You are on page 1of 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam arti umum surat keterangan adalah surat yang dibuat sebagai bukti untuk
menerangkan atau menyatakan sesuatu. Surat keterangan dokter (medis) adalah surat
keterangan mengenai keadaan kesehatan atau sakit seorang pasien yang dibuat oleh dan
ditandatangani oleh seorang dokter yang dapat menjelaskan mengenai penyakit atau
bagaimana sakitnya pasien.

Surat keterangan untuk kepentingan peradilan (visum et reptum). Surat keterangan


dokter (medis) yang dibuat oleh dokter berdasarkan permintaan oleh penyidik, hidup atau
matih, utuh atau terpotong-potong untuk kepentingan berdasarkan sumpah jabatan dan
keilmuan.

Kepolisian dan kejaksaan sering meminta visum er repertum kepada seorang


dokter dalam hal perkaran penganiayaan dan pembunuhan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlak. Visum agar dibuat dengan teliti dan mudah dipahami
berdasarkan apa yang dilihat. Selain itu visum et repertum haruslah objektif tanpa
pengaruh dari yang berkepentingan dalam perkara itu.

Aspek formal surat keterangan dokter (medis) adalah yang berhubungan dengan
penerbit surat keterangan dokter.
Aspek materil surat keterangan dokter (medis) adalah yang berhubungan dengan isi yang
dijelaskan di dalam surat keterangan dokter.
Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang dokter kadang kalanya harus menerbitkan
surat--surat keterangan dokter. Pedomannya antara lain:
a. Bab I Pasal 7 KODEKI,” Setiap dokter hanya memberikan keterangan dan
pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”.
b. Bab II Pasal 12 KODEKI “ Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien meninggal dunia”
c. Paragraph 4, pasal 48 UU No. 29/2004 tentang praktik Kedokteran.

1
Dokter yang menerbitkannya harus betul-betul yakin apa yang dituliskannya atau
dinyatakannya. Karena dokter telah mengucapkan sumpahnya kedokteran. Sesuai dengan
pasal 7 Kodeki,
“Seorang dokter hanya memberikan surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.”
Dokter dianggap melanggar etik apabila ia mengetahui secara sadar menerbitkan surat
keterangan yang tidak mengandung kebenaran. Pasal 267 KUHP

1.2 Tujuan
1.2.1 Mahasiswa mengetahui dan memahami unsur-unsur keterangan medis.
1.2.2 Mahasiswa mengetahui dan memahami cara mendokumentasikan luka.
1.2.3 Mahasiswa mengetahui dan memahami Tentang Aspek Rahasia Kedokteran
1.2.4 Mahasiswa mengetahui Bagaimana cara kematian, mekanisme, dan penyebab
kematin.
1.2.5 Mahasiswa mengetahui dan memahami Bila keluarga meminta surat keterangan
kematian, apa boleh langsung diterbitkan
1.2.6 Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang tes paternitas dan bagaimana cara
pemeriksaannya
1.2.7 Mahasiswa mengetahui Bila surat permintaan Visum et Repertum (VeR)
terlambat beberapa lama setelah pemeriksaan, diskusikan solusi yang diambil
untuk pembuatan VeR
1.2.8 Mahasiswa dapat menjelaskan bagaimana Cara mendiagnosis kasus forensik
berdasarkan Kolom ICD X

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DATA TUTORIAL


Hari / tanggal sesi 1 : Senin, 01 Oktober 2018
Hari / tanggal sesi 2 : Rabu, 03 Oktober 2018
Tutor : dr. Cheryl Nini, S. Ked
Ketua : Lalu Fajri Dwi Ananda
Sekretaris : Wilda Apriliani

2.2 SKENARIO LBM


LBM 3
ANAKKU TAK DI ANGGAP

Seorang suami memukul istrinya sehingga jatuh membentur meja. Pemukulan


ini dilatarbelakangi suami mencurigai anak mereka yang sudah berumur 2 tahun bukan
hasil perkawinan mereka. Sang istri dibawa ke RS dan diperiksa oleh dokter A. Pada
pemeriksaan didapatkan luka memar pada dahi kanan dan luka terbuka yang
memerlukan perawatan pada pelipis kiri.

Sang istri diantar ke Rumah Sakit oleh plisi dan meminta kepada dokter
pemeriksa dibuatkan Visum et Repertum perlukaan. Karena korban bekerja di sebuah
perusahaan swasta, krban meminta dibuatkan Surat Keterangan Sakit untuk tidak
masuk kerja beberapa waktu. Beberapa hari kemudian, pihak perusahaan tempat korban
bekerja meminta Surat Keterangan Medis agar dana asuransi kesehatan korban dapat
dicairkan.

Di lain pihak, suami ingin melakukan tes paternitas untuk anaknya dengan
pemeriksaan DNA agar jelas siapa sesungguhnya ayah anaknya tersebut dan setelah ada
hasil dia meminta dibuatkan Surat Keterangan Keayahan bagi anak tersebut. Beberapa
saat setelah diperiksa sang istri tiba-tiba meninggal atau Death On Arrival (DOA).
Jenazah kemudian dievakuasi ke RSUD untuk dilakukan pemeriksaan forensik. Dan
dalam waktu yang bersamaan telah ditemukan pula jenazah tanpa identitas.

3
2.3 PEMBAHASAN LBM
2.3.1 Klarifikasi Istilah
2.3.1.1 Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat
dokter berdasarkan sumpah/janji yang diucapkan pada waktu menerima
jabatan dokter, memuat berita tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan
pada barang bukti berupa tubuh manusia/benda yang berasal dari tubuh
manusia yang diperiksa sesuai pengetahuan dengan sebaik-baiknya atas
permintaan penyidik untuk kepentingan peradilan.
2.3.1.2 Surat Keterangan Medis Surat keterangan medis adalah keterangan tertulis
yang dibuat oleh dokter untuk tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit
pasien atas permintaan pasien atau atas permintaan pihak ketiga dengan
persetujuan pasien atau atas perintah undang-undang.
2.3.1.3 Tes Paternitas adalah metode pembentukan hubungan genetik antara anak
dan ayah dugaan. Terlepas dari kasus-kasus kehamilan akibat perkosaan, di
mana ia digunakan untuk mengidentifikasi pelaku, identifikasi pengujian garis
ayah biasanya dicari oleh ibu yang mencoba untuk membuktikan ayah dari
pria yang menolak untuk membayar tunjangan anak.
2.3.1.4 Death On Arrival (DOA) merupakan keadaan dimana pasien atau korban
ditemukan dalam keadaan sudah meninggal ditempat pelayanan. Biasanya
kasus DOA masuk ke IGD suatu rumah sakit.

2.3.2 Identifikasi Masalah


2.3.2.1 Apa saja unsur-unsur keterangan medis
2.3.2.2 Bagaimana cara mendokumentasikan luka
2.3.2.3 Jelaskan Tentang Aspek Rahasia Kedokteran !
2.3.2.4 Bagaimana cara kematian, mekanisme, dan penyebab kematin.
2.3.2.5 Bila keluarga meminta surat keterangan kematian, apa boleh langsung
diterbitkan?

4
2.3.3 Brain Storming
2.3.3.1 Apa saja unsur-unsur keterangan medis ?
a. Kop Surat
b. Pendahuluan
Penulisan Pendahuluan pada keterangan medis meliputi unsur-
unsur tertentu diantaranya : menerangkan nama dokter yang membuat,
menerangkan tempat dimana dilakukan pemeriksaan, waktu pemeriksaan,
serta identitas korban yang diperiksa (Budiyanto, Arif, dkk. 1997).
c. Pemberitaan
Bagian ini di isi dengan hasil pemeriksaan medik yang telah
dilakukan tentang keadaan kesehatan atau sakit atau luka pasien yang
diperiksa, tindakan yang dilakukan serta keadaanya setelah dilakukan
pengobatan/perawatan (Budiyanto, Arif, dkk. 1997).
d. Kesimpulan
Bagian ini berisi kesimpulan dan berisi pendapat dokter
berdasarkan keilmuannya, mengenai jenis gangguan medis yang dialami
pasien.
e. Penutup
Bagian ini berisi kalimat baku yang menyatakan bahwa surat
keterangan medis yang digunakan merupakan benar dan dibuat oleh dokter
yang bersangkutan (Budiyanto, Arif, dkk. 1997).

