You are on page 1of 35

Lab/SMF Ilmu Radiologi Referat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Oleh
EVAN FAISHAL MAHADINATA
NIM. 1810029012

Pembimbing
dr. Dompak Suryanto Hutapea, Sp. Rad

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Radiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2018
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................2
BAB 3 KESIMPULAN .........................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................26

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Penyakit
Paru Obstruktif”. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.

Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Dompak


Suryanto Hutapea, Sp. Rad selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
banyak masukan kepada penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penulis
menyadari masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata,
semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca.

Samarinda, Oktober 2018


Penulis,

Evan Faishal Mahadinata

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sebagian besar masih kurang


dikenali oleh masyarakat luas (GOLD, 2016). PPOK merupakan penyakit yang
secara umum dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan adanya keterbatasan
aliran udara yang terus menerus progresif dan dapat berhubungan dengan
meningkatnya respon inflamasi kronis di dalam saluran pernapasan dan paru-paru
(Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease [GOLD], 2016). Gejala
utamanya memiliki sifat kronis meliputi dyspnea, batuk, dan produksi sputum
(Espinosa de los Monteros MJ, 2012).
Pemeriksaan Radiologis merupakan memang tidak efektif dalam
mendiagnosis PPOK, namun pemeriksaan radiologis penting dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding klinis seperti fibrosis paru, bronkiektasis,
penyakit pleura, dan penyakit jantung (misalnya, kardiomegali) yang memiliki
gejala klinis yang mirip (GOLD, 2016).

1.2. Tujuan
Tujuan umum pembuatan referat ini adalah untuk dapat mengetahui tentang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) meliputi definisi, epidemiologi,
etiopatogenesis, manifestasi klinik, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan,
komplikasi dan prognosis. Serta diharapkan dapat menambah wawasan penulis
mengenai tata cara melakukan penulisan referat secara baik dan benar.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Penyakit paru obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif dan
nonreversibel atau revesibel parsial (PDPI, 2011). Pengertian lainnnya PPOK
adalah penyakit yang dapat dicegah dan dapat diobati, dengan karakteristik
hambatan aliran udara yang menetap dan progresif yang disertai dengan
peningkatan respon inflamasi kronis pada saluran napas dan paru terhadap partikel
berbahaya (Decramer, et al., 2018).
PPOK terdiri dari bronkitis kronis dan emfisema. Bronkitis kronis adalah
kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal tiga bulan
dalam setahun, sekurang – kurangnya dua tahun berturut – turut, tidak disebabkan
penyakit lain (PDPI, 2011). Emfisema adalah keadaan pelebaran abnormal yang
permanen dari rongga udara bagian distal dari bronkiolus terminalis, disertai
dinding tanpa fibrosis yang signifikan (Kumar, Abbas, & Aster, 2015).

2.2. Epidemiologi
World Health Organization (WHO) melaporkan terdapat 600 juta orang
menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat sedang
hingga berat. Pada tahun 2002 PPOK adalah penyebab utama kematian kelima di
dunia dan diperkirakan menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia
tahun 2030. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2005, yang
setara dengan 5% dari semua kematian secara global.2
Prevalensi kejadian PPOK di dunia rata-rata berkisar 3-11% (Decramer, et
al., 2018). Pada tahun 2013, di Amerika Serikat PPOK adalah penyebab utama
kematian ketiga, dan lebih dari11 juta orang telah didiagnosis dengan PPOK.3 Hasil
survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral PPM & PL di lima rumah
sakit provinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan
Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan
pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker
paru (30%) dan lainnya (2%) (PDPI, 2011). Menurut Riset Kesehatan Dasar, pada

