You are on page 1of 16

REFERAT BEDAH PLASTIK

PENGARUH REACTIVE OXYGEN SPECIES (ROS) PADA PROSES


PENYEMBUHAN LUKA

Disusun oleh:
Debby Nirma Sari S. G99181018
Annisa Julia N. G99172003

Pembimbing:
Amru Sungkar, dr., Sp.B, Sp.BP-RE

KEPANITERAAN ILMU BEDAH/SUB BAGIAN BEDAH PLASTIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2018

0
BAB I
PENDAHULUAN

Penyembuhan luka merupakan proses dinamis yang kompleks yang ditandai


dengan adanya serangkaian peristiwa yang terjadi pada hampir semua jenis
kerusakan jaringan mulai dari goresan kulit sampai infark miokard yang pada
awalnya menimbulkan peradangan sampai nantinya terjadi perbaikan dari jaringan
yang mengalami kerusakan akibat cedera tersebut. Pada fase awal reaksi inflamasi
, neutrofil dan makrofag akan masuk ke dalam jaringan yang mengalami cedera
atau luka akibat adanya berbagai faktor kemotaktik. Sel-sel ini akan meproduksi
Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang dapat memberikan efek menguntungkan
maupun merugikan pada jaringan sekitarnya. Selain diproduksi oleh neutrofil, ROS
yang dapat memberikan efek bakterisidal ini juga diproduksi oleh sel yang sedang
mengalami proliferasi serta mempunyai peranan yang penting dalam intraseluler
signaling sebagai tanggapan adanya berbagai rangsangan ekstraseluler, sebagai
contoh Hidrogen peroksida akan terlihat dalam jumlah terbatas dan menginduksi
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada proses penyembuhan luka yang
akan terekspresi dalam keratinosit serta mendukung juga peningkatan
angiogenesisnya. Sebaliknya produksi ROS yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan dan mengganggu proses penyembuhan luka. Enzim
phosphotyrosine fosfatase dan antioksidan dengan berat molekul rendah seperti
glutathione memegang peranan penting dalam regulasi redoks selular terhadap
homeostasis seluler yang terjadi karena produksi ROS yang berlebihan dapat
mengganggu fungsi komunikasi antar sel dan akhirnya mempengaruhi proses
penyembuhan luka (Luchi, 2010; Vermeij, W.P., Backendorf, C., 2010).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyembuhan Luka (Wound Healing)


1. Definisi
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka
adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau
organ tubuh lain. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2. Respon stres simpatis
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel
Luka memiliki beberapa karakter mekanik di antaranya:
1. Luka memiliki kekuatan yang kecil pada 2-3 minggu pertama (fase
inflamasi dan proliferasi)
2. Pada minggu ke-3, kekuatan luka meningkat karena adanya remodelling
3. Luka memiliki 50% kekuatannya pada saat 6 minggu, dan sisanya dalam
beberapa minggu setelahnya
4. Kekuatan terus bertambah perlahan hingga 6-12 bulan
5. Kekuatan maksimal adalah 75% dari jaringan biasa (Sudjatmiko, 2007)
Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun
beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses
penyembuhan. Akan tetapi, penyembuhan luka juga dapat terhambat akibat
banyak faktor, baik yang bersifat lokal maupun sistemik (Monaco and
Lawrence, 2003).
2. Fase penyembuhan luka
Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis,
saling terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan
derajat luka. Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan
penyembuhan luka terdiri dari:
2
1. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Schwartz and Neumeister, 2006)
Fase hemostasis dan inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan
seluler yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Tujuannya
adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari
benda asing, sel-sel mati, dan bakteri, untuk mempersiapkan dimulainya
proses penyembuhan.
Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan
keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi
vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi
vasokonstriktor yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler
vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan
menutup pembuluh darah. Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan
setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler karena stimulasi saraf sensoris
(local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi
vasodilator : histamin, serotonin dan sitokin.
Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan
meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar
dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka. Secara klinis terjadi
edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi
ini juga mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra
vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan
bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh
sel makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil
pada proses penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis
adalah (MacKay and Miller, 2003):
a. Sintesa kolagen
b. Membentuk jaringan granulasi bersama dengan fibroblast
c. Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi
d. Membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis
Dengan berhasil dicapainya luka yang bersih, tidak terdapat infeksi
serta terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai
3
sebagai pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan
adanya eritema, hangat pada kulit, edema, dan rasa sakit yang
berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.

