You are on page 1of 37

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

I. Konsep Dasar Medik


A. Lansia
1. Definisi Lansia
Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya kemampuan akal dan
fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana
di ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan
reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan
kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut,
kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima
keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan
kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004).
Pengertian lansia (lanjut usia) menurut UU No. 4 Tahun 1965 adalah seseorang
yang mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan
hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000)
sedangkan menurut UU No. 12 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia (lanjut usia)
adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Depsos, 1999). Usia lanjut
adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena biologis.
Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian
(Hutapea, 2005).
Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pengertian lansia
digolongkan menjadi 4, yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun
d. Lansia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Dari kesimpulan di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
lansia adalah seseoarang yang telah mencapai usia 55 tahun dan mengalami penurunan
kemampuan secara biologis serta mengalami beberapa perubahan dalam
kehidupannya.

5
2. Ciri-ciri Lansia
Menurut Hurlock (Hurlock, 1980: 380) terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut
usia,yaitu:
a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia. Motivasi
memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Kemunduran pada
lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika
memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi.
b. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas
Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari sikap
sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan diperkuat oleh
pendapat-pendapat klise yang jelek terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu
seperti: lansia lebih senang mempertahankan pendapatnya dari pada mendengarkan
pendapat orang lain.
c. Menua membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami
kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan
atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia cenderung
mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih memperlihatkan bentuk
perilaku yang buruk. Karena perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri
lansia menjadi buruk.
3. Teori Proses Menua
a. Teori biologis
1) Teori genetic clock
Teori ini merupakan teori intrinsic yang menjelaskan bahwa di dalam tubuh
terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan proses penuaan. Teori
ini menyatakan bahwa menua itu telah terprogram secara genetic untuk spesies
tertentu. Setiap spesies di dalam inti selnya memiliki suatu jam genetik/jam
biologis sendiri dan setiap spesies mempunyai batas usia yang berbeda-beda
yang telah diputar menurut replikasi tertentu sehingga bila jenis ini berhenti
berputar, ia akan mati.

6
2) Teori mutasi somatik
Menurut teori ini, penuaan terjadi karena adanya mutasi somatik akibat
pengaruh lingkungan yang buruk. Terjadi kesalahan dalam proses transkripsi
DNA atau RNA dan dalam proses translasi RNA protein/enzim. Kesalahan ini
terjadi terus menerus sehingga akhirnya akan terjadi penurunan fungsi organ
atau perubahan sel menjadi kanker atau penyakit. Setiap sel pada saatnya akan
mengalami mutasi, sebagai contoh yang khas adalah mutasi sel kelamin
sehingga terjadi penurunan kemampuan fungsional sel (Suhana, 1994;
Constantinides, 1994).
b. Teori nongenetik
1) Teori penurunan sistem imun tubuh (auto-immune theory).
Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan
sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi yang merusak
membran sel, akan menyebabkan sistem imun tidak mengenalinya sehingga
merusaknya. Hal inilah yang mendasari peningkatan penyakit auto-imun pada
lanjut usia (Goldstein, 1989). Dalam proses metabolisme tubuh, diproduksi
suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat
tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai contoh,
tambahan kelenjar timus yang pada usia dewasa berinvolusi dan sejak itu terjadi
kelainan auto-imun.
2) Teori kerusakan akibat radikal bebas (free radical theory)
Teori radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas dan di dalam tubuh
karena adanya proses metabolisme atau proses pernapasan di dalam
mitokondria. Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang tidak
stabil karena mempunyai electron yang tidak berpasangan sehingga sangat
reaktif mengikat atom atau molekul lain yang menimbulkan berbagai kerusakan
atau perubahan dalam tubuh. Tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom)
mengakibatkan oksidasi oksigen bahan organik, misalnya karbohidrat dan
protein. Radikal bebas ini menyebabkan sel tidak dapat beregenerasi (Halliwel,
1994). Radikal bebas dianggap sebagai penyebab penting terjadinya kerusakan
fungsi sel. Radikal bebas yang terdapat di lingkungan seperti asap kendaraan
bermotor, asap rokok, zat pengawet makanan, radiasi, sinar ultraviolet yang
mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses menua.
3) Teori menua akibat metabolisme

7
Telah dibuktikan dalam berbagai percobaan hewan, bahwa pengurangan
asupan kalori ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan memperpanjang
umur, sedangkan perubahan asupan kalori yang menyebabkan kegemukan dapat
memperpendek umur (Bahri dan Alem, 1989; Boedhi Darmojo, 1999).
4) Teori rantai silang (cross link theory)
Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein,
karbohidrat, dan asam nukleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat kimia dan
radiasi, mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan perubahan pada
membrane plasma, yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku, kurang
elastis, dan hilangnya fungsi pada proses menua.
5) Teori Fisiologis
Teori ini merupakan teori intrinsik dan ekstrinsik. Terdiri atas teori
oksidasi stress, dan teori dipakai-aus (wear and tear theory). Di sini terjadi
kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel tubuh lelah dipakai (regenerasi
jaringan tidak dapat mempertahankan kstabilan lingkungan eksternal).
4. Perubahan Biologis pada Lansia
Banyak kemampuan berkurang pada saat orang bertambah tua. Dari ujung
rambut sampai ujung kaki mengalami perubahan dengan makin bertambahnya umur.
Menurut Nugroho (2000) perubahan fisik yang terjadi pada lansia adalah sebagai
berikut:
a. Sel
 Jumlah sel menurun/menjadi sedikit.
 Ukuran sel lebih besar.
 Berkurangnya cairan tubuh dan cairan intra seluler.
 Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, dan hati.
 Jumlah sel otak menurun.
 Terganggunya mekanisme perbaikan sel.
 Otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10%.
 Lekukan otak akan menjadi lebih dangkal dan melebar.
b. Sistem Respirasi
 Otot pernafasan mengalami kelemahan akibat atrofi, kehilangan kekuatan, dan
menjadi kaku.
 Aktivitas silia menurun.

8
 Paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih
berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun dengan kedalaman bernafas
menurun.
 Ukuran alveoli melebar (membesar secara progresif) dan jumlah berkurang.
 Berkurangnya elastisitas bronkus.
 Oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg.
 Karbondioksida pada arteri tidak berganti. Pertukaran gas terganggu.
 Refleks dan kemampuan untuk batuk berkurang.
 Sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia menurun.
 Sering terjadi emfisema senilis.
 Kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot pernafasan menurun seiring
pertambahan usia.
c. Sistem Kardiovaskuler
 Katup jantung menebal dan menjadi kaku.
 Elastisitas dinding aorta menurun.
 Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan kontraksi dan volume menurun
(frekuensi denyut jantung maksimal= 200-umur).
 Curah jantung menurun.
 Kehilangan sensitivitas dan elastisitas pembuluh darah, efektivitas pembuluh
darah perifer untuk oksigenasi berkurang, perubahan posisi dari tidur ke duduk
(duduk ke berdiri) bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65mmHg
(mengakibatkan pusing mendadak).
 Kinerja jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan perdarahan.
 Tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi dari pembuluh darah
perifer, sistol normal ±170 mmHg, diastol normal ± 95 mmHg.
d. Sistem Persarafan
 Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan menurun.
 Berat otak menurun 10-20% (sel saraf otak setiap orang berkurang setiap
harinya).
 Mengecilnya saraf panca indra sehingga mengakibatkan berkurangnya respon
penglihatan dan pendengaran, mengecilnya saraf penciuman dan perasa, lebih
sensitif terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin rendah.

