You are on page 1of 43

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN

TRAUMA KEPALA

Disusun Oleh:

Kelompok 9

1. Febby Dwi Rimayanti (14.401.16.027)


2. Febrian Putra Catur Permana (14.401.16.028)
3. Fida Nur Wulandari (14.401.16.029)

AKADEMI KESEHATAN RUSTIDA

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

KRIKILAN-GLENMORE-BANYUWANGI

2018/2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai
perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa terputusnya kontinuitas otak. Trauma
serebral adalah suatu bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam
menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan.
Fokus utama dalam pengkajian dan manajemen trauma kepala adalah memproteksi otak.
Walaupun otak hanya merupakan 2% dari berat badan, otak bertanggungjawab terhadap
20% konsumsi oksigen istirahat dan demam 15% curah jantung untuk mencapai
pemenuhan kebutuhan metabolisme (Krisanty, et al., 2009).
Sejumlah kecil volume jaringan, darah, LCS, atau edema tambahan dapat
ditambahkan ke dalam isi intrakranial tanpa meningkatkan tekanan intrakranial.
Perburukan keadaan umum atau kematian dapat terjadi peningkatan ICP yang menggeser
pusat-pusat vital di dalam batang otak, atau mengganggu perfusi ke otak. Tekanan
perfusi otak(cerebral perfusion pressure/CPP), yang didefinisikan sebagai tekanan arteri
rata-rata (mean arterial pressure/MAP) dikurangi ICP, adalah tenaga pendorong sirkulasi
melalui dasar pada cedera otak iskemik sekunder dan menyebabkan terjadinya keadaan
gawat darurat yang memerlukan perhatian segera (Alamsyah, 2013).
Otak secara khusus mempunyai demam tinggi terhadap metabolisme-oksigen 49
mL/menit dan glukosa 60mg/menit. Sangat mudah untuk diterima bahwa usaha awal
paska trauma adalah mempertahankan oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk fungsi-
fungsi otak. Hipoglikemia dapat menyebabkan terjadinya gangguan aktivitas neuronal,
kejang, koma, dan kematian. Jika sel-sel otak tidak bekerja secara benar, sistem tubuh
lainnya juga secara negatif terpengaruh dan disfungsi siklus organ yang berbahaya terjadi
pada beberapa sistem tubuh. Resusitasi awal otak secara berfrekuensi akan termasuk
tidak hanya penatalaksanaan oksigen secara agresif tetapi koreksi hipoglikemia melalui
penatalaksanaan 50 mL dari 50 % dextrose, bersama dengan 100 mg thiamine untuk
mencegah enchelopati wernicke (Krisanty, et al., 2009).

1
B. Batasan Masalah
Untuk memperkecil angka kematian, membatasi penularan, serta penyebaran
penyakit agar wabah tidak meluas.

C. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Trauma Kepala ?
2. Bagaimana etiologi dari Trauma Kepala ?
3. Bagaimana tanda dan gejala dari Trauma Kepala ?
4. Bagaimana patofisiologi dari Trauma Kepala?
5. Bagaimana klasifikasi dari Trauma Kepala?
6. Bagaimana komplikasi pada Trauma Kepala?
7. Bagaimana asuhan keperawatan dari Trauma Kepala ?

D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran mata Kuliah Medikal Bedah II diharapkan mahasiswa
mampu mengetahui dan memahami konsep penyakit Trauma Kepala dan mampu
melaksanakan Asuhan Keperawatan pada klien yang mengalami Trauma Kepala
dengan sekumpulan gejala klinis yang berat.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi Trauma Kepala
b. Untuk mengetahui etiologi Trauma Kepala
c. Untuk mengetahui tanda dan gejala Trauma Kepala
d. Untuk mengetahui patofisiologi pada Trauma Kepala
e. Untuk mengetahui klasifikasi Trauma Kepala
f. Untuk mengetahui komplikasi pada Trauma Kepala
g. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada Trauma Kepala

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansi alba, iskemia, dan pengaruh massa
karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak (Batticaca, 2012).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai
perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa terputusnya kontinuitas otak.
Trauma serebral adalah suatu bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak
dalam menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosional, sosial dan
pekerjaan (Krisanty, et al., 2009).
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan
otak (Nurarif, Amin Huda; Kusuma, Hardhi, 2016).

2. Etiologi
1. Kekurangan suplai oksigen yang menuju otak
2. Pecahnya pembuluh darah di otak karena kerapuhan pembuluh darah otak
3. Adanya sumbatan bekuan darah di otak (Batticaca, 2012).

Menurut (Alamsyah, 2013) penyebab trauma kepala adalah karena terjadinya


peningkatan ICP , perubahan intraserebri, perdarahan subrajnoid (SAH) dengan
hidrosefalus, dan gagal hati fulminan. Sebagai contoh, pada hidrosefalus akibat SAH,
penyebab utamanya adalah peningkatan ICP adalah gangguan drainase LCS, dalam
keadaan ini drainase LCS di ventrikel mungkin sudah memadai. Pada trauma kepala
sitotoksik mungkin adalah yang paling banyak menyebabkan hidrosefalus, dan
penggunaan obat-obat diuretika osmotik seperti manitol menjadi langkah awal yang
baik (Alamsyah, 2013).

3
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-
deselerasi,coup-countre coup, dan cedera rotasional.

1. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak (misalnya alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang
ditembakkan kekepala)
2. Cedera Deselerasi tejadi jika kepala yang bergerak membentur obyek diam,
seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan
mobil
3. Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan
bermotor dan episode kekerasan fisik
4. Cedera Coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak
bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak
yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentus. Sebagai contoh
pasien dipukul dibagian belakang kepala
5. Cedera rotasional terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam
rongga tengkorak, yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak
(Nurarif, Amin Huda; Kusuma, Hardhi, 2016).

3. Tanda dan gejala


Pada pemeriksaan klinis biasa yang dipakai untuk menentukan cedera kepala
menggunakan pemeriksaan GCS yang dikelompokkan menjadi cidera kepala ringan,
sedang, dan berat seperti diatas. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya
menunjukkan adanya fraktur :
a. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur
b. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CCS keluar dari telinga dan hidung
c. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah (Nurarif,
Amin Huda; Kusuma, Hardhi, 2016).
Kondisi cedera kepala yang dapat terjadi antara lain :
1. Komosio serebri

4
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tatapi hanya kehilangan funsi otak sesaat
(pingsan <10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala (Nurarif, Amin Huda;
Kusuma, Hardhi, 2016).