Gambar 2. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Mallefet and Dweck, 2008)

2. Fase Proliferasi (Fase Fibroplasia)


Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia, karena yang menonjol
adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase
inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari
sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan
mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan
dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka (Diegelmann and
Evans, 2004).
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah
memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi
sel. Peran fibroblast sangat besar pada proses perbaikan, yaitu
bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein
yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan.

4
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel
fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan
penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari
jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang
(proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin,
asam hyaluronat, fibronectin dan proteoglikans) yang berperan dalam
membangun jaringan baru (Mallefet and Dweck, 2008).
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal
jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya
subtrat oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh
darah baru dan juga fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki
kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di
dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi,
sedangkan proses proliferasi fibroblast dengan aktifitas sintetiknya
disebut fibroplasia. Respons yang dilakukan fibroblast terhadap proses
fibroplasia adalah (MacKay and Miller, 2003):
a. Proliferasi
b. Migrasi
c. Deposit jaringan matriks
d. Kontraksi luka
Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru
didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses
penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes),
pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan
lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis.
Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu
respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah
luka, karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan
turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis
merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang
dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factors).
5
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblast
mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam
stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir
luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka.
Dengan sintesa kolagen oleh fibroblast, pembentukan lapisan dermis ini
akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan
jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut
menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi
myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada
jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek
luas dibandingkan dengan defek luka minimal (David, 2004; Monaco
and Lawrence, 2003).

Gambar 3. Fase Proliferasi (Mallefet and Dweck, 2008)


3. Fase Remodelling
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir
sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase remodelling adalah
menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan
penyembuhan yang kuat dan berkualitas. Fibroblast sudah mulai
meninggalkan jaringan grunalasi, warna kemerahan dari jaringan mulai
berkurang karena pembuluh mulai regresi, dan serat fibrin dari kolagen
bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari

6
jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah
perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan
dilanjutkan pada fase remodelling. Selain pembentukan kolagen, juga akan
terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda
(gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah
menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang
lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan
keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.
Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau
hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan
sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit
mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal.
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun
outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik
masing-masing individu, lokasi, serta luasnya luka (David, 2004; Mallefet
and Dweck, 2008; Schwartz and Neumeister, 2006).

Gambar 4. Fase Remodelling (Mallefet and Dweck, 2008)

7
Gambar 5. Tahapan penyembuhan luka. Pada individu sehat, penyembuhan
berlangsung secara berurutan melalui tiga fase yang saling tumpang tindih: (1)
fase inflamasi, (2) fase proliferatif, dan (3) fase remodelling. Stress dapat
mempengaruhi perkembangan melalui tahap-tahap melalui jalur kekebalan
tubuh dan beberapa neuroendokrin. Review saat ini berfokus pada peran
interaktif glukokortikoid dan sitokin (misalnya IL-8, IL-1α, IL-1β, IL-6, TNF-
α, dan IL-10). Namun, sitokin tambahan, kemokin, dan faktor pertumbuhan
yang penting untuk penyembuhan. Ini termasuk kemokin CXC ligan 1
(CXCL1), kemokin CC ligan 2 (CCL2), granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF), protein chemotactic monosit-1 (MCP-1),
makrofag inflamasi protien-1 alpha (MIP -lα), faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF), mengubah faktor pertumbuhan-β (TNF-β), faktor
pertumbuhan keratinosit (KGF), faktor pertumbuhan platelet-derived (PDGF),
dan faktor pertumbuhan fibroblas dasar (bFGF)
3. Komplikasi Penyembuhan Luka
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen
yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini
8
teranyam teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka,
sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan
intervensi bedah.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan
kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang – kadang nyeri. Parut
hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar
satu tahun, sedangkan keloid tidak.
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi
merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang
bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian
sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya
dilakukan penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan
dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah
terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan
bebat tekan dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses
penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).