9
 Kurang sensitif terhadap sentuhan.
 Defisit memori.
e. Sistem Pencernaan
 Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang biasa terjadi setelah
umur 30 tahun. Penyebab lain meliputi kesehatan gigi dan gizi yang buruk.
 Indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lendir yang kronis, atrofi indra
pengecap (±80%), hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah, terutama rasa
manis dan asin, hilangnya sensitivitas saraf pengecap terhadap rasa asin, asam,
dan pahit.
 Esofagus melebar.
 Rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun), asam lambung menurun,
motilitas dan waktu pengosongan lambung menurun.
 Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.
 Fungsi absorbsi melemah (daya absorbsi terganggu, terutama karbohidrat).
 Hati semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun, aliran darah
berkurang.
f. Sistem Genitourinaria
 Ginjal merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, melalui
urine darah yang masuk ke ginjal, disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal
yang disebut nefron (tepatnya di gromerulus). Mengecilnya nefron akibat atrofi,
aliran darah ke ginjal menurun sampai 50% sehingga fungsi tubulus berkurang.
Akibatnya, kemampuan mengonsentrasi urine menurun, berat jenis urine
menurun, proteinuria (biasanya +1), BUN (blood urea nitrogen) meningkat
sampai 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.
Keseimbangan elektrolit dan asam lebih mudah terganggu bila dibandingkan
dengan usia muda. Renal plasma flow (RPF) dan glomerular filtration rate
(GFR) atau klirens kreatinin menurun secara linier sejak usia 30 tahun. Jumlah
darah yang difiltrasi oleh ginjal berkurang.
 Vesika urinaria. Otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau
menyebabkan frekuensi buang air kecil meningkat. Pada pria lanjut usia, vesika
urinaria sulit dikosongkan sehingga mengakibatkan retensi urine meningkat.
 Pembesaran prostat. Kurang lebih 75% dialami oleh pria usia di atas 65 tahun.
g. Sistem Muskuloskeletal

10
 Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh.
 Gangguan tulang, yakni mudah mengalami demineralisasi.
 Kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terutama vertebrata, pergelangan, dan
paha. Insiden osteoporosis dan fraktur meningkat pada area tulang tersebut.
 Kartilago yang meliputi permukaan sendi tulang penyangga rusak dan aus.
 Kifosis.
 Gerakan pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas.
 Gangguan gaya berjalan.
 Kekakuan jaringan penghubung.
 Diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek (tingginya berkurang).
 Persensian membesar dan menjadi kaku.
 Tendon mengerut dan mengalami sklerosis.
 Atrofi serabut otot, serabut otot mengecil sehingga gerakan menjadi lamban,
otot kram, dan menjadi tremor (perubahan pada otot cukup rumit dan sulit
dipahami).
 Komposisi otot berubah sepanjang waktu (myofibril digantikan oleh lemak,
kolagen, dan jaringan parut).
 Aliran darah ke otot berkurang sejalan dengan proses menua.
 Otot polos tidak begitu berpengaruh.
h. Sistem Penglihatan
 Sfingter pupil timbul sklerosis dan respons terhadap sinar menghilang.
 Kornea lebih berbentuk sferis (bola).
 Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi katarak, jelas menyebabkan
gangguan penglihatan.
 Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan
lebih lambat, susah melihat dalam gelap.
 Penurunan/hilangnya daya akomodasi, dengan manifestasi presbiopia,
seseorang sulit melihat dekat yang dipengaruhi berkurangnya elastisitas lensa.
 Lapang pandang menurun: luas pandangan berkurang.
 Daya membedakan warna menurun, terutama warna biru atau hijau pada skala.
i. Sistem Pendengaran

11
 Gangguan pendengaran. Hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam,
terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit
mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas umur 65 tahun.
 Membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.
 Terjadi pengumpulan serumen, dapat mengeras karena meningkatnya keratin.
 Fungsi pendengaran semakin menurun pada lanjut usia yang mengalami
ketegangan/stress.
 Tinitus (bising yang bersifat mendengung, bisa bernada tinggi atau rendah, bisa
terus menerus atau intermitten).
 Vertigo (perasaan tidak stabil yang terasa seperti bergoyang atau berputar).
j. Sistem pengaturan suhu tubuh
Pada pengaturan suhu hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu thermostat yaitu
menetapkan suatu suhu tertentu. Kemunduran terjadi karena beberapa faktor yang
mempengaruhinya yang sering ditemukan antara lain:
 Temperatur tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis ±350C ini akibat
metabolisme yang menurun.
 Pada kondisi ini, lanjut usia akan merasa kedinginan dan dapat pula menggigil,
pucat, dan gelisah.
 Keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak
sehingga terjadi penurunan aktivitas otot.
k. Sistem Reproduksi
Wanita
 Vagina mengalami kontraktur dan mengecil.
 Ovarium menciut, uterus mengalami atrofi.
 Atrofi payudara.
 Atrofi vulva.
 Selaput lender vagina menurun, permukaan menjadi halus, sekresi berkurang,
sifatnya menjadi alkali dan terjadi perubahan warna.
Pria
 Testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun ada penurunan secara
berangsur-angsur.
 Dorongan seksual menetap sampai usia di atas 70 tahun, asal kondisi
kesehatannya baik.

12
l. Sistem Endokrin
Kelenjar endokrin adalah kelenjar buntu dalam tubuh manusia yang memproduksi
hormon. Hormon pertumbuhan berperan sangat penting dalam pertumbuhan,
pematangan, pemeliharaan, dan metabolisme organ tubuh. Yang termasuk hormon
kelamin adalah:
 Estrogen, progesterone, dan testosterone yang memelihara alat reproduksi dan
gairah seks. Hormon ini mengalami penurunan.
 Kelenjar pankreas (yang memproduksi insulin dan sangat penting dalam
pengaturan gula darah).
 Kelenjar adrenal/anak ginjal yang memproduksi adrenalin. Kelenjar yang
berkaitan dengan hormon pria/wanita. Salah satu kelenjar endokrin dalam tubuh
yang mengatur agar arus darah ke organ tertentu berjalan dengan baik, dengan
jalan mengatur vasokontriksi pembuluh darah. Kegiatan kelenjar adrenal ini
berkurang pada lanjut usia.
 Produksi hampir semua hormon menurun.
 Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah.
 Hipofisis: pertumbuhan hormon ada, tetapi lebih rendah dan hanya di dalam
pembuluh darah; berkurangnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH.
 Aktivitas tiroid, BMR (basal metabolic rate) dan daya pertukaran zat menurun.
 Produksi aldosteron menurun.
 Sekresi hormon kelamin, misalnya progesterone, estrogen, dan testosterone
menurun.
m. Sistem Integumen
 Kulit menjadi keriput dan mengkerut akibat kehilangan jaringan lemak.
 Permukaan kulit cenderung kusam, kasar, dan bersisik (karena kehilangan
proses keratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk sel epidermis).
 Timbul bercak pigmentasi akibat proses melanogenesis yang tidak merata pada
permukaan kulit sehingga tampak berbintik-bintik atau noda cokelat.
 Terjadi perubahan pada daerah sekitar mata, tumbuhnya kerut-kerut halus di
ujung mata akibat lapisan kulit menipis.
 Respons terhadap trauma menurun.
 Mekanisme proteksi kulit menurun: produksi serum menurun, produksi vitamin
D menurun, pigmentasi kulit terganggu.

