You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, mayoritas masyarakat islam masih belum memahami arti Tauhid secara
mendalam, sehingga mereka sesungguhnya masih belum merdeka dan belum mencari status
manusiawinya. Dapat dikatakan bahwa keterbelakangan ekonomi, ketimpangan sosial, dan
berbagai macam kemunduran lainya yang di derita oleh mayoritas muslim di Indonesia saat ini,
semua fenomena tersebut terjadi karena masyarakat belum memahami tauhid secara mendalam.
Oleh karena itu untuk membangun manusia muslim yang baik dan bermoral tinggi maka harus
di perhatikan tauhidnya. Tauhid merupakan masalah pertama dan terpenting untuk segera di
utamakan dan di luruskan.

Maka dari itu fungsi tauhid dalam kehidupan muslim perlu untuk di ketahui sehingga
manusia akan lebih termotifasi untuk memahami arti tauhid dan akan berusaha semaksimal
mungkin untuk menerapkanya dalam kehidupan bermasyarakat. Kedudukan tauhid dalam Dunia
islam sangatlah penting, karena dari pemahaman tentang tauhid itulah keimanan seorang
muslim mulai tumbuh. Konsep tauhid dalam islam merupakan salah satu pokok ajaran yang
tidak dapat di ganggu gugat dan sangat berpengaruh terhadap keislaman seseorang. Apabila
pemahaman tentang tauhid seorang tidak kuat maka akan goyah pula keislamanya secara
menyeluruh.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Egalitarianisme?
2. Bagaimana Prinsip-Prinsip Egalitarianisme?
3. Bagaimana Pentingnya Ilmu Egalitarianisme?
4. Bagaiamana Hubungan Egalitarianisme dengan Tauhid?
5. Bagaimana Hancurnya Egalitarianisme Islam?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Egalitarianisme
Egalitarianisme berasal dari bahasa Perancis egal yang berarti sama. Yang di maksud sama
dalam pengertian ini adalah kecenderungan cara berpikir bahwa penikmatan atas kesetaraan dari
beberapa macam premis umum, misalkan bahwa seseorang harus diperlakukan dan
mendapatkan perlakuan yang sama pada dimensi seperti agama, politik, ekonomi, sosial, atau
budaya.
Dalam pengertian doktrin Egalitas ini mempertahankan bahwa pada hakikatnya semua
orang manusia adalah sama dalam status nilai atau moral secara fundamental Sebagian besar,
pengertian ini merupakan respon terhadap pelanggaran pembangunan statis dan memiliki dua
definisi yang berbeda, dalam bahasa Inggris modern dapat didefinisikan secara baik sebagai
doktrin politik yang menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan secara setara dan
memiliki hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan sipil yang sama atau dalam pengertian filsafat
sosial penganjuran penghapusan kesenjangan ekonomi antara orang-orang yang kaya dan yang
miskin atau adanya semacam desentralisasi kekuasaan. Dalam hal demikian ini dianggap oleh
beberapa pihak sebagai keadaan alami dari sebuah masyarakat. Kesetaran ini mempunyai
beberapa aspek yaitu dalam aspek sosial, aspek politik, dan aspek ekonomi1.

B. Prinsip-Prinsip Egalitarianisme
Untuk menjawab pertanyaan di atas David Cooper memaparkan beberapa prinsip
egalitarianisme yang banyak dipakai untuk mendasari tuntutan kesetaraan. Satu demi satu
prinsip itu akan dibahas dan disaring sampai tinggal hanya satu prinsip saja yang menurutnya
dapat dijadikan sebagai prinsip yang mendasari tuntutan kesetaraan.

1
Wikipedia. “Egalitarianisme”. Dalam id.wikipedia.org/wiki/Egalitarianisme. Di akses tanggal
10 oktober 2018.

2
- Prinsip Kegunaan (Principle of Utility)

Prinsip ini menekankan kegunaan atau manfaat sebagai tolak ukur untuk menilai dan
mengambil keputusan. Suatu tindakan atau keputusan dikatakan berguna bila semakin banyak
orang yang mendapat keuntungan dari tindakan tersebut. Prinsip ini berkaitan erat dengan dua
premis yakni: pertama, manusia memiliki kemampuan yang sama untuk ‘mengambil manfaat’
(extracting utility) seperti kebahagiaan; rasa senang dari sesuatu yang pada dasarnya
memberikan manfaat seperti pendapatan, status dan apa saja (utility goods). Kedua, hal-hal
seperti itu (pendapatan, status) ‘akan cenderung mengalami kekurangan manfaat’ (subject to
diminishing marginal utility) bila telah mencapai tahap yang maksimum. Dengan demikian
wajarlah bila seseorang yang memiliki utility goods dalam jumlah yang berlebihan
memberikannya kepada orang yang berada dalam kekurangan utility goods tertentu.