2
tahun 2007 angka kematian akibat PPOK menduduki peringkat ke-6 dari 10
penyebab kematian di Indonesia dan prevalensi PPOK rerata sebesar 3,7%
2.3. Faktor Risiko
Faktor risiko yang menyebabkan PPOK berdasarkan Decramer et al (2018)
adalah :
2.3.1. Pajanan asap rokok
Kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama dalam kasus PPOK ini,
yaitu sekitar 90% kasus PPOK disebabkan oleh kebiasaan merokok (Barnett, 2006).
Asap rokok hasil dari pembakaran tembakau dapat mengiritasi bronkiolus dan
memicu perubahan permanen pada kelenjar yang memproduksi mukus sehingga
menimbulkan hiperekskresi mucus (Barnett, 2006). Merokok juga dapat
menyebabkan inflamasi pada dinding organ saluran napas dan dapat merusak
dinding alveolar, serta akan memperparah kondisi emfisema pada pasien yang
rentan (Barnett, 2006). Selain dikarenakan oleh kebiasaan merokok dalam jangka
waktu yang lama, faktor genetik dan faktor lingkungan juga berpengaruh dalam
memicu timbulnya kondisi PPOK (Barnett, 2006). Dalam pencatatannya menurut
PDPI (2003) dapat dilakukan dengan
 Riwayat merokok
o Perokok aktif
o Perokok pasif
o Bekas perokok
 Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB). Perkalian jumlah rata-rata
batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
o Ringan : 0-200
o Sedang : 200-800
o Berat : >600
2.3.2. Polusi udara di dalam ruangan
Polusi udara yang dimaksud adalah bahan bakar bio massa yang digunakan
untuk memasak dan memanaskan di hunian dengan ventilasi yang kurang baik
adalah sebuah faktor yang mempengaruhi pada wanita di negara berkembang
(Decramer, et al., 2018).

3
2.3.3. Polusi udara luar
Polusi udara juga terbukti memiliki peran penting untuk memicu terjadinya
PPOK meskipun resikonya lebih kecil bila dibandingkan dengan merokok (Bourke,
2003). Polusi udara mengandung material berat seperti karbon dan sulfur dioksida
yang merupakan hasil pembakaran batu bara dan bahan bakar fosil petroleum
(Barnett, 2006). Material-material tersebut memiliki peran penting dalam
meningkatnya risiko PPOK (Barnett, 2006).
2.3.4. Genetik
Salah satu faktor genetik sebagai faktor resiko PPOK yaitu kekurangan α-1
antritipsin, yaitu suatu pelindung sistem antiprotease pada paru (Barnett, 2006). α-
1 antitripsin dapat memproteksi sel paru dari dekstruksi oleh elastase yang
diproduksi oleh neutrofil karena adanya fagositosis maupun kematian sel
(Permatasari, 2016). Keadaan ini jarang terjadi, yaitu 1:4000 dalam suatu populasi
(Barnett, 2006).
2.3.5. Usia dan jenis kelamin
Bertambahnya usia dan perempuan meningkatkan risiko seseorang
mengalami PPOK.
2.3.6. Pertumbuhan dan perkembangan paru
Kondisi lain yang dapat meningkatkan risiko seseorang lebih mudah untuk
terkena PPOK yaitu terjadinya gangguan pada perkembangan paru janin selama
dalam masa kandungan dan pada masa kanak-kanak, misalnya berat badan kurang
saat lahir, infeksi pada saluran napas, dan lain-lain (Decramer, et al., 2018).
2.3.7. Status Sosioekonomi
Status sosioekonomi terbukti berbanding terbalik dengan risiko terjadinya
PPOK .
2.3.8. Asma dan Hiperaktifitas Saluran Napas
Asma merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hambatan udara dan
PPOK.
2.3.9. Bronkitis Kronik
Bronkitis kronik dapat meningkatkan frekuensi dan keparahan dari
eksaserbasi.

4
2.3.10. Infeksi
Riwayat infeksi saluran napas berapa pada masa kanak – kanak dapat
mengurangi fungsi paru dan meningkatkan gejala klinis pada masa dewasa.

