You are on page 1of 43

Kepada Yth:

dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A, M.Si Med

REFLEKSI KASUS
NEONATUS PRETERM DENGAN ASFIKSIA SEDANG DAN
HIPERBILIRUBINEMIA
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG

Disusun oleh:
Munhidotul Ummah
30101407254

Pembimbing :

dr. Zuhriah Hidajati, Sp. A, M.Si Med


dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A, M.Si Med
dr. Neni Sumarni, Sp. A
dr. Adriana Lukmasari, Sp. A
dr. Harancang Pandih Kahayana, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG

1
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Munhidotul Ummah

NIM : 30101407254

Universitas : Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Judul : Neonatus Preterm dengan Asfiksia Sedang

Pembimbing : dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A, M.Si Med

Semarang, Agustus 2018

Mengetahui dan Menyetujui Pembimbing Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Kesehatan Anak K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG

Pembimbing

dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A, M.Si Med

2
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : By Ny D
Tanggal lahir : 12/07/2018
Umur : 5 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Jl. Bukit Flamboyan RT 05/RW 24. Tegal
Tanggal masuk RS : 12 Juli 2018
Nomor Rekam Medis : 444XXX
Bangsal : Perina

ORANG TUA/WALI
Ayah Ibu
Nama : Tn. N Nama : Ny. D
Umur : 36 tahun Umur : 30 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : I.R.T
Agama : Islam Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa Suku Bangsa : Jawa

DATA DASAR
I. ANAMNESIS (Alloanamnesis)
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. D (ibu kandung pasien)
pada tanggal 18 Juli 2018 jam 11.00 WIB di bangsal Perinatologi, RSUD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang dan didukung dengan data rekam medis.
Keluhan Utama : Pernapasan tidak teratur.

Keluhan Tambahan : Tangis merintih dan kurang aktif.

3
Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu pasien G2P1A0, usia 30 tahun, hamil 36 Minggu, riwayat haid tidak teratur,
lama haid +/- 7 hari per siklus. Ibu rutin memeriksakan kehamilannya di dokter sebulan
sekali dan belum mendapatkan suntikan TT . Ibu mengeluh mual sejak trimester pertama,
namun tidak sampai ibu muntah-muntah hingga lemas. Pada saat mengandung, ibu sering
merasa pusing yang menghilang dengan sendirinya. Pada saat pemeriksaan USG usia
kehamilan 20 minggu. Dokter mengatakan bahwa ibu mengalami plasenta previa atau
plasenta letak rendah yang menutupi jalan lahir. Pada usia 32 minggu ibu melakukan
pemeriksaan USG yang ke 2 dengan hasil USG masih menunjukan plasenta previa, namun
belum ada tanda- tanda bahaya sehingga masih dipertahankan. Riwayat trauma lainnya
seperti jatuh, atau terantuk benda keras disangkal oleh ibu. Riwayat penyakit kencing
manis, darah tinggi dan perdarahan disangkal ibu. Selama kehamilan pasien tidak pernah
meminum obat-obatan selain vitamin dan suplemen penambah darah yang diberikan oleh
bidan. Riwayat dipijat disangkal oleh ibu. Pola makan selama kehamilan tidak mengalami
perubahan. Sehari-hari ibu rutin melakukan pekerjaan rumah, namun tidak pernah sampai
menyebabkan kelelahan yang berlebihan.
SMRS K.R.M.T wongsonegoro, pada tanggal 12-7-2018 jam 5.30 setelah sholat
subuh, ibu merasa keluar darah banyak dari alat vitalnya yang mengalir sampai ke kakinya.
Kemudian disertai perut mules dan terasa semakin kencang, lalu ibu langsung dibawa ke
Rumah Sakit pukul 06.00 , 3 jam kemudian tepatnya pada tanggal 12 Juli 2018 pukul
08:56 ibu melahirkan bayi secara sectio caesar atas indikasi Partus Prematur Imminens ec
Plasenta Previa oleh Dokter Jati, Sp.OG di RSUD Semarang. Saat lahir bayi lahir
merintih, ketuban jernih dan tampak sesak. Kemudian dilakukan resusitasi pada bayi,
napasnya masih sesak dan tidak teratur. Berat badan lahir 2110 gram, Panjang badan 45
cm, Lingkar kepala 32,5 cm, Lingkar dada 28,5 cm Suhu 36,7oC, detak jantung 150
x/menit, tanpa disertai murmur ataupun gallop, Respirasi 48x /menit, tidak teratur terdapat
retraksi dada dan nafas cuping hidung tanpa adanya wheezin dan ronkhi. . Apgar Score : 6
– 7 – 8, kemudian di Ruang IBS diberikan CPAP FiO2 40% FLOW6 PEEP 6 dan infus
D10%. Kemudian pasien dibawa ke NICU.
Di NICU
Pasien saat tiba di NICU pemeriksaan di didapatkan keadaan umum kurang aktif,
terlihat retraksi dada dan nafas cuping hidung , tidak ada sianosis. Tanda tanda vital yang
4
didapatkan denyut nadi 131 x/menit, Respirasi 57X/menit, suhu 36,4oC dan spO299%. Data
antopometri BB 2110 gram, PB 45 cm, LK 32cm dan LD 29 cm. Pasien terpasang
pemasangan CPAP Flow 6 PEEP 6 FiO2 40%. Pemeriksaan penunjang yang diusulkan
adalah pemeriksaan darah rutin, elektrolit dan gula darah sewaktu.

