Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
Debby Nirma Sari S. G99181018
Annisa Julia N. G99172003
Pembimbing:
Amru Sungkar, dr., Sp.B, Sp.BP-RE
0
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel
fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan
penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari
jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang
(proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin,
asam hyaluronat, fibronectin dan proteoglikans) yang berperan dalam
membangun jaringan baru (Mallefet and Dweck, 2008).
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal
jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya
subtrat oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh
darah baru dan juga fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki
kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di
dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi,
sedangkan proses proliferasi fibroblast dengan aktifitas sintetiknya
disebut fibroplasia. Respons yang dilakukan fibroblast terhadap proses
fibroplasia adalah (MacKay and Miller, 2003):
a. Proliferasi
b. Migrasi
c. Deposit jaringan matriks
d. Kontraksi luka
Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru
didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses
penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes),
pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan
lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis.
Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu
respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah
luka, karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan
turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis
merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang
dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factors).
5
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblast
mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam
stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir
luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka.
Dengan sintesa kolagen oleh fibroblast, pembentukan lapisan dermis ini
akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan
jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut
menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi
myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada
jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek
luas dibandingkan dengan defek luka minimal (David, 2004; Monaco
and Lawrence, 2003).
6
jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah
perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan
dilanjutkan pada fase remodelling. Selain pembentukan kolagen, juga akan
terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda
(gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah
menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang
lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan
keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.
Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau
hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan
sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit
mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal.
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun
outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik
masing-masing individu, lokasi, serta luasnya luka (David, 2004; Mallefet
and Dweck, 2008; Schwartz and Neumeister, 2006).
7
Gambar 5. Tahapan penyembuhan luka. Pada individu sehat, penyembuhan
berlangsung secara berurutan melalui tiga fase yang saling tumpang tindih: (1)
fase inflamasi, (2) fase proliferatif, dan (3) fase remodelling. Stress dapat
mempengaruhi perkembangan melalui tahap-tahap melalui jalur kekebalan
tubuh dan beberapa neuroendokrin. Review saat ini berfokus pada peran
interaktif glukokortikoid dan sitokin (misalnya IL-8, IL-1α, IL-1β, IL-6, TNF-
α, dan IL-10). Namun, sitokin tambahan, kemokin, dan faktor pertumbuhan
yang penting untuk penyembuhan. Ini termasuk kemokin CXC ligan 1
(CXCL1), kemokin CC ligan 2 (CCL2), granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF), protein chemotactic monosit-1 (MCP-1),
makrofag inflamasi protien-1 alpha (MIP -lα), faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF), mengubah faktor pertumbuhan-β (TNF-β), faktor
pertumbuhan keratinosit (KGF), faktor pertumbuhan platelet-derived (PDGF),
dan faktor pertumbuhan fibroblas dasar (bFGF)
3. Komplikasi Penyembuhan Luka
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen
yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini
8
teranyam teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka,
sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan
intervensi bedah.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan
kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang – kadang nyeri. Parut
hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar
satu tahun, sedangkan keloid tidak.
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi
merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang
bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian
sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya
dilakukan penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan
dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah
terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan
bebat tekan dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses
penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan:
Kesimpulan yang dapat diambil dari referat ini adalah :
1. Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal yang sangat reaktif
atau molekul yang diproduksi secara intraseluler seperti mitokondria,
retikulum endoplasma, peroksisom yang mempunyai efek yang
menguntungkan dan efek merugikan bila berlebihan serta berperan pada
proses penyembuhan luka melalui mekanisme inflamasi, angiogenesis dan
pembentukan matrik pada proses penyembuhan luka.
2. ROS yang dihasilkan pada stres oksidatif memainkan peranan yang sangat
penting dalam proses pembekuan darah yang terjadi pada luka dengan cara
meningkatkan produksi platelet dan kolagen
3. Konsentrasi ROS yang meningkat pada luka kronis dapat menimbulkan
efek yang merugikan melalui berbagai tahap yang berakhir pada keadaan
luka yang tidak kunjung menyembuh
13
DAFTAR PUSTAKA
Chen, Q.-Y. et al., 2016. Heme Oxygenase-1 Promotes Delayed Wound Healing in
Diabetic Rats. Journal of Diabetes Research, 2016, pp.1–10. Available at:
http://www.hindawi.com/journals/jdr/2016/9726503/.
David LD. 2004.Ethicon:Wound Closure Manual. Minnesota:Ethicon inc. pp: 6-8.
Diegelmann RF and Evans MC. 2004. Wound healing : an overview of acute,
fibrotic and delayed healing. Front in Biosci. 9:283-9.
Luchi, Y., et al, 2010. Spontaneous skin damage and delayed wound healing in
SOD1-deficient mice. Mol Cell Biochem. 341; 181-194.
MacKay D and Miller AL. 2003. Nutritional support for wound healing. Alt
med rev.8(4):360-1.
Mallefet P and Dweck A.C. 2008. Mechanisms involved in wound healing. Biomed
Scient.609-15.
Monaco JL and Lawrence WT. 2003. Acute wound healing: an overview. Clin
Plastic Surg. 30:1-12.
Robbins, M.E.C. & Zhao, W., 2004. Chronic oxidative stress and radiation-induced
late normal tissue injury: a review. International journal of radiation biology,
80(4), pp.251–9. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15204702.
Schäfer, M., Werner, S., 2008. Oxidative stress in normal and impaired wound
repair. Pharmacological Research. 58 (2); 165-171.
Schwartz BF and Neumeister M. 2006. The mechanics of wound healing. In Future
Direction in Surgery. Southern Illinois. pp: 78-9.
Serarslan, G. et al., 2007. Caffeic acid phenetyl ester accelerates cutaneous wound
healing in a rat model and decreases oxidative stress. Clinical and
Experimental Dermatology, 32(6), pp.709–715.
Sjamsuhidajat, R and Jong, W D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi.
Jakarta: EGC.3:72-81.
Soreja, A., Drews, M., Malinski, T., 2005. Role of nitric oxide, nitroxidative and
oxidative stress in wound healing. Pharmacological reports. 57; 108-119.
14
Tie, L. et al., 2009. Endothelium-specific GTP cyclohydrolase I overexpression
accelerates refractory wound healing by suppressing oxidative stress in
diabetes. American journal of physiology. Endocrinology and metabolism,
296(13), pp.E1423–E1429.
Tie, L. et al., 2012. Ganoderma Lucidum Polysaccharide Accelerates Refractory
Wound Healing by Inhibition of Mitochondrial Oxidative Stress in Type 1
Diabetes. Cellular Physiology and Biochemistry, 29, pp.583–594.
Vermeij, W.P., Backendorf, C., 2010. Skin Cornification Proteins Provide Global
Link between ROS Detoxification and Cell Migration during Wound Healing.
PloS ONE. 5(8); e11957; 1-7.
Wlaschek, M. & Scharffetter-Kochanek, K., 2005. Oxidative stress in chronic
venous leg ulcers. Wound Repair and Regeneration, 13(5), pp.452–461.
15