B. Reactive Oxygen Species (ROS)


Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal yang sangat reaktif
atau molekul yang diproduksi secara intraseluler seperti mitokondria, retikulum
endoplasma, peroksisom. ROS juga dapat disebabkan oleh sumber dari luar
seperti bahan yang mengalami ionisasi, vitamin, atau herbisida. ROS dapat
berinteraksi secara biomolekul dengan hasil oksidasi protein berupa residu
amino ail dan menyebabkan mutasi DNA, serta bereaksi juga dengan proksidasi
lipid untuk memproduksi radikal bebas yang lebih banyak lagi (Soreja, A., et al.,
2005)
Setiap organisme aerobik memproduksi ROS sementara ada juga
perkembangan perhatian lain terhadap spesies nitrogen oksida reaktif atau
reactive nitrogen oxide species (RNOS) (Robbins & Zhao 2004). Metabolit
oksigen (O2) yang secara parsial direduksi membentuk ROS. Dibentuk dari
9
satu- atau dua- reduksi elektron dari O2 dan radikal hidroksil (*OH), ROS yang
terbentuk adalah anion superoksida (O2-) dan hidrogen peroksida (H2O2).
Superoksida adalah radikal bebas, yaitu atom atau kelompok atom yang
memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Walaupun
merupakan radikal bebas, O2- tidak dapat memasuki membran lipid dan dengan
demikian terbatas pada kompartemen intraseluler di mana molekul tersebut
dibuat. Utamanya, O2- diproduksi di mitokondria akibat kebocoran elektron dari
rantai transpor elektron.
Enzim antioksidan dismutase superoksida atau superoxide dismutase
(SOD) secara cepat mengubah O2- menjadi H2O2. Pada sel eukaryota, terdapat
tiga isoform SOD, yaitu SOD mangaan (MnSOD), SOD tembaga-seng
(CuZnSOD), dan SOD ekstraseluler (EC-SOD) (Robbins & Zhao 2004).
Sementara itu, H2O2 bukanlah radikal bebas. Walaupun merupakan agen
oksidan yang lebih lemah daripada O2-, H2O2 penting dibahas karena
kemampuannya dalam menerobos membran biologis. Senyawa hidrogen
peroksida berperan sebagai senyawa antara pada pembentukan ROS yang lebih
reaktif seperti misalnya asam hipoklor melalui myeloperoksidase di fagosom
neutrofil (Robbins & Zhao 2004). Seperti telah disebut di atas, dengan adanya
ion logam transisional, hidrogen peroksida dapat membentuk ROS yang paling
reaktif dan toksik yaitu OH- melalui reaksi Fenton.
Pada konsentrasi yang sangat tinggi, hidrogen peroksida dikonversi
menjadi air dan oksigen melalui enzim katalase yang terutama berada di
peroksisom sel mamalia. Di konsentrasi yang rendah, hidrogen peroksida
diubah menjadi air oleh glutation peroksidase yang mengandung selenium
(GPx) (Robbins & Zhao 2004).
Timbul perhatian yang lebih terhadap peran penting radikal bebas
diatomik nitrat oksida (NO-) dan RNOS, yang terbentuk dari reaksi NO- dengan
oksigen molekuler atau O2-. Peran tersebut ada dalam mekanisme fisiologis
maupun patofisiologis. Pada konsentrasi fisiologis, NO- berfungsi sebagai
pembawa pesan intraseluler, dapat menerobos membran sel dan
mentransmisikan sinyal ke sel yang lain. Selain itu, NO- juga berfungsi sebagai
10
antioksidan yang baik. Sebagai contoh adalah inhibisi reaksi oksidasi yang
diperantarai katalis besi.
Pada sel normal, ROS/RNOS dipercaya memainkan peran penting dalam
sinyal intraseluler, ekspresi gen, dan berbagai fungsi fisiologis. Di bawah
kondisi normal, pembentukan ROS/RNOS diseimbangkan oleh pertahanan
antioksidan sel. Ketidakseimbangan antara pembentukan dan destruksi
ROS/RNOS akan menimbulkan stres oksidatif (Robbins & Zhao 2004).

