You are on page 1of 15

LAPORAN ANALISIS JURNAL

Physical Activity/Exercise and Diabetes:


A Position Statement of the American Diabetes Association

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tahap Profesi Ners


Stase Keperawatan Komunitas

Disusun oleh:

1. Kartika Dian Uswanti 8. Lisa Astuti 15. Dwiyanti


2. Arista Sari 9. Ragaia Ipaenin 16. Nirwana Firdaus
3. Nuryani 10. Dafik Ya’lu Ulinnuha 17. Erwin Tri Meliana
4. Kiki Agustiana 11. Muh. Khairul Umam 18. Siti Hajar
5. Harri Suprastowo 12. Siska Agustina 19. Ma’ruf Budi Setiawan
6. Seno Pitoyo 13. Raditya Archam
7. Sigit Diliangga 14. Muhamma Ahmadun

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang mana hasil dari kelainan sekresi
insulin secara progresif berupa resistensi insulin dan defisiensi insulin (American Diabetes
Association, 2012). Salah satu faktor risiko terjadinya resistensi insulin tersebut adalah gaya
hidup yang tidak sehat seperti aktivitas fisik yang kurang sehingga menyebabkan obesitas
dan sensitivitas insulin menurun (Soebardi, 2007). Oleh karena itu, olah raga merupakan
salah satu dari empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus, yaitu edukasi, terapi gizi, olah
raga, dan terapi farmakologis (Soegondo, as cited in Wicaksono, 2014).
Selain sebagai tatalaksana pengontrolan kadar gula darah untuk pasien diabetes tipe 1
dan tipe 2, olah raga juga bermanfaat untuk keadaan prediabetes dan mencegah
perkembangan diabetes melitus tipe 2 (Colberg, 2016). Menurut studi yang dilakukan oleh
Colberg (2016), kebutuhan olah raga untuk pasien prediabetes, diabetes melitus tipe 1,
diabetes melitus tipe 2, dan pasien diabetes melitus yang sudah berkembang menjadi
keadaan komplikasi memiliki perbedaan. Fenomena yang ditemui selama membina keluarga
dengan salah satu anggota keluarganya menderita diabetes melitus, ditemukan bahwa
individu tersebut jarang melakukan olah raga walaupun telah mendapat dorongan untuk
melakukan olah raga dari anggota keluarga yang lain. Selain belum mengetahui manfaat dari
olah raga dalam mengontrol kadar gula darah dan jenis olah raga untuk penderita diabetes
melitus, individu tersebut marasa cemas jika terjadi perlukaan pada kakinya. Oleh karena
latar belakang tersebut, maka penulis melakukan analisis jurnal untuk mengetahui manfaat
olah raga terhadap pengontrolan kadar gula darah dan jenis olah raga yang dapat dilakukan
pada penderita diabetes melitus.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana manfaat olah raga terhadap pengontrolan kadar gula darah pada penderita
diabetes melitus?
2. Apa saja jenis olah raga yang dapat digunakan untuk mengontrol kadar gula darah pada
penderita diabetes melitus?

C. Tujuan

1. Mengetahui manfaat olah raga terhadap pengontrolan kadar gula darah pada penderita
diabetes melitus.

2. Mengetahui jenis olah raga yang dapat digunakan untuk mengontrol kadar gula darah
pada penderita diabetes melitus.

D. Manfaat

1. Bagi mahasiswa

Mahasiswa dapat mengetahui jenis olah raga yang dapat digunakan untuk mengontrol
kadar gula darah pada penderita diabetes melitus, sehingga dapat memberikan
penyuluhan kesehatan terhadap penederita diabetes melitus di komunitas.

