You are on page 1of 4

Sarkoma Kaposi pada Konjungtiva dan Kelopak Mata

dan Pengaruhnya dalam Penegakan Diagnosis Infeksi HIV


Filipe Sousa Neves* , Joana Braga, João Cardoso da Costa, Joaquim Sequeira and Sandra Prazeres

Latar belakang
Sarkoma Kaposi merupakan tumor yang paling umum terjadi pada pasien
dengan infeksi HIV-AIDS. Sarkoma Kaposi adalah penyakit sistemik multifokal
yang berhubungan dengan infeksi HHV-8, ditemukan pada pasien dengan jumlah
sel CD4 yang rendah: kurang dari 500 sel/μl, biasanya kurang dari 200 sel.
Bagaimanapun, keterikatan okuler pada tumor maligna endothel dilaporkan sebagai
penyakit AIDS, merupakan suatu kejadian dengan pengecualian.
Pada suatu pustaka, tidak dijumpai adanya algoritma berdasarkan bukti untuk
penatalaksanaan Sarkoma Kaposi Okuler. Meskipun begitu, terdapat laporan
mengenai kesuksesan tatalaksana Sarkoma Kaposi pada kelopak mata dan
konjungtiva dengan berbagai macam terapi, terutama berdasarkan lokasi, ukuran,
jumlah lesi, dan keterikatan ekstra okuler. Pengobatan sistemik misalnya dengan
terapi anti-retrovirus dosis tinggi (HAART) dan kemoterapi. Lesi okuler fokal bisa
ditatalaksana dengan reseksi bedah, radiasi, krioterapi, atau kemoterapi intralesi.
Sekarang ini, HAART digunakan untuk mengontrol secara sistemik pada pasien
HIV-AIDS.
Presentasi Kasus
Seorang lelaki, 32 tahun, dengan riwayat mata merah (sebelah kiri) sejak 1
bulan yang lalu. Sebelumnya, pasien telah berobat ke dokter umum dan disarankan
untuk menemui dokter spesialis mata jika lesi tidak berkurang dalam 3 minggu.
Pada evaluasi pertama, ditemukan 2 lesi okuler. Lesi ini paling jelas dilihat melalui
biomikroskopi. Terdapat suatu massa membesar berwarna violet pada kelopak mata
atas kanan yang sudah ada sejak 1 minggu (gambar 1). Terdapat juga suatu lesi
mobile pada konjungtiva bulbi, dengan warna merah terang, ukuran 5mm x 5mm,
pada kuadran temporal superior mata kiri (gambar 1 dan 2). Pasien tidak
menyatakan adanya keluhan nyeri ataupun keluhan perubahan visus. Lesi ini
terlihat seperti kalazion dan perdarahan subkonjungtiva (gambar 1). Koreksi visus
terbaik pada kedua mata ialah 20/20 (dengan Snellen Chart) dan pemeriksaan
funduskopi dalam batas normal. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma
sebelumnya ataupun riwayat penyalahgunaan obat-obatan. Kelainan sistemik
lainnya termasuk dermatitis seboroik facial (gambar 1), suatu karakteristik dari
HIV-AIDS. Riwayat penyakit sebelumnya pada pasien ini tidak berpengaruh
dengan tidak adanya evaluasi serologi untuk HIV. Diagnosis banding pada kasus
ini, dengan blood dyscrasia, akibat lesi terduplikat. Kami juga mempertimbangkan
bahwa Sarkoma Kaposi ini merupakan suatu sindrom imunodefisiensi pada pasien.
Hasil hitung sel darah dan analisis hitung jenis normal dan gangguan koagulasi
tidak dilakukan. Bagaimanapun tes HIV-1 ditemukan positif dan mendukung untuk
diagnosis Sarkoma Kaposi Okuler. Pasien dipilih untuk dilakukan suatu biopsi
eksisi massa di konjungtiva dan biopsi insisi untuk kelopak mata kanan atas.
Sebagai tambahan, dilakukan penegakan stadium HIV-AIDS. Hitung sel CD4
didapatkan 23/mm3 dan virus RNA sebanyak 427.000/ml. Pemeriksaan patologi
menyatakan bahwa kedua lesi adalah Sarkoma Kaposi. Evaluasi post-operasi tidak
ada masalah dan tidak ditemukan tanda-tanda rekurensi selama 6 bulan masa follow
up. Lebih lanjut, berdasarkan beberapa penilaian menunjukkan suatu Sarkoma
Kaposi Difusa dengan keterkaitan kulit dan supraglotis. Pasien ditawarkan untuk
pengobatan AIDS dan Sarkoma Kaposi Difusa. Dalam rangka mengontrol penyakit,
pasien diberikan pengobatan anti-retrovirus sistemik—HAART - dan kemoterapi
sistemik di bawah supervisi medis dengan regresi tumor.
Diskusi dan Kesimpulan
Sarkoma Kaposi merupakan neoplasma tersering pada penderita AIDS.
Bagaimanapun, keterkaitan okuler yang mengarahkan pada diagnosis infeksi HIV
sangat tidak biasa. Terdapat 3 kasus Sarkoma Kaposi Okuler yang dilaporkan
sebagai manifestasi awal dari infeksi HIV. Dari semua laporan, conjungtiva
menjadi lokasi ditemukannya tumor tersebut. Meskipun begitu, ada 4 kasus
penderita yang terinfeksi HIV dengan Sarkoma Kaposi pada mata merupakan
penyakit AIDS.
Untungnya, setelah HAART diperkenalkan pada tahun 1997, penderita HIV-
AIDS dengan Sarkoma Kaposi lebih jarang dijumpai pada penduduk Barat. Tumor
unik ini mungkin serupa dengan perdarahan subkonjungtiva. Maka dari itu, dokter
harus mengetahui manifestasi okuler pada AIDS, agar tidak salah mendiagnosis
Sarkoma Kaposi.
Laporan kasus ini menunjukkan betapa pentingnya keakuratan untuk
mengidentifikasi keterkaitan okuler pada AIDS. Wawasan mengenai lesi okuler
pada AIDS mengarahkan diagnosis Sarkoma Kaposi dan kemudian identifikasi
infeksi HIV. Meskipun begitu, Sarkoma Kaposi Okuler sebagai penanda klinis
pertama untuk infeksI HIV-AIDS sebenarnya agak jarang, namun diagnosis yang
segera ditegakkan sangat berpengaruh pada intervensi vital pasien dan relevensi
sosial sepenuhnya.

You might also like