You are on page 1of 18

MODUL 3

KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

I. Tujuan Percobaan
Mempelajari pengaruh keadaan bahan baku obat yakni
Theophylline Anhidrat dan Theophylline Monohidrate terhadap kecepatan
disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi untuk bentuk sediaannya.
II. Prinsip Percobaan
Kecepatan disolusi berbanding lurus dengan luas permukaan bahan
obat dan kelarutannya.
III. Teori
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari
bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat
penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari
kemampuan zat tersebut melarut kedalam media sebelum dierap ke dalam
tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau
semi padat , seperti kapsul , tablet dan salep. (Anonim,2007)
Agar suatu obat diabsrbsi , mula-mula obat tersebut harus larutan
dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh , suatu obat yang
diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat
diabsorbsi sampai partikel-partikael obat larut dalam cairan pada suatu
tempat dalam saluran lambung-usus . dalam hal dimana kelarutan suatu
obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut
akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus.
Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi. (Ansel.1985)
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam
saluran cerna, obat tersebut mulai masuk kedalam larutan dari bentuk
padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga
mengalamindesintegrasi menjadi granul-granul , dan granul-granul ini
mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Desintegrasi ,
deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak. Dengan
melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan. (Martin
1993).
Mekanisme disolusi tidak dipengaruhi oleh kekutan kimia atau
reaktivitas partikel-partikel padat terlarut kedalam zat cair , dengan
mengalami 2 langkah berturut-turut. (Gennaro. 1990).
Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal
yang tetap atau film disekitar partikel difusi dari lapisan tersebut pada
massa dari zat cair . langkah pertama , larutan berlangsung sangat singkat.
Langkah kedua , difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir
. pada waktu suatu partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul
obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan
suatu lapisan jenuh obat larutan yang membungkus permukaan partikel
obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi.
Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati
cairan yang melarut dan erhubungan dengan membran biologis serta
absorbsi teerjadi . jika molekul-molekul obat diganti dengan obat yang
dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut
berlanjut. (Martin. 1993)
Jika proses disolusi untuk partikel obat tertentu adalah cepat , atau
jika obatdiberikan sebagai suatu larutan dantetap ada dalam tubuh seperti
itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada
kesanggupannya menembus pembatas membran. Teapi, jika laju disolusi
untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik
zat obat atau bentuk dosis yang diberikan. Proses disolusinya sendiri akan
merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-
lahan obat yang larut tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal
banyak yang tidak diabsorbsi setelah pemberian oral , karena batasan
waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal didalam lambung atau saluran usus
halus.(Martin 1993).

Uji disolusi obat


Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa,
talet itu pecah menjadi partikel-partikel kecil , sehingga darah permukaan
media pelaruut menjadi luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya
obat dalam cairan tubuh . namun sebenarnya uji hancur hanya menyatakan
waktu yang diperlukan tablet untuk hancur dibawah kondisi yang
ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu
akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya
. oleh sebab itu, uji disolusi dan kelarutan uji dikembangkan bagi hampir
seluruh produk tablet. Laju absorbsi dari obat-obat bersifat asam yang
diabsorbsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan
dengan laju larut obat dalam tablet. Agar diperoeh kadar obat yang tinggi
didalam darah maka kecepatan obat dan tablet mmelarut menjadi sangat
menentukan, karena laju larut berbagai formula karena itu, dilakukannya
evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya
atau tidak bila berada didalam saluran cerna , menjadi minat utama dari
para ahli farmasi. (Voigt,1995)

Ada 2 sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu


untuk menunjukkan :

1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100 %


2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama
dengan laju penglepasan dari batch yang telah dibuktikan
bioavaibilitas dan efektif secara klinis. (Shargel,1988)

Tes kecepatan melarut telah didesign untuk mengukur berapa


kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut kedalam larutan.
Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan
informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch” satu ke “atch”
lainnya. Tes disolusi ini didesign untuk membandingkan kecepatan
melarutnya suatu obat , yang ada didalam suatu sediaan pada kondisi dan
ketentuan yang sama dan dapat diulangi . (Shargel,1988)
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon
klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat
sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu.
Dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat
aktif dalam tubuh . jika disousi makin cepat, maka absorbsi semakin cepat.
Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, suppositoria), sediaan
sistem terdispersi (suspensi, dan emulsi) atau sediaan-sediaan semisolid
(salep, krim, pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis
kemudian diikuti absorbsi zat aktif kedalam sirkulasi sistemik.
(Voigt,1995)

IV. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah timbangan analitik, alat-alat gelas,


tabung disolusi, thermostat dengan penangas air, penyangga (holder)
sampel (berupa pellet), motor pemutar, stopwatch, spektrofotometer UV.

