Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Dalam arti umum surat keterangan adalah surat yang dibuat sebagai bukti untuk
menerangkan atau menyatakan sesuatu. Surat keterangan dokter (medis) adalah surat
keterangan mengenai keadaan kesehatan atau sakit seorang pasien yang dibuat oleh dan
ditandatangani oleh seorang dokter yang dapat menjelaskan mengenai penyakit atau
bagaimana sakitnya pasien.
Aspek formal surat keterangan dokter (medis) adalah yang berhubungan dengan
penerbit surat keterangan dokter.
Aspek materil surat keterangan dokter (medis) adalah yang berhubungan dengan isi yang
dijelaskan di dalam surat keterangan dokter.
Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang dokter kadang kalanya harus menerbitkan
surat--surat keterangan dokter. Pedomannya antara lain:
a. Bab I Pasal 7 KODEKI,” Setiap dokter hanya memberikan keterangan dan
pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”.
b. Bab II Pasal 12 KODEKI “ Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien meninggal dunia”
c. Paragraph 4, pasal 48 UU No. 29/2004 tentang praktik Kedokteran.
1
Dokter yang menerbitkannya harus betul-betul yakin apa yang dituliskannya atau
dinyatakannya. Karena dokter telah mengucapkan sumpahnya kedokteran. Sesuai dengan
pasal 7 Kodeki,
“Seorang dokter hanya memberikan surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.”
Dokter dianggap melanggar etik apabila ia mengetahui secara sadar menerbitkan surat
keterangan yang tidak mengandung kebenaran. Pasal 267 KUHP
1.2 Tujuan
1.2.1 Mahasiswa mengetahui dan memahami unsur-unsur keterangan medis.
1.2.2 Mahasiswa mengetahui dan memahami cara mendokumentasikan luka.
1.2.3 Mahasiswa mengetahui dan memahami Tentang Aspek Rahasia Kedokteran
1.2.4 Mahasiswa mengetahui Bagaimana cara kematian, mekanisme, dan penyebab
kematin.
1.2.5 Mahasiswa mengetahui dan memahami Bila keluarga meminta surat keterangan
kematian, apa boleh langsung diterbitkan
1.2.6 Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang tes paternitas dan bagaimana cara
pemeriksaannya
1.2.7 Mahasiswa mengetahui Bila surat permintaan Visum et Repertum (VeR)
terlambat beberapa lama setelah pemeriksaan, diskusikan solusi yang diambil
untuk pembuatan VeR
1.2.8 Mahasiswa dapat menjelaskan bagaimana Cara mendiagnosis kasus forensik
berdasarkan Kolom ICD X
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sang istri diantar ke Rumah Sakit oleh plisi dan meminta kepada dokter
pemeriksa dibuatkan Visum et Repertum perlukaan. Karena korban bekerja di sebuah
perusahaan swasta, krban meminta dibuatkan Surat Keterangan Sakit untuk tidak
masuk kerja beberapa waktu. Beberapa hari kemudian, pihak perusahaan tempat korban
bekerja meminta Surat Keterangan Medis agar dana asuransi kesehatan korban dapat
dicairkan.
Di lain pihak, suami ingin melakukan tes paternitas untuk anaknya dengan
pemeriksaan DNA agar jelas siapa sesungguhnya ayah anaknya tersebut dan setelah ada
hasil dia meminta dibuatkan Surat Keterangan Keayahan bagi anak tersebut. Beberapa
saat setelah diperiksa sang istri tiba-tiba meninggal atau Death On Arrival (DOA).
Jenazah kemudian dievakuasi ke RSUD untuk dilakukan pemeriksaan forensik. Dan
dalam waktu yang bersamaan telah ditemukan pula jenazah tanpa identitas.
