain ialah arteri ovarika sinistra et dekstra. Vaskularisasi ini berjalan
dari lateral dinding pelvis, melalui ligamentum infundibulo-pelvikum mengikuti
tuba Falloppi, beranastomosis dengan ramus ascendens arteri uterine disebelah
lateral, kanan dan kiri uterus. Bersama-sama dengan arteri-arteri tersebut diatas
terdapat vena-vena yang kembali melalui pleksus vena ke vena hipogastrika [5, 7].
2.2. Perdarahan Post Partum
2.2.1. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi
setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan
abdominal. Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan
jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan

3
sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimanatelah menyebabkan perubahan
tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung,berkeringat dingin,
menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik <90 mmHg, denyut nadi >100
x/menit, kadar Hb < 8 g/dL.Perdarahan post partum dibagi menjadi [6]:
a) Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early post
partum hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama setelah kalaIII.
b) Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late
post partum hemorrhage ). Perdarahan pada masa nifas adalah
perdarahan yang terjadi pada masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24
jam pertama setelah kala III.
2.2.2. Etiologi
Penyebab primer perdarahan post partum beberapa tahun terakhir banyak
disingkat 4T yaitu: Tone /Tonus (Atonia uteri), Trauma/perlukaan jalan lahir
(inverse uteri), Tissue/Jaringan (retensi plasenta dan plasenta akreta), dan
rombin/gangguan koagulasi [6].
2.2.3. Epidemiologi Perdarahan Postpartum
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehtan Indonesia (SDKI) tahun
2012, angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi sebesar 359 per 100.000
kelahiran hidup Angka ini sedikit menurun dibandingkan dengan SDKI tahun
1991, yaitu sebesar 390 per 100.000kelahiran hidup. Angka ini sedikit menurun
meskipun tidak terlalu signifikan. Target global MDGs (Millenium Development
Goals) ke-5 adalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Penyebab terbesar kematian Ibu selama
tahun 2010-2013 masih tetap sama yaitu perdarahan [7].
2.3. ATONIA UTERI
2.3.1. Definisi
Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan
plasenta lahir, dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan atau rangsangan taktil
fundus uteri. Perangsangan taktil fundus uteri dilakukan dengan cara
menggerakkan tangan memutar pada fundus uteri sehingga diharapkan uterus

4
berkontraksi dan terjadi kompresi pada pembuluh darah di tempat bekas
perlekatan plasenta (yang sebelumnya menyuplai darah ke dalam plasenta)
sehingga perdarahan berhenti. Selain itu, kontraksi uterus tersebut dapat
merangsang pengeluaran sisa plasenta secara alami [9].
2.3.2. Etiologi
Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam
waktu kurang dari 1 jam. Atonia uteri menjadi penyebab lebih dari 90%
perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi.
Beberapa faktor predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca persalinan
yang disebabkan oleh atonia uteri adalah [10];
a) Overdistention uterus seperti: gemeli, makrosomia, polihidramnion
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan
mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah
plasenta lahir.
b) Umur yang terlalu muda atau terlalu tua
c) Multiparitas tinggi. Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka
uterus juga akan berulang kali teregang. Hal ini akan menurunkan
kemampuan berkontraksi dari uterus segera setelah plasenta lahir.
d) Kala I atau II yang memanjang. Pada partus lama uterus dalam
kondisi yang sangat lelah, sehingga otot-otot rahim tidak mampu
melakukan kontraksi segera setelah plasenta lahir.
e) Kehamilan dengan mioma uterus. Mioma yang paling sering menjadi
penyebab perdarahan post partum adalah mioma intra mular, dimana
mioma berada di dalam miometrium sehingga akan menghalangi
uterus berkontraksi.
f) Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi). Persalinan
buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca
salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
g) Persalinan lewat waktu. Peregangan yang berlebihan ada otot uterus
karena besarnya kehamilan, ataupun juga terlalu lama menahan

