You are on page 1of 52

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rematik adalah penyakit inflamasi sistemik kronis, inflamasi sistemik


yang dapat mempengaruhi banyak jaringan dan organ, tetapi terutama
menyerang fleksibel (sinovial) sendi. Menurut organisasi kesehatan dunia
World Health Organisation (WHO) (2016) 335 juta penduduk di dunia yang
mengalami Rematik. Prevalensi penderita rematik di dunia pada tahun 2016
mencapai 151,4 juta jiwa dan 27,4 juta jiwa berada di Asia Tenggara (Wahid,
2017).
Sementara, berdasarkan hasil penelitian dari Qing (2016) prevalensi
nyeri rematik di beberapa negara ASEAN adalah 26.3% Bangladesh, 18.2%
India, 23.6-31.3% Indonesia, 16.3% Filipina, dan 14.9% Vietnam.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Negara Indonesia mempunyai
prevalensi rematik yang cukup tinggi dimana keadaan seperti ini dapat
menurunkan produktivitas Negara akibat keterbatasan fungsi fisik penderita
yang berdampak terhadap kualitas hidupny (Wahit, 2017).
Prevalensi penyakit rematik di Indonesia juga cukup tinggi, sebesar
24,7%. Pada usia 45-54 prevalensinya sebesar 37,2%, usia 55-64 sebesar
45,0%, usia 65-74 sebesar 51,9% dan usia lebih dari 75 sebesar 54,8%. Secara
khusus prevalensi rematik di Indonesia berjumlah 5% pada usia< 40 tahun,
30% pada usia 40-60 tahun dan 65% pada usia > 61 tahun. Untuk tingkat
Provinsi prevalensi penyakit rematik berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
atau gejala tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (33,1%), diikuti
Sumatera barat (33%), Jawa Barat (32,1%), dan Bali (30%) (RISKESDAS,
2016, hal. 94).
Dari hasil pengambilan data kasus penderita rematik yang terdata di
wilayah kerja Puskesmas Caile untuk sembilan kelurahan tercatat sekitar 178
(1,78 %) ditahun 2016 dan meningkat ditahun 2017 sebesar 270 (2,7%)
(Puskesmas Caile, 2018).

1
2

Rematik paling banyak ditemui dan biasanya dari faktor usia, selain
itu faktor lain yang mempengaruhi terhadap penyakit rematik adalah tingkat
pengetahuan penyakit rematik sendiri memang masih sangat kurang, baik
pada masyarakat awam maupun kalangan medis. Penyakit rematik meliputi
cakupan luas dari penyakit yang dikarakteristikkan oleh kecenderungan untuk
mengefek ke tulang, sendi, dan jaringan lunak. Penyakit rematik kebanyakan
terjadi pada masyarakat lansia (lanjut usia) yang memang dekat dengan
gangguan rematik yang merupakan salah satu dari penyakit degeneratif
(Primadi, F., & Maliya, A, 2018).
Populasi lansia didunia dari tahun ke tahun semakin meningkat,
pada tahun 2050, satu dari lima orang di dunia akan berusia 60 dan lebih tua,
pada tahun 2015 dan 2030 jumlah orang lanjut usia di seluruh dunia
meningkat menjadi 56 persen, dari 901 juta menjadi lebih dari 1,4 miliar.
Pada tahun 2030, jumlah orang berusia 60 ke atas akan melebihi usia muda
yang berusia 15 sampai 24 tahun ( Dewi, S. R, 2014).
Menurut World Health Organization (WHO), kawasan Asia Tenggara
mempunyai populasi sebesar 8% atau sekitar 142 jiwa pada tahun 2016. Pada
tahun 2050, diperkirakan populasi lansia akan meningkat 3 kali lipat dari
tahun 2016. Sekitar 8 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 2010 jumlah lansia
sekitar 5,300,000 (7,4%) dari total populasi, sedangkan 5 tahun berikutnya
pada tahun 2015 jumlah lansia meningkat menjadi 24,000,000 (9,77%) dari
total populasi global. Tahun 2020, sekitar 2 tahun dari sekarang, diperkirakan
jumlah lansia akan mencapai 28,800,000 (11,34%) dari total populasi global.
Sedangkan di Indonesia sendiri pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia
akan meningkat menjadi sekitar 80,000,000 orang (KEMENKES, 2016:1).

Pertumbuhan penduduk lanjut usia (Lansia) diprediksi akan


meningkat cepat dimasa yang akan datang terutama dinegara-negara
berkembang. Indonesia sebagai salasatu negara berkembang juga akan
mengalami ledakan jumlah peduduk lansia. Kelompok umur 0-14 tahun dan
15-49 tahun berdasarkan proyeksi 2010-2015 diperkirakan menurun,
sedangkan kelompok umur lansia (50-64 tahun dan 65 tahun keatas)
berdasarkan proyeksi 2010-2015 diperkirakan akan meningkat. Badan Pusat
3

Statistik (BPS) untuk Provinsi presentase penduduk landia diatas 10%


sekaligus paling tinggi ada di Provinsi Di Yogjakarta (13,04 %), Jawa Timur
(10,40), dan Jawa Tengah (10,34 %). Sedangkan yang terendah ada di
Provinsi Papua (1,94%) untuk Provinsi Sulawesi Selatan sendiri ada diurutan
ke-6 tertinggi (8,34%) (KEMENKES, 2016).
Pada tahun 2014 di Sulawesi Selatan dilaporkan persentase cakupan
pelayanan kesehatan usila tercatat 140.865 (37,40%) dari 563.415 usila.
Sementara itu di Kabupaten Bulukumba jumlah usila tercatat 20.554 jiwa,
cakupan pelayanan usila pada tahun 2014 sebanyak 1.669 usila 8,12 %
meningkat pada tahun sebelumnya 7,90% pada tahun 2013 (Dinas Kesehatan
Kabupaten Bulukumba, 2015).

Untuk wilayah kerja Puskesmas Caile, Kabupaten Bulukumba di


sembilan kelurahan di Kecamatan Ujung Bulu persentase jumlah lansia pada
tahun 2016 sebanyak 714 orang lansia yang terdaftar sedangkan ditahun 2017
meningkat menjadi 892 orang lansia yang terdaftar (Puskesmas Caile, 2018).

Penurunan kondisi fisik lansia biasanya dapat menyebabkan lansia


mengalami rematik. Pada lansia rematik mula-mula ditandai dengan
kekakuan pada sendi yang menyebabkan penurunan kekuatan otot, kemudian
timbul secara perlahan keluhan nyeri, hilangnya gerakan dan tanda-tanda
inflamasi seperti nyeri tekan disertai pula pembengkakan yang menyebabkan
terjadinya imobilitas pada lansia. Keterbatasan aktivitas pada lansia karena
nyeri rematik dapat menyebabkan imobilisasi dan penurunan rentang gerak
pada lansia.
Dampak fisiologis dari imobilisasi dan ketidakaktifan adalah
peningkatan katabolisme protein sehingga menghasilkan penurunan rentang
gerak dan kekuatan otot. Selain itu lansia sangat rentan terhadap konsekuensi
fisiologis dan psikologis dari imobilitas. Sepuluh sampai 15% kekuatan otot
dapat hilang setiap minggu jika otot beristirahat sepenuhnya, dan sebanyak
5,5% dapat hilang setiap hari pada kondisi istirahat dan imobilitas
sepenuhnya. Jadi, lansia yang mengalami gangguan imobilisasi fisik
(rematik) seharusnya melakukan latihan aktif agar tidak terjadi penurunan
rentang gerak lansia maupun penurunan kekuatan otot pada lansia Oleh
4

karena itu latihan rentang gerak baik untuk penderita rematik agar dapat
mempertahankan atau meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina
umum (Stanley, 2015).
Latihan rentang gerak merupakan latihan pada sendi dengan tujuan
meningkatkan rentang gerak sendi, meningkatkan tonus otot, dan mencegah
kekakuan sendi. Selain kekuatan otot, pergerakan sendi juga memperbaiki
keseimbangan (Muhammad, Tantut, & Hanny, 2014).
Kekuatan otot adalah merupakan kekuatan suatu otot atau group otot
yang dihasilkan untuk dapat melawan tahanan dengan usaha yang maksimum.
Menurut Janssen Kekuatan otot merupakan suatu hal penting untuk setiap
orang, karena kekuatan otot merupakan suatu daya dukung gerakan dalam
menyelesaikan tugas. Latihan dan aktivitas fisik pada lansia dapat
mempertahankan kenormalan pergerakan persendian, tonus otot dan
mengurangi masalah fleksibilitas. Range of motion (ROM) merupakan salah
satu indikator fisik yang berhubungan dengan fungsi pergerakan (Ronald ,
2017).
Berdasarkan hasil penelitian sebulumnya yang dilakukan oleh Lukki
Apriliana Jaya dalam karya tulis ilmiahnya yang berjudul pemberian Range
Of Motion (ROM) terhadap peningkatan kekuatan otot pada pada lansia yang
menderita rematik di wilayah kerja puskesmas batang III Kabupaten Batang
tahun 2016 dari 4 responden yang telah dilakukan pemeriksaan derajat
kekuatan otot. Responden tersebut memiliki penurunan derajat kekuatan otot
dengan presentase 3 responden memiliki kekuatan otot yang berada di derajat
3 ( dapat menggerakkan sendi, otot dan dapat melawan grvitasi tetapi tidak
kuat terhadap tahanan yang diberikan). Sedangkan 1 responden memiliki
kekuatan otot yang berada di derajat 2 (hanya mampu mengerakkan sendi tapi
kekuatannya tidak mampu melawan gravitasi).
Setelah dilakukan Range Of Motion (ROM) oleh peneliti pada ke-4
responden tersebut, 2 responden yang awalnya memiliki kekuatan otot yang
berada di derajat 3 terjadi peningkat kekuatan otot ke derajat 4 dan 1
responden yang awalnya memiliki kekuatan otot yang berada di derajat 2 juga
5