3
2.3 PEMBAHASAN LBM
2.3.1 Klarifikasi Istilah
2.3.1.1 Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat
dokter berdasarkan sumpah/janji yang diucapkan pada waktu menerima
jabatan dokter, memuat berita tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan
pada barang bukti berupa tubuh manusia/benda yang berasal dari tubuh
manusia yang diperiksa sesuai pengetahuan dengan sebaik-baiknya atas
permintaan penyidik untuk kepentingan peradilan.
2.3.1.2 Surat Keterangan Medis Surat keterangan medis adalah keterangan tertulis
yang dibuat oleh dokter untuk tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit
pasien atas permintaan pasien atau atas permintaan pihak ketiga dengan
persetujuan pasien atau atas perintah undang-undang.
2.3.1.3 Tes Paternitas adalah metode pembentukan hubungan genetik antara anak
dan ayah dugaan. Terlepas dari kasus-kasus kehamilan akibat perkosaan, di
mana ia digunakan untuk mengidentifikasi pelaku, identifikasi pengujian garis
ayah biasanya dicari oleh ibu yang mencoba untuk membuktikan ayah dari
pria yang menolak untuk membayar tunjangan anak.
2.3.1.4 Death On Arrival (DOA) merupakan keadaan dimana pasien atau korban
ditemukan dalam keadaan sudah meninggal ditempat pelayanan. Biasanya
kasus DOA masuk ke IGD suatu rumah sakit.
4
2.3.3 Brain Storming
2.3.3.1 Apa saja unsur-unsur keterangan medis ?
a. Kop Surat
b. Pendahuluan
Penulisan Pendahuluan pada keterangan medis meliputi unsur-
unsur tertentu diantaranya : menerangkan nama dokter yang membuat,
menerangkan tempat dimana dilakukan pemeriksaan, waktu pemeriksaan,
serta identitas korban yang diperiksa (Budiyanto, Arif, dkk. 1997).
c. Pemberitaan
Bagian ini di isi dengan hasil pemeriksaan medik yang telah
dilakukan tentang keadaan kesehatan atau sakit atau luka pasien yang
diperiksa, tindakan yang dilakukan serta keadaanya setelah dilakukan
pengobatan/perawatan (Budiyanto, Arif, dkk. 1997).
d. Kesimpulan
Bagian ini berisi kesimpulan dan berisi pendapat dokter
berdasarkan keilmuannya, mengenai jenis gangguan medis yang dialami
pasien.
e. Penutup
Bagian ini berisi kalimat baku yang menyatakan bahwa surat
keterangan medis yang digunakan merupakan benar dan dibuat oleh dokter
yang bersangkutan (Budiyanto, Arif, dkk. 1997).
7
- Dapat dilakukan pengambilan foto tambahan dengan posisi
kamera miring 45° terhadap titik pusat objek, baik dari sisi atas,
bawah, kanan, kiri, maupun diagonal, jika dirasa perlu.
d. Dokumentasi pada Lembar Sketsa Tubuh (Body Chart)