2. Kontusio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan > 10 menit) atau
terdapat lesi neurologik yang jelas. Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian
besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi
pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dalam waktu beberapa jam atau
hari, dapat berubah menjadi peradarahan intraserebral yang membutuhkan
tindakan operasi (Nurarif, Amin Huda; Kusuma, Hardhi, 2016).
3. Lasserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur terbuka pada
kranium (Nurarif, Amin Huda; Kusuma, Hardhi, 2016).
4. Epidural Hematom (EDH)
Hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah
robeknya arteri meningea media. Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan
ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan kanan. Gambaran CT Scan area hiperdens
dengan bentuk bokonvek atau lentikuler diantara 2 sutura. Jika perdarahan >20 cc
atau >1 cm midline shift > 5mm dilakukan operasi untuk menghentikan
perdarahan (Nurarif, Amin Huda; Kusuma, Hardhi, 2016).
5. Subdural hematom (SDH)
Hematom dibawah lapisan durameter dengan sumber peradarahan dapat berasal
dari Bridging vein, a/v cortical. Sinus venous. Subdural hematom adalah
terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat terjadi akut atau
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena, peradarahan lambat dan
sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam- 2 hari, 2 minggu atau beberapa
bulan. Gejala-gejalanya adalah nyeri kepala, bingung, mengantuk, berpikir
lambat, kejang dan udem pupil, dan secara klinis ditandai dengan penurunan
kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa
hemiparese/plegi. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran hiperdens

5
yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi jika perdarahan tebalnya >
1cm dan terjadi pergeseran garis tengan > 5 mm (Nurarif, Amin Huda; Kusuma,
Hardhi, 2016).
6. SAH (Subarachnoid Hematom)
Merupakan perdarahan fokal di daerah subarachnoid. Gejala klinisnya
menyerupai kontusio serebri. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan lesi
hiperdens yang mengikuti arah girus-girus serebri di daerah yang berdekatan
dengan hematom (Nurarif, Amin Huda; Kusuma, Hardhi, 2016).
7. ICH (Intracerebral hematom)
Adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan
pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Pada pemeriksaan CT scan
didapatkan lesi perdarahan di antara neuron otak yang relatif normal. Indikasi
dilakukan operasi adanya daerah hiperdens, diameter > 3 cm, perifer, adanya
pergeseran garis tengah (Nurarif, Amin Huda; Kusuma, Hardhi, 2016).
8. Fraktur basis kranii
Biasanya,melibatkan tulang temporal, oksipital,sphenid dan etmoid. Terbagi
menjadi fraktur basis kranii anterior dan posterior. Pada fraktur anterior
melibatkan tulang temporal, oksipital, sedangkan fraktur posterior melibatkan
tulang temporal, oksipital dan beberapa bagian tulang sphenoid. Tanda terdapat
fraktur basis kranii antara lain :
a. Ekimosis perorbital
b. Ekimosis mastoid
c. Keluar darah beserta cairan serebrospinal dari hidung atau telinga
d. Kelumpuhan nervus cranial (Nurarif, Amin Huda; Kusuma, Hardhi, 2016).
Menurut (Krisanty, et al., 2009) manifestasi klinik dibagi :
a. Peningkatan TIK, dengan manifestasi sebagai berikut :
1. Trias TIK: penurunan tingkat kesadaran, gelisah/ iritable, papil edema,
muntah proyektil
2. Penurunan fungsi neurologis, seperti: perubahan bicara, perubahan reaksi
pupil, sensori motorik berubah
3. Sakit kepala, mual, pandangan kabur (diplopia)

6
b. Fraktur tengkorak, dengan manifestasi sebagai berikut:
1. CSF atau darah mengalir dari telinga dan hidung
2. Perdarahan dibelakang membran timpani
3. Periorbital ekhimosis
4. Battle’s sign (memar di daerah mastoid)
c. Kerusakan saraf cranial dan telinga tengah dapat terjadi saat kecelakaan terjadi
atau kemudian dengan manifestasi sebagai berikut :
1. Perubahan penglihatan akibat kerusakan nervus optikus
2. Pendengaran berkurang akibat kerusakan nervus audiotory
3. Hilangnya daya penciuman akibat kerusakan nervus olfaktorius
4. Pupil dilatasi, ketidakmampuan mata bergerak akibat kerusakan nervus
okulomotor
5. Vertigo akibat kerusakan otolith di telinga tengah
6. Nistagmus karena kerusakan sistem vestibular
d. Komosio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut:
1. Sakit kepala- pusing
2. Retrograde amnesia
3. Tidak sadar lebih dari atau sama dengan 5 menit
e. Kontusio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut :
Terjadi pada injuri berat, termasuk fraktur servikalis
1. Peningkatan TIK
2. Tanda dan gejala herniasi otak
a. Kontusio serebri
Manifestasi tergantung area hemisfer otak yang kena. Kontusio pada
lobus tmporal: agitasi, confuse, kontusio frontal, hemiparese, klien sadar,
kontusio frontotemporal, aphasia
b. Kontusio batang otak
1. Respon segera menghilang dan pasien koma
2. Penurunan tingkat kesadaran terjadi berhari- hari, bila kerusakan berat
3. Pada sistem riticular terjadi comatuse permanen
4. Pada perubahan tingkat kesadaran:

7
- Respirasi: dapat normal/periodek/cepat
- Pupil: simetris kontriksi dan reaktif
- Kerusakan pada batang otak bagian atas pupil abnormal
- Gerakan bola mata: tidak ada (Krisanty, et al., 2009).

4. Patofisiologi
Suatu sentakan traumatik pada kepala menyebabkan cedera kepala. Sentakan
biasanya tiba-tiba dan dengan kekuatan penuh, seperti jatuh, kecelakaan kendaraan
bermotor, atau kepala terbentuk. Jika sentakan menyebabkan suatu trauma akselerasi-
deselarasi atau cuop-counteroup, maka kontusio serebri dapat terjadi. Trauma
akserelasi-deselarasi dapat terjadi langsung dibawah sisi yang terkena ketika otak
terpantul kearah tengkorak dari kekuatan suatu sentakan (suatu pukulan benda
tumpul, sebagai contoh), ketika kekuatan sentakan mendorong otak terpantul kearah
sisi berlawanan tengkorak, atau ketika kepala terdorong kedepan dan terhenti
seketika. Otak terus bergerak dan terbentur kembali ke tengkorak (akselerasi) dan
terpantul (deselerasi) (Krisanty, et al., 2009).
Trauma kepala dapat langsung menyebabkan kehilangan kesadaran. Jika trauma
itu sementara dan tidak diikuti oleh patologi otak berat lainnya selain amnesia yang
terjadidalam waktu yang singkat, trauma itu disebut konkusio. Perubahan kesadaran
dalam jangka panjang mungkin disebabkan oleh hematoma parenkim, hematoma
subdural, atau hematoma epidural atau pada robekan akson-akson difus di substansia
alba. Pada pasien-pasien yang mengalami rinorea LCS, hemotimpanum, dan ekimosis
periorbital atau ekimosis mastoid, sebaiknya dicurigai adanya fraktur tengkorak
(Alamsyah, 2013).

8
5. Klasifikasi
a. Cedera Kulit Kepala
Luka pada kulit kepala merupakan tempat masuknya kuman yang dapat
menyebabkan infeksi intrakranial. Trauma dapat menyebabkan
abrasi,kontusio,laserasi, avulsi (Batticaca, 2012).
b. Fraktur Tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak yang disebabkan
oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur
tengkorak dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak juga
dapat terbuka atau tertutup. Pada fraktur tengkorak terbuka terjadi kerusakan pada
dura meter sedangkan pada frakur tertutup keadaan dura meter tidak rusak .
(Batticaca, 2012).
c. Cedera otak
Penimbangan paling penting pada cedera kepala manapun adalah apakah otak
telah atau tidak mengalami cedera. Cedera minor dapat menyebabkan kerusakan
otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat
tertentu yang bermakna. Sel-sel otak membutuhkan suplai darah terus-menerus
untuk memperoleh nutrisi. Kerusakan otak bersifat irreversible (permanen atau
tidak dapat pulih). Sel-sel otak yang mati diakibatkan karena aliran darah berhenti
mengalir hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami
regenerasi. Cedera otak serius dapat terjadi,dengan/atau tanpa fraktur tengkorak,
setelah pukulan atau cedera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi,
perdarahan (Batticaca, 2012).
d. Komusio serebri (cedera kepala ringan)
Setelah cedera kepala ringan, akan terjadi kehilangan fungsi neurologis sementara
dan tanpa kerusakan struktur. Komosio umumnya meliputi suatu periode tidak
sadar yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit. Keadaan
komosio ditunjukkan dengan gejala pusing atau berkunang-kunang dan dan
terjadi kehilangan kesadaran penuh sesaat. Jika jaringan otak di lobus frontal
terkena, klien akan berperilaku sedikit aneh, sementara jika lobus-lobus frontal

