You are on page 1of 10

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Sabun merupakan garam logam alkali dengan rantai asam monokarbosiklik yang panjang. Sabun
berbahan dari larutan alkali. Larutan alkali yang digunakan dalam pembuatan sabun bergantung
pada jenis sabun yang diinginkan. Larutan alkali yang biasa digunakan dalam pembuatan sabun
keras adalah Natrium Hidroksida, dan alkali yang biasa digunakan dalam sabun lunak adalah
Kalium Hidroksida.

Sabun berfungsi sebagai pengemulsi kotoran-kotoran berupa minyak ataupun zat pengotor
lainnya, pembuatannya yaitu proses saponifikasi lemak minyak dengan larutan alkali
membebaskan gliserol. Lemak minyak yang digunakan dapat berasal dar lemak hewani maupun
nabati, lilin, ataupun minyak ikan laut.

Pada saat ini, teknologi sabun berkembang pesat. Sabun dengan jenis dan bentuk bervariasi serta
kegunaan yang beragam dapat dengan mudah diperoleh dipasaran. Kandungn zat yang terdapat
dalam sabun juga bervarisi sesuai degan sifat dan jenis sabun, dimana zat-zat tersebut dapat
memberi efek, baik yang menguntungkan maupun merugikan. Oleh karena itu perlu jeli
memperhatikan kualitas sabun dengan teliti sebelum membeli dan menggunakannya.

Pada pembuatan sabun, bahan dasar yang biasa digunakan adalah : C 12-18. Jika kurang dari C12
akan menyebabkan iritasi pada kulit dan jika lebih dariC 20, kurang larut (digunakan sebagai
campuran).

Bertolak dari hal-hal diatas perlu untuk mengetahui tentang bagaimana konsep pembuatan sabun,
dari apa saja bahan yang bereaksi sebagai reaksi penyabunan(saponifikasi), maka dilakukanlah
percobaan ini.

1.2 Tujuan

Menunjukan bahwa reaksi saponifikasi etil asetat oleh ion OH- adalah reaksi orde ke dua, dan
menentukan konsentrasi etil asetat dan ion oH yang bereaksi pada saat t, serta menentukan
tetapan laju reaksi dengan cara titrasi.

1.3 Prinsip
Reaksi penyabunan (saponifikasi) antara etil asetat dengan NaOH berdasarkan reaksi berikut:

Rx: CH3COOC2H5 + 2NaOH CH3COONa + C2H5OH + NaOH sisa

atau

Rx: CH3COOC2H5 + OH- CH3COO- + C2H5OH

Dengan variasi waktu pada suhu 400C, dibantu oleh katalis berupa asam yaitu asam klorida, dan
dilakukan titrasi dengan bantuan indicator PP, untuk menentukan tetapan laju reaksinya.

Dalam titrasi NaOH sisa (kelebihan NaOH) akan bereaksi dengan HCl dengan reaksi sebagai
berikut:

Rx: NaOH (aq) + HCl (aq) NaCl (aq) + H2O (l)

Bab II Tinjauan Pustaka

Saponifikasi adalah suatu reaksi yang menghasilkan sabun dan gliserol melalui penghidrolisaan
dengan basa, lemak atau minyak(Keenan,dkk,1990).

Kinetika kimia menunjukkan kecepatan dan mekanisme perubahan kimia suatu atribut mutu
terhadap waktu pada suhu tertentu. Kecepatan reaksi kimiawi ditentukan oleh massa produk
yang dihasilkan atau reaktan yang digunakan setiap unit waktu (Man 2000).

Laju reaksi merupakan penambahan konsentrasi produk atau pengurangan konsentrasi reaktan
per satuan waktu. Laju reaksi hampir selalu sebanding dengan konsentrasi pereaksi. Mengubah
konsentrasi suatu zat dalam suatu reaksi dapat mengubah laju reaksinya juga. Laju reaksi dapat
ditentukan dari konsentrasi reaktan maupun konsentrasi produk suatu reaksi. Secara matematis
laju reaksi dinyatakan sebagai (Labuza ,1982):

- dA/dt= k[A]n

dimana:

dA/dt = laju perubahan konsentrasi A pada waktu tertentu


k = konstanta laju reaksi

[A] = konsentrasi pereaksi

n = ordo reaksi

Laju reaksi dapat dipergunakan untuk memprediksi kebutuhan bahan pereaksi dan produk reaksi
tiap satuan waktu, dan dapat juga dipergunakan untuk menghitung kebutuhan energi untuk
produksi hidrogen(Agus,2010).