2. Bagi penderita diabetes melitus

Penderita diabetes melitus dapat mengetahui manfaat olah raga terhadap pengontrolan
kadar gula darah dan jenis olah raga yang dapat digunakan untuk mengontrol kadar gula
darah, sehingga mereka dapat menerapkan olah raga tersebut. Selain itu, mereka juga
dapat mengetahui kapan olah raga dapat dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia
akibat kelainan pada insulin, sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronik
dari Diabetes terkait dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai
organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (American Diabetes
Association, 2014). Menurut studi epidemiologi, jumlah penyandang DM meningkat dari
sekitar 30 juta kasus pada tahun 1985, 177 juta pada tahun 2000, 285 juta pada tahun 2010, dan
diperkirakan jika situasi terus, lebih dari 360 juta orang pada 2030 akan memiliki DM
(Yazdanpanah et al., 2015).

1. Tipe Diabetes Mellitus

Diabetes diklasifikasikan ke dalam empat kelas klinis

a. Diabetes tipe 1 (hasil dari kerusakan sel beta, biasanya menyebabkan kekurangan insulin
absolut).
b. Diabetes tipe 2 (hasil dari kelainan sekretorik insulin secara progresif pada latar belakang
resistensi insulin).
c. Diabetes dengan tipe tertentu karena penyebab lain, misalnya, kelainan genetik pada
fungsi sel beta, kelainan genetik dalam aksi insulin, penyakit pankreas eksokrin (seperti
cystic fibrosis), dan penggunaan narkoba dan bahan kimia (seperti di pengobatan HIV /
AIDS atau setelah transplantasi organ).
d. Diabetes Mellitus gestasional (Diabetes didiagnosis selama kehamilan pada seseorang
yang tidak mengalaminya sebelumnya).
Beberapa pasien tidak dapat dengan jelas mengklasifikasikan sebagai Diabetes tipe 1 atau tipe
2. Presentasi klinis dan penyakit progresif bervariasi dalam kedua jenis Diabetes. Kadang-
kadang, pasien yang lain memiliki Diabetes tipe 2 dapat hadir dengan ketoasidosis. Demikian
pula, pasien dengan tipe 1 mungkin memiliki onset terlambat dan perkembangan penyakit yang
lambat (tanpa henti) walaupun memiliki penyakit autoimun. Kesulitan seperti di diagnosis
dapat terjadi pada anak-anak, remaja, dan orang dewasa (American Diabetes Association,
2012).

2. Etiologi

a. Diabetes tipe 1 (kerusakan sel beta, biasanya menyebabkan kekurangan insulin absolut)

i) Mediasi Imun

ii) Idiopatik

b. Diabetes tipe 2 (dapat berkisar dari sebagian besar resistensi insulin dengan defisiensi
insulin sampai dengan adanya kelainan sekretorik dengan resistensi insulin)
c. Diabetes tipe tertentu lainnya :

i) Kelainan genetik fungsi sel beta

MODY 3 (Kromosom 12, HNF-1alfa); MODY 1 (Kromosom 20, HNF-4alfa);


MODY 2 (Kromosom 7, glukokinase); Bentuk yang sangat langka lainnya dari
MODY (misalnya, MODY 4: Kromosom 13, promotor insulin-faktor 1; MODY 6:
Kromosom 2, NeuroD1; MODY 7: Kromosom 9, karboksil ester lipase); Diabetes
neonatal transient (paling sering ZAC / HYAMI pencetakan kelaianan pada 6q24);
Diabetes neonatal permanen (paling sering KCNJ11 gen encoding subunit Kir6.2 sel
beta KATP channel); Mitokondria DNA; dan lainnya.
ii) Rabson-Mendenhall, Diabetes lipoatrophic, lainnya.
iii) Penyakit eksokrin pancreas : pankreatitis, trauma / pancreatectomy, neoplasia,
fibrosis kistik, hemokromatosis, fibrocalculous pancreatopathy, lainnya.
iv) Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, glukagonoma, pheokromositoma,
hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.
v) Obat atau bahan kimia yang diinduksi : vacor, pentamidin, asam nikotinat,
glukokortikoid, tiroid hormone, diazoxide, beta adrenergik agonis, tiazid, dilantin,
gamma interferon, lainnya.
vi) Infeksi : rubella kongenital, cytomegalovirus, lainnya.
vii) Bentuk Jarang Diabetes imun : sindrom "stiff-man", antibodi reseptor anti- insulin,
lainnya.
viii) Sindrom genetic lain yang terkadang dikaitkan dengan Diabetes : sindrom down
sindrom klinefelter, sindrom turner, sindrom wolfram, ataksia friedreich, huntington
chorea, sindrom laurence-moon-biedl, distrofi myotonic, porphyria, sindrom prader-
willi, lainnya.
ix) Diabetes Mellitus gestasional (American Diabetes Association, 2014).

