Professional Documents
Culture Documents
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan
Tutorial Kasus Skenario C “Stroke” Blok X” sebagai tugas kompetensi kelompok.
Salawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad
SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di
masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih kepada :
1. Allah SWT, yang telah memberi kehidupan dengan sejuknya keimanan.
2. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan materil maupun spiritual.
3. dr. Kms. Yaqub rahadian Sp.PK , selaku tutor kelompok 6
4. Teman-teman seperjuangan
5. Semua pihak yang membantu penulis.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan
kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga laporan tutorial ini
bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam
lindungan Allah SWT. Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
Pembahasan
Berat otak manusia sekitar 1400 gram dan tersusun oleh kurang lebih100
triliun neuron. Otak terdiri dari empat bagian besar yaitu serebrum (otak besar),
serebelum (otak kecil), breinstem (batng otak), dan diensifalon (Satyanegara,
1998). Serebri terdiri dari dua hemisfer serebri, korpus kolosum dan korteks
serebri. Masing-masing hemisfer serebri terdiri dari lobus frontalis yang
Serebelum terletak didalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh durameter
yang menyerupai atap tenda yaitu tentorium, yang memisahkannya dari bagian
posterior serebrum. Fungsi utamanya adalah sebagi pusat refleks yang
mengkoordinasi dan meperhalus gerakan otot, serta mengubah tonus dan
kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan sikap tubuh. Bagian-
bagian batang otak dari bawah ke atas adalah medula oblongata, pons, dan
mesenfalon (otak tengah).
Kedua arteri ini bersatu membentuk basilaris, arteri basilaris terus berjalan
sampai setinggi otak tengah, dan disini bercabang menjadi dua membentuk
sepasang arteri serebri posterior. Cabang-cabang sistem vertebrobasilaris ini
memperdarahi medula oblongata, pons, serebelum, otak tengah dan sebagian
diensefalon. Arteri serebri posterior dan cabang-cabangnya memperdarahi
sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitalis dan temporalis, aparatus
koklearis dan organ-organ vestibular. (sylviaA. Price, 1995)
Darah vena dialirkan dari otak melalui dua sistem : kelompok vena interna,
yang mengumpulkan darah vena galen dan sinus rektus, dan kelompok vena
eksterna yang terletak dipermukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke
sinus sagitalis superior dan sinius-sinus basalis lateralis dan seterusnya ke
vena-vena jugularis, dicurahkan menuju ke jantung (Harsono, 2000).
Nervus Cranialis
I. Nervus Olfaktorius
Saraf penghidu yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa
rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak. Bersifat
sensorik.
Berdasarkan waktu terapi dibedakan menjadi : terapi pada fase akut, terapi
pencegahan sekunder atau rehabilitasi
Golden period : 3-6 jam, kemungkinan daerah sekitar otak yang iskemik
masih dapat diselamatkan
protein dipecah menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak.
Ketiga zat makanan itu diedarkan ke seluruh tubuh untuk
dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar.
Supaya berfungsi sebagai bahan bakar zat makanan itu harus diolah,
dimana glukosa dibakar melalui proses kimia yang menghasilkan
energi yang disebut metabolisme.
Dalam proses metabolisme insulin memegang peranan penting yaitu
memasukkan glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan
bakar. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel
beta di pankreas, bila insulin tidak ada maka glukosa tidak dapat
masuk sel dengan akibat glukosa akan tetap berada di pembuluh
darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat.
Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik
yang merupakan predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta
pankreas. Respon autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit, antibodi
terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu sendiri.
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, tetapi jumlah
reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang
sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam
darah menjadi meningkat.
Mekanisme darah tinggi
Pada tahap awal hipertensi diduga ditandai oleh peningkatan curah jantung
dengan resistensi perifer yang normal.dengan berkembangnya hipertensi
resistensi perifer meningkat dan curah jantung kembali normal.
Penurunan tekanan arteri
Renin(ginjal)
Zat-zat renin(angiotensinogen)
Angiotensin 1
Angiotensin II
Angiotensinase
Glaukoma
Katarak
Retinopati diabetes
Penelitian menggambarkan bahwa pemeriksaan mata yang teratur dan
penatalaksanaan masalah mata yang berkaitan tepat waktu dapat
mencegah lebih dari 90% kebutaan yang disebabkan oleh diabetes.