Konstanta laju reaksi bersifat konstan terhadap konsentrasi pereaksi namun akan berubah jika
terjadi perubahan kondisi lingkungan seperti suhu(Labuza ,1982).

Ordo reaksi merupakan bagian dari persamaan laju reaksi. Penentuan ordo reaksi tidak dapat
diturunkan dari persamaan reaksi tetapi hanya dapat ditentukan berdasarkan eksperimen dengan
menggunakan sederet konsentrasi pereaksi. Pada reaksi ordo nol dimana n = 0, laju reaksi tidak
tergantung pada konsentrasi pereaksi dan bersifat konstan pada suhu tetap. Jadi laju reaksi ordo
nol hanya tergantung pada konstanta laju reaksi yang dinyatakan sebagai k. Laju reaksi menurut
ordo satu dimana n = 1, dipengaruhi oleh konsentrasi pereaksi dimana laju reaksi berbanding
lurus dengan konsentrasi pereaksi. Hal ini berarti peningkatan konsentrasi akan meningkatkan
pula laju reaksi(Labuza ,1982).

Pengaruh suhu terhadap kecepatan rekasi kimia pertama kali diungkapkan oleh Van’t Hoff pada
1884, dan diperluas oleh Hood dan Arrhenius 1885 dan 1889, selanjutnya pengaplikasian
terhadap kemunduran bahan makanan oleh Labuza pada 1980 (Suyitno,1997; Wisnu,2006).

Pembahasan

Laju reaksi merupakan penambahan konsentrasi produk atau pengurangan konsentrasi reaktan
per satuan waktu. Laju reaksi hampir selalu sebanding dengan konsentrasi pereaksi, dan Orde
reaksi merupakan pangkat dari konsentrasi komponen itu dalam hukum laju.

Reaksi penyabunan etil asetat dengan ion hidroksida bukan merupakan reaksi sederhana, namun
ternyata bahwa reaksi ini merupakan reaksi orde dua. Pada percobaan ini (penentuan orde reaksi
dan tetapan laju reaksi) digunakan larutan standar NaOH. Tujuan percobaan ini untuk
menunjukkan bahwa reaksi penyabunan etil asetat oleh ion hidroksida merupakan reaksi orde
dua. Selain itu, percobaan ini juga untuk menentukan tetapan laju reaksi penyabunan etilasetat
oleh ioon hidroksida dengan cara titrasi.

Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan standarisasi larutan NaOH. Larutan NaOH
harus di standarisasi terlebih dahulu karena larutan tersebut merupakan larutan standar sekunder
yang tidak stabil dalam penyimpanannya. Dalam melakukan titrasi, digunakan larutan HCl yang
bertindak sebagai larutan standar primer. Dari standarisasi diperoleh volume NaOH sebanyak 6,6
ml. Dari hasil percobaan pada titrasi penyabunan, diketahui bahwa konsentrasi larutan NaOH
berubah-ubah. Konsentrasi awal NaOH yang digunakan adalah 0,02 M.

Selanjutnya, larutan etilasetat dan natrium hidroksida ditempatkan pada erlenmeyer bertutup agar
kedua larutan tersebut tidak terkontaminasi dengan zat lain yang dapat mempengaruhi
konsentrasi kedua larutan. Selain itu juga untuk mencegah menguapnya larutan etil asetat yang
sifatnya mudah menguap.

Kemudian masing-masing NaOH dan etil asetat dipipet 20ml dan 10ml,dan dimasukkan kedalam
erlenmayer, dan disamakan suhunya, pada suhu 400C untuk setiap variasi waktu yaitu pada 0
menit, 10 menit, 20 menit, 30 menit dan 40 menit.

Kedua suhu disamakan suhunya karena suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
laju reaksi. Jika suhu dinaikkan maka laju reaksi semakin besar karena kalor yang diberikan akan
menambah energi kinetik partikel pereaksi, akibatnya jumlah dari energi tumbukan bertambah
besar, begitu pun sebaliknya. Larutan yang telah sama suhunya kemudian dicampurkan.
Pencampuran pada suhu yang sama agar laju reaksi yang dihasilkan tidak mengalami perubahan
besar. Kemudian dilakukan pengocokan agar campuran homogen.