2.3.3.2 Bagaimana cara mendokumentasikan luka


Prosedur dokumentasi forensik untuk korban hidup (fotografi forensik &
deskripsi luka)
a. Persiapan Pemeriksaan Luka
1. Sediakan alat dan bahan yang diperlukan :
- Kamera,
- Sarung tangan medis (hanscoen),
- Label identitas,
- Alat pengukur,
- Lembar sketsa tubuh (body chart),
- Alat tulis menulis.
5
2. Periksa kelengkapan administrasi:
- Surat Permintaan Visum (SPV) yang diantar penyidik
- Persetujuan pemeriksaan medis forensik (informed consent) baik
verbal maupun tertulis
- Bukti identitas pasien (KTP, SIM, SPV, dan sebagainya).
3. Tuliskan data-data yang dibutuhkan ke dalam label identitas dan
lembar body chart berdasarkan keterangan yang terdapat pada SPV dan
bukti identitas pasien sebagai berikut:
- Nomor SPV
- Nomor registrasi kasus di RS yang bersangkutan
- Nama korban dan umur/tanggal lahir
- Nama pemeriksa
- Hari dan tanggal dilakukannya pemeriksaan
- Waktu dilakukannya pemeriksaan.
b. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)
1. Lakukan cuci tangan medis atau gunakan cairan antiseptik
2. Kenakan sarung tangan medis (hanscoen).
c. Fotografi Forensik
1. Foto seluruh tubuh (whole body)
- Posisikan pasien dalam posisi anatomis, baik berdiri maupun
berbaring
- Letakkan alat pengukur tinggi/panjang badan di samping tubuh
pasien
- Letakkan label identitas yang telah diisi di tempat yang dapat
terlihat jelas (di samping kepala pasien, di dada atau perut pasien)
- Lakukan pengambilan foto dengan posisi kamera tegak lurus 90°
terhadap titik pusat tubuh pasien (pusar)
- Foto harus memuat keseluruhan tubuh pasien (ujung kepala
hingga ujung kaki), menampakkan wajah pasien (diambil dari
depan), dan pasien tetap mengenakan pakaian (kecuali alas kaki
jika pasien dalam posisi berdiri guna pengukuran tinggi badan),
label identitas dan alat ukur
- Dapat dilakukan pengambilan foto tambahan dari sisi
kanan/kiri/belakang jika dirasa perlu.
6
2. Foto regional
Bebaskan regio anatomis yang ingin didokumentasikan dari pakaian
- Letakkan alat pengukur dan label identitas yang telah diisi
sebidang dengan bagian tubuh yang akan difoto
- Lakukan pengambilan foto dengan posisi kamera tegak lurus 90°
terhadap titik pusat dari bagian tubuh (regio anatomis) yang akan
difoto
- Foto harus memuat keseluruhan regio yang ingin
didokumentasikan, yakni ada penanda (marker) anatomis dan
harus jelas sisi atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan
belakang, label identitas dan alat ukur.
3. Foto close up
- Identifikasi objek/luka yang ingin didokumentasikan dan
bebaskan dari penutup tubuh
- Letakkan alat pengukur dan label identitas yang telah diisi
sebidang dengan luka
- Lakukan pengambilan foto dengan posisi kamera tegak lurus 90°
terhadap titik pusat luka
- Foto harus memuat keseluruhan luka dan dapat memberikan
keterangan mengenai karakteristik luka, label identitas dan alat
ukur
- Dapat dilakukan pengambilan foto tambahan dengan posisi
kamera miring 45° terhadap titik pusat luka, baik dari sisi atas,
bawah, kanan, kiri, maupun diagonal, jika dirasa perlu.
4. Foto objek lain (barang bukti pakaian, bercak darah, anak peluru,
senjata, dokumen, dan lain-lain) jika ada
- Letakkan alat pengukur dan label identitas yang telah diisi
sebidang dengan objek yang akan difoto
- Lakukan pengambilan foto dengan posisi kamera tegak lurus 90°
terhadap titik pusat objek
- Foto memuat keseluruhan objek, label identitas dan alat ukur
- Jika objek mengandung tulisan, tulisan harus dapat dibaca dengan
jelas

7
- Dapat dilakukan pengambilan foto tambahan dengan posisi
kamera miring 45° terhadap titik pusat objek, baik dari sisi atas,
bawah, kanan, kiri, maupun diagonal, jika dirasa perlu.
d. Dokumentasi pada Lembar Sketsa Tubuh (Body Chart)
1. Pastikan data-data mengenai nomor SPV, nomor registrasi kasus,
identitas
pasien, pemeriksa, dan tanggal serta waktu pemeriksaan telah terisi
lengkap pada lembar body chart
2. Gambarkan garis yang menjadi acuan untuk menentukan absis dan
ordinat luka
3. Gambarkan luka pada lembar body chart sesuai dengan hasil yang
ditemukan pada hasil pemeriksaan, kemudian arsir sesuai dengan
legenda
4. Tuliskan panjang dan lebar luka
5. Tuliskan absis dan ordinat luka
6. Ulangi langkah 2-5 jika terdapat lebih dari satu luka.
e. Deskripsi Luka
1. Identifikasi luka yang akan dideskripsikan
2. Kelompokkan luka-luka yang ada berdasarkan regio anatomis
3. Tuliskan:
- Jumlah luka di dalam regio tersebut
- Jenis luka (tertutup atau terbuka)
- Lokasi anatomis
- Bentuk luka
- Ukuran luka, yaitu panjang dan lebar luka (pengukuran kedalaman
luka hanya dilakukan jika memungkinkan)
- Lokasi koordinat luka berdasarkan absis dan ordinat
- Karakteristik luka, mencakup garis batas luka, daerah di dalam
garis batas luka, dan daerah di sekitar luka
4. Perincian:
Luka tertutup:
- Garis batas luka: batas tegas/tidak tegas
- Daerah di dalam garis batas luka: warna, permukaan luka,
bengkak ada/tidak
8
- Daerah di sekitar luka: ada/tidak ada kelainan
Luka terbuka:
- Garis batas luka: tepi rata/tidak rata
- Daerah di dalam garis batas luka: tebing luka, dasar luka,
jembatan jaringan ada/tidak, ujung luka (bila ada) tajam/tumpul,
perdarahan aktif ada/tidak
- Daerah di sekitar luka: ada/tidak ada kelainan

Sketsa tubuh (body chart)

9
2.3.3.3 Jelaskan Tentang Aspek Rahasia Kedokteran !
Definisi
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran:
- Pasal 1
“Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu
yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau
selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran”.
- Pasal 2
“Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang
yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang
sederajat atau lebih tinggi daripada Peraturan Pemerintah ini menentukan
lain”.
- Pasal 3
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-undang tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara tahun 1963 No. 79).
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan
pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan, dan orang lain yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran:
BAB I (Ketentuan Umum)
- Pasal 1 ayat (1)
“Rahasia kedokteran adalah data dan informasi tentang kesehatan
seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan
pekerjaan atau profesinya”.
- Pasal 2
“Pengaturan rahasia kedokteran bertujuan untuk memberikan
kepastian hukum dalam perlindungan, penjagaan, dan penyimpanan
rahasia kedokteran”.

10
Hakekat Rahasia Kedokteran
1. Rahasia Jabatan dan Rahasia Pekerjaan
Rahasia jabatan bukan berdasarkan azas kepercayaan, diwajibkan
bagi pejabat negara. Sedangkan rahasia pekerjaan berdasarkan azas
kepercayaan, bersifat swasta (Budiyanto, dkk, 1997).
2. Azas Kepercayaan
Profesi kedokteran (bidang kesehatan) baru dapat berlangsung bila
ada kerelaan pasien untuk mengungkapkan keadaan dirinya, termasuk hal-
hal yang amat pribadi. Bentuk pengungkapan diri pasien dalam
hubungannya dengan profesi kedokteran meliputi tindakan anamnesa
(wawancara), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorik. Hal ini
berarti semua data pribadinya diserahkan pada tangan dokter yang
memeriksanya (beserta staf medis lainnya) (Budiyanto, dkk, 1997).
Dalam keadaan memerlukan bantuan medik, seorang pasien
berada dalam situasi konflik. Di satu pihak pasien sangat menderita dan
sangat memerlukan bantuan orang lain (dokter), tapi di pihak lain pasien
juga menginginkan rahasianya tetap utuh, demi ketentraman batin dan
integritas pribadinya. Nampaknya pasien yang datang ke dokter terpaksa
harus mengorbankan kepentingannya yang kedua (rahasia pribadi)
(Budiyanto, dkk, 1997).
Tradisi profesi kedokteran ternyata menghargai kerahasiaan
pribadi tersebut sehingga perlu mencantumkannya dalam kode etik
kedokteran. Akibatnya dapat dikatakan bahwa konstruksi hubungan
dokter-pasien adalah berdasarkan azas kepercayaan. Artinya, dokter
percaya bahwa pasien akan mengungkapkan keadaan dirinya yang
seutuhnya, sedangkan pasien juga percaya bahwa dokter akan menjaga
rahasia yang diketahuinya, yaitu yang dinamakan rahasia kedokteran
(Budiyanto, dkk, 1997).
Beberapa profesi lain juga dibangun secara tradisi atas dasar azas
kepercayaan antara lain adalah profesi advokat/pengacara, notaris dan
rohaniawan (Budiyanto, dkk, 1997).
Pada perkembangan selanjutnya masyarakat menganggap masalah
rahasia pribadi itu merupakan kepentingan umum, karena menyangkut

11
hak asasi seluruh masyarakat, sehingga perlu diatur oleh hukum
(Budiyanto, dkk, 1997).