mengalami peningkat ke derajat 4. Sedangkan 1 responden tidak mengalami


perubahan kekuatan otot.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang “Upaya meningkatkan kekuatan otot dengan
pemberian rentang gerak pada lansia yang menderita rematik di Wilayah
Kerja Puskesmas Caile Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba”.
1.2. Rumusan Masalah
Meneliti upaya meningkatkan kekuatan otot dengan pemberian
rentang gerak pada lansia yang menderita rematik adalah suatu usaha untuk
memperkenalkan terapi mudah agar meningkatkan kekuatan otot dikelompok
umur lansia yang menderita rematik. Dari rumusan masalah tersebut maka
pernyataan penelitian ini adalah :
“Bagaimana upaya pemberian rentang gerak dapat meningkatkan kekuatan
otot pada lansia yang menderita rematik di wilayah kerja Puskesmas Caile
Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba ?”
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk membahas studi kasus tentang
upaya pemberian rentang gerak untuk meningkatkan kekuatan otot pada
lansia yang menderita rematik di wilayah kerja Puskesmas Caile Kecamatan
Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba atau tidak.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Hasil Penelitian Studi Kasus Bagi Pasien
Sebagai bahan informasi tentang bagaimana upaya
meningkatkan kekuatan otot dengan latihan rentang gerak pada
lansia yang menderita rematik.
1.4.2 Manfaat Hasil Penelitian Studi Kasus Bagi Perawat
Mampu memberikan asuhan keperawatan yang
komperehensif pada masyarakat tentang upaya meningkatkan
kekuatan otot dengan latihan rentang gerak pada lansia yang
menderita rematik.
1.4.3 Manfaat Hasil Penelitian Studi Kasus Bagi Puskesmas Caile
6

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu rujukan


dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada lansia yang
menderita rematik Khususnya di wilayah kerja puskesmas caile.
1.4.4 Manfaat Hasil Penelitian Studi Kasus Bagi Institusi Pendidikan
Keperawatan
Hasil penelitian ini menambahkan khasana ilmu pengetahuan
khususnya asuhan keperawatan gerotik.
1.4.5 Manfaat Hasil Penelitian Studi Kasus Bagi Peneliti
Sebagai tambahan pengetahuan bagi peneliti tentang upaya
meningkatkan kekuatan otot dengan latihan rentang gerak pada
lansia yang menderita rematik dan juga sebagai persyaratan untuk
mendapatkan gelar diplomat III (DIII).
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Tentang lansia


2.1.1 Pengertian lansia
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-
angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses
menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam
dan luar tubuh, seperti didalam Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang
isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang
bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi
sosial masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin
meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah (Kholifah,
2016).
Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu
kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan
proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea, 2015).
Usia lanjut adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari.
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa lansia
adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas baik pria maupun wanita,
yang masih aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak
berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga bergantung kepada orang
lain untuk menghidupi dirinya (Rossalinda, 2015).
Menurut WHO, batasan lansia meliputi:
a. Usia Pertengahan (Middle Age), adalah usia antara 45-59 tahun
b. Usia Lanjut (Elderly), adalah usia antara 60-74 tahun
c. Usia Lanjut Tua (Old), adalah usia antara 75-90 tahun
d. Usia Sangat Tua (Very Old), adalah usia 90 tahun keatas

7
8

Menurut Jos Masdani (psikolog UI), Mengatakan lanjut usia


merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi
4 bagian:
a. Fase iuventus antara 25-40 tahun
b. Verilitia antara 40-50 tahun
c. Fase praesenium antara 55-65 tahun
d. Fase senium antara 65 tahun hingga tutup usia
2.1.1 Ciri-Ciri Lansia
a. Lansia merupakan periode kemunduran.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan
faktor psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam
kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang
rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses
kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi
yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama
terjadi.Lansia memiliki status kelompok minoritas.Kondisi ini sebagai
akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap lansia dan
diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya lansia yang lebih
senang mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat
menjadi negatif, tetapi ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa
kepada orang lain sehingga sikap sosial masyarakat menjadi positif.
b. Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai
mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia
sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar
tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di
masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak
memberhentikan lansia sebagai ketua RW karena usianya.
c. Penyesuaian yang buruk pada lansia.
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka
cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat
memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan
9

yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula.
Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan
untuk pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno,
kondisi inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan,
cepat tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah
(Kholifah, 2016).
2.1.2 Klasifikasi Lansia
Klasifikasi lansia dibagi menjadi lima yaitu pralansia, lansia, lansia
resiko tinggi, lansia potensial, lansia potensial. Pralansia (prasenelis)
adalah seseorang yang berusia antara 45−59 tahun. Lansia yaitu seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebih untuk Lansia Resiko tinggi yaitu
seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih dan bermasalah dengan
kesehatan seperti menderita rematik, demensia, mengalami kelemahan dan
lain-lain, lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan
pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Kholifah, 2016).
2.1.3 Tipe-tipe lansia
Pada umumnya lansia lebih dapat beradaptasi tinggal di rumah
sendiri daripada tinggal bersama anaknya. Menurut Nugroho W ( 2010)
adalah:
1. Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan,
bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi
undangan dan menjadi panutan.
2. Tipe mandiri, yaitu menganti kegiatan yang hilang dengan yang baru,
selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan
memenuhi undangan.
3. Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan
sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit
dilayani, pengkritik dan banyak menuntut.
10

4. Tipe pasrah, yaitu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti


kegiatan agama dan melakukan pekerjaan apa saja.
5. Tipe bingung, yaitu mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif dan
acuh tak acuh.
2.1.4 Teori Menua
Menua didefinisikan sebagai penurunan, kelemahan, meningkatnya
kerentanan terhadap berbagai penyakit dan perubahan lingkungan,
hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang
terkait dengan usia. Penuaan adalah suatu proses normal yang ditandai
dengan perubahan fisik, sosial, dan psikologis yang dapat terjadi pada
semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan
kronologis tertentu. Hal ini merupakan suatu fenomena yang kompleks
dan multidimensional yang dapat diobservasi dan berkembang sampai
pada keseluruhan sistem (Stanley, 2015).
Ada dua jenis teori penuaan yaitu, teori biologi, teori psikososial.
Teori biologis meliputi teori genetik dan mutasi, teori imunologis, teori
stress, teori radikal bebas, teori rantai silang, teori menua akibat
metabolisme. Teori psikososial meliputi pelepasan, teori aktivitas, teori
interaksi sosial, teori kepribadian berlanjut, teori perkembangan (Kholifah,
2016).
1. Teori Biologis
a. Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik
untuk spesies – spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari
perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul – molekul /
DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai
contoh yang khas adalah mutasi dari sel – sel kelamin (terjadi
penurunan kemampuan fungsional sel) (Kholifah, 2016).
b. Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah
(rusak).Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory) Di
dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
11

khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat
tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit
(Kholifah, 2016).
c. Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia
dan masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan
organ tubuh (Kholifah, 2016).
d. Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan
tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-
sel tubuh lelah terpakai (Kholifah, 2016).
e. Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya
radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen
bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal
bebas ini dapat menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi
(Kholifah, 2016).
f. Teori Rantai Silang
Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak,
protein, kerbohidrat, dan asam nukleat atau molekul kolagen
bereaksi dengan zat kimia dan radiasi, yang mengubah fungsi
jaringan yang akan menyebabkan perubahan pada membran
plasma, yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku,
kurang elastis, dan hilangnya fungsi pada proses menua.
g. Teori Menua Akibat Metabolisme
Telah dibuktikan dalam percobaan hewan, bahwa
pengurangan asupan kalori ternyata bisa menghambat
pertumbuhan dan memperpanjang umur, sedangkan perubahan
asupan kalori yang menyebabkan kegemukan dapat
memperpendek umur (Kholifah, 2016).
12

2. Teori Psikososial
a. Teori Penarikan Diri / Pelepasan
Teori ini merupakan teori sosial tentang penuaan yang
paling awal dan pertama kali diperkenalkan oleh Gumming dan
Henry (1961). Teori ini menyatakan bahwa mayarakat dan
individu selalu berusaha untuk mempertahankan diri mereka
dalam keseimbangan dan berusaha untuk menghindari
gangguan. Oleh karena itu lansia mempersiapkan pelepasan
terakhir yaitu kematian dengan pelepasan mutual dan pelepasan
yang dapat diterima masyarakat. Pelepasan ini meliputi
pelepasan peran sosial dan aktivitas sosial. Menurut teori ini
seorang lansia akan dinyatakan mengalami proses penuaan yang
berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapa
memusatkan diri pada persoalan pribadi serta mempersiapkan
diri dalam menghadapi kematian (Kholifah, 2016).
b. Teori Aktivitas
Penuaan yang sukses bergantung dari bagaimana
seseorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan
aktivitas dan memepertahankan aktivitas tersebut. Teori ini
menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang
aktif dan banyak ikut serta dalam kegiatan sosial (Kholifah,
2016).
c. Teori Interaksi Sosial
Teori ini menjelaskan mengapa lansia bertindak pada
suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai
masyarakat. Kemampuan lansia untuk terus menjalin interaksi
sosial merupakan kunci untuk mempertahankan status sosialnya
atas dasar kemampuannya bersosialisasi (Kholifah, 2016).
d. Teori Kepribadian Berlanjut
Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada
seorang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas
yang dimilikinya. Teori ini mengemukakan adanya
13