1. Pastikan data-data mengenai nomor SPV, nomor registrasi kasus,
identitas
pasien, pemeriksa, dan tanggal serta waktu pemeriksaan telah terisi
lengkap pada lembar body chart
2. Gambarkan garis yang menjadi acuan untuk menentukan absis dan
ordinat luka
3. Gambarkan luka pada lembar body chart sesuai dengan hasil yang
ditemukan pada hasil pemeriksaan, kemudian arsir sesuai dengan
legenda
4. Tuliskan panjang dan lebar luka
5. Tuliskan absis dan ordinat luka
6. Ulangi langkah 2-5 jika terdapat lebih dari satu luka.
e. Deskripsi Luka
1. Identifikasi luka yang akan dideskripsikan
2. Kelompokkan luka-luka yang ada berdasarkan regio anatomis
3. Tuliskan:
- Jumlah luka di dalam regio tersebut
- Jenis luka (tertutup atau terbuka)
- Lokasi anatomis
- Bentuk luka
- Ukuran luka, yaitu panjang dan lebar luka (pengukuran kedalaman
luka hanya dilakukan jika memungkinkan)
- Lokasi koordinat luka berdasarkan absis dan ordinat
- Karakteristik luka, mencakup garis batas luka, daerah di dalam
garis batas luka, dan daerah di sekitar luka
4. Perincian:
Luka tertutup:
- Garis batas luka: batas tegas/tidak tegas
- Daerah di dalam garis batas luka: warna, permukaan luka,
bengkak ada/tidak
8
- Daerah di sekitar luka: ada/tidak ada kelainan
Luka terbuka:
- Garis batas luka: tepi rata/tidak rata
- Daerah di dalam garis batas luka: tebing luka, dasar luka,
jembatan jaringan ada/tidak, ujung luka (bila ada) tajam/tumpul,
perdarahan aktif ada/tidak
- Daerah di sekitar luka: ada/tidak ada kelainan
9
2.3.3.3 Jelaskan Tentang Aspek Rahasia Kedokteran !
Definisi
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran:
- Pasal 1
“Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu
yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau
selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran”.
- Pasal 2
“Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang
yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang
sederajat atau lebih tinggi daripada Peraturan Pemerintah ini menentukan
lain”.
- Pasal 3
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-undang tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara tahun 1963 No. 79).
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan
pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan, dan orang lain yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
10
Hakekat Rahasia Kedokteran
1. Rahasia Jabatan dan Rahasia Pekerjaan
Rahasia jabatan bukan berdasarkan azas kepercayaan, diwajibkan
bagi pejabat negara. Sedangkan rahasia pekerjaan berdasarkan azas
kepercayaan, bersifat swasta (Budiyanto, dkk, 1997).
2. Azas Kepercayaan
Profesi kedokteran (bidang kesehatan) baru dapat berlangsung bila
ada kerelaan pasien untuk mengungkapkan keadaan dirinya, termasuk hal-
hal yang amat pribadi. Bentuk pengungkapan diri pasien dalam
hubungannya dengan profesi kedokteran meliputi tindakan anamnesa
(wawancara), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorik. Hal ini
berarti semua data pribadinya diserahkan pada tangan dokter yang
memeriksanya (beserta staf medis lainnya) (Budiyanto, dkk, 1997).
Dalam keadaan memerlukan bantuan medik, seorang pasien
berada dalam situasi konflik. Di satu pihak pasien sangat menderita dan
sangat memerlukan bantuan orang lain (dokter), tapi di pihak lain pasien
juga menginginkan rahasianya tetap utuh, demi ketentraman batin dan
integritas pribadinya. Nampaknya pasien yang datang ke dokter terpaksa
harus mengorbankan kepentingannya yang kedua (rahasia pribadi)
(Budiyanto, dkk, 1997).
Tradisi profesi kedokteran ternyata menghargai kerahasiaan
pribadi tersebut sehingga perlu mencantumkannya dalam kode etik
kedokteran. Akibatnya dapat dikatakan bahwa konstruksi hubungan
dokter-pasien adalah berdasarkan azas kepercayaan. Artinya, dokter
percaya bahwa pasien akan mengungkapkan keadaan dirinya yang
seutuhnya, sedangkan pasien juga percaya bahwa dokter akan menjaga
rahasia yang diketahuinya, yaitu yang dinamakan rahasia kedokteran
(Budiyanto, dkk, 1997).
Beberapa profesi lain juga dibangun secara tradisi atas dasar azas
kepercayaan antara lain adalah profesi advokat/pengacara, notaris dan
rohaniawan (Budiyanto, dkk, 1997).
Pada perkembangan selanjutnya masyarakat menganggap masalah
rahasia pribadi itu merupakan kepentingan umum, karena menyangkut
11
hak asasi seluruh masyarakat, sehingga perlu diatur oleh hukum
(Budiyanto, dkk, 1997).