Riwayat Penyakit Dahulu (Ibu Pasien)


Riwayat diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung, asma, alergi, anemia dan
penyakit kelainan darah disangkal. Riwayat ibu dan suami menderita penyakit menular
seksual sebelum dan saat istrinya hamil disangkal. Ibu belum pernah mendapatkan vaksin
TT.
Kesan : belum pernah vaksin TT

Riwayat Kehamilan dan Pemeliharaan Prenatal


Ibu rutin memeriksakan kehamilannya di bidan atau dokter 1x tiap bulan. Selama
hamil ibu belum mendapatkan vaksin TT. Selama kehamilan pasien tidak pernah meminum
obat-obatan selain vitamin dan suplemen penambah darah yang diberikan oleh bidan.
Riwayat dipijat disangkal oleh ibu. Pola makan selama kehamilan tidak mengalami
perubahan. Sehari-hari ibu rutin melakukan pekerjaan rumah, namun tidak pernah sampai
menyebabkan kelelahan yang berlebihan.

Riwayat Persalinan
Lahir bayi laki-laki di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang secara sectio
caesar pada tanggal 12 Juli 2018 pukul 08:56. Ketuban berwarna jernih dengan berat badan
lahir 2110 gram, PB 45 cm, LK 32,5cm dan LD 28,5 cm. APGAR score 6 – 7 – 8, Bayi
merintih, tidak langsung menangis, tidak biru, dan tidak terdapat mekonium ataupun BAK.
Tidak ada caput suksadeneum dan cephal hematom. Mata tidak terdapat conjungtiva
anemis ataupun sklera ikterik. Pada hidung didapatkan adanya nafas cuping hidung tanpa
adanya sekret dan hasil suction berwarna jernih. Telinga tidak terdapat sekret dan tulang
rawan telinga tampak sempurna. Hasil pemeriksaan thoraks normal dengan denyut jantung
150 kali/menit tanpa disertai murmur ataupun gallop. Frekuensi nafas 48 kali/menit dengan
suara nafas vesikuler disertai adanya retraksi, tanpa adanya wheezin dan ronkhi. Nadi
teraba kurang kuat. Dilakukan resusitasi pada bayi, napasnya masih sesak dan tidak teratur.
5
Bayi kemudian dirawat di NICU dengan tindakan yang dianjurkan :
Cek Darah Rutin, GDS, GDT, dan Elektrolit
X-Foto Babygram.
Diberikan O2 Nasal 2 Lpm
Pemasangan CPAP Flow 6 PEEP 6 FiO2 40%.
Pemasanan infus umbilical :
D10 % 5 tpm.
Diberikan injeksi vit K 1 mg IM
Salep kloramfenikol ue ODS
Melakukan pemeriksaan antopometri
Memberikan identitas
Kesan : Neonatus preterm, asfiksia sedang,BBLR

Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak


-Pertumbuhan
- Berat badan lahir : 2110 gr.
- Panjang badan : 45 cm.
- Lingkar kepala : 32,5 cm.
- Lingkar dada : 28,5 cm.
-Perkembangan
- Belum dapat dinilai dan dievaluasi.

Riwayat Imunisasi
BCG :-
Polio :-
Hep B :-
Kesan : imunisasi dasar belum dilakukan.

Riwayat Keluarga Berencana


Ibu pernah menggunakan metode kontrasepsi suntik selama 1 tahun setelah kelahiran anak
pertamanya dan sudah berhenti menggunakan suntik 4 tahun yang lalu dan kini belum
mengikuti program kembali.
6
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta, sedangkan ibu pasien bekerja sebagai Ibu Rumah
Tangga. Biaya pengobatan saat ini menggunaan Askes
Kesan : Keadaan sosial ekonomi cukup.

II. PEMERIKSAAN FISIK ( 16 Juni 2018 Pukul 13:30)


Keadaan umum : Menangis kuat, edema berkurang, retraksi dada (-), kesadaran
compos mentis.
TandaVital : Tekanan darah :-
Heart Rate : 121 x/menit
Suhu : 37,0oC
RR : 40 x / menit
SpO2 : 98%
Data Antropometri
Bayi laki-laki, usia 1 hari
Berat Badan : 2110 gram
Panjang Badan : 45 cm
Lingkar kepala : 32,5 cm
Lingkar dada : 28,5 cm

Status Generalis
 Kepala : Normocephali, ukuran lingkar kepala 32,5cm, ubun ubun besar
tidak menonjol dan tidak cekung, Cerebral hematom (- )
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Refleks cahaya (+/+),
isokor (+/- 2mm)
 Telinga : Discharge (-/-)
 Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-)
 Mulut : Sianosis (-), trismus (-), labioschizis (-), palatoschizis (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)
 Thorax :
 Paru- paru :
7
 Inspeksi : Hemithorax dextra et sinistra simetris saat statis dan dinamis,
retraksi epigastrik (-), intercostal (-)
 Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Palpasi : tidak dilakukan.
 Perkusi : Sonor pada seluruh lapang
 Jantung :
 Inspeksi : Palpasi iktus kordis tampak
 Palpasi : Iktus kordis teraba
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen :
 Inspeksi : Datar, insersi tali pusat di tengah
 Auskultasi : Bising usus (-)
 Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
 Vertebra : Spina bifida (-), meningokel (-)
 Genitalia : Jenis kelamin laki-laki
 Anorektal : Anus (+), dalam batas normal
 Ekstremitas:
Superior Inferior
Sianosis (-/-) (-/-)
Edema (-/-) (-/-)
Akral dingin (-/-) (-/-)
Capillary refill time < 2”/ <2” <2”/<2”
Deformitas (-) (-)
 Kulit : Sianotik (-), pucat (-), kemerahan, icterus kremer 3

8
 Reflex Primitive :
 Refleks rooting : (+)
 Palmar grasp : (+)

 APGAR SCORE (Menit pertama, Kelima dan kesepuluh usia bayi)