Bahan-bahan yang digunakan adalah pellet theophyline monohidrat


dan theophyline anhidrat , lilin dan medium disolusi.

V. Prosedur

A. Pembuatan larutan baku induk theophyline anhidrat dan


monohidrat 250 ppm dan pencarian ƛ maksimal dari theophyline
monohidrat dan theophyline anhidrat

Theophyline monohidrat dan theophyline anhidrat ditimbang 50


mg dengan menggunakan timbangan analitik lalu dilarutkan kedalam
labu ukur 100 ml dengan menggunakan sebagian aquadest panas
sampai larut seluruhnya lalu di tambahkan sampai tanda batas labu
ukur dengan menggunakan aquadest biasa lalu dihomongenkan. Lalu
diukur dengan spektrofotometer UV – Vis untuk mencari panjang
gelombang maksimal dari masing – masing theophyline tersebut.

B. Penentuan kurva baku Theophyline monohidrat dan anhidrat


Setelah dilakukan penentuan panjang gelombang dari masing –
masing sampel theopyline lalu dibuat variasi konsentrasi dengan
sebagai berikut : 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 60 ppm dan 70
ppm. Lalu diukur dengan panjang gelombang maksimal dari
theophyline monohidrat dan theophyline anhidrat yang sama – sama
271,6 nm .

C. Uji disolusi Intrinsik

Pellet di buat dalam bentuk tablet (dibuat dengan mencetak kira-


kira 300 mg bahan obat dengan tekanan 5 ton selama 5 menit), dengan
diameter 0,8 cm ditaruh pada penyangga, lalu bagian atas pellet
dituangi lilin cair, sehingga hanya satu permukaan pellet yang terbuka,
yang langsung dapat bersinggungan dengan medium disolusi.
Penyangga yang sudah berisi sampel lalu ditutup dan dihubungkan
dengan motor pemutar.

Tabung percobaan yang telah diisi 500 ml medium disolusi yaitu


aquadest, suhunya diatur dengan thermostat pada 37 kurang lebih
0,50C. Pellet yang sudah dipasang pada penyangga dicelupkan dalam
medium disolusi aquadest, diatur agar tidak ada gelembung udara
dibawahnya, lalu dipasang pada motor pemutar dan segera diputar
dengan kecepatan 100 putaran per menit. Jarak antara permukaan
pellet dengan dasar tabung disolusi 2 cm.

Sampel hasil disolusi diambil tiap selang waktu tertentu


(menit ke 5, 10, 20, 30, 45, dan 60). Selanjutnya sampel yang
diperoleh ditentukan kadarnya secara spektrofotmetrik.

D. Evaluasi data

A. Dibuat grafik hubungan jumlah obat yang terdisolusi sebagai fungsi


waktu setelah dikoreksi karena adanya pengurangan kadar larutan oleh
sampel yang diambil kecepatan disolusi dihitung dan diekspresikan
dalam DE60 atau tetapan KWagner.
B. Kecepatan disolusi intrinsik masing-masing sampel tiap waktu
pengambilan sampel dihitung dan disusun dalam suatu table, menurut
data kecepatan pelarutan.

VI. Data Pengamatan

Nama bahan obat : 1. Teopillin monohidrat

2. Teopillin anhidrat

Diameter pellet : 0.8 cm

Bobot pellet : 300 mg

Medium Disolusi : Air


Volume : 500 ml

Kecepatan

Alat tipe : Dayung

Data peraturan kadar secara spektrofotometrik


Percobaan dilakukan pada ƛ maks = 271.6 nm
Kurva baku

Pembuatan larutan baku teopillin anhidrat 500 ppm dalam labu ukur 100
ml

Massa = konsentrasi (ppm) x volume (Liter)

= 500 x 0,1

= 50 mg

a. 30 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 30 ppm

V1 =
b. 20 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 20 ppm

V1 =

c. 30 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 30 ppm

V1 =
d. 40 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 40 ppm

V1 =
e. 50 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 50 ppm
V1 =
f. 60 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 60 ppm