9
terkena, klien akan berperilaku sedikit aneh, sementara jika lobus temporal yang
terkena maka akan menimbulkan amnesia dan disorientasi (Batticaca, 2012).
e. Kontusio serebri (cedera kepala berat)
Merupakan cedera kepala berat, di masa otak mengalami memar dengan
memungkinkan adanya daerah yang mengalami perdarahan. Klien berada pada
periode tidak sadarkan diri. Gejala akan timbul dan lebih khas. Klien terbaring
kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernapasan dangkal, kulit dingin dan
pucat. Sering terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari. Klien dapat
diusahakan bangun tetapi segera masuk kembali ke dalam keadaan tidak sadar.
Tekanan darah dan suhu abnormal dan gambaran sama dengan syok. Umumnya
individu yang mengalami cedera luas mengalami fungsi motorik abnormal,
gerakan mata abnormal, dan peningkatan TIK yang merupakan prognosis buruk.
Sebaliknya klien dapat mengalami pemulihan kesadaran penuh dan mungkin
melewati tahap peka rangsang serebral (Batticaca, 2012).
f. Hemoragik intrakranial
Penggumpalan darah (hematoma) yang terjadi di dalam kubah kranial adalah
akibat yang serius dari hemoragik cedera kepala, penimbunan darah pada rongga
epidural, subdural, atau intraserebral, bergantung pada lokasinya. Deteksi dan
penanganan hematoma sering kali lambat dilakukan sehingga akhirnya hematoma
tersebut cikup besar untuk menyebabkan distorsi dan herniasi otak serta
peningkatan TIK. Tanda dan gejala dari iskemik serebral yang dilakukan oleh
kompresi karena hematoma bervariasi dan bergantung pada kecepatan dimana
daerah vital pada anak terganggu. Umumnya, hematoma kecil yang terbentuk
dengan cepat akan menjadi fatal sedangkan hematoma yang terbentuk secara
lmbat akan memunginkan klien untuk beradaptasi (Batticaca, 2012).
g. Hematoma epidural (hematoma ekstradural atau hemoragik)
Setelah cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural)
diantara tengkorak dan dura meter. Keadaan ini sering diakibatkan karena terjadi
fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau
rusak (laserasi) dimana arteri ini berada di antara dura meter dan tengkorak daerah

10
inferior menuju bagian tipis tulang temporal dan terjadi hemoragik sehingga
menyebabkan penekanan pada otak (Batticaca, 2012).
h. Hematoma subdural
Adalah pengumpulan darah pada ruang diantara dura meter dan dasar otak, yang
pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma subdural yang paling sering
disebabkan karena trauma , tetapi dapat juga terjadi karena kecenderungan
perdarahan yang serius dan aneurisma. Hematoma subdural lebih sering terjadi
vena dan merupakan akibat dari putusnya pembuluh darah kecil yang
menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut,
atau kronis, bergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah
peradarahan yang terjadi. Hematoma subdural akut dihubungkan dengan cedera
kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya klien dalam keadaan
koma atau mempunyai tanda klinis yang sama dengan hematoma epidural,
tekanan darah meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernapasan cepat
sesuai dengan peningkatan hematoma yang cepat (Batticaca, 2012).
i. Hemoragik intraserebral dan hematoma
Adalah perdarahan ke dalam substansia otak. Hemoragik ini biasanya terjadi pada
cedera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera
peluru atau luka tembak,cedera tumpul). Hemoragik ini di dalam otak mungkin
juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik yang menyebabkan degenerasi dan
ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneurisma, anomali vaskular, tumor
intrakranial, penyebab sistemik gangguan perdarahan seperti leukemia,
hemofilia,anemia aplastik, dan trombositopenia, dan komplikasi terapi
ankoagulan (Batticaca, 2012).
Menurut penyebabnya cedera kepela dibagi atas :
a. Trauma tumpul
Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang menyebar. Berat
ringannya cedera terjadi tergantung pada proses akselerasi-deselarisasi,
kekuatan benturan dan kekuatan rotasi normal. Rotasi internal dapat
menyebabkan perpindahan cairan dan perdarahan petekie karena pada saat
otak “bergeser” akan terjadi “pergsesekan” antara permukaan otak dengan

11
tonjolan-tonjolan yang terdapat di permukaan dalam tengkorak laserasi
jaringan otak sehingga mengubah integritas vaskular otak (Krisanty, et al.,
2009).
b. Trauma tajam
Disebabkan oleh pisau atau peluru, atau fragmen tulang pada fraktur tulang
tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan gerak benda tajam tersebut
menancap ke kepala atau otak. Kerusakan terjadi hanya pada area dimana
benda tersebut merobek otak (lokal). Obyek velocity tinggi (peluru)
menyebabkan kerusakan struktur otak yang luas. Adanya luka terbuka
menyebabkan risiko infeksi (Krisanty, et al., 2009).
c. Coup dan contracoup
Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada daerah benturan sedangkan
pada cedera contracoup kerusakan terjadi pada sisi yang berlawanan dengan
cedera coup (Krisanty, et al., 2009).
Menurut berat ringannya trauma, hudak dkk (1996) membagi cedera kepala
sebagai berikut :
1. Cedera kepala ringan
a. Nilai GCS 13-15
b. Amnesia kurang dari 30 menit
c. Trauma sekunder dan trauma neurologis tidak ada
d. Kepala pusing beberapa jam sampai beberapa hari (Krisanty, et al., 2009).
2. Cedera kepala sedang
a. Nilai GCS 9-12
b. Penurunan kesadaran 30 menit – 24 jam
c. Terdapat trauma sekunder
d. Gangguan neurolgis sedang (Krisanty, et al., 2009).
3. Cedera kepala berat
a. Nilai GCS 3-8
b. Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam sampai berhari-hari
c. Terdapat cedera sekunder: kontusio, fraktur tengkorak, perdarahan dan
atau hematoma intrakranial (Krisanty, et al., 2009).

12
13
6. Komplikasi
1. Perdarahan subaraknoid,yaitu sakit kepala berat dan mendadak, sering disertai
dengan kehilangan kesadaran sementara pada saat mulai timbulnya, sering terjadi
muntah-muntah. Perdarahan mungkin mencederai jaringan otak di dekatnya dan
menyebabkan terjadinya defisit neurologis fokal. Kelumpuhan progresif pada
saraf kranialis ketiga, biasanya melibatkan pupil, disertai dengan sakit kepala
menandakan adanya aneurisma arteri komunikans posterior. Selain gejala klinis
yang dramatis, aneurisma mungkin mengalami ruptur kecil dengan kebocoran
darah ke dalam rongga subaraknoid (perdarahan sentinel) (Alamsyah, 2013).
2. Hidrosefalus
Hidrosefalus berat mungkin memerlukan pemasangan kateter ventrikel darurat
untuk drainase LCS eksternal, beberapa pasien memerlukan pemasangan shunt
permanen. Memburuknya SAH pada pasien dalam jam-jam hingga hari-hari
pertama sebaiknya mendorong untuk dilakukannya CT scan ulang untuk
mengevaluasi ukuran ventrikel (Alamsyah, 2013).
3. Vasospasme somtomatis
Adalah penyebabnya utama mortlitas dan mordibitas setelah terjadinya ruptur,
vasospasme dapat terjadi pada hari keempat dan berlanjut hingga hari ke 14,
menyebabkan iskemia fokal dan dapat menyebabkan stroke. Terapi dengan
antagonis saluran kalsium yaitu nimodipin (60 mg secara PO setiap 4 jam)
memperbaiki hasil akhir, mungkin dengan cara mencegah cedera iskemik alih-alih
mengurangi risiko terjadinya vasospasme. Pada vasospasme smtomatis, perfusi ke
otak dapat diperbaiki dengan cara meningkatkan tekanan arteri rata-rata dengan
menggunakan obat-obat vasopresor seperti fenilefrin atau norepineprindan
volume intravaskular dapat ditambah dengan memberikan kristaloid, sehingga
menambah curah jantung dan mengurangi viskositas darah dengan mengurangi
viskositas darah dengan mengurangi hematokrit, terapi yang diebut dengan triple
H (hipertensi, hematokrit,hipervolemic) (Alamsyah, 2013).