C. Pengaruh Reactive Oxygen Species (ROS) terhadap Penyembuhan Luka


Secara fisiologis, fase inflamasi berlangsung 4 sampai 6 hari dan terjadi
segera setelah luka, pembuluh darah akan menyempit terjadi pengaktifan
agregasi platelet sepanjang endotelium. Terputusnya pembuluh darah dan
vasokonstriksi ini menyebabkan bertambahnya hipoksia yang diperkuat dengan
peningkatan konsumsi oksigen oleh sel-sel yang aktif secara metabolik
berkontribusi terhadap penyembuhan luka. Hipoksia merupakan langkah awal
pada saat penyembuhan luka dengan meningkatkan aktivitas ROS dan
mengaktifkan platelet dan endothelium serta menginduksi sitokin yang akan
dilepaskan oleh trombosit, monosit dan sel parenkim seperti growth factor
VEGF, TGF-β, TNF (Schremi, S., et al., 2010).
Dalam proses penyembuhan luka, ROS terlibat dalam setiap tahapnya
yaitu migrasi, adesi, proliferasi, neovaskularisasi, remodelling, dan apoptosis
(Wlaschek & Scharffetter-Kochanek 2005). ROS yang dihasilkan pada stres
oksidatif memainkan peranan yang sangat penting dalam
proses pembekuan darah yang terjadi pada luka dengan cara menginduksi tissue
factor (TF)-mRNA. TF yang dikeluarkan akibat adanya kerusakan jaringan
akan menginisiasi jalur koagulasi ekstrinsik dan pembentukan selanjutnya akan
berasal dari trombin. ROS yang dikeluarkan trombin akan menginduksi
TFmRNA dan meningkatkan ketergantungan aktivitas permukaan prokoagulasi
TF dalam mempotensiasi siklus trombogenik
(pembekuan) pembuluh darah yang rusak. ROS juga terlibat dalam peningkatan
platelet dan kolagen. Aktifasi dan agregasi platelet tersebut
11
merupakan hal penting dalam proses pembentukan bekuan darah yang dapat
merangsang terjadinya pelepasan berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin
dalam memulai proses penyembuhan luka. Platelet yang diaktifkan selanjutnya
mempotensiasi pembentukan bekuan dengan cara pelepasan
ROS dan RNS sehingga meningkatkan ekspresi TF (Soreja, A., et al., 2005).
Berbagai faktor pertumbuhan akan dilepaskan oleh platelet, leukosit dan
fibroblast serta bertanggung jawab terhadap penarikan dan aktifasi neutrophil,
monosit pada daerah luka yang akan memulai terjadinya angiogenesis dan
reepitelisasi dengan cara mengaktifkan ekspresi kolagenase dan memediasi
EGF signaling. H2O2 mengaktifkan Activator Protein-1 (AP-1) yang
selanjutnya akan menginduksi ekspresi kolagenase (MMP-1) (11). Kolagenase
membantu degradasi matriks ekstraseluler yang selanjutnya membantu dalam
migrasi sel yang terkait dengan luka. Satu dua hari setelah cedera, keratinosit
akan berproliferasi untuk mendukung kehadirannya pada luka tersebut (Soreja,
A., et al., 2005; Ushio-Fukai, M., Nakamura, Y., 2008).
Stres oksidatif, di pihak lain, dapat menyebabkan gangguan
penyembuhan luka. Konsentrasi ROS yang meningkat pada luka kronis dapat
menimbulkan efek yang merugikan melalui berbagai tahap yang berakhir pada
keadaan luka yang tidak kunjung menyembuh. Sebagian besar ROS dikeluarkan
oleh neutrofil dan makrofag, dan sampai batas tertentu oleh fibroblas dan sel
endotel. Pada luka kronis, terdapat berbagai sumber ROS. Inflamasi yang
memanjang dengan migrasi neutrofil ke jaringan yang rusak menimbulkan
anion superoksida radikal pada reaksi ledakan oksidatif, hipoksia, dan reperfusi
iskemia merupakan mekanisme-mekanisme penting yang mengakibatkan stres
oksidatif. Karena fase inflamasi yang tidak selesai pada luka kronis, timbulnya
ROS yang terus menerus menyebabkan kerusakan berlanjut dan inflamasi yang
timbul terus menerus (Wlaschek & Scharffetter-Kochanek 2005).