kesinambungan dalam siklus kehidupan lanjut usia.Pengalaman


seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada
saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup,
perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah
walaupun ia telah lanjut usia (Kholifah, 2016).
e. Teori perkembangan
Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses
menjadi tua merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban
lansia terhadap berbagai tantangan tersebut yang dapat bernilai
positif maupun negatif (Kholifah, 2016).
2.1.5 Masalah-masalah kesehatan yang terjadi pada lansia
Masalah-masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia akibat
perubahan sistem, antara lain (Kholifah, 2016) :
a. Lansia dengan masalah kesehatan pada system pernafasan, antara lain
penyakit paru obstruksi kronik, tuberkulosis, influenza dan
pneumonia.
b. Lansia dengan masalah kesehatan pada system kardiovaskuler, antara
lain Hipertensi. Penyakit jantung koroner.
c. Lansia dengan masalah kesehatan pada system neurologi, seperti
cerebro vaskuler accident.
d. Lansia dengan masalah kesehatan pada system musculoskeletal, antara
lain: faktur, osteoarthritis, rheumatoid arthritis, gout artritis,
osteporosis.
e. Lansia dengan masalah kesehatan pada system endokrin, seperti DM.
f. Lansia dengan masalah kesehatan pada system sensori, antara lain:
katarak, glaukoma, presbikusis.
g. Lansia dengan masalah kesehatan pada system pencernaan, antara
lain: ginggivitis/ periodontis, gastritis, hemoroid, konstipasi.
h. Lansia dengan masalah kesehatan pada sistem reproduksi dan
perkemihan, antara lain: menoupause, inkontinensia.
14

i. Lansia dengan masalah kesehatan pada system integument, antara


lain: dermatitis seborik, pruitis, candidiasis, herpes zoster, ulkus
ekstremitas bawah, pressure ulcers.
j. Lansia dengan masalah kesehatan jiwa, seperti demensia.
2.1.6 Perubahan pada lansia
Banyak kemampuan berkurang pada saat orang bertambah tua. Dari
ujung rambut sampai ujung kaki mengalami perubahan dengan makin
bertambahnya umur. Menurut Nugroho (2010) perubahan yang terjadi
pada lansia adalah sebagai berikut :
1. Sel
Jumlahnya menjadi sedikit, ukurannya lebih besar, berkurangnya
cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal,
dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan
sel.
2. Sistem Persyarafan
Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan
menurun, berat otak menurun 10-20%, mengecilnya syaraf panca indra
sehingga mengakibatkan berkurangnya respon penglihatan dan
pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan perasa, lebih
sensitive terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin rendah,
kurang sensitive terhadap sentuhan.
3. Sistem Penglihatan
Menurun lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa lebih
suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, pupil timbul sklerosis,
daya membedakan warna menurun.
4. Sistem Pendengaran
Hilangnya atau turunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi
suara atau nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata,
50% terjadi pada usia diatas umur 65 tahun, membran timpani menjadi
atrofi menyebabkan otosklerosis.
15

5. Sistem Cardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku,Kemampuan jantung
menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, kehilangan
sensitivitas dan elastisitas pembuluh darah: kurang efektifitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi perubahan posisidari tidur ke
duduk (duduk ke berdiri) bisa menyebabkan tekanan darah menurun
menjadi 65mmHg dan tekanan darah meninggi akibat meningkatnya
resistensi dari pembuluh darah perifer, sistole normal ±170 mmHg,
diastole normal ± 95 mmHg.
6. Sistem pengaturan temperatur tubuh
Pada pengaturan suhu hipotalamus dianggap bekerja sebagai
suatu thermostat yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran
terjadi beberapa factor yang mempengaruhinya yang sering ditemukan
antara lain: Temperatur tubuh menurun, keterbatasan reflek
menggigildan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga
terjadi rendahnya aktifitas otot
7. Sistem Respirasi
Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat,
menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun
dan kedalaman nafas turun. Kemampuan batuk menurun (menurunnya
aktifitas silia), O2 arteri menurun menjadi 75 mmHg, CO2 arteri tidak
berganti.
8. Sistem Gastrointestinal
Banyak gigi yang tanggal, sensitifitas indra pengecap menurun
pelebaran esophagus, rasa lapar menurun, asam lambung menurun,
waktu pengosongan menurun, peristaltik lemah, dan sering timbul
konstipasi, fungsi absorbsi menurun.
9. Sistem Genitourinaria
Otot-otot pada vesika urinaria melemah dan kapasitasnya
menurun sampai 200 mg, frekuensi BAK meningkat, pada wanita
sering terjadi atrofi vulva, selaput lendir mongering, elastisitas jaringan
16

menurun dan disertai penurunan frekuensi seksual intercrouse berefek


pada seks sekunder.
10. Sistem Endokrin
Produksi hampir semua hormon menurun (ACTH, TSH, FSH,
LH), penurunan sekresi hormone kelamin misalnya: estrogen,
progesterone, dan testoteron.
11. Sistem Kulit
Kulit menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan proses
keratinisasi dan kehilangan jaringan lemak, berkurangnya elastisitas
akibat penurunan cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan
rapuh, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya, perubahan
pada bentuk sel epidermis.
12. Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, penipisan dan
pemendekan tulang, persendian membesar dan kaku, tendon mengkerut
dan mengalami sclerosis, atropi serabut otot sehingga gerakan menjadi
lamban, otot mudah kram dan tremor.
2.1.7 Perubahan Kognitif
Kebanyakan trauma psikologis dan emosi pada masa lanisa muncul
akibat kesalahan konsep karena lansia mengalami kerusakan kognitif.
Akan tetapi perubahan struktur dan fisiologi yang terjadi pada otak selama
penuaan tidak mempengaruhi kemampuan adaptif & fungsi secara nyata
(Hess, 2011).
2.2. Tinjauan Umum Rematik
2.2.1 Definisi rematik
Rematik adalah orang yang menderita rheumatism (Encok) , arthritis
(radang sendi) ada 3 jenis arthritis yang paling sering diderita adalah
osteoarthritis ,arthritis goud, dan rheumatoid artirtis yang menyebabkan
pembengkakan benjolan pada sendi atau radang pada sendi secara
serentak.(Utomo, 2015:60)
Penyakit rematik meliputi cakupan luas dari penyakit yang
dikarakteristikkan oleh kecenderungan untuk mengefek tulang, sendi, dan
17

jaringan lunak. Penyakit rematik dapat digolongkan kepada 2 bagian, yang


pertama diuraikan sebagai penyakit jaringan ikat karena ia mengefek
rangka pendukung (supporting framework) tubuh dan organ-organ
internalnya. Antara penyakit yang dapat digolongkan dalam golongan ini
adalah osteoartritis, gout, danfibromialgia. Golongan yang kedua pula
dikenali sebagai penyakit autoimun karenaia terjadi apabila sistem imun
yang biasanya memproteksi tubuh dari infeksi danpenyakit, mulai
merusakkan jaringan-jaringan tubuh yang sehat. Antara penyakityang
dapat digolongkan dalam golongan ini adalah rheumatoid
artritis,spondiloartritis, lupus eritematosus sistemik dan skleroderma.
(Utomo, 2015).
2.2.2 Jenis-jenis rematik
Ditinjau dari lokasi patologis maka jenis rematik tersebut dapat
dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu rematik artikular dan rematik
Non artikular . Rematik artikular atau arthritis (radang sendi) merupakan
gangguan rematik yang berlokasi pada persendian . diantarannya meliputi
arthritis rheumatoid,osteoarthritis dan gout arthritis. Rematik non artikular
atau ekstra artikular yaitu gangguan rematik yang disebabkan oleh proses
diluar persendian diantaranya bursitis, fibrositis dan sciatica (Hembing,
2013). Rematik dapat dikelompokan dalam beberapa golongan yaitu :
a. Osteoartritis.
Penyakit ini merupakan penyakit kerusakan tulang rawan sendi
yang berkembang lambat dan berhubungan dengan usia lanjut. Secara
klinis ditandai dengan nyeri, deformitas, pembesaran sendi, dan
hambatan gerak pada sendi – sendi tangan dan sendi besar yang
menanggung beban.
b. Artritis Rematoid.
Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik
kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan
seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien artritis rematoid
terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan
18

sifat progresifitasnya. Pasien dapat juga menunjukkan gejala berupa


kelemahan umum cepat lelah.
c. Olimialgia Reumatik.
Penyakit ini merupakan suatu sindrom yang terdiri dari rasa
nyeri dan kekakuan yang terutama mengenai otot ekstremitas
proksimal, leher, bahu dan panggul. Terutama mengenai usia
pertengahan atau usia lanjut sekitar 50 tahun ke atas.
d. Artritis Gout (Pirai).
Artritis gout adalah suatu sindrom klinik yang mempunyai
gambaran khusus, yaitu artritis akut. Artritis gout lebih banyak
terdapat pada pria dari pada wanita. Pada pria sering mengenai usia
pertengahan, sedangkan pada wanita biasanya mendekati masa
menopause.
2.2.3 Etiologi rematik
Penyebab dari Reumatik hingga saat ini masih belum terungkap,
namun beberapa faktor resiko untuk timbulnya Reumatik antara lain
adalah :
a. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor
ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya rematik semakin
meningkat dengan bertambahnya umur. Rematik hampir tak pernah
pada anak-anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada
umur diatas 60 tahun.
b. Jenis Kelamin.
Wanita lebih sering terkena rematik lutut dan sendi , dan lelaki
lebih sering terkena rematik paha, pergelangan tangan dan leher.
Secara keeluruhan dibawah 45 tahun frekuensi rematik kurang lebih
sama pada laki dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi rematik
lebih banyak pada wanita dari pada pria hal ini menunjukkan adanya
peran hormonal pada patogenesis rematik.
19