Reaksi yang terjadi adalah:

Rx: CH3COOC2H5 (aq) + NaOH (aq) CH3COONa(aq) + C2H5OH (aq)

Tiga menit terakhir dalam setiap variasi waktu, dipipet campuran dan memasukkan ke dalam
larutan HCl 10 ml, lalu ditambahkan indikator PP sebanyak tiga tetes. Penambahan HCl
berfungsi untuk menetralkan campuran karena campuran bersifat basa akibat kelebihan NaOH
(ion OH-). Penetralan dapat mencegah terjadinya reaksi lebih lanjut. Adapun persamaan
reaksinya adalah:

Rx: NaOH (aq) + HCl (aq) NaCl (aq) + H2O (l)

Penambahan indikator PP untuk mengatahui titik akhir titrasi yaitu titik dimana mol NaOH sama
dengan mol HCl yang ditandai dengan perubahan warna larutan dari bening menjadi merah
muda. Dari hasil percobaan diketahui bahwa semakin lama pengocokan maka semakin banyak
larutan NaOH yang digunakan. Artinya semakin banyak NaOH yang bereaksi dengan etil asetat.
Perubahan warna yang dihasilkan menandakan bahwa titik ekuivalen sudah tercapai dimana mol
pentiter(NaOH) sama dengan mol analit(campuran), sehingga warna tersebut adalah hasil dari
reaksi antara NaOH dengan indikator.

Berikut penjabaran Faktor yg mempengaruhi laju reaksi:

Sifat alami suatu reaksi. Beberapa reaksi memang secara alami lambat atau lebih cepat
dibandingkan yang lain. Jumlah spesies yang ikut bereaksi serta keadaan fisik reaktan, ataupun
kekompleksan jalanya (mekanisme reaksi) dan factor lain sangat menentukan kecepatan laju
reaksi.

Konsentrasi reaktan. Karena persamaan laju reaksi didefinisikan dalam bentuk konsentrsi reaktan
maka dengan naiknya konsentrasi maka naik pula kecepatan reaksinya. Artinya semakin tinggi
konsentrasi maka semakin banyak molekul reaktan yang tersedia denngan demikian
kemungkinan bertumbukan akan semakin banyak juga sehingga kecepatan reaksi meningkat.

Tekanan. Reaksi yang melibatkan gas, kecepatan reaksinya berbanding lurus dengan kenaikan
tekanan dimana factor tekanan ini ekuivalen dengan konsentrasi gas.

Orde reaksi. Orde reaksi menentukan seberapa besar konsentrasi reaktan berpengaruh pada
kecepatan reaksi.

Temperatur. Temperature berhubungan dengan energi kinetic yang dimiliki molekul-molekul


reaktan dalam kecenderungannya bertumbukan. Kenaikan suhu umumnya menyediakan energi
yang cukup bagi molekul reaktan untuk meningkatkan tumbukan antar molekul. Akan tetapi
tidak semua reaksi dipengaruhi oleh temperature, terdapat reaksi yang independent terhadap
temperature yaitu reaksi akan berjalan melambat saat temperature di naikkan seperti reaksi yang
melibatkan radikal bebas.

Pelarut. Banyak reaksi yang terjadi dalam larutan dan melibatkan pelarut. Sifat pelarut baik
terhadap reaktan, hasil intermediate, dan produknya mempengaruhi laju reaksi. Seperti sifat
solvasi pelarut terhadap ion dalam pelarut dan kekuatan interaksi ion dan pelarut dalam
pembentukan counter ion.

Radiasi elektromagnetik dan Intensitas Cahaya. Radiasi elektromagnetik dan cahaya


merupakansalah satu bentuk energi. Molekul-molekul reaktan dapat menyerap kedua bentuk
energi ini sehingga mereka terpenuhi atau meningkatkan energinya sehingga meningkatkan
terjadinya tumbukan antar molekul

Katalis. Adanya katalis dalam suatu sitem reaksi akan meningkatkan kecepatan reaksi
disebabkan katalis menurunkan energi aktifasi. Dengan penurunan energi aktifasi ini maka energi
minimum yang dibutuhkan untuk terjadinya tumbukkan semakin berkurang sehingga
mempercepat terjadinya reaksi.