2.4. Patogenesis
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK
yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu
inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan
penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan
deposisi kolagen dalam dinding luar saluran napas mengakibatkan restriksi
pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat penebalan
mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit
(McNee, 2005); (Spurzem & Rennard, 2005).

Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di
paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan
menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru (Williams & Bourdet, 2014).

Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan


menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor
kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien B4, tumuor necrosis
factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species
(ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang
akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding
alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan
dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi.
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan.
Enzim NADPH yang ada di permukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer
satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan bantuan enzim
superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah

5
menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero
denganhalida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl). Pengaruh radikal
bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis sehingga
percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi
sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa
destruksi alveoli yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang
berlebihan oleh leukosit dan polusi dan asap rokok (McNee, 2005); (Spurzem &
Rennard, 2005); (Reilly, et al., 2005); (Barnes, 2007).

Gambar 2.1 Proses Patogenesis PPOK (PDPI, 2011)

Gambar 2.2 Perbandingan Alveolus Emfisema dan Normal (Adam, 2015)

6
Gambaran alveoli yang mengalami emfisema ditandai oleh pelebaran
rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (PDPI,
2011). Peran protease akibat defisiensi antitripsin alfa-1 memiliki peran penting
dalam kerusakan dinding alveoli (PDPI, 2011). Pada emfisema terjadi peningkatan
alveoli yang rusak. Kerusakannya berdasarkan Kumar, Abbas, dan Aster (2015)
dapat dibagi menjadi beberapa jenis seperti
 Emfisema sentrisinar (sentrilobular)
Bagian yang rusak adalah bagian tengah atau proksimal asinus, yang dibentuk
oleh bronkiolus repiratorik, sementara alveoli distal tidak.
 Emfisema panasinar (panlobular)
Asinus membesar seragam, dari bronkiolus respiratorik sampai alveoli distal.
 Emfisema asinar distal (paraseptal)
Asinus bagian proksimal masih normal, sedangkan asinus distal mengalami
kerusakan.
 Emfisema irreguler
Asinus yang terlibat kerusakan tidak teratur.

Gambar 2.3 Jenis Emfisema Berdasarkan Lokasi Kerusakan (Kumar, Abbas, & Aster,
2015)

7
Gambar 2.4 Perbandingan Bronkus Normal dan pada Bronkitis (Adam, 2015)

Gambaran yang terjadi pada bronkus yang mengalami bronkitis kronik


terdapat pembasaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi,
hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis (PDPI, 2011).
Degenerasi dari jaringan alveolar dan inflamasi kronik cabang-cabang bronkhial,
memegang peranan penting dalam hilangnya elastisitas di saluran pernafasan, yang
nantinya akan menghambat kemampuan saluran udara kecil untuk tetap membuka
selama proses inspirasi dan ekspirasi dan menyebabkan kolapsnya bronkiolus
(Widowati, 2010).

Sesak nafas (dyspnea) yang sering dialami penderita PPOK saat


mengeluarkan tenaga merupakan perasaan sesak dan berat saat bernafas, diiringi
kesadaran untuk menggiatkan pernafasan (Gosselink, 2003). Penderita menjadi
merasa panik, gelisah dan akhirnya frustasi (Gosselink, 2003). Gejala ini adalah
penyebab utama penderita menjadi tidak aktif dan akhirnya jatuh ke dalam keadaan
penurunan fungsi fisik (Gosselink, 2003). Dan apabila tidak ditangani dengan
segera, maka kemampuan kardiopulmonal akan bertambah turun (Gosselink,
2003).

PPOK merupakan penyakit yang berlanjut secara perlahan, serta didalam


perjalanannya terdapat fase-fase eksaserbasi akut (Gosselink, 2003). Pada setiap
keadaan eksaserbasi akut akan terjadi perburukan atau pengurangan nilai faal paru
dan nilai ini tidak akan kembali ke baseline setelah fase eksaserbasi ini sembuh

8
(Gosselink, 2003). Maka sangat perlu penatalaksanaan yang tepat dan adekuat agar
eksaserbasi akut tidak terjadi dan bilamana terjadi diusahakan agar fase tersebut
terjadi sesingkat mungkin karena semakin lama fase eksaserbasi berlangsung, maka
akan semakin turun faal paru penderita tersebut (Gosselink, 2003). Gambaran klinik
yang menonjol adalah perburukan atau perlambatan arus udara ekspirasi
(Gosselink, 2003).