13
f. mahasiswa/siswa yang bertugas dalam pemeriksaan, pengobatan,
perawatan, dan/atau manajemen informasi di fasilitas pelayanan
kesehatan.
(3) Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku selamanya,
walaupun pasien telah meninggal dunia.
15
harus menunjukkan kepada dokter lembar persetujuan pasien atas
pengungkapan rahasia medisnya. Dalam hal ini, dokter tidak perlu
menjelaskan tentang keadaan pasien secara menyeluruh, data
terbatas dan hanya yang relevan.
3. Dokter Perusahaan
Adanya kontrak antara dokter dengan perusahaan melalui
sebuah perjanjian. Dengan itu maka hubungan dokter dengan
perusahaan menjadi nomor satu sedangkan hubungan dokter dengan
pasien menjadi nomor dua. Hal ini sudah menjadi kewajinan dokter
untuk melaporkan hal-hal yang wajib lapor kepada perusahaan
walaupun data yang diberikan hanya terbatas dan yang relevan
berkaitan dengan public health and duty to warn.
4. Dokter Penguji Kesehatan
Adanya kontrak antara dokter dengan peminta uji kesehatan
(biasanya tidak selalu pasien sendiri). Jawaban dari hasil
pemeriksaan adalah untuk peminta kesehatan. Terlebih dahulu
pasien diberitahukan tentang hal ini.
5. Kepada Penguasa Hukum
Adanya permintaan resmi terhadap pengungkapan rahasia
kedokteran. Pengungkapan rahasia sebaiknya diberikan dalam
bentuk surat keterangan riwayat penyakit yang ditulis dengna
lengkap, jelas dan jujur serta menggunakan bahasa awam. Rekam
medis tidak boleh diberikan karena rekam medis hanya boleh keluar
dari Rumah Sakit atas perintah peradilan. Seperti yang tercantum
dalam Pasal 51 KUHP, yaitu:
18
Peran pertama adalah sebagai ahli klinik sehingga objek
akan berstatus sebagai seorang pasien dengan segala hak dan
kewajibannya. Tujuan tindakan dokter disini adalah pemulihan
kesehatan pasien dengan melakukan berbagai tindakan medik
(Budiyanto, dkk, 1997).
Peran kedua adalah sebagai ahli orensik yang bertugas
membantu proses peradilan dalam membuat Visum et Repertum
untuk penyidik. Maka korban akan berstatus sebagai barang bukti,
dan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan secara
imperatif. Tindakan yang dilakukan dokter adalah pemeriksaan
forensik yang bertujuan untuk menegakkan keadilan (Budiyanto,
dkk, 1997).
Kedua peran ini harus dibedakan dengan tegas, karena akan
membawa konsekuensi hukum yang berbeda sifatnya. Hak dan
tanggung jawab/kewajiban dokter sebagai ahli klinik sangat berbeda
dengan perannya sebagai ahli forensik, walaupun terjadi pada satu
kasus dan pada saat yang bersamaan (Budiyanto, dkk, 1997).
2. Perbandingan Tindakan di Bidang Kedokteran Forensik dan
Kedokteran Klinik Lainnya
Seperti telah dijelaskan dalam konsep peran ganda bahwa
seorang korban dapat berstatus sebagai pasien maupun benda bukti.
Dalam ilmu kedokteran forensik, korban hidup maupun mati akan
ditangani sebagai ‘benda bukti’. Tetapi walaupun berstatus sebagai
benda bukti, bukan berarti seluruh hak asasinya hilang sama sekali.
(Budiyanto, dkk, 1997)
Pemeriksaan forensik yang dilakukan atas diri korban
memang bukan atas kehendak bebas dari korban. Hal ini berbeda
dengan pemeriksaan klinis yang pada dasarnya merupakan
kehendak bebas dari pasien (Budiyanto, dkk, 1997).