- Prinsip Akal Murni (Principle of Pure Reason)

Menurut prinsip ini, suatu tindakan hanya dilakukan berdasarkan pertimbangan yang
rasional. Artinya, A tidak akan diperlakukan dengan cara yang berbeda/sama dengan B kecuali
bila ditemukan adanya perbedaan/persamaan antara keduanya. Prinsip ini kerap digunakan
untuk menentang perlakuan diskriminatif, perlakuan sewenang-wenang atau prasangka buruk.
Prinsip ini tidak memadai sebagai prinsip egalitarianisme karena:

1. Sekalipun semua orang menentang perlakuan diskriminatif atau prasangka buruk


terhadap orang lain, namun hal itu tidak berarti bahwa ada ‘kesepakatan
mendasar’ (substantive agreement) di antara mereka. Dalam kenyataannya, setiap orang
memiliki tingkat penolakan yang berbeda-beda terhadap perlakuan itu.
2. Perilaku diskriminatif kerap ditentukan oleh perasaan subjektif sehingga sulit
dipersalahkan. Misalnya, seorang pedagang bunga tidak dapat dituduh memperlakukan
para pelanggannya secara diskriminatif bila kepada seorang gadis ia tersenyum ramah
sementara kepada seorang bapak tua dia tidak tersenyum. Atau, seorang pemuda tidak
dapat dituduh melakukan tindakan diskriminatif bila ia mengungkapkan cintanya pada
gadis tertentu dan bukan pada gadis yang lain sekalipun ia tidak dapat menjelaskan
perbedaan yang terdapat dalam diri gadis-gadis itu?

3
- Prinsip Keadilan ( Principle of Justice)

Ciri khas prinsip ini adalah menentang ketidakadilan. Ketidakadilan dapat berupa
pelanggaran hukum atau kebijakan yang salah sehingga ada pihak yang dirugikan. Pinsip ini
tidak dapat dijadikan sebagai prinsip egalitarianisme karena tuntutan kesetaraan bukan masalah
keadilan atau ketidakadilan. Misalnya, dosen A mendapat gaji satu juta rupiah ; dosen B
mendapat gaji satu setengah juta rupiah. Dosen A tidak berhak menuntut kenaikan gaji sebesar
dosen B (satu setengah juta rupiah), sebelum ia mampu membuktikan bahwa ia memiliki
kepandaian serta pengalaman yang sama dengan dosen B. Perbedaan pada diri penuntut ( antara
dosen A- B) tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut keadilan. Sejalan dengan argumentasi
tersebut, ia mengutip pendapat Robert Nozick yang mengatakan bahwa keadilan atau
pendapatan tergantung dari bagaimana pendapatan itu diperoleh. Artinya, ketidakadilan hanya
dapat diatasi dengan mencari penyebab ketidakadilan itu.

- Prinsip Perbedaan (Difference Principle)

Dari semua prinsip yang telah dibahas prinsip inilah yang memenuhi syarat sebagai prinsip
egalitarianisme. Prinsip ini dikutip dari pemikiran John Rawls tentang Teori Keadilan. Salah satu
syarat keadilan menurut Rawls adalah terpenuhinya Prinsip Perbedaan. Prinsip ini mengandung
pengertian bahwa ketidaksetaraan sosial-ekonomi dalam masyarakat harus ditata sedemikian
rupa sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil pada akhirnya akan memberikan keuntungan
sebesar-besarnya bagi mereka yang paling tidak beruntung. Yang dimaksud dengan ‘mereka
yang paling tidak beruntung’ adalah masyarakat atau sekelompok masyarakat yang tidak
memiliki kesempatan untuk menggapai status sosial dan ekonomi yang lebih baik. Untuk
menjamin terlaksananya keadilan dalam masyarakat Rawls menempatkan individu dalam
‘kedudukan asali’ (the original position) saat sebuah kebijakan distribusi kebutuhan dilakukan.
Kedudukan asali berarti keadaan di mana individu atau kelompok tidak mengtahui kedudukan,
status sosial, kekuatan, nasib atau kecerdasannya.