Dyspnea merupakan gejala penting yang melemahkan penderita dengan


PPOK (Gosselink, 2003). Beberapa faktor patofisiologi diketahui berkontribusi
terhadap dyspnea meliputi (Gosselink, 2003):

1). peningkatan muatan mekanik intrinsik otot inspirasi

2). peningkatan pembatasan mekanis dinding dada

3). kelemahan fungsional otot inspirasi

4). abnormalitas pertukaran gas

5). kompresi jalan nafas.

Menghilangkan dyspnea adalah tujuan penting dari penatalaksanaan PPOK


(Gosselink, 2003). Selain beberapa perawatan konvensional, seperti bronchodilator
terapi, pelatihan olahraga, dan terapi oksigen, pengendalikan pernapasan juga
diterapkan untuk mengurangi dyspnea (Gosselink, 2003).

2.5. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga gejala berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas
dan tanda inflasi paru diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan PDPI (2011):

1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
1) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

9
4) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi atau anak, misalnya berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas yang berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
5) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
6) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
1) Inspeksi
a) Purse-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
b) Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
c) Penggunaan otot bantu napas
d) Hipertrofi otot bantu napas
e) Pelebaran sela iga
f) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
leher dan edema tungkai,
g) Penampilan pink puffer atau blue bloater

Gambar 2.3 Perbedaan Gejala Klinis Pink Puffer dan Blue Bloater (Barnes, et al,
2015)

2) Palpasi
a) Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
3) Perkusi
a) Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma

10
rendah, dan hepar terdorong ke bawah.

4) Auskultasi
a) Suara napas vesikuler normal, atau melemah.
b) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa.
c) Ekspirasi memanjang.
d) Bunyi jantung terdengar jauh.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Spirometri
Pasien yang dicurigai menderita PPOK harus ditegakkan
diagnosisnya menggunakan spirometry (Suryadinata & Soeroto, 2014). The
National Heart, Lung, and Blood Institute merekomendasikan spirometri
untuk semua perokok 45 tahun atau lebih tua, terutama mereka yang dengan
sesak napas, batuk, mengi, atau dahak persisten (Suryadinata & Soeroto,
2014). Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk
diagnosis PPOK yang berguna untuk menggambarkan derajat obstruksi
fungsi paru pada suatu individu (Suryadinata & Soeroto, 2014). Salah satu
syarat diagnosa PPOK adalah hasil rasio pengukuran volume ekspirasi paksa
(forced expiratory volume [FEV1]) / kapasitas vital paksa (forced vital
capacity [FVC]) yang bernilai < 0,7 (GOLD, 2016). Derajat PPOK
berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC dengan spirometri setelah
pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4 (GOLD, 2016).
Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan
secara paksa dari titik inspirasi maksimal (forced vital capacity [FVC]),
kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama (forced expiratory
volume in one second [FEV1]), dan rasio kedua pengukuran tersebut
(FEV1/FVC) (GOLD, 2016). Hasil pemeriksaan spirometri dapat
menggambarkan keadaan obstruksi yang terjadi saluran pernapasan suatu
individu (GOLD, 2016).

11
2) Radiologi
Foto toraks tidak berguna untuk menegakkan diagnosa pada PPOK,
tetapi berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain dan menilai adanya
komorbiditas seperti fibrosis paru, bronkiektasis, penyakit pleura, dan
penyakit jantung (misalnya, kardiomegali) (GOLD, 2016). Pada emfisema
terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar,
diafragma mendatar, jantung pendulum (tear drop), sementara pada bronkitis
kronik terlihat gambaran normal, corakan bronkovaskuler bertambah pada
21% kasus (PDPI, 2011).