c. Genetic
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya rematik missal,
pada ibu dari seorang wanita dengan rematik pada sendi-sendi inter
falang distal terdapat dua kali lebih sering rematik pada sendi-sendi
tersebut, dan anak-anaknya perempuan cenderung mempunyai tiga
kali lebih sering dari pada ibu dananak perempuan dari wanita tanpa
rematik.
d. Suku.
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada rematik nampaknya
terdapat perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya
rematik paha lebih jarang diantara orang-orang kulit hitam dan usia
dari pada kaukasia. Osteoartritis lebih sering dijumpai pada orang –
orang Amerika asli dari pada orang kulit putih. Hal ini mungkin
berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada
frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.
e. Kegemukan
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan
meningkatnya resiko untuk timbulnya rematik baik pada wanita
maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan
osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan
osteoartritis sendi lain (tangan atau sternoklavikula).
(Hembing,2013).
2.2.4 Patofisiologi rematik
Inflamasi mula-mula terjadi pada sendi-sendi synovial seperti
edema, kongesti vaskuler, eksudat fibrin dan infiltrasi selular. Peradangan
yang berkelanjutan, synovial menjadi menbal, terutama pada sendi artiluar
kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk panus atau
penut yang menutupi kartilago. Panus masuk ke tulang subchondria.
Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada
nutrisi kartilago artikuler. Kartilago menjadi nekrosis, tingkat erosi dari
kartilago menetukan tingkat ketidak mampuan sendi. Bila kerusakan
kartilago sangat luas maka menjadi adhesi di antara permukaan sendi,
20

karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan


kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligament menjadi lemah dan
bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendiaan. Invasi dari
tulang subchondrial bisa menyebabkan osteoporosis setempat.
Lamanya athrtitis rheumatoid berbeda dari tiap orang. Di tandai
dengan masa adanya serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada
orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang
lagi. Dan ada juga klien terutama yang mempunyai faktor rheumatoid
(seropositif gangguan rheumatoid) gangguan akan menjadi kronis yang
progresif (Mujahidullah, 2012)
2.2.5 Tanda dan Gejala Rematik
1. Nyeri pada anggota gerak
2. Kelemahan otot
3. Peradangan dan bengkak pada sendi
4. Kekakuan sendi
5. Kejang dan kontraksi otot
6. Gangguan fungsi
7. Sendi berbunyi(krepitasi)
8. Sendi goyah
9. Timbunya perubahan bentuk
10. Timbulnya benjolan nodul
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
a. Tes seroligi
1.) BSE positif
2.) Darah, bisa terjadi anemia dan leukositis
3.) Rheumatoid faktor terjadi 50-90% penderita
b. Pemeriksaan radiologi
1.) Periarticular osteoporosis, permulaan sendi-sendi erosis
2.) Kelanjutan penyakit: ruang sendi menyempit, subluksasi dan
ankilosis
21

c. Aspirasi sendi
Cairan synovial menunjukan adanya proses radang aseptic,
cairan dari sendi di kultur dan bisa diperiksa secara makrosop
(Mujahidullah, 2012)
2.2.7 Penatalaksanaan Rematik
a. Medikamentosa
Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik, hanya
bersifat simtomatik. Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) bekerja
hanya sebagai analgentik dan mengurangi peradangtan, tidak mampu
menghentikan proses patologis.
1) Analgetik yang daapt dipakai adalah asetaminofen dosis2,6-4
g/hr atau propeksifen HCL. Asam salisilat juga cukup efektif
namun perhatikan efek samping pada saluran cerna dan ginjal.
2) Jika tidak berpengaruh atau jika terdapat tanda peradangan, maka
OAINS seprti fenoprofin, piroksikam, ibuprofen, dan sebagianya
dapt digunakan. Dosis untuk osteoarthritis biasanya ½-1/3 dosis
penuh untuk arthritis rheumatoid. Oleh karena itu pemakaian
biasanya untuk jangka panjang, efek samping utama adalah
ganguan mukosa lambung dan gangguan faal ginjal
b. Perlindungan sendi
Rematik mungkin timbul atau diperkuat karena mekanisme tubuh
yang kurang baik. Perlu dihindari aktivitas yang berlebihan pada sendi
yang sakit. Pemakaian tongkat, alat-alat listrik yang dapat
memperingan kerja sendi juga perlu diperhatikan. Beban pada lutut
berlebihan karena kakai yang tertekuk (pronatio).
c. Diet
Diet untuk menurunkan berat badan pasien osteoartritis yang
gemuk harus menjadi program utama pengobatan osteoartritis.
Penurunan berat badan seringkali dapat mengurangi timbulnya keluhan
dan peradangan.
22

d. Dukungan psikososial
Dukungan psikososial diperlukan pasien osteoartritis oleh karena
sifatnya yang menahun dan ketidakmampuannya yang ditimbulkannya.
Disatu pihak pasien ingin menyembunyikan ketidakmampuannya,
dipihak lain dia ingin orang lain turut memikirkan penyakitnya. Pasien
osteoartritis sering kali keberatan untuk memakai alat-alat pembantu
karena faktor-faktor psikologis.
e. Persoalan Seksual
Gangguan seksual dapat dijumpai pada pasien rematik terutama
pada tulang belakang, paha dan lutut. Sering kali diskusi karena ini
harus dimulai dari dokter karena biasanya pasien enggan
mengutarakannya.
f. Fisioterapi
Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan rematik, yang
meliputi pemakaian panas dan dingin dan program latihan ynag tepat.
Pemakaian panas yang sedang diberikan sebelum latihan untk
mengurangi rasa nyeri dan kekakuan. Pada sendi yang masih aktif
sebaiknya diberi dingin dan obat-obat gosok jangan dipakai sebelum
pamanasan. Berbagai sumber panas dapat dipakai seperti Hidrokolator,
bantalan elektrik, ultrasonic, inframerah, mandi paraffin dan mandi dari
pancuran panas.
Program latihan bertujuan untuk memperbaiki gerak sendi dan
memperkuat otot yang biasanya atropik pada sekitar sendi rematik.
Latihan isometric lebih baik dari pada isotonic karena mengurangi
tegangan pada sendi. Atropi rawan sendi dan tulang yang timbul pada
tungkai yang lumpuh timbul karena berkurangnya beban ke sendi oleh
karena kontraksi otot. Oleh karena otot-otot periartikular. memegang
peran penting terhadap perlindungan rawan senadi dari beban, maka
penguatan otot-otot tersebut adalah penting.
g. Operasi
Operasi perlu dipertimbangkan pada pasien osteoartritis dengan
kerusakan sendi yang nyata dengan nyari yang menetap dan kelemahan
23

fungsi. Tindakan yang dilakukan adalah osteotomy untuk mengoreksi


ketidaklurusan atau ketidaksesuaian, debridement sendi untuk
menghilangkan fragmen tulang rawan sendi, pebersihan osteofit
(Hembing, 2013)
2.2.8 Pencegahan
a. Hindari kegiatan tersebut apabila sendi sudah terasa nyeri ,sebaiknya
berat badan diturunkan, sehingga bila kegemukan mengakibatkan
beban pada sendi lutut atau tulang pinggul terlalu berat.
b. Istrahat yang cukup pakailah kaus kaki atau sarung tangan sewaktu
tidur pada malam hari dan kurangi aktivitas berat secara perlahan
lahan
c. Hindari makanan dan segala sesuatu secara berlebihan atau terutaman
segala sesuatu yang mencetus reumatik. Kurangi makanan yang kaya
akan purin misalnya : daging , jeroan (seperti kikil), babat,usus,hati ,
ampela dan dll (Hembing,2013)
2.2.9 Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, status, alamat, pekerjaan,
penanggung jawab.
Data dasar pengkajian penerima manfaat tergantung pada
keparahan dan keterlibatan organ-organ lainnya (misalnya mata,
jantung, paru-paru, ginjal), tahapan misalnya eksaserbasi akut
atau remisi dan keberadaaan bersama bentuk-bentuk arthritis
lainnya.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien dengan
penyakit Rematik adalah klien mengeluh nyeri
c. Riwayat penyakit sekarang
Berupa uraian pada mengenal penyakit yang diderita oleh klien
dadri mulai timbulnya keluhan yang dirasakan.
24

d. Riwayat penyakit dahulu


Riwayat penyakit kesehatan yang dulu sperti riwayat penyakit
musculoskeletal sebelumnya
e. Riwayat penyakit keluarga
Yang perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang menderita
penyakit yang sama.
f. Pemeriksaan fisik
1.) Keadaan umum
Keadaan umum klien lansia yang mengalami gangguan
musculoskeletal biasanya lemah
2.) Kesadaran
Kesadaran klien biasanya composmentis dan apatis
3.) Tanda- tanda vital
a) Suhu
b) Nadi
c) Pernafasan
d) Tekanan darah
4) Pemeriksaan Review Of System
a) System pernafasan (B1 : Breathing)
Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau
masih dalam batas normal.
b) System sirkulasi (B2 : Bleeding)
Kaji adanya penyakit jantung, frekuensi nadi apika;,
sirkulasi perifer, warna dan kehangatan.
c) System persarafan (B3 : Brain)
Kaji adanya hilangnya gerakan/ sensai, spasme otot,
terlihat kelemahan/hilang fungsi. Pergerakan
mata/kejelasan melihat, dilatasi pupil.
d) System perkemihan(B4 : Bleder)
Perubahan pola perkemihan, seperti disuria, distensi
kandung kemih, warna dan bau urin.
e) Sitem pencernaan (B5 : Bowel)
25