13
 Kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu.
 Rambut dalam hidung dan telinga menebal.
 Berkurangnya elastisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi.
 Pertumbuhan kuku lebih lambat.
 Kuku jari menjadi keras dan rapuh.
 Kuku menjadi pudar, kurang bercahaya.
 Kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk.
 Jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang.
5. Penyakit-penyakit pada Lansia
a. Sistem Pernapasan
1) Emfisema
Emfisema dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan struktur paru-paru
dalam bentuk pelebaran saluran napas di ujung akhir bronkus disertai dengan
kerusakan dinding alveolus. Penyakit ini termasuk dalam penyakit paru
obstruktif kronik yang menimbulkan kesulitan pengeluaran udara pernapasan.
Penyakit ini bersifat progresif dan biasanya diawali dengan sesak napas. Gejala
emfisema dapat berupa batuk yang disertai dahak berwarna putih atau mukoid,
dan jika terdapat infeksi, sputum tersebut menjadi purulen. Badan terlihat lelah,
nafsu makan berkurang, dan berat badan pasien menurun.
2) Asma
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang
menyebabkan hiperresponsivitas jalan napas. Penyakit asma ditandai dengan 3
hal, antara lain penyempitan saluran napas, pembengkakan, dan sekresi lendir
yang berlebih di saluran napas. Secara umum gejala asma adalah sesak napas,
batuk berdahak, dan suara napas yang berbunyi wheezing, yang biasanya timbul
secara episodic pada pagi hari menjelang waktu subuh karena pengaruh
keseimbangan hormone kortisol yang kadarnya rendah saat pagi hari dan
berbagai faktor lainnya.
3) Pneumonia
Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting pada
lansia. Penyakit ini menduduki peringkat keempat penyebab kematian dan
infeksi paru dan sering merupakan penyakit terminal yang dialami lansia.
Pneumonia pada lansia dapat bersifat akut atau kronis. Gejala pneumonia

14
bermacam-macam bergantung pada kondisi tubuh dan jenis kuman penyebab
infeksi. Beberapa tanda dan gejala pneumonia meliputi demam, batuk, napas
pendek, berkeringat, menggigil, dada terasa berat dan nyeri saat bernapas
(pleuritis), nyeri kepala, nyeri otot dan lesu. Pada lansia, gejala dan tanda-tanda
ini lebih ringan, bahkan suhu tubuh dapat lebih rendah dari nilai normal.
4) Bronkitis
Bronkitis merupakan peradangan membran mukosa yang melapisi bronkus
dan/atau bronkiolus, yaitu jalan napas dari trakea ke paru-paru. Bronkitis dapat
dibagi menjadi 2 kategori, yaitu akut dan kronis. Bronkitis akut ditandai dengan
batuk dengan atau tanpa sputum, terdiri atas mucus yang diproduksi di saluran
napas. Sedangkan bronkitis kronis merupakan satu dari penyakit paru obstruktif
kronis dengan batuk produktif yang berlangsung sampai 3 bulan atau lebih
setiap tahunnya selama 2 tahun.
b. Sistem Kardiovaskuler
1) Hipertensi
Hipertensi merupakan kondisi ketika seseorang mengalami kenaikan
tekanan darah baik secara lambat atau mendadak (akut). Hipertensi menetap
(tekanan darah yang tinggi yang tidak menurun) merupakan faktor risiko
terjadinya stroke, penyakit jantung koroner, gagal jantung, gagal ginjal, dan
aneurisma. Meskipun peningkatan tekanan darah relative kecil, hal tersebut
dapat menurunkan angka harapan hidup. Biasanya penyakit ini tidak
memperlihatkan gejala, meskipun beberapa pasien melaporkan nyeri kepala,
lesu, pusing, pandangan kabur, muka yang terasa panas atau telinga
mendenging.
2) Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Serangan jantung biasanya terjadi jika bekuan darah menutup aliran darah
di arteri coronaria, yaitu pembuluh darah yang menyalurkan makanan ke otot
jantung. Penghentian suplai darah ke jantung akan merusak atau mematikan
sebagian jaringan otot jantung. Gejala yang sering muncul pada serangan
jantung dapat berupa rasa tertekan, rasa penuh atau nyeri yang menusuk di dada
dan berlangsung selama beberapa menit. Nyeri tersebut juga dapat menjalar dari
dada ke bahu, lengan, punggung dan bahkan dapat juga ke gigi dan rahang.
Episode ini dapat semakin sering dan semakin lama. Kadang-kadang, gejala
yang timbul berupa sesak napas, berkeringat (dingin), rasa cemas, pusing, atau

15
mual sampai muntah. Pada perempuan, gejala-gejala tersebut dirasa kurang
menonjol. Namun, gejala tambahan dapat timbul, berupa nyeri perut seperti
terbakar, kulit dingin, pusing, rasa ringan di kepala, dan terkadang disertai rasa
lesu yang luar biasa tanpa sebab yang jelas.
3) Gagal Jantung
Gagal jantung sering terjadi pada umur 65 tahun atau lebih, dan insiden
meningkat pada lansia yang berumur lebih dari 70 tahun. Keadaan ini
merupakan ketidakmampuan jantung memompa darah sesuai kebutuhan
fisiologis. Angka rawat inap gagal jantung pada pasien lansia semakin
bertambah dalam 20 tahun terakhir. Gagal jantung pada usia tua biasanya
disebabkan hipertensi arterial yang memengaruhi pemompaan darah yang
akhirnya menyebabkan gagal jantung atau terjadi akibat PJK. Hipertensi dan
PJK juga mengganggu curah jantung. Kelainan katup menyebabkan gangguan
ejeksi, pengisisan dan preload kronis yang diakhiri dengan gagal jantung.
c. Sistem Persarafan
1) Penyakit Alzheimer
Penyakit ini merupakan bagian dari demensia. 50-60% demensia
ditimbulkan penyakit Alzheimer. Istilah demensia digunakan untuk
menggambarkan sindrom klinis dengan gejala penurunan daya ingat dan
kemunduran fungsi intelektual lainnya. Pasien mengalami kemunduran fungsi
intelektual yang bersifat menetap, yakni adanya gangguan pada sedikitnya 3 dari
5 komponen fungsi neurologis, yang mencakup fungsi berbahasa, mengingat,
melihat, emosi, dan memahami.
2) Stroke
Stroke terjadi bila aliran darah ke otak mendadak terganggu atau jika
pembuluh darah di otak pecah sehingga darah mengalir keluar ke jaringan otak
disekitarnya. Sel-sel otak akan mati jika tidak mendapatkan oksigen dan
makanan atau akan mati akibat perdarahan yang menekan jaringan otak sekitar.
Stroke dapat dibagi atas 2 kategori besar, yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik. Yang pertama terjadi akibat penyumbatan aliran darah sedangkan
yang kedua karena pecahnya pembuluh darah. Delapan puluh persen kasus
stroke disebabkan oleh iskemia dan sisanya akibat perdarahan.
3) Penyakit Parkinson