5
beban janin di dalamnya menjadikan otot uterus lelah dan lemah
untuk berkontraksi.
h) Infeksi intrapartum. Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat
intrapartum yang potensial akan menjalar pada otot uterus sehingga
menjadi infeksi dan menyebabkan gangguan untuk melakukan
kontraksi.
i) Persalinan cepat (partus presipitatus). Persalinan cepat
mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan buah
kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah
dan lemah untuk berkontraksi.
j) Kelainan plasenta. Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas
prematur mengakibatkan gangguan uterus untuk berkontraksi.
Adanya benda asing menghalangi kontraksi yang baik untuk
mencegah terjadinya perdarahan.
k) Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus menjadi
dalam kondisi relaksasi yang berlebih, sehingga saat dibutuhkan
untuk berkontraksi menjadi tertunda atau terganggu. Demikian juga
dengan magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan
kejang pada preeklamsi/eklamsi yang berfungsi sebagai sedativa atau
penenang.
l) Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
(augmentasi). Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk
memaksa uterus berkontraksi saat proses persalinan mengakibatkan
otot uterus menjadi lelah.
m) Penyakit sekunder maternal. Anemia, endometritis, kematian janin
dan koagulasi intravaskulere diseminata merupakan penyebab
gangguan pembekuan darah yang mengakibatkan tonus uterus
terhambat untuk berkontraksi.
Atonia uteri juga dapat terjadi karena salah dalam penanganan kala III
persalinan, dengan cara memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.

6
2.3.3. Patofisiologi
Pada awal persalinan, estrogen akan meningkat dalam darah. Hal ini
menyebabkan uterus menjadi lebih mudah terangsang, dan pembentukan
prostaglandin lebih banyak lagi, yang kemudian menyebabkan kontraksi uterus.
Jumlah reseptor oksitosin lebih banyak lagi, yang kemudian menyebabkan
kontraksi uterus. Jumlah reseptor oksitosin di miometrium dan desidua
(endometrium kehamilan) meningkat lebih dari 100 kali selama kehamilan dan
mencapai puncaknya selama awal persalinan. Estrogen meningkatkan jumlah
reseptor oksitosin, dan peregangan uterus pada akhir kehamilan juga dapat
meningkatkan pembentukan uterus berespon terhadap konsentrasi oksitosin
plasma yang normal. Begitu persalinan dimulai, kontraksi uterus menyebabkan
dilatasi serviks, dilatasi ini selanjutnya menimbulkan sinyal pada saraf aferen
yang dipancarkan ke nukleus supraoptik dan paraventrikel meningkatkan sekresi
oksitosin [5].

Gambar 5. Kontraksi miometrium uteri menutup pembuluh setelah


persalinan
Kadar oksitosin plasma meningkat dan lebih banyak oksitosin tersedia
untuk bekerja pada uterus. Dengan demikian, terjadi umpan balik positif yang
membantu persalinan dan berakhir setelah hasil konsepsi dikeluarkan. Oksitosin
meningkatkan kontraksi uterus dengan dua cara :1) bekerja langsung pada sel otot
polos uterus untuk membuatnya berkontraksi, dan 2) merangsang pembentukan
prostaglandin di desidua. Dalam persalinan, pembuluh darah yang ada di uterus
melebar untuk meningkatkan sirkulasi ke sana. Setelah persalinan, kontraksi

7
uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah
melahirkan [5].
Adanya peregangan yang berlebihan atau berkurangnya kerja reseptor
oksitosin di miometrium pasca persalinan menyebabkan kontraksi uterus menurun
atau disebut hipotonia uteri, yang jika tidak tertangani akan jatuh menjadi atonia
uteri. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan postpartum
secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang
mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta.
Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak
berkontraksi [5].
2.3.4. Manifestasi klinis [8]
a. Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes.
Peristiwa sering terjadi pada kondisi ini adalah darah keluar disertai
gumpalan disebabkan tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti
pembeku darah [11].
b. Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya [8].
c. Fundus uteri naik
d. Terdapat tanda-tanda syok [8]
- nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)
- tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg
- pucat
- keringat/ kulit terasa dingin dan lembap
- pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih
- gelisah, bingung atau kehilangan kesadaran
- urine yang sedikit (<30 cc/ jam)
2.3.5. Penatalaksanaan Atonia Uteri
Banyaknya darah yang keluar mempengaruhi keadaan pasien. Pasien bisa
masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai menjadi syok