3. Patofisiologi

Individu dengan Diabetes tipe 1 mengalami penghancuran autoimun dari β-sel pancreas
yang menyebabkan defisiensi sekresi insulin yang menghasilkan gangguan metabolik yang
berhubungan dengan Diabetes tipe 1. Selain hilangnya sekresi insulin, fungsi α-sel pankreas
juga tidak normal dan ada sekresi berlebihan glukagon pada pasien Diabetes tipe 1.
Biasanya, hiperglikemia menyebabkan berkurangnya sekresi glukagon. Namun, pada pasien
dengan Diabetes tipe 1, sekresi glukagon tidak ditekan oleh hiperglikemia. Meskipun
kekurangan insulin adalah kelainan utama dalam Diabetes tipe 1, terdapat juga kelainan
dalam administrasi insulin. Ada beberapa mekanisme biokimia yang menjelaskan penurunan
respon jaringan terhadap insulin. Kekurangan insulin menyebabkan lipolisis yang tidak
terkendali dan peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma, yang menekan
metabolisme glukosa pada jaringan perifer seperti otot rangka. Hal ini mengganggu
pemanfaatan glukosa dan kekurangan insulin juga menurunkan ekspresi dari beberapa gen
yang diperlukan untuk jaringan target untuk merespon secara normal terhadap insulin
seperti glukokinase di hati dan GLUT 4 kelas transporter glukosa dalam jaringan adiposa
(Raju dan Raju, 2010cit Ozougwu, 2013).

Individu dengan Diabetes tipe 2 memiliki insulin yang beredar didalam darah, tidak
seperti pasien dengan Diabetes tipe 1. Berdasarkan atas toleransi glukosa oral menguji
unsur-unsur penting dari Diabetes tipe 2, Diabetes dengan tipe ini dapat dibagi menjadi
empat kelompok yang berbeda:

i) Mereka dengan toleransi glukosa normal.

ii) Diabetes Kimia (disebut toleransi glukosa terganggu).


iii) Diabetes dengan hiperglikemia puasa minimal (glukosa plasma puasa kurang dari 140
mg / dl).
iv) Diabetes Mellitus berkaitan dengan hiperglikemia puasa terbuka (glukosa plasma puasa
yang lebih besar dari 140 mg / dl).
Individu dengan gangguan toleransi glukosa mengalami hiperglikemia meskipun
memiliki tingkat insulin plasma tertinggi, hal tersebut menunjukkan bahwa individu
tersebut tahan terhadap aksi insulin. Dalam perkembangan dari gangguan toleransi
glukosa untuk Diabetes Mellitus, tingkat penurunan insulin menunjukkan bahwa pasien
dengan Diabetes tipe 2 mengalami penurunan sekresi insulin. Resistensi insulin dan
defisiensi insulin umum terjadi pada rata – rata pasien dengan Diabetes tipe 2 (Holt,
2004cit Ozougwu, 2013). Resistensi insulin adalah penyebab utama dari Diabetes tipe 2,
namun beberapa peneliti berpendapat bahwa kekurangan insulin adalah penyebab utama
karena tingkat moderat resistensi insulin tidak cukup untuk menyebabkan Diabetes tipe
2 (Raju dan Raju, 2010cit Ozougwu, 2013).

