You are on page 1of 13

GBS

A. Definisi
GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan)
dan Barré (baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun
1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima
perawatan medis. Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap
tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai
dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih sering ditemukan pada kaum
pria. Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran, ternfeksi
atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul
seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan.
Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis. ( Bosch, 1998 )

B. Etiologi
Paling banyak pasien-pasien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh adanya
infeksi, 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologik.
Pada beberapa keadaan. Dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedaha. Ini
juga dapat terjadi dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun,
cedera medula spinalis dan beberapa proses lain atau sebuah kombinasi
proses. Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga
mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang
dapat diterima oleh otot yang terserang. Karena banyak syaraf yang terserang
termasuk syaraf immune sistem maka sistem kekebalan tubuh kita pun akan
kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan menngeluarkan cairan sistem
kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak diinginkan. Dengan pengobatan
maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan bekerja
sebagaimana mestinya.
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa
keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan
terjadinya SGB, antara lain:
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik:
a. Keganasan
b. systemic lupus erythematosus
c. tiroiditis
d. penyakit Addison
e. Kehamilan atau dalam masa nifas SGB sering sekali berhubungan
dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi
saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.

Para ahli belum mengetahui penyebab pasti penyakit ini.


Namun diperkirakan karena saraf diserang oleh sistem
imun tubuhnya sendiri. Oleh karena itu penyakit GBS
disebut juga penyakit autoimun. Pada penyakit GBS, sistem
imun menyerang selaput saraf (selubing mielin). Hal ini
menyebabkan kerusakan saraf. Infeksi yang Mencetuskan
Penyakit GBS. Sistem imun mulai menyerang saraf sesudah
pasien mengalami infeksi bakteri atau virus. Biasanya
setelah infeksi pada paru – paru, lambung dan usus.
Infeksi yang mencetuskan penyakit GBS meliputi:
Campylobacter jejuni, yang menyebabkan keracunan
makanan. Mycoplasma , yang menyebabkan pneumonia.
Cytomegalovirus, yang menyebabkan demam, meriang,
sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar getah bening,
nyeri tubuh dan kelelahan.
Epstein Barr Virus (EBV), yang menyebabkan
mononukleosis. Varicella Zoster Virus , yang menyebabkan
cacar
Penyakit GBS bisa mempengaruhi semua orang namun yang
beresiko lebih besar pada: Pria Usia tua Selain karena
infeksi, keadaan yang bisa mencetuskan Penyakit GBS:
Pembedahan Limfoma hodgkin
Sumber: Penyakit GBS : Gejala, Penyebab, Pengobatan -
Mediskus

Penyakit GBS disebabkan oleh terjadinya kesalahan terhadap pengenalan sistem


imun terhadap antigen asing di jaringan saraf tuan rumah, sehingga sistem imun
menyerang jaringan selnya sendiri (auto-imun). Sasaran serangan kekebalan
tubuh tersebut dianggap Gangliosida (senyawa alami yang terdapat pada
jaringan saraf manusia). Sebanyak 60% kasus GBS tidak diketahui penyebebnya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian kecil kasus mungkin dipicu
oleh reaksi imun terhadap virus influenza dan juga infeksi oleh
bakteri Campylobacter jejuni.

Serangan auto-imun terhadap saraf perifer akan terjadi kerusakan pada Myelin,
lapisan lemak pada sel saraf, dan satu bagian sel saraf. Menyebabkan
kelumpuhan otot yang dapat disertai oleh kerusakan sensoris atau gangguan
saraf otonom.

Pada kasus sedang bagian fungsi saraf Axon tidak terganggu dan pemulihan
dapat terjadi dengan cepat jika remyelination (pembentukkan Myelin kembali).
Pada kasus yang lebih berat terjadi kerusakan pada bagian Axon dan proses
pemulihan tergantung pada regenarasi jaringan yang penting ini. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa sekitar 80% dari pasien GBS terjadi kerusakan
Myelin, dan 20% sisanya terjadi kerusakan pada Axon. Untuk mengetahui lebih
lanjut mengenai system saraf silahkan klik disini.

3. MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali
serangan yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti
spontan untuk kemudian pulih kembali. Perjalanan penyakit GBS dapat
dibagi menjadi 3 fase:
a. Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal
sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan
timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat
keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada
penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu
yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi
resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada
pengurangan nyeri serta gejala.
b. Fase plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah
berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi
yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu
dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai
di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan
istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya
didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan
sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung
mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum
dimulainya fase penyembuhan.

c. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan
dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi
antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur
menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini
ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta
mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf
yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul
relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan,
namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu
yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa
baal, gejala-gejala neurologi diawali dengan parestesia (kesemuatan dan
kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas
atas, batang tubuh dan otot wajah. Gejala awal antara lain adalah: rasa
seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki atau tangan atau mati rasa di
bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku atau mengeras, lengan
terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa menggenggam erat atau
memutar sesuatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dll).

Gejala lanjutan dari GBS yaitu antara lain sebagai berikut :


a. Kelemahan
1) Gambaran klinis klasik kelemahan adalah asenden dan simetris.
Anggota tubuh bagian bawah biasanya terlibat sebelum anggota
badan atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal dari
yang lebih distal. Batang tubuh, kelenjar, dan otot pernafasan
dapat dipengaruhi juga.
2) Kelemahan berkembang akut selama beberapa hari sampai
minggu. Keparahan bisa berkisar dari kelemahan ringan sampai
tetraplegia yang komplit dengan kegagalan ventilasi. Puncak
defisit dicapai oleh 4 minggu setelah pengembangan awal gejala.
Pemulihan biasanya dimulai 2-4 minggu setelah kemajuan
berhenti.
b. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe
lower motor neuron. Pada sebagian besar kelumpuhan di mulai dari
kedua eksremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan
anggota gerak atas dan saraf kranialis kadang-kadang juga bisa ke
empat anggota dikenai secara anggota kemudian menyebar ke badan
dan saraf kranialis.
c. Gangguan sensibilitas
Parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka
juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumolar. Defesit sensori objektif
biasanya minimal. Rasa nyeri otot sering di temui seperti rasa nyeri
setelah suatu aktivitas fisik.
d. Gangguan saraf kranialis
Yang paling sering di kenal adalah N.VI, kelumpuhan otot sering di
mulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga
bisa di temukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di
kenai kecuali N.I dan N.VIII. diplopia bisa terjadi akibat terkena N.IV
atau N.III. bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan
sukar menelan disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan
gangguan pernapasan karena paralis dan laringeus.
e. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS.
Gangguan tersebut berupa sinus takikardi, muka jadi merah (facial
flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktusi, hilangnya
keringat atau episodik profuse diphoresis. Retensi atau inkontenensia
urin jarang di jumpai. Gangguan otonom ini jarang menetap lebih dari
satu atau dua minnggu.

f. Kegagalan pernapasan.
Kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama yang dapat
berakibat fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan
pernapasan ini di sebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-
otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33% penderita.