Dengan kata lain, mereka berada dibawah ‘tabir ketidaktahuan’ (veil of ignorance). Jika
prinsip ini diabaikan maka besar kemungkinan kriteria distribusi akan ditentukan oleh kekuatan
atau kelemahan yang dimiliki oleh individu. Misalnya, orang yang mengandalkan pikiran atau

4
tenaga cenderung menetapkan kriteria distribusi berdasarkan apa yang mereka miliki yakni,
pikiran atau tenaga2.

Prinsip ini mengandung suatu pengandaian yang pantas dicatat, yakni : masyarakat terlebih
dahulu harus memiliki potensi untuk melakukan distribusi kebutuhan atau penghasilan. Artinya,
segala sesuatu (kebutuhan atau penghasilan) yang hendak dibagikan harus terlebih dahulu
terdapat dalam jumlah yang besar. David Cooper memilih Prinsip Perbedaan sebagai prinsip
egalitarianisme karena :

1) Prinsip ini mudah dan sederhana.

2) Dalam waktu singkat prinsip ini telah memperlihatkan pengaruh yang luas.

3) Prinsip ini merupakan rumusan dasar bagi prinsip egalitarianisme yang lebih luas.

Berbicara masalah Egalitarianisme tentu tidak bisa terlepas dari Hak asasi manusia, ibarat
makanan seperti sayuran yang kurang lengkap tanpa di kasih garam. Begitupun sebaliknya
hubungan antara Egalitarianisme dengan Hak asasi manusia yang sangat erat. Inti dari HAM
sendiri adalah Egalitarianisme. Di era modern ini tuntutan atas Hak asasi manusia terus
berlangsung. Sebagaimana jerit tangis untuk mencari keadilan dalam makna apapun, tuntutan-
tuntutan itu bermuara dari adanya rasa tertekan dan ketidakpuasan yang turut mendorong
keputusan bahwa segala sesuatu bisa, dan memang seharusnya, menjadi lebih baik dari keadaan
sekarang ini. Maka dari itu HAM perlu di tegakkan secara tegas di era modern ini. Ketika HAM
di tegakkan dengan baik maka otomatis Egalitarianisme akan terwujud, karena HAM masuk
dalam komponen tersebut3.

2
Rieska Khasuga. ”Egalitarianisme”. Dalam agusbudipendidikanips.blogspot.co.id. di akses tanggal 10
oktober 2018
3
Harun nasution,Bachtiar efendi. “Hak azasi manusia dalam islam”. Jakarta : Pustaka
firdaus. 1987. hlm 1

5
C. Pentingnya Ilmu Egalitarianisme

Egalitarianisme sesungguhnya adalah satu paham yang sedikit banyak diserap oleh bangsa
Indonesia. Seperti yang tertera pada slogan bangsa. ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang artinya berbeda-
beda tetapi tetap satu jua. Slogan ini terlihat jelas mengunakan Egalitarianisme sebagai dasarnya.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan keaneka ragaman yang luar biasa, tetapi kita semua
dipersatukan dalam satu ‘wadah’ yakni Indonesia. Semua dari kita adalah sama, warga negara
Indonesia. berangkat dari pengertian tersebut terdapat beberapa pokok hal yang membuat
Egalitarianisme penting untuk di pelajari, diantaranya :

1. Menjadikan kita dapat bersikap lebih objektif dalam menanggapi suatu masalah

Bersikap objektif adalah tidak memihak pada suatu golongan tertentu saat menyatakan
pendapat, menilai, maupun memberikan solusi pada suatu masalah. Dengan mengatahui dan
memahami hakikat Egalitarianisme, kita dapat bersiap lebih bijak dan tidak memihak.