V1 =

g. 70 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 70 ppm

V1 =

Teofillin Monohidrat
Konsentrasi Absorbansi
20 ppm 0,350
30 ppm 0,451
40 ppm 0,522
50 ppm 0,641
60 ppm 0,704
70 ppm 0,821

Teofillin Anhidrat
Konsentrasi Absorbansi
20 ppm 0,247
30 ppm 0,369
40 ppm 0,522
50 ppm 0,639
60 ppm 0,740
70 ppm 0,859

Uji Disolusi

Kelompok 1 Monohidrat

Waktu Konsentrasi mg Faktor mg %


(menit) Absorbansi Consentration Terukur konsentrasi terdisolusi koreksi setelah disolusi
5 0.5050 39.518 0.25 2.68 1.342 1.340 0.45
10 0.9580 81.022 0.70 7.61 3.804 0.013 3.818 1.27
20 1.9100 168.206 1.65 17.96 8.978 0.038 9.016 3.01
30 2.8820 257.256 2.62 28.52 14.261 0.090 14.351 4.78
45 3.7220 334.190 3.46 37.65 18.826 0.144 18.970 6.32
60 4.0000 359.695 3.74 40.67 20.337 0.190 20.527 6.84
Kelompok II Monohidrat

Waktu Konsentrasi mg Faktor mg


(menit) Absorbansi Consentration Terukur konsentrasi terdisolusi koreksi setelah di
5 0.498 38.885 0.24 2.61 1.3 1.3
10 1.145 98.112 0.89 9.64 4.82 0.013 4.834
20 2.066 182.541 1.81 19.65 9.83 0.048 9.874
30 3.159 282.606 2.9 31.53 15.77 0.099 15.865
45 3.848 345.74 3.59 39.02 19.51 0.159 19.67
60 3.957 355.783 3.7 40.21 20.1 0.197 20.3

Kelompok 3 Anhidrat

Waktu Konsentrasi mg Faktor mg %


(menit) Absorbansi Consentration Terukur konsentrasi terdisolusi koreksi setelah disolusi
5 1.6580 145.087 1.52 12.59 6.293 6.293 2.10
10 2.1050 189.706 1.97 16.28 8.140 0.063 8.203 2.73
20 3.2820 293.932 3.15 26.01 13.004 0.082 13.086 4.36
30 4.0000 359.695 3.87 31.94 15.971 0.131 16.102 5.37
45 3.8010 341.457 3.67 30.30 15.149 0.161 15.310 5.10
60 3.5970 322.784 3.46 28.61 14.306 0.153 14.459 4.82

Kelompok 4 Anhidrat
Waktu Konsentrasi mg Faktor mg %
(menit) Absorbansi Consentration Terukur konsentrasi terdisolusi koreksi setelah disolusi
5 1.608 140.580 1.47 12.17 6.09 6.090 2.03
10 1.742 152.817 1.61 13.28 6.64 0.061 6.701 2.23
20 2.943 262.852 2.81 23.21 11.60 0.067 11.670 3.89
30 3.655 328.056 3.52 29.09 14.55 0.117 14.662 4.89
45 3.760 337.674 3.63 29.96 14.98 0.147 15.126 5.04
60 3.759 337.612 3.62 29.95 14.98 0.151 15.126 5.04

Kurva perbandingan rata – rata % disolusi dari theopyllin monohidrat dan


theopyllin anhidrat

Waktu
% disolusi % disolusi
(menit)
5.00 0.44 2.07
10.00 1.44 2.48
20.00 3.15 4.13
30.00 5.04 5.13
45.00 6.44 5.07
60.00 6.81 4.93
VII. PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum kali ini, dilakukan pengujian disolusi