Ketentuan yang Mengatur Rahasia Kedokteran


Kewajiban seorang dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran
telah diatur dalam Peraturan Pemeritah Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran dan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 Tentang
Rahasia Kedokteran. Dalam Peraturan Pemeritah Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
tersebut tidak dibedakan antara rahasia jabatan kedokteran atau rahasia
pekerjaan kedokteran. Tetapi dalam penjelasannya ada kecenderungan
bahwa yang diatur adalah kedua-duanya, karena subjek delik yang
diancam dalam pasal 322 KUHP adalah mereka yang membuka rahasia
pekerjaan maupun rahasia jabatan (Budiyanto, dkk, 1997).
Pasal 1 Peraturan Pemeritah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran memberi batasan
tentang yang dimaksud rahasia kedokteran, yaitu segala sesuatu yang
diketahui pada waktu atau selama melakukan pekerjaan di lapangan
kedokteran (Budiyanto, dkk, 1997).
Hal ini meliputi segala fakta yang didapatkan selama menangani
pasien, mulai dari pemeriksaan dan interpretasinya (diagnosa) sampai
dengan penatalaksanaannya. Sehingga hal-hal yang diketahui tapi tidak
berhubungan dengan pekerjaan, bukanlah merupakan rahsia kedokteran
(Budiyanto, dkk, 1997).
Pada prakteknya diakui bahwa hal ini bukan merupakan masalah
sederhana. Dibutuhkan penalaran, intuisi dan pengalaman serta
kebijaksanaan dalam memilih hal-hal yang sepatutnya dirahasiakan
(Budiyanto, dkk, 1997).
Pasal 2 Peraturan Pemeritah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran ini membatasi daya
berlakunya wajib simpan rahasia kedokteran, karena apabila ada aturan
lain yang sederajat atau lebih tinggi dari Peraturan Pemeritah Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia
12
Kedokteran ini maka wajib simpan rahasia kedokteran ini tidak berlaku.
Hal ini menunjukan keluwesan atas prioritas kepentingan yang akan
dilindungi. Jadi, apabila ada kepentingan lain yang dianggap lebih tinggi
(kepentingan umum), maka rahasia kedokteran harus mengalah
(Budiyanto, dkk, 1997).
Pasal 3 Peraturan Pemeritah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran ini menentukn subjek
hukum yang harus menyimpan rahasia kedokteran. Selain mereka yang
telah profesional di bidang kedokteran, maka mereka yang sedang dalam
pendidikan di bidang ini pun wajib menyimpan rahasia kedokteran
walaupun belum disumpah. Termasuk dalam golongan ini adalah para
mahasiswa kedokteran, siswa perawat dan sebagainya (Budiyanto, dkk,
1997).
Sanksi hukum yang telah diterapkan sehubungan dengan
pembukaan rahasia kedokteran dapat ditinjau baik dari segi hukum pidana
maupun perdata. Dari segi hukum pidana pembukaan rahasia jabatan
diancam oleh pasal 112 dan 322 KUHP. Sedangkan dari segi hukum
perdata dapat diterapkan pasal 1365 KUHPerdata (Budiyanto, dkk, 1997).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran BAB III (Kewajiban
Menyimpan Rahasia Kedokteran) Pasal 4 ayat (1), (2) dan (3), yaitu:
(1) Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kedokteran dan/atau
menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan
rahasia kedokteran.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang memiliki
akses terhadap data dan informasi kesehatan pasien;
b. pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan;
c. tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan kesehatan;
d. tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap data dan informasi
kesehatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan;
e. badan hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan;
dan

13
f. mahasiswa/siswa yang bertugas dalam pemeriksaan, pengobatan,
perawatan, dan/atau manajemen informasi di fasilitas pelayanan
kesehatan.
(3) Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku selamanya,
walaupun pasien telah meninggal dunia.

Pengungkapan Rahasia Kedokteran


Pada dasarnya rahasia kedokteran harus tetap disimpan walaupun
pasien tersebut telah meninggal. Jadi rahasia itu harus ikut dikubur
bersama pasien. Rahasia kedokteran merupakan hak pribadi pasien yang
tidak diwariskan pada para ahli warisnya. Sehingga para ahli waris itu
juga tidak berhak mengetahui rahasia pribadi pasien (Budiyanto, dkk,
1997).
Rahasia kedokteran ini begitu dijunjung tinggi dalam masyarakat,
sehingga walaupun pengadilan meminta seorang dokter untuk membuka
rahasia kedokteran, seorang dokter memiliki hak tolah
(verschoningsrecht) (Budiyanto, dkk, 1997).
Hak ini telah diatur dalam pasal 170 KUHP, yang menentukan
mereka yang diwajibkan untuk menyimpan rahsia pekerjaan/jabatan dapat
meminta dibebeskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan
sebagai saksi. Namun, ayat kedua dari pasal 170 KUHAP tersebut
membatasi hak tolak sesuai dengan pertimbangan hakim. Hal ini tentunya
diterapkan bila kepentingan yang dilindungi oleh pengadilan lebih tinggi
dari rahasia kedokteran (Budiyanto, dkk, 1997).
Ada beberapa keadaan dimana pemegang rahasia kedokteran
dapat membuka rahasia tersebut tanpa terkena sanksi hukum. Keadaan
tersebut dibagi menjadi dua golongan besar. Yang pertama, pembukaan
rahasia kedokteran dengan kerelaan/ijin pasien. Yang kedua, pembukaan
rahasia kedokteran tanpa kerelaan/ijin pasien (Budiyanto, dkk, 1997).
Dalam hal yang pertama, dapat dianggap bahwa pasien sendiri
menyatakan secara tidak langsung rahasia kedokteran itu bukan lagi
merupakan rahasia, sehingga tidak wajib dirahasiakan oleh dokter. Tetapi
walapun ada permintaan pasien agar dokter membuka rahasia kedokteran,
dokter tidak harus memenuhinya demi menjaga keluhuran profesi dokter.
14
Sedangkan dalam hal yang kedua, dokter terpaksa membuka rahasia
kedokteran karena sesuatu hal yang walaupun tidak dibenarkan oleh
hukum, tetapi dokter tidak di pidana karena adanya dasar-dasar
penghapusan pidana (straf uitsluiting-sgronden), yang dapat dijumpai
dalam pasal 48, 50, dan 51 KUHP (Budiyanto, dkk, 1997).
Hal ini nampaknya sejalan seperti yang dikemukakan oleh
Benhard Knight (1972) bahwa pengungkapan rahasia profesional dapat
dilakukan dalam kondisi :
1. Adanya Persetujuan Pasien;
2. Berdasarkan Perintah Hukum;
3. Berdasarkan Perintah Pengadilan;
4. Kepentingan Umum Menyangkut Maslah Kesehatan Dan
Keselamatan Umum.

Diluar kondisi yang diutarakan di atas, maka pengungkapan


rahasia kedokteran dapat dianggap perbuatan yang melawan hak dan
karenanya pada beberapa keadaan dapat digugat (Budiyanto, dkk, 1997).
Dalam Fahrurozi (2012), dokter wajib menjaga kerahasiaan
pasiennya baik yang dikemukakan oleh pasiennya maupun isi dari rekam
medis. Walaupun telah diatur oleh undang-undang atas wajib simpan
rahasia kedokteran tetapi ada pengecualian dimana rahasia kedokteran
dapat diungkapkan.
1. Atas Ijin/Otorisasi Pasien
Pengungkapan rahasia kedokteran dapat diberikan atas dasar
ijin dari pasien. Pasien diberikan penjelasan tentang alasan
pengungkapan rahasia. Dalam hal ini pasien harus dalam keadaan
yang kompeten. Demi keamanan, oleh rumah sakit biasanya
dimintakan Surat Izin Tertulis dari pasien/keluarganya secara
khusus.
2. Keperluan Asuransi
Untuk dapat mengungkapan rahasia kedokteran terhadap
pihak asuransi, terlebih dahulu sudah terdapat kesepakatan antara
asuransi dengan pasien pada saat mengikuti asuransi. Pihak asuransi