4. Diagnosa Diabetes Mellitus

Tabel 2. Kriteria diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis Diabetes
A1C ≥ 6,5%. Tes harus dilakukan di laboratorium dengan
menggunakan metode yang NGSP bersertifikat dan standar untuk uji
DCCT. *
ATAU
Gula darah puasa ≥ 126 mg / dl (7,0 mmol / l). Puasa didefinisikan
sebagai tidak ada asupan kalori selama minimal 8 jam. *

ATAU
Glukosa plasma dua jam ≥ 200 mg / dl (11.1mmol / l) selama
OGTT. Tes harus dilakukan sebagai penjelasan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia, menggunakan beban glukosa yang mengandung
setara dengan 75 g glukosa anhidrat dilarutkan dalam air. *
ATAU
Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis
hiperglikemik, plasma acak glukosa ≥ 200 mg / dl (11,1 mmol / l).

* Dengan tidak adanya hiperglikemia tegas, kriteria 1-3 harus dikonfirmasi dengan tes
ulang (American Diabetes Association, 2014).
5. Komplikasi

Penyakit Diabetes adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemia. Apabila
penyakit ini tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan terjadinya beberapa
komplikasi. Komplikasi yang diakibatkan oleh penyakit Diabetes diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu komplikasi makrovaskular dan komplikasi mikrovaskuler. Komplikasi vaskuler
yang dapat terjadi diantaranya adalah penyakit arteri coroner, penyakit arteri perifer, dan
stroke. Sedangakan yang termasuk di dalam komplikasi mikrovaskuler diantaranya yaitu
nefropati diabetik, retinopati diabetik dan neuropati diabetik (Fowler, 2008).

6. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Menurut Soegondo 2007 dalam Wicaksono 2014, dalam Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2 di Indonesia Tahun 2011, terdapat 4 Pilar
penatalaksanaan Diabetes Mellitus yaitu:

a. Edukasi

Edukasi yang diberikan berfokus pada tujuh perilaku penting untuk


meningkatkan status kesehatan dan kualitas hidup: makan sehat, aktif, pemantauan,
minum obat, pemecahan masalah, mengatasi sehat, dan mengurangi risiko (Martin &
Lipman, 2013). Edukasi pasien merupakan proses mempengaruhi perilaku, mengubah
pengetahuan, sikap, dan kemampuan yang dibutuhkan untuk mempertahankan serta
meningkatkan kesehatan. Proses tersebut dimulai dengan memberikan informasi serta
interpretasinya yang terintegrasi secara praktis sehingga terbentuk perilaku yang
menguntungkan kesehatan. Dukungan keluarga dekat sangat penting dalam pembentukan
perilaku kesehatan yang baik (Notoatmojo, 2007).

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang membutuhkan


perawatan klinis dan perawatan intensif mandiri dimana biaya yang dikeluarkan untuk
perawatan dan pengobatannya sangatlah tinggi (Diabetes Australia Guideline
Development Consortium, 2009). Pasien DM harus menerima perawatan maupun
pengobatan secara kolaborasi dari tim yang terintregasi dan terlatih dalam menangani
kasus DM. Tim ini meliputi dokter, perawat klinis, asisten dokter, ahli gizi, apoteker, dan
psikolog (American Diabetes Association, 2015).
Edukasi kesehatan primer harus diberikan kepada kelompok masyarakat risiko
tinggi. Edukasi kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkan
edukasi kesehatan tersier diberikan kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan
penyulit menahun. Memberikan edukasi mengenai perawatan mandiri pada pasien DM di
Rumah Sakit merupakan sebuah tantangan, terutama bagi perawat educator. Idealnya,
pasien dengan DM harus diedukasi pada waktu dan kondisi pasien memungkinkan untuk
diberikan pendidikan kesehatan mengenai DM. Pasien yang dirawat di Rumah Sakit perlu
mendapatkan edukasi mengenai DM dan pelatihan perawatannya untuk memudahkan
pasien melakukan perawatan yang aman di rumah. Mengkaji kebutuhan pasien saat
sebelum dipulangkan serta edukasi terkait DM harus menjadi bagian dari perencanaan
pulang (discharge planning) untuk semua pasien DM. Hal-hal yang perlu diperhatikan
saat melakukan perencanaan pulang pasien DM, 1) identifikasi tim pelayanan kesehatan
yang akan menyediakan perawatan DM; 2) tingkat kepahaman pasien berkaitan dengan
diagnosa DM dan kemampuan memonitor secara mandiri; 3) definisi, pengenalan,
penatalaksanaan, dan pencegahan hiperglikemi maupun hipoglikemi; 4) Informasi
tentang pola makan yang konsisten; 5) Kapan dan bagaimana untuk mengecek kadar gula
darah termasuk cara pemakaian insulin (jika pulang membawa insulin); 6) Manajemen
saat sakit; serta 7) Penggunaan jarum suntik yang tepat. Saat dilakukan perencanaan
pulang (discharge planning patient), penting untuk menyediakan peralatan medis yang
tepat, dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan yang berbahaya saat pasien
melakukan perawatan mandiri di rumah. Beberapa sediaan peralatan dan resep yang
direkomendasikan meliputi, 1) Insulin (baik vialsmaupun pens), jika dibutuhkan; 2)
Jarum suntik atau pen needles, jika dibutuhkan; 3)Obat oral, jika dibutuhkan; 4) Strip
kadar gula darah; 5) Pisau bedah (lancets/lancing devices); 6) Strip keton urin (untuk DM
tipe 1); 7) Kit glukagon, atau glucagon emergency kit (pasien dengan pengobatan
insulin); 8) Aplikasi alarm medis (American Diabetes Association, 2015).
b. Terapi gizi