terhadap bahan baku obat yaitu Theophylline Anhidrat dan Theophylline
Monohidrat. Melalui pengujian tersebut, dipelajari pengaruh keadaan
bahan (baku) obat (polimorfi, hidrat, solvate) terhadap kecepatan disolusi
intrinsiknya dan kemudian hasilnya dibandingkan antara Theophylline
Anhidrat dan Theophylline Monohidrat yang bertujuan sebagai
preformulasi untuk bentuk sediaannya.Laju disolusi intrinsik dapat
didefinisikan sebagai laju disolusi dari suatu zat aktif murni yang diperoleh
dengan menjaga konstan kondisi-kondisi yang bisa mempengaruhi laju
disolusi zat tersebut, yaitu luas permukaan, suhu, laju pengadukan, pH,
dan kekuatan ionik dari medium disolusi yang digunakan. Dengan
demikian, besarnya laju disolusi intrinsik suatu zat aktif tidak dipengaruhi
oleh faktor formulasi sehingga bisa dijadikan ukuran kelarutan inharen
obat tersebut di dalam medium disolusi.Pelarutan intrinsik merupakan
pelarutan dari suatu serbuk yang mempertahankan luas permukaan yang
tetap, yang biasanya dinyatakan dalam mg/cm 2 menit. Obat-obat tersebut
umumnya meliputi obat-obat yang kecepatan disolusinya sangat lambat
yang disebabkan oleh kelarutannya yang sangat lambat atau oleh
kelarutannya yang sangat kecil. Obat-obatan yang memiliki kecepatan
disolusi intrinsik kurang dari 0,1 mg menit-1 cm-1 biasanya menimbulkan
masalah serius pada abrsorpsinya, sedangkan obat-obat yang memiliki
kecepatan disolusi intrinsik lebih besar dari 1,0 mg-1 cm-1, pada umumnya
kecepatan disolusi bukan menjadi langkah penentu, tetapi kecepatan
absorpsinya (Kaplan,1973).