15
harus menunjukkan kepada dokter lembar persetujuan pasien atas
pengungkapan rahasia medisnya. Dalam hal ini, dokter tidak perlu
menjelaskan tentang keadaan pasien secara menyeluruh, data
terbatas dan hanya yang relevan.
3. Dokter Perusahaan
Adanya kontrak antara dokter dengan perusahaan melalui
sebuah perjanjian. Dengan itu maka hubungan dokter dengan
perusahaan menjadi nomor satu sedangkan hubungan dokter dengan
pasien menjadi nomor dua. Hal ini sudah menjadi kewajinan dokter
untuk melaporkan hal-hal yang wajib lapor kepada perusahaan
walaupun data yang diberikan hanya terbatas dan yang relevan
berkaitan dengan public health and duty to warn.
4. Dokter Penguji Kesehatan
Adanya kontrak antara dokter dengan peminta uji kesehatan
(biasanya tidak selalu pasien sendiri). Jawaban dari hasil
pemeriksaan adalah untuk peminta kesehatan. Terlebih dahulu
pasien diberitahukan tentang hal ini.
5. Kepada Penguasa Hukum
Adanya permintaan resmi terhadap pengungkapan rahasia
kedokteran. Pengungkapan rahasia sebaiknya diberikan dalam
bentuk surat keterangan riwayat penyakit yang ditulis dengna
lengkap, jelas dan jujur serta menggunakan bahasa awam. Rekam
medis tidak boleh diberikan karena rekam medis hanya boleh keluar
dari Rumah Sakit atas perintah peradilan. Seperti yang tercantum
dalam Pasal 51 KUHP, yaitu:

Pengungkapan rahasia kedokteran dapat dilakukan pada


keadaan:
1) Siapapun tak terpidana jika melakukan peristiwa untuk
menjalankan sesuatu perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang untuk itu.
2) Perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang
berwenang tidak membebaskan dari keadaan terpidana,
kecuali dengan itikad baik pegawai yang di bawahnya itu
16
menyangka bahwa penguasa itu berwenang untuk memberi
perintah itu dan perintah menjalankan terletak dalam
lingkungan kewajiban pegawai yang diperintah itu.
6. Menjalankan Undang-Undang
Pengungkapan diperlukan atas dasar kepentingan peradilan
dan kepentingan masyarakat. Seperti melaporkan kelahiran,
kematian, UU wabah, UU karantina, Peraturan pelaporan KLB, UU
kesehatan kerja. Seperti yang tercantum dalam Pasal 50 KUHP:
“Siapapun tak terpidana, jika peristiwa itu dilakukan untuk
menjalankan ketentuan perundang-undangan”.
7. Di Peradilan
Dipakai sebagai alat bukti yang sah. Menurut hukum, setiap
warga negara dapat dipanggil untuk didengar sebagai saksi. Selain
itu, seorang yang mempunyai keahlian dapat juga dipanggil sebagai
saksi ahli. Maka dapat terjadi bahwa seorang yang mempunyai
keahlian seperti contoh seorang dokter dipanggil sebagai saksi,
sebagai ahli sekaligus sebagai saksi (expert witness). Sebagai saksi
atau saksi ahli, ia diharuskan memberi keterangan tentang seseorang
yang sebelum itu telah menjadi pasien yang ditanganinya. Termuat
dalam KUHP pasal 224 : Barang siapa yang secara sah dipanggil
sebagai saksi, saksi ahli, atau sebagai penterjemah tidak memenuhi
kewajiban yang harus dipenuhi dihukum :
1) Dalam perkara Pidana dengan hukuman penjara paling lama 9
bulan.
2) Di dalam perkara lainnya dengan hukuman penjara paling lama
6 bulan.
8. Daya Paksa
Pengungkapan rahasia kedokteran terjadi pada keadaan
Overmatch (lawan berat) dan Noodtoestand (darurat), seperti child
abuse dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Seperti yang
tercantum dalam Pasal 48 KUHP “Siapapun tak terpidana, jika
melakukan peristiwa karena terdorong oleh keadaan terpaksa”.
9. Konsultasi Profesional
10. Pendidikan dan Pelatihan
17
Seperti yang tercantum dalam Permenkes No.749a/1089
pasal 14C, yaitu “Rekam medis dapat dipakai sebagai bahan untuk
keperluan penelitian dan pendidikan”.

Pelanggaran terhadap Rahasia Kedokteran


Kewajiban untuk menyimpan rahasia kedokteran pada pokoknya
ialah moril yang telah ada bahkan sebelum zaman Hipokrates jadi lama
sebelum adanya undang-undang atau peraturan yang mengatur soal
tersebut. Umumnya hampir tidak ada perbedaan antara kedua istilah
tersebut.
Pasal 322 KUHP yang berbunyi :
1) Barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia yang ia
wajib menyimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaannya, baik
yang sekarang maupun yang dulu, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-
banyaknya enam ratus rupiah.
2) Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorang yang tertentu, ia
hanya dituntut atas pengaduan orang itu.
Ayat (2) undang-undang ini terutama berkenaan dengan rahasia
jabatan dokter saat dokter membuka rahasia tentang keadaan
pasiennya, namun tidak dengan sendirinya akan dituntut di muka
pengadilan, melainkan hanya sesudah terhadapnya diadakan
pengaduan oleh pasien itu. Dalam undang-undang dikenal sebagai
delik aduan.
Pasal 1365 KUH Perdata
Barang siapa yang berbuat salah sehingga seorang lain
menderita kerugian, berwajib menggantikan kerugian itu.

Rahasia Kedokteran di Bidang Kedokteran Forensik


1. Konsep Peranan Ganda Seorang Dokter
Dalam menangani beberapa kasus yang menyangkut tubh
dan jiwa manusia, seorang dokter dapat mempunyai peran ganda
(Budiyanto, dkk, 1997).

18
Peran pertama adalah sebagai ahli klinik sehingga objek
akan berstatus sebagai seorang pasien dengan segala hak dan
kewajibannya. Tujuan tindakan dokter disini adalah pemulihan
kesehatan pasien dengan melakukan berbagai tindakan medik
(Budiyanto, dkk, 1997).
Peran kedua adalah sebagai ahli orensik yang bertugas
membantu proses peradilan dalam membuat Visum et Repertum
untuk penyidik. Maka korban akan berstatus sebagai barang bukti,
dan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan secara
imperatif. Tindakan yang dilakukan dokter adalah pemeriksaan
forensik yang bertujuan untuk menegakkan keadilan (Budiyanto,
dkk, 1997).
Kedua peran ini harus dibedakan dengan tegas, karena akan
membawa konsekuensi hukum yang berbeda sifatnya. Hak dan
tanggung jawab/kewajiban dokter sebagai ahli klinik sangat berbeda
dengan perannya sebagai ahli forensik, walaupun terjadi pada satu
kasus dan pada saat yang bersamaan (Budiyanto, dkk, 1997).
2. Perbandingan Tindakan di Bidang Kedokteran Forensik dan
Kedokteran Klinik Lainnya
Seperti telah dijelaskan dalam konsep peran ganda bahwa
seorang korban dapat berstatus sebagai pasien maupun benda bukti.
Dalam ilmu kedokteran forensik, korban hidup maupun mati akan
ditangani sebagai ‘benda bukti’. Tetapi walaupun berstatus sebagai
benda bukti, bukan berarti seluruh hak asasinya hilang sama sekali.
(Budiyanto, dkk, 1997)
Pemeriksaan forensik yang dilakukan atas diri korban
memang bukan atas kehendak bebas dari korban. Hal ini berbeda
dengan pemeriksaan klinis yang pada dasarnya merupakan
kehendak bebas dari pasien (Budiyanto, dkk, 1997).
Walaupun pemeriksaan klinis merupakan kehendak bebas
dari pasien, tapi hak atas privacy-nya tidak hilang. Maka wajarlah
bila pada pemeriksaan forensik (di mana pemeriksaan dilakukan
tidak atas dasar kesukarelaan) hak atas privacy tersebut justru tetap
dijaga, dan bukannya malah diungkapkan pada pihak yang tidak
19
berkepentingan agar korban tidak dirugikan dua kali (Budiyanto,
dkk, 1997).
Tentang sifat kerahasiaan di bidang kedokteran forensik,
dipermasalahkan apakah hal tersebut termasuk rahasia kedokteran
atau bukan. Sebenarnya bidang kedokteran lebih luas daripada
hanya sekedar bidang kesehatan saja (Budiyanto, dkk, 1997).
Karena kedokteran forensik merupakan salah satu dari
bidang kedokteran, maka Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1966
Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran juga berlaku untuk
bidang kedokteran forensik. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Professor Dr. Sutomo Tjokronegoro yang
mengatakan:
......dalam melakukan pekerjaan ilmu Dokter-kehakiman
untuk keperluan polisi dan hakim, kedudukan rahasia jabatan
tidaklah berlainan. Segala sesuatu yang diperiksa oleh seorang
dokter atas permintaan dan untuk keperluan polisi dan hakim,
sudah selayaknya dianggap sebagai rahasia jabatan......
3. Pihak yang Berwajib Menyimpan Rahasia Kedokteran Forensik
Karena Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1966 dapat
diterapkan pada bidang kedokteran forensik, maka untuk
menentukan siapa saja yang wajib menyimpan rahasia kedokteran
forensik dapat dipakai penjabaran pasal 3 PP No. 10 Tahun 1966
tersebut (Budiyanto, dkk, 1997).