Pengadukan. Proses pengadukan mempengaruhi kecepatan reaksi yang melibatkan sistem


heterogen. Seperti reaksi yang melibatkan dua fasa yaitu fasa padatan dan fasa cair seperti
melarutkan serbuk besi dalam larutan HCl, dengan pengadukan maka reaksi akan cepat berjalan.

Dalam percobaan ini yang paling dominan yaitu pengadukan, konsentrasi, sifat alami dari reaksi,
katalis, suhu dan orde reaksi, dimana yang paling signifikan adalah konsentrasi katalis dan suhu.
Untuk orde reaksi, adanya kenaikan orde reaksi ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh
perubahan suhu reaski, atau reaksi yang terjadi tidak sesuai dengan model matematis atau
persamaan yang digunakan dalam menghitung orde reaksi tersebut,

Pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi

Pada teori tumbukan, perubahan jumlah molekul pereaksi dapat berpengaruh pada laju suatu
reaksi. Telah diketahui jumlah mol spesi zat terlarut dalam 1 liter larutan dinamakan konsentrasi
molar. Bila konsentrasi pereaksi diperbesar dalam suatu reaksi, berarti kerapatannya bertambah
dan akan memperbanyak kemungkinan tabrakan sehingga akan mempercepat laju reaksi.

Karena persamaan laju reaksi didefinisikan dalam bentuk konsentrsi reaktan maka dengan
naiknya konsentrasi maka naik pula kecepatan reaksinya. Artinya semakin tinggi konsentrasi
maka semakin banyak molekul reaktan yang tersedia dengan demikian kemungkinan
bertumbukan akan semakin banyak juga sehingga kecepatan reaksi meningkat.

Suhu terhadap laju reaksi

Umumnya kenaikan suhu mempercepat reaksi, dan sebaliknya penurunan suhu memperlambat
reaksi. Bila kita memasak nasi dengan api besar akan lebih cepat dibandingkan api kecil. Bila
kita ingin mengawetkan makanan (misalnya ikan) pasti kita pilih lemari es, karena penurunan
suhu memperlambat proses pembusukan.

Laju reaksi kimia bertambah dengan naiknya suhu. Laju reaksi ditentukan oleh jumlah
tumbukan. Jika suhu dinaikkan, maka kalor yang diberikan akan menambah energi kinetik
partikel pereaksi. Sehingga pergerakan partikel-partikel pereaksi makin cepat, makin cepat
pergerakan partikel akan menyebabkan terjadinya tumbukan antar zat pereaksi makin banyak,
sehingga reaksi makin cepat.Umumnya kenaikan suhu sebesar 1000C menyebabkan kenaikan
laju reaksi sebesar dua sampai tiga kali. Kenaikan laju reaksi ini dapat dijelaskan dari gerak
molekulnya. Molekul-molekul dalam suatu zat kimia selalu bergerak-gerak. Oleh karena itu,
kemungkinan terjadi tabrakan antar molekul yang ada. Tetapi tabrakan itu belum berdampak apa-
apa bila energi yang dimiliki oleh molekul-molekul itu tidak cukup untuk menghasilkan tabrakan
yang efektif. Kita telah tahu bahwa, energi yang diperlukan untuk menghasilkan tabrakan yang
efektif atau untuk menghasilkan suatu reaksi disebut energi pengaktifan(energi aktivasi).

Energi kinetik molekul-molekul tidak sama. Ada yang besar dan ada yang kecil. Oleh karena itu,
pada suhu tertentu ada molekul-molekul yang bertabrakan secara efektif dan ada yang
bertabrakan secara tidak efektif. Dengan perkataan lain, ada tabrakan yang menghasilkan reaksi
kimia ada yang tidak menghasilkan reaksi kimia. Meningkatkan suhu reaksi berarti
menambahkan energi. Energi diserap oleh molekul-molekul sehingga energi kinetik molekul
menjadi lebih besar. Akibatnya, molekul-molekul bergerak lebih cepat dan tabrakan dengan
dampak benturan yang lebih besar makin sering terjadi. Dengan demikian, benturan antar
molekul yang mempunyai energi kinetik yang cukup tinggi itu menyebabkan reaksi kimia juga
makin banyak terjadi. Hal ini berarti bahwa laju reaksi makin tinggi.