8
hipovolemik berat. Perdarahan yang lebih dari 1000 cc atau 1500 cc (20-25%
volume darah) akan menimbulkan gangguan vaskular hingga terjadi syok
hemoragik sehingga transfusi darah diperlukan segera. Tindakan pertama yang
dilakukan tergantung pada keadaan klinisnya [9].

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Perdarahan

9
Masase fundus uteri segera setelah
plasenta lahir (maksimal 15 detik)

Ya
Uterus kontraksi ? Evaluasi rutin

Tidak
 Evaluasi/bersihkan bekuan darah/selaput ketuban
 Kompresi bimanual interna (KBI) : maksimal 5 menit
Ya  Pertahankan KBI selama 1-2 menit
Uterus kontraksi ?  Keluarkan tangan secara hati-hati
 Lakukan pengawasan kala IV
Tidak
 Ajarkan keluarga melakukan KBI
 Keluarkan tangan secara hati-hati
 Suntikkan Methylergometrin 0,2 mg IM
 Pasang IVFD RL + 20 IU oxytocin,
guyur
 Lakukan kembali KBI
Ya
Uterus kontraksi ? Pengawasan kala IV

Tidak
 Rujuk, siapkan laparatomi
 Lanjutkan pemberian infus + 20 IU oksitosin minimal 500 cc/jam hingga mencapai tempat
rujukan
 Selama perjalanan dapat dilakukan kompresi aorta abdominalis atau KBI

 Ligasi arteriuterina dan atau hipogastrika


 B-Lynch method
tetap
Perdarahan ? Histerektomi
berhenti
Pertahankan Uterus

Gambar 2. Bagan penanganan atonia uteri


Masase Fundus Uteri segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15
detik). Pemijatan merangsang kontraksi uterus sambil dilakukan penilaian
kontraksi uterus. Bersihkan bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina dan
lubang serviks. Bekuan darah dan selaput ketuban dalam vagina dan saluran
serviks akan dapat menghalang kontraksi uterus secara baik. Pastikan bahwa
kantung kemih kosong. Kandung kemih yang penuh akan dapat menghalangi

10
uterus berkontraksi secara baik. Hentikan perdarahan dengan Kompresi Bimanual
Internal (KBI) selama 5 menit [9].
Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut
masukkan tangan (dengan cara menyatukan kelima ujung jari) melalui introitus ke
dalam vagina ibu. Periksa vagina dan serviks, jika ada selaput ketuban atau
bekuan darah pada kavum uteri langsung bersihkan, mungkin hal ini yang
menyebabkan uterus tidak dapat berkontraksi secara penuh. Kepalkan tangan
dalam dan tempatkan pada forniks anterior tekan dinding anterior uterus ke arah
tangan luar yang menahan dan mendorong dinding posterior uterus ke arah depan
sehingga uterus ditekan dari arah depan dan belakang. Tekan kuat uterus diantara
kedua tangan. Kompresi uterus ini memberikan tekanan langsung pada pembuluh
darah yang terbuka (bekas implantasi plasenta) di dinding uterus dan juga
merangsang myometrium untuk berkontraksi [11].
Evaluasi keberhasilan dengan cara [8, 9]:
a. Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan
melakukan KBI selama 2 menit, kemudian perlahan-lahan
keluarkan tangan dari dalam vagina dan pantau kondisi ibu secara
ketat selama kala IV.
b. Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus berlangsung, periksa
ulang perenium, vagina, dan seviks, apakah terjadi laserasi.Jika
demikian,segera lakukan penjahitan untuk menghentikan
perdarahan.
c. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 5 menit, ajarkan
keluarga untuk melakukan kompresi bimanul eksternal :
i. Letakkan satu tangan pada dinding abdomen dan dinding
depan korpus uteri dan diatas simpisis pubis.
ii. Letakkan tangan lain pada dinding abdomen dan dinding
belakang korpus uteri sejajar dengan dinding depan korpus
uteri.Usahakan memegang bagian belakang uterus seluas
mungkin.