Dengan demikian, yang diharuskan menyimpan rahasia adalah :


1. Dokter spesialisi kedokteran forensik;
2. Dokter (umum);
3. Dokter spesialis klinik;
4. Petugas kamar otopsi/kamar pemeriksaan forensik;
5. Mahasiswa fakultas kedokteran yang sedang menjalani
kepaniteraan kedokteran forensik maupun kepaniteraan klinik
lainnya;
6. Petugas kamar jenazah;
7. Petugas kamar bedah jenazah;
20
8. Petugas laboratorium forensik;
9. Petugas administrasi Visum et Repertum;
10. Petugas lainnya yang secara langsung atau tidak langsung
mengetahui kegiatan pemeriksaan forensik.

2.3.3.4 Bagaimana cara kematian, mekanisme, dan penyebab kematin.


Kematian adalah salah satu siklus kehidupan yang pasti dilalui oleh
setiap manusia. Kematian atau mati, merupakan proses yang terdiri dari mati
secara klinis (somatik) dan mati seluler. Mati somatik adalah terhentinya
fungsi ketiga sistem vital penunjang kehidupan (sistem serebro spinal,
kardiovaskilar, dan pernafasan) yang bersifat irreversible. Mati seluluer adalah
hilangnya secara total seluruh aktivitas metabolisme tingkat seluler terutama
respirasi aerobik. Perubahan postmortem terjadi disaat kematian seluler
berjalan.
Ada beberapa istilah lain yang dikenal dalam kematian seperti mati
suri, mati batang otak, dan sederhana, namun bila dengan alat kedokteran yang
canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi.
Mati batang otak adalah matinya sel saraf pada pusat otonom di batang otak
yang mengakibatkan berhenti bekerjanya jantung dan paru, mati otak
merupakan matinya sel sel saraf otak neurokorteks yang sifatnya ireversibel
dan mati seluler adalah matinya sel-sel tubuh). Mati serebral terjadi jika hanya
kedua hemisfer serebrum yang tidak aktif dengan pembuktian EEG yang flat.
Penyebab kematian adalah adanya perlukaan atau penyakit yang
menimbulkan kekacauan fisik pada tubuh yang menghasilkan kematian pada
seseorang. Berikut ini adalah penyebab kematian: luka tembak pada kepala,
luka tusuk pada dada, adenokarsinoma pada paru-paru, dan aterosklerosis
koronaria (Idries AM, 1997).
Mekanisme kematian adalah kekacauan fisik yang dihasilkan oleh
penyebab kematian yang menghasilkan kematian. Contoh dari mekanisme
kematian dapat berupa perdarahan, septikemia, dan aritmia jantung. Ada yang
dipikirkan adalah bahwa suatu keterangan tentang mekanime kematian dapat
diperoleh dari beberapa penyebab kematian dan sebaliknya. Jadi, jika
seseorang meninggal karena perdarahan masif, itu dapat dihasilkan dari luka

21
tembak, luka tusuk, tumor ganas dari paru yang masuk ke pembuluh darah dan
seterusnya. Kebalikannya adalah bahwa penyebab kematian, sebagai contoh,
luka tembak pada abdomen, dapat menghasilkan banyak kemungkinan
mekanisme kematian yang terjadi, contohnya perdarahan atau peritonitis.
Cara kematian menjelaskan bagaimana penyebab kematian itu datang.
Cara kematian secara umum dapat dikategorikan sebagai wajar, pembunuhan,
bunuh diri, kecelakaan, dan yang tidak dapat dijelaskan (pada mekanisme
kematian yang dapat memiliki banyak penyebab dan penyebab yang memiliki
banyak mekanisme, penyebab kematian dapat memiliki banyak cara).
Seseorang dapat meninggal karena perdarahan masif (mekanisme kematian)
dikarenakan luka tembak pada jantung (penyebab kematian), dengan cara
kematian secara pembunuhan (seseorang menembaknya), bunuh diri
(menembak dirinya sendiri), kecelakaan (senjata jatuh), atau tidak dapat
dijelaskan (tidak dapat diketahui apa yang terjadi) (Idries AM, 1997).
- Kematian Wajar
Suatu kematian disebut wajar jika orang tersebut berada dalam
perawatan seorang dokter, diagnosis penyakitnya telah diketahui dan
kematiannya diduga karenapenyakitnya tersebut. Pada kematian yang
terjadi dalam perawatan di Rumah Sakit atau dalam perawatan seorang
dokter, umumnya dokter dapat memastikan bahwa kematian tersebut
kematian wajar. Pada kasus ini, dokter yang memeriksa pasien terakhir
kali atau dokter yang merawat dapat langsung memberikan surat
keterangan kematian dan jenazahnya dapat langsung diserahkan pada
keluarganya. Di Indonesia, seorang dokter puskesmas yang mendapatkan
laporan adanya suatu kematian hendaknya dapat memeriksa sendiri
jenazah tersebut. Setelah dokter selesai melakukan pemeriksaan luar (yang
dilakukan tanpa surat permintaan visum dari polisi) terhadap jenazah
tersebut dan dokter yang menentukan apakah kematiannya merupakan
kematian wajar atau tidak wajar. Jika ia yakin, bahwa tidak ada tanda-
tanda kekerasan atau keracunan serta kecurigaan lainnya, maka ia dapat
memutuskan bahwa kematian adalah wajar (Sampurna ddk, 2008).
- Kematian Tidak Wajar
Setiap kematian yang terjadi akibat kekerasan atau keracunan
termasuk kematian yang tidak wajar. Cara kematian pada kematian tidak
22
wajar adalah pembunuhan, bunuh diri dan kecelakaan. Pada kasus
kematian tidak wajar, hendaknya segera dilaporkan ke penyidik, sesuai
dengan pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau yang
sering disebut KUHAP. Adapun yang termasuk dalam kategori kasus yang
harus dilaporkan ke penyidik adalah kematian yang terjadi didalam
tahanan atau penjara, kematian terjadi bukan karena penyakit, kematian
bukan karena hukuman mati dan penemuan mayat, yang penyebab dan
informasi mengenai kematiannya tidak ada atau tidak jelas (Sampurna ddk,
2008).

2.3.3.5 Bila keluarga meminta surat keterangan kematian, apa boleh langsung
diterbitkan?
Surat keterangan kematian adalah surat yang menyatakan bahwa
seseorang sudah meninggal. Surat keterangan kematian dibuat atas dasar
pemeriksaan jenazah, minimal pemerik- saan luar. Dalam hal kematian
berkaitan dengan tindak pidana tertentu, pastikan bahwa prosedur hukum telah
dilakukan sebelum dikeluarkan surat keterangan kematian. Surat keterangan
kematian tidak boleh atas seseorang yang mati diduga akibat suatu peristiwa
pidana tanpa pemeriksaan kedokteran forenik terlebih dahulu. Pembuatan surat
keterangan kematian harus dibuat secara hati-hati, mengingat aspek hukum
yang luas, mulai dari urusan pensiun, administrasi sipil, warisan, santunan
asuransi, hingga adanya kemugkinan pidana sebagai penyebab kematian.
Surat keterangan kematian minimal berisi, identitas korban, tanggal
kematian, jenis pemeriksaan, sebab kematian. Pada rumah sakit yang sudah
ada dokter spesialis forensik dan sistem pengeluaran jenazah satu pintu
ke bagian forensik, maka surat keterangan kematian untuk seluruh mayat yang
meninggal di rumah sakit dikeluarkan oleh dokter spesialis forensik. Jika
kematian korban akibat suatu tindak pidana, maka surat keterangan kematian
boleh dikeluarkan setelah dilakukan pemeriksaan forensik terhadap jenazah.