9
Total APGAR Score :
Menit Pertama :6
Menit Kelima :7
Menit Kesepuluh :8

10
 Ballard Score

Skor Ballard 30 Setara dengan usia kehamilan 36 Minggu

11
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium ( Pada Tanggal : 16 – 06 – 2018 )

HEMATOLOGI Hasil Satuan Nilai Normal

Hemoglobin 12.2 g/dl 14-24


Hematokrit L 34.60 % 35-47
Jumlah leukosit 9.2 /uL 9.4-34
Jumlah trombosit H 452 /uL 150-400
KIMIA KLINIK
Bilirubin direk H 0,59 Mg/dL 0.0-0.35
Bilirubin total H 16.52 Mg/dL 0.0-1.00
Bilirubin indirek H 15.93 Mg/dL 0.0-0.55
Albumin 3.8 g/dL 3.4-4.8
Natrium 137.0 mmol/L 135.0-147.0
Kalium H 5.40 mmol/L 3.50-5.0
Calsium 1.26 mmol/L 1.12- 1.22

2. Hitung Jenis Sel Darah Putih ( Pada Tanggal : 12 – 07 – 2018 )


JENIS SEL Hasil Normal Hasil / 100 SDP
Eosinofil 1-3 0
Basofil 0-1 0
Batang 3-5 4
Segmen 54-62 54
Limfosit 20-45 33
Monosit 2-8 4

Sel Blast (-)

12
Promielosit (-)
Mielosit (2)
Metamielosit (3)
SEL-SEL TAK LAZIM
Eritoblas (13/100leko)
LPB (-)
N.hipersegmentasi (-)
Sel smudge (-)
Sel Rieder (-)
Sel IM (-)
Sel AMN (-)

LAIN-LAIN
PARASIT
Malaria (-)
Mikrofilaria (-)
Toxoplasma (-)

3. Gambaran Sel Darah Tepi ( Pada Tanggal : 12 – 07 – 2018 )


SDM (Eritrosit)
Normositik : (+)
Normokromik : (+)

Anisositosis : Ringan
Poikilositosis : Ringan

Hipokromasi : (-)
Polikromasi : (+)

Mikrosit : (-)
Makrosit : (+)
13
Sel Mikro hipokromik: (-)

Sel Ovalosit : (+)


Eliptosit : (-)
Stereosit : (+)
Fragmentosit : (-)
Sel Cerutu/pensil : (-)
Sel target : (-)
Sickle cell : (-)
Burr Cell : (-)
Akantosit : (-)
Tear drop cell : (+)
Sel krenasi : (-)
Rouleaux : (-)
Stomatosit : (-)
Pear Shape Cell : (+)

TROMBOSIT
Estimasi / Kesan Jumlah : Normal
Bentuk / Ukuran : Didominasi bentuk normal
Trombosit besar : (+)
Giant platelet : (+)

SDP (Leukosit)
Estimasi / Kesan Jumlah : Menurun
Bentuk Tubuh : shift to the left, netrofilia
Granula toksik : (+)
Agranula PMN : (-)
Vakuolisasi : (-)
Hipersegmentasi : (-)
Anomali Pelger Huet : (-)
Batang Auer : (-)
14
Badan Dohle : (-)

HASIL PEMBACAAN PREPARAT DARAH TEPI


ERITROSIT : Anisositosis ringan (makrositik, normositik)
Poikilositosis ringan (ovalosit, pear shape cell, sel target), ditemukan adanya
polikromasi, eritrosit muda/ eritrosit berinti.
LEUKOSIT : Estimasi jumlah tampak menurun.
Ditemukan peningkatan sel-sel immature granulosit (shift to the left)
Ditemukan granulasi toksik pada segmen netrofil
TROMBOSIT : Estimasi jumlah tampak normal, bentuk besar (+), giant trombosit (+)
didominasi trombosit dengan ukuran normal.
KESAN :
1. Ditemukan banyak eritrosit muda/ eritrosit berinti
DD/ perdarahan
Infeksi/sepsis
2. Leukopeni dengan Gambaran Shift to the left serta gambaran granulasi toksik pada
segmen netrofil.
DD/ Infeksi bakteri
Sepsis
3. Peningkatan aktifitas trombosit (trombosit bentuk besar dan giant trombosit (+)
DD/ Infeksi
Perdarahan
SARAN:
- Pemeriksaan fungsi hati
- Monitoring hematologi rutin

15
4. X Foto Baby Gram

COR : Ukuran, bentuk dan letak normal.


Pulmo : Corakan vaskuler meningkat.
Tampak bercak pada perihiler dan pericardial paru.
Diafragma dan sinus costophrenicus kanan kiri normal.
Udara usus normal, tak tampak dilatasi dan distensi usus.
Tak tampak free air

16
KESAN :
Cor : Konfigurasi Normal
Pulmo : Gambaran neonatal pneumoni
Abdomen : tak tampak kelainan

IV RESUME
Lahir bayi laki-laki di RSUD secara sectio caesaria pada tanggal 12 Juli
2018 pukul 08:56 WIB, ketuban berwarna jernih dengan Berat badan lahir 2110 gram,
Panjang badan 45 cm, Lingkar kepala 32,5 cm, Lingkar dada 28,5 cm Suhu 36,7oC, detak
jantung 150 x/menit, Respirasi 48x /menit, tidak teratur dan Apgar Score : 6 – 7 – 8.
Kemudian diberikan O2 kanul dan infus D10%, Pemasangan CPAP Flow 6 PEEP 6 FiO2
40%. Pemeriksaan penunjang yang diusulkan adalah pemeriksaan darah rutin, elektrolit
dan gula darah sewaktu.
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan warna kulit kekuningan kremer 3. Dari
pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan Hematokrit (L) 34.60, Trombosit (H) 452,
K (H) 5.40 Mmol/L, Bilirubin total (H) 16.52 mg/dL, bilirubin direk (H) 0,59 mg/dL, dan
Bilirubin indirek (H) 15.93 mg/dL. Hasil pembacaan darah tepi didapatkan kesan infeksi
bakteri. Hasil X Babygram pada pulmo didapatkan gambaran neonatal pneumonia,
sedangkan pada abdomen tidak didapatkan kelainan.