14
Menurut (Batticaca, 2012) komplikasinya :
1. Edema serebral dan herniasi
2. Defisit neurologis
3. Infeksi sistemik (pneumonia, ISK, septikemia)
4. Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventrikulitis, abses
otak
5. Osfikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang menunjang berat badan)

15
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Cidera kepala sebagian besar terjadi karena kecelakaan lalulintas dan bisa
menganca pada usia berapapun baik laki-laki maupun perempuan. Kejadian cidera
kepala di Amerika Serikat setiap tahunnyadidapatkan laki-laki sebesar 29 (68,4%)
perempuan yang mengalami cidera kepala ringan dan berat 14 (31,5%). Pasien
dengan CKR sebanyak 21 (48,8%), cidera kepala sedang (CKS) 8 (18,6%), cidera
kepala berat (CKB) 14 (32,5%) (Mansjoer, 2012).
b. Status kesehatan saat ini
1) Keluhan Utama
Keluhan-keluhan pertama dan timbulnya tanda-tanda mengantuk dan
sukar bangun, sukar bicara, gejala pusing berkunang-kunang,cemas, sakit
kepala, konvulsi (kejang), sakit kepala berat, muntah, dan kelemahan pada
salah satu sisi tubuh, dan terjadi kehilangan kesadrah pnuh sesaat, sypok
akibat cedera multisistem (Batticaca, 2012).
2) Alasan Masuk Rumah Sakit
Indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera kepala ringan adalah
amnesia antegrade/pascatraumatik, adanya keluhan nyeri kepala mulai dari
derajat yang moderat sampai berat, adanya riwayat penurunan
kesadaran/pingsan, intoksikasi alkohol atau obat-obatan, adanya fraktur tulang
tengkorak, adanya kebocoran likuor serebro-spinalis (ottore/rinorre), cedera
berat bagian tubuh lain, mengantuk dan sukar dibangunkan, mual muntah dan
pusing hebat, salah satu pupil melebar atau adanya tampilan gerakan mata
yang tidak biasa, kelumpuhan anggota gerak salah satu sisi dan kejang, nyeri
kepala yang hebat atau bertambah hebat (Nurarif & Kusuma, 2016).
3) Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang pasien tidak sadar atau
anamnesis setelah cedera kepala menunjukkan derajat kerusakan otak yang

16
berarti, dimana perubahan selanjutnya dapat menunjukkan pemulihan atau
terjadinya kerusakan otak sekunder (Batticaca, 2012).

c. Riwayat kesehatan terdahulu


1. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pada pengkajian riwayat penyakit sebelumnya tidak terjadi cidera kepala dan
tidak pernahmelakukan pembedahan sebelumnya (Batticaca, 2012).
2. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada pengakjian riwayat penyakit keluarga sebelumnya apakah terdapat
penyakit kronis (penyakit jantung, hipertensi, maupun gula) dan apakah
pernah dirawat di Rumah Sakit sebelumnya (Mansjoer, 2012).
3. Riwayat pengobatan
Pada klien trauma kepala pengobatan pada kejang pertama Fenition 200 mg
dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari, pada status epilepsi diberikan diazepam 10
mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cenderung berulang 50-100 mg/500
ml Nacl 0,9 % dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru
oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain
misalnya Fenitoin (WA, 2010).

d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
a) Kesadaran : Pada pasien hepatitis trauma kepala tingkat kesadaran pasien
mengalami penurunan kesadaran karena peningkatan TIK dan disebabkan
karena adanya ketidakseimbangan antara volume intrakranial dengan isi
kranium (Krisanty, et al., 2009).
b) Tanda-tanda vital
Seharusnya teratur diukur, sejak tanda-tanda vital mungkin memberikan
petunjuk adanya perkembangan syok sebaik adanya peningkatan TIK.
Monitor harus dilakukanyntuk pengukuran oksimetri, pembacaan EKG,
dan tekanan darah, dan untuk pengkajian suhu konstan (Krisanty, et al.,
2009).

17
1. Tekanan darah dan nadi aslinya adalah stabil pada awal periode
setelah trauma kepala, tetapi ketika tekanan perfusi serebral menjadi
terancam, karena berbagai sebab, reseptor pressor dalam pusat
vasomotor medulla testimulasi untuk menaikkan tekanan darah.
Elevasi tekanan darah dan pelebaran tekanan nadi adalah refleksi
proses iskemik mempegaruhi medulla peningkatan TIK, atau
disebabkan miokardial, dalam banyak kasus. Tekanan darah rendah
tidaklah spesifik pada trauma neurologi sampai kematian dapat terjadi
segera (Krisanty, et al., 2009).
2. Nadi biasanya lambat dan terikat hubungannya, dengan trauma kepala
mayor. Jika bradikardia muncul, ini mendorong penekanan pada
batang otak, suatu massa dalam fossa posterior, atau suatu trauma
spinal dimana jalur simpatis asenden terputus. Dalam kasus-kasus
peningkatan TIK yang berat, nadi melambat dan penuh, kadangkala
40-50 bpm. Adanya tachikardia menimbulkan hipotensi membutuhkan
resusitasi volume. Nadi yang cepat, tidak beraturan mungkin
mengikuti dekompensasi peningkatan TIK terminal. Disritmia terjadi
pada pasien dengan darah dalam CSF dan berhubungan dengan
gangguan otak tertentu, seperti yang melibatkan fossa posterior
(Krisanty, et al., 2009).
3. RR, pola pernafasan yang mungkin sangat menolong pengkajian
pasien trauma kepala. Pernafasan Cheyne-Stokes dikateristikan dengan
peningkatan dan penurunan kedalaman ekskursi di ikuti dengan suatu
periode apnea. Pola yang dipicu karena peninggian sensitivitas
medulla terhadap karbondioksida. Fase apne berhubungan degan
penurunan simulasi dari hemisfer serebral. Pernafasan Cheyne-Stokes
berhubungan dengan perdarahan kedalam ganglia basalis, kondisi yang
mendorong tekanan pada pusat pernafasan medularis, lesi hemisfer
bilateral dalam serebrum, atau suatu disfunsi serebelum, otak tengah,
dan pons atas. Hiperventilasi neurogenik pusat adalah hiperventilasi
berkelanjutan pada RR 40-50 x/menit (Krisanty, et al., 2009).