Tahap selanjutnya adalah pembuatan kurva baku terhadap kedua


bahan baku yakni Theophylline Anhidrat dan Theophyline Monohidrat.
Pertama – tama harus dibuat larutan induk dengan konsentrasi 250 ppm
dengan menimbang 50 mg masing – masing theophyline monohidrat dan
theophyline anhidrat yang dilarutkan di dalam labu ukur 100 ml .
pembuatan larutan dilarutkan didalam labu ukur 100 ml bertujuan agar
pembuatanya dilakukan secara kuantitatif dikarenakan labu ukur termasuk
kedalam alat ukur kuantitatif. Pada pelarutan sampel digunakan
theophyline panas sebagai pelarutnya dikarenakan dalam karakteristiknya
theophyline sukar larut dalam air, tetapi lebih mudah larut dalam air panas.
Pembuatan kurva baku dilakukan dengan menguji absorbansi dari masing-
masing bahan baku pada panjang gelombang 271.6 nm . Kemudian
dilakukan pengenceran Theophylline Anhidrat dan Theophylline
Monohidrat di dalam air dengan konsentrasi beberapa ppm diantaranya :
20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 60 ppm, dan 70 ppm. Pada pembuatan
kurva baku absorbansi yang dihasilkan sebaiknya diantara 0,2 sampai 0,8
sesuai dengan hukum Lambert-Beer karena pada absorbansi tersebut
dihasilkan λ maksimum, dan pada absorbansi tersebut dihasilkan
konsentrasi yang lebih akurat. Selain itu rentang absorbansi 0,2-0,8
merupakan batas ketelitian alat yang optimum dan diharapkan dalam
rentang ab sorbansi tersebut keterulangan hasil lebih baik sehingga
recovery mendekati 100%. Jika absorbansi lebih kecil dari rentang tersebut
kemungkinan terjadinya penyimpangan dan dikhawatirkan keterulangan
menjadi buruk dan jika absorbansinya lebih besar dari rentang tersebut
dikhawatirkan diatas kemampuan alat yang digunakan sehingga absorbansi
menjadi tidak terbaca.Pada alat spektofotometer digunakan 2 kuvet, kuvet
1 berisi blanko (air), kuvet 2 berisi larutan sampel yang akan diuji. Kuvet
yang digunakan harus bersih. Kuvet terdiri dari 4 sisi, 2 sisi agak buram, 2
sisi bening, bagian kuvet yang bening tidak boleh dipegang karena lemak
yang ada ditangan akan tertempel di kuvet, dan hal ini dapat menghalangi
berkas sinar yang akan menembus cuplikan dan mengurangi absorpsi
cahaya oleh sampel, sehingga persen transmittan pada respon detector
tidak akurat. Dan pada konsentrasi pengenceran tersebut dihasilkan
absorbansi yang berada pada rentang 0,2-0,8 sehingga diperoleh
persamaan kurva baku untuk Theophylline anhidrat yaitu : y = 0,1217x +
0,135dengan R2 = 0,9955 dan untuk Theophylline monohidrat yaitu =
0,0924x + 0,2582R2 = 0,995 .Persamaan garis yang didapat tersebut
nantinya akan digunakan untuk menghitung kadar sampel Theophylline
Anhidrat maupun Theophylline Monohidrat pada uji disolusi.
Setelah itu dilakukan uji disolusi terhadap sampel bahan baku obat
Theophylline Anhidrat dan Monohidrat yang masing-masing sudah di
bentuk pellet dengan bobot 300 mg dan diameter 0,8 cm. Pellet ditaruh
pada penyangga dengan kondisi bagian atas pellet telah dituangi lilin cair
dan satu permukaan pellet lainnya dalam keadaan terbuka yang langsung
bersinggungan dengan medium disolusi sehingga diperoleh hasil yang
valid. Medium disolusi yang digunakan adalah air sebanyak 500 ml dan
suhunya sudah diatur dengan thermostat pada 37±0,5 oC. Hal ini bertujuan
agar suhu percobaan sama dengan suhu tubuh sehingga bisa sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya jika obat di dalam tubuh. Metode pengujian
disolusi ini adalah metode dayung yang dasarnya terdiri atas batang, dan
daun pengaduk yang merupakan dayung berputar dengan dimensi tertentu
sesuai dengan radius bagian dalam labu dengan dasar bundar ( Siregar,
2010). Di dalam bak terdapat dua tabung, kedua tabung diisi dengan
medium disolusi air sebanyak 500 ml. Hal ini dianalogikan terhadap suatu
gelembung udara, maka gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-
pori dan bekerja sebagai barier pada interfase yang dapat menggangu
proses disolusi obat. Alat disolusi di atur dengan perputaran 100 rpm
karena diumpamakan sebagai gerak peristaltik usus. Setelah 5 menit
larutan dalam tabung 2 diambil sebanyak 5 ml dengan menggunakan spuit
yang sudah terpasang membrane filter (penggunaan membrane filter
ditujukan untuk menyaring bakteri yang mungkin ada dalam larutan) dan
dimasukkan ke dalam vial yang telah dicuci dan dibersihkan. Dalam waktu
yang bersamaan air dalam tabung 1 diambil 5 ml dan dimasukkan ke
dalam tabung 2, penggantian volume air yang diambil ini dilakukan agar
volume dalam tabung 2 tetap 500 ml, karena media dianalogikan sebagai
cairan tubuh. Kemudian dilakukan hal yang sama pada menit ke 10, 20,
30, 45 dan 60 menit. Pada pengambilan cuplikan sebaiknya tempat
pengambilan cuplikan di tempat yang sama supaya kondisi juga sama
karena jika diambil di tempat yang berbeda kemungkinan akan
menghasilkan konsentrasi yang berbeda pula sehingga pada pengukuran
hasil yang diperoleh tidak akurat.
Masing-masing cuplikan yang telah diambil, satu persatu diuji nilai
absorbansinya menggunakan metode Spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 271,6 nm dengan menganalisis serapan cahaya oleh
gugus kromofor yang terdapat dalam struktur kimia Theophylline Anhidrat
maupun Theophylline Monohidrat . Dari serapan cahaya ini dapat
diketahui nilai serapannya (absorbansi). Dengan demikian dapat diketahui
kadar Theophylline Anhidrat maupun Theophylline Monohidrat dengan
cara memplot nilai absorbansi yang diperoleh pada persamaan regresi
linier dari masing-masing kurva baku. Setelah pengukuran selesai
kemudian didapatkan nilai absorbansi dan dihitung % terlarut dari masing-
masing bahan baku obat Theophylline anhidrat maupun Theophylline
monohidrat tersebut pada menit-menit yang ditentukan.
Bahan baku Theophylline Monohidrat dan Theophylline Anhidrat
terdapat perbedaan dalam strukturnya. Theophylline Monohidrat
mengandung kristal air didalamnya sedangkan Theophylline Anhidrat
tidak mempunyai struktur air di dalamnya. Dengan bentuk monohidrat
biasanya dapat membantu meningkatkan kecepatan disolusi karena dengan
adanya kandungan air maka dapat memperluas permukaannya ketika
kontak dengan medium disolusi. Luas permukaan yang besar maka
porinya banyak sehingga mempermudah proses kelarutannya. Oleh karena
itulah kecepatan disolusi Theophylline Monohidrat lebih cepat
dibandingkan dengan Theophylline Anhidrat (Kecepatan disolusi
berbanding lurus dengan luas permukaan obat dan kelarutannya). Selain
itu jika kita hitung melalui Grafik hubungan W/A (massa terlarut persatuan
luas) versus t (waktu) maka hasil pengeplotan akan diperoleh sebuah garis
lurus dari regresi linier t vs W/A yang merupakan slope, dan inilah yang
dinamakan laju disolusi intrinsik. Persamaan regresi linier untuk
Theophylline Monohidrat yaitu y = 179,32x + 719,25 dengan R2 = 0,9271
dan untuk Theophylline Anhidrat yaitu y = 80,983x + 3628,2 dengan R2 =
0,7033 sehingga didapatkan harga slope yang merupakan kecepatan
disolusi intrinsik Theophyllin Monohidrat sebesar 179,32
mg/menit/cm2dan untuk Theophylline Anhidrat sebesar 80,983
mg/menit/cm2. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kecepatan disolusi
intrinsik dari Theophylline Monohidrat lebih besar dibandingkan dengan
Theophylline Anhidrat. Dengan hasil kecepatan disolusi intrinsik
Theophylline Monohidrat dan Theophylline Anhidrat lebih besar dari 1,0
mg/menit/cm2 menunjukkan bahwa pada umumnya kecepatan disolusi
bukan menjadi langkah penentu, tetapi kecepatan absorbsinya
(Kaplan,1973)