23
2.3.4 Rangkuman Permasalahan

Polisi Bersama seorang


istri dating ke rumah sakit
Permintaan Suami Untuk
Tes Paternitas Anaknya
Permintaan Pembuatan VeR
& Prosedur Pembuatan VeR

 Surat Keterangan  Keterangan Medis


Sakit  Cara Mendokumentasikan
 Surat Keterangan Luka
Medis

 Tes Paternitas
 Cara Melakukan
Pemeriksaan Test
 Meninggal : Paternitas
 Cara kematian
 Mekanisme Kematian
 Penyebab Kematian

 Prosedur Pembuatan
Surat Keterangan
keayahan
 Mekanisme Cara Pembuatan
Surat Keterrangan Kematian

 Aspek Rahasia
Kedokteran

Diagnosis Kasus
Forensik Berdasarkan
ICD X

24
2.3.5 Learning Issues
2.3.5.1 Jelaskan tentang tes paternitas dan bagaimana cara pemeriksaannya ?
2.3.5.2 Bila surat permintaan Visum et Repertum (VeR) terlambat beberapa lama
setelah pemeriksaan, diskusikan solusi yang diambil untuk pembuatan VeR ?
2.3.5.3 Bagaimana Cara mendiagnosis kasus forensik berdasarkan Kolom ICD X
2.3.5.4 Penulisan penyebab kematian berdasarkan ICD 10

2.3.6 Referensi brainstroming


2.3.6.1 Berita Negara Republik Indonesia Kementerian Kesehatan. 2012. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 Tentang
Rahasia Kedokteran.
2.3.6.2 Budiyanto, Arif, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian
kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2.3.6.3 Fahrurozi, R. Irfan Arief. 2012. Referat Rahasia Kedokteran. Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti. Diunggah pada 21 September, 2017, pada
https://www.scribd.com/doc/294215246/Referat-Rahasia-Kedokteran
2.3.6.4 Idries AM. 1997. Pedoman ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I.
Jakarta: Binarupa Aksara.
2.3.6.5 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran.
2.3.6.6 Sampurna, Budi, Zulhasmar Samsu, Tjeptjep Dwija Siswaja. Cara Kematian:
Peranan Ilmu Forensik Dalam Penegakan Hukum. Cetakan Pertama, Jakarta;
2008;

2.3.7 Pembahasan Learning Issues


2.3.7.1 Jelaskan tentang tes paternitas dan bagaimana cara pemeriksaannya ?

Tes paternitas adalah tes DNA untuk menentukan apakah seorang


pria adalah ayah biologis dari seorang anak. Tes paternitas membandingkan
pola DNA anak dengan terduga ayah untuk memeriksa bukti pewarisan
DNA yang menunjukkan kepastian adanya hubungan biologis dengan
menggunakan DNA inti (Fardhinand A, 2015).
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat
diturunkan. Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan
25
di dalam mitokondria. Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti
persoalan pribadi dan hukum antara lain: tunjangan anak, perwalian anak,
adopsi, imigrasi, warisan dan masalah forensik. Tes DNA dilakukan dengan
mengambil sampel biologis seperti buccal swab (usapan mulut pada pipi
sebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun lebih dipilih
penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2ml) sebagai sumber DNA
(Fardhinand A, 2015).
Selain itu tes DNA juga dapat dilakukan untuk tes maternitas dan tes
paternitas. Tes paternitas adalah tes DNA untuk menentukan apakah seorang
pria adalah ayah biologis dari seorang anak. Tes maternitas adalah tes DNA
untuk menentukan apakah seorang wanita adalah ibu biologis dari seorang
anak. Identifikasi DNA untuk tes paternitas dilakukan dengan menganalisa
pola DNA menggunakan marka STR (short tandem repeat) (Syukriani Y,
2012).
Tes DNA adalah 100% akurat bila dikerjakan dengan benar. Tes DNA
ini memberikan hasil lebih dari 99.99% probabilitas paternitas bila DNA
terduga ayah dan DNA anak cocok (matched). Hasil tes DNA akan selesai
dalam 12 hari kerja terhitung dari tanggal diterimanya sampel (Syukriani Y,
2012).

2.3.7.2 Bila surat permintaan Visum et Repertum (VeR) terlambat beberapa lama
setelah pemeriksaan, diskusikan solusi yang diambil untuk pembuatan
VeR ?

Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas


permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap
seorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari badan manusia,
berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan
peradilan (Budiyanto dkk, 1997).

Berdasarkan sifatnya, VeR dibagi dalam 3 (tiga) bentuk yaitu:


a. VeR Sementara
Bentuk VeR sementara adalah seperti struktur visum lengkap
akan tetapi belum disimpulkan. Visum tersebut dapat digunakan sebagai
26
bukti awal penyidikan. VeR sementara diberikan setelah pemeriksaan
dan ternyata korban perlu diperiksa atau dirawat lebih lanjut, baik di
rumah sakit maupun di rumah. Pada kesimpulan VeR sementara tidak
dicantumkan kualifikasi daripada luka, karena masih dalam pengobatan
atau perawatan belum selesai (Aflanie I. dkk, 2017).
b. VeR Lanjutan
Bentuk VeR lanjutan sama persis dengan VeR sementara
perbedaan letaknya pada fungsinya yaitu sebagai sambungan dalam
proses penyidikan perkara. VeR lanjutan diberikan setelah korban : 1)
sembuh; 2) meninggal; 3) pindah rumah sakit; 4) pindah dokter.
Kualifikasi luka dalam VeR lanjutan pada korban yang belum sembuh
dan pindah ke dokter lain tidak dicantumkan (Aflanie I. dkk, 2017).
c. VeR Definitif
Merupakan VeR lengkap yang memuat semua keterangan dan
analisis hasil pemeriksaan. Bersifat permanen dan berfungsi sebagai
pengganti barang bukti jenazah guna proses peradilan. VeR sementara
dan lanjutan dikenal juga sebagai surat keterangan medis sementara
sehingga dapat dipergunakan penyidik dalam operasional pemeriksa
perkara. Penyusun VeR tidak terlepas dari tertib dalam mengelola surat-
surat kelengkapan administrasi. Hal tersebut karena berkaitan erat
dengan rahasia jabatan dalam melakukan pemeriksaan (Aflanie I. dkk,
2017).

Dalam praktek sehari-hari, orang dengan luka-luka akan dibawa


langsung ke dokter, baru kemudian dilaporkan ke penyidik. Hanya korban
dengan luka ringan atau tampak ringan saja yang akan lebih dahulu melapor
ke penyidik sebelum pergi ke dokter. Hal ini membawa kemungkinan bahwa
surat permintaan visum et repertum korban luka akan datang "terlambat"
dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini
masih cukup beralasan dan dapat diterima, maka keterlambatan ini tidak boleh
dianggap sebagai hambatan pembuatan visum et repertum. Sebagai contoh
keterlambatan seperti ini adalah keterlambatan pelaporan kepada penyidik
seperti yang dimaksud di atas, kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan,
overmatch (berat lawan) dan noodtoestand (keadaan darurat).
27
Berdasarkan penjelasan di atas apabila surat permintaan VeR
terlambat beberapa lama setelah pemeriksaan maka solusi yang diambil untuk
pembuatan VeR, yaitu dengan membuat VeR sementara (surat keterangan
medis sementara) sehingga dapat digunakan sebagai bukti awal penyidikan.

2.3.7.3 Bagaimana Cara mendiagnosis kasus forensik berdasarkan Kolom ICD X

Penulisan penyebab kematian berdasarkan ICD 10

ICD-10 merupakan klasifikasi statistik, yang terdiri dari sejumlah kode


alfanumerik yang satu sama lain berbeda (mutually exclusive) menurut
kategori, yang menggambarkan konsep seluruh penyakit (WHO, 2004).

ICD-10 merupakan standarisasi penyebab kematian berdasarkan data


otopsi verbal yang juga sudah disediakan oleh WHO melalui penelitian selama
3 tahun. Hal ini untuk menghindari kerancuan atau pendapat subjective
mengenai hasil data otopsi verbal.

Klasifikasi terstruktur secara hierarki dengan bab, kategori dan


karakter spesifik untuk setiap penyakit/kondisi yang mana klasifikasi
mencakup panduan yang berisi rule yang spesifik untuk menggunakannya.
Klasifikasi merupakan suatu sistem dari pengelompokkan penyakit, cedera,
keadaan dan prosedur-prosedur yang ditentukan menurut kriteria yang telah
ditetapkan.

Penggunaan klasifikasi dimaksudkan agar data penyakit/cedera/kondisi


mudah disimpan, digunakan kembali dan dianalisis, serta dapat dibandingkan
antar rumah sakit, propinsi dan negara untuk kurun waktu yang sama atau
berbeda.

International Classification of Diseases yang dikembangkan


didasarkan pada prinsip kepraktisan, untuk tujuan epidemiologi dan statistik
penyakit yang diklasifikasi sebagai berikut:

a. Penyakit-penyakit endemik
b. Penyakit-penyakit umum
c. Penyakit-penyakit menurut letak organ

28
d. Penyakit-penyakit yang berkembang
e. Cedera.

ICD-10 terdiri dari 3 volume yaitu:

1. Volume 1 berisi klasifikasi utama. Sebagian besar buku Volume 1 terdiri


dari daftar kategori 3 karakter dan daftar tabel inklusi dan subkategori 4
karakter. Inti klasifikasi adalah daftar kategori 3 karakter yang
dianjurkan untuk pelaporan ke WHO mortality database dan
perbandingan umum internasional. Daftar bab dan judul blok juga
termasuk inti klasifikasi. Daftar tabular memberikan seluruh rincian
level 4 karakter dan dibagi dalam 22 bab (WHO, 2004)
2. Volume 2 berisi petunjuk pemakaian ICD
3. Volume 3 berisi alfabet klasifikasi, dibagi dalam 3 bagian: bagian 1,
terdiri atas indeks tentang penyakit dan luka alami. Bagian 2, merupakan
indeks penyebab luar morbiditas dan mortalitas, berisi seluruh term yang
diklasifikasi. Bagian 3, berisi tabel obat dan bahan kimia.
Kode utama untuk penyakit yang mendasari diberi tanda dagger (†) dan
kode tambahan untuk manifestasinya diberi tanda asterisk (*). Kode dagger
adalah kode utama dan harus selalu digunakan. Dalam coding, kode asterisk
tidak bisa digunakan sendiri (WHO, 2004).