18
4. Suhu mungkin berguna dalam pengkajian koma, sejak pasien-pasien
dengan masalah-masalah metabolik mungkin dapat meningkat atau
menurun dari normal yang dimediasi oleh hipotalamus. Ruptur
anerisma ventrikular dan infeksi tertentu dari sistem saraf pusat yang
diikuti dengan peningkatan suhu. Akan tetapi, pada trauma kepala
akut, suhu mungkin berfluktuasi, dan mungkin mengalami baik
hipotermia atau hipertermia (Krisanty, et al., 2009).
2) Body System
a. Kepala
Inspeksi dan palpasi
Trauma yang mengenai kepala dapat diredam oleh rambut dan kulit
kepala. Selanjutnya bagian yang terberat dari benturan diteruskan ke
tengkorak, yang cukup mempunyai elastisitas hingga dapat mendatar, bila
kepala terbentur pada objek yang tumpul atau datar. Bila pendataran
tegkorak melebihi toleransi elastisitas, tulang patah/retak. Hal ini dapat
menyebabkan fraktur linear sederhana, meluas dari pusat pukulan sampai
ke basis. Benturan yang lebih hebat dapat menyebabkan fraktur stellata
dan bila lebih hebat lagi dapat menyebabkan depresi fraktur (WA, 2010).
Saraf I , Pada beberapa biasanya didapatkan keadaan cedera kepala
didaerah yang merusak anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan
mengalami kelainan pada fungsi penciuman/anosmia unilateral atau
bilateral
Saraf II, biasanya timbul Hematoma palpebra pada klien cedera kepala
akan menurunkan lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari
nervus optikus. Perdarahan diruang intrakranial, terutama hemoragia
subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan diretina. Anomali
pembuluh darah didalam otak dapat bermanifestasi juga difundus. Tetapi
dari segala macam kalainan didalam ruang intrakranial, tekanan
intrakranial dapat dicerminkan pada fundus
Saraf III, IV dan VI, Gangguan mengangkat kelopak mata terutama
pada klien dengan trauma yang merusak rongga orbital. Pada kasus-kasus

19
trauma kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap
sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran.
Tanda awal herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada
penyinaran. Paralisis otot – otot okular akan menyusul pada tahap
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana bukannya
midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan
pupil yang normal pada sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang
abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi dilobus frontalis ipsilateral
yang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat
siliospinal menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan
berkonstriksi.
Saraf V, Pada klien trauma kepala beberapa keadaan cedera kepala
menyebabkan paralisis nervus trigenimus, didapatkan penurunan
kemampuan koordinasi gerakan menguyah
Saraf VII, Persepsi pengecapan mengalami perubahan
Saraf VIII, Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala
ringan biasanya tidak didapatkan penurunan apabila trauma yang terjadi
tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis
Saraf IX dan Xl, Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
Saraf XI, Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup
baik dan tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII, Indra pengecapan mengalami perubahan (WA, 2010)
b. Mata
Inspeksi dan palpasi
Inspeksi visual dilakukan dengan instrument oftslmik khusus dan sumber
cahaya. Palpasi biasa dilakukan untuk mengkaji nyeri tekan mata, dan
biasanya pada trauma kepala mata berkunang-kunang, kesulitaan
berkonsentrasim ata penglihatan sedikit kabur. Pasien-pasien ini biasanya
telah mengalami konkusio dan diduga akkan mengalami periode amnesia
singkat, didapatkan pembesaran pupil, abnormalitas perhatian, intelektual,

20
spontanitas meskipun beberapa defisit kognitif mungkin menetap
(Alamsyah, 2013).
c. Telinga
Inspeksi dan palpasi
Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika cairan serebrospinal (CSS) keluar
dari telinga (otore serebrospinal). Keluarnya CSS merupakan masalah
serius karena dapat menyebabkan infeksi seperti meningitis, jika
organisme masuk ke dalam basis kranii melalui telinga atau sinus melalui
robekan pada dura meter. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh
CSS yang mengandung darah (Batticaca, 2012).
d. Hidung
Inspeksi dan palpasi
Keluarnya CSS merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan
infeksi seperti meningitis, jika organisme masuk ke dalam basis kranii
melalui hidung atau sinus melalui robekan pada dura meter. Laserasi atau
kontusio otak ditunjukkan oleh CSS yang mengandung darah. Klien yang
sadar didapatkan biasanya bersin-bersin, keluarnya cairan secara spontan
melalui hidung (Batticaca, 2012).
e. Mulut
Inspeksi dan palpasi
Mengobservasi bentuk, ukuran, warna kulit, dan adanya deformitas atau
inflamasi. Memalpasi apakah ada nyeri tekan terhadap pasien pada bagian
mulut & bibirnya (Muttaqin, Arif, 2012).
f. Leher
Inspeksi dan palpasi
Memulai dengan leher dalam posisi anatomik biasa dengan sedikit
hiperekstensi. Inspeksi kesimetrisan bilateral dari otot leher untuk
menguji fungsi otot sternokleidomastoideus. Periksa adanya pembesaran
kelenjar tiroid (Muttaqin, Arif, 2012).

21
g. Paru-paru
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari
perubahan jaringa cerebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan,
hasil dari pemeriksaaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :
- Inspeksi, biasanya pada klien trauma kepala terjadi peningkatan
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/ dada,
pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak
penuh dan kesimetrisannya. Ketidak simetrisan mungkin menunjukan
adanya atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur
tulang iga, pnemothoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube
trakeostomi yang kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga
perlu dinilai : retraksi dari otot – otot interkostal, substernal, pernapan
abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi).
Pola napas ini dapat terjadi jika otot – otot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada.
- Palpasi biasanya pada klien trauma kepala didapatkan fremitus
menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila
melibatkan trauma pada rongga thoraks.
- Perkusi biasanya pada klien trauma kepala didapatkan biasanya
Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma
pada thoraks/ hematothoraks
- Auskultasi biasanya pada klien trauma kepala didapatkan bunyi napas
tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun
sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan tingkat
kesadaran koma (Mansjoer, 2012).

22
h. Genetalia
Inspeksi dan palpasi
Menginspeksi karakteristik warna kulit sekitar genetalia apa ada
gangguan serta menginspeksi apa ada nyeri tekan hingga benjolan lain
yang didapatkan saat sakit (Muttaqin, Arif, 2012).
i. Jantung
Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada beberapa
keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi
bradikardi, takikardia da aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan adanya
penurunan kadar hemaglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya
perubahan perfusi jaringan dan tanda -tanda awal dari suatu syok. Pada
beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan merangsang
pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak pada kompensasi
tubuh untuk mengeluarkan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh
tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektolit
meningkat sehingga memberikan resiko terjadinya gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskuler (WA,
2010).
j. Muskuloskeletal
Sistem otot dikaji dengan memperhatikan kemampuan megubah posisi,
kekuatan otot pasien serta kelemahan yang dialami. Sendi dilakuakn
dengan tes ROM yang menentukan gerakan sendi normal/tidak. ROM
dibagi menjadi 2 yaitu pasif dan aktif (Muttaqin & Sari, 2011).
k. Abdomen
Pemeriksaan abdomen pasien harus rileks. Otot abdomen yang
mengencang akan menyembunyikan keakuratan palpasi dan auskultasi.
Perawat meminta pasien untuk berkemih sebelum pemeriksaan dimulai.