11
iii. Lakukan kompresi uterus dengan cara saling mendekatkan
tangan depan belakang agar pembuluh darah di dalam
anyaman myometrium dapat dijepit secara manul.Cara ini
dapat menjepit pembuluh darah uterus dan membantu
uterus untuk berkontraksi.
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi
tersebut, genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak
lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis, penekanan
yang tepat, akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri pemoralis.
Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi [5].
Berikan ergometrin 0,2 mg IM atau misoprostol 600 -1000 mcg per
rectal.Jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan hipertensi karna ergometrin
dapat menaikkan tekanan darah. Pasang infuse dengan jarum ukuran 16 atau 18,
berikan infuse RL 500 + 20 unit oksitosin guyur dalam waktu 10 menit. Pakai
sarung tangan steril dan ulangi KBI. Jika uterus berkontraksi pantau ibu secara
seksama selama persalinan kala IV Dan jika uterus tidak berkontraksi dalam
waktu 1 sampai 2 menit, segera rujuk ibu dan dampingi ibu ketempat
rujukan. Lanjutkan infus RL+20 unit oksitosin dalam 500 cc / jam hingga tiba
ditempat rujukan atau menghabiskan 1,5 liter infus.Kemudian berikan 125 cc /
jam. Jika tidak tersedia cairan yang cukup, berikan 55cc kedua dengan kecepatan
sedang dan berikan minum untuk rehidrasi [12].
2.3.5.1. Manajemen resusitasi
Resusitasi

12
Tabel 2. Jumlah cairan Infus pengganti berdasarkan volume kehilangan
darah
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal
yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-
tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan
golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah
[6, 8].
2.3.5.2.Masase dan kompresi bimanual [9]
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang
akan menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya
plasenta (max 15 detik).
a. Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung,
periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau
rujuk segera.
b. Jika uterus tidak berkontraksi maka [9]:
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang
serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong. Lakukan kompresi
bimanual internal (KBI) selama 5 menit. Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI
selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan
ketat. Jika uterus tidak berkontraksi, maka: Anjurkan keluarga untuk mulai
melakukan kompresi bimanual eksternal. Keluarkan tangan perlahan-lahan,
kemudian berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi).
Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20
unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI.
a. Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat
b. Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera
2.3.5.3.Uterotonika
Yang dimaksud pencegahan dengan obat adalah pemberian obat
uterotonika setelah lahirnya plasenta. Namun, pemberian obat ini sama sekali
tidak dibolehkan sebelum bayi lahir. Keuntungan pemberian uterotonika ini

13
adalah untuk mengurangi perdarahan kala III dan mempercepat lahirnya plasenta.
Karena itu, pemberian pencegahan dapat diberikan pada setiap persalinan atau bila
ada indikasi tertentu. Indikasi yang dimaksud, adalah hal-hal yang dicurigai akan
menimbulkan perdarahan pasca persalinan, yaitu [12]:
a. Riwayat persalinan yang kurang baik, misalnya:
b. Riwayat perdarahan pada persalinan yang terdahulu.
c. Grande multipara (lebih dari empat anak).
d. Jarak kehamilan yang dekat (kurang dari dua tahun).
e. Bekas operasi Caesar.
f. Pernah abortus (keguguran) sebelumnya.
Bila terjadi riwayat persalinan kurang baik, ibu seyogyanya melahirkan
dirumah sakit, dan jangan di rumah sendiri. hasil pemeriksaan waktu bersalin,
misalnya [12]:
a. Persalinan/kala II yang terlalu cepat, sebagai contoh setelah ekstraksi
vakum, forsep.
b. Uterus terlalu teregang, misalnya pada hidramnion, kehamilan kembar,
anak besar.
c. Uterus yang kelelahan, persalinan lama.
d. Uterus yang lembek akibat narkosa.
e. Inersia uteri primer dan sekunder.
Obat-obatan yang dipakai untuk pencegahan adalah Oksitosin dan
Ergometrin. Caranya, disuntikkan intra muskuler atau intravena (bila diinginkan
kerja cepat), setelah anak lahir. Oksitosin merupakan hormon sintetik yang
diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus
yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan
timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi
dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyababkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan
lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan
oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin

14
sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu
intoksikasi cairan jarang ditemukan [12].
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat
menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara
IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat
juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus
0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi,
dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada
pasien dengan hipertensi [13].
Tabel 3. Obat Uterotonik
Jenis dan Oksitosin Ergometrin Misoprostol
cara
Dosis dan IV : Infus 20 unit dalam 1 I.M atau I.V (secara perlahan) Oral atau rectal
cara liter larutan garam fisiologis 0,2 mg 400 ug
pemberian dengan 60 tetesan permenit
I.M : 10 unit
Dosis Infus : Infus 20 unit dalam 1 Ulangi 0,2 mg I.M, setelah 15 400 ug 2-4
lanjutan liter larutan garam fisiologis menit. Jika masih diperlukan setelah dosis
dengan 40 tetes/menit berikan 0,2 IV/IM setiap 2-4 awal
jam
Dosis Tidak lebih dari 3 liter Total 1 mg atau 5 dosis Total 1200 ug
maksimal larutan dengan oksitosin atau 3 dosis
perhari
Kontraindika Tidak boleh member i.v Pre-eklampsia, hipertensi, Jangan beri
si dan hati- secara cepat atau bolus penyakit jantung secara IV,
hati Asthma
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil
prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal,
transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau
IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg.
Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5
tablet 200 µg = 1 g) [12].
Prostaglandin merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat
menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit
kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus,
bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang
menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan
peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen.

15
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular,
pulmonal, dan disfungsi hepatik [4].
Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian
besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin
efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan
angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar
disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika
ini untuk mengatasi perdarahan masif yang terjadi [11].
2.3.5.4. Penanganan Atonia Uteri [9]
Penanganan Umum [8] [9]
1. Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan fasilitas
tindakan gawat darurat.
2. Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk tanda
vital(TNSP).
3. Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika tanda -tanda syok
tidak terlihat, ingatlah saat melakukan evaluasi lanjut karena status ibu
tersebut dapat memburuk dengan cepat.
4. Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok.oksigenasi dan pemberian
cairan cepat, Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan
untuk persiapan transfusi darah.
5. Pastikan bahwa kontraksi uterus baik:
6. Lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan darah
yang terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus yang
efektif. berikan 10 unit oksitosin IM
7. Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.
8. Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks,
vagina, dan perineum.
9. Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti), periksa
kadar Hemoglobin [5]:
1. Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia

16
berat):berilah sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg ditambah
asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;
2. Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60 mg
ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;
Penanganan Khusus [3] [8]
1. Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
2. Teruskan pemijatan uterus.Masase uterus akan menstimulasi kontraksi
uterus yang menghentikan perdarahan.
3. Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
4. Jika uterus berkontraksi.Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi
perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan
serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
5. Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan darah atau
selaput ketuban dari vagina & ostium serviks. Pastikan bahwa kandung
kemih telah kosong
2.3.5.5. Penggunaan Balon Kateter dan Kondom Kateter
Pada kondisi di mana rujukan tidak memungkinkan dan semua upaya
menghentikan perdarahan tidak berhasil maka alternative yang mungkin dapat
dilakukan adalah pemasangan balon kateter dengan menggunakan Sengstaken-
Blakemore tube, Rusch hidrostatik balloon kateter (Folley catheter) atau SOS
Bakri tamponade balloon catheter. Cara penggunaannya dengan menginsersikan
balon pada uterus kemudian dikembangkan dengan menggunakan cairan saline
sebanyak 500 ml lalu dapat dipasang tampon kasa pada vagina untuk menjaga
balon tetap di berada dalam uterus serta untuk mengevaluasi perdarahan, dan
dilepas 24-48 jam kemudian [9].
Pada tahun 2003 Sayeba Akhter dkk mengajukan alternatif baru dengan
pemasangan kondom yang diikatkan pada kateter. Dari penelitiannya disebutkan
angka keberhasilannya 100% ( 23 berhasil dari 23 PPH ), kondom dilepas 24 – 48
jam kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang berat. Indikasi pemasangan
kondom sebagai tampon tersebut adalah untuk PPH dengan penyebab Atonia
Uteri. Cara ini kemudian disebut dengan Metode Sayeba. Metode ini digunakan

17
sebagai alternatif penanganan HPP terutama sambil menunggu perbaikan keadaan
umum, atau rujukan [9].

Gambar 4. Bakri ballon, Rusch hidrostatik balloon kateter (Folley catheter), dan
Sengstaken-Blakemore tube
Cara pemasangan tampon kondom menurut Metode Sayeba adalah secara
aseptik kondom yang telah diikatkan pada kateter dimasukkan kedalam cavum
uteri. Kondom diisi dengan cairan garam fisiologis sebanyak 250-500 cc sesuai
kebutuhan. Dilakukan observasi perdarahan dan pengisian kondom dihentikan
ketika perdarahan sudah berkurang. Untuk menjaga kondom agar tetap di cavum
uteri, dipasang tampon kasa gulung di vagina [5]. Bila perdarahan berlanjut
tampon kassa akan basah dan darah keluar dari introitus vagina. Kontraktilitas
uterus dijaga dengan pemberian drip oksitosin paling tidak sampai dengan 6 jam
kemudian. Diberikan antibiotika tripel, Amoksisilin, Metronidazol dan
Gentamisin. Kondom kateter dilepas 24-8 jam kemudian, pada kasus dengan
perdarahan berat kondom dapat dipertahankan lebih lama [9].
2.3.5.6. Operatif
Ligasi Arteri Uterina
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka
keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan
disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC,
ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan
ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai.
Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa
uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum

18
lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi
harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk
menyertakan 2-3 cm miometrium [8].
Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika
terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika
urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm
dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang
arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke
servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau
unilateral ligasi vasa ovarian [8].
Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel
dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian
dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem
dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable
dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka
interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan
sebelum dan sesudah ligasi. Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka
yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien [8].
Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh
Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi
perdarahan pospartum akibat atonia uteri [8].

19
Gambar 12..Teknik B-Lynch pada penanganan Atonia Uteri
Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika
terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif.
Insidensi mencapai 7-13/10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada
persalinan abdominal dibandingkan vagina [9].
2.3.6. Pencegahan Atonia Uteri
Manajemen Aktif Kala III [9]
 Suntikan Oksitosin 10 IU im
 Peregangan Tali Pusat Terkendali
Jika tali pusat terlihat bertambah panjang dan terasa adanya pelepasan
plasenta, minta ibu meneran sedikit sementara tangan kanan menarik tali pusat ke
arah bawah kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan lahir. Bila tali pusat
bertambah panjang tetapi belum lahir, dekatkan klem ± 5-10 cm dari vulva. Bisa
dikombinasikan dengan metode BA (dorongan uterus dari atas simfisi pubis ke
arah dorso kranial) [8]. Bila plasenta belum lepas setelah langkah diatas selama 15
menit, Suntikan ulang 10 IU Oksitosin i.m. Periksa kandung kemih, lakukan
kateterisasi bila penuh, Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan
plasenta manual. Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus
uteri dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari
tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras). Memeriksa
kemungkinan adanya perdarahan pasca persalinan [10].