16
Penyakit Parkinson merupakan suatu penyakit saraf dengan gejala utama
berupa tremor, kekakuan otot, dan postur tubuh yang tidak stabil. Penyakit ini
terjadi akibat sel saraf (neuron) yang mengatur gerakan mengalami kematian.
Ciri penyakit Parkinson merupakan kelompok gejala yang tergabung dalam
kelainan gerakan. Empat gejala utama Parkinson adalah tremor atau gemetar di
tangan, lengan, rahang, atau kepala; kekakuan di otot atau ekstremitas;
bradikinesia, atau perlambatan gerakan; postur tubuh yang tidak stabil atau
gangguan keseimbangan. Gejala biasanya timbul secara perlahan dan semakin
lama semakin parah. Pada taraf gejala maksimal, pasien tidak dapat berjalan,
berbicara, atau bahkan melakukan suatu pekerjaan yang sederhana. Penyakit ini
bersifat menahun, progresif, tidak menular, dan tidak diturunkan.
d. Sistem Pencernaan
1) Inkontinensia Alvi
Keadaan ketika seseorang kehilangan kontrolnya dalam mengeluarkan
tinja, yaitu pasien mengeluarkan tinja tidak pada waktunya, tidak dapat
menahannya atau terjadi kebocoran produk ekskresi tersebut. Mereka dengan
keluhan ini dalam pergaulan merasa tersisihkan dan rendah diri yang akhirnya
dapat menimbulkan gangguan jiwa.
2) Diare
Keadaan ketika seseorang mengalami peningkatan frekuensi BAB lebih
dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi feses yang cair, terkadang terdapat
ampas dan lendir. Hal ini terjadi karena fungsi fisiologis sistem pencernaan
lansia yang sudah mulai menurun dan juga disebabkan oleh bakteri dan faktor
psikologis.
e. Sistem Perkemihan
1) Gagal Ginjal Akut
Terjadi penurunan mendadak fungsi ginjal dalam membuang cairan dan
ampas darah ke luar tubuh. Jika ginjal tidak mampu menyaring darah, cairan
dan ampas tersebut akan menumpuk dalam tubuh. Keadaan ini dapat pulih
kembali dan jika kondisi pasien cukup baik fungsi ginjal dapat kembali normal
dalam beberapa minggu, misalnya akibat penyakit kronis seperti PJK, stroke,
infeksi berat ataupun penyakit penyerta lainnya. Tanda dan gejalanya dapat
berupa penurunan jumlah pengeluaran urine meskipun sesekali pengeluaran
masih dapat terjadi, retensi air yang dapat menimbulkan edema tungkai,

17
mengantuk, sesak napas, lesu, bingung, kejang atau koma pada kasus berat, dan
nyeri dada akibat perikarditis. Biasanya pasien tidak memperhatikan
tanda/gejala awal ini tetapi lebih terfokus pada keluhan penyakit penyerta.
2) Gagal Ginjal Kronis
Terjadi penurunan fungsi ginjal yang lambat dengan tanda/gejala yang
minimal. Banyak pasien yang tidak menyadari timbulnya keadaan tersebut
sampai fungsi ginjal hanya tinggal 25%. Penyebabnya adalah diabetes dan
hipertensi. Beberapa tanda dan gejala yang mungkin dapat diketahui adalah
hipertensi, penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, anemia, mual dan
muntah, lesu dan gelisah, kelelahan, nyeri kepala tanpa sebab yang jelas,
penurunan daya ingat, kedutan dan kram otot, BAB berdarah, kulit kekuningan,
dan rasa gatal.
3) BPH (Benign Prostat Hiperplasia/Hipertropi)
BPH adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena
hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat, meliputi antara lain:
jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan
uretra pars prostatika. Gejala klinik terjadi oleh karena 2 hal, yaitu penyempitan
uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih dan Retensi air kemih dalam
kandung kemih yang menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi kandung
kemih dan cystitis. Gejala klinik dapat berupa frekuensi berkemih bertambah,
berkemih pada malam hari, kesulitan dalam hal memulai dan menghentikan
berkemih, air kemih masih tetap menetes setelah selesai berkemih, rasa nyeri
pada waktu berkemih.
4) Inkontinensia Urine
Terjadinya pengeluaran urine secara spontan pada sembarang waktu di luar
kehendak. Keadaan ini umum dijumpai pada lansia. Dari segi medis,
inkontinensia mempermudah timbulnya ulkus dekubitus, infeksi saluran kemih,
sepsis, gagal ginjal, dan peningkatan angka kematian.
f. Sistem Muskuloskeletal
1) Osteoartritis
Pada penyakit ini, rasa kaku biasanya timbul pada pagi hari setelah tidur,
dan sendi terasa nyeri jika digerakkan, tetapi dapat menghilang beberapa saat
setelah digerak-gerakan. Rasa nyeri dan kaku dapat timbul secara bergantian
selama beberapa bulan atau tahun. Peradangan ini paling bersifat asimetris.