Konstipasi, konsistensi feses, frekuensi eliminasi,


auskultasi bising usus, anoreksia, adanya distensi
abdomen, nyeri tekan abdomen.
f) System musculoskeletal (B6 : Bone)
kaji adanya nyeri berat tiba-tiba/mungkin, terlokasi
pada area jaringan, dapat berkurang pada imobilisasi,
kekuatan, otot, kontraktur, atrofi oto, laserasi kulit dan
perubahan warna.
1) Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana pola hidup sehat
b) Pola nutrisi
Mengambarkan masukan nutrisi, balance cairan, nafsu
makan, pola makan, diet, kesulitan menelan,
mual/muntah dan makanan kesukaan.
c) Pola eliminasi
Menggambarkan pola fungsi ekskresi, kandung kemih,
defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalah
nutrisi.
d) pola istirahat tidur
menggambarkan pola tidur, istirahat dan persepsi
terhadap energy, jumlah tidur malam dan siang,
masalah tidur
e) Pola hubungan dan peran
Mnggambarkan dan mengetahui hubungfan peran klien
terhadap anggota keluarga dan masyarakat tempat
tinggal, pekerjaan, tidak punya rumah, masalah
keuangan. Pengkajian APGAR keluarga.
f) Pola sensori kognitif
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola sensori
meliputi pengkajian pengelihatan, pendengaran,
perasaan, pembau. Pengkajian ststus mental
26

menggunakan Tabel Short Portable Mental Status


Quesionare (SPMSQ).
g) Pola persepsi dan konsep diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi
terhadap kemampuan konsep diri. Konsep diri
menggambarkan gambaran diri, harga diri, peran,
identitas diri. Manusia sebagai system terbuka dan
mahkluk bio-psiko—sosio-kultural-spiritual,
kecemasan, ketakutan, dan dampak terhadap sakit.
Pengkajian tingkat Depresi menggunakan Tabel
Inventaris Depresi Back
h) Pola seksual dan reproduksi
Menggambarkan kepuasan masalah terhadap
seksualitas
i) Pola mekanisme koping
Menggambarkan kemampuan untuk menangani strees
j) Pola tata nilai dan kepercayaan
Menggambarkan dan menjelaskan pola nilai keyakinan
termasuk spiritual (Aspiani, 2014, h. 261-264)
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri akut/kronis berhubungkan dengan agen pencedera
distensi jaringan oleh akumulasi cairan/ proses inflamasi,
destruksi sendi.
b. Kerusakan Mobilitas Fisik berhubungan dengan: Deformitas
skeletal. Nyeri, ketidaknyamanan, Intoleransi aktivitas,
penurunan kekuatan otot.
c. Gangguan citra tubuh/perubahan penampilan peran
berhubungan dengan perseptual kognitif, psikisosial,
perubahan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas
umum, peningkatan penggunaan energi, ketidakseimbangan
mobilitas.
27

d. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan


muskuloskeletal; penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri
pada waktu bergerak, depresi (Kushariyadi, 2010, h.131-
141)
3. Intervensi keperawatan
a. Nyeri akut/kronis berhubungkan dengan : agen pencedera;
distensi jaringan oleh akumulasi cairan/ proses inflamasi,
destruksi sendi.
Kriteria Hasil:

1) Menunjukkan nyeri hilang/ terkontrol.


2) Terlihat rileks, dapat tidur/beristirahat dan berpartisipasi
dalam aktivitas sesuai kemampuan.
3) Mengikuti program farmakologis yang diresepkan.
4) Menggabungkan keterampilan relaksasi dan aktivitas
hiburan ke dalam program kontrol nyeri.
Intervensi Keperawatan :

4. Kaji nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala 0-10). Catat


faktor-faktor yangmempercepat dan tanda-tanda rasa
sakit non verbal
5. Berikan matras/kasur keras, bantal kecil, tinggikan linen
tempat tidur sesuai kebutuhan
6. Tempatkan/panatau penggunaan bantal, karung pasir,
gulungan trokhanter, bebat, brace
7. Dorong untuk sering mengubah posisi, Bantu untuk
bergerak di tempat tidur, sokong sendi yang sakit di atas
dan bawah, hindari gerakan yang menyentak
8. Anjurkan pasien untuk mandi air hangat atau mandi
pancuran pada waktu bangun tidur. Sediakan waslap
hangat untuk mengompres sendi-sendi yang sakit
beberapa kali sehari. Pantau suhu air kompres, air mandi,
dan sebagainya.
28

Rasional :
1. Membantu dalam menetukan dalam menentukan
kebutuhan menejemen nyeri dan keefektifan program
2. Matras yang lembut/ empuk, bantal yang besar akan
memelihara kesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan
stress pada sendi yang sakit. Peninggian linen tempat
tidur menurunkan tekanan pada sendi yang nyeri
3. Mengistirahatkan sendi-sendi yang sakit dan
mempertahankan posisi netral. Penggunaan brace dapat
menurunkan nyeri dan dapat mengurangi kerusakan pada
sendi
4. Mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan
sendi, menstabilkan sendi, mengurangi gerakan/ rasa
sakit pada sendi
5. Panas meningkatkan relaksasi otot, dan mobilitas,
menurunkan rasa sakit dan melepaskan kekakuan di pagi
hari. Sensitivitas pada panas dapat dihilangkan dan luka
dermal dapat disembuhkan

b. Kerusakan Mobilitas Fisik berhubungan dengan:


Deformitas skeletal
Nyeri, ketidaknyamanan, Intoleransi aktivitas, penurunan
kekuatan otot.

Kriteria Hasil :

1) Mempertahankan fungsi posisi dengan tidak hadirnya/


pembatasan kontraktur.
2) Mempertahankan ataupun meningkatkan kekuatan dan
fungsi dari dan/ atau konpensasi bagian tubuh.
3) Mendemonstrasikan tehnik/ perilaku yang
memungkinkan melakukan aktivitas.
29

Intervensi Keperawatan :
1) Evaluasi/ lanjutkan pemantauan tingkat inflamasi/ rasa
sakit pada sendi
2) Pertahankan istirahat tirah baring/ duduk jika diperlukan
jadwal aktivitas untuk memberikan periode istirahat
yang terus menerus dan tidur malam hari yang tidak
terganggu
3) Bantu dengan rentang gerak aktif/pasif, demikian juga
latihan resistif dan isometris jika memungkinkan
4) Ubah posisi dengan sering dengan jumlah personel
cukup. Demonstrasikan/ bantu tehnik pemindahan dan
penggunaan bantuan mobilitas
5) Posisikan dengan bantal, kantung pasir, gulungan
trokanter, bebat, brace
Rasional :
1) Tingkat aktivitas/ latihan tergantung dari perkembangan/
resolusi dari peoses inflamasi
2) Istirahat sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut dan
seluruh fase penyakit yang penting untuk mencegah
kelelahan mempertahankan kekuatan
3) Mempertahankan/ meningkatkan fungsi sendi, kekuatan
otot dan stamina umum. Catatan : latihan tidak adekuat
menimbulkan kekakuan sendi, karenanya aktivitas yang
berlebihan dapat merusak sendi
4) Menghilangkan tekanan pada jaringan dan
meningkatkan siirkulasi Memepermudah perawatan diri
dan kemandirian pasien. Tehnik pemindahan yang tepat
dapat mencegah robekan abrasi kulit
5) Meningkatkan stabilitas (mengurangi resiko cidera) dan
memerptahankan posisi sendi yang diperlukan dan
kesejajaran tubuh, mengurangi kontraktor.
30

c. Gangguan citra tubuh./perubahan penampilan peran


berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk
melaksanakan tugas-tugas umum, peningkatan penggunaan
energi, ketidakseimbangan mobilitas.
Kriteria Hasil :

1) Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam


kemampuan untuk menghadapi penyakit, perubahan
pada gaya hidup, dan kemungkinan keterbatasan.
2) Menyusun rencana realistis untuk masa depan.
Intervensi keperawatan :
1) Dorong pengungkapan mengenai masalah tentang proses
penyakit, harapan masa depan
2) Diskusikan arti dari kehilangan/ perubahan pada
pasien/orang terdekat. Memastikan bagaimana pandangaqn
pribadi pasien dalam memfungsikan gaya hidup sehari-hari,
termasuk aspek-aspek seksual
3) Diskusikan persepsi pasienmengenai bagaimana orang
terdekat menerima keterbatasan.
4) Akui dan terima perasaan berduka, bermusuhan,
ketergantungan
5) Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal
atau terlalu memperhatikan perubahan
6) Susun batasan pada perilaku mal adaptif. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi perilaku positif yang dapat membantu
koping.
Rasional :
1) Berikan kesempatan untuk mengidentifikasi rasa takut/
kesalahan konsep dan menghadapinya secara langsung
2) Mengidentifikasi bagaimana penyakit mempengaruhi
persepsi diri dan interaksi dengan orang lain akan
menentukan kebutuhan terhadap intervensi/ konseling lebih
lanjut
31

3) Isyarat verbal/non verbal orang terdekat dapat mempunyai


pengaruh mayor pada bagaimana pasien memandang dirinya
sendiri
4) Dapat menunjukkan emosional ataupun metode koping
maladaptive, membutuhkan intervensi lebih lanjut
5) Membantu pasien untuk mempertahankan kontrol diri, yang
dapat meningkatkan perasaan harga diri

d. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan


muskuloskeletal; penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri
pada waktu bergerak, depresi.
Kriteria Hasil :

1) Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang


konsisten dengan kemampuan individual.
2) Mendemonstrasikan perubahan teknik/ gaya hidup untuk
memenuhi kebutuhan perawatan diri.
3) Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi/ komunitas
yang dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri
Intervensi keperawatan :
1) Diskusikan tingkat fungsi umum (0-4) sebelum timbul
awitan/ eksaserbasi penyakit dan potensial perubahan yang
sekarang diantisipasi
2) Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program
latihan
3) Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri.
Identifikasi /rencana untuk modifikasi lingkungan
4) Kolaborasi: Konsul dengan ahli terapi okupasi.
5) Kolaborasi: Atur evaluasi kesehatan di rumah sebelum
pemulangan dengan evaluasi setelahnya.
Rasional :
32

1) Mungkin dapat melanjutkan aktivitas umum dengan


melakukan adaptasi yang diperlukan pada keterbatasan saat
ini
2) Mendukung kemandirian fisik/emosional
3) Menyiapkan untuk meningkatkan kemandirian, yang akan
meningkatkan harga diri
4) Berguna untuk menentukan alat bantu untuk memenuhi
kebutuhan individual. Mis; memasang kancing,
menggunakan alat bantu memakai sepatu, menggantungkan
pegangan untuk mandi pancuran
5) Mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin dihadapi
karena tingkat kemampuan aktual (kushariyadi, 2010, h.
131-141)