Menurut Soebardi 2007 dalam Wicaksono 2014 terapi gizi yang dapat diberikan disini
adalah diet 1425 kalori/hari. Hal ini sesuai dengan rumus Broca yang diterapkan terhadap
pasien dengan memperhatikan, berat badan, indeks massa tubuh, umur, jenis kelamin,
jenis aktivitas fisik, Makanan sejumlah kalori tersebut terbagi menjadi tiga porsi besar
yaitu pagi (20%), siang (30%) dan malam (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10%-
15%) disetiap porsinya.

c. Latihan jasmani

Manfaat latihan jasmani bagi penyandang Diabetes antara lain meningkatkan penurunan
kadar glukosa darah, mencegah kegemukan, ikut berperan dalam mengatasi kemungkinan
terjadinya komplikasi aterogenik, gangguan lemak darah, menormalkan tekanan darah,
serta meningkatkan kemampuan kerja (Ova, 2010). Pola olahraga yang disarankan setiap
3-4 per minggu dengan tiap kali olahraga tidak kurang dari 30 menit (dianjurkan untuk
jalan sehat). Hal ini telah sesuai dengan PERKENI (2011) yang menyatakan bahwa
latihan jasmani merupakan salah satu dari empat pilar DM tipe II. Latihan jasmani selain
untuk meningkatkan kebugaran juga bertujuan untuk menurunkan berat badan serta
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Olahraga yang disarankan adalah olahraga yang bersifat aerobik, seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging atau berenang dan sebaiknya kegiatan jasmani juga disesuaikan
dengan umur dan kemampuan (Soebardi, 2007).

d. Intervensi farmakologis

Intervensi farmakologis diberikan kepada penyandang Diabetes Mellitus sesuai dengan


tipe Diabetes yang diderita. Terapi untuk Diabetes tipe 1. DCCT menunjukkan bahwa
terapi insulin intensif (tiga atau lebih suntikan insulin per hari, infus subkutan insulin
secara terus menerus [CSII], atau insulin terapi pompa) merupakan bagian penting dari
peningkatan glikemia dan hasil yang lebih baik (American Diabetes Association, 2012).
Terdapat beberapa rekomendasi intervensi farmakologis, diantaranya adalah sebagai
berikut
i) Pada saat Diabetes tipe 2 terdiagnosa, terapi dapat dimulai dengan terapi metformin
bersama dengan intervensi gaya hidup, kecuali metformin merupakan kontraindikasi.
ii) Pada pasien yang baru didiagnosis menderita Diabetes tipe 2 dengan gejala nyata dan
atau peningkatan kadar glukosa darah atau A1C, pertimbangkan terapi insulin, dengan
atau tanpa agen tambahan dapat diberikan sejak awal.
iii) Jika monoterapi non insulin pada dosis toleransi maksimal tidak mencapai atau
mempertahankan target A1C lebih 3 sampai 6 bulan, dapat ditambahkan dengan agen
oral kedua, aGLP-1 agonis reseptor, atau insulin (American Diabetes Association,
2012).