V. DIAGNOSIS BANDING
Asfiksia sedang
- Intrapulmonal
 Neonatal pneumonia
 HMD (Hyalin Membrane Disesase)
 Sindrom Aspirasi Mekonium (SAM)
- Ekstrapulmonal
 Hipotermi
 Hipoglikemi
 Gagal jantung
 Corpus alienum
Hiperbilirubinemia
17
- Prehepatik
 Infeksi
 Kelainan darah
 Kelainan enzim
- Hepatik
 Infeksi
- Post Hepatik
 Obstruksi

VI. DIAGNOSIS KERJA


Neonatus preterm dengan afiksia sedang dan hiperbilirubinemia
Diagnosis utama : Asfiksia sedang.
Diagnosis sekunder : Hiperbilirubinemia.
Diagnosis komplikasi :-
Diagnosis gizi : BBLR.
Diagnosis social ekonomi : Cukup.
Diagnosis Imunisasi : Imunisasi dasar belum dilakukan.
Diagnosis Perkembangan : Perkembangan belum dapat dinilai.

VII. TATALAKSANA
1. Asfiksia
- Resusitasi
2. Hiperbilirubinemia

18
- Garis ambang yang digunakan adalah garis ambang untuk neonatus usia 35 – 37
minggu dengan disertai faktor resiko. Faktor resiko yang terdapat pada pasien adalah
asfiksia.
- cut off point dari usia 96 jam, pada higher risk adalah 14, pada pasien ini 16,52 (lebih
tinggi± 2 dari nilai cut off point) sehingga dipertimbangkan terapi sinar konvensional
dirumah, tetapi karena pasien memiliki faktor resiko berupa asfiksia sehingga
dilakukan perawat dengan pemberian foto terapi di RS.
- Fototerapi hingga kadar bilirubin serum di bawah nilai ambang atau sampai bayi
terlihat baik dan tidak kuning
3. Infeksi
- Ampicilin 225 mg/6 jam
- Gentamicin 15 mg/24 jam
Antibiotik.
- Diberikan Ampicillin (dosis 50 mg/kgBB/12 jam).
BB : 2.110 gram.
2,110 x 50 = 105,5 mg/12jam IV
- Diberikan Gentamicin (dosis 2,5 mg/kgBB/18 jam).
BB : 2.110 gram

19
2,110 x 2,5 = 5,275 ml/18 jam.
0,293 tpm 0,3 tpm.

4. Terapi Penunjang
- Diberikan infus D10% dengan dosis 60 ml/kgbb/hari.
60 x 2,110= 126,6 ml/hari.
- - Terapi maintenance :
NaCl 60 ml/kgBB/hari.
60 X 2,110 = 126,6 ml/hari

5. Initial Plan Monitoring


- Monitoring kadar bilirubin total serum.
- Monitoring nafas, tanda-tanda asfiksia.
- Monitoring asupan ASI yang adekuat minimal 8 kali sehari.
- Monitoring suhu tubuh pasien.

VIII. EDUKASI
1. Mengedukasi keluarga bahwa kondisi pasien membutuhkan pengawasan dan perawatan
khusus.
2. Menjaga kehangatan bayi.
3. Merawat tali pusat
4. Pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan, berikan 2-3 jam sekali. ASI harus diteruskan
dan diberikan sesering mungkin.
5. Ibu harus membersihkan puting susu sebelum dan sesudah menyusui. Jika ibu
menggunakan botol susu, pastikan botol susu dalam keadaan bersih dan harus selalu dicuci
serta direbus sebelum digunakan.
6. Mengedukasi ibu untuk menyusui dengan benar.
7. Lakukan pemeriksaan bayi secara rutin ke pusat pelayanan kesehatan terdekat untuk
memantau tumbuh kembang bayi serta pemberian imunisasi dasar.
8. Cepat datang ke pelayanan kesehatan terdekat apabila ditemukan :
- Masalah bernafas
20
- Merintih
- Tampak kebiruan
- Suhu tubuh > 38oC
- Tersedak atau mengeluarkan ASI dari hidung saat menyusui
- Muntah atau BAB berlebihan dengan konsistensi cari (>3x/hari)
- Mengeluarkan darah saat buang air besar atau buang air kecil
- Kejang

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

21
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asfiksia

2.1.1. Definisi Asfiksia

Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan gawat bayi berupa kegagalan

bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai

hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Konsekuensi fisiologis yang

terutama terjadi pada asfiksia adalah depresi susunan saraf pusat dengan kriteria

menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008 didapatkan adanya

gangguan neurologis berupa hypoxic ischaemic enchepalopaty (HIE), akan tetapi

kelainan ini tidak dapat diketahui dengan segera.

Keadaan asidosis, gangguan kardiovaskuler serta komplikasinya sebagai

akibat langsung dari hipoksia merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi

baru lahir. Kegagalan ini juga berakibat pada terganggunya fungsi dari masing-

masing jaringan dan organ yang akan menjadi masalah pada hari-hari pertama

perawatan setelah lahir.