Walaupun pemeriksaan klinis merupakan kehendak bebas
dari pasien, tapi hak atas privacy-nya tidak hilang. Maka wajarlah
bila pada pemeriksaan forensik (di mana pemeriksaan dilakukan
tidak atas dasar kesukarelaan) hak atas privacy tersebut justru tetap
dijaga, dan bukannya malah diungkapkan pada pihak yang tidak
19
berkepentingan agar korban tidak dirugikan dua kali (Budiyanto,
dkk, 1997).
Tentang sifat kerahasiaan di bidang kedokteran forensik,
dipermasalahkan apakah hal tersebut termasuk rahasia kedokteran
atau bukan. Sebenarnya bidang kedokteran lebih luas daripada
hanya sekedar bidang kesehatan saja (Budiyanto, dkk, 1997).
Karena kedokteran forensik merupakan salah satu dari
bidang kedokteran, maka Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1966
Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran juga berlaku untuk
bidang kedokteran forensik. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Professor Dr. Sutomo Tjokronegoro yang
mengatakan:
......dalam melakukan pekerjaan ilmu Dokter-kehakiman
untuk keperluan polisi dan hakim, kedudukan rahasia jabatan
tidaklah berlainan. Segala sesuatu yang diperiksa oleh seorang
dokter atas permintaan dan untuk keperluan polisi dan hakim,
sudah selayaknya dianggap sebagai rahasia jabatan......
3. Pihak yang Berwajib Menyimpan Rahasia Kedokteran Forensik
Karena Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1966 dapat
diterapkan pada bidang kedokteran forensik, maka untuk
menentukan siapa saja yang wajib menyimpan rahasia kedokteran
forensik dapat dipakai penjabaran pasal 3 PP No. 10 Tahun 1966
tersebut (Budiyanto, dkk, 1997).
21
tembak, luka tusuk, tumor ganas dari paru yang masuk ke pembuluh darah dan
seterusnya. Kebalikannya adalah bahwa penyebab kematian, sebagai contoh,
luka tembak pada abdomen, dapat menghasilkan banyak kemungkinan
mekanisme kematian yang terjadi, contohnya perdarahan atau peritonitis.
Cara kematian menjelaskan bagaimana penyebab kematian itu datang.
Cara kematian secara umum dapat dikategorikan sebagai wajar, pembunuhan,
bunuh diri, kecelakaan, dan yang tidak dapat dijelaskan (pada mekanisme
kematian yang dapat memiliki banyak penyebab dan penyebab yang memiliki
banyak mekanisme, penyebab kematian dapat memiliki banyak cara).
Seseorang dapat meninggal karena perdarahan masif (mekanisme kematian)
dikarenakan luka tembak pada jantung (penyebab kematian), dengan cara
kematian secara pembunuhan (seseorang menembaknya), bunuh diri
(menembak dirinya sendiri), kecelakaan (senjata jatuh), atau tidak dapat
dijelaskan (tidak dapat diketahui apa yang terjadi) (Idries AM, 1997).
- Kematian Wajar
Suatu kematian disebut wajar jika orang tersebut berada dalam
perawatan seorang dokter, diagnosis penyakitnya telah diketahui dan
kematiannya diduga karenapenyakitnya tersebut. Pada kematian yang
terjadi dalam perawatan di Rumah Sakit atau dalam perawatan seorang
dokter, umumnya dokter dapat memastikan bahwa kematian tersebut
kematian wajar. Pada kasus ini, dokter yang memeriksa pasien terakhir
kali atau dokter yang merawat dapat langsung memberikan surat
keterangan kematian dan jenazahnya dapat langsung diserahkan pada
keluarganya. Di Indonesia, seorang dokter puskesmas yang mendapatkan
laporan adanya suatu kematian hendaknya dapat memeriksa sendiri
jenazah tersebut. Setelah dokter selesai melakukan pemeriksaan luar (yang
dilakukan tanpa surat permintaan visum dari polisi) terhadap jenazah
tersebut dan dokter yang menentukan apakah kematiannya merupakan
kematian wajar atau tidak wajar. Jika ia yakin, bahwa tidak ada tanda-
tanda kekerasan atau keracunan serta kecurigaan lainnya, maka ia dapat
memutuskan bahwa kematian adalah wajar (Sampurna ddk, 2008).