BAB III
HASIL DAN ANALISIS

A. Identitas jurnal
Judul ArtikelUtama : Physical Activity/Exercise and Diabetes: A Position
Statement of the American Diabetes Association

Penulis : Sheri R. Colberg, Ronald J. Sigal, Jane E. Yardley,


Michael C. Riddell, David W. Dunstan, Paddy C.
Dempsey, Edward S. Horton, Kristin Castorino, dan
Deborah F. Tate

Tahun : 2016

Nama Jurnal/Doi : Diabetes Care/ DOI: 10.2337/dc16-1728

B. Hasil dan Analisis


Terdapat tiga jenis olah raga yang dianjurkan untuk dilakukan oleh penderita diabetes
melitus, yaitu:
1. Aerobik
Merupakan latihan yang terdiri dari gerakan berulang dan berkesinambungan pada
sekelompok otot besar. Contoh latihan ini adalah berjalan, berenang, jogging, dan
bersepeda. Durasi yang dianjurkan selama 150 menit setiap minggu dengan intensitas
sedang hingga kuat. Frekuensi dari latihan aerobik ini sebanyak 2-3 kali setiap minggu
dengan selingan tidak lebih dari 2 hari tanpa olah raga. Bagi penderita diabetes yang
mampu berlari, dianjurkan berlari 6 mil per jam selama 25 menit. Pada penderita
diabetes tipe 1, latihan aerobik bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan
cardiorespiratory, mengurangi resisten insulin, memperbaiki level lemak, dan fungsi
endotelial. Sedangkan pada penderita diabetes tipe 2, latihan aerobik secara reguler ini
bermanfaat untuk menurunkan A1C, trigliserida, tekanan darah, dan resisten insulin.
2. Latihan tahanan
Penderita diabetes memiliki risiko untuk terjadinya penurunan kekuatan otot, oleh
karena itu, latihan tahanan seperti angkat beban. Pada penderita diabetes tipe 1, laitihan
beban ini dapat bermanfaat untuk meminimalisisr risiko terjadinya hipoglikemi yang
diakibatkan karena olah raga. Intensitas latihan tersebut dianjurkan dari sedang (tidak
boleh diulangi lebih dari 15 kali) hingga kuat (dapat dilakukan pengulangan 6-8 kali).
3. Latihan kelenturan dan latihan keseimbangan
Latihan kelenturan bertujuan untuk meningkatkan rentang gerak sendi, tidak bisa
berefek pada kontrol gula darah. Sedangkan latihan keseimbangan yang teratur dapat
mencegah kejadian jatuh, khususnya ketika pasien diabetes telah berkembang menjadi
keadaan neuropati. Latihan kelenturan dapat dilakukan dengan yoga. Kemudian, latihan
keseimbangan dapat dilakukan melalui tai-chi atau latihan berdiri dengan 1 kaki.
Disarankan latihan kelenturan dan keseimbangan dilakukan sebanyak lebih dari 2-3 kali
seminggu, dengan durasi 10 – 30 detik setiap gerakan dan diulang sebanyak 2- 4 kali.
Pada beberapa kondisi kadar gula darah, perlu dilakukan pengaturan terhadap latihan
yang akan dilakukan, seperti kadar gula darah sebelum latihan <90 mg/dl penderita
diabetes disarankan mengkonsumsi makanan yang mengandung setidaknya 15 – 30
gram karbohidrat. Sedangkan pada kadar gula darah sebelum olah raga yang mencapai
>250 mg/dl, sebaiknya dilakukan pemeriksaan terjadinya ketonosis dan bila nilai
ketonosis sedang hingga tinggi, maka penderita diabetes melitus tidak dianjurkan untuk
memulai latihan, hingga kadar gula darah < 250 mg/dl. Pada kondisi kadar gula darah
dalam rentang 90 – 150 mg/dl, penderita diabetes disarankan mengkonsumsi karbohidrat
0.5–1.0 g/kg berat badan setiap jam selama melakukan latihan. Aktivitas sehari-hari
seperti melakukan pekerjaan rumah maupun berjalan dapat dianggap sebagai latihan
fisik yang tidak terstruktur, namun aktivitas ini dapat meningkatkan pengeluaran energi
harian dan dapat membantu manajemen berat badan. Aktivitas sehari-hari ini dapat
dijadikan sebagai salah satu tahap perubahan perilaku seseorang yang melakukan
aktivitas menetap (seperti melihat televisi, bermain permainan, atau bermain hp) menuju
kebiasaan melakukan latihan fisik.