22
2.1.2 Etiologi

Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama

kelahiran kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila didapati adanya

gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan

berakibat asfiksia janin. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan,

persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir

merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama masa

kehamilan dan persalinan memegang peranan penting untuk keselamatan bayi.

Gomella (2009) yang dikutip dari AHA dan American Academy of

Pediatrics (AAP) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada

bayi yang terdiri dari

1. Faktor ibu :

a. Hipoksia ibu : hal ini berakibat pada hipoksia janin. Hipoksia ibu dapat

terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesia

lain.

b. Ganggguan aliran darah uterus : berkurangnya aliran darah pada uterus

akan menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin.

2. Faktor plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi

plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada

plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.

3. Faktor janin

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam

pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan
23
janin. Hal ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali

pusat melilit leher dan lain-lain.

4. Faktor neonatus

Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa

hal, yaitu :

a. pemakaian obat anestesi dan analgesia yang berlebihan

b. trauma persalinan

c. kelainan kongenital bayi seperti hernia diafragmatika, atresia saluran

pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.18

2.1.3. Patofisiologi

Proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat

sementara, proses ini dianggap perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat

pernafasan agar terjadi primary gasping yang kemudian berlanjut dengan

pernafasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh buruk karena reaksi

adaptasi bayi dapat mengatasinya. Kegagalan pernafasan mengakibatkan gangguan

pertukaran oksigen dan karbondioksida sehingga menimbulkan berkurangnya

oksigen dan meningkatnya karbondioksida, diikuti dengan asidosis respiratorik.

Apabila proses berlanjut maka metabolisme sel akan berlangsung dalam suasana

anaerobik yang berupa glikolisis glikogen sehingga sumber utama glikogen

terutama pada jantung dan hati akan berkurang dan asam organik yang terjadi akan

menyebabkan asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan

kardiovaskular yang disebabkan beberapa keadaan di antaranya :

a. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi

jantung
24
b. Terjadinya asidosis metabolik mengakibatkan menurunnya sel jaringan

termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung.

c. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat menyebabkan tetap tingginya

resistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan sistem

sirkulasi tubuh lain mengalami gangguan.

Sehubungan dengan proses faali tersebut maka fase awal asfiksia ditandai

dengan pernafasan cepat dan dalam selama tiga menit (periode hiperpneu) diikuti

dengan apneu primer kira-kira satu menit di mana pada saat ini denyut jantung dan

tekanan darah menurun. Kemudian bayi akan mulai bernafas (gasping) 8-10

kali/menit selama beberapa menit, gasping ini semakin melemah sehingga akhirnya

timbul apneu sekunder. Pada keadaan normal fase-fase ini tidak jelas terlihat

karena

setelah pembersihan jalan nafas bayi maka bayi akan segera bernafas dan

menangis kuat. pemakaian sumber glikogen untuk energi dalam metabolisme

anaerob menyebabkan dalam waktu singkat tubuh bayi akan menderita

hipoglikemia. Pada asfiksia berat menyebabkan kerusakan membran sel terutama

sel susunan saraf pusat sehingga mengakibatkan gangguan elektrolit, berakibat

menjadi hiperkalemia dan pembengkakan sel. Kerusakan sel otak terjadi setelah

asfiksia berlangsung selama 8- 15 menit.

Manifestasi dari kerusakan sel otak dapat berupa HIE yang terjadi setelah

24 jam pertama dengan didapatkan adanya gejala seperti kejang subtel, multifokal

atau fokal klonik. Manifestasi ini dapat muncul sampai hari ketujuh dan untuk

penegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi

kepala dan rekaman elektroensefalografi.

25
Menurun atau terhentinya denyut jantung akibat dari asfiksia

mengakibatkan iskemia. Iskemia akan memberikan akibat yang lebih hebat dari

hipoksia karena menyebabkan perfusi jaringan kurang baik sehingga glukosa

sebagai sumber energi tidak dapat mencapai jaringan dan hasil metabolisme

anaerob tidak dapat dikeluarkan dari jaringan.

Iskemia dapat mengakibatkan sumbatan pada pembuluh darah kecil setelah

mengalami asfiksia selama lima menit atau lebih sehingga darah tidak dapat

mengalir meskipun tekanan perfusi darah sudah kembali normal. Peristiwa ini

mungkin mempunyai peranan penting dalam menentukan kerusakan yang menetap

pada proses asfiksia.

2.1.4 Diagnosis

Neonatus yang mengalami asfiksia neonatorum bisa didapatkan riwayat

gangguan lahir, lahir tidak bernafas dengan adekuat, riwayat ketuban bercampur

mekoneum. Temuan klinis yang didapat pada neonatus dengan asfiksia neonatorum

26
dapat berupa lahir tidak bernafas/megap-megap, denyut jantung

<100x/menit, kulit sianosis atau pucat dan tonus otot yang melemah.

Secara klinis dapat digunakan skor APGAR pada menit ke-1, 5 dan 10

untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan derajat asfiksia secara cepat..