Gambar 2.5 Pada gambaran foto toraks diatas terlihat gambaran hiperinflasi pada paru
dan hemidiafragma yang mendatar. Pada proyeksi lateral terlihat peningkatan diameter
anteroposterior “barrel chest” karena peningkatan udara di ruang retrosternal, celah
interkosta melebar.

12
Gambar 2.6 Gambar di atas merupakan foto toraks seorang pria dengan riwayat merokok
lama. Terlihat gambaran lusen pada lapangan atas paru kiri dan kanan emfisema
setrisinar.

Gambar 2.7 Gambar di atas menunjukkan foto toraks penderita emfisema tipe bullous.
Tanda panah menunjukkan dinding bula yang terlihat seperti garis lengkung.

13
Gambar 2.8 Gambar di atas menunjukkan foto toraks penderita emfisema panasinar.
Terlihat gambaran lusen di lapangan bawah paru kiri dan kanan.

Gambar 2.9 Gambar di atas menunjukkan foto thoraks penderita PPOK dan sudut
kostofrenikus yang menumpul, jantung berbentuk tear drop, paru hiperekspansi dan
corak bronkovaskular yang meningkat.

14
Gambar 2.10 Gambar di atas menunjukkan foto thoraks penderita PPOK dengan
diafragma yang mendatar ditandai costa 5 – 7 anterior seharusnya berpotongan dengan
hemidiagfragma di garis mid klavikula, namun pada foto tersebut tidak.

Gambar 2.11 Perbandingan foto thorax normal (A dan B), dan PPOK (C dan D)
menunjukkan foto thoraks penderita PPOK dengan diafragma yang mendatar ditandai
costa 5 – 7 anterior seharusnya berpotongan dengan hemidiagfragma di garis mid
klavikula, namun pada foto tersebut tidak.

15
Gambar 2.12 Gambar emfisema yang disertai bula yang besar di lapangan atas paru
kanan dan kiri yang digambarkan lebih lusen dan diselubungi garis-garis halus seperti
rambut.

Selain pemeriksaan foto polos thorax dapat juga dilakukan


pemeriksaan CT – Scan resolusi tinggi untuk melihat emfisema dan
melihar derajat, jenis emfisema dan bula yang tidak tampak pada
pemeriksaan foto polos throax (PDPI, 2011).

Gambar 2.13 Gambar kiri merupakan ilustrasi emfisema centrilobular, gambar kanan
merupakan hasil CT-Scan yang menggambarkan hipodense di proksimal bronkiolus
respiratorius.

16
Gambar 2.14 Gambar kiri merupakan ilustrasi emfisema paraseptal, gambar kanan
merupakan hasil CT-Scan yang menggambarkan hipodense di dekat pleura.

Gambar 2.12 Gambar kiri merupakan ilustrasi emfisema panlobular, gambar kanan
merupakan hasil CT-Scan yang menggambarkan hipodense di seluruh lobus. Gambar
ketiga dari coronal tampak hipodense pada paru kiri.

17
Gambar 2.15 Gambar diatas menggambarkan hasil CT-Scan emfisema dengan bula di
paru kanan dengan gambaran hipodense.

3) Pemeriksaan lainnya
Pemeriksaan darah lengkap pada pasien PPOK untuk menyingkirkan
kemungkinan pasien mengalami polisitemia atau anemia (Longe, 2008).
Pemeriksaan ini dapat membantu dokter menentukan apakah seorang pasien
dalam stadium lanjut dari penyakit (Longe, 2008). Hal ini wajar untuk
melakukan elektrokardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan tanda-
tanda corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru (Alsagaff H,
2008). Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga, dan selama
tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen
tambahan (Alsagaff H, 2008).