BAB IV

IMPLIKASI KEPERAWATAN

1. Perawat mampu memberikan edukasi kesehatan kepada penderita diabetes melitus tentang
jenis olah raga yang tepat dan kapan dapat melakukan olah raga pada pasien diabetes
melitus.
2. Perawat dapat melakukan penelitian terkait jenis latihan untuk penderita diabetes melitus
yang efektif dan efisien

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Manfaat olah raga pada penderita diabetes melitus tidak hanya pengontrolan kadar gula
darah, melainkan meningkatkan massa otot sehingga menurunkan kadar trigliserida dan
pecegahan jatuh. Kemudian jenis olah raga yang dapat digunakan untuk mengontrol kadar
gula darah pada penderita diabetes melitus.adalah olah raga aerobik, latihan tahanan,
latihan kelenturan, dan latihan keseimbangan.

B. Saran

Penderita diabetes melitus hendaknya memeriksa keadaan fisiknya apakah terdapat tanda
dan gejala hipoglikemi sebelum maupun selama melakukan olah raga, sehingga
hipoglikemi yang dapat diakibatkan oleh olah raga dapat dihindari

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2012. Standards of Medical Care in Diabetes - 2012. (Online)
http://care.Diabetesjournals.org/content/35/Supplement_1/S11.full (diakses 12 April
2015).
American Diabetes Association. 2014. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.
(Online)http://care.Diabetesjournals.org/content/37/Supplement_1/S81.full.pdf+html
(diakses 12 April 2015).

Colberg, S. R., Sigal, R.J., Yardley, J.E., Riddell, M.C., Dunstan, D.W., Dempsey, P.C.,
Horton, E.S., Castorino, K., Tate, D.F. 2016. Physical Activity/Exercise and Diabetes:
A Position Statement of the American Diabetes Association. Diabetes Care, volume 39:
:2065–2079. DOI: 10.2337/dc16-1728.

Diabetes Australia Guideline Development Consortium. 2009. National EvidenceBased


GuidelineforPatient Education in Type 2 Diabetes. (Online)
www.diabetesaustralia.com.au/For-Health-Professionals/Diabetes-National-Guidelines/
(diakses 14 April 2015).

Dodie, Natasya J., Tendean, L., Wantouw, B. 2013. PENGARUH LAMANYA DIABETES
MELITUS TERHADAP TERJADINYA DISFUNGSI EREKSI. Jurnal e-Biomedik
(eBM), Volume 1, Nomor 3. Fowler, M.J., 2008. Microvascular and macrovascular
complications of Diabetes...6th in a 12-part series. , 26(2), pp.77–82.

Martin, A.L. & Lipman, R.D., 2013. The future of Diabetes education: expanded opportunities
and roles for Diabetes educators. The Diabetes educator, 39(4), pp.436–46. (Online)
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23649727 (diakses pada 27 April 2015).

PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan PencegahanDiabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia 2011. Jakarta: PBPERKENI.

Wicaksono M.T.P. 2013. Diabetes Mellitus Tipe II Gula Darah Tidak Terkontrol dengan
Komplikasi Neuropati Diabetikum. Medula: 1 (3): 10-18.

Yazdanpanah, L., Nasiri, M. & Adarvishi, S., 2015. Literature review on the management of
diabetic foot ulcer. , 6(1), pp.37–53.

You might also like