23
Inspeksi dilakukan dengan cara melihat kondisi abdomen secara
keseluarahan yang nampak (Muttaqin & Sari, 2011).

24
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada trauma kepala, yaitu :
1. Pengkajian neurologi
2. Pemeriksaan CT scan (Batticaca, 2012).
Pemeriksaan penunjang menurut (Nurarif & Kusuma, 2016), yaitu :
1. Foto polos tengkorak (Skull X-ray)
2. Angiografi sereberal
3. Pemeriksaan MRI
4. CT scan : Indikasi ct scan nyeri kepala atau muntah-muntah, penurunan GCS
lebih 1 point, adanya lateralisasi, bradikardia (nadi <60x/menit), fraktur
impresi dengan leteralisasi yang tidak sesuia, tidak ada perubahan selama 3
hari perawatan dan luka tembus akibat benda tajam atau peluru.
Pemantauan tekanan intrakranial dan oksigen jaringan otak dilakukan dengan
sebuah vestrikulostomi memungkinkan drainase cairan serebrospinal untuk
mengobati tekanan intrakranial (ICP) yang meningkat. Monitor serat optik ICP
dan oksigen jaringan otak biasanya difiksir dengan menggunakan kunci
tengkorak yang mirip dengan sekrup. Aliran darah ke otak dan probe
mikrodialisis (tidak diperlihatkan dalam gambar) dapat dipasang dengan cara
yang sama dengan probe oksigen jaringan otak (Alamsyah, 2013, hal. 103).

f. Penatalaksanaan:
A. Perawatan emergensi
1. Primary survey
a) Nilai tingkat kesadaran
b) Lakukan penilaian ABC :
- A-Airway dengan cara kaji apakah ada muntah,perdarahan,
benda asing dalam mulut
- B-Breathing dengan cara kaji kemampuan bernafas, peningkatan
PCO2 akan memperburuk edema serebri.
- C-Circulation dengan cara nilai denyut nadi dan perdarahan.

25
c) Imobilisasi kepala atau leher dengan collar neck atau alat lain
dipertahankan sampai hasil x-ray membuktikan tidak ada fraktur
cervical (Krisanty, et al., 2009).
2. Intervensi primer
a. Buka jalan nafas dengan teknik “jaw-trust” kepala jangan ditekuk, isap
lendir kalau perlu
b. Beri O2 4-6 liter/menit untuk mencegah anoksia serebri
c. Hiperventilasi 20-25 x/menit meningkatkan vasokontriksi pembuluh
darah otak sehingga edema serebri menurun.
d. Kontrol perdarahan, jangan beri tekanan pada luka perdarahan di
kepala, tutup saja dengan kassa, diplester, jangan berusaha
menghentikan alirah darah dari lubang telinga atau hidung dengan
menyumbat/menutup lubang tersebut.
e. Pasang infus (Krisanty, et al., 2009).
3. Secondary survey
a. Kaji riwayat trauma
- Mekanisme trauma
- Posisi klien saat ditemukan
- Memori
b. Tingkat kesadaran
- Nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
c. Ukur tanda-tanda vital
- Hipertensi dan bradikardia menandakan peningkatan TIK
- Nadi irregular atau cepat menandakan disritmia jantung
- Apnea, perubahan pola nafas terdapat pada cedera kepala
- Suhu meningkat dihubungkan dengan heat injuri (trauma panas)
d. Respon pupil, apakah simetris atau tidak
e. Gangguan penglihatan
f. Tanda Battle’s yaitu “blush discoloration” memar di belakang telinga
(mastoid) manandakan adanya fraktur dasar tengkorak.
g. Rinorea atau otorea menandakan kebocoran CSF

26
h. Aktivitas kejang
i. Sunken eyes (mata terdorong ke dalam, satu atau keduanya)
j. Periorbital ecchymosis akan ditemukan pada fraktur anterior basilar
(Krisanty, et al., 2009).
B. Penatalaksanaan jalan nafas dan proteksi spinal cord
Pasien dengan kepala, leher, atau trauma wajah juga diduga mengalami
trauma tulang belakang, maka pencegahan trauma tulang belakang harus
dipertahankan melalui periode pengkajian awal sampai perkembangan trauma
dapat dipastikan. Jalan napas harus dipertahankan tanpa hiperektensi. Teknik
jaw-trust dan manuver chin-lift direkomendasikan untuk mempertahankan
jalan nafas, dan pernafasan mungkin memerlukan bantuan awal dengan suatu
unit bag-valve-mask, sejak kekurangan oksigen berkontribusi pada edema
serebral (Krisanty, et al., 2009).
Otak mempunyai kemmapuan menyimpan suplai oksigen dalam waktu
sungkat (misalnya sekitar 10 detik), sehingga kebutuhan metabolik jaringan
vital menderita pada saat kurangnya ventilasi dan perfusi. Pasien trauma
kepala harus iventilasi dengan oksigen tambahan (10-12 L/menit) dengan
pernafasan 24x/menit. Jika pasien tidak sadar, nilai normal analisa gas darah
harus dipertahankan dan intubasi endotrakeal (ET) mungkin diberikan.
Perawatan diberikan untuk memastikan plester atau alat yang digunakan lain
terpasang dengan tube ET tidak melintang atau menekan area jugularis, yang
mungkin mengahambat aliran vena dari kepala. Sedasi dan analgesik
narkotika mungkin digunakan dalam intubasi pasien untu mengontrol
stimulasi letal, yang dapat meningkatkan TIK. Agen neuromuskular-blocking
juga mungkin diberikan untuk mencegah peningkatan tekanan vena yang
berhubungan dengan efek valsava yang mengimbangi pemberian ventilator
(Krisanty, et al., 2009).

27
Penanganan cedera kepala menurut (Nurarif, Amin Huda; Kusuma, Hardhi,
2016, hal. 129) yaitu :
1. Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway,
Breathing, Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia akan
cenderung memperhebat peninggian TIK dan menghasilkan prognosis
yang lebih buruk
2. Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada kesempatan
pertama
3. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan dibagian tubuh lainnya
4. Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, reflek okulosefalik dan reflex okuloves tubuler.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita
rendah (syok)
5. Penanganan cedera-cedera dibagian lainnya
6. Pemberian pengobatan seperti:antiedemaserebri, anti kejang, dan antrium
bikarbonat
7. Tindakan pemeriksaan diagnostic seperti : sken tomografi computer otak,
angiografi serebral, dan lainnya.

28
2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cidera biologis kontraktur (terputusnya kontinuitas jaringan
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas, dispnea, henti
nafas, perubahan pola nafas
3. Kerusakan memori b.d hipoksia, gangguan neurologis
4. Risiko kekurangan volume cairan b.d mual muntah, papilodema, pandangan
kabur, penurunan fungsi pendengaran
5. Risiko ketidakseimbangan perfusi jaringan otak b.d hipoksia
6. Risiko cidera b.d gillus medialis lobus temporalis tergeser (Nurarif, Amin Huda;
Kusuma, Hardhi, 2016).

29
1. Nyeri akut
Definisi: pengalaman sensosrik atau emosional berkaitan dengan kerusakan
jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan
(Wilkinson J. , 2016).
Batasan Karakteristik :
1) Mengeluh nyeri
Subjektif:
Mengeluh nyeri
Objektif:
a) Tampak meringis
b) Bersikap protektif (misalnya waspada, posisi menghindari nyeri)
c) Gelisah
d) Frekuensi nadi meningkat
e) Sulit tidur
f) Tekanan darah meningkat
g) Pola nafas berubah
h) Nafsu makan berubah
i) Proses berpikir terganggu
j) Menarik diri
k) Berfokus pada diri sendiri
l) Diaforesis (Wilkinson J. , 2016).
Faktor yang berhubungan :
1. Agen pencedera fisiologis (misalnya inflamasi, iskemia, neoplasma)
2. Agen pencedera kimiawi (misalnya terbakar bahan kimia iritan)
3. Agen pencedera fisik (misalnya abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
Kondisi klinis terkait:
1. Kondisi pembedahan
2. Cedera traumatis
3. Infeksi

30
4. Sindrom koroner akut
5. Glaukoma (Wilkinson J. , 2016).