- Kematian Tidak Wajar
Setiap kematian yang terjadi akibat kekerasan atau keracunan
termasuk kematian yang tidak wajar. Cara kematian pada kematian tidak
22
wajar adalah pembunuhan, bunuh diri dan kecelakaan. Pada kasus
kematian tidak wajar, hendaknya segera dilaporkan ke penyidik, sesuai
dengan pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau yang
sering disebut KUHAP. Adapun yang termasuk dalam kategori kasus yang
harus dilaporkan ke penyidik adalah kematian yang terjadi didalam
tahanan atau penjara, kematian terjadi bukan karena penyakit, kematian
bukan karena hukuman mati dan penemuan mayat, yang penyebab dan
informasi mengenai kematiannya tidak ada atau tidak jelas (Sampurna ddk,
2008).
2.3.3.5 Bila keluarga meminta surat keterangan kematian, apa boleh langsung
diterbitkan?
Surat keterangan kematian adalah surat yang menyatakan bahwa
seseorang sudah meninggal. Surat keterangan kematian dibuat atas dasar
pemeriksaan jenazah, minimal pemerik- saan luar. Dalam hal kematian
berkaitan dengan tindak pidana tertentu, pastikan bahwa prosedur hukum telah
dilakukan sebelum dikeluarkan surat keterangan kematian. Surat keterangan
kematian tidak boleh atas seseorang yang mati diduga akibat suatu peristiwa
pidana tanpa pemeriksaan kedokteran forenik terlebih dahulu. Pembuatan surat
keterangan kematian harus dibuat secara hati-hati, mengingat aspek hukum
yang luas, mulai dari urusan pensiun, administrasi sipil, warisan, santunan
asuransi, hingga adanya kemugkinan pidana sebagai penyebab kematian.
Surat keterangan kematian minimal berisi, identitas korban, tanggal
kematian, jenis pemeriksaan, sebab kematian. Pada rumah sakit yang sudah
ada dokter spesialis forensik dan sistem pengeluaran jenazah satu pintu
ke bagian forensik, maka surat keterangan kematian untuk seluruh mayat yang
meninggal di rumah sakit dikeluarkan oleh dokter spesialis forensik. Jika
kematian korban akibat suatu tindak pidana, maka surat keterangan kematian
boleh dikeluarkan setelah dilakukan pemeriksaan forensik terhadap jenazah.
23
2.3.4 Rangkuman Permasalahan
Tes Paternitas
Cara Melakukan
Pemeriksaan Test
Meninggal : Paternitas
Cara kematian
Mekanisme Kematian
Penyebab Kematian
Prosedur Pembuatan
Surat Keterangan
keayahan
Mekanisme Cara Pembuatan
Surat Keterrangan Kematian
Aspek Rahasia
Kedokteran
Diagnosis Kasus
Forensik Berdasarkan
ICD X
24
2.3.5 Learning Issues
2.3.5.1 Jelaskan tentang tes paternitas dan bagaimana cara pemeriksaannya ?
2.3.5.2 Bila surat permintaan Visum et Repertum (VeR) terlambat beberapa lama
setelah pemeriksaan, diskusikan solusi yang diambil untuk pembuatan VeR ?
2.3.5.3 Bagaimana Cara mendiagnosis kasus forensik berdasarkan Kolom ICD X
2.3.5.4 Penulisan penyebab kematian berdasarkan ICD 10
2.3.7.2 Bila surat permintaan Visum et Repertum (VeR) terlambat beberapa lama
setelah pemeriksaan, diskusikan solusi yang diambil untuk pembuatan
VeR ?
a. Penyakit-penyakit endemik
b. Penyakit-penyakit umum
c. Penyakit-penyakit menurut letak organ
28
d. Penyakit-penyakit yang berkembang
e. Cedera.