18
Osteoartritis terjadi akibat ausnya sendi, yang merusak tulang rawan pada
lapisan terluar sendi karena penggunaan sendi yang berulang-ulang. Tulang
yang berdekatan akan saling bergeser sehingga menimbulkan rasa nyeri.
Penyakit ini biasanya mengenai daerah lutut dan punggung.
2) Artritis rheumatoid (arthritis simetris)
Pada penyakit ini, kaku pada pagi hari tidak mereda setelah 1 atau 2 jam.
Kadang-kadang kaku merupakan tanda awal penyakit ini. Peradangan sendi lain
dapat berupa nyeri dan keletihan yang semakin berat. Pembengkakan sendi pada
beberapa bagian tubuh seperti tangan, kaki, siku, pergelangan kanan-kiri yang
terpapar secara simetris juga dimasukkan dalam criteria arthritis rheumatoid.
3) Ankylosing spondylitis
Penyakit ini paling sering mengenai tulang belakang atau bagian lain,
seperti bahu, tangan, dan kaki, biasanya secara asimetris.
4) Psoriatic arthritis
Hingga 30% pengidap psoriasis juga akan mengalami psoriatic arthritis.
Kelainan ini biasanya bersifat asimetris, tetapi juga dapat timbul secara simetris,
menyerupai arthritis rheumatoid.
5) Pirai (gout)
Jenis arthritis ini menimbulkan nyeri yang cukup hebat dengan terjadinya
penumpukan asam urat di sendi-sendi. Keadaan ini biasanya pertama kali
mengenai ibu jari kaki sampai berwarna kemerahan dan bengkak, tetapi juga
dapat mengenai sendi lainnya. Rasa nyeri tersebut dapat cepat berkembang.
6) Artritis pada lupus
Artritis dapat terjadi pada lupus eritematosus, yaitu penyakit peradangan
kronis jaringan ikat yang terjadi karena sistem imunitas tubuh menyerang
jaringan atau organ pasien sendiri. Inflamasi terlihat pada berbagai sistem tubuh
yang berbeda, mencakup sendi, kulit, ginjal, sel darah, jantung, dan paru.
7) Peradangan sendi
Keparahan penyakit ini dinilai berdasarkan derajat ketidakmampuan
pergerakan yang ditimbulkannya. Bagi seseorang dengan fisik yang aktif,
gangguan arthritis ringan sudah dianggap sebagai suatu bencana.
8) Osteoporosis
Keadaan ini merupakan kondisi tulang yang keropos, rapuh, atau mudah
patah. Penyebabnya adalah perubahan kadar hormon, kekurangan kalsium dan

19
vitamin D, dan/atau kurangnya aktivitas fisik. Osteoporosis merupakan
penyebab utama fraktur orang dewasa terutama pada kaum perempuan.
g. Sistem Penglihatan
Katarak
Katarak merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekeruhan pada lensa mata.
Katarak yang tidak mendapatkan penanganan dapat menyebabkan glaucoma
fakomorfik. Lensa mata yang menua pada katarak dengan zonula siliaris yang
lemah dapat tergeser ke depan atau ke belakang sehingga persepsi cahaya yang
memasuki mata menjadi terganggu dan mengaburkan penglihatan seseorang.
Katarak pada lansia ditandai dengan kekeruhan lensa mata, pembengkakan lensa
yang berakhir dengan pengerutan dan kehilangan sifat transparansinya. Pada
keadaan lain katarak akibat usia lanjut ini, kapsul lensa akan mencair membentuk
cairan kental putih yang menimbulkan peradangan hebat jika kapsul lensa
mengalami rupture dan cairan tersebut keluar, yang disebut katarak Morgagni.
h. Sistem Pendengaran
Presbiakusis
Presbiakusis merupakan istilah kedokteran untuk gangguan pendengaran pada
lansia. Keadaan ini biasanya terjadi pada usia 55 tahun atau lebih. Penyebab
gangguan pendengaran lainnya pada orang berusia tua antara lain karena infeksi
atau kerusakan di telinga dalam. Kemunduran pendengaran ini muncul bertahap
dalam beberapa tahun, yang mungkin tidak disadari pada awalnya. Gangguan
tersebut baru diketahui ketika pasien mengalami kesulitan mendengar suara orang
menelepon atau mengikuti pembicaraan pada kumpulan orang ramai. Teman atau
anggota family dapat terkejut karena pasien menyetel televisi terlalu keras atau
meminta pengulangan pertanyaan berkali-kali. Gangguan pendengaran ini dapat
menimbulkan keterasingan dan ketidakmampuan mendengar tanda bahaya.
i. Sistem Endokrin
Diabetes
Seseorang disebut mengidap diabetes jika terdapat kenaikan kadar gula darah
yang menetap. Penyakit ini terjadi pada segala umur, walaupun umumnya lebih
sering dijumpai pada lansia sebagai suatu penyakit kronis, yaitu sekitar 18% pada
kelompok individu berumur 65 tahun dan 25% di atas 85 tahun. Umumnya terdapat
5 tanda gejala awal, yaitu peningkatan frekuensi berkemih, rasa haus,

20
bertambahnya nafsu makan, infeksi atau luka yang sukar sembuh, dan lesu.
Kadang-kadang gejala terawal berupa penglihatan yang kabur.
j. Sistem Reproduksi
Disfungsi Ereksi
Disfungsi ereksi berarti kegagalan terjadinya dan ketidakmampuan
mempertahankan ereksi pada 50% usaha penetrasi pada persetubuhan. Disfungsi
ereksi dapat terjadi dari waktu ke waktu pada berbagai tingkat umur setelah
dewasa. Walaupun insiden disfungsi ereksi meningkat seiring pertambahan usia,
prevalensinya mencapai sekitar 52% pada umur antara 40-70 tahun dan meningkat
pada orang yang lebih tua, yaitu hampir mencapai 95% pada pria berumur >70
tahun, terutama dengan penyakit penyerta seperti diabetes. Disfungsi ereksi dapat
timbul akibat gangguan vascular, neurogenik, endokrin, kelainan struktur penis,
efek samping obat, dan stress psikologis.
B. Definisi Rematoid Arthritis
Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis yang tidak
diketahui penyebabnya, diakrekteristikkan oleh kerusakan dan proliferasi membran
sinovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan deformitas.
(Kusharyadi, 2010).
Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi sistemik yang kronis dan terutama
menyerang persendian, otot-otot, tendon, ligamen, dan pembuluh darah yang ada
disekitarnya. (Kowalak, 2011).
Gambar 2.1 : Rematoid Arthritis

21
C. Anatomi Fisiologi
Suatu artikulasi, atau persendian, terjadi saat permukaan dari dua tulang bertemu,
adanya pergerakan atau tidak bergantung pada sambungannya. Persendian dapat
diklasifikasi menurut struktur dan menurut fungsi persendian.
1. Klasifikasi Struktural Persendian
a. Persendian fibrosa
Tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan jaringan ikat fibrosa.
b. Persendian kartilago
Tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan jaringan kartilago.
c. Persendian sinovial
Memiliki rongga sendi dann diperkokoh dengan kapsul dan ligamen artikular
yang membungkusnnya.
2. Klasifikasi Fungsional Persendian
a. Sendi sinartrosis atau sendi mati
1) Sutura
Adalah sendi yang dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa rapat dan
hanya ditemukan pada tulang tengkorak. Contoh sutura adalah sutura sagital dan
sutura parietal.
Gambar 2.2: Sendi Sutura

2) Sinkondrosis
Adalah sendi yang tulang-tulangnya dihubungkan dengan kartilago hialin.
Salah satu contohnya adalah lempeng epifisis sementara antara epifisis dan
diafisis pada tulang panjang seorang anak. Saat sinkondrosis sementara
berosifikasi, maka bagian tersebut dinamakan sinostosis.