GBS ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang


disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau
tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada
likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer. GBS merupakan
penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia pada
bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat ekstremitas
yang bersifat asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refleks
fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan
menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini
bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan
quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50 % kasus,
biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul
secara signifikan dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator
dalam bernafas. Anak anak biasanya menjadi mudah terangsang dan
progersivitas kelemahan dimulai dari menolak untuk berjalan, tidak
mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi tetraplegia .
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan
dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya
proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya
berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal. Rasa sakit dan
kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi. Terutama pada
anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih
dari 50% anak anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam
mendiagnosis. Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat
menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi,
hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest, facial flushing,
sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat. Hipertensi
terjadi pada 10 – 30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari
pasien. Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala
berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering ( 50% )
adalah bilateral facial palsy. Gejala gejala tambahan yang biasanya
menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan
alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat
menarik napas dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions).
6. PATOFISIOLOGI
Sindrom Guillain Barre akibat serangan autoimun pada myelin yang
membungkus saraf perifer. Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak.
Gejala GBS menghilang pada saat serangan autoimun berhenti dan akson
mengalami regenerasi. Apabila kerusakan badan sel terjadi selama serangan,
beberapa derajat distabilitas dapat tetap terjadi.
Otot ekstremitas bawah biasanya terkena pertama kali, dengan paralisis
yang berkembang ke atas tubuh. Otot pernafasan dapat terkena dan
menyebabkan kolaps pernafasan. Fungsi kardiovaskular dapat terganggu
karena gangguan fungsi saraf autonom (Corwin, 2009).
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan sistem imun
lewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat
antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah
limfosit yang berubah responnya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka
semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas
dan menyebabkan sistem penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua
saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya
merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau
hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axon telah
mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya
dimulai beberapa minggu setelah proses keradangan terjadi.
Dimielinasi merupakan keadaan dimana lapisan myelin hancur serta hilang
pada beberapa segmen. hal tersebut menyebabkan hilangnya konduksi saltatori
yang mengakibatkan penurunan kecepatan konduksi serta terjadinya hambatan
konduksi. Kelainan ini terjadi cepat namun reversibel karena sel Schwann
dapat berdegenerasi dan membentuk myelin baru. Namun pada banyak kasus,
demielinasi menyebabkan hilangnya akson dan deficit permanen (Djamil,
2010).
Secara umum, sindrom guillain-barre ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu:
a. Stadium Akut
Pada stadium ini penderita menunjukan kelemahan otot yang komplit
atau sedang berjalan.
b. Stadium Subakut
Pada fase ini ada pebaikan, umumnya setelah 1 sampai 2 bulan
c. Stadium Kronis
Jika penderita tidak menunjukan perbaikan motorik setelah lebih dari 6
bulan berarti terdapat kerusakan akson yang luas sampai menunggu
kesembuhan selanjutnya, program pencegahan imobilisasi lama harus
dilakukan sebaik-baiknya.

GBS merupakan suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan


beberapa nama lain yaitu, polineurutis akut, paralisis asenden Landry, dan
polineuropati inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik
asendens secara primer dengan berbagai gangguan fungi sensorik. GBS adalah
gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf primer, final common
pathway, untuk gerakan motorik juga terlibat.
Usaha untuk memisahkan agen penyebab infeksi tidak berhasil dan
penyebabnya tidak diketahui. Namun telah diketaui bahwa GBS bukan
penyakit herediter atau menular. Walaupun mungkin tidak terdapat peristirwa
pencetus, anamnesis pasien yang lengkap sering kali memperlihatkan suatu
penyakit virus biasa yang terjadi 1 hingga 3 minggu sebelum awitan
kelemahan motorik. Jenis penyakit lain yang mendahului sidrom tersebut
adalah infeksi pernapasan ringan atau infeksi GI. Pembedahan, imunisasi,
penyakit Hodgkin, atau limfoma lain, dan lupus eritomatosus. Keadaan yang
paling sering dilaporkan adalah infeksiCampylobacter jejuni yang secara khas
memyebabkan penyakit GI swasirna yang ditandai dengan diare, nyeri
abdomen, dan demam.
Akibat tersering dari kejadian ini dalam petologi adalah bahwa kejadian
pencetus (virus atau proses inflamasi) merubah dalam sistem saraf sehingga
sistem imun mengenali sistem tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit
T yang tersensitisasi dan amkrofag akan menyerang mielin. Selain itu limfosit
mengiduksi limfosit B untuk menghasilkan antibody yang menyerang bagian
tertentu daris selubung mielin, menyebabkan kerusakan mielin (NINDS,2000).
Akibatnya adalah cedera demielinasi ringan hingga berat yang
mengganggu konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang. (sebaliknya,
demielinasi pasda MS hanya terbatas pada sistem saraf pusat). Perubahan
patologi mengikuti pola yang tepat : infiltrasi limfosit terjadi dalam ruang
perivaskular yang berdekatan dengan saraf tersebut dan menjadi fokus
degenerasi mielin.
Demielinsi akson saraf perifer menyebabkan timbulnya gejala positif dan
negatif. Gejala positif adalah nyeri dan perestesia yang berasal dari aktivitas
impuls abnormal dalam serat sensoris atau “cross-talk” listrik antara akson
abnormal yang rusak. Gejala negatif adalah kelemahan atau paralisis otot,
hilangnya refleks tendon, dan menurunnya sensasi. Dua gejala negatif pertama
tersebut disebabkan oleh kerusakan akson motorik; yagn terakhir disebabkan
oleh kerusakan serabut sensorik.
Pada GBS, gejala sensorik cenderung ringan dan dapat terdiri dari rasa
nyeri, geli, mati rasa, serta kelainan sensasi getar dan posisi. Namun,
polineuropati merupakan motorik dominan dan temuan klienis dapat
bervarisasi mulai dari kelemahan otot hingga paralisis otot pernapasan yang
membutuhkan penanganan ventilator. Kelemahan otot rangka sering kali
sangat akut sehingga tidak terjadi atrofi otot, namun tonus otot hilang dan
mudah terdeteksi arefleksia. Kepekaan biasnya dirangsang dengan tekanan
yang kuat dan pemerasan pada otot. Lengan dapat menjdi kurus atau otot
lengan kurang lemah dibandingkan dengan otot tungkai. Gejala autonom
termasuk hipotensi postural, takikardi sinus, dan tidak kemampuan untuk
berkeringat. Bila saraf kranial terlibat, paralisis akan menyerang otot wajah,
okular, dan otot orofaringeal biasanya setelah keterlibatan lengan. Gejala saraf
kranial adalah palsi wajah dan kesulitan bicara, gangguan visual dan kesulitan
menelan. Istilah palsi bulbar kadang-kadang digunakan secara khusus untuk
peralisis rahang, faring, dan otot lidah yang disebabkan oleh kerusakan saraf
kranial IX, X, dan XI, yang berasal dari medula oblongata dan biasa
disebut bulb.

A. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot
yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau
bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan
adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang
meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin
ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak
ditemukan.
2. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar
protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian
jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik.
Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu
1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu.
Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada
sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein
dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul
hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH
(Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
3. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah
kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal
motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f
melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan
radiks saraf. Di samping itu untuk mendukung diagnosis
pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan
prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi
menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak
sembuh sempurna.
4. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1
– 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh
Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis.
Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit
tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein
biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan
pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang
kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic dissociation).
5. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika
dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI
akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar.
Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus SGB.
a. Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.
b. Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium
awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
8. KOMPLIKASI
GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien
dalam jangka waktu yang lama, dapat sampai 3 sampai 6 tahun setelah
onset penyakit. Kesembuhan biasanya berlangsung perlahan dan dapat
berlangsung bertahun-tahun. Baik pasien maupun keluarga pasien harus
diberitahu tentang keadaan pasien yang sebenarnya untuk mencegah
ekspektasi yang berlebihan atau pesimistik. Kesembuhan pasien
berlangsung selama tahun – tahun pertama, terutama enam bulan pertama,
tetapi pada sebagian besar pasien dapat sembuh sempurna pada tahun
kedua atau setelahnya.
Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa,
tetapi lebih sedikit pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada dewasa
lebih umum pada axonal GBS dan GBS yang berbahaya, misalnya pada
pasien dengan ventilator.
Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia
dan hipertensi ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih 20% dari pasien
dengan GBS. Gangguan lain yang signifikan adalah ileus dinamik,
hipontremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa bronchial.
Komplikasi yang dapat terjadi pada prognosis yang lanjut adalah
a. Kolaps pernafasan dan kardiovaskular yang dapat menyebabkan
kematian. Kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama yang
dapat berakibat fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan
pernapasan ini di sebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-
otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33% penderita.
b. Kelemahan beberapa otot dapat menetap
c. Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan
atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya
infeksi, trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh
tertentu, dan kontraktur pada sendi.
EMG Elektromiografi (EMG) adalah teknik yang digunakan untuk
mengevaluasi fungsi saraf dan otot dengan cara merekam aktivitas
listrik yang dihasilkan oleh otot skeletal. Ini merupakan tes penting
yang digunakan untuk mendiagnosis kelainan otot dan saraf.

You might also like