You are on page 1of 8

MAKALAH

Pernikahan Beda Agama dalam Pandangan Islam

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DISUSUN OLEH
Kelompok 7

Garin Rezani Damarafi (21040116130073)


Desy Winda Hasni S (21040116140075)

TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016
Pendahuluan

I. Latar Belakang
Banyak masyarakat di dunia khususnya di Indonesia, memiliki ciri khas
masing-masing yang berbeda, khususnya hal yang menyangkut suku bangsa
dan agama. Akibatnya, masyarakat dihadapkan pada perbedaan-perbedaan
yang menyangkut berbagai hal, khususnya dalam hal umat beragama. Salah
satu permasalahan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah
yang menyangkut tentang pernikahan berbeda agama.
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai
penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk
suatu keluarga atau rumah tangga.
Seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk hampir dipastikan
sulit untuk menghindari pergaulan dengan orang yang berbeda agama.
Ketertarikan pria atau wanita muslim dengan orang yang beda agama atau
sebaliknya, yang nantinya berujung pada pernikahan hampir pasti tidak
terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti
terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.
Keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan
semakin luas dan beragam. Hal ini telah mengakibatkan pergeseran nilai
agama yang lebih signifikan daripada yang terjadi pada masa lampau. Pria
dan wanita muslim di Indonesia sekarang ini lebih berani untuk memilih
pendamping hidup yang tidak seiman dengan mereka. Hal ini tentu saja
dianggap sebagai penyelewengan atau pergeseran nilai-nilai Islam. Kerap
kali hal ini sering menimbulkan reaksi keras di kalangan masyarakat kita,
baik itu pro ataupun kontra, dimana masing-masing dari mereka memiliki
argumen-argumen rasional maupun logikal.

II. Rumusan Masalah


1. Bagaimana hukum pernikahan beda agama dalam Islam sendiri?
2. Bagaimana hukum pernikahan beda agama di negara Indonesia sendiri?
Pembahasan

Pernikahan Beda Agama dalam Hukum Islam


Kasus yang pertama adalah pihak ulama sepakat untuk mengharamkan
pernikahan yang terjadi pada keadaan dimana terjadinya pernikahan antara pria non-
muslim dengan seorang wanita muslim. Al-Quran menjelaskan dalam surat Al-Baqarah
221:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”.(QS. Al-Baqarah: 221)
Sedang pada kasus yang kedua, seorang laki-laki muslim dilarang menikah
dengan wanita non-muslim kecuali wanita ahli kitab, seperti yang disebutkan dalam
surat Al-Maidah ayat 5:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar masnikah
mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat
termasuk orang-orang merugi”.(QS. Al-Maidah: 5)
Pada surat Al-Baqarah ayat 221 sudah jelas di jelaskan bahwa baik laki-laki
ataupun perempuan memiliki larangan untuk menikahi atau dinikahkan oleh seorang
musyrik. Dan dalam surat Al-Maidah di jelaskan kembali bagi seorang laki-laki, boleh
menikahi ahli kitab. Namun terdapat beberapa pendapat bahwa ahli kitab di sini
bukanlah penganut Injil, ataupun Taurat yang ada pada saat ini. Ahli kitab yang
dimaksudkan disini ialah mereka yang bersyahadat mengakui adanya Allah akan tetapi
tidak mengakui adanya Muhammad.
Banyak ulama yang menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan Taurat.
Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yang sama, maka
para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini. Untuk kasus ini, yang dimaksud
dengan musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya. Untuk menikah dengan
perempuan yang bukan ahli kitab, para ulama sepakat melarang hal tersebut.
Dari sebuah literatur, didapatkan keterangan bahwa Hindu, Budha atau
Konghuchu tidak termasuk agama samawi (langit) tapi termasuk agama ardhiy (bumi).
Karena benda yang mereka katakan sebagai kitab suci itu bukanlah kitab yang turun
dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil pemikiran para tokoh dan filosof mereka.
Sehingga kita bisa bedakan bahwa kebanyakan isinya lebih merupakan petuah, hikmah,
sejarah dan filsafat para tokohnya.
Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di yang mengatur masalah
kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat, zina, minuman keras, judi, dan pencurian
sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran Al-Karim, Injil atau Taurat. Yang ada hanya
etika, moral, dan nasehat. Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai kalam suci dari Allah
yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan berisi hukum syariat. Sedangkan Taurat,
Zabur dan Injil, jelas-jelas kitab samawi yang secara kompak diakui sebagai kitabullah.
Sementara itu, Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan
Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab
adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli.
Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak
termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus
kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah
Bani israil.”
Pendapat yang mengatakan bahwa Nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu
Umar. Beliau mengatakan bahwa Nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang
mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa
tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram
hukumnya karena mereka adalah musyrik.
Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh
dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun demikian, wanita
muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu lebih
utama dan lebih layak bagi seorang muslim dibanding wanita ahlul kitab. Juga apabila
ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir nanti, serta apabila jumlah pria
muslim sedikit sementara wanita muslimah banyak, maka dalam kondisi demikian ada
yang berpendapat haram hukumnyapria muslim menikah dengan wanita non Muslim.