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan:
Kesimpulan yang dapat diambil dari referat ini adalah :
1. Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal yang sangat reaktif
atau molekul yang diproduksi secara intraseluler seperti mitokondria,
retikulum endoplasma, peroksisom yang mempunyai efek yang
menguntungkan dan efek merugikan bila berlebihan serta berperan pada
proses penyembuhan luka melalui mekanisme inflamasi, angiogenesis dan
pembentukan matrik pada proses penyembuhan luka.
2. ROS yang dihasilkan pada stres oksidatif memainkan peranan yang sangat
penting dalam proses pembekuan darah yang terjadi pada luka dengan cara
meningkatkan produksi platelet dan kolagen
3. Konsentrasi ROS yang meningkat pada luka kronis dapat menimbulkan
efek yang merugikan melalui berbagai tahap yang berakhir pada keadaan
luka yang tidak kunjung menyembuh

13
DAFTAR PUSTAKA

Chen, Q.-Y. et al., 2016. Heme Oxygenase-1 Promotes Delayed Wound Healing in
Diabetic Rats. Journal of Diabetes Research, 2016, pp.1–10. Available at:
http://www.hindawi.com/journals/jdr/2016/9726503/.
David LD. 2004.Ethicon:Wound Closure Manual. Minnesota:Ethicon inc. pp: 6-8.
Diegelmann RF and Evans MC. 2004. Wound healing : an overview of acute,
fibrotic and delayed healing. Front in Biosci. 9:283-9.
Luchi, Y., et al, 2010. Spontaneous skin damage and delayed wound healing in
SOD1-deficient mice. Mol Cell Biochem. 341; 181-194.
MacKay D and Miller AL. 2003. Nutritional support for wound healing. Alt
med rev.8(4):360-1.
Mallefet P and Dweck A.C. 2008. Mechanisms involved in wound healing. Biomed
Scient.609-15.
Monaco JL and Lawrence WT. 2003. Acute wound healing: an overview. Clin
Plastic Surg. 30:1-12.
Robbins, M.E.C. & Zhao, W., 2004. Chronic oxidative stress and radiation-induced
late normal tissue injury: a review. International journal of radiation biology,
80(4), pp.251–9. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15204702.
Schäfer, M., Werner, S., 2008. Oxidative stress in normal and impaired wound
repair. Pharmacological Research. 58 (2); 165-171.
Schwartz BF and Neumeister M. 2006. The mechanics of wound healing. In Future
Direction in Surgery. Southern Illinois. pp: 78-9.
Serarslan, G. et al., 2007. Caffeic acid phenetyl ester accelerates cutaneous wound
healing in a rat model and decreases oxidative stress. Clinical and
Experimental Dermatology, 32(6), pp.709–715.
Sjamsuhidajat, R and Jong, W D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi.
Jakarta: EGC.3:72-81.
Soreja, A., Drews, M., Malinski, T., 2005. Role of nitric oxide, nitroxidative and
oxidative stress in wound healing. Pharmacological reports. 57; 108-119.
14
Tie, L. et al., 2009. Endothelium-specific GTP cyclohydrolase I overexpression
accelerates refractory wound healing by suppressing oxidative stress in
diabetes. American journal of physiology. Endocrinology and metabolism,
296(13), pp.E1423–E1429.
Tie, L. et al., 2012. Ganoderma Lucidum Polysaccharide Accelerates Refractory
Wound Healing by Inhibition of Mitochondrial Oxidative Stress in Type 1
Diabetes. Cellular Physiology and Biochemistry, 29, pp.583–594.
Vermeij, W.P., Backendorf, C., 2010. Skin Cornification Proteins Provide Global
Link between ROS Detoxification and Cell Migration during Wound Healing.
PloS ONE. 5(8); e11957; 1-7.
Wlaschek, M. & Scharffetter-Kochanek, K., 2005. Oxidative stress in chronic
venous leg ulcers. Wound Repair and Regeneration, 13(5), pp.452–461.

15

You might also like