Penyebab kematian
Semua penyakit, kondisi sakit atau cedera yang baik mengakibatkan atau
menyebabkan kematian dan keadaan kecelakaan atau kekerasan yang
menghasilkan cedera. Definisi ini tidak termasuk gejala dan cara mati, seperti
gagal jantung atau kegagalan pernafasan.
II Neoplasm C00-D48
III Diseases of the blood and blood-forming organs and certain D50-D89
29
disorders involving the immune mechanism
XVIII Symptoms, signs and abnormal clinical and laboratory findings, not R00-R99
elsewhere classified
XIX Injury, poisoning and certain other consequences of external causes S00-T98
XXI Factors influencing health status and contact with health services Z00-Z99
30
Bab XV khusus untuk penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
kematian maternal yaitu kematian yang terjadi pada saat kehamilan,
persalinan, dan masa nifas. Di dalam bab ini sebab kematian maternal
dibedakan antara:
31
Dalam bagian I atau II merupakan penyakit, cedera, atau komplikasi
suatu penyakit. Kolom yang disebelah kanan berisi keterangan kira-kira lama
waktu antara timbulnya penyakit sampai orang tersebut meninggal.
32
Prosedur untuk memilih penyebab utama dari kematian (underlying
cause)
- Bila hanya terdapat satu sebab kematian maka sebab kematian ini
dipilih untuk “Underlying Cause of Death” dan ditempatkan pada
bagian Id, sedangkan untuk bagian lainnya Ia, Ib, Ic tidak diisi.
- Dua atau lebih keadaan yang dituliskan berturut-turut pada bagian I
(pertama) sertifikat adalah penyakit/gangguan/cedera dimana masing-
masing keadaan tersebut adalah penyebab yang dapat diterima dari
penyebab yang sebelumnya (Konsep urutan logic).
- Dalam beberapa keadaan ICD memungkinkan penyebab untuk
digantikan dengan yang lebih cocok untuk mengungkapkan penyebab
utama yang mendasari dalam tabulasi. Sebagai contoh, ada beberapa
kategori untuk kombinasi kondisi, atau mungkin ada alasan utama
epidemiologi untuk memberikan kondisi lain pada sertifikat.
- Oleh karena itu langkah berikutnya adalah untuk menentukan apakah
ada aturan modifikasi yang berhubungan dengan situasi di atas,
berlaku. Nomor kode yang dihasilkan untuk tabulasi ini adalah
penyebab utama (Underlying Cause).
- Bila penyebab yg menimbulkan kematian adalah cedera atau efek lain
dari penyebab eksternal, keadaan yang menimbulkan kondisi harus
dipilih sebagai underlying cause untuk tabulasi dan dikode V01-Y89.
Kode untuk cedera atau efek dapat digunakan sebagai tambahan kode.
Contoh:
b. –
c. –
d. Cirrhosis of the liver (K74)
34
Beberapa contoh aturan modifikasi:
b. -
c. -
d. Rheumatoid artritis (M06)
Trivial condition
Apabila salah satu penyakit/kondisi tidak begitu penting dari beberapa
sebab kematian, maka sebab tersebut diabaikan.