Penyakit Ginjal dan Diabetes
Diabetes merupakan penyebab utama gagal ginjal pada orang dewasa di
Amerika Serikat. Obat-obatan yang menurunkan tekanan darah
(walaupun tidak memiliki tekanan darah tinggi) dapat menurunkan resiko
gagal ginjal sekitar 33%.
2. Insufisiensi mitral
3. Invective endocarditis
4. Angina pectoris
5. Stenosis pulmonalis yang terdengar digaris sternal kiri bagian atas.
6. Tetralogy of fallot
Pemeriksaan:
• membandingkan ketajaman penglihatan pemeriksa dengan jalan pasien disuruh
melihat benda yang letaknya jauh misal jam didinding, membaca huruf di buku
atau koran.
• melakukan pemeriksaan dengan menggunakan kartu Snellen. Pasien diminta
untuk melihat huruf huruf sehingga tiap huruf dilihat pada jarak tertentu, kartu
snellen ialah huruf huruf yang disusun makin kebawah makin kecil , barisan
paling bawah mempunyai huruf huruf paling kecil yang oleh mata normal dapat
dibaca dari jarak 6 meter.
contoh visus = 2/60 pasien hanya dapat melihat pergerakan jari pada jarak 2
meter Untuk gerakan tangan harus tampak pada jarak 300 meter. Jika
kemampuannya hanya sampai membedakan adanya gerakan , maka visusnya
ialah 1/300. Contoh Visus = 3/300 pasien hanya dapat melihat pergerakan
tangan pada jarak 3 meter. Namun jika hanya dapat membedakan antara gelap
dan terang maka visus nya 1/~, bila dengan sinar lampu masih belum dapat
melihat maka dikatakan visus pasien tersebut adalah nol. Bila hendak melakukan
pemeriksaan pada mata kanan maka mata kiri harus ditutup dengan telapak
tangan kanan dan sebaliknya.
Bila terdapat gangguan ketajaman penglihatan apakah gangguan ketajaman
penglihatan yang disebabkan oleh kelainan oftalmologik ( bukan saraf )
misalnya kornea, uveitis, katarak dan kelainan refraksi maka dengan
menggunakan kertas yang berlubang kecil dapat memberikan kesan adanya
faktor refraksi dalam penurunan visus, bila dengan melihat melalui lubang kecil
huruf bertambah jelas maka faktor yang berperan mungkin gangguan refraksi.
Persiapan:
Untuk setiap tes yang akan dipakai diperlukan kooperasi pasien. Pasien diberi
penjelasan terlebih dahulu mengenai tes yang akan diambil. Pertama pasien
harus dilatih untuk emnatapkan pandangannya pada suatu titik dan
memberitahukan terlihatnya kapas putih atau ujung pensil yang memasuki
kawasan medan penglihatannya. Hal ini bertujuan untuk memberitahukan
kepada pasien bahwa ia tidak usah mencari dengan menggerakan bola matanya
bila sipemeriksa menanyakan sudah ;ihat belum. Ia menunggu saat terlihatnya
sesuatu yang dipertunjukkan dengan pandangannya tetap menatap pada titik
fiksasi itu. Tes medan penglihatan ini dilakukan secara monokuler.
Dalam klinik dikenal 3 metode tes medan penglihatan, yaitu tes konfrontasi
dengan tangan, tes dengan kampimeter, dan tes dengan perimeter.
Pemeriksaan:
• Metode Konfrontasi
Dalam hal ini pasien duduk atau berdiri kurang lebih jarak 1 meter dengan
pemeriksa, Jika kita hendak memeriksa mata kanan maka mata kiri pasien harus
ditutup, misalnya dengan tangannya pemeriksa harus menutup mata kanannya.
Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa
harus selalu melihat ke mata kanan pasien. Setelah pemeriksa menggerakkan jari
tangannya dibidang pertengahan antara pemeriksa dan pasien dan gerakan
dilakukan dari arah luar ke dalam. Jika pasien mulai melihat gerakan jari – jari
pemeriksa , ia harus memberitahu, dan hal ini dibandingkan dengan pemeriksa,
apakah iapun telah melihatnya. Bila sekiranya ada gangguan kampus
penglihatan ( visual field ) maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan
tersebut.Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua jurusan dan masing
masing mata harus diperiksa.