22
Gambar 2.3: Sendi Sinkondrosis

b. Amfiartrosis
Adalah sendi dengan pergerakan terbatas yang memungkinkan terjadinya
sedikit gerakan sebagai respons terhadap torsi dan kompresi.
1) Simfisis
Adalah sendi yang kedua tulangnya dihubungkan dengan diskus kartilago,
yang menjadi bantalan sendi dan memungkinkan terjadinya sedikit gerakan.
Contoh simfisis adalah simfisis pubis antara tulang-tulang pubis dan diskus
intervertebralis antar badan vertebra yang berdekatan.
Gambar 2.4: Sendi Simfisis

2) Sindesmosi
Terbentuk saat tulang-tulang yang berdekatan dihubungkan dengan serat-
serat jaringan ikat kolagen. Contoh sindesmosis dapat ditemukan pada tulang

23
yang terletak bersisian dan dihubungkan dengan membran interoseus, seperti
pada tulang radiu dan ulna, serts tibia dan fibula.
Gambar 2.5: Sendi Sindesmosi

3) Diartrosis
Adalah sendi yang dapat bergerak bebas, disebut juga sendi sinovial.
Sendi ini memiliki rongga sendi yang berisi cairan sinovial, suatu kapsul sendi
(artikular) yang menyambung kedua tulang, dan ujung tulang pada sendi
sinovial dilapisi kartilago artikular.
Gambar 2.6: Sendi Diartrosis

24
3. Klasifikasi Persendian Sinovial
a. Sendi sferoidal
Terdiri dari sebuah tulang dengan kepala berbentuk bulat yang masuk
dengan pas ke dalam rongga berbentuk cangkir pada tulang lain. Memungkinkan
rentang gerak yang lebih besar, menuju ke tiga arah. Contoh sendi sferoidal adalah
sendi panggul serta sendi bahu.
Gambar 2.7: Sendi Sferoidal

b. Sendi engsel
Sendi ini memungkinkan gerakan kesatu arah saja dan dikenal sebagai sendi
uniaksial. Contohnya adalah persendian pada lutut dan siku.
Gambar 2.8: Sendi Engsel

25
c. Sendi kisar (pivot joint )
Sendi ini merupakan sendi uniaksial yang memungkinkan terjadinya rotasi
disekitar aksial sentral, misalnya persendian tempat tulang atlas berotasi di sekitar
prosesus odontoid aksis.
Gambar 2.9: Sendi Kisar (Pivot Joint)

d. Persendian kondiloid
Sendi ini merupakan sendi biaksial, yang memungkinkan gerakan kedua arah
disudut kanan setiap tulang. Contohnya adalah sendi antara tulang radius dan
tulang karpal.
Gambar 2.10: Sendi Kondiloid

e. Sendi pelana
Persendian ini adalah sendi kondiloid yang termodifikasi sehingga
memungkinkan gerakan yang sama. Contohnya adalah persendian antara tulang
karpal dan metakarpal pada ibu jari.

26
Gambar 2.11: Sendi Pelana

f. Sendi peluru
Sedikit gerakan ke segala arah mungkin terjadi dalam batas prosesus atau
ligamen yang membungkus persendian. Persendian semacam ini disebut sendi
nonaksial; misalnya persendian invertebrata dan persendian antar tulang-tulang
karpal dan tulang-tulang tarsal.
Gambar 2.12: Sendi Peluru

D. Etiologi
Penyebab utama penyakit artritis reumatoid masih belum diketahui secara pasti.
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis reumatoid, yaitu :
1. Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus
2. Endokrin
Kecenderungan wanita untuk menderita artritis reumatoid dan sering
dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya
faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada

27
penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon estrogen eksternal tidak
pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum
berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit
ini.
3. Autoimmun
Pada saat ini artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan
infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II, faktor infeksi mungkin
disebabkan oleh karena virus dan organisme mikroplasma atau grup difterioid yang
menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita.
4. Metabolik
5. Faktor genetik serta pemicu lingkungan
Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan
dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara
produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan
artritis reumatoid seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk
menderita penyakit ini.
E. Manifestasi Klinis
Jika pasien artritis reumatoid pada lansia tidak diistirahatkan, maka penyakit ini
akan berkembang menjadi empat tahap :
1. Terdapat radang sendi dengan pembengkakan membran sinovial dan kelebihan
produksi cairan sinovial. Tidak ada perubahan yang bersifat merusak terlihat pada
radiografi. Bukti osteoporosis mungkin ada.
2. Secara radiologis, kerusakan tulang pipih atau tulang rawan dapat dilihat. Pasien
mungkin mengalami keterbatasan gerak tetapi tidak ada deformitas sendi.
3. Jaringan ikat fibrosa yang keras menggantikan pannus, sehingga mengurangi ruang
gerak sendi. Ankilosis fibrosa mengakibatkan penurunan gerakan sendi, perubahan
kesejajaran tubuh, dan deformitas. Secara radiologis terlihat adanya kerusakan
kartilago dan tulang.
4. Ketika jaringan fibrosa mengalami kalsifikasi, ankilosis tulang dapat mengakibatkan
terjadinya imobilisasi sendi secara total. Atrofi otot yang meluas dan luka pada
jaringan lunak seperti medula-nodula mungkin terjadi.

28
F. Klasifikasi
Pada lansia artritis reumatoid dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Kelompok 1
Artritis reumatoid klasik. Sendi-sendi kecil pada kaki dan tangan sebagian besar
terlibat. Terdapat faktor reumatoid, dan nodula-nodula reumatoid yang sering terjadi.
Penyakit dalam kelompok ini dapat mendorong ke arah kerusakan sendi yang
progresif.
2. Kelompok 2
Termasuk ke dalam klien yang memenuhi syarat dari American Rheumatologic
Association untuk artritis reumatoid karena mereka mempunyai radang sinovitis yang
terus-menerus dan simetris, sering melibatkan pergelangan tangan dan sendi-sendi
jari.
3. Kelompok 3
Sinovitis terutama memengaruhi bagian proksimal sendi, bahu dan panggul.
Awitannya mendadak, sering ditandai dengan kekuatan pada pagi hari. Pergelangan
tangan pasien sering mengalami hal ini, dengan adanya bengkak, nyeri tekan,
penurunan kekuatan genggaman, dan sindrome karpal tunnel. Kelompok ini mewakili
suatu penyakit yang dapat sembuh sendiri yang dapat dikendalikan secara baik dengan
menggunakan prednison dosis rendah atau agens antiinflamasi dan memiliki
prognosis yang baik.
G. Patofisiologi
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis artritis reumatoid terjadi
akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut : Suatu antigen penyebab artritis
reumatoid yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh antigen presenting
cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau
makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya.
Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan
determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk
suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1
(IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi
reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+
akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan

29
menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini
akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-
2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-
interferon, tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4),
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator
lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan
merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi
antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi.
Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan
membebaskan komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan
faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik
lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut.
Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini
dijumpai pada artritis reumatoid adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular
membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan
pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral
(collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang.
Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen
bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat
merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-b.
Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat
dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada artritis reumatoid, antigen atau
komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses
destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada
artritis reumatoid kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid.
Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai
pada 70-90 % pasien artritis reumatoid. Faktor reumatoid akan berikatan dengan
komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut
terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell

30
yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta
aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks
imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif
dalam patogenesis artritis reumatoid. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri
dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara
histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel
mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.