Contoh 1:
35
Dari hasil autopsi verbal dicatat beberapa penyakit/kondisi yaitu: KKP,
Campak, Bronchopnemonia. Maka yang dicatat pada sertifikat kematian
sebagai berikut:
I a. Bronchopnemonia (J18)
b. -
c. –
d. Campak/Measles (B05)
36
Linkage
Contoh 1:
Dari hasil autopsi verbal dicatat riwayat menderita hipertensi yang sudah
lama, penyakit jantung, stroke. Maka yang dicatat pada sertifikat kematian
sebagai berikut:
I a. Stroke (I64)
b. -
c. -
d. Hipertensive Heart Diseases (I11)
Contoh 2:
Dari hasil autopsi verbal dicatat riwayat hipertensi, diabetes koma. Maka yang
dicatat pada sertifikat kematian adalah
I a. -
b. -
c. -
d. Coma Diabeticum (E10.0)
Risk Factor
37
Contoh 1:
b. -
c. -
d. Cerebral Infark (I63)
Contoh 2:
I a. -
b. -
c. -
d. Stroke (I64)
Dalam contoh kasus ini penyakit hipertensi, obesitas, diabetes tanpa
komplikasi adalah faktor-faktor risiko untuk terjadinya penyakit stroke, oleh
sebab itu faktor-faktor risiko tersebut tidak dituliskan sebagai underlying cause
of death. Faktor risiko lain adalah atherosklerosis, hiperlipedemia.
Spesifitas
Apabila dari hasil autopsi verbal dapat dicatat suatu keadaan yang
menunjukkan informasi yang lebih tepat dan spesifik mengenai diagnosis
penyakit maka pilihan akan ditujukan terhadapnya.
38
Contoh:
Hipertensi berat ketika hamil, bengkak pada kaki dan tungkai, sakit
kepala, kejang-kejang. Maka yang dipilih sebagai underlying cause of death,
adalah Eclampsia in pregnancy (O15), bukan Gestational hypertension without
significant proteinuria (O13).
Sequelae
Sequelae beberapa penyakit tertentu dan cedera tertentu misalnya
lumpuh separuh badan dianggap sebagai penyebab kematian utama.
Contoh :
b. -
c. -
d. Sequalae dari CVA (I69)
39
g. Ditandatangani dan diberi nama jelas
h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut
i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila
ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan
penyidik POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi
tersebut dapat diberi visum et repertum masing-masing asli
k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya,
dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun.
40
41
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok 5 pada skenario LBM 2, kami menyimpulkan
bahwa Surat keterangan medis adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter untuk
tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit pasien atas permintaan pasien atau atas
permintaan pihak ketiga dengan persetujuan pasien atau atas perintah undang-undang.
Pembuatan surat keterangan medis harus berdasarkan hasil pemeriksaan, dan dokter
pembuatnya harus mampu membuktikan kebenaran keterangannya apabila diminta.
Dalam kode etik kedokteran Indonesia Kode etik kedokteran Indonesia (pasal 7)
mengatur sebagai berikut : ” Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”
42
DAFTAR PUSTAKA
Aflanie I, Nirmalasari N, dan Arizal MH. 2017. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Jakarta: Rajawali Pers.
Hilman Ali Fardhinand. Eksistensi Tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) Sebagai
Alat Bukti Dalam Pembuktian Hukum Pidana 2015; 4(2): 199-207
Budiyanto, Arif, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian kedokteran Forensik,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Budiyanto, A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., Winardi, T., Mun’im, A., Sidhi, et al. 1997.
Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Djaja & Suhardi. 2001. Aplikasi ICD-10 Pada Studi Mortalitas Survei Kesehatan Rumah
Tangga 2001. Jakarta: Depkes RI.
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
Sampurna, Budi, Zulhasmar Samsu, Tjeptjep Dwija Siswaja. Cara Kematian: Peranan Ilmu
Forensik Dalam Penegakan Hukum. Cetakan Pertama, Jakarta; 2008;
Susanto, Dian Budi. 2010. Pengembangan Modul Pembelajaran Icd-10 Pada E-Learning
43
World Health Organization. 2003. International Statistical Classification of Diseases and
Related Health Problems. Accesed at
www.who.int/occupational_health/publications/en/oehicd10.pdf.
Yoni syukriani. DNA Forensik. Jakarta: Departemen Ilmu Forensik FKUnpad RS dr Hasan
Sadikin, 2012. H59.
44