Penyebab kematian

Semua penyakit, kondisi sakit atau cedera yang baik mengakibatkan atau
menyebabkan kematian dan keadaan kecelakaan atau kekerasan yang
menghasilkan cedera. Definisi ini tidak termasuk gejala dan cara mati, seperti
gagal jantung atau kegagalan pernafasan.

No. Nama Bab Kode


Bab
I Certain infectious and parasitic diseases A00-B99

II Neoplasm C00-D48

III Diseases of the blood and blood-forming organs and certain D50-D89

29
disorders involving the immune mechanism

IV Endocrine, nutritional and metabolic diseases E00-E90

V Mental and behavioral disorders F00-F99

VI Diseases of the nervous sistem G00-G99

VII Diseases of the eye and adnexa H00-H99

VIII Diseases of the ear and mastoid process H60-H95

IX Diseases of the circulatory sistem I00-I99

X Diseases of the respiratory sistem J00-J99

XI Diseases of the digestive sistem K00-K93

XII Diseases of the skin and subcutaneous tissue L00-L99

XIII Diseases of the musculoskeletal sistem and connective tissue M00-M99

XIV Diseases of the genitourinary sistem N00-N99

XV Pregnancy, childbirth and the puerperium O00-O99

XVI Certain conditions originating in the perinatal period P00-P96

XVII Congenital malformations, deformations and chromosomal Q00-Q99


abnormalities

XVIII Symptoms, signs and abnormal clinical and laboratory findings, not R00-R99
elsewhere classified

XIX Injury, poisoning and certain other consequences of external causes S00-T98

XX External causes of morbidity and mortality V01-Y98

XXI Factors influencing health status and contact with health services Z00-Z99

30
Bab XV khusus untuk penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
kematian maternal yaitu kematian yang terjadi pada saat kehamilan,
persalinan, dan masa nifas. Di dalam bab ini sebab kematian maternal
dibedakan antara:

- Sebab kematian secara langsung berhubungan dengan kehamilan,


persalinan, dan masa nifas (O00-O97) dan
- Sebab kematian tidak langsung yaitu disebabkan karena penyakit infeksi,
penyakit sistem sirkulasi (Jantung), penyakit sistem pernapasan, anemia
yang terjadi pada saat kehamilan, persalinan, dan masa nifas (O98-O99).

Tiap bab terdiri dari beberapa blok dimana masing-masing blok


merupakan kumpulan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya. Tiap-tiap
blok terdiri dari beberapa penyakit dan gangguan kesehatan lainnya yang
mempunyai 3 kode karakter. Beberapa kategori 3 karakter terbagi lagi dalam
kategori 4 karakter yang menguraikan secara lebih rinci tentang penyakit dan
gangguan kesehatan lainnya seperti menguraikan letak anatomis, komplikasi,
sifat dan lain lain. Untuk beberapa keadaan bahkan sampai dengan 5 karakter
(contoh patah tulang). Di bawah ini akan disebutkan beberapa contoh:

- Penyakit Infeksi dan Parasit (A00-B99)…...…..………………. Bab


- Penyakit Infeksi Intestinal (A00-A09)……….…………………. Blok
- Tuberculosis(A15-A19)………… ………….….…………. …….Blok
- Cholera (A00)…………………………………..… Kategori 3 karakter
- Typhoid dan paratyphoid fever……………… .... .. Kategori 3 karakter
- Typhoid fever………………………………..……. Kategori 4 karakter

31
Dalam bagian I atau II merupakan penyakit, cedera, atau komplikasi
suatu penyakit. Kolom yang disebelah kanan berisi keterangan kira-kira lama
waktu antara timbulnya penyakit sampai orang tersebut meninggal.

Ia. Direct Cause of Death (Penyebab Kematian Langsung)

Adalah penyakit yang secara langsung menyebabkan kematian.

Ib dan c. Intervening Antecedent Cause of Death (Penyebab Perantara)

Adalah penyakit yang menyebabkan terjadinya penyakit yang


disebutkan pada Ia

Id. Underlying Cause of Death (Penyebab Utama)

Adalah penyakit atau cedera yang merupakan awal dimulainya


perjalanan penyakit menuju kematian atau keadaan kecelakaan/kekerasan/
keracunan yang menyebabkan cedera dan kematian.

32
Prosedur untuk memilih penyebab utama dari kematian (underlying
cause)

- Bila hanya terdapat satu sebab kematian maka sebab kematian ini
dipilih untuk “Underlying Cause of Death” dan ditempatkan pada
bagian Id, sedangkan untuk bagian lainnya Ia, Ib, Ic tidak diisi.
- Dua atau lebih keadaan yang dituliskan berturut-turut pada bagian I
(pertama) sertifikat adalah penyakit/gangguan/cedera dimana masing-
masing keadaan tersebut adalah penyebab yang dapat diterima dari
penyebab yang sebelumnya (Konsep urutan logic).
- Dalam beberapa keadaan ICD memungkinkan penyebab untuk
digantikan dengan yang lebih cocok untuk mengungkapkan penyebab
utama yang mendasari dalam tabulasi. Sebagai contoh, ada beberapa
kategori untuk kombinasi kondisi, atau mungkin ada alasan utama
epidemiologi untuk memberikan kondisi lain pada sertifikat.
- Oleh karena itu langkah berikutnya adalah untuk menentukan apakah
ada aturan modifikasi yang berhubungan dengan situasi di atas,
berlaku. Nomor kode yang dihasilkan untuk tabulasi ini adalah
penyebab utama (Underlying Cause).
- Bila penyebab yg menimbulkan kematian adalah cedera atau efek lain
dari penyebab eksternal, keadaan yang menimbulkan kondisi harus
dipilih sebagai underlying cause untuk tabulasi dan dikode V01-Y89.
Kode untuk cedera atau efek dapat digunakan sebagai tambahan kode.

Contoh:

Penyebrang jalan ditabrak truk, meninggal ditempat kejadian, dibawa


ke RS terdekat dan oleh dokter dikatakan mengalami patah ke dua tulang
tungkai atas, tulang lengan bawah kanan. Pada sertifikat kematian dicatat
sebagai berikut:

a. Traumatic Shock (T79)


b. Multiple Fractures (S72)
c. –
d. Pedestrian Hit by Truck (V04)
33
Bila ditemukan 2 rangkaian penyebab kematian, maka yang menjadi
Underlying Cause of Death adalah keluhan utama dari rangkaian penyakit
sebelum almarhum meninggal dan ditempatkan pada bagian Ia, sedangkan
rangkaian penyakit lainnya ditempatkan pada bagian II.
Contoh:

Dari autopsi verbal ditemukan ada riwayat chronic rheumatic heart


diseases, congestive heart failure, dan cirrhosis of the liver. Sebelum
meninggal almarhum muntah darah/hematemesis. Pada sertifikat kematian
dicatat sebagai berikut:

I a. Oesophageal Varices (I85)

b. –
c. –
d. Cirrhosis of the liver (K74)

II a. Congestive Heart Failure (I50)

b. Chronic Rheumatic heart Diseases (I05)

Beberapa kasus kematian yang dipilih untuk dicatat dalam


sertifikat kematian sesuai dengan konsep general urutan logik tidak
selalu penting dan informative. Sebagai contoh adalah senilitas atau
beberapa penyakit menahun (hipertensi, atherosclerosis) yang
mempunyai peran sebagai salah satu faktor risiko dari suatu
penyakit penyebab kematian, apabila dicatat sebagai penyebab
kematian akan menjadi kurang berguna karena keadaan tersebut
bukan sesungguhnya sebagai penyebab kematian utama (underlying
cause). Modifikasi dilakukan untuk meningkatkan kegunaan dan
presisi dari data mortalitas, terlebih lagi pada penetapan diagnosis
sebab kematian dengan teknik autopsi verbal.

34
Beberapa contoh aturan modifikasi:

Senility and ill defined condition

Pada ketentuan pengkodean ICD, penyebab kematian yang ada pada


Bab XVIII/ ill defined conditions (kecuali R95-Sudden Infant Death Syndrom)
tidak mempunyai arti penting untuk dilaporkan. Oleh sebab itu diagnosis
sebab kematian pada Bab tersebut diusahakan untuk dihindari dengan
menggali lebih dalam informasi yang ada.