2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berdasarkan pneumonia carinii (PCVP)


peningkatan sekresi bronkus dan penurunan kemampuan untuk batuk menyertai
kelemahan serta keadaan mudah letih
Definisi : Ketidakmampuan untuk membersihkan sekret atau obstruksi saluran
napas guna mempertahankan jalan napas yang bersih.
Batasan karakteristik:
1) Subjektif
a) Dispnea
2) Objektif
a) Suara napas tambahan (rale, crackle, ronki dan mengi)
b) Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan
c) Batuk tidak ada atau tidak efektif
d) Sianosis
e) Kesulitan untuk berbicara
f) Penurunan suara napas
g) Ortopnea
h) Gelisah
i) Sputum berlebihan
j) Mata terbelalak
Faktor yang berhubungan
a) Lingkungan
Merokok, menghirup asap rokok, dan perokok pasif
b) Obstruksi jalan napas
Spasme jalan napas, retensi sekret, mukus berlebih, adanya jalan napas buatan,
terdapat benda asing di jalan napas, sekret di bronki, dan eksudat di alveoli
c) Fisiologis

31
Disfungsi neuromuskular, hiperplasia dinding bronkial, PPOK (penyakit paru
obstruksi kronis), infeksi, asma, jalan napas aler, jalan napas alergik (trauma)
(Wilkinson J. , 2016)

3. Gangguan Memori
Definisi : Ketidakmampuan mengingat beberapa informasi atau prilaku.
Penyebab :
1) Ketidakadekuatan stimulasi intelektual
2) Gangguan sirkulasi ke otak
3) Gangguan volume cairan dan atau elektrolit
4) Proses penuaan
5) Hipoksia
6) Gangguan neurologis (mis. EEG positif, cedera kepala, gangguan kejang)
7) Efek agen farmakologis
8) Faktor psikologis
9) Penyalahgunaan zat
10) Distraksi lingkungan
Gejala dan tanda mayor
Subjektif
1) Melaporkan pernah mengalami pengalaman lupa
2) Tidak mampu mempelajari keterampilan baru
3) Tidak mampu mengingat informasi faktual
4) Tidak mampu mengingat perilaku tertentu yang pernah dilakukan
5) Tidak mampu mengingat peristiwa
Objektif
1) Tidak mampu melakukan kemampuan yang dipelajari sebelumnya
Gejala dan tanda minor
Subjektif
1) Lupa melakukan perilaku pada waktu yang telah dijadwalkan
2) Merasa mudah lupa
Kondisi klinis terkait

32
1) Stroke
2) Cedera kepala
3) Kejang
4) Penyakit alzheimer
5) Depresi
6) Intoksikasi alkohol (Wilkinson J. , 2016)

3. Intervensi
1. Nyeri akut
Tujuan:
Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai
berikut.(sebutkan 1-5 : tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau
selalu) :
a) Mengenali awitan nyeri
b) Menggunakan tindakan pencegahan
c) Melaporkan nyeri dapat dikendalikan.
Kriteria Hasil:
a) Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai
kenyamanan
b) Mempertahankan tingkat nyeri pada atau kurang (dengan skala 0-10)
c) Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
d) Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk memodifikasi
faktor tersebut
e) Melaporkan nyeri kepada penyedia layanan kesehatan
f) Menggunakan tindakan meredakan nyeri dengan analgesic dan non-analgesik
secara tepat
g) Tidak menglami gangguan dalam frekuensi pernapasan, denyut jantung, atau
tekanan darah
h) Mempertahankan selera makan yang baik
i) Melaporkan pola tidur yang baik

33
j) Melaporkan kemampuan untuk mempertahankan performa peran dan hubungan
interpersonal

Intervensi NIC
Aktifitas Keperawatan
1) Pengkajian
a) Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk
menumpulkan informasi pengkajian.
b) Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0
sampai 10 (0 = tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10 = nyeri hebat).
c) Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri oleh analgesic
dan kemungkinan efek sampingnya.
d) Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri
dan respon pasien.
e) Dalam mengkaji pasien, gunakan kata-kata yang sesuai usia dan tingkat
perkembangan pasien.
f) Manajemen nyeri (NIC):
1) Lakukan pengkajian nyeri yang komperhensif meliputi lokasi,
karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau
keparahan nyeri, dan faktor presipitasnya.
2) Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khusunya pada mereka
yang tidak mampu berkomunikasi efektif.

2) Penyuluhan untuk pasien/keluarga


a) Sertakan dalam intruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus
diminum, frekuensi pemberian, kemungkinan efek samping, kemungkinan
interaksi obat, kewaspadaan khusus saat mengonsusmi obat tersebut
(misalnya pembatasan aktivitas fisik, pembatsan diet), dan nama orang
yang harus dihubungi bila mengalami neyri membandel.
b) Instruksiakan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika
peredaan nyeri tidak dapat dicapai.

34
c) Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan
nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan.
d) Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesic narkotik atau opioid
(misalnya risiko ketergantungan atau overdosis).
e) Manajemen Nyeri (NIC):
Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan
berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur.
f) Manajemen Nyeri (NIC):
Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya umpan balik
biologis, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), hypnosis,
relaksasi, imajinasi terbimbing, terapi musik, distraksi, terapi bermain,
terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat atau dingin, dan masase)
sebelum, setelah, dan, jika memungkinkan, selama aktivitas yang
menimbulkan nyeri; sebelum nyeri terjadi atau meningkat; dan bersama
penggunaan tindakan peredaan nyeri yang lain.
3) Aktivitas Kolaboratif
a) Kelola nyeri pascabedah awal dengan pemberian opiate yang terjadwal
(misalnya setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA.
b) Manajemen Nyeri (NIC):
1) Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih
berat.
2) Laporkan kepad dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika keluhan
saat ini merupakan perubahan yang bermakna dan pengalaman nyeri
pasien di masa lalu.
4) Aktivitas Lain
a) Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikator melalui pengkajian nyeri dan
efek samping.
b) Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang efektif di masa
lalu, seperti distraksi, relaksasi, atau kompres hangat/dingin.
c) Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman dan aktivitas
lain untuk membantu relaksasi, meliputi tindakan sebagai berikut:

35
1) Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan relaksasi.
2) Ganti linen tempat tidur, bila diperlukan.
3) Berikan perawatan dengan tidak terburu-buru, dengan sikap yang
mendukung.
4) Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang menyangkut
aktivitas perawatan.
d) Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas bukan pada nyeri dan rasa
tidak nyaman dengan melakukan pengalihan melalui televisi, radio, tape,
dan interaksi dengan pengunjung.
e) Gunakan pendekatan yang positif untuk mengoptimalkan respons pasien
terhadap analgesic (misalnya “Obat ini akan mengurangi nyeri Anda”).
f) Eksplorasi perasaan takut ketagihan. Untuk meyakinkan pasien, tanyakan
“Jika tidak mengalami nyeri, apakah Anda akan tetap membutuhkan obat
ini?”.
g) Manajemen Nyeri (NIC):
1) Libatkan keluarga dalam modalitas peredaan nyeri, jika memungkinkan.
2) Kendalikan faktor lingkungan yang dapat memengaruhi respons pasien
terhadap ketidaknyamanan (misalnya suhu ruangan, pencahayaan, dan
kegaduhan).