2.6. Diagnosis Banding


 Pneumotorax

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam


pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena. Menurut penyebabnya,
pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua menurut Bowman (2010),
yaitu :
1. Pneumotoraks spontan

18
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba.
Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu
:
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara
tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis
(PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua
jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun
masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan
medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut,
misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan
dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura.
Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan,
misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik,
maupun untuk menilai permukaan paru.

19
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah
Sudoyo (2003):
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak
dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas
tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak
pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.
7.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks
tersebut Sudoyo (2003):
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih
berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain
serta ada tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi
bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil
disebabkan pengisian yang kurang.

A. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (Bowman (2010),:
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat

20
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi

4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif

B. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Röntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus
pneumotoraks antara lain :
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio
opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps
paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan
berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat,
kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan
intra pleura yang tinggi.

21
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut (3):
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila
pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang
dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di
mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang
lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak
jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan
belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

2. Analisa Gas Darah


Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan
primer dan sekunder.

22
Gambar 2.14 Foto kiri adalah pneumothorax dengan gambaran hiperlusen yang
avaskular pada lobus kanan paru. Foto kanan adalah emfisema dengan bulla yang besar
terdapat gambaran hiperlusen dengan batasan garis opak, dengan corak bronkovaskular
yang masih tampak.

Gambar 2.15 Foto kiri adalah CT-Scan dada Pneumotorax tampak paru yang kolaps
terdapat daerah hipodense yang dibatasi pluera, sementara efisema hiperdense yang
dibatasi dengan jaringan paru.

2.7. Tatalaksana
A. Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik

23
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel,
sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan
stabil dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan
dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara
berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit
gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di
klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus
dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi
penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya

24
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan
ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser)
- Waktu penggunaan yang tepat (rutin dgn selangwaku tertentu atau kalau perlu
saja)
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,
langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian
edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu
banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam
pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan
penyakit kronik progresif yang ireversibel

25
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :
Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain
berhenti
merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak

26
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2 Kombinasi kedua golongan
obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai
tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip
untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal
250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi

27
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N
- asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan
sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati, Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis
Tanpa gejala Tanpa obat, Gejala intermiten (pada waktu aktiviti)
Agonis ß2 Inhalasi kerja cepat
Bila perlu
Gejala terus menerus Antikolinergik Ipratropium bromida 20 μgr, 2 - 4
semprot → 3 – 4x/hari
Inhalasi Agonis ß2 kerja cepat
Fenoterol 100μgr/semprot 2 - 4 semprot → 3 - 4 x/hari
Salbutamol 100μgr/semprot 2 - 4 semprot → 3 - 4 x/hari
Terbutalin 0,5μgr/semprot 2 - 4 semprot → 3 - 4 x/hari
Prokaterol 10μgr/semprot 2 - 4 semprot → 3 x/hari

Kombinasi terapi Ipratropium bromid


2 - 4 semprot 20μgr+salbutamol 100μgr → persemprot → 3 - 4 x/hari
Pasien memakai Inhalasi agonis ß2 kerja Inhalasi Agonis ß2 kerja lambat
( tidak dipakai untuk eksaserbasi )
Formoterol 6μgr, 12μgr/semprot 1 - 2 semprot → 2 x/hari tidak melebihi
2 x/hari Atau timbul gejala pada waktu malam atau pagi hari.

28
Salmeterol 25μgr/semprot 1 - 2 semprot → 2 x/hari tidak melebihi 2
x/hari
Teofilin Teofilin lepas lambat, Teofilin/ aminofilin 150 mg x 3 - 4x/hari
400 - 800mg/hari 3 - 4 x/hari
Anti oksidan N asetil sistein 600mg/hr
Pasien tetap mempunyai gejala dan atau terbatas dalam aktiviti harian
meskipun mendapat pengobatan bronkodilator maksimal Kortikosteroid oral (uji
kortikosteroid ). Prednison Metil prednisolon 30 - 40mg/hr selama 2mg Uji
kortikosteroid memberikan respons positif Inhalasi Kortikosteroid
Beklometason 50μgr, 250μgr/semprot 1 - 2 semprot → 2 - 4 x/hari.
Budesonid 100μgr, 250μgr, 400μgr/semprot 200 - 400μgr → 2x/hari maks
2400μgr/hari.
Sebaiknya pemberian kortikosteroid inhalasi dicoba bila mungkin untuk
memperkecil efek samping Flutikason 125μgr/semprot 125 - 250μgr →
2x/hari maks 1000μgr/hari
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup.