Reaksi Saponifikasi

Kata saponifikasi atau saponify berarti membuat sabun (Latinsapon, = sabun dan –fy adalah
akhiran yang berarti membuat). Jadi dapat disimpulkan bahwa rekasi saponifikasi adalah
pembuatan sabun.

Secara keseluruhan reaksi-reaksi yang terjadi pada reaksi saponifikasi yaitu(Vogel, 1990):

CH3COOC2H5 + 2NaOH CH3COONa + C2H5OH + NaOH sisa

(etilasetat) (natriumhidroksida) (natriumasetat) (etanol) (natriumhidroksida)

Rx: NaOH sisa + 2HCl NaCl + H2O + HCl sisa

(natriumhidroksida) (asamklorida) (natriumklorida) (air) (asamklorida)

HCl sisa + NaOH NaCl + H2O

(asamklorida) (natriumhidroksida) (natriumklorida) (air)

Untuk memberikan gambaran bahwa reaksi penyabunan etilasetat oleh ion hidroksi adalah orde
dua yaitu reaksi dibawah ini :

CH3COOC2H5 + OH- CH3COO- + C2H5OH

t=0 a b - -
x x x x

t=t (a-x) (b-x) x x

(Sukardjo, 1997)

Untuk dapat menentukan apakah suatu reaksi orde dua atau bukan dapat diselidiki seperti pada
reaksi tingkat satu yaitu (Sukardjo, 1997:

1. Dengan memasukkan harga a, b, t dan x pada persamaan. Bila harga-harga k2 tetap maka
reaksi orde dua.

2. Secara grafik. Bila reaksi orde dua maka grafik t terhadap log merupakan garis lurus
tangen atau slope.Untuk konsentrasi sama, grafik harus lurus bila reaksi orde dua.

3. Half life period tidak dapat dipakai untuk menyelidiki tingkat reaksi, dimana konsentrasi A
dan B berbeda, karena A dan B akan mempunyai waktu berbeda untuk bereaksinya setengah
jumlah zat tersebut.

Berdasarkan percobaan , grafik, dan hasil perhitungan, diperoleh reaksitersebut adalah orde dua.

Bab V Penutup

5.1 Simpulan

Reaksi yang terjadi yaitu reaksi orde dua dengan perolehan………..

Berdasarkan grafik yg diperoleh serta perhitungan reaksi yang terjadi adalah reaksi orde dua.

5.2 Saran

Saran saya untuk percobaan kedepannya, untuk standarisasi bias menggunakan asam lain seperti
asam oksalat; menggunakan variasi suhu,; dan variasi kedua-duanya; dan untuk reaksi
saponifikasinya bias menggunakan larutan alkali lain seperti KCl yang adalah bahan untuk
pembuatan sabun lunak.
Daftar Pustaka

Agus Wibowo. 2010. Laju Reaksi Pencampuran Minyak Jarak Dan Air
Pada Hydrogen Reformer Menggunakan Pemanas Dan Katalis.Prosiding Seminar
Nasional Sains dan Teknologi 2010 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang

Anonim.2008. rekasi Penyabunan.yprawira.wordpress.com/reaksi-saponifikasi-pada-proses-


pembuatan-sabun/ ( 4 April 2013)

Keenan,C.W; Kleinfelter,D.C; G,Wood.1990. Kimia Untuk Universitas, jilid 1, edisi 6. AB: A.H
Pudjaatmaka. Erlangga. Jakarta.

Labuza TP. 1982. Shelf-life Dating of Foods. Food and Nutrition Press., Inc., Westport,
Connecticut.

Man CM. 2000. Shelf-life Evaluation of Foods, 2nd ed. Aspen Publisher Incorporation, London.

Sukardjo.1997. Kimia Fisika. Rineka Cipta. Jakarta.

Suyitno.1997.Dasar-Dasar Kinetika Kemunduran Mutu, PAU Pangan dan Gizi. UGM.


Yogyakarta.

Vogel.1990. Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. PT.Kalman Media Pustaka.
Jakarta.

Wisnu Cahyadi.2006.Konstanta Laju Penurunan Kadar Iodat dalam Garam Beriodium. Jurusan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasudan Bandung.

You might also like