2.3 Tinjauan Umum Rentang Gerak


2.3.1 Definisi Rentang gerak
Rentang gerak atau range of motion (ROM) adalah latihan yang
dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat
kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal dan
lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Lukman,2013).
Range of motion adalah gerakan dalam keadaan normal dapat dilakukan
oleh sendi yang bersangkutan (Suratun & dkk, 2015)
Range Of Motion (ROM), merupakan istilah baku untuk
menyatakan batas/besarnya gerakan sendi baik normal. Range Of
Motion juga di gunakan sebagai dasar untuk menetapkan adanya
kelainan batas gerakan sendi abnormal (Suratun & dkk, 2015)
Menurut (Potter, 2010) Rentang gerak atau (Range Of Motion)
adalah jumlah pergerakan maksimum yang dapat di lakukan pada sendi,
di salah satu dari tiga bidang yaitu: sagital, frontal, atau transversal.
Range Of Motion (ROM) adalah gerakan yang dalam keadaan normal
dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan. Range Of Motion dibagi
menjadi dua jenis yaitu Range Of Motion aktif dan Range Of Motion
pasif (Suratun,dkk, 2008).
33

Latihan range of motion (ROM) merupakan istilah baku untuk


menyatakan batas atau batasan gerakan sendi yang normal dan sebagai
dasar untuk menetapkan adanya kelainan ataupun untuk menyatakan
batas gerakan sendi yang abnormal (Lukman, 2015)
2.3.2 Klasifikasi Latihan Rentang Gerak
Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di lakukan pasien
dengan bantuan perawat pada setiap-setiap gerakan. Indikasi latihan
pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan
keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua
latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau
pasien dengan paralisis ekstermitas total (Suratun, dkk, 2013).
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-
otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif
misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi
yang digerakkan pada ROM pasif adalah seluruh persendian tubuh atau
hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu
melaksanakannya secara mandiri. (Hidayat & AA, 2013)
Latihan ROM aktif adalah Perawat memberikan motivasi, dan
membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara
mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal. Hal ini untuk
melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif . Sendi yang digerakkan pada
ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari
kaki oleh klien sendri secara aktif (Lukman, 2015)
Adapun jenis-jenis Range Of Motion (ROM) menurut (frayogah,
2014) terbagi atas dua jenis yaitu :
1. Range Of Motion (ROM) Aktif
Range Of Motion (ROM) yaitu gerakan yang dilakukan oleh
seseorang atau pasien dengan menggunakan energi sendiri. Perawat
memberikan motivasi, dan bimbingan dalam melaksanakan gerak
sendi secara mandiri sesuai dengan rentang sendi normal (pasien
34

aktif). Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi
dengan menggunakan otot-ototnya secara aktif.
2. Range Of Motion (ROM) Pasif
Range Of Motion (ROM) yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan
berasal dari orang lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat
melkukan gerakan sendi pasien sesuai dengan rentang gerakan
normal. Range Of Motion (ROM) pasif berguna untuk menjaga
kelenturan otot dan persendian pasien secara pasif.
2.3.3 Tujuan Rentang gerak
Adapun tujuan dari rentang gerak menurut (Hidayat & AA, 2013).
a. Tujun Umum
1) Mempertahankan atau memelihara fleksibilitas dan kekuatan
otot.
2) Memelihara mobilitas persendian
3) Meningkatkan kekuatan otot
4) Merangsang sirkulasi darah
5) Mencegah kelainan bentuk, kekakuan dan kontraktur
6) Mempertrahankan fungsi jantung dan pernapasan
b. Tujuan khusus
1) Range Of Motion Aktif
a) Latihan ini dapat mempertahankan atau meningkatkan
kekuatatn dan kelenturan otot.
b) Mempertahankan fungsi kardiorespiratori.
c) Menceca kontraktur dan kekuatan pada persendihan
2) Range Of Motion Pasif yaitu menjaga fleksibilitas dari masing-
masing persendian.
2.3.4 Manfaat Rentang gerak
Adapun manfaat rentang gerak menurut (Hidayat & AA, 2013) yaitu :
a. Memperbaiki tonus otot
b. Meningkatkan mobilisasi sendi
c. Memperbaiki toleransi otot untuk latihan
d. Meningkatkan massa otot
35

e. Mengurangi kehilangan tulang


2.3.5 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rentang gerak atau Range
Of Motion (ROM) menurut (Suratun & dkk, 2015)
1. Perhatikan keadaan umum pasien, apakah merasa kelelahan, atau
pusing
2. Pastikan pakaian dalam keadaan longar
3. Pastikan perhiasan dilepas untuk menghidari terjadinya
pembengkakan atau luka
4. Jangn lakukan latihan fisik pada lansia atau pasien segera saat
setelah pasien makan
5. Gunakan gerakan yang benar untuk mengurangi ketegangan atau
luka pada pasien
6. Pastikan pasien merasa nyaman
7. Hindari gerakan yang terlalu sulit
8. Hentikan latihan jika pasien mengalami masalah saat latihan
2.3.6 Prinsip dasar rentang gerak
Menurut (Suratun,dkk 2008) rentang gerak memiliki beberapa
prinsip yaitu :
a. Rom harus diulang sekitar 4 kali dan dikerjakan maksimal 2 kali
sehari.
b. ROM harus dilakukan perlahan dan hati- hati sehingga tidak
melelahkan pasien
c. Dalam merencanakan program latihan rentang gerak perlu
memerhatikan umur pasien, diagnosis pasien, tanda-tanda vital,
dan lamanya tirah baring
d. Bgian tubuh yang dapat dilakukan ROM adalah leher, jari, lengan,
siku, bahu, tumit atau pergelangan kaki.
e. Rentang gderak dapat dilakukan pada semua persendian yang
dicurigai mengalami proses penyakit
f. Melakukan rentang gerak harus sesuai waktunya, misalnya setelah
madi atau perawatan ruting yang telah dilakukan.
36

2.3.7 Indikasi rentang gerak


a. Stroke atau penurunan tingkat kesadaran
b. Kelemahan otot
c. Fase rehabilitasi fisik
d. Klien dengan tirah baring lama
e. Rematik
2.3.8 Jenis Rentang gerak
Menurut Potter & Perry, (2005), ROM terdiri dari gerakan pada
persendian sebaga berikut:
a. Lutut
Fleksi : Mengerakan tumit ke arah belakang paha, rentang
120- 130°
Ekstensi : Mengembalikan tungkai kelantai, rentang 120-130°
b. Mata kaki
Dorsifleksi : Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk
ke atas, rentang 20-30°
Plantarfleksi : Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk
ke bawah, rentang 45-50°
c. Kaki
Inversi : Memutar telapak kaki ke samping dalam, rentang
10°
Eversi : Memutar telapak kaki ke samping luar, rentang 10º
2.3.9 Penilaian hasil pengukuran rentang gerak
Derajat fungsi rentang gerak sendi I : Normal Gerak penuh
hambatan (100%) II : Good Gerak tidak penuh (75%) III: Fair Gerak
tidak penuh ada hambatan (50%) IV : Poor Gerak ada hambatan
(25%) V : Trance Tidak ada gerak (0%) Potter & Perry, (2005).
2.3.9 Standar Operasional Prosedur Range Of Motion (ROM)
1. Definisi
Range Of Motion (ROM) adalah tindakan/latihan otot atau
persendian yang diberikan kepada pasien yang mobilitas sendinya
terbatas karena penyakit, diabilitas, atau trauma. Bertujuan untuk
37

mengurangi kekakuan pada sendi dan kelemahan pada otot yang


dapat dilakukan aktif maupun pasif tergantung dengan keadaan
pasien (Wahyuningsi, 2016).
2. Tujuan dari rentang gerak menurut (Hidayat & AA, 2013).
Tujun umum
1. Mempertahankan atau memelihara fleksibilitas dan kekuatan
otot.
2. Memelihara mobilitas persendian
3. Meningkatkan kekuatan otot
4. Merangsang sirkulasi darah
5. Mencegah kelainan bentuk, kekakuan dan kontraktur
6. Mempertrahankan fungsi jantung dan pernapasan .
Tujuan khusus
Range Of Motion Aktif
a. Latihan ini dapat mempertahankan atau meningkatkan
kekuatatn dan kelenturan otot.
b. Mempertahankan fungsi kardiorespiratori.
c. Menceca kontraktur dan kekuatan pada persendihan
Range Of Motion Pasif : menjaga fleksibilitas dari masing-masing
persendian.
3. Indikasi rentang gerak
a. Stroke atau penurunan tingkat kesadaran
b. Kelemahan otot
c. Fase rehabilitasi fisik
d. Klien dengan tirah baring lama
4. Prinsip Dasar Rentang gerak
Menurut (Suratun & dkk, 2015)rentang gerak memiliki beberapa
prinsip yaitu :
a. ROM harus diulang sekitar 4 kali dan dikerjakan maksimal 2
kali sehari.
b. ROM harus dilakukan perlahan dan hati- hati sehingga tidak
melelahkan pasien
38

c. Dalam merencanakan program latihan rentang gerak perlu


memerhatikan umur pasien, diagnosis pasien, tanda-tanda vital,
dan lamanya tirah baring
d. Bgian tubuh yang dapat dilakukan ROM adalah leher, jari,
lengan, siku, bahu, tumit atau pergelangan kaki.
e. Rentang gerak dapat dilakukan pada semua persendian yang
dicurigai mengalami proses penyakit
i. Melakukan rentang gerak harus sesuai waktunya, misalnya
setelah madi atau perawatan ruting yang telah dilakukan
5. Tahap Orientasi
a. Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik,
memperkenalkan diri
b. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada pasien
c. Menyampaikan kesiapan pasien sebelum dilakukan tindakan
6. Persiapan Pasien
Mengatur posisi pasien sehingga merasa aman dan nyaman
Persiapan Alat
1. Sarung tangan
2. Selimut
3. Minyak penghangat (bila perlu)
7. Prosedur Pelaksanaan
1. Tahap Pra Interaksi
a) Melakukan verifikasi program terapi
b) Cuci tangan
c) Membawa alat didekat pasien
2. Tahap Kerja
a) Mangatur posisi pasien
b) Melatih sendi secara bergantian
1.) Latihan Rentang Bahu
a. Fleksi : Menaikan lengan dari posisi di samping tubuh
ke depan ke posisi di atas kepala Rentang 180o
39

b. Ekstensi : Mengembalikan lengan ke posisi di


samping tubuh Rentang 180o
c. Hiperektensi : Mengerkan lengan kebelakang tubuh,
siku tetap lurus
d. Abduksi : Menaikan lengan ke posisi samping di atas
kepala dengan telapak tangan jauh dari kepala
Rentang 180o dan Menurunkan lengan ke samping
dan menyilang tubuh sejauh mungkin Rentang 320°
e. Rotasi Dalam : Dengan siku pleksi, memutar bahu
dengan menggerakan lengan sampai ibu jari
menghadap ke dalam dan ke belakang
f. Rotasi Luar : Dengan siku fleksi, menggerakan
lengan sampai ibu jari ke atas dan samping
g. Sirkumduksi : Menggerakan lengan dengan lingkaran
penuh Rentang 320°