2. Bersikap adil

Bersikap adalah satu sikap yang haruslah dimiliki. Terlebih bagi mereka yang
berkecimoung dalam dunia kehakiman. Dengan bersikap adil, tak akan ada lagi yang namanya
suap, penyongokan atau semacamnya. Karena segala keputusan yang diambil adalah keputusan
yang berdasarkan pada kesamaan derajat. Tidak ada yang namanya pembenaran untuk
kesalahan.

3. Saling menghargai

Manusia yang pada hakikatnya sama akan menjadi saling menghargai satu sama lain berkat
Egalitarianisme yang diaplikasikan dengan tepat. Pluralisme dan akulturasi bisa saja tercipta
dengan mudah. Hingga kekacauan atau kerusuhan dapat diminimalisir.

4. Kesejahteraan dan kehidupan yang damai

Kesadaar akan persamaan derajat dan hak, manusia akhirnya akan mencapai hidup yang
damai, aman, dan gtentram. Kesejahteraan pun dapat ditingkatkan. Karena setiap individu sadar

6
bahwa setiap orang punya hak yang sama, kesepatan yang sama, dan tidak ada sekat diantara
mereka.

5. Terciptanya Toleransi

Dengan memahami konsep Egalitarianisme, rasa toleransi akan lahir dalam diri kita.
Karena adanya kesadaran bahwa tidak satupun dari kita yang ‘lebih’ ketimbang yang lain.

Begitu banyak manfaat yang di dapat dengan mempelajari Egalitarianisme. Tidak di


pungkiri di zaman sekarang Egalitarianisme sangat di butuhkan oleh semua kalangan karena
dalam faham Egalitarianisme tidak adanya stratifikasi, entah itu sosial, politik ataupun budaya.
Semua orang jika di lihat dari perspektif egaliter sama, yang membedakan hanyalah keimanan
mereka kepada Allah SWT. Maka dari itu kecil kemungkinan terjadi penindasan oleh penguasa
kepada masyarakatnya, jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin dan masih banyak
contoh lagi. Dengan demikian ketika Egalitarianisme di praktekkan dalam realitas sosial
harapanya kesejahteraan sosial dalam masyarakat dapat terlaksana dengan baik.

D. Hubungan Egalitarianisme dengan Tauhid

Tauhid berarti bahwa Tuhan yang maha esa adalah pencipta ,pemelihara, dan pemilik dari
alam semesta dengan segenap isinya,baik organik maupun non organik. Dia-lah yang memiliki
hak untuk memberikan perintah atau melarang. Hanya dia yang patut di sembah dan di taati.
Tidak ada satu aspek pun dari segala bentuk kehidupan, organ-organ dan panca indra kita,
kendali atas benda-benda fisik atau benda-benda itu sendiri tercipta atau di peroleh atas
kemauan kita sendiri. Semuanya itu adalah bagian dari karunia tuhan dan di limpahkan oleh-
Nya4. Jadi tidak ada mahluk yang lebih agung atau lebih mulia dari pada Allah. Manusia
mempunyai derajat yang sama dimata Allah, hanya saja yang membedakan derajat manusia
adalah ketaqwaan kepada-Nya. Artinya tidak ada manusia yang lebih mulia dari manusia lain
melainkan dengan ketaqwaan kepada-Nya. Sudah sewajarnya sebagai manusia itu
menyetarakan derajatnya dengan manusia lain. Kesetaraan derajat inilah yang harus ada dalam
kehidupan sehari-hari agar tercipta kehidupan yang harmoni tanpa ada stratifikasi sosial. Dasar
kepentingan persamaan hak hidup dikembalikan pada tiga macam hal, yaitu:

4
Maulana Abul Maududi. “Hak-hak asasi manusia dalam islam”. Jakarta : Bumi Aksara. 2005. hlm 1

7
- Persamaan hak dalam kedudukan dan nilai kemanusiaan bermasyarakat

- Persamaan hak dalam ketetapan undang-undang mengatur kepentingan kehidupan

kenegaraan dan lain-lain

- Persamaan hak dalam hal aktivitas perekonomian dan perdagangan5.