2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berdasarkan pneumonia carinii (PCVP)


peningkatan sekresi bronkus dan penurunan kemampuan untuk batuk menyertai
kelemahan serta keadaan mudah letih
Tujuan/ kriteria hasil
Contoh menggunakan bahasa NOC
1) Menunjukkan pola pernapasan efektif, yang dibuktikan oleh status pernapasan
: status ventilasi dan pernapasan yang tidak terganggu ; kepatenan jalan napas
; dan tidak ada penyimpangan tanda vital dari rentang normal
2) Menunjukkan status pernapasan : ventilasi tidak terganggu, yang dibuktikan
oleh indikator gangguan sebagai berikut ( sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem,
berat, sedang, ringan, tidak ada gangguan :

36
(a) kedalaman inspirasi dan kemudahan bernapas
(b)ekspansi dada simetris
3) menunjukkan tidak adanya gangguan status pernapasan : ventilasi, yang
dibuktikan oleh indikator berikut ( sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat,
sedang, ringan, tidak ada gangguan)
(a) Penggunaan otot aksesoris
(b) Suara napas tambahan
(c) Pendek napas
Contoh lain
1) Pasien akan : menunjukkan pernapasan optimal pada saat terpasang
ventilator mekanis
2) Mempunyai kecepatan dan irama pernapasan dalam batas normal
3) Mempunyai fungsi paru dalam bats normal untuk pasien
4) Meminta bantuan pernapasan saat dibutuhkan
5) Mampu menggambarkan rencana untuk perawatan dirumah
6) Mengidentifikasi faktor (misalnya alergen) yang memicu
ketidakefektifan pola napas, dan tindakan yang dapat dilakukan untuk
menghindarinya
Aktivitas keperawatan
1) Pengkajian
a) Pantau adanya pucat dan sianosis
b) Pantau efek obat pada status pernapasan
c) Tentukan lokasi dan luasnya krepitasi di sangkar iga
d) Kaji kebutuhan insersi jalan napas
e) Observasi dan dokumentasikan ekspansi dada bilateral pada pasien yang
terpasang ventilator.
f) Pemantauan pernapasan (NIC)
(a) Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan
(b) Perhatikan pergerakan dada, amati kesimentrisan, penggunaan otot-
otot bantu, serta retraksi otot supraklavikular dan interkosta

37
(c) Pantau pola pernapasan : bradipnea; takipnea; hiperventilasi;
pernapasan kussmaul; pernapasan cheyne-stokes; dan pernapasan
apneastik, pernapasan biot dan pola ataksik
(d) Perhatikan lokasi trakea
(e) Auskultasi suara napas, perhatikan area penurunan/ tidak adanya
ventilasi dan adanaya suara napas tambahan
(f) Pantau peningkatan kegelisahan, ansietas, dan lapar udara
(g) Catat perubahan pada SaO2, CO2 akhir-tidal, dan nilai gas darah arteri
(GDA), jika perlu.
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
a) Informasikan kepada pasien atau keluarga tentang teknik relaksasi untuk
memperbaiki pola pernapasan
b) Ajarkan teknik batuk efektif
c) Instruksikan kepada pasien dan keluarga bahwa mereka harus memberitahu
perawat pada saat terjadi ketidakefektifan pola pernapasan
Aktivitas kolaboratif
a) Konsultasi dengan ahli terapi pernapasan untuk memastikan keadekuatan
fungsi ventilator mekanis
b) Laporkan perubahan sensori, bunyi napas, pola pernapasa, nilai GDA, sputum,
dan sebagainya, jika perlu atau sesuai protokol
c) Berikan obat (misalnya bronkodilator) sesuai dengan program atau protokol
d) Berikan terapi nebululizer ultrasonik dan udara atau oksigen yang dilembabkan
sesuai progaram atau protokol institusi
e) Berikan obat nyeri untuk mengoptimalkan pola pernapasan
Aktivitas lain
a) Hubungkan dan dokumentasikan semua data hasil pengkajian (misalnya
sensori, suara napas, pola pernapasan, nilai GDA, sputum, dan efek obat pada
pasien)
b) Bantu pasien untuk menggunakan spirometer insentif, jika perlu
c) Tenangkan pasien selama periode gawat napas
d) Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode gawat napas

38
e) Untuk memperlambat frekuensi pernapaan, bimbing pasien menggunakan
teknik pernapasan bibir mncucu dan pernapasan terkontrol
f) Lakukan pengisapan sesuai denagn kenutuhan untuk membersihkan sekret
g) Minta pasien untuk mengubah posisi, batuk dan napas dalam
h) Informasikan kepada pasien sebelum memulai prosedur, untuk menurunkan
ansietas dan meningkatakan perasaan kendali
i) Pertahankan oksigen aliran rendah denagn kanula nasal, masker atau sungkup.
j) Atur posisi pasien untuk mengoptimalkan pernapasan
k) Sinkronisasikan antara pola pernapasan klien dan kecepatan ventilasi.
(Wilkinson J. M., 2011)

3. Kerusakan memori b.d hipoksia, gangguan neurologis


Tujuan
1) Tidak memperlihatkan kerusakan memori, yang dibuktikan oleh kognisi,
orientasi kognitif, konsentrasi, memori dan status neurologis
2) Memperlihatkan orientasi kognitif, mengidentifikasi diri sendiri, orang terdekat,
tempat saat ini
Intervensi NIC
1. Pengkajian
a) Kaji depresi, dan peningkatan stresor yang mungkin menjadi penyebab
kehilangan memori
b) Kaji fungsi neurologis untuk menentukan apakah pasien hanya mengalami
kehilangan memori atau juga memiliki masalah, seperti demensia
c) Kaji tingkat dan sifat kehilangan memori misalnya kejadian baru-baru ini
sekarang, atau peristiwa secara tiba-tiba atau berangsur-angsur
2. Pendidikan untuk keluarga atau pasien
Susun metode pendidikan kesehatan sesuai dengan kemampuan pasien menyerap
informasi.
3. Aktivitas kolaboratif
1) Rujuk pasien yang mengalami kehilangan secara tiba-tiba kepada dokter
2) Rujuk kepada terapi okupasi,bila diperlukan

39
4. Aktivitas lain
1) Jangan mengubah letak furniture kamar atau rumah pasien
2) Bantu pasien untuk rileks guna memudahkan konsentrasi
3) Pertahankan konsistensi pemberi asuhan apabila memungkinkan
5. Manajemen memori (NIC)
1) Diskusikan dengan pasien dan keluarga beberapa masalah memori praktis
yang dialami
2) Rangsang daya ingat dengan mengulang pengungkapan pikiran terakhir
pasien,bila diperlukan
3) Berikan pelatihan orientasi seperti menanyakan kembali data pribadi dan
tanggal, bila memungkinkan.
4) Berikan gambar pengingat memori bila diperlukan (Wilkinson J. , 2016)

40
DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, R. A. (2013). Buku Saku Harrison Kedaruratan Medik. Tangerang Selatan:


KARISMA.

Batticaca, F. B. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Krisanty, P., Manurung, S., Suratun, Sumartini, M., Ermawati, Rohimah, et al. (2009). Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: CV.Trans Info Media.

Mansjoer, A. (2012). Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Kapita Selekta.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Yogyakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, Arif. (2012). Pengkajian Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinik. Jakarta:
Salemba Medika.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan
Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus. Yogyakarta: Mediaction.

WA, T. (2010). Severe head injury. USU digital library , 7.

Wilkinson. (2016). Diagnose Keperawatan. Jakarta: EGC.

41
42

You might also like