Pathway:

31
H. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik
yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs,
DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis
reumatoid.
I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan cairan synovial :
 Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan
peningkatan jumlah sel darah putih.
 Leukosit 5.000–50.000/mm, menggambarkan adanya proses inflamasi yang
didominasi oleh sel neutrophil (65%).
 Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding
terbalik dengan cairan sinovium.
2. Pemeriksaan darah tepi :
 Leukosit : normal atau meningkat. Leukosit menurun bila terdapat splenomegali;
keadaan ini dikenal sebagai Felty’s Syndrome.
 Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis. 2.7.3
3. Pemeriksaan kadar sero-imunologi :
 Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita dengan nodul
subkutan.
 Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid dini.
J. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama dari program penatalaksanaan perawatan adalah sebagai berikut :
 Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.
 Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari penderita.
 Untuk mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi.
 Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain.
1. Penggunaan OAINS
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada penderita
AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat
inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang
bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesik

32
yang sangat baik. OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim
siklooxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah
hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa
OAINS berkerja dengan cara:
a. Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal.
b. Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin,
enzim lisosomal dan enzim lainnya).
c. Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan.
d. Menghambat proliferasi seluler.
e. Menetralisasi radikal oksigen.
f. Menekan rasa nyeri.
2. Penggunaan DMARD
Terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan
penderita AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari
saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi
sendi pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Cara pendekatan lain adalah dengan
menggunakan dua atau lebih DMARD secara simultan atau secara siklik seperti
penggunaan obat obatan imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan.
digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat
artritis reumatoid. Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan
AR adalah:
a. Klorokuin : Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400
mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman
penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b. Sulfazalazine : Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated
tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500 mg / hari, untuk kemudian ditingkatkan
500 mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai
dengan dosis 2 g / hari, dosis diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g /hari untuk
digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi.
c. D-penicillamine : Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg atau Trolovol 300
mg) digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai 300 mg/hari kemudian dosis
ditingkatkan setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk
mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300 mg/hari.

33
3. Operasi
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat
alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan
ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis,
total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
II. Konsep Dasar Keperawatan
A. Pengkajian
Pengkajian Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan
keterlibatan organ-organ lainnya (misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal), tahapan
misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan bersama bentuk-bentuk arthritis
lainnya.
1. Aktivitas/ istirahat
 Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stres pada
sendi, kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral dan simetris. Limitasi
fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan,
keletihan.
 Tanda : Malaise Keterbatasan rentang gerak, atrofi otot, kulit, kontraktor/ kelaianan
pada sendi.
2. Kardiovaskuler
 Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat intermitten, sianosis,
kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal).
3. Integritas ego
 Gejala : Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis : finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan. Keputusan dan ketidakberdayaan (
situasi ketidakmampuan )Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi
( misalnya ketergantungan pada orang lain).
4. Makanan/ cairan
 Gejala : Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan
adekuat: mual, anoreksia Kesulitan untuk mengunyah.
 Tanda : Penurunan berat badan Kekeringan pada membran mukosa.
5. Hygiene
 Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi.
Ketergantungan.

34
6. Neurosensori
 Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan.
 Tanda : Pembengkakan sendi simetris.
7. Nyeri/ kenyamanan
 Gejala : Fase akut dari nyeri ( mungkin tidak disertai oleh pembengkakan jaringan
lunak pada sendi ).
8. Keamanan
 Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutaneus. Lesi kulit, ulkus kaki.
Kesulitan dalam ringan dalam menangani tugas/ pemeliharaan rumah tangga.
Demam ringan menetap Kekeringan pada meta dan membran mukosa.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin).
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
3. Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas sendi.
4. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak.
5. Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi.
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat.
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin)
Tujuan Dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan skala nyeri
berkurang dengan kriteria hasil:
 Skala nyeri berkurang
 Pasien dapat beristirahat
 Ekspresi meringis (-)
 TTV dalam batas normal (TD : 120-140/60-80 mmHg, N : 60-100, RR : 16-
24 x/menit, T : 36,5-37,5°C) 3.
Intervensi:
MANDIRI
 Kaji keluhan nyeri, kualitas, lokasi, intensitas dan waktu. Catat faktor yang
mempercepat dan tanda rasa sakit nonverbal.
R/: Membantu menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan keefektifan
program.
 Pantau TTV pasien.

35
R/: Mengetahui kondisi umum pasien.
 Berikan posisi nyaman waktu tidur/duduk di kursi. Tingkatkan istirahat di
tempat tidur sesuai indikasi.
R/: Penyakit berat/eksaserbasi, tirah baring diperlukan untuk membatasi nyeri
atau cedera sendi.
 Pantau penggunaan bantal, karung pasir, bebat, dan brace.R/:
Mengistirahatkan sendi yang sakit dan mempertahankan posisi netral. Catatan
: penggunaan brace menurunkan nyeri dan mengurangi kerusakan sendi.
 Berikan masase yang lembut.
R/: Meningkatkan relaksasi atau mengurangi ketegangan otot.
 Anjurkan mandi air hangat/pancuran pada waktu bangun. Sediakan waslap
hangat untuk mengompres sendi yang sakit beberapa kali sehari.
R/: Panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas, menurunkan rasa sakit
dan kekakuan di pagi hari. Sensitivitas pada panas dapat hilang dan luka
dermal dapat sembuh.
KOLABORASI
 Berikan obat sesuai petunjuk :
 Asetilsalisilat (aspirin)
R/:ASA bekerja antiinflamasi dan efek analgesik ringan mengurangi
kekakuan dan meningkatkan mobilitas.
 D-penisilamin
R/: Mengontrol efek sistemik reumatoid artritis jika terapi lainnya tidak
berhasil.
 Bantu dengan terapi fisik, misal sarung tangan parafin.
R/: Memberi dukungan panas untuk sendi yang sakit.
 Siapkan intervensi operasi (sinovektomi).
R/: Pengangkatan sinovium yang meradang mengurangi nyeri dan membatasi
progresif perubahan degeneratif.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
Tujuan Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan kekuatan otot
pasien meningkat dengn kriteria hasil:
 Mempertahankan fungsi posisi dengan pembatasan kontraktur.