Contoh (autopsi verbal):

Kematian terjadi pada laki-laki berumur 75 tahun. Sebelum meninggal


almarhum berbaring terus kira-kira selama 1 tahun, sesak napas dan sekali-
sekali batuk. Penderita kurus, makan sedikit, tidak bisa bangun dari tempat
tidur. Penderita mempunyai riwayat kaku pada sendi, nyeri dan bila sedang
kumat berwarna merah. Penyakit ini sudah lebih dari 5 tahun dan hilang
timbul

Kesimpulan: Senilitas, Reumatoid Arthritis, Pnemonia hypostatic.

I a. Pneumonia hipostatic (J17)

b. -
c. -
d. Rheumatoid artritis (M06)

Trivial condition
Apabila salah satu penyakit/kondisi tidak begitu penting dari beberapa
sebab kematian, maka sebab tersebut diabaikan.
Contoh 1:

Dari hasil autopsi verbal dicatat beberapa penyakit yaitu Paronychia


dan Tetanus. Maka yang dicatat pada sertifikat kematian sebagai Underling
Cause of Death adalah Tetanus (A35), sedangkan Paronychia diabaikan.

35
Dari hasil autopsi verbal dicatat beberapa penyakit/kondisi yaitu: KKP,
Campak, Bronchopnemonia. Maka yang dicatat pada sertifikat kematian
sebagai berikut:

I a. Bronchopnemonia (J18)

b. -
c. –
d. Campak/Measles (B05)

36
Linkage

Apabila ada beberapa penyakit dan faktor risiko biologis yang


berkaitan/berhubungan dengan kematian, maka dipilih penyakit yang
merupakan muara dari berbagai penyakit/faktor risiko biologi yang mengawali
proses menuju kematian.

Contoh 1:

Dari hasil autopsi verbal dicatat riwayat menderita hipertensi yang sudah
lama, penyakit jantung, stroke. Maka yang dicatat pada sertifikat kematian
sebagai berikut:

I a. Stroke (I64)

b. -
c. -
d. Hipertensive Heart Diseases (I11)

Contoh 2:

Dari hasil autopsi verbal dicatat riwayat hipertensi, diabetes koma. Maka yang
dicatat pada sertifikat kematian adalah

I a. -

b. -
c. -
d. Coma Diabeticum (E10.0)

Risk Factor

Apabila satu atau beberapa sebab kematian merupakan faktor risiko


yang turut berperan dalam penyebab kematian, maka faktor risiko tersebut tidak
dituliskan dalam rangkaian perjalanan penyakit yang mendasari terjadinya
kematian.

37
Contoh 1:

Dari hasil autopsi verbal dicatat atherosclerosis, hipertensi, cerebral


infark, pneumonia hypostatic. Atherosclerosis dan hipertensi yang saling
berkaitan merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya thrombus atau
embolus otak yang mengakibatkan infark. Maka yang dicatat pada sertifikat
kematian adalah:

I a. Pnemonia hypostatic (J17)

b. -
c. -
d. Cerebral Infark (I63)

Contoh 2:

Dari hasil autopsi verbal dicatat riwayat hipertensi, obesitas, stroke.


Hipertensi, obesitas dan diabetes adalah faktor risiko untuk terjadinya stroke,
dan sangat sulit untuk menentukan apakah stroke disebabkan oleh hipertensi,
obesitas atau diabetes. Maka yang dicatat pada sertifikat kematian adalah:

I a. -

b. -
c. -
d. Stroke (I64)
Dalam contoh kasus ini penyakit hipertensi, obesitas, diabetes tanpa
komplikasi adalah faktor-faktor risiko untuk terjadinya penyakit stroke, oleh
sebab itu faktor-faktor risiko tersebut tidak dituliskan sebagai underlying cause
of death. Faktor risiko lain adalah atherosklerosis, hiperlipedemia.

Spesifitas
Apabila dari hasil autopsi verbal dapat dicatat suatu keadaan yang
menunjukkan informasi yang lebih tepat dan spesifik mengenai diagnosis
penyakit maka pilihan akan ditujukan terhadapnya.

38
Contoh:

Hipertensi berat ketika hamil, bengkak pada kaki dan tungkai, sakit
kepala, kejang-kejang. Maka yang dipilih sebagai underlying cause of death,
adalah Eclampsia in pregnancy (O15), bukan Gestational hypertension without
significant proteinuria (O13).

Sequelae
Sequelae beberapa penyakit tertentu dan cedera tertentu misalnya
lumpuh separuh badan dianggap sebagai penyebab kematian utama.

Contoh :

Dari hasil autopsi verbal dicatat riwayat hipertensi, lumpuh separuh


badan sudah 6 tahun, pernah stroke 2 kali dan serangan yang terakhir 1 tahun
sebelum meninggal bertambah berat dan tidak bisa duduk, beberapa bulan
yang lalu sesak napas dan meninggal. Maka yang dicatat pada sertifikat
kematian adalah:

I a. Pnemonia hipostatik (J17)

b. -
c. -
d. Sequalae dari CVA (I69)

Penulisan penyebab kematian berdasarkan kepentingan hukum

Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai


berikut:

a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa


b. Bernomor dan bertanggal
c. Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)
d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan
pemeriksaan
f. Tidak menggunakan istilah asing

39
g. Ditandatangani dan diberi nama jelas
h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut
i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila
ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan
penyidik POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi
tersebut dapat diberi visum et repertum masing-masing asli
k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya,
dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun.

2.3.8 Referensi Learning Issue


2.3.8.1 Aflanie I, Nirmalasari N, dan Arizal MH. 2017. Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal. Jakarta: Rajawali Pers.
2.3.8.2 Budiyanto, A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., Winardi, T., Mun’im, A., Sidhi,
et al. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2.3.8.3 Djaja & Suhardi. 2001. Aplikasi ICD-10 Pada Studi Mortalitas Survei
Kesehatan Rumah Tangga 2001. Jakarta: Depkes RI.
2.3.8.4 Hilman Ali Fardhinand. Eksistensi Tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid)
Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian Hukum Pidana 2015; 4(2): 199-207
2.3.8.5 Susanto, Dian Budi. 2010. Pengembangan Modul Pembelajaran Icd-10 Pada
E-Learning Terminologi Medis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Accesed at http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=136104
2.3.8.6 World Health Organization. 2003. International Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problems. Accesed at
www.who.int/occupational_health/publications/en/oehicd10.pdf
2.3.8.7 Yoni syukriani. DNA Forensik. Jakarta: Departemen Ilmu Forensik FKUnpad
RS dr Hasan Sadikin, 2012. H59.

40
41
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok 5 pada skenario LBM 2, kami menyimpulkan
bahwa Surat keterangan medis adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter untuk
tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit pasien atas permintaan pasien atau atas
permintaan pihak ketiga dengan persetujuan pasien atau atas perintah undang-undang.
Pembuatan surat keterangan medis harus berdasarkan hasil pemeriksaan, dan dokter
pembuatnya harus mampu membuktikan kebenaran keterangannya apabila diminta.
Dalam kode etik kedokteran Indonesia Kode etik kedokteran Indonesia (pasal 7)
mengatur sebagai berikut : ” Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”

42
DAFTAR PUSTAKA

Aflanie I, Nirmalasari N, dan Arizal MH. 2017. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Jakarta: Rajawali Pers.
Hilman Ali Fardhinand. Eksistensi Tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) Sebagai
Alat Bukti Dalam Pembuktian Hukum Pidana 2015; 4(2): 199-207

Berita Negara Republik Indonesia Kementerian Kesehatan. 2012. Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran.

Budiyanto, Arif, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian kedokteran Forensik,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Budiyanto, A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., Winardi, T., Mun’im, A., Sidhi, et al. 1997.
Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Djaja & Suhardi. 2001. Aplikasi ICD-10 Pada Studi Mortalitas Survei Kesehatan Rumah
Tangga 2001. Jakarta: Depkes RI.

Fahrurozi, R. Irfan Arief. 2012. Referat Rahasia Kedokteran. Fakultas Kedokteran


Universitas Trisakti. Diunggah pada 21 September, 2017, pada
https://www.scribd.com/doc/294215246/Referat-Rahasia-Kedokteran

Idries AM. 1997. Pedoman ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta:


Binarupa Aksara.

Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.

Sampurna, Budi, Zulhasmar Samsu, Tjeptjep Dwija Siswaja. Cara Kematian: Peranan Ilmu
Forensik Dalam Penegakan Hukum. Cetakan Pertama, Jakarta; 2008;

Susanto, Dian Budi. 2010. Pengembangan Modul Pembelajaran Icd-10 Pada E-Learning

Terminologi Medis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Accesed at


http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=136104

43
World Health Organization. 2003. International Statistical Classification of Diseases and
Related Health Problems. Accesed at
www.who.int/occupational_health/publications/en/oehicd10.pdf.

Yoni syukriani. DNA Forensik. Jakarta: Departemen Ilmu Forensik FKUnpad RS dr Hasan
Sadikin, 2012. H59.

44

You might also like