2.) Latihan Rentang Siku


Fleksi : Menggerakkan siku sehingga lengan bahu
bergerak ke depan sendi bahu dan tangan sejajar bahu
Rentang 150
Ektensi : Meluruskan siku dengan menurunkan tangan
Rentang 150
40

3.) Latihan Rentang Pergelangan tangan


Fleksi : Menggerakan telapak tangan ke sisi bagian dalam
lengan bawah
Ekstensi : Mengerakan jari-jari tangan sehingga jari-jari,
tangan, lengan bawah berada dalam arah yang sama
Hiperekstensi : Membawa permukaan tangan dorsal ke
belakang sejauh mungkin
Adduksi : Menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari
Adduksi : Menekuk pergelangan tangan miring ke arah lima
jari

4.) Latihan Rentang Jari- jari tangan


Fleksi : Membuat genggaman Rentang 90°
Ekstensi : Meluruskan jari-jari tangan Rentang 90°
Hiperekstensi : Menggerakan jari-jari tangan ke belakang
sejauh mungkin Rentang 30-60°
Adduksi : Mereggangkan jari-jari tangan yang satu dengan
yang lain Rentang 30°
Adduksi : Merapatkan kembali jari-jari tangan Rentang 30°
41

5.) Latihan Rentang Lutut


Fleksi : Mengerakan tumit ke arah belakang paha Rentang
120-130°
Ekstensi : Mengembalikan tungkai kelantai Rentang 120-
130°

6.) Latihan Rentang Kaki


Inversi : Memutar telapak kaki ke samping dalam Rentang
10°
Eversi : Memutar telapak kaki ke samping luar Rentang 10°

7.) Latihan Rentang Jari-Jari Kaki


Fleksi : Menekukkan jari-jari kaki ke bawah Rentang 30-60°
Ekstensi : Meluruskan jari-jari kaki Rentang 30-60°
Adduksi : Menggerakan jari-jari kaki satu dengan yang lain
Rentang 15°
Adduksi : Merapatkan kembali bersama-sama Rentang 15°
42

8. Tahap Terminasi
a. Mengevaluasi hasil tindakan
b. Berpamitan dengan pasien
c. Membereskan dan kembalikan alat ke tempat semula
d. Mencuci tangan
e. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan.
2.4 Tinjauan Umum Kekuatan Otot
2.4.1 Penegertian Kekuatan Otot
Kekuatan adalah kemampuan otot untuk melakukan kerja yang
berfungsi meningkatkan ketegangan terhadap suatu tekanan. Otot-otot
yang kuat dapat melindungi persendian disekelilingnya dan
mengurangi kemukinan terjadinya cedera karena aktifitas fisk. Oleh
karena itu otot-otot perlu dilatih untuk memiliki kekuatan. Kekuatan
otot adalah kemanpuan menggunakan tekanan maksimum yang
berlawanan (Nur W. , 2015)
2.4.2 Faktor yang mempengaruhi kekuatan otot
a. Usia
Kecepatan perkembangan kekuatan otot sama dengan wanita. Baik
pria maupun wanita mencapai puncak usia >25 tahun, kemudian
akan menurun 65% -75 % pada usia 65 tahun.
b. Jenis kelamin
Perbedaan kekuatan otot pada pria dan wanita (rata-rata kekuatan
wanita 2/3 dari pria) disebabkan karena ada perbedaan otot dalam
tubuh.
c. Suhu otot
Kontraksi otot akan lebih cepat bila suhu otot sedikit lebih tinggi
pada suhu normal. (Yaniati, 2015)
2.4.3 Pemeriksaan kekuatan otot
Pemerikassan kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan
pengujian otot secara manual ( manual muscle testing, MMT).
Pemeriksaan ini ditunjukkan untuk mengetahui kemampuan peningkatan
otot sebagai respon motorik. Salah satu hasil evaluasi dari latihan rentang
43

gerak ( range of motion ) kekuatan otot. Hal ini karena kekuatan otot
merupakan hal yang paling dominan yang mengalami penurunan fungsi
pada yang paling dominan mengalami penurunan fungsi pada ekstrenitas
pasien dibandingkan dengan gerakan otot. Kekuatan otot dapat dievaluasi
dengan secara aktif melawan gravitasi dan melawan tahanan yang
diberikan pemeriksa (Yaniati, 2015).
Marlina (2011) dalam (Nur W. , 2015) mengungkapkan bahwa
pelaksanaan latihan ROM pada pasien rematik secara intens, terarah dan
tertur, maka dapat mempengaruhi kekuatan otot pasien. Setelah latihan
ROM dilakukan maka pasien dapat melakukan aktifitas sehari-hari.
Perubahan struktur otot sangat bervariasi. Penurunan jumlah dan
serabut otot, atrofi, pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada
beberapa serabut otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan
penghubung dan lain-lain mengakibatkan efek negative. Efek tersebut
adalah penurunan kekuatan, penurun fleksibilitas, perlambatan waktu
reaksi dan penurunan kemampuan fungsional (Muhammad, Tantut, &
Hanny, 2014)
Penilaian Kekuatan Otot mempunyai skala ukur yang umumnya
dipakai untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain
mendiagnosa status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada
kemajuan yang diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya
tidak dapat melawan pengaruh gravitasi, (4) Nilai 3: dapat menggerakkan
sendi, otot juga dapat melawan pengaruh gravitasi tetapi tidak kuat
terhadap tahanan yang diberikan pemeriksa, (5) Nilai 4: kekuatan otot
seperti pada derajat 3 disertai dengan kemampuan otot terhadap tahanan
yang ringan, (6) Nilai 5: kekuatan otot normal. (Suratun & dkk, 2015)
Untuk mengetahui kekuatan atau kemampuan otot perlu dilakukan
pemeriksaan derajat kekuatan otot yang di buat ke dalam enam derajat ( 0
– 5 ) . Derajat ini menunjukan tingkat kemampuan otot yang berbeda-beda.
44

Derajat 5 Kekuatan otot normal dimana seluruh gerakan dapat


dilakukan otot dengan tahanan maksimal dari proses
yang dilakukan berulang-ulang tanpa menimbulkan
kelelahan.

Derajat 4 Dapat melakukan Range Of Motion (ROM) secara


penuh dan dapat melawan tahanan ringan

Derajat 3 Dapat melkukan ROM secara penuh dengan melawan


gaya berat (gravitasi), tetapi tidak dapat melawan
tahanan.

Derajat 2 Dengan bantuan atau dengan menyangga sendi dapat


melakukan ROM secara penuh.

Derajat 1 Kontraksi otot minimal terasa/teraba pada otot


bersangkutan tanpa menimbulkan gerakan.
Derajat 0 Tidak ada kontraksi otot sam sekali.

Adapun cara untuk memeriksa kekutan otot dengan menggunakan


derajat kekuatan otot tersebut yaitu pemeriksaan kekuatan otot ekstermitas
atas dan Pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas bawah
1) Pemeriksaan kekuatan otot bahu.
Caranya:
a) Minta klien melakukan fleksi pada lengan ekstensi lengan dan
beri tahanan.
b) Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi lengan, lalu
beri tahanan.
c) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
45

2) Pemeriksaan kekuatan otot siku.


Caranya:
a) Minta klien melakukan gerakan fleksi pada siku dan beri tahanan.
b) Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi siku, lalu
beri tahanan.
c) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
3) Pemeriksaan kekuatan otot pergelangan tangan.
Caranya:
a) Letakkan lengan bawah klien di atas meja dengan telapak tangan
menghadap keatas.
b) Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi telapak tangan
dengan melawan tahanan.
c) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
4) Pemeriksaan kekuatan otot jari-jari tangan
Caranya:
a) Mintalah klien untuk meregangkan jari-jari melawan tahanan.
b) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
5) Pemeriksaan kekuatan otot panggul.
Caranya:
a) Atur posisi tidul klien, lebih baik pemeriksaan dilakukan
dalam posisi supine.
b) Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi tungkai dengan
melawan tahanan.
c) Minta klien untuk melakukan gerakan abduktif dan adduksi
tungkai melawan tahanan.
d) Nilai kekuatan otot dengan menggunkan skala 0-5.
6) Pemeriksaan kekuatan otot lutut.
Caranya:
a) Minta klien untuk melakukan gerakn fleksi lutut dengan
melawan tahanan.
b) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
46

7) Pemeriksan kekuatan otot tumit.