20
21
BAB 3
KESIMPULAN

Atonia uteri adalah gagalnya uterus untuk mempertahankan kontraksi


dan retraksi normalnya dimana tidak mampunya otot rahim untuk berkontraksi
dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri. Atonia uteri dapat terjadi
pada ibu hamil dan melahirkan dengan factor predisposisi seperti overdistention
uterus, umur, multipara, salah pimpinan kala III, penggunaan oksitosin berlebih,
riwayat perdarahan, persalinan yang cepat, kelainan plasenta serta penyakit
sekunder maternal, dan lain-lain. dan gejala atonia uteri adalah perdarahan
pervaginam, konsistensi rahim lunak, fundus uteri naik dan terdapat tanda-tanda
syok. ditegakkan bila setelah bayi dan placenta lahir dan perdarahan masih aktif
dan banyaknya 500–1.000 cc, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus
masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Dalam upaya
mencegah atonia uteri ialah melakukan pananganan kala tiga secara aktif. Atonia
uteri dapat ditangani dengan menegakkan diagnosis kemudian memberi tindakan
masase uterus, kompresi bimanual, pemberian oktsitosin, dan memasang infus.
Jika tindakan berhasil atau perdarahan terkontrol maka tranfusi darah dan rawat
lanjut dengan okservasi ketat. Jika perdarahan masih berlangsung lakukan transisi
darah dan histerektomi.

22
DAFTAR PUSTAKA

[1] WHO. Reducing the Global Burden: Postpartum Haemorrhage. Making Pregnancy
Safer. 2007.

[2] World Health Organization: Postpartum hemorrhage and retained placenta. In:
WHO guidline: Geneva: World Health Organization. 2009.

[3] Febrianto H.N. Perdarahan Pasca Persalinan. Fakultas Kedokteran. Universitas


Sriwijaya. 2007.

[4] C. V-Lynch, L. G. Keith,A. B. Lalonde, and M. Karoshi, Eds. A Textbook of Postpartum


Hemorrhage. A Comprehensive Guide to Evaluation, Management and Surgical
Intervention. Sapiens Publishing. 2006.

[5] Prawirohardjo S, Wijknjosastro H, Sumapraja S, Saifuddin AB. Ilmu Kandungan. Edisi


ketiga. Jakarta : PT.Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2011.

[6] Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Gilstrap, L., & Wenstrom,
K. D., "Maternal Anatomy," in Williams Obstetrics (24th Edition ed.), New York, The
McGraw-Hill Companies, 2014.

[7] Guyton, A. C., Hall, J. E., Buku ajar fisiologi kedokteran, Jakarta: EGC, 2013.

[8] Foley MR, Strong TH, Garite JT. PostPartum Hemorrhage. In : Obstetric Intensive
Care Manual. Third edition. McGraw-Hill. United States. 2011.

[9] Pelatihan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar. Atonia Uteri. Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar.2008.

[10] Sentilhes L, Vayssière C, Deneux-Tharaux C, et al. Postpartum hemorrhage:


guidelines for clinical practice from the French College of Gynaecologists and
Obstetricians (CNGOF): in collaboration with the French Society of Anesthesiology
and Intensive Care, "Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2016".

[11] Begley CM, Gyte GM, Devane D, McGuire W, Weeks A. Active versus expectant
management for women in the third stage of labour. Cochrane Database Syst Rev.
2015 .

23
[12] Westhoff G, Cotter AM, Tolosa JE. Prophylactic oxytocin for the third stage of labour
to prevent postpartum haemorrhage. Cochrane Database Syst Rev. 2013.

[13] Oladapo OT, Fawole B, Blum J, Abalos E. Advance distribution of misoprostol for
preventing and treating excessive blood loss after birth. Cochrane Database of
Systematic Reviews. February 15, 2012.

24

You might also like