Skor APGAR merupakan metode obyektif untuk menilai kondisi bayi baru

lahir dan berguna untuk memberikan informasi mengenai keadaan bayi

secara keseluruhan dan keberhasilan tindakan resusitasi. Walaupun

demikian, tindakan resusitasi harus dimulai sebelum perhitungan pada

menit pertama. Jadi skor APGAR tidak digunakan untuk menentukan

apakah seorang bayi memerlukan resusitasi, langkah mana yang

dibutuhkan atau kapan kita menggunakannya. Ada tiga tanda utama yang

digunakan untuk menentukan bagaimana dan kapan melakukan resusitasi

(pernapasan, frekuensi jantung, warna kulit) dan ini merupakan bagian

dari skor APGAR. Dua tanda tambahan (tonus otot dan refleks

rangsangan) menggambarkan keadaan neurologis. Skor APGAR biasanya

dinilai pada menit 1 kemudian pada menit ke 5. Jika nilainya pada menit

ke 5 kurang dari 7, tambahan penilaian harus dilakukan setiap 5 menit

sampai 20 menit. Walaupun skor APGAR bukan merupakan nilai

prediksi yang baik untuk hasil, akan tetapi perubahan nilai yang terjadi
27
pada saat resusitasi dapat menggambarkan bagaimana bayi memberikan

respon terhadap tindakan resusitasi.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis gas darah,

di mana pada neonatus dengan asfiksia neonatorum didapatkan PaO2 < 50

mmH2O, PaCO2 > 55 mmH2O, pH < 7,3.

WHO pada tahun 2008 sudah menambahkan kriteria dalam

penegakkan diagnosis asfiksia selain berdasarkan skor APGAR dan

adanya asidosis metabolik, ditambahkan adanya gangguan fungsi organ

berupa gejala neurologis berupa HIE, akan tetapi penegakkan diagnosis

HIE tidak dapat dilakukan dengan segera dan terdapat berbagai

keterbatasan dalam aplikasinya di komunitas. Hal ini membuat diagnosis

asfiksia secara cepat di komunitas menggunakan kriteria penilaian adanya

gangguan pada pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit ditunjang

dengan hasil analisa gas darah yang menunjukkan asidosis metabolik.

2.1.5 Penyulit Asfiksia

Asfiksia Neonatorum dapat berakibat gangguan pada berbagai

jaringan dan organ, kematian atau sekuele akibat terjadinya proses

28
penyembuhan disfungsi organ yang berlangsung lama. Manifestasi yang

didapatkan :

1. Depresi neonatus saat lahir akibat asidosis dan rendahnya nilai

APGAR

2. HIE

3. Disfungsi sistem multiorgan

a. gangguan fungsi ginjal, ditandai dengan oliguria dan

meningkatnya kreatinin

b. kardiomiopati

c. gangguan fungsi paru seperti hipertensi pulmonal

d. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

e. Kegagalan fungsi hati

f. Necrotizing Enterocolitis (NEC)

4. Abnormalitas cairan, elektrolit dan metabolism

2.1.6 Penanganan Asfiksia

29
30
31
32
33
A. Hiperbiliruinemia.
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total ≥ 5
mg/dL (86 µmol/L). Ikterus atau jaundice adalah warna kuning pada kulit,
konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan bilirubin tak terkonjugasi pada
jaringan. Ikterus pada neonatus akan terlihat bila kadar bilirubin serum > 5
mg/dL. Istilah hiperbilirubinemia sering disalahartikan sebagai ikterus berat
yang membutuhkan terapi segera, Sesungguhnya hiperbilirubinemia dan
ikterus / jaundice merupakan terminologi yang merujuk pada keadaan yang
sama.
Hiperbilirubinemia adalah keadaan transien yang sering ditemukan baik
pada bayi cukup bulan (50 – 70 %) maupun bayi prematur (80 – 90 %).
Sebagian besar hiperbilirubinemia adalah fisiolois dan tidak membutuhkna
terapi khusus, tetapi karena potensi toksik dari bilirubin maka semua neonatus
harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia
yang berat. Hiperbilirubinemia seringkali dianggap menakutkan, baik oleh
dokter maupun keluarga sehingga dibuthkan panduan yang jelas agar tidak
terjadi overtreatment maupun underdiagnosis. Pemahaman yang baik
mengenai patofisiologi dan tata laksana hiperbilirubinemia dapat
meminimalisis hal-hal yang tidak diharapkan, seperti kecemasan, penghentian
menyusui, terapi yang tidak perlu, dan biaya yang berlebihan.
Penyebab hiperbilirubinemia :
1. Hiperbilirubinemia fisiologis.

34
Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (uncinjugated bilirubin, UCB)
pada neonatus cukup bulan dapat mencapai 6 – 8 mg/dL pada usia 3
hari, setelah itu berangsur turun. Pada bayi prematur, awitan ikterus
terjadi lebih dini, kadar bilirubin naik perlahan tetapi dengan kadar
puncak lebih tinggi, serta memerlukan waktu lebih lama untuk
menghilang, mencapai 2 minggu. Kadar bilirubin pada neonatus
prematur dapat mencapi 10 – 12 mg/dL pada hari ke – 5 dan masih
dapat naik mencapai > 15 mg/dL tanpa adanya kelainan tertentu.
Kadar bilirubin akan mencapai < 2 mg/dL setelah usia 1 bulan, baik
pada bayi cukup bulan maupun prematur. Hiperbilirubinemia
fisiologis dapat disebabkan beberapa mekanisme :
a. Peningkatan produksi bilirubin, yang disebabkan oleh :
- Masa hidup eritrosit yang lebih singkat.
- Peningkatan eritropeiesisinefektif.
b. Peningkatan sirkulasi enterohepatik.
c. Defek uptake bilirubin oleh hati.
d. Defek konjugasi karena aktivitas uridin difosfat transferase
(UDPG-T) yang rendah.
e. Penurunan ekskresi hepatik.
2. Hiperbilirubinemia Nonfisiologis.
Keadaan di bawah ini menandakan kemungkinan hiperbilirubinemia
nonfisiologis dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut :
- Awitan ikterus sebelum usia 24 jam.
- Peningkatan bilirubin serum yang membutuhkan fototerapi
(menggunakan kurva AAP).
- Peningkatan bilirubin serum > 5 mg/dL/24 jam.
- Kadar bilirubin terkonjugasi > 2 mg/dL.
- Bayi menunjukan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum,
penurunan berat bdan, apneu, takipneu, dan instabilitas suhu)
- Ikterus yang menetap > 2 minggu.