Begitu pentingnya urusan kesetaraan ini sampai dibahas dalam Al-Qur’an Surat Al –
Hujurat ayat 13

َّ َ‫ارفُ َٰٓو ۟ا ۚ إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِعند‬


ِ‫ٱَّلل‬ َ َ‫وبا َوقَبَا َٰٓ ِئ َل ِلتَع‬
ًۭ ُ‫شع‬ ُ َّ‫َٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلن‬
ُ ‫اس ِإنَّا َخلَ ْق َٰ َن ُكم ِمن ذَ َك ٍۢر َوأُنث َ َٰى َو َجعَ ْل َٰ َن ُك ْم‬
ٌ ًۭ ‫ع ِلي ٌم َخ ِب‬
‫ير‬ َّ ‫أَتْقَ َٰى ُك ْم ۚ ِإ َّن‬
َ َ‫ٱَّلل‬

yang artinya “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal” .

Begitu pentingnya asas persamaan atau kesetaraan ini karena bila stratifikasi sosial terus
ada pada masyarakat akan timbul masalah-masalah baru seperti kecemburuan sosial dan
kesenjangan sosial. Begitu pula halnya Rasulullah saw pernah menyampaikan pada khutbah
wada’nya yang kemudian dijadikan pedoman bagi kaum muslimin, Rasul bersabda: “Hai
manusia! Sesungguhnya Tuhan kalian adalah esa, ayah kalian satu. Semua keturunan berasal dari
keturunan Adam, sedang Adam diciptakan dari tanah. Yang paling mulia di antara kalian adalah
yang paling tinggi takwanya. Tak ada bedanya antara keturunan orang Arab dengan bangsa Ajam
(bukan Arab). Tak ada bedanya bedanya antara bangsa Ajam dengan bangsa Arab dan bangsa-
bangsa lain yang berkulit merah maupun yang berkulit putih. Tak ada selisih orang yang berkulit

5
Ali Abdul Wahid. “Prinsip Hak Asasi Dalam Islam”. Solo : CV Pustaka Mantiq. 1991. hlm 13-15

8
putih atas yang berkulit merah, melainkan hanya dengan takwanya. Tidakkah ini telah saya
sampaikan ? Ya Allah, saksikanlah! Hendaklah yang menyaksikan menyampaikan kepada yang
tidak menyaksikan” .

Dalam riwayat yang lain juga dijelaskan bahwa ada seorang umat nabi yang sedang
berselisih dengan budak bangsa Zanji. Karena amarahnya kemudian Abu Dzar kemudian
melontarkan kata-kata makian yang sangat kasar kepada budak yang berbangsa Zanji itu.
Katanya “hai si anak hitam” dengan perasaan yang menyakitkan. Seketika Rasulillah saw
langsung marah dan besabda: “Perkataanmu sudah melampaui batas. Tidak ada bedanya antara
manusia keturunan putih dengan keturunan hitam, melainkan dengan kemuliaan amal dan
takwanya masing-masing” mendengar sabda nabi itu, Abu Dzar kemudian meletakan pipinya di
bumi, seraya berkata kepada si kulit hitam, “Berdirilah engkau dan injaklah pipiku sekarang ini”
inilah cerminan betapa hak asasi manusia dan kesetaraan umat yang dilontarkan islam diterima
dengan baik oleh para sahabat dan umat manusia lainya.

E. Hancurnya Egalitarianisme Islam


Kehidupan Islam di negeri kita terusik dengan masuknya anasir agama dalam wilayah
politik dan menjadi komoditi politis. Islam sebagai agama yang mengedepankan etika
keselarasan relasi antar manusia, kini terjebak dalam berbagai friksi dan kepentingan. Islam
tidak lagi netral. Islam tidak lagi independen, dan Islam tidak lagi egaliter. Kenapa?
Permasalahan egalitarianisme dalam kehidupan Islam sebenarnya bukan hal baru. Sejak era
80-an egalitarianisme telah menjadi wacana perdebatan yang kontroversial. Jika pembaca masih
ingat, ketika almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang saat itu menjabat Ketua PBNU
didaulat menjadi juri Festival Film Indonesia. Tak hanya itu, kyai kharismatik kelahiran
Jombang, Jatim ini juga pernah duduk di kepengurusan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),
berbagai hujatan pun meluncur kepada Gus Dur. Dengan enteng, kyai yang mantan Presiden RI
ke-4 itu mengatakan bahwa Islam tidak melarang umatnya untuk beraktifitas di bidang apa pun,
sejauh masih sesuai dengan kaidah ajaran Islam. Prinsip egaliter dalam peri kehidupan Islam
benar-benar diaplikasikan Gus Dur dalam berbagai situasi sosial, baik di dunia seni, politik, dan
keagamaan. Asalkan dengan niat yang benar dan masih menjunjung tinggi norma keislaman,