Caranya:
a) Minta klien untuk melakukan gerakan plantarfleksi dan
dorsifleksi dengan melawan tahanan.
b) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
8) Pemeriksaan kekuatan otot jari-jari kaki.
Caranya:
a) Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi dan ekstensi jari-jari
kaki dengan melawan tahanan.
b) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5 (Muhammad,
Tantut, & Hanny, 2014)
47

BAB III
METODE STUDI KASUS

3.1 Rancangan Studi Kasus


Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian kualitatif adalah penelitian
yang pada umumnya menjelaskan dan memberi pemahaman dan interpretasi
tentang berbagai perilaku dan pengalaman manusia (individu) dalam berbagai
bentuk. Salah satu cara memahami perilaku dan pengalaman tersebut adalah
memberi intisari (essence) dari pengalaman hidup atau fenomena yang di alami
individu atau sekelompok individu dengan lebih menekankan pada hubungan
sebab akibat dalam menjalankan perilaku individu tersebut (Afiyanti, 2014).
Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan
tujuan utama untuk memberikan gambaran tentang suatu keadaan secara
objektif. Penelitian kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat
alamiah atau rekayasa manusia (Sukmadinata, 2011)
Situasi atau fenomena yang dapat diteliti dengan pendekatan kualitatif
antara lain : pengalaman kehidupan individu yang bersifat universal, berbagai
peristiwa atau isu-isu sosial, ekonomi, dan politikyang memengaruhi
kehidupan nyata manusia. Proses hubungan sosial individu dengan individu
lain dan lingkungannya yang berjuang membentuk suatu konsep , hipotesis,
atau teori baru, pemahaman budaya, perilaku atau kebiasaan saling berbagi satu
sama lainnya dan menjadi perilaku dan budaya dalam aktivitas kesehariannya
juga merupakan fenomena yang dapat di teliti dengan metode kualitatif
(Afiyanti, 2014)
3.2 Subyek studi kasus
Yang dimaksud subjek penelitian adalah orang, tempat, atau benda yang
diamati dalam rangka pembumbutan sebagai sasaran (KBBI, 2013). Teknik
pengambilan sample dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling non
probability yaitu dengan purposive sampling. Teknik sampling non probability
adalah teknik yang tidak memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi

47
48

setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sample. Purposive
sampling adalah teknik pengambilan data dengan pertimbangan tertentu.
Sedangkan subjek studi kasus dalam tulisan ini adalah klien penderita
rematik yang bersedia menjadi partisipan dan mau diwawancarai serta bersedia
untuk dilakukan tindakan latihan rentang gerak.
1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat
mewakili dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel
(Notoatmodjo, 2010).
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Lansia yang memiliki umum 50-60 tahun
2. Bersedia menjadi partisipan
3. Memiliki diagnose medis rematik
4. Bersedia dinilai tingkat kekuatan otot
5. Memiliki penurunan derajat kekuatan otot
6. Bersedia untuk dilakukan latihan rentang gerak
2. Kriteria ekslusi
Kriteria ekslusi merupakan criteria dimana subjek penelitian tidak
dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sumple
penelitian (Notoatmodjo, 2010).
Kriteria ekslusi pada penelitian ini sebagai berikut :
1. Pasien yang meiliki umur di bawah 50 tahun
2. Tidak bersedia menjadi partisipan
3. Tidak memiliki diagnose medis rematik
4. Tidak bersedia dinilai tingkat kekuatan otot
5. Yang memilki nilai kekuatan otot normal
6. Tidak bersedia untuk dilakukan latihan rentang gerak
3.3 Fokus Studi
Fokus studi kasus adalah kajian utama dari masalah yang akan
dijadikan titik acuan studi kasus. Fokus studi adalah spesifikasi kasus dalam
suatu kejadian baik itu yang mencakup individu, kelompok budaya ataupun
suatu potret kehidupan (Crewesswell, 2010) dalam (Wakhidah, 2015)
49

Adapun fokus studi kasus penelitian ini adalah Upaya Peningkatan


Kekuatan Otot Dengan Pemberian Latihan Rentang Gerak Pada Lansia Yang
Mnderita Rematik.
3.4 Defenisi Oprasional
Definisi operasional adalah defenisi yang dibuat oleh peneliti tentang
fokus studi yang dirumuskan secara operasional yang akan digunakan pada
studi kasus dan bukan merupakan defenisi konseptual berdasarkan literatur
(Nursalam, 2010).
Definisi operasional pada penelitian ini adalah :
1. Upaya meningkatkan kekuatan otot adalah suatu tindakan atau usaha
yang dilakukan pada lanjut usia
2. Latihan rentang gerak adalah suatu intervensi keperawatan yang
dilakukan peneliti dalam upaya meningkatkan kekuatan otot pada lansia
yang menderita rematik.
3. Lanjut usia yang menderita rematik adalah seseorang yang berusia 50-
60 tahun yang memiliki riwayat rematik.
3.5 Instrumen Studi Kasus
Intrumen penelititan kualitatif adalah penelitian itu sendiri dibantu
instrumen lain yaitu pedoman wawancara, observasi. Peneliti sebagai
intrumen utama karena hanya peneliti yang dapat bertindak sebagai alat yang
ada dan responsif terhadap realitas karena bersifat komplek. Bekal informasi
awal, peneliti melakukan observasi secara mendalam melalui wawancara
dengan lansia (partisipan) serta melakukan observasi terhadap tingkat
kekuatan otot lansia yang menderita rematik. (Nawawi dan Martini, 2005)
dalam (Suktani, 2016)

Instrumen studi kasus adalah alat yang digunakan untuk menggali data
dilapangan.
1. Observasi dengan menggunakan lembar wawancara terstruktur
dengan menggunakan skala ya/tidak (skala guttman). Dan Kueisioner
(pengumpulan data secara formal untuk mejawab pertanyaan tertulis).
2. Lembar observasi untuk mengetahui tingkat kekuatan otot dengan
rentang gerak pada lanjut usia yang menderita rematik.
50

3.6 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpilan data menurut Afianti (2014) dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
3.6.1 Metode Wawancara
Wawancara pada penelitian kualitatif merupakan pembicaraan
yang mempunyai tujuan dan didahului beberapa pertanyaan informal.
Suatu wawancara yang berkualitas merupakan hubungan yang
berlangsung secara satu arah. Didalam pelaksanaan metode wawancara
ini, peneliti terlebih dahulu membuat instrumen lembaran wawancara
lalu melakukan wawancara kepada lansia yang menderita rematik di
wilayah kerja Puskesmas Caile Kec. Ujung Bulu Kab. Bulukumba.
3.6.2 Metode Observasi
Observasi adalah kata yang diturunkan dari bahasa latin yang
berarti ‘melihat’ dan ‘memperhatikan’. Kegiatan observasi meliputi
memerhatikan dengan seksama, termasuk mendegarkan, mecatat, dan
mempertimbangkan hubungan aspek pada fenomena yang sedang
diamati. Untuk metode observasi dalam penelitian ini, peneliti
membuat instrumen dalam bentuk lembar pengamatan yang mencakup
upaya peningkatan kekuatan otot dengan rentang gerak pada lansia
yang mederita rematik dengan SOP latihan rentang gerak yang dibuat
oleh peneliti.
3.6.3 Dokumentasi
Berupa foto-foto/vidio kegiatan pelaksanaan penelitian berupa
tindakan penanganan dan pencatatan penelitian, lembar permohonan
menjadi partisipan dan informed consent
3.7 Lokasi Dan Waktu Studi Kasus
3.7.1 Tempat penelitian
Tempat penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas
Caile Kec. Ujung Bulu Kab. Bulukumba.
3.7.2 Waktu penelitian
Judul penelitian ini di ajukan pada tanggal 19 Juli 2018,
pengambilan data awal dilakukan pada tanggal 20 juli 2018, setelah
51

disetujui proposal penelitian diajukan pada tanggal 31 Juli 2018 dan


penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2018.
3.8 Metode Analisa Data Dan Penyajian Data
3.8.1 Analisa Data
Analisa data adalah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode atau tanda dan mengkategorikannya
sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus masalah yang ingin
diawab (Sugiyono 2014).
Adapun metode analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah Domain Analisis yakni suatu metode analisa yang bertujuan
memberikan gambaran umum secara menyeluruh dari objek penelitian
(Sugiyono 2014).
Dalam metode Domain Analisis peneliti akan membaca naska
data yang telah diporoleh secara umum dan secara menyeluruh untuk
meperoleh domain pemberian rentang gerak pada lansia yang menderita
rematik. Selanjutnya hasil yang diperoleh disajikan dalam bentuk narasi
pada tahap hasi penelitian. Penyajian data dilakukan dalam bentuk
naratif partisipan disertai penjelasan (Riyanto, 2012).
3.8.2 Penyajian data
Penyajian data berguna untuk memudahkan penelitih melihat
gambar secara keseluruhan atau bagian tertentu dari peneliti. Batasan
yang diberikan dalam penyajian data adalah sekumpulan informasi
yang tersusun dan memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan dalam penelitian ini, penyajian
data diwujudkan dalam bentuk uraian, dan foto. Akan tetapi, paling
sering digunakan untuk memyajikan data dalam penelitian ini adalah
dengan teks naratif. (Sugiyono 2014).
Penyajian data merupakan salah satu kegiatan dalam pembuatan
laporan hasil penelitian yang telah dilakukan agar dapat dipahami dan
dianalisis sesuai dengan tujuan yang diinginkan (Riyanto, 2012).
52

3.9 Etika penelitian


Etika penelitian kualitatif menurut (Sugiyono 2014).
3.9.1 Persetujuan Setelah Penjelasan/Informed Consent dari Partisipan
Informed Consent sering kali menjadi masalah ketika
partisipan tidak dapat memperoleh penjelasan yang lengkap diawal
penelitian karena sifat dari penelitian kualitatif yang tentatif dan
eksploratorif.
3.9.2 Ketidaknyamanan Pasien
Posisi partisipan atau informan merupakan individu atau
kelompok yang rentang dapat membuat mereka berfikir bahwa
keikutsertaan dalam penelitian adalah suatu keharusan padaham
mereka tidak menginginkannya.
3.9.3 Kerahasiaan dan Aninimitas/Confidentiality Partisipan
Kerahasian partisipan dapat terancam karena deskripsi yang
rinci selama proses penelitian.

You might also like