Berdasarkan hasil dari perhitungan % disolusi dari theophyllin


monohidrat dan theophyllin anhidrat didapatkan bahwa % disolusi
theophyllin monohidrat lebih baik dalam proses disolusinya dikarenakan
pada theophyllin monohidrat telah mengandung gugus air sehingga pada
saat di masukkan kedalam media disolusinya air tidak lagi menyerap air
untuk pecah. Sedangkan pada theophyllin anhidrat yang tidak memiliki
gugus air / Kristal air sehingga pada saat dimasukan ke dalam media harus
menyerap terlebih dahulu air lalu setelah itu pecah dan mulai terdisolusi.

Pada menit ke -5 absorbansi dari theophyllin anhidrat diawali


dengan absorbansi yang besar 2,07 hal itu dikarenakan perbedaan tekanan
pengempaan pada saat pembuatan pellet sehingga dihasilkan sampel pellet
yang berbeda –beda dalam factor kekerasannya.
VIII. KESIMPULAN
1. Melalui perhitungan kecepatan disolusi intrinsik ini dapat dipelajari
pengaruh keadaan bahan (baku) obat (polimorfi, hidrat, solvate)
terhadap kecepatan disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi untuk
bentuk sediaannya.
2. Dengan mengetahui pengaruh keadaan bahan ( keberadaan kristal air )
dapat dibedakan kecepatan disolusi antara theophyllin monohidrat dan
theophyllin anhidrat , dikarenakan terdapat Kristal air didalam
gugusnya akan semakin cepat untuk melarut tanpa harus menyerap air
terlebih dahulu dan langsung pecah menjadi bentuk yang lebih kecil
lagi.
3. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan hasil bahwa % disolusi
theophyllin monohidrat lebih baik dibandingkan theophyllin anhidrat
dapat dilihat dari peningkatan absorbansi yang semakin lama waktu
disolusinya absorbansinya semakin meningkat sehingga % disolusinya
juga semakin meningkat dan factor tekanan pada saat pembuatan
pellet sangat berpengaruh sehingga dapat dilihat dari hasil theophyllin
anhidrat yang pada menit ke 5 disolusi absorbansinya 2,07 .

IX. DAFTAR PUSTAKA

Ansel.1985. Pharmaceuticals Dosage Forms and drugs. Philadelphia :


Lippicontt William and Wilkins
Anonim.2007. teori dan praktek farmasi industri edisi 3. Jakarta : UI
Martin. 1993. Praktikum Biofarmasi: Jakarta UI
Shargel, Leon dan Andrew . 1998.Biofarmasi dan Farmakokinetika
Terapan. Edisi II. Surabaya : Airlangga University Press.
Voigt, R.,1984, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh
Soewandhi, S.N., UGM Press, Yogyakarta

Distribusi kerja :
 tujuan, prinsip, pembahasan : Dwi Deasy F ( A 0122 098)
 teori, dapus : Nur Antika L ( A 0121 043)
 Alat , bahan prosedur : Moch. ILham ( A 0122 091)
 Data pengamatan dan perhitungan : Harlena Pratama P
( A 0122 090)
 Pembahasan : Lisna Iswantika ( A 143 026 )
 Pembahasan, Edit print : Anita Anggraeni ( A 0122 100 )

You might also like