1. Dalil-Dalil Haramnya Nikah Beda Agama


 Al-Qur’an
Dalil Pertama:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu.dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.merekamengajak
ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”. (QS. Al-Baqarah: 221)
Dalil Kedua:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-
perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa
mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu
dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami
suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini
mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah
kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar
yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara
kamu.dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Mumtahanah: 10)
 Hadits
Hadits Jabir bahwa Nabi bersabda:
“Kita boleh menikah dengan wanita ahli kitab, tetapi mereka tidak boleh nikah dengan
wanita kita”.
Ibnu Jarir berkata dalam Tafsirnya 4/367: “Sanad hadits ini sekalipun ada pembicaraan,
namun kebenaran isinya merupakan ijma’ umat”. Dan dinukil Imam Ibnu Katsir dalam
Tafsirnya 1/587.

 Ijma’
Selama berabad-abad lamanya, Umat Islam menjalankan agamanya dengan
tenang dan tentram, termasuk dalam masalah ini, tidak ada satupun ulama yang
membolehkan nikah beda agama, tetapi anehnya tiba-tiba sebagian kalangan mencoba
untuk meresahkan umat dan menggugat hukum ini. Di atas, telah kami kemukakan
sebagian nukilan ijma’ dari ahli tafsir, kini akan kami tambahkan lagi penukilan ijma’
tersebut:
 Ibnul Jazzi mengatakan: “Laki-laki non Muslim haram menikahi wanita
muslimah secara mutlak. Ketentuan ini disepakati seluruh ahli hukum Islam”.
 Ibnul Mundzir berkata: “Seluruh ahli hukum Islam sepekat tentang haramnya
pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki beragama Yahudi atau Nasrani
atau lainnya”.
 Ibnu Abdil Barr berkata: “Ulama telah ijma’ bahwa muslimah tidak halal
menjadi istri orang kafir”.

 Kaidah Fiqih
Dalam kaidah fiqih disebutkan:
“Pada dasarnya dalam masalah farji (kemaluan) itu hukumnya haram”.
Karenanya, apabila dalam masalah farji wanita terdapat dua hukum (perbedaan
pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah hukum yang
mengharamkan.

2. Kebohongan Seorang Pengusung Liberalisme


Abdul Muqsidh Ghozali dalam dialognya bersama Ulil Abshor ketika membantah
Ustad Hartono Jaiz pernah berkata: “Kalau di dalam Al-Qur’an diperbolehkan nikah
beda agama, maka pak Hartono mengharamkannya. Pak Hartono di sini sedang
menciptakan syari’at baru, yang mestinya itu tidak dilakukan.”
Lalu dia menukil atsar Umar yang menegur Hudzaifah tatkala menikah dengan
wanita ahli kitab, lalu Hudzaifah berkata: Apakah engkau mengharamkannya? Jawab
Umar: Tidak. (Buka Mafatihul Ghaib juz 3 hal 63)
Dia juga mengatakan, “Tidak ada dalil yang melarang nikah beda agama.”
Jawaban:
Ucapan ini adalah kebohongan di atas kebohongan yang dimuntahkan oleh seorang
pengusung paham liberal yang kini telah meraih doktor padahal dia termasuk pembela
Nabi palsu, sekalipun yang dibela sudah mengaku taubat:
 Pertama: Kebohongan terhadap Al-Qur’an, karena Al-Qur’an tidak pernah
membolehkan nikah beda agama, dalam artian seorang non Muslim nikah
dengan wanita muslimah, bahkan Al-Qur’an dengan tegas mengharamkannya.
(Lihat QS. Al-Baqarah: 221 dan Al-Mumtahanah: 10), yang dibolehkan adalah
lelaki muslim nikah dengan wanita ahli kitab. (QS. Al-Maidah: 5)
 Kedua: Kebohongan terhadap Umar bin Khaththab, karena beliau juga
mengharamkan beda agama, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Jarir dalam
Tafsirnya 4/366 bahwa Umar berkata, “Lelaki muslim boleh menikah dengan
wanita nashara, tetapi lelaki nashranitidak boleh nikah dengan wanita
muslimah.” Lalu katanya: Atsar ini lebih shahih dari atsar sebelumnya (kisah
Hudzaifah).
 Ketiga: Kebohongan terhadap Fakhrur Razi dalam Mafatih Ghaib, sebab beliau
juga mengharamkan nikah beda agama. Setelah membawakan atsar Hudzaifah
di atas dalam Tafsirnya 2/231, beliau mengiringinya langsung dengan hadits
Jabir bahwa Nabi bersabda, “Kita boleh menikah dengan wanita ahli kitab, tetapi
mereka tidak boleh nikah dengan wanita kita.”

Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Negara


Pernikahan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan.
Berdasarkan UU tersebut pernikahan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karenanya dalam UU yang sama diatur bahwa pernikahan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatukomitmen yang kuat
di antara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-Undang Pernikahan No.1
tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1menyatakan bahwa suatu pernikahan dapat dinyatakan
sah, apabiladilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanpasangan
yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah pernikahanmerupakan hal
yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehinggapenentuan boleh tidaknya
pernikahan tergantung pada ketentuan agama.Hal ini berarti juga bahwa hukum agama
menyatakan pernikahan tidak boleh,maka tidak boleh pula menurut hukum negara.Jadi
dalam pernikahanberbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada
ketentuan agama.
Masalah pernikahan beda agama telah mendapat perhatian serius para ulama di
Tanah Air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada 1980
telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama. MUI menetapkan dua
keputusan terkait pernikahan beda agama ini.
Pertama, para ulama di Tanah Air memutuskan bahwa pernikahan wanita Muslim
dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram. Kedua, seorang laki-laki Muslim
diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Pernikahan antara laki-laki Muslim
dengan wanita ahlul kitab memang terdapat perbedaan pendapat. ”Setelah
mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, MUI
memfatwakan pernikahan tersebut hukumnya haram,” ungkap Dewan Pimpinan Munas
II MUI, Prof Hamka, dalam fatwa itu.
Dalam memutuskan fatwanya, MUI menggunakan Alquran dan Hadis sebagai
dasar hukum. ”Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka ber
iman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita
orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik
hatimu…” (QS: al-Baqarah:221).
Selain itu, MUI juga menggunakan Alquran surat al-Maidah ayat 5 serta at Tahrim
ayat 6 sebagai dalil. Sedangkan, hadis yang dijadikan dalil adalah Sabda Rasulullah
SAW yang diriwayatkan Tabrani: “Barang siapa telah nikah, ia telah memelihara
setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa (takut) kepada Allah
dalam bagian yang lain.”
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda
agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir
November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang
yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang
penikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa
seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai
dengan surat al-Baqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. “Berdasarkan
ayat tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan
wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim,”
ungkap ulama Muhammadiyah dalam fatwanya.
Ulama Muhammadiyah pun menyatakan nikahbeda agama juga dilarang dalam
agama Nasrani. Dalam perjanjian alam, kitab ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang
untuk menikah dengan yang berbeda agama. “Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat
1 juga disebutkan bahwa: “Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
“Jadi, kriteria sahnya pernikahan adalah hukum masing-masing agama yang dianut oleh
kedua mempelai,” papar ulama Muhammadiyah dalam fatwanya. Ulama
Muhammadiyah menilai pernikahan beda agama yang dicatatkan di kantor catatan sipil
tetap tak sah nikahnya secara Islam. Hal itu dinilai sebagai sebuah perjanjian yang
bersifat administratif.
Ulama Muhammadiyah memang mengakui adanya perbedaan pendapat tentang
bolehnya pria Muslim menikahi wanita non-Muslim berdasarkan surat al-Maidah ayat
5. “Namun, hendaknya pula dilihat surat Ali Imran ayat 113, sehingga dapat
direnungkan ahli kitab yang bagaimana yang dapat dinikahi laki-laki Muslim,” tutur
ulama Muhammadiyah.
Dalam banyak hal, kata ulama Muhammadiyah, pernikahan wanita ahli kitab
dengan pria Muslim banyak membawa kemadharatan.”Maka, pernikahan yang
demikian juga dilarang.”Abdullah ibnu Umar RA pun melarang pria Muslim menikahi
wanita non-Muslim.
Kesimpulan

 Pernikahan beda agama dalam Islam hukumnya haram, walaupun masih


banyaknya perdebatan tentang hal ini.
 Hukum pernikahan beda agama di negara Indonesia juga haram.

Daftar Pustaka
 https://ganieindraviantoro.wordpress.com/kuliah/semester-1/islamic-religion-
education/nikah-beda-agama/
 http://tafany.wordpress.com/2009/03/23/pernikahan-beda-agama-tinjauan-
hukum-islam-hukum-negara/
 http://alhijrah.cidensw.net/index.php?option=com_content&task=view&id=111
 http://tafany.wordpress.com/2009/03/23/pernikahan-beda-agama-tinjauan-
hukum-islam-hukum-negara/
 http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/fatwa/10/05/01/113862-
hukum-nikah-beda-agama-dalam-islam-dan-kristen-samakah

You might also like