Diagnosis.

Anamnesis.

- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi


glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD).
- Riwayat kelaurga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia, defisiensi alfa-I-antitripsin, tirosinosis, hipermetioninemia,
penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe I dan II, atau fibrosis kistik.
- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada
kemungkinan inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice.

35
- Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus
atau toksoplasma.
- Riwayat obat –obatan yang dikonsumsi Ibu, yang berpotensi menggeser
ikatan bilirubin dengan albumin (solfuamina) atau mengakibatkan
hemolisis pada bayi dengan defisiensi G6PD (sulfoamida, nitrofurantoin,
antimalaria).
- Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan
atau hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang
disebabkan ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat
perdarahan intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan
polisitemia neonatal dan peningkatan bilirubin.
- Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
direk berkepanjangan.
- Pemberian Air Susu Ibu (ASI).
Harus dibedakan antara breat-milk jaundice dan breastfeeding jaundice.
a. Breastfeeding Jaundice.
Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh
kekurangan asupan ASI. Biasanya timbula pada hari ke – 2 atau ke – 3
pada waktu produksi ASI belum banyak. Untuk neonatus cukuo bulan
sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak
perlu dikhawatirkann, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat,
glikogen, dan cairan yang dapat memempertahankan metabolisme
selama 72 jam. Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu
terjadinya hiperbilirubinemia yang disebabkan oeningkatan sirkulasi
enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak
selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja
merupakan hiperbilirubinemia dfisiologis.
b. Breast-milk Jaundice.
Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh Air Susu
Ibu (ASI). Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2 – 4 %. Pada
sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke – 4, tetapi pada
breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20 –
30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun
secara drastis dalam 48 jam. Bilas ASI diberikan kembali, maka
bilirubin akan kembali naik tetapip pada umumnya tidak akan setinggi
sebelumnya. Bayi menunjukkan pertambahan berat badan yang baik,
fungsi hati normal, dan tikda terdapat bukti hemolisis. Breast-milk
jaundice dapat ebrulang (70 %) pada kehamilan berikutnya.
Mekanisme sesungguhnya yang menyebabkan breast-milk jaundice
belum diketahui, tetapi diduga timbul akibat terhambatnya urisine
diphosphoglucoronic acid glucoronyl transferase (UDPGA) oleh hasil

36
metabolisme progesteron, yaitu pregane-3-alpha 2-beta-diol yang ada
di dalam ASI sebagian Ibu.

Pemeriksaan Fisik.

Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna


kulit setelah dialkukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik
dilakukan menggunakan cahaya matahai. Ikterus dimulai dari kepala dan
meluas secara sefalokaudal. Walaupun demikian inspeksi visual tidak dapat
dijadikan indikator yang andal untuk memprediksi kadar bilirubin serum.

Hal – hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisik :

- Prematuritas.
- Kecil masa kehamilan, kemungknan berhubungan dengan polisitemia.
- Tanda infeksi intrauterine, misalnya mikrosefali, kecil masa
kehamilan.
- Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematome.
- Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah
ekstravaskular.
- Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau
eritroblastosis.
- Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi
kongenital, atau penyakit hati.
- Omphalitis.
- Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital.
- Tanda hipotiroid.

Pemeriksaan Penunjang.

- Bilirubin serum total.


Bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa bila ikterus menetap
sampai usia > 2 minggu atau dicurigai adanya kolestasis.
- Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat
morfologi eritrosit dan ada tidaknya hel=molisis. Bila fasilitas tersedia,
lengkapi dengan hitung retikulosit.
- Golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test dari Ibu dan bayi
untuk mencari penyakit hemolitik. Bayi dari Ibu dengan rhesus negatif
harus menjalani pemeriksaan golongan darah, Rhesus, dan direct
Coombs’ test segera setelah lahir.
- Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
- Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hari,
pemeriksaan urine untuk mencari infeksi saluran kemih, serta

37
pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital, sepsis, defek
metabolik, atau hipotiroid.

Tatalaksana.

Tatalaksana yang dibicarakan dalam bab ini adalah tatalaksana untuk


hiperbilirubinemia indirek, yang disebabkan bilirubin tak terkonjugasi. Tata
laksana mengenai hiperbilirubinemia direk dibicarakan pada bab lain.

Prinsip umum tata laksana hiperbilirubinemia adalah berdasarkan etiologi,


yaitu sebagai berikut.

- Semua obat atau faktor yang mengganggu metabolisme bolirubin,


ikatan bilirubin dengan aklbumin, atau inetritas sawar darah – otak
harus dieliminasi.
- Breastfeeding jaundice.
Tatalaksana meliputi :
a. Pantau jumlah ASI yang diberikan, apakah sudah mencukupi atau
belum.
b. Pemberian ASI sejak lahir minimal 8 kali sehari.
c. Pemantauan kenaikan berat bdan serta frekuensi buang air kecil
dan buang air besar.
d. Jika kadar bilirubin mencapi 15 mg/dL, perlu dilakukan
penambahan volume cairan dan stimulasi produksi ASI dengan
melakukan pemerasan payudara.
e. Pemeriksaan kompinen ASI dilakukan bila hiperbilirubinemia
menetap > 6 hari, kadar bilirubin > 20 mg/dL, atau riwayat terjadi
breastfeeding jaundice pada anak sebelumnya.
- Breast-milk Jaundice.
Terdapat dua pendapat mengenai tata laksana breast-milk jaundice.
Kedua pilihan ini beserta untung – ruginya harus dijelaskan secara
lengkap kepada orang tua dan orang tua dilibatkan dalam mengambil
keputusan.
a. American Academy of Pediatrics tidak menganjurkan penghentian
ASI dan merekomendasikan agar ASI terus diberikan.
b. Gartner dan Aurbach menyarankan penghentian ASI sementara
untuk memberi kesempatan bagi hari mengkonjugasi bilirubin
indirek yang berlebihan. Apabila kadar bilirubin tidak turun makan
penghentian ASI dilanjutkan sampai 24 jam dan dilakukan
pengukuran kadar bilirubin tiap 6 jam. Bila kadar bilirubin tetap
emningkat setelag penghentian ASI selama 24 jam, maka jelas
penyebabnya bukan ASI. Air Susu Ibu (ASI) kembali diberikan
sambil mencari penyebab hiperbilirubinemia yang lain. Jadi
38
penghentian ASI untuk semntara adalah untuk menegakkan
diagnosis.