29
BAB 3
PENUTUP

Penyakit Paru Obstruktif (PPOK) PPOK penyakit paru kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif non-reversibel
atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya. Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan
sesak nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+).
Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. Dan baku emas untuk
menegakkan PPOK adalah uji spirometri. Prognosa PPOK tergantung dari stage /
derajat, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain.
Pemeriksaan Radiologi berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit – penyakit lain seperti fibrosis paru, bronkiektasis, penyakit pleura, dan
penyakit jantung (misalnya, kardiomegali). CT-Scan resolusi tinggi digunakan
untuk melihat emfisema dan melihar derajat, jenis emfisema dan bula yang tidak
tampak pada pemeriksaan foto polos throax.

30
DAFTAR PUSTAKA

A.D.A.M. Medical Encyclopedia. (2015). Emphysema. Retrieved 2017 14-Februari


from https://medlineplus.gov/ency/imagepages/17055.htm

Alsagaff H, Mukty A. Penyakit obstruksi saluran napas. Dasar-dasar ilmu penyakit


paru. Surabaya: Airlangga University Press; 2008: 231

Barnett, M. (2006). Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Primary Care.


Chicester: John Wiley & Son.

Bourke, S.J., (2003). Respiratory Medicine. Oxford : Blackwell Publishing Ltd. pp


50-233.

Decramer, M., Vestbo, J., Nishimura, M., Stockley, R., Bourbeau, J., &
Voglemeler, C. (2018). Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Diseses. Diambil kembali dari Pocket Guide to COPD Diagnosis,
Management, and PRevention: https://goldcopd.org/.../wms-GOLD-2017-
Pocket-Guide.pdf

GOLD, Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. (2016). Global
Strategy For The Diagnosis,Management, And Prevention Ofchronic
Obstructive Pulmonary Disease.

Gosselink, R. (2003). Controlled breathing and dyspnea in patients with chronic


obstructive pulmonary disease (COPD). Journal of Rehabilitation Research
and Development. Vol. 40, No. 5. Supplement 2. 25-34

Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C. (2015). Buku Ajar Patologi Robbins (4
ed.). Singapore: ElSevier

Longe, J. L. (2008). Gale Encyclopedia of Medicine. New York: The Gale Group.

McNee, W. (2005). Pathogenesis of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.


Edinburgh: NCBI.

PDPI. (2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Diambil kembali dari Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia: https://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-
ppok/ppok.pdf

Suryadinata, Hendarsyah dan Arto Yuwono Soeroto. (2014). Penyakit Paru


Obstruktif Kronik. Ina J Chest Crit and Emerg Med Vol. 1, No. 2 : Divisi
Respirologi dan Kritis Respirasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Dr
Hasan Sadikin – FK Unpad.

Spurzem, J. R., & Rennard, S. L. (2005). Pathogenesis of COPD. NCBI.

31
Widowati, Ria. (2010). Efektivitas Pursed-Lip Breathing Exercise terhadap
Frekuensi Serangan Pasien PPOK. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Skripsi.

WHO (World Health Organisation). 2008. The Top Ten Causes of Death 2004.
http://www.who.int/whr/

Williams, Dennis M., Bourdet, Sharya V. 2014. Chronic Obstructive Pulmonary


Disease. In : DiPiro, J., et al., (Eds). Pharmacotherapy A Pathophysiologic
Approach seventh edition. New York: Mc Graw-Hill. pp. 528-550.

32

You might also like