Dengan perimeter didapat hasil yang lebih akurat oleh karena lengkungan
perimeter sesuai dengan lengkungan retina. Perimeter dilengkapi dengan tempat
untuk meletakkan dagu, sehingga pasien dapat menjalani tes dengan posisi
kepala yang tepat tanpa meletihkan diri. Lebih teliti dari tes konfrontasi. Hasil
pemeriksaan di proyeksikan dalam bentuk gambar di sebuah kartu.
d) Pemeriksaan fundus
Dilakukan dengan menggunakan oftalmoskop. Funduskopi dilakuakn dengan
tujuan menentukan adanya miopi, hipermetropi, atau emetropi; penegnamatn
retina; dan pengamatan papil nervi optisi
Persiapan:
Perhatikan posisi atau sikap pasien dan pemeriksa serta kondisi opthalmoskop.
Pasien dapat periksa dengan posisi duduk atau berbaring. Periksa terlebih dahulu
lampu dan baterai opthalmoscop baik dan lensa yang ditempatkan diantara
lubang pengintai dan lubang penyorot adalah berdioptri nol bila pasien emetrop
(normal). Sebelum dilakukan pemeriksaan funduskopi kamar periksa digelapkan
terlebih dahulu.
Pemeriksaan:
Pemeriksa memegang optalmoskop dengan tangan dominan. Tangan yang
lainnya diletakkan diatas dahi pasien dengan tujuan sebagai fiksasi terhadap
kepala pasien.kemudian sipemeriksa menyandarkan dahinya dorsum manis pada
tangan yang memegang dahi pasien, sehingga mata pasien dan mata pemeriksa
berhadapan satu sama lain. Selanjutnya sipemeriksa menempatkan tepi atas
teropong optalmoskop dengan lubang pengintai diatas alis. Setelah lampu
oftalmoskop dinyalakan, pemeriksa mengarahkan sinar lampu itu ke pupil
pasien. Selama funduskopi dilakukan, pasien diminta untuk mengarahkan
pandangan matanya jauh kedepan. Bila pandangan itu diarahkan kesinar lampu,
sinar lampu akan dipantulkan oleh fovea sentralis ke lubang teropong dan
fundus mata sukar mata sukar terlihat.
3) Nervus III (okulomotor)
a) Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata
atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis dicurigai
bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang
lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas (untuk
kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik pula.
b) Gerakan bola mata.
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah
medial, atas, dan bawah, sekligus ditanyakan adanya penglihatan ganda
(diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan
bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan
deviasi conjugate ke satu sisi.
c) Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi bentuk dan ukuran pupil, perbandingan pupil kanan
dan kiri ( pupil sebesar diameter 1mm, perbedaan masih dianggap normal ),
refleks pupil. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan :
- Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
- Refleks cahaya tidak alngsung (bersama N. II)
- Refleks pupil akomodatif atau konvergensi
Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya sendiri) kedua
otot rektus medialis akan berkontraksi. Gerakan kedua bola mata ini disebut
konvergensi. Bersamaan dengan gerakan bola mata tersebut maka kedua pupil
akan mengecil (otot siliaris berkontraksi).
4) Nervus IV (Troklearis)
Pemeriksaan meliputi :
a) Gerak mata ke lateral bawah
b) Strabismus konvergen
c) Diplopia
5) Nervus V (Trigeminus)
a) Pemerksaan motorik
c) Pemeriksaan Refleks
• Refleks masseter / Jaw reflex ( berasal dari motorik Nervus V).
Dengan menempatkan satu jari pemeriksa melintang pada bagian tengah dagu,
lalu pasien dalam keadaan mulut setengah membuka dipukul dengan ”hammer
refleks” normalnya didapatkan sedikit saja gerakan, malah kadang kadang tidak
ada. Bila ada gerakan nya hebat yaitu kontraksi m.masseter, m. temporalis, m
pterygoideus medialis yang menyebabkan mulut menutup ini disebut reflex
meninggi.
• Refleks supraorbital.
Dengan mengetuk jari pada daerah supraorbital, normalnya akan menyebabkan
mata menutup homolateral ( tetapi sering diikuti dengan menutupnya mata yang
lain ).
6) Nervus VI (Abdusens)
Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan
diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena
dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.
7) Nervus VII (Fasialis)
a) Pemeriksaan fungsi motorik.
Pasien diperiksa dalam keadaan istirahat. Perhatikan wajah pasien kiri dan kanan
apakah simetris atau tidak. Perhatikan juga lipatan dahi, tinggi alis, lebarnya
celah mata, lipatan kulit nasolabial dan sudut mulut.Kemudian pasien diminta
untuk menggerakan wajahnya antara lain:
– Mengerutkan dahi, dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam.
– Mengangkat alis
– Menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa.
– Moncongkan bibir atau menyengir.
– Suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan
kanan apakah sama kuat . Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar
kebagian sisi yang lumpuh.
b) Pemeriksaan fungsi sensorik.
• Dilakukan pada 2/3 bagian lidah depan. Pasien disuruh untuk menjulurkan
lidah , kemudian pada sisi kanan dan kiri diletakkan gula, asam,garam atau
sesuatu yang pahit. Pasien cukup menuliskan apa yang terasa diatas secarik
kertas.
• Bahannya adalah:Glukosa 5 %, Nacl 2,5 %, Asam sitrat 1 %, Kinine 0,075 %.
• Sekresi air mata.
• Dengan menggunakan Schirmer test ( lakmus merah )
• Ukuran : 0,5 cm x 1,5 cm
• Warna berubah menjadi Biru : Normal: 10 – 15 mm ( lama 5 menit ).
maka disebut rinne positif, sedang bila tidak dapat didengar lagi disebut rinne
negative.
Tes Weber
Garpu tala digetarkan dan ditempatkan di vertex orang coba. Bila suara
terdengar lebih keras pada salah satu telinga, misalnya kanan maka ini disebut
lateralisasi ke kanan.
Tes Schawabach
Garpu tala digetarkan dan ditempatkan pada tulang mastoid orang coba. Orang
coba diminta memberitahukan bila tidak mendengar bunyi lagi dan dengan
segera garpu tala dipindahkan ke tulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa juga
tidak mendengar suara maka prosedur pemeriksaan dibalik. Garpu tala mula-
mula diletakkan pada tulang mastoid pemeriksa dan setelah tak terdengar
dipindahkan pada orang coba. Bila orang coba juga tidak mendengar berarti
telinga orang coba normal.
Tes keseimbangan (N. Vestibularis):
a) Reaksi Kompensasi
Orang coba duduk tegap pada kursi barani kemudian diputar dengan kecepatan
10x/ detik. Perhatikan reaksi orang coba bila kursi diputar dari arah kana ke kiri
akan terlihat kompensasi berupa ekstensi kaki kiri dan fleksi kaki kanan disertai
gerakan bola mata.
b) Tes tunjuk
Orang coba duduk pada kursi barani sedang pemeriksa berdiri di depannya.
Orang coba meluruskan tangan kanannya sedangkan pemeriksa mengulurkan
jari telunjuknya, sehingga dapat disentuh oleh jari orang coba. Orang coba
mengangkat lengan kanannya dan kemudian dengan cepat menurunkannya
kembali sehingga menyentuh jari telunjuk pemeriksa. Mata orang coba ditutp
dengan sapu tangan dan kepala ditundukkan 30o ke depan. Putarlah kursi ke
kanan 10x dalam 20 detik. Perhatikan arah gerakan kepala dan badan orang coba
kemudian putaran kursi dehentikan dan penutup mata dibuka. Orang coba
diminta untuk menegakkan kepalanya kembali dan lakukan tes tunjuk seperti di
atas.
c) Nistagmus
Orang coba duduk di kursi barani dengan kedua tangannya diletakkan pada
sandaran kursi dan kedua kaki pada tempat dengan sebaik-baiknya. Mata orang
coba ditutp dengan sapu tangan dan kepala ditundukkan 30o ke depan. Putarlah
kursi ke kanan 10x dalam 20 detik. Kemudian hentikan putaran sambil
membuka penutup mata dan mintalah orang coba melihat pada suatu benda yang
agak jauh di depannya. Perhatikan gerakan bola matanya.
d) Tes jatuh
Orang coba duduk di atas kursi barani dengan kedua mata tertutup dan badan
membungkuk sampai 120o, putarlah kursi ke kanan dengan putaran 10x dalam
20 detik. Segera putaran dihentikan dan orang coba diminta berdiri tegak.
Perhatikan kea rah mana orang tersebut akan jatuh.
e) Tes tongkat
Orang coba memegang tongkat yang difiksir pada lantai sambil menundukkan
kepala dan mengelilingi tongkat tersebut. Kemudian orang coba diminta berjalan
dan perhatikan bagaimana reaksinya.
9) Nervus IX (Glosofaringeus) dan Nervus X (Fagus)
Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya
dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak / keselek (kelumpuhan
palatom), kesulitan menelan dan disartria(khas bernoda hidung / bindeng).
Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum dengan senter perhatikan
apakah terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh menyebut “aaaa”
jika uvula terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya kelumpuhan
nervus X unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik kearah sisi yang sehat.
Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah
komponen sensorik dan nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian
belakang faring pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan
kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali
dilakukan.
Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara refleks. Jika
konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan kelumpuhan
nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara
serak (lesi nervus laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes
juga rasa kecap secara rutin pada sepertinya posterior lidah (N. IX).
Menurut WHO (2005), stroke menjadi penyebab kematian dari 5,7 juta
jiwa diseluruh dunia, dan diperkirakan meningkat menjadi 6,5 juta penderita
pada tahun 2015 dan 7,8 juta penderita pada tahun 2030.
12. Bagaimana tata laksana yang bisa siberikan dalam kasus ini?
Jawab :
a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten
memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) maka pemberian induksi dilakukan untuk mencegah efek samping dari
intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan terjadinya herniasi otak besar maka
target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat pula diberikan manitol intravena
untuk mengurangi edema serebri. Pasien harus mendapatkan bantuan oksigen
jika pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan terjadinya
hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada stroke non
hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi, atelektasis
ataupun GERD.
b. Circulation
Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi intravena dan
pengawasan jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami
aritmia jantung dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi
juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.
c. Pengontrolan gula darah
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan prognosis
yang kurang baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien dengan
normoglokemik tidak boleh diberikan cairan intravena yang mengandung
glukosa dalam jumlah besar karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan
memicu iskemik serebral eksaserbasi. Pengontrolan gula darah harus dilakukan
secara ketat dengan pemberian insulin. Target gula darah yang harus dicapai
adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan
hingga pasien pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat
pemberian insulin.
d. Posisi kepala pasien
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih maksimal
jika pasien dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring telentang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak
dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena itu, pasien stroke diposisikan
telentang dengan kepala ditinggikan sekitar 30-45 derajat.
e. Pengontrolan tekanan darah
Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau peningkatan
TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan vasoregulator sehingga
hanya bergantung pada maen arterial pressure (MAP) dan cardiac output (CO)
untuk mempertahankan aliran darah otak. Oleh karena itu, usaha agresif untuk
menurunkan tekanan darah dapat berakibat turunnya tekanan perfusi yang
nantinya akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa
pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah
yang ekstrim (sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg)
atau pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik.
Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke non
hemoragik adalah sebagai berikut. Jika pasien tidak direncanakan untuk
mendapatkan terapi trombolitik, tekanan darah sistolik kurang dari 220 mmHg,
dan tekanan darah diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa adanya gangguan
organ end-diastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa adanya intervensi)
dan gejala stroke serta komplikasinya harus ditangani.
Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara 120-
140 mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama 1-2
menit jika tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat ditingkatkan atau diulang setiap
10 menit hingga mencapai dosis maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat
diberikan nicardipine (5 mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga mencapai
efek yang diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit hingga
mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan
mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan
pemberian manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial
dengan cepat.
h. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset.
Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel
kejang dengan menggunakan preparat antiepileptik tetap direkomendasikan.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena
akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang
mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan lainnya.
Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and
Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam
setelah onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari
dosis tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1
jam. Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat
atau hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan
intraserebral, yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika
Serikat telah mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.
Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke Study
(ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg)
diberikan secara IV dalam waktu tidak lebih dari 6 jam setelah onset.
Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik tapi secara keseluruhan
hasil dari penelitian ini dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada
penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg
diberikan dalam waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih
sedikit pasien yang meninggal atau cacat dengan pemberian rt-PA dan
perdarahan intraserebral dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA belum mendapat
ijin untuk digunakan di Eropa.
angiotensinogen
Faktor Resiko
Stress oksidatif
DM,
SO, NO, oksidasi endotel,
Angiotensin 1 Hiperlipidemia,
reaktif oksigen
hiperhomosisten,
merokok,obesitas
Angitensin 2
Disfungsi endotel
Reseptor AT 1
Inflamasi
Chemokines (MCP-1)
Calciummodolin G
Laporan Tutorial Skenario C Page 52
Laporan Skenario C BLOK X
Thrombosis
Hyperkoagulasi
Platelet aktivasi
fibrinoliss
Vasokontriksi
Atherosclerosis
Ektravasasi
darah ke Aneurisma
atherosklerosis
jaringan otak tekanan
intrakranial
Elastisitas berkurang
iskemik
Mual, muntah,
Ruptur
sakit kepala
Gejala
neurologik
Pendarahan
intraserebral
Pokok What I Know What I Don’t Know What I Have to How I Will
Bahasan (Learning Issue) Prove Learn
DAFTAR PUSTAKA