36
 Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi dari dan/atau
kompensasi bagian tubuh.
 Mendemostrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas.
Intervensi:
MANDIRI
 Evaluasi pemantauan tingkat inflamasi/rasa sakit pada sendi.
R/: Tingkat aktivitas atau latihan tergantung dari perkembangan proses
inflamasi.
 Pertahankan tirah baring/duduk. Jadwal aktivitas untuk memberikan periode
istirahat terus-menerus dan tidur malam hari.
R/: Istirahant sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut dan seluruh fase
penyakit untuk mencegah kelelahan, mempertahankan kekuatan.
 Bantu rentang gerak aktif/pasif, latihan resistif dan isometrik.
R/: Meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina.
 Dorong klien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi, berdiri serta
berjalan.
R/: Memaksimalkan fungsi sendi, mempertahankan mobilitas.
KOLABORASI
 Konsul dengan ahli terapi fisik atau okupasi dan spesialis vokasional.
R/: Memformulasi program latihan berdasarkan kebutuhan individual dan
mengidentifikasi bantuan mobilitas.
 Berikan obat sesuai indikasi (Steroid).
R/: Menekan inflamasi sistemik.
3. Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas sendi.
Tujuan Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan pasien
menerima perubahan tubuh dengan kriteria hasil:
 Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk
menghadapi penyakit, perubahan gaya hidup dan kemungkinan keterbatasan.
 Menerima perubahan tubuh dan mengintegrasikan ke dalam konsep diri.
 Mengembangkan keterampilan perawatan diri agar dapat berfungsi dalam
masyarakat.
Intervensi:
MANDIRI

37
 Dorong pengungkapan mengenai proses penyakit dan harapan masa depan.
R/: Berikan kesempatan mengidentifiaksi rasa takut/kesalahan konsep dan
menhadapi secara langsung.
 Bantu pasien mengekspresikan perasaan kehilangan.
R/: Untuk mendapatkan dukungan proses berkabung yang adaptif.
 Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal/terlalu
memperhatikan tubuh.
R/: Menunjukkan emosional/metode koping maladaptif sehingga
membutuhkan intervensi lebih lanjut/dukungan psikologis.
 Bantu dengan kebutuhan perawatan yang diperlukan.
R/: Mempertahankan penampilan yang meningkatkan citra diri.
KOLABORASI
 Rujuk pada konseling psikiatri (misal perawat spesialis psikiatri, psikologi,
pekerja sosial).
R/: Pasien/keluarga membutuhkan dukungan selama berhadapan dnegan
proses jangka panjang.
 Berikan obat sesuai indikasi (misal antiansietas).
R/: Dibutuhkan saat munculnya depresi hebat sampai pasien dapat
menggunakan kemampuan koping efektif.
4. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak.
Tujuan Dalam waktu 3 x 24 jamt setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat
melaksanakan aktivitas perawatan diri dengan kriteria hasil:
 Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten dengan
kemampuan individual.
 Mendemonstrasikan perubahan teknik atau gaya hidup untuk memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
 Mengidentifikasikan sumber pribadi atau komunitas yang dapat memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
Intervensi
MANDIRI
 Kaji respons emosional pasien terhadap kemampuan merawat diri yang
menurun dan diberi dukungan emosional.

38
R/: Perubahan kemampuan merawat diri dapat membangkitkan perasaan
cemas dan frustasi, dimana dapat mengganggu kemampuan lebih lanjut.
 Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program latihan.
R/: Mendukung kemandirian fisik dan emosional.
 Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri. Identifikasi
modifikasi lingkungan.
R/: Meningkatkan kemandirian yang akan meningkatkan harga diri.
 Beri dorongan agar berpartisipasi dalam merawat diri. Aktivitas yang
terjadwal memungkinkan waktu untuk merawat diri.
R/: Partisipasi pasien dalam merawat diri meningkatkan harga diri dan
menurunkan perasaan ketergantungan.
KOLABORASI
 Konsultasi dengan ahli terapi okulasi.
R/: Menentukan alat bantu memenuhi kebutuhan individu.
5. Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi.
Tujuan Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien tidak
menderita cidera kriteria hasil:
 Pantau faktor resiko perilaku pribadi dan lingkungan.
 Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko.
 Mempersiapkan lingkungan yang aman.
 Mengidentifikasikan yang dapat meningkatkan reiko cedera.
 Menghindari cedera fisik 3.
Intervensi
 Lindungi klien dari kecelakaan jatuh.
R/: karena klien rentan untuk mengalami fraktur patologis bahkan oleh
benturan ringan sekalipun. Bila klien mengalami penurunan kesadaran
pasanglah tirali tempat tidurnya.
 Hindarkan klien dari satu posisi yang menetap, ubah posisi klien dengan hati-
hati.
R/ perubahan posisi berguna untuk mencegah terjadinya penekanan punggung
dan memperlancar aliran darah serta mencegah terjadinya dekubitus.
 Bantu klien memenuhi kebutuhan sehari-hari selama terjadi kelemahan fisik.

39
R/: kelemahan yang dialami oleh pasien hiperparatiroid dapat mengganggu
proses pemenuhan ADL pasien.
 Atur aktivitas yang tidak melelahkan klien.
R/: aktivitas yang berlebihan dapat memperparah penyakit pasien.
 Ajarkan cara melindungi diri dari trauma fisik seperti cara mengubah posisi
tubuh, dan cara berjalan serta menghindari perubahan posisi yang tiba-tiba.
R/: mencegah terjadinya cedera pada pasien.
6. Kurang penegtahuan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat.
Tujuan dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dan
keluarga menunjukkan pemahaman tentang kondisi dan perawatan dengan kriteria
hasil:
 Menunjukkan pemahaman tentang kondisi dan perawatan.
 Mengembangkan rencana untuk perawatan diri, termasuk modifikasi gaya
hidup yang konsisten dengan mobilitas atau pembatasan aktivitas.
Intervensi:
 Tinjau proses penyakit, prognosis, dan harapan masa depan.
R/: Memberikan pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkna informasi.
 Diskusikan kebiasaan pasien dalam penatalaksanaan proses sakit melalui diet,
obat, latihan dan istirahat.
R/: Tujuan kontrol penyakit adalah untuk menekan inflamasi atau jaringan lain
untuk mempertahankan fungsi sendi dan mencegah deformitas.
 Tekankan pentingnya melanjutkan manajemen farmakoterapeutik.
R/: Keuntungan dari terpai obat tergantung pada ketepatan dosis, misal :
aspirin diberikan secara reguler untuk mendukung kadar terapeutik darah 18 -
25 mg.
 Berikan informasi mengenai alat bantu, misal : tongkat atau palang keamanan.
R/: Mengurangi paksaan untuk menggunakan sendi dan memungkinkan pasien
ikut serta secara lebih nyaman dalam aktivitas yang dibutuhkan.
 Diskusikan menghemat energi, misal : duduk daripada berdiri untuk
mempersiapkan makanan dan mandi.
R/: Mencegah kepenatan, memberikan kemudahan perawatan diri dan
kemandirian.

40
D. Implementasi
Menurut Setiadi,(2012) dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan,
implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.
E. Evaluasi
Menurut Setiadi,(2012) dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan,
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencaan tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya.

41

You might also like