9
maka sah saja seorang muslim berprofesi apa pun6. Tetapi sekali lagi, tulisan ini tidak
bermaksud mengupas historiografi almarhum Gus Dur. Hanya persoalan egalitarisme seperti
yang pernah ditunjukkan cucu KH Hasyim Asya’ari, kini telah hilang di kalangan umat Islam
itu sendiri. Sejak reformasi bergulir, segala cara pandang terhadap kehidupan berubah
drastis. Baik kehidupan sosial, politik, hukum, pendidikan, juga agama. Perubahan menyolok di
dalam ranah agama ditandai makin banyaknya ‘pelaku agama’ (baca; kyai) yang berafiliasi
dengan partai politik. Bahkan saat ini, Islam sebagai sebuah komunitas sosial, dengan latah ikut
mendirikan partai politik. Hadirnya para pemuka agama Islam dan terlibat dalam kegiatan
pragmatis-politis mampu menurunkan citra Islam sebagai agama yang penuh rahmat dan dapat
menerima segala perbedaan.
Tetapi arus besar politik yang penuh perang keOpentingan sesaat, kekuasaan yang
melenakan, dan uang yang ‘tak jelas’ asal-usulnya, membuat agama inferior di hadapan institusi
politik. Bisa jadi –seperti terjadi saat ini—agama terjebak dalam arus besar politik dan
akibatnya umat atau pengikut agama tersebut mengalami kebingungan. Agama telah terseret
dalam ranah praktis-pragmatis dan melupakan dimensi universalitas, netralitas, dan
egalitarianitas. Dimensi ini meletakkan agama berada pada titik dilematis antara visi dakwah
yang dianjurkan melalui berbagai medium (mungkin termasuk politik) dan kerentanan ‘agama’
menerima godaan politis yang sangat menggiurkan. Akhirnya, fenomena luruhnya spirit
universalitas dan egalitarianisme semakin terlihat dalam perilaku kehidupan beragama (baca;
Islam). Prinsip kesamaan dan kesejajaran tanpa diganggu strata sosial-politik menjadi luruh
tergantikan oleh prinsip eksklusifitas yang meninggikan status pribadi atau komunitas.

6
http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/ di akses tanggal 10 Oktober 2018

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Egalitarianisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa semua orang itu adalah sama.
Dalam artian tidak ada perbeadaan secara kasat mata yag terdapat dalam diri manusia seperti
perbedaan ras, warna kulit, bahasa dan lainya, kesetaraan ini bertujuan supaya tidak adanya
diskriminasi antar sesama manusia. Pernyataan ini di dukung juga dalam islam yaitu surat al
hujurat ayat 13 yang artinya “Hai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan,
dan Kami jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kamu adalah yang paling tinggi
takwanya”.

Sudah nampak jelas bahwa semua manusia di muka bumi ini adalah setara atau sama,
tidak ada stratifikasi sosial Dalam masyarakat, karena semua itu hanya akan menimbulkan
konflik horisontal antara semua warga masyarakat. Sudah saatnya di era modern ini
Egalitarianisme di realisasikan secara tegas dan baik dalam mayarakat.

11
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun., Bachtiar Efendi. “Hak azasi manusia dalam islam”. Jakarta : Pustaka firdaus.
1987.

Maududi, Maulana Abul. 2005. “Hak-hak asasi manusia dalam islam”. Jakarta : Bumi Aksara.

Khasuga, Rieska. ”Egalitarianisme”. Dalam agusbudipendidikanips.blogspot.co.id. di akses


pada 24 Februari 2017

Wahid, Ali Abdul. 1991. “Prinsip Hak Asasi Dalam Islam”. Solo : CV Pustaka Mantiq.

Wikipedia. “Egalitarianisme”. Dalam id.wikipedia.org/wiki/Egalitarianisme. Di akses pada 23


FebruSari 2017.

http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/ di akses tanggal 10 Oktober 2018

12

You might also like