Panduan terapi sinar untuk breastfeeding jaundice dan breast-milk


jaundice mengacu pada diagram berikut.

Keterangan :
- Bilirubin yang digunakan adalah bilirubin serum total. Jangan
menggunakan nilai nilirubin tak terkonjugasi ataupun bilirubin
terkonjugasi,
- Faktor resiko : penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD,
asfiksia, letargi, instabilitas suhu, sepsis, asidosis, atau albumin < 3
g/dL.
- Untuk bayi dengan usia gestasi 35 – 37 6/7 minggu, digunakan
kurva resiko medium (medium risk). Untuk bayi dengan usia
gestasi mendekati 25 minggu, dapat dipertimbangkan untuk
mengintervensi pada kadar bilirubin serum total yang lebih rendah
dari cut-off point, sedangkan untuk bayi dengan usia gestasi 37 6/7
minggu dapat dipertimbangkan untuk emngintervensi pada kadar
bilirubin serum total yang lebih tinggi dari cut-off point.

39
- Pada kadar bilirubin serum total lebih rendah 2 – 3 mg/dL dari cut-
off point, dapat dipertimbangkan terapi sinar konvensional di
rumah. Namun , terapi sinar di rumah tidak boleh dilakukan pada
bayi yang memiliki faktor resiko.

Panduan untuk terapi sinar dan transfusi tukar

untuk bayi dengan usia gestasi ≥ 35 minggu yang dianut di


Departemen IKA FKUI/RSCM mengacu pada diagram yang diajukan
oleh American Academy of Pediatrics (AAP) tahun 2004, sedangkan
tata laksanan untuk neonatus kurang bulan dapat dilihat pada tabel
berikut.

Diagram untuk transfusi tukar :

Keterangan :

- Transfusi tukar segera direkomendasikan untuk bayi yang


menunjukkan tanda ensefalopati bilirubin akut (hipertoni,
arching, retrocollis, opistotonus, demam, high pitch cry) atau bila
bilirubin serum total ≥ 5 mg/dL di atas garis yang ditentukan.
40
- Faktor resiko : penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD,
asfiksia, letargi, instabilitas suhu, sepsis, asidosis.
- Periksa albumin serum dan hitung rasio bilirubin/albumin.
- Bilirubin yang digunakan adalah bilirubin serum total.

Pencegahan.

- Setiap bayi baru lahir harus dievaluasi terhadao kemungkinan


mengalami hiperbilirubinemia berat. Evaluasi ini dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu dengan memeriksa kadar bilirubin serum totalk
atau pengkajian terhadap faktor resiko secara klinis yang terdapat
pada tabel berikut.

Dengan memeriksa bilirubin serum total dan memplot hasilnya


pada normogram, kita dapat mengetahui apakah bayi berada pada
zona resiko rendah, menengah, atau tinggi untuk terjadinya
hiperbilirubinemia berat.

41
Studi terbaru menyatakan bahwa kombinasi kadar bilirubin sebeum
dipulangkan dan usia gestasi merupakan prediktor terbaik untuk
terjadinya hiperbilirubinemia berat.

- Saat ini tersedia alat noninvasif untuk memperkirakan kadar


biliruin pada kulit dan jaringan subkutan, yaitu transcutaneus
bilirubinometer (BiliCheck ®, Minolta JM ®). Hasil yang didapat
akan berbeda dari kadar bilirubin serum total, karena bilirubin yang
diukur bukan bilirubin dalam serum, melainkan bilirubin yang
terdesposisi pada jaringan. Belum ada studi yang mempelajari
apakah bilirubin serum atau bilirubin kulit yang lebih akurat untuk
menggambarkan deposisi bilirubin pada susunan saraf pusat. Hasil
mpemeriksaan trancutaneus bilirubinometer dipengaruhi oleh usia
gestasim keadaan sakit, edema, dan pigmentasi kulit. Penggunaan
kadar bilirubin transkutan membutuhkna nomogrma sendiri.
- Setiap Ibu hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah dan
faktor Rhesus.

42
DAFTAR PUSTAKA

 Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2007, Buku Kuliah 3 IKA. Jakarta :
Infomedika
 Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk
Pendidikan Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika.
 Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika
Aeseulupius
 Hidayat, A. Aziz Alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I.
Jakarta : Salemba Medika.
 Martin CR, cloherty j. neonatal hyperbilirubinemia. Cloherty JP.
Eichenwald EC, Strak AR. Penyunting Manual Of neonatal care. Edisi ke
6. Philadelphia: Lippincot William&nWikins: 2008 h 185-221
 America Academy of Pediatrics, subcommittee on hyperbilirubinemia.
Management of hiperbilirubinemia in the newbon infant 35 or more weeks
of gestation. Pediatrics, 